BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Milenium atau lebih dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs) merupakan paradigma pembangunan global, dideklarasikan di Konferensi Tingkat Tinggi Milenium oleh 189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat pada bulan September 2000. Dasar hukum pendeklarasian MDGs adalah Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/2 Tanggal 18 September 2000. Terdapat 8 tujuan global yang harus dilaksanakan oleh negara-negara berkembang,
dan
negara-negara
maju
berkewajiban
membantu
pelaksanaan MDGs sampai tahun 2015 yaitu: menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan membangun kemitraan global untuk pembangunan (BPS, 2010). Di Indonesia, sektor kesehatan mendapatkan porsi yang besar dalam menentukan keberhasilan pencapaian MDGs, yaitu terkait tujuan keempat: menurunkan angka kematian anak, kelima: meningkatkan kesehatan ibu, dan keenam: memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya. Ini terlihat dari penetapan prioritas pembangunan nasional jangka menengah tahun 2010-2014 melalui Peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 untuk sektor kesehatan, yaitu: 1). Pelaksanaan program kesehatan preventif terpadu yang meliputi pemberian imunisasi dasar kepada 90% balita pada 2014, 2). Penurunan tingkat kematian ibu saat melahirkan dari 307 per 100.000 kelahiran pada 2008 menjadi 118 pada 1
2
2014, serta tingkat kematian bayi dari 34 per 1.000 kelahiran pada 2008 menjadi 24 pada 2014, 3). Peningkatan kualitas dan jangkauan layanan KB melalui 23.500 klinik pemerintah dan swasta selama 2010-2014, 4). Ketersediaan dan peningkatan kualitas layanan rumah sakit berakreditasi internasional di minimal 5 kota besar di Indonesia dengan target 3 kota pada 2012 dan 5 kota pada 2014, 5). Penerapan asuransi kesehatan nasional untuk seluruh keluarga miskin dengan cakupan 100% pada 2011 dan diperluas secara bertahap untuk keluarga Indonesia lainnya antara 2012-2014. Kementerian Kesehatan di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan 2005-2025 memberikan perhatian khusus pada penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), serta masyarakat miskin dalam upaya mencapai target MDGs. Pemerintah juga mengklaim telah melakukan strategi-strategi dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan kesehatan seperti meningkatkan pembiayaan kesehatan, pemenuhan sumber daya tenaga kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan dengan sektor swasta. Kenyataan di lapangan indikator penyelenggaraan KIA menunjukkan perbaikan yang tidak bermakna. Angka Kematian Ibu (AKI) masih tinggi, terlebih lagi data AKI di Indonesia masih menjadi perdebatan. Tahun 2009, secara serentak Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Pasifik (United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific-UNESCAP), Program Pembangunan PBB (United Nations Development ProgrammeUNDP), Organisasi Dana PBB untuk Kependudukan (The United Nations Population Fund-UNFPA), dan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO) menyatakan bahwa telah terjadi kenaikan AKI melahirkan dari 307 per 100.000 kelahiran hidup menjadi 420 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu data nasional yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) di tahun 2009 menunjukkan bahwa AKI di Indonesia justru mengalami penurunan dari 307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002-2003, dan menjadi 228
3
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009. Meskipun angka perhitungan nasional tersebut menunjukkan tren penurunan, Bappenas mengisyaratkan bahwa Indonesia akan sulit mencapai target MDGs untuk menurunkan AKI sampai ke angka 102 pada tahun 2015 atau sebesar tiga perempatnya
antara
tahun
1990-2015
(BPS,
2010).
Bappenas
memperkirakan bahwa pada tahun 2015, AKI di Indonesia masih akan berkisar di angka 163. Indonesia tertinggal jauh dari Malaysia dan Thailand dengan AKI masing-masing 30 dan 243. Kesulitan pencapaian penurunan AKI secara tidak langsung terkait juga dengan komitmen pemerintah. Terbukti di dalam dokumen Instruksi Presiden RI mengenai Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010 tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai strategi-strategi dalam memperbaiki pencapaian indikator-indikator KIA. Keberhasilan penyelenggaraan program KIA ditentukan oleh banyak faktor. Tinjauan faktor-faktor individual pemanfaatan layanan KIA oleh masyarakat telah banyak diteliti, meliputi seberapa luas cakupan program KIA dapat dijangkau oleh masyarakat atau besar daya aksesnya. Daya akses ini tidak semata-mata ditentukan oleh jarak ke fasilitas layanan kesehatan, tetapi juga dipengaruhi oleh pembiayaan terkait dengan status sosioekonomik, seberapa mampu masyarakat membiayai diri untuk mendapatkan layanan KIA; juga dipengaruhi pandangan masyarakat terhadap ketersediaan layanan yang berkualitas (Mpenbeni et al., 2007), yang
berimplikasi
kepada
seberapa
jauh
keinginan
masyarakat
berkunjung ke fasilitas layanan. Faktor eksternal di luar sektor pelayanan kesehatan formal seperti keberadaan dukun beranak dan tingkat pendidikan masyarakat juga turut berpengaruh dengan keberhasilan penyelenggaraan KIA (Becker et al., 1993). Faktor-faktor individual yang mempengaruhi penggunaan layanan KIA oleh masyarakat tidak begitu saja dapat disalahkan. Faktor-faktor ini bahkan cenderung sulit diubah bila tidak melihat permasalahan secara sistemik. Disparitas yang terjadi sebenarnya merupakan akibat sistemik
4
dari
kurangnya
kemampuan
dan
komitmen
pemerintah
dalam
menyediakan pusat-pusat layanan KIA. Keterbatasan pemerintah dalam penyelenggaraan
layanan
merupakan
kendala
sendiri
di
dalam
memodifikasi faktor-faktor individual. Padahal di dalam penyelenggaraan layanan KIA, terdapat banyak sektor berupa lembaga dan perorangan yang terlibat. Sektor swasta seperti rumah sakit (RS) swasta memiliki peran tersendiri di dalam memberi layanan KIA. Peran swasta ini tidak dapat begitu saja diabaikan karena jumlah RS swasta semakin meningkat secara bermakna dan kecepatan pertambahannya lebih besar dari pada pertambahan RS pemerintah. Di Kabupaten Sleman sendiri, jumlah RS swasta jauh lebih besar dari jumlah RS Pemerintah. Data dari Profil Kesehatan Kabupaten Sleman 2008 menunjukkan terdapat 7 RS swasta di Kabupaten Sleman, sedang jumlah RS pemerintah 2 buah dan 1 buah RS milik TNI (Dinkes Sleman, 2008). Pada Gambar 1 terlihat bahwa jumlah tenaga medis dokter secara keseluruhan lebih banyak di RS swasta.
Gambar 1. Jumlah Tenaga Medis Dokter dan Dokter Gigi di Kabupaten Sleman Tahun 2006 Sumber: Dinkes Sleman, 2008
5
Pemerintah perlu kembali menyadari bahwa perbaikan indikator KIA seperti AKI juga sangat dipengaruhi oleh jumlah dan penyebaran fasilitas persalinan yang baik dan penolong persalinan yang berkompeten sehingga seorang ibu hamil, melahirkan, dan pasca melahirkan dipastikan tidak menjadi penyumbang kenaikan AKI. Gambar 2 menunjukkan variasi tempat ibu melahirkan dan siapa penolongnya. Empat puluh enam persen kelahiran dalam lima tahun sebelum survei dilaksanakan terjadi di fasilitas kesehatan, 10 persen melahirkan di fasilitas umum (rumah sakit atau pusat kesehatan pemerintah), dan 36 persen melahirkan di fasilitas swasta (rumah sakit swasta, klinik, dokter/bidan praktik swasta) (SDKI, 2007).
Gambar 2. Tempat Persalinan dan Penolong Persalinan dengan Kualifikasi Terendah di Indonesia Tahun 2007 Sumber: Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007 Pelayanan KIA di rumah sakit berdasarkan Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 2008 meliputi: pelayanan gawat darurat, rawat jalan, rawat inap kebidanan, persalinan normal dan persalinan dengan penyulit, persalinan dengan tindakan operasi, perinatologi, pelayanan bayi berat lahir rendah,
6
keluarga berencana, dan pelayanan keluarga miskin di unit kebidanan (Depkes, 2008). Proses akreditasi RS oleh Kementerian Kesehatan sebagai salah satu syarat dalam pengurusan, perpanjangan izin, dan penetapan kelas merupakan jaminan awal untuk menciptakan layanan KIA yang berkualitas. Rumah Sakit Islam Yogyakarta PDHI (RSIY PDHI) adalah rumah sakit swasta
nirlaba
Persaudaraan
yang
dibangun
Djama’ah
Haji
dan
didirikan
Indonesia
oleh
Perkumpulan
(PDHI).
Operasional
pembangunannya diamanahkan kepada panitia pembangunan yang dibentuk pada tanggal 1 Oktober 1992. Panitia ini dipimpin oleh Rusdi Lamsudin. Saat itu RSIY PDHI masih berstatus Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin (BPRB) yang kemudian diresmikan pada tanggal 2 Agustus 1997. Rumah sakit ini memiliki layanan kesehatan umum dan emergensi, obstetri dan ginekologi, kesehatan anak, penyakit dalam, penyakit jantung, penyakit paru, bedah umum, bedah ortopedi, bedah urologi, bedah mulut, penyakit saraf, penyakit mata, penyakit kulit dan kelamin, anestesi, radiologi, laboratorium patologi klinik, kesehatan gigi, penyakit
telinga-hidung-tenggorokan-kepala-leher,
gizi,
farmasi,
dan
rehabilitasi medik. Kegiatan KIA yang dilayani di RSIY PDHI adalah pelayanan antenatal bagi ibu hamil, penanganan kelahiran normal dan kelahiran dengan penyulit, kuretase, bedah sesar, pelayanan imunisasi, pelayanan KB, perawatan bayi berat lahir rendah, konsultasi tumbuh kembang anak, konsultasi gizi, serta pelayanan kuratif penyakit anak dan kandungan lainnya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di latar belakang penelitian, disusunlah perumusan masalah: Bagaimana peran serta RS swasta dalam program KIA pemerintah.
7
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengeksplorasi dan memahami peran serta RS swasta (RSIY PDHI) di dalam program KIA pemerintah, menggunakan metode kualitatif dengan rancangan studi kasus. Tujuan khusus penelitian ini untuk mengeksplorasi kelayakan RS swasta sebagai penyedia layanan KIA. D. Manfaat Penelitian 1. Pengembangan Teori Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya teori-teori mengenai
peran
serta
RS
swasta
terhadap
program-program
kesehatan pemerintah secara umum dan program KIA secara khusus. 2. Perumusan Kebijakan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan meningkatkan kepahaman
pihak
yang
berkepentingan
(stakeholder)
dalam
merumuskan kebijakan dan program di sektor kesehatan khususnya KIA agar mencapai hasil yang optimal. 3. Aplikasi Lapangan Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan kepahaman RS swasta sebagai salah satu komponen penting di sektor kesehatan
untuk
menyukseskan
pembangunan
kesehatan
di
Indonesia. E. Keaslian Penelitian Penelitian pengenai peran serta sektor swasta di dalam program KIA pemerintah telah cukup banyak dilakukan terutama di negara-negara berkembang lain seperti Afrika Selatan, India, Pakistan, dan Thailand. Di Kerala, India, Dilip (2008) mengolah data sekunder antara tahun 19862004
untuk
mengeksplorasi
peran
RS
swasta,
mengetahui
karakteristiknya, dan ekuitas dalam mengakses layanannya. Penelitian ini tidak mengikutsertakan kasus KIA seperti kehamilan dan kelahiran bayi.
8
Dilip (2008) menemukan durasi rawat inap di RS swasta jauh lebih singkat dari RS pemerintah, ini juga dikaitkan dengan kecenderungan masyarakat memilih swasta, tanpa melihat status ekonominya, untuk rawat inap kasus-kasus penyakit akut, tetapi lebih memilih rawat inap di RS pemerintah bila menderita penyakit kronis seperti kanker yang memang mahal biayanya. Dilip (2008) juga menemukan komponen amal (fungsi sosial) RS swasta yang notabene berlabel RS amal menjadi hilang. Di Indonesia penelitian sejenis masih sangat jarang ditemukan. Terdapat penelitian tentang rumah sakit swasta yaitu analisis kebijakan tentang fungsi sosial rumah sakit swasta di Surakarta, Jawa Tengah oleh Ging (1995), meneliti masalah peran RS swasta sebagai rujukan, pemanfaatan RS swasta oleh masyarakat miskin yang masih sangat rendah, dan ketidakjelasan batasan fungsi sosial RS swasta. Penelitian Ging (1995) menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan menggali data primer dari responden melalui pengiriman pertanyaan tertulis, kemudian ditindaklanjuti dengan wawancara terstruktur untuk menggali informasi yang lebih dalam. Sehingga, sepengetahuan penulis belum ada penelitian di Indonesia yang secara khusus mengeksplorasi peran serta RS swasta dalam program KIA pemerintah.