BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Konflik di Papua bermula dari klaim Indonesia atas Papua sebagai bagian dari wilayah NKRI. Bahwa Papua termasuk ke dalam kawasan Hindia Belanda yang diwariskan kepada Indonesia. Rakyat Papua sendiri menolak hal tersebut, dan menyatakan tidak terlibat sama sekali dalam perang kemerdekaan Indonesia. Tidak membaiknya kesejahteraan rakyat Papua setelah bergabung dengan Indonesia membuat mereka ingin memerdekakan diri. Dalam hal ini ia mendapat bantuan dari pihak Belanda, yang pada Oktober 1961 membentuk Komite Nasional Papua, yang lantas mengeluarkan manifesto mengenai kemerdekaan Papua. Namun hasil pelaksanaan PEPERA 1969 pada tanggal 14 Juli hingga 2 Agustus 1969 menyatakan bahwa mayoritas rakyat Papua memutuskan mau bergabung dengan Indonesia. Sehingga pada 19 November 1969, melalui Sidang Umum PBB, Papua resmi menjadi salah satu bagian dari wilayah Indonesia. Pernyataan tersebut dikukuhkan dengan Resolusi PBB No. 2504 Tanggal 19 Oktober 1969. Namun banyak pihak yang mengklaim hal tersebut sebagai rekayasa politik yang dilakukan Indonesia untuk mempertahankan Papua. Gerakan separatisme di Papua kemudian banyak bermunculan. Mulai dari usaha pengibaran bendera Bintang Kejora di beberapa daerah hingga aksi penembakan warga sipil oleh kelompok sipil bersenjata. Perjanjian dengan Freeport McMoran pada April 1967, membuat Papua semakin merasa dieksploitasi oleh Indonesia. Sementara pembangunan di wilayah tersebut masih terbelakang. Menurut Daftar 183 Kabupaten Tertinggal di Indonesia tahun 2014 yang dikeluarkan oleh KEMENEGPDT di www.kemenegpdt.go.id, sebaran daerah tertinggal sebagian besar (70%) berada di kawasan Indonesia Timur. Di sini Papua tercatat sebagai provinsi paling tertinggal dengan 27 daerah tertinggal; dan Papua Barat sebagai provinsi paling tertinggal nomor 2 dengan 8 daerah
1
tertinggal. UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah dirumuskan, namun hal tersebut tak kunjung membawa Papua ke arah yang lebih baik, sementara konflik separatisme baik internal maupun eksternal masih terus berkecamuk. Untuk menjembatani konflik tersebut, seorang peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muridan S. Widjojo dan co-founder Jaringan Damai Papua (JDP), Neles Tebay mencetuskan konsep “Dialog Jakarta-Papua”, mengingat Otonomi Khusus dan UP4B yang ditawarkan pemerintah gagal meredam konflik. “Dialog Jakarta-Papua” diperlukan sebagai sarana atau wadah bagi para pihak yang bertikai selama ini yakni pemerintah dan OPM, untuk bertemu, duduk bersama, dan membahas dengan kepala dingin dan hati tenang, semua persoalan dan menetapkan solusisolusi yang dapat diterima oleh semua pihak.1 Pada sebuah diskusi publik bertema "Masa Depan Papua dalam Pemerintahan Jokowi-JK” yang digelar Agustus tahun 2014 lalu, salah satu pembicara dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, menilai “Dialog Jakarta-Papua” sebagai sebuah fasilitas biasa yang bisa digunakan untuk mencari solusi atas konflik yang berkepanjangan di Papua oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Dukungan terhadap
dilakukannya “Dialog Jakarta-Papua” juga dilontarkan oleh Presiden RI menjabat Joko Widodo, bahwa pemerintahannya lebih mendukung “Dialog Jakarta-Papua” dibanding Otsus Plus (Otonomi Khusus Plus Papua). Beliau pun sudah menyampaikan pidatonya mengenai pentingnya penyelenggaraan “Dialog JakartaPapua” demi mewujudkan perdamaian di tanah Papua pada kunjungan kerja pertamanya di Papua Desember 2014 lalu. Dialog adalah hal mendesak, mengingat kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Papua sejak bergabung dengan Indonesia tahun 1969.
Muridan
berpendapat
bahwa
“Dialog
Jakarta-Papua”
mampu
menyelesaikan konflik secara dua arah, vertikal antara pemerintah pusat dan 1
Neles Tebay. Memahami Dialog Jakarta-Papua. Jdp-dialog.org. Diunggah 1 September 2014. Diakses dari http://www.jdp-dialog.org/kolom/opini-publik/828-memahami-dialogjakarta-papua pada 2 Desember 2014 Pukul 1:11 WIB. 2
Papua serta konflik horizontal di Papua, antara Papua dengan Papua maupun Papua dengan luar Papua. Akan tetapi, belum ada persamaan persepsi antara warga dalam dan luar Papua dalam memaknai “Dialog Jakarta-Papua”. Kaum intelektual Papua sudah lama menuntut dilakukannya dialog terbuka, yaitu sejak saat pemberian dua opsi Timor Timur muncul. Saat itu, orang Papua memahami dialog sebagai pengakuan kemerdekaan oleh pemerintah pusat.2 Padahal makna “Dialog Jakarta-Papua” sebetulnya lebih luas daripada itu. Pada masa jabatan Presiden SBY, penggunaan istilah dialog sendiri sudah menuai pro dan kontra. Ditambah dengan komunikasi konstruktif yang dilakukan pemerintah. Di sini masih ada benturan kepentingan antara NKRI dan Kelompok Papua Merdeka, sehingga diperlukan titik temu antara Pemerintah RI dengan rakyat Papua. Presiden SBY menginginkan komunikasi konstruktif, meskipun belakangan menyatakan kemauannya untuk melakukan dialog dengan rakyat Papua. Pemerintah RI, yang dalam hal ini diwakili oleh Presiden SBY, sangat mengharapkan kejelasan tentang tempat pelaksanaan dialog, format dialog, agenda dialog serta mekanisme dialog, yang kemudian dijawab oleh Neles Tebay dalam bukunya “Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua” pada tahun 2009. Namun tetap belum ada kejelasan dari pemerintah, hingga masa jabatan Presiden SBY berakhir. Penelitian terhadap pemberitaan isu “Dialog Jakarta-Papua” menjadi menarik mengingat isu tersebut sudah diwacanakan sejak lama tetapi hingga saat ini belum juga terlaksana. Membicarakan isu konflik Papua secara umum, selama ini media nasional yang lebih populer untuk dikaji. Pengamatan konstruksi isu oleh media lokal
pun menjadi menarik, untuk menyeimbangkan referensi
pandangan lokal dan nasional.
2
Tim Peneliti LIPI. 2001. Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau. Bandung: Penerbit Mizan. Halaman 127. 3
Dalam sebuah opini yang ditulis oleh Zely Ariane, Koordinator Papua Itu Kita dan National Papua Solidarity (Napas), Majalah Selangkah Online juga menyampaikan kritikannya mengenai bias Media Nasional terhadap NKRI: Media nasional bukannya tidak tahu, melainkan tidak dibiarkan memberitakan Papua apa adanya. Salah seorang wartawati senior di harian The Jakarta Post mengakui, bias NKRI (harga mati) di kalangan wartawan dan redaksi, adalah penghambat utama jurnalisme yang damai dan adil terhadap Papua.3 Misalnya dalam pemberitaan peristiwa Tolikora 17 Juli 2015 lalu. Kompas lebih menekankan keterlibatan Dewan Pekerja Wilayah Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikora yang membubarkan paksa jamaah muslim Tolikora yang sedang melaksanakan shalat Idul Fitri. Alasannya, hari itu mereka sedang menggelar Seminar Internasional dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) remaja GIDI. Polisi dikatakan menembakkan peluru ke udara untuk memperingatkan massa, namun gagal. Berita yang muncul melingkupi masalah kronologis peristiwa, kerugian materil dan korban jiwa serta himbauan dan pendapat pemerintah mengenai konflik tersebut. Sementara Majalah Selangkah Online mengatakan bahwa Kerusuhan Tolikora bukanlah konflik agama. Bahwa ada pihak tertentu yang ingin membuat peristiwa tersebut supaya terlihat demikian. Media ini lebih menekankan pada tertembaknya orang Papua dalam peristiwa itu. Di sini juga dikatakan bahwa TNI melakukan penembakan peluru ke arah warga dan bukan ke udara seperti yang diberitakan di media nasional, dan bahwa hal tersebut bukan merupakan hal yang baru di Papua. Hal yang kerap diberitakan oleh media nasional mengenai Papua adalah terkait dengan aksi-aksi separatis. Media nasional menampilkan Papua sebagai wilayah yang tidak pernah lepas dari kekerasan. Padahal media memiliki andil yang besar dalam pembentukan opini publik. Bahwa apa pun yang disorot secara terus menerus oleh media akan menjadi populer sebagaimana media itu membingkainya. Ketika media nasional secara terus menerus menyoroti peristiwa 3
Zely Ariane. Pasca Drama Tolikara. Majalahselangkah.com. Diunggah 28 Juli 2015. Diakses dari http://www.majalahselangkah.com/content/-pasca-drama-tolikara pada 31 Juli 2015 Pukul 2:51 WIB. 4
berdarah di Papua, membuatnya seolah tidak ada habisnya, maka akan begitulah masyarakat umum memandang Papua. “Papua yang selalu bergolak, Papua yang selalu ingin memisahkan diri”. Belum lagi dengan narasumber yang ditampilkan seringkali tidak berasal dari Papua dan porsi pemberitaannya pun masih sangat minim. Ditambah dengan adanya Jakarta sentris, membuat ketertinggalan Papua menjadi terlihat lebih jauh ke belakang. Ini juga demi kepentingan pemberitaan tentang keberlangsungan pembangunan di Papua. Saya teringat tentang kunjungan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, namun tidak didampimgi oleh Gubernur. Ternyata hal ini mendapat respon dari media dengan membuat berita propaganda tentang ketidakhadiran Gubernur Papua saat kunjungan Presiden Joko Widodo.4 Media online kemudian dipilih dengan pertimbangan bahwa sebagai bagian dari media baru ia mudah diakses, audiensnya juga lebih luas dibanding media cetak maupun elektronik. Melalui media online orang Papua bisa menyuarakan aspirasinya dengan pendengar yang jumlahnya lebih banyak. Berdasarkan laporan hasil riset nasional yang dilakukan oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) terkait jumlah pengguna dan penetrasi internet di Indonesia, disebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 lalu mencapai 88,1 juta. Hal tersebut meningkat 34,9 % dari tahun 2013 yang baru mencapai 71,9 juta.5 Majalah Selangkah Online sebagai salah satu media lokal online Papua, dibangun oleh anak-anak Papua untuk menyampaikan informasi-informasi lokal Papua secara objektif dan kritis demi perubahan Papua ke arah yang lebih baik. Media ini dapat diakses melalui www.majalahselangkah.com sejak tahun 2012.
4
. Jubir Gubernur Papua Protes Media Kurang Soroti Pembangunan. Sinarharapan.com. Diunggah Oktober 2015. Diakses dari http://www.sinarharapan.co/news/read/151008237/jubir-gubernur-papua-protes-mediakurang-soroti-pembangunan pada 1 April 2016 Pukul 7:33 WIB. 5 Andhi Maulana. Jumlah Pengguna Internet Indonesia Capai 88,1 Juta. Liputan6.com. Diunggah 26 Maret 2015. Diakses dari http://www.liputan6.com/tekno/read/2197413/jumlah-pengguna-internet-indonesia-capai881-juta pada 4 Agustus 2015 Pukul 13:18 WIB. 5
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dibahas di sini adalah: Bagaimana Konstruksi Isu “Dialog Jakarta– Papua” di Majalah Selangkah Online Periode Mei 2014 – Mei 2015?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1) Tujuan operasional Mengetahui bagaimana konstruksi isu “Dialog Jakarta–Papua” di Majalah Selangkah Online periode Mei 2014 hingga Mei 2015. 2) Tujuan fungsional Agar hasil penelitian dapat dimanfaatkan oleh instansi terkait sebagai referensi untuk mengambil kebijakan yang berhubungan isu “Dialog Jakarta-Papua”. 3) Tujuan individual Menambah ilmu pengetahuan mengenai konstruksi isu “Dialog Jakarta-Papua” dalam Majalah Selangkah Online sehingga peneliti melakukan penelitian untuk menyelesaikan skripsi.
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1) Manfaat akademik Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian yang berguna dalam pengembangan ilmu komunikasi terkait konstruksi isu “Dialog Jakarta-Papua” oleh media lokal. 2) Manfaat teoritis Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
sumbangan
pemikiran atau memperkaya konsep dan teori ilmu komunikasi dalam hal penggunaan media terhadap isu “Dialog Jakarta-Papua”. 6
3) Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi institusi, masyarakat maupun entitas lain yang berkaitan dengan isu “Dialog Jakarta-Papua”. 4) Manfaat bagi peneliti Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman peneliti mengenai isu “Dialog Jakarta-Papua” dari sisi media lokal online.
E. Kerangka Pemikiran Mass communication is a process in which professional communicators use media to disseminate messages widely, rapidly, and continually to arouse intended meanings in large and diverse audiences in attempts to influence them in variety of ways.6 Sehingga komunikasi massa adalah komunikasi yang termediasi. Mass communication refers to communication to a large audience via one of these channels of communication (mass media).7 Dewasa ini media massa yang banyak digunakan adalah yang berbasis teknologi yang berhubungan dengan komputer, meliputi internet, termasuk e-mail, blog, chat, media sosial, ponsel, dan tv digital. Sehingga komunikasi massa pasti melibatkan media dan audiens. Di sini komunikan (audiens) dan komunikator sama-sama memiliki kontrol. Pihak pelaku media memiliki kekuasaan untuk memilih informasi mana yang akan diterbitkan, begitu juga audiens, mereka memiliki kekuasaan untuk memilih informasi mana yang akan mereka beli. Komunikasi massa melibatkan media yang cenderung mahal, sehingga meskipun dewasa ini telah banyak orang yang memiliki media yang mendukung, gap antara mereka yang mampu mengakses dan yang tidak akan selalu ada.8 6
Melvin L. DeFleur dan Dennis Everette E.. 1985. Understanding Mass Communication. Edisi ke-2. USA: Houghton Miffin Company. Halaman 5. 7 Richard West dan Lynn H. Turner. 2010. Introducing Communication Theory. Edisi ke4. Internasional. Singapura: McGraw-Hill. Halaman 40. 8 Ibid. Halaman 40-41. 7
Salah satu produk dalam komunikasi massa adalah berita. Di sini ia dipahami sebagai hasil konstruksi atas sebuah realitas. Berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya. 1. Konstruksi Realitas Peter L. Berger dan Thomas Luckmann9 menjelaskan bahwa proses sosial terjadi melalui tindakan dan interaksi, dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Konstruksi sosial adalah upaya menyusun realitas dari satu atau sejumlah peristiwa yang acak menjadi sebuah narasi yang bermakna. Konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat akan kepentingan-kepentingan. Mereka berasumsi bahwa manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara terus menerus.10 Manusia merupakan produk dari masyarakat, sementara masyarakat pun merupakan produk dari manusia. Selama manusia berada di tengah lingkungan masyarakat, ia akan memiliki identitas pribadinya sementara masyarakat pun ada hanya jika ada manusia di dalamnya. Proses dialektis tersebut dibagi menjadi tiga tahapan: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.11 Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha manusia untuk mengekspresikan dirinya ke dalam dunia, baik mental maupun fisik. Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang dicapai dari kegiatan eksternalisasi, baik dalam bentuk mental maupun fisik, yang kemudian berubah menjadi realitas objektif. Ketiga, internalisasi, yaitu proses penyerapan kembali dunia objektif sehingga sisi subjektif individu dipengaruhi dunia sosial, yang kemudian melahirkan adanya perbedaan konstruksi atas realitas dalam diri manusia. 9
Peter L. Berger dan Thomas Luckman. 1967. The Social Construction of Reality. Garden City, NJ: Anchor. Halaman 57, dalam Alex Sobur. 2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Halaman 26. 10 Peter L. Berger dan Thomas Luckman. 1967. The Social Construction of Reality. Garden City, NJ: Anchor. Halaman 58, dalam Eriyanto. 2002. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Edisi ke-3.Yogyakarta: LkiS. Halaman 13. 11 Peter L. Berger dan Thomas Luckman. 1967. The Social Construction of Reality. Garden City, NJ: Anchor, dalam Ibid. Halaman 14-15. 8
Dalam proses eksternalisasi wartawan menceburkan dirinya dalam usahanya untuk memaknai realitas. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat realitas. Latar belakang personal dan profesional, ideologi serta pengalaman wartawan kemudian digunakan sebagai landasan untuk memaknai realitas tersebut (objektivasi), yang kemudian diwujudkan dalam teks berita (internalisasi). Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta yang dipindahkan ke dalam bentuk teks. Hasil dari berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut.12 Semua proses konstruksi memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir dihadapan khalayak. Sedangkan unsur utama dalam konstruksi sosial adalah bahasa. Bahasa merupakan komponen pokok yang digunakan untuk menarasikan realitas. Tidak akan ada berita tanpa bahasa, baik verbal (kata-kata tertulis dan atau tidak tertulis) maupun non-verbal (foto, grafik, tabel). Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasi realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut.13 Realitas media tercipta lewat konstruksi yang dilakukan oleh media melalui wartawan, sesuai dengan sudut pandang dan ideologinya. Berita tidak dapat disebut sebagai cerminan dari realitas, tetapi merupakan hasil konstruksi atas realitas, dengan media sebagai agen konstruksinya. 2. Konflik Separatis Karl Marx14 berpandangan bahwa konflik timbul akibat terjadi perbedaanperbedaan kepentingan dalam kehidupan individu, kelompok dan masyarakat. 12
Ibid. Halaman 17. Idi Subandy dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media Massa: Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya. Halaman 134. 14 Karl Marx dalam Judistira K. Garna. 1996. Ilmu-ilmu Sosial; Dasar, Konsep, Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Unpad. Halaman 65, dalam Ridwan Usman. 2001. Konflik dalam Perspektif Komunikasi: Suatu Tinjauan Teoretis. Mediator: Jurnal Komunikasi Volume 2 Nomor 1. Diunduh dari www.ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/download/697/379 pada 11 Juni 2015 pukul 13:31 WIB. Halaman 34. 13
9
Konflik merupakan sesuatu yang disfungsional, yang oleh karenanya ia menjadi sesuatu yang berbahaya. Konflik dapat menyebabkan perpecahan dan memiliki potensi untuk mengacaukan masyarakat. Di sisi lain, Ceser15 menerangkan bahwa konflik dapat mencegah pembekuan sistem sosial dengan mendesak adanya tekanan inovasi dan kreativitas. Terlalu banyak keteraturan akan merusak keseimbangan sistem, membuat sistem menjadi tidak sehat. Sehingga konflik menjadi diperlukan untuk me-refresh keteraturan tersebut. (1) struktur-struktur peran melahirkan pertentangan dan juga kepentingan-kepentingan yang bersifat komplementer; (2) deskripsi umum tentang kondisi-kondisi yang mengakibatkan konflik sehingga Perycohen mengatakan konflik bisa dilihat sebagai cara untuk mempertahankan stabilitas.16 Berdasarkan fungsinya, konflik terbagi menjadi dua, yaitu konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional Conflict).17 Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung pencapaian tujuan kelompok dan memperbaiki kinerja kelompok. Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian tujuan kelompok. Di sini, konflik separatis termasuk ke dalam konflik disfungsional. Menurut Metta Spencer18, secara teoritis terdapat 7 faktor utama separatisme dari sisi politik-nasionalis, yaitu: a) Emotional resentment Secara psikologis-sosial, nasionalisme tidak jarang berakar pada sentimen emosional, termasuk kecemburuan terhadap masyarakat pesaing.
15
Ceser dalam Judistira K. Garna. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pajajaran. Halaman 67, dalam Ibid. Halaman 35. 16 Dohrendorf dalam Ian Craib. 1994. Teori-teori Sosial Modern: dari Parsons sampai Habermas. Jakarta: Raja Granfindo Persada. Halaman 94, dalam Ibid. Halaman 35. 17 Stephen P. Robbins. 1996. Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi dan Aplikasi. Alih Bahasa: Hadyana Pujaatmaka. Edisi ke-6. Jakarta: PT.Bhuana Ilmu Populer. Halaman 430. 18 Metta Spencer (1998) dalam Jacobus Perviddya Solossa. 2005. Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Halaman 18. 10
b) The justified resistance of victims Kaum nasionalis, yang menderita dalam waktu yang lama akibat pelanggaran HAM, akhirnya memilih berpisah dari negara. c) Propaganda orchestrated for political gain Tidak jarang “keinginan bersama untuk memisahkan diri” itu merupakan upaya para pemimpin politik untuk memperoleh kekuasaan tertentu. d) Power of a dominant ethnic group Dominasi
kelompok
etnik
tertentu
dalam
suatu
Negara
multicultural, dan kecenderungannya untuk tidak membagi kekuasaan. e) Economic motivations Kaum separatis seringkali digambarkan sebagai kelompok yang secara ekonomi dieksploitasi. f) Preservation of a threatened culture Adanya pemahaman bahwa kemerdekaan adalah satu-satunya cara melindungi budaya lokal dari dominasi kebudayaan nasional. g) Commitment to modernization Adanya
keinginan
revolusioner
kelompok
tertentu
untuk
mendirikan rezim universal yang memayungi semua komunitas etnis dan agama di bawah sistem hukum yang sama dan seragam. 3. Media Massa dan Posisinya dalam Isu Konflik a. Media Massa Mondry19 menjelaskan media massa sebagai media informasi yang terkait dengan masyarakat, digunakan untuk berhubungan dengan khalayak (masyarakat) secara umum, dikelola secara profesional dan bertujuan mencari keuntungan. Media massa adalah institusi yang 19
Mondry. 2008. Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik. Bogor: Ghalia Indonesia, dalam Burhan Bungin. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Halaman 85. 11
berperan sebagai agent of change. Secara sederhana, media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak dan cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Media massa adalah suatu jenis komunikasi yang ditunjukkan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melewati media cetak atau elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.20 Dalam konteks jurnalistik, Syarifudin Yunus21 membagi media massa menjadi 3, yaitu: 1) Media massa cetak (printed media) Contoh: Surat kabar, tabloid, dll. 2) Media massa elektronik (electronic media) Contoh: televisi, radio, dll. 3) Media online (online media, cybermedia) Contoh: website, blog, dll. Media merupakan lokasi (forum) yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun internasional.22 Sesuai dengan pendapat DeWitt C. Reddick23 bahwa fungsi utama media massa adalah untuk mengkomunikasikan informasi ke semua manusia lainnya mengenai perilaku, perasaan, dan pemikiran mereka. Sehingga media massa sudah sepantasnya berdiri sendiri tanpa dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu. Namun nyatanya, dewasa ini media massa tidak akan bisa bertahan tanpa kepentingan ekonomi dan politik sehingga membuatnya rentan akan intervensi pihak-pihak yang berkuasa baik secara ekonomi maupun politik.
20
Astrid S. Susanto. 1980. Komunikasi Massa. Jakarta: Binacipta. Halaman 2. Syarifudin Yunus. 2010. Jurnalistik Terapan. Bogor: Ghalia Indonesia. Halaman 27. 22 Denis McQuail. 1987. Mass Communication Theory: An Introduction. London: Sage Publications. Halaman 1. 23 DeWitt C. Reddick. 1976. The Mass Media and The School Newspaper. California: Wodsworth Publishing Company, dalam Astrid S. Susanto. Op.Cit. Halaman 31. 21
12
Dalam hal ini Denis McQuail merumuskan hal-hal yang mungkin dapat dilakukan oleh media massa dibawah kekuasaan tertentu: (1) The media can attract and direct attention to problem, solutions or people in ways which can favour those with power and correlatively divert attention from rival individuals or groups. (2) the mass media can confer status and confirm legitimacy. (3) In some circumstances, the media can be a channel for persuation and mobilization. (4) the mass media can help to bring certain kinds of publics into being and maintain them. (5) the media are vehicle for offering psychic rewards and gratifications.24 b. Posisi Media dalam Isu Konflik Efek psikologis pemberitaan konflik jauh melebihi apa yang bisa dicapai oleh konflik itu sendiri.25 Pemberitaan mengenai isu konflik melalui media massa dapat mempertajam konflik, namun juga bisa mereduksinya. Dalam hal ini media memiliki tiga fungsi, yaitu sebagai issue intensifier, conflict deminisher, dan sebagai conflict resolution.26 Sebagai issue intensifier, media memunculkan isu konflik ke permukaan, kemudian
mempertajamnya.
Sebagai
conflict
diminisher,
media
menghilangkan isu konflik dari perhatian publik, sehingga konflik tersebut dianggap tidak penting. Kemudian sebagai conflict resolution, media berperan sebagai mediator dengan menampilkan isu dalam berbagai sudut pandang. Di sini media juga memberikan saran penyelesaian konflik. Etika jurnalistik menuntut media untuk bersikap netral dalam memberitakan isu konflik. Bahwa tugas utama jurnalis adalah menjalankan profesi secara independen dan profesional dengan mengikuti kaidahkaidah jurnalistik. Demi memenuhi tuntutan profesionalisme itu, jurnalis harus selalu menjaga sikap netral, objektif, berimbang, akurat, dan benar 24
Denis McQuail. Op. Cit. Halaman 56. Phillip J. Tichenor, et.al. 1980. Community Conflict and The Press. London: Sage Publications. Halaman 119, dalam Iwan Awaluddin Yusuf. 2010. Dalam Kecamuk Konflik, Bagaimana Seharusnya Media Berpihak?. Diunggah pada 23 Agustus 2010. Diakses dari http://www.bincangmedia.wordpress.com/2010/08/23/dalam-kecamukkonflik-bagaimana-seharusnya-media-berpihak/ pada 3 Agustus 2015 Pukul 3:39 WIB. 26 Ibid. 25
13
sehingga jurnalis harus berada dalam posisi independen dan tidak memihak.27 Namun hal yang berbeda dipaparkan oleh Kovach
dan
Rosenthiel28, bahwa jurnalis seharusnya lebih berkomitmen kepada warga dibanding egoisme profesional. Tugas utama seorang jurnalis justru bertanggung jawab kepada kepentingan warga, dan kesetiaan pada warga ini merupakan independensi jurnalistik yang sesungguhnya. 4. New Media dan Jurnalisme Online a. New Media Media baru merupakan sebuah media yang muncul sebagai akibat dari kemajuan teknologi.
Internet (interconnection-networking) adalah
salah satu media baru di abad 21, media berbasis internet kemudian disebut sebagai media online. Ashadi Siregar29 mendefinisikan media online sebagai sebuah media yang berbasis telekomunikasi dan multimedia, dimana di dalamnya terdapat portal, website, radio online dan lain sebagainya yang masing-masing memiliki karakteristik tertentu sesuai dengan fasilitas yang ditawarkan. Media online merupakan gabungan media massa konvensional dengan internet. Selanjutnya, untuk lebih memahami media
baru Marshal
McLuhan30 menawarkan 3 kata kunci yang bisa digunakan, yaitu digitally, interactivity, dan highly individuated. Digitally menjelaskan tentang
27
Lynette Sheridan Burns. 2002. Understanding Journalism. Edisi ke-2. London: Sage Publications. Halaman 22-24. 28 Bill Kovach dan Tom Rosenthiel. 2006. Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Pantau. Halaman 59. 29 Ashadi Siregar dalam Agung Kurniawan. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan. Halaman 20, dalam M. Misbahul Ulum. 2014. Wajah Syiah di Media Online: Analisis Isi Kuantitatif Pemberitaan Tentang Syiah di Portal Berita Detik.com dan Kompas.com pada tanggal 1 Januari Hingga 31 Desember 2013. Skripsi Strata 1 Ilmu Komunikasi UGM 2015 Yogyakarta. Diunduh dari www.etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail& act=view&typ=html&buku_id=78530&obyek_id=4 pada 29 Juli 2015 Pukul 17:37 WIB. Halaman 22. 30 Marshall McLuhan. 1999. Understanding Media: The Extension of Man. London: The MIT Press. Halaman 61. 14
perubahan produk media ke dalam bentuk digital. Interactivity merujuk pada kemampuan media baru memberikan ruang bagi pembacanya untuk melakukan komunikasi dua arah. Sedangkan, highly individuated menjelaskan adanya desentralisasi proses produksi dan distribusi pesan yang memicu pembacanya untuk aktif, misalnya kebutuhan log in untuk mengakses website tertentu. b. Jurnalisme Online Berita adalah laporan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang ingin diketahui oleh umum, dengan sifat-sifat aktual, terjadi di lingkungan pembaca, mengenai tokoh terkemuka, serta akibat peristiwa tersebut berpengaruh terhadap pembaca.31 Berita merupakan hasil konstruksi tertulis dari realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan.32 Berita berisi laporan mengenai peristiwa yang baru saja terjadi. Secara umum, Heri Winarko33 membedakan berita menjadi 7, yaitu: 1) Straightnews Umumnya diletakkan di halaman depan dan berisi informasi mengenai peristiwa yang dianggap penting untuk segera diketahui khalayak. Straightnews menonjolkan aktualitas informasi mengenai “apa” yang terjadi dan padat di bagian awal berita. 2) Softnews Softnews menonjolkan sisi unik dari sebuah peristiwa sehingga menarik untuk diliput. Di sini pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” lebih dieksplorasi.
31
Nancy Nasution dalam Basuki Maryono.1983. Teknik Mencari dan Menulis Berita. Jakarta: Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof.Dr.Moestopo. Halaman 1, dalam Ana Nadhya Abrar. 2005. Penulisan Berita. Edisi ke-2.Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. Halaman 3. 32 Ibid. 33 Heri Winarko. 2000. Mendeteksi Bias Berita. Yogyakarta: Kajian dan Layanan Informasi untuk Kedaulatan Rakyat. Halaman 27-33. 15
3) Reportase Sama seperti softnews, reportase juga tidak mengandalkan aktualitas. Ia berisi tentang liputan kejadian yang menarik dan merupakan sebuah hasil dari penyelidikan wartawan. 4) Feature Feature atau berita kisah memuat tentang sebuah peristiwa yang menonjolkan human interest. Biasanya ia berisi tentang peristiwa, ide atau kisah tokoh yang berkaitan dengan nilai kemanusiaan dan atau mengandung pesan-pesan moral. 5) Tajuk rencana Merupakan tulisan dari redaktur yang berisi opini mengenai peristiwa atau fenomena yang sedang terjadi. 6) Artikel Opini Tulisan yang berisi tanggapan mengenai persoalan-persoalan aktual. Ia bisa ditulis oleh siapa pun, namun tentu sebelum dimuat akan diperiksa terlebih dulu oleh bagian redaksi. 7) Surat Pembaca Tulisan kiriman pembaca berkaitan dengan persoalan yang baru saja atau sedang berlangsung. Informasi yang dimuat dalam berita harus faktual. Untuk menjaga kebenaran informasi dalam berita, terdapat batasan-batasan yang harus dipatuhi oleh para pembuat berita. Indonesia sendiri memiliki tiga batasan resmi pemberitaan, yaitu Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan Code of Conduct yang dimiliki media pers.34 Kode Etik Jurnalistik dikeluarkan oleh asosiasi profesi wartawan, sehingga sanksi pelanggaran diberikan oleh asosiasi terkait dan hukumannya pun lebih bersifat moral. Code of Conduct, sementara itu, diterbitkan oleh media pers, sehingga sanksi yang diberikan lebih keras dibandingkan Kode Etik Jurnalistik, misalnya seperti pemberhentian kerja. 34
Ana Nadhya Abrar. Op.Cit. Halaman 15. 16
Terkenalnya World Wide Web merangsang berita online untuk muncul ke permukaan pada pertengahan tahun 1990-an. Di Indonesia sendiri media online mulai berkembang pada tahun 1998, diawali dengan kemunculan detik.com. Berita online kala itu disajikan dalam 2 bentuk, cetak dan rekaman. Tingginya angka pengguna internet yang bahkan mencapai 88,1 juta pada tahun 2014 lalu semakin merangsang pertumbuhan media online. Yang menarik adalah bahwa sebagian besar dari pengguna internet tersebut mengakses portal berita online baik langsung melalui laman portal berita maupun melalui search engine. Kelebihan dari berita online itu sendiri, seperti yang dikatakan Salwen35, terletak pada informasinya yang aktual karena selalu diperbaharui
secara
berkelanjutan
(continuous
updates),
memiliki
interaktivitas, hypertext, dan multimedia. Akan tetapi adu cepat dalam pemberitaan di media online membawa implikasi serius mengenai akurasi. Demi mengejar kecepatan, wartawan menjadi kurang akurat dalam memaparkan fakta dalam berita. Seringkali berita juga disampaikan secara tidak berimbang, yang menyebabkan pemaparan informasi hanya dari satu sisi. Seperti yang dimuat dalam Tempo.co, jumlah pengaduan terkait pelanggaran oleh media online yang masuk ke Dewan Pers pada tahun 2013 silam mencapai 98 pengaduan dari total 500 kasus. Dari 98 pengaduan tersebut 76% di antaranya merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Sedangkan mengenai keberimbangan sendiri sudah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, yaitu pada pasal 3. Bahwa “wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”. Berimbang yang dimaksud di sini, sebagaimana
35
Michael B. Salwen, Bruce Garrison, dan Paul D. Driscoll. 2005. Online News and The Public. Routledge Communication Series. Routledge. Halaman 258, dalam M. Misbahul Ulum. Op.Cit. Halaman 26. 17
yang dijelaskan dalam penafsiran pasal 3 adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. Judul yang bersifat rahasia, dramatis, lugas, unik, menonjolkan konteks, deskriptif naratif dan sedikit sensasional sengaja digunakan untuk menarik perhatian pembaca.36 Menjamurnya portal berita online menciptakan persaingan baru dalam menarik perhatian pembaca. Di antaranya adalah dengan membuat judul yang terkesan bombastis, selayaknya koran kuning. Hal tersebut wajar dalam industri berita online, selama isi berita masih akurat, tidak dimanipulasi. 5. Media Lokal Dalam Seminar Nasional Being Local in National Context: Understanding Local Media and Its Struggle di Universitas Kristen Petra, Surabaya 14 Oktober 2002 lalu, Ashadi Siregar37 membagi media ke dalam tiga wilayah, yaitu nasional, regional, dan lokal. Berikut merupakan 5 karakteristik media massa lokal menurut Noveri dkk38: a) Dikelola oleh organisasi yang berasal dari masyarakat setempat. b) Media massa lokal mengacu dan menyesuaikan diri pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat setempat.
36
Pepih Nugraha dalam Pupung Arifin. Jebakan Judul Media Massa Online. Fisip.uajy.ac.id. Diunggah 13 November 2012. Diakses dari http://www.fisip.uajy.ac.id/2012/11/17/jebakan-judul-media-massa-online/ pada 25 Februari 2016 Pukul 15:40 WIB. 37 Ashadi Siregar. 2002. Makalah Seminar Nasional Being Local in National Context: Understanding Local Media and Its Struggle di Universitas Kristen Petra. Universitas Kristen Petra Surabaya 14 Oktober 2002. Diunduh dari http://www.ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/perkembanganmedia-cetaklokal.pdf pada 4 Agustus pukul 10:21 WIB. Halaman 68. 38 Noveri dkk. 2005. Peranan Media Massa Lokal Bagi Pembinaan Dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Sumatra Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 18
c) Isi media sangat mementingkan berita-berita mengenai berbagai peristiwa, kegiatan, masalah, dan personalia/tokoh-tokoh pelaku masyarakat setempat. d) Khalayak media massa lokal adalah masyarakat yang berada satu wilayah dengan wilayah pengelolaan media tersebut. e) Khalayak media massa lokal biasanya terdiri dari masyarakat yang kurang bervariasi secara struktur dan strata sosial karena berada di cakupan wilayah yang terbilang lebih sempit dan sama jika dibandingkan karakteristik khalayak media massa nasional. Media lokal memiliki potensi untuk mengobarkan kepentingan jangka pendek daerahnya, oleh karena media lokal menyokong nasionalisme kesukuan dan primordialisme lokal. Meskipun tekanan pasar dan kepentingan kekuasaan seringkali memperkeruh proses dan wajah liputan pers lokal. Regulasi mengenai penyelenggaraan Stasiun Lokal sendiri sudah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yaitu pada pasal 6 ayat (3) bahwa: Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal.39 Dan pasal 31 ayat (5): Stasiun penyiaran lokal dapat didirikan di lokasi tertentu dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan wilayah jangkauan siaran terbatas pada lokasi tersebut.40 Meskipun yang dimaksud status penyiaran lokal dalam UU tersebut masih merujuk kepada media elektronik, khususnya televisi. Karena memang sejauh ini Indonesia belum memiliki kebijakan khusus untuk mengatur media berbasis internet. Sehingga dewasa ini, media online Indonesia masih ikut regulasi pers secara umum yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 mengenai Pers.
39
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Halaman 5. Ibid. Halaman 13.
40
19
F. Operasionalisasi Konsep 1. Konstruksi Realitas Konsep konstruksi realitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah penjelasan yang disampaikan oleh Peter L. Berger41 dalam proses dialektisnya. Dalam proses eksternalisasi wartawan menceburkan dirinya untuk memaknai isu “Dialog Jakarta-Papua”. Konsepsi tentang fakta diekspresikan untuk melihat isu. Latar belakang personal dan profesional, ideologi serta pengalaman wartawan kemudian digunakan sebagai landasan untuk memaknai “Dialog Jakarta-Papua” (objektivasi), yang kemudian diwujudkan dalam teks berita (internalisasi). Berita dalam pandangan konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta yang dipindahkan ke dalam bentuk teks. Berita adalah produk dari proses interaksi dan dialektika tersebut. Semua proses konstruksi memberi andil bagaimana isu “Dialog Jakarta-Papua” hadir di hadapan khalayak. 2. Konflik Separatis Di sini peneliti akan menggunakan teori konflik separatis menurut Metta Spencer42, dimana ia menjabarkan 7 faktor utama alasan separatisme dari sisi politik-nasionalis yaitu: (a) emotional resentment; (b) the justified resistance of victims; (c) propaganda orchestrated for political gain; (d) power of a dominant ethnic group; (e) economic motivations; (f) preservation of a threatened culture; (g) commitment to modernization. Gerakan separatisme di Papua sendiri ditandai dengan kemunculan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada tahun 1963 sesaat setelah Papua bergabung dengan Indonesia. 3. Posisi Media dalam Isu Konflik Mengenai posisi media dalam menghadapi isu konflik, penelitian ini menggunakan penjelasan secara teoritis mengenai fungsi media menurut Phillip J.
41
Peter L. Berger dan Thomas Luckman. 1967. The Social Construction of Reality. Garden City, NJ: Anchor. Halaman 58, dalam Eriyanto. Op. Cit. Halaman 13. 42 Metta Spencer (1998) dalam Jacobus Perviddya Solossa. Op.Cit. Halaman 18. 20
Tichenor43 dikaitkan dengan isu “Dialog Jakarta-Papua”, yaitu sebagai issue intensifier, conflict diminisher, dan conflict resolution. Isu “Dialog Jakarta-Papua” hadir sebagai sarana penyelesaian konflik Papua yang kemunculannya pun menimbulkan konflik baru antara pihak-pihak yang bertikai dalam konflik Papua. Sehingga cara Majalah Selangkah Online memberitakan isu “Dialog JakartaPapua” akan menentukan bagaimana sikap media ini terhadap isu tersebut, apakah mempertajam, memediasi konflik, atau justru mengalihkan isu dari perhatian publik. 4. New Media dan Jurnalisme Online Konsep media online yang digunakan adalah definisi media online menurut Ashadi Siregar.44 Media online, dalam hal ini Majalah Selangkah Online, merupakan sebuah media yang berbasis telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet), dimana di dalamnya terdapat portal, website, radio online dan lain sebagainya. Sementara untuk macam berita yang diteliti di sini adalah macam-macam berita menurut Hery Winarko45, yaitu: Straightnews, Softnews, Reportase, Feature, Tajuk Rencana, Artikel, Opini, dan Surat Pembaca. Untuk konsep berita yang digunakan dalam penelitian ini adalah penjelasan yang menurut Ana Nadhya Abrar46 bahwa berita merupakan hasil konstruksi tertulis dari realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan. Hal ini sejalan dengan pandangan teori komunikasi massa bahwa berita dipahami sebagai hasil konstruksi atas sebuah realitas, yaitu “Dialog Jakarta-Papua”. Hanya saja dalam hal ini berita tersebut disampaikan secara online, yaitu melalui Majalah Selangkah Online.
43
Phillip J. Tichenor, et.al. 1980. Community Conflict and The Press. London: Sage Publications. Halaman 119, dalam Iwan Awaluddin Yusuf. 2010. Op.Cit. 44 Ashadi Siregar dalam Agung Kurniawan. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan. Halaman 20, dalam M. Misbahul Ulum. Op.Cit. Halaman 22. 45 Heri Winarko. Op.Cit. Halaman 27-33. 46 Ana Nadhya Abrar. Op.Cit. Halaman 2. 21
5. Media Lokal Media lokal dalam penelitian ini adalah media yang dikelola di daerah lokal, oleh orang-orang lokal, mengenai permasalahan lokal. Majalah Selangkah Online merupakan media yang dikelola oleh orang Papua, di Papua, tepatnya di Nabire, yang isinya mengulas masalah lokal, dalam hal ini adalah isu “Dialog Jakarta-Papua”. Kriteria tersebut sesuai dengan yang tertera pada poin 1, 2, dan 3 karakteristik media massa lokal menurut Noveri dkk47: a) Dikelola oleh organisasi yang berasal dari masyarakat setempat. b) Media massa lokal mengacu dan menyesuaikan diri pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat setempat. c) Isi media sangat mementingkan berita-berita mengenai berbagai peristiwa, kegiatan, masalah, dan personalia/tokoh-tokoh pelaku masyarakat setempat.
G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan di sini adalah metode analisis isi kualitatif. Menurut Neuendorf48, analisis isi merupakan suatu analisis mendalam yang dapat menggunakan teknik kuantitatif maupun kualitatif terhadap pesanpesan yang menggunakan metode ilmiah dan tidak terbatas pada jenis-jenis variabel yang dapat diukur atau konteks tempat pesan-pesan diciptakan. Objek analisis isi kualitatif dapat berupa semua jenis informasi yang terdokumentasi, baik dalam bentuk video, cetak, maupun audio. Metode penelitian ini tidak hanya mengamati isi pesan, tetapi juga memberikan analisis mendalam terhadap data tentang isi tersebut tanpa mengkaitkannya dengan politik.
47
Noveri dkk. Op.Cit. Kimberly E. Neuendorf. 2002. The Content Analysis Guide Book. Sage: Thousand Oaks, dalam Syukur Kholil. 2006. Metodologi Penelitian. Bandung: Citapusaka Media. Halaman 16. 48
22
Dalam penerapannya, analisis isi digunakan untuk mendeskripsikan isi pesan. Metode ini dapat digunakan untuk mencirikan dan mendeskripsikan isi pesan yang disajikan media massa. Melalui metode ini kita dapat mengetahui bagaimana kecenderungan cara sebuah media massa dalam membingkai isu tertentu.49 Analisis isi kualitatif, di sisi lain, merupakan suatu analisis isi yang lebih mendalam dan detail untuk memahami produk isi media dan mampu menghubungkannya dengan konteks sosial atau realitas yang terjadi sewaktu pesan dibuat.50 Metode ini percaya bahwa simbol, apa pun bentuknya, adalah produk sosial dan budaya masyarakat. Dalam
penelitian
ini,
analisis
isi
kualitatif
digunakan
untuk
mendeskripsikan isi pemberitaan mengenai isu “Dialog Jakarta-Papua” oleh Majalah Selangkah Online. Penelitian ini mengunakan metode analisis isi kualitatif karena peneliti ingin melihat bagaimana konstruksi isu “Dialog JakartaPapua” dalam pemberitaan-pemberitaan di Majalah Selangkah Online secara netral tanpa mengaitkannya secara khusus ke segi politik. 2. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah berita-berita yang berkaitan dengan isu “Dialog Jakarta-Papua” yang dimuat di Majalah Selangkah Online periode Mei 2014 – Mei 2015 dalam bentuk berita apa pun. Peneliti kemudian menyeleksi berita yang relevan dengan melihat topik pemberitaan yang meyinggung isu “Dialog JakartaPapua”. Topik pemberitaan Majalah Selangkah Online dapat dilihat melalui link hashtag (#) yang tercantum di setiap akhir berita. Sedangkan periode dipilih berkenaan dengan pelantikan Menteri Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 27 Oktober 2014. Dari pengamatan sepintas yang dilakukan peneliti, tampak bahwa terjadi peningkatan jumlah pemberitaan terkait Isu “Dialog Jakarta-Papua” yaitu 49
Nunung Prajarto. 2010. Analisis Isi Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: FISIPOL UGM. Halaman 11-18. 50 Rachmat Kriyantono. 2008. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana. Halaman 249. 23
sebanyak lebih dari dua kali lipat, berkenaan dengan pelantikan Menteri Kabinet Kerja tersebut. Yaitu 8 berita selama 6 bulan sebelum pelantikan dan 19 berita selama 6 bulan setelah pelantikan. Hal tersebut kemudian mendasari pemilihan periode penelitian ini. 3. Model Penelitian Berikut merupakan model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini:
Gambar 1.7.1 Model Penelitian Konstruksi Isu “Dialog Jakarta-Papua” oleh Majalah Selangkah Online Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan Majalah Selangkah Online adalah media lokal Papua yang dikelola oleh orang Papua, penyebaran informasinya
menggunakan
portal
berita
berbasis
internet
di
www.majalahselangkah.com, sehingga ia tergolong media online. Sementara isu “Dialog Jakarta-Papua” adalah permasalahan lokal Papua yang disoroti. Media dipahami sebagai agen konstruksi, sehingga hal tersebut kemudian menempatkan Majalah Selangkah Online sebagai agen konstruksi isu “Dialog Jakarta-Papua”. Berita-berita terkait isu “Dialog Jakarta-Papua” menjadi hasil konstruksi Majalah Selangkah Online terhadap isu tersebut.
24
4. Unit Kajian Unit kajian merupakan sesuatu yang berkaitan dengan fokus atau komponen yang diteliti, dan dapat berupa individu, kelompok, organisasi, benda, wilayah, dan waktu tertentu sesuai fokus permasalahan yang diteliti.51 Unit kajian menjadi suatu acuan manifes yang mengajari peneliti untuk tidak menerka-nerka hal yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam unit yang dianalisis. 52 Dalam penelitian ini, Majalah Selangkah Online menjadi unit yang dianalisis sementara seluruh pemberitaan mengenai isu “Dialog Jakarta-Papua” akan menjadi unit yang dikaji. Tabel 1.7.1 Unit Analisis Unit Kajian
Kategori
Deskripsi Operasional
A. Teknis 1. Judul Berita
Kesesuaian Judul
Bagaimana
kesesuaian
judul
dengan isi berita, apakah judul berita mewakili isi atau tidak. 2. Ilustrasi Visual Berita
Foto
Bagaimana berita diilustrasikan,
Bagan
dan
Grafik
diilustrasikan,
...
bentuk foto, bagan, grafik, atau
dalam
bentuk
apa
apakah
ia
dalam
dalam bentuk lain. 3. Sumber Berita
Narasumber
Peneliti menjadi
melihat
siapa
narasumber
yang berita,
instansi apa yang ia wakili, atau darimana
narasumber
tersebut
berasal.
51
Imam Suprayogo. 2001. Metode Penelitian Sosial Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya. Halaman 49. 52 Nunung Prajarto. Op. Cit. Halaman 49. 25
4. Tipe Liputan
One side coverge
Bagaimana
Two side coverage
apakah
Multi side coverage
disampaikan memuat one side
berita
disajikan,
informasi
yang
coverage, two side coverage atau bahkan multi side coverage; serta dari sisi mana berita tersebut ditulis. 5. Update Continuity
Kecepatan Update Berita
Peneliti melihat seberapa cepat pembaruan
berita
terkait
isu
“Dialog Jakarta-Papua”, sebagai salah
satu
pemberitaan dikaitkan
di
karakteristik media
dengan
online
pelantikan
Jokowi-JK. B. Substansi 1. Eksplorasi Konsep “Dialog Jakarta-Papua”
Pendefinisian Konsep “Dialog Jakarta-Papua” Penyebutan “Dialog Jakarta-Papua”
Peneliti melihat bagaimana konsep “Dialog
Jakarta-Papua”
didefinisikan dalam berita. Selain itu
juga
dilihat
mengenai
penyebutannya, apakah terdapat sebutan lain atau tidak. 2. Kecenderungan
Dukung “Dialog
Peneliti
melihat
bagaimana
Pernyataan
Jakarta-Papua” dengan
kecenderungan Majalah Selangkah
terhadap Isu
syarat
Online menyikapi isu “Dialog
“Dialog Jakarta- Dukung “Dialog
Jakarta-Papua”,
Papua”
Jakarta-Papua” tanpa
mendukung atau menolak. Jika
syarat
mendukung apakah bersyarat atau
Tentang “Dialog
tidak
bersyarat;
apakah
jika
menolak
Jakarta-Papua” dan
apakah menawarkan solusi lain
memberi solusi lain
atau tidak.
26
Tentang “Dialog Jakarta-Papua” tanpa solusi lain 3. Pihak yang disudutkan
Pemerintah
Peneliti melihat pihak mana yang
OPM
disudutkan
Militer
Selangkah
oleh Online
Majalah terkait
isu
”Dialog Jakarta-Papua”, apakah pemerintah, OPM, militer, atau pihak
lain,
dan
bagaimana
argumennya. 4. Materi Berita
Konsep “Dialog Jakarta-Papua” Latar Belakang “Dialog Jakarta-Papua” Agenda
Dalam unit kajian ini yang dilihat adalah
mengenai
materi
yang
ditampilkan dalam berita. Bagian mana dari isu “Dialog JakartaPapua” yang diangkat, apakah
Penyelenggaraan
mengenai konsep; latar belakang;
“Dialog Jakarta-Papua”
agenda atau desakan untuk segera
Desakan untuk
menyelenggarakan dialog.
Menyelenggarakan “Dialog Jakarta-Papua” Issue Intensifier
Di sini peneliti melihat bagaimana
Selangkah
Conflict Diminisher
kecenderungan Majalah Selangkah
Online dalam
Conflict Resolution
Online
5. Posisi Majalah
Konflik
memperlakukan
isu
“Dialog Jakarta-Papua”, apakah ia cenderung menonjolkan isu, atau menghilangkan isu dari perhatian publik,
atau
apakah
ia
memposisikan diri secara netral.
27
5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumentasi. Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan sumbersumber berbentuk dokumen yang potensial dan berkaitan langsung dengan penelitian. Di sini, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah berita-berita terkait isu “Dialog Jakarta-Papua” yang muncul di Majalah Selangkah Online selama satu tahun yaitu pada periode Mei 2014 hingga Mei 2015. 6. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis induktif dan deskriptif. Di sini peneliti menjelaskan data-data yang berhasil dikumpulan melalui studi dokumentasi dan studi kepustakaan. Sementara dalam proses perumusan simpulan peneliti mendasarkan pemikirannya pada datadata tersebut.
28