BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur publik yang artinya hukum
pidana mengatur hubungan
antara
warga dengan negara dan
menitikberatkan kepada kepentingan umum dan kepentingan publik. Menurut Pompe (dalam Teguh Prasetyo, 2010: 4) “Hukum Pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.” Dikenal ada dua konsep negara hukum yaitu rechtstaat dan common law. Konsep
negara
hukum
rechtstaat
dalam
proses
peradilannya
lebih
mengedepankan hukum tertulis untuk memberikan keputusan terhadap suatu tindak pidana. Sedangkan dalam konsep negara hukum common law lebih mengedepankan keadilan dalam memberikan keputusan terhadap tindak pidana. Dalam hukum pidana Indonesia menggunakan dua perpaduan konsep negara hukum tersebut. Hal itu dapat dilihat dari Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.” Yang mencerminkan konsep negara hukum rechtstaat, sedangkan konsep negara hukum common law dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berisi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukm dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum.Terdapat dua cara pandang dalam membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, yakni pandangan pertama yang melihat adanya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dari perbedaan kualitatif. Dalam pandangan perbedaan kualitatif antara kejahatan dan
1
2
pelanggaran dikatakan bahwa kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatanperbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentantangan
dengan
tata
hukum.
Pelanggaran
sebaliknya
adalah
“wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Pandangan kedua yakni pandangan yang menyatakan bahwa hanya ada perbedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana) antara kejahatan dan pelanggaran (Moeljatno, 2002: 71-72). Hukum memiliki fungsi dalam melindungi kepentingan manusia dan sebagai sarana kontrol sosial masyarakat serta bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. “Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum” (Sudikno Mertokusumo, 2008: 77). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur semua peraturan serta sanksi atas semua tindak pidana. Tindak Pidana tidak hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa namun anak-anak pun dapat melakukan tindak pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum memberikan perlindungan terhadap anak yang menjadi subjek hukum atas delik pidana, karena dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ditujukan untuk “semua orang”. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengakomodir ketentuan pidana anak secara khusus. “Pengertian anak dalam konteks Hukum Pidana dikaitkan dengan pertanggungjawaban pidana dalam arti sampai seberapa jauh seorang anak dalam batasan usia tertentu dianggap mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya” (Ika Saimima, Jurnal Kajian Ilmiah Lembaga Penelitian Ubhara Jaya, 2008: 941). Anak adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa, belum mengalami masa pubertas atau yang belum dewasa karena peraturan tertentu
3
mental, fisik yang masih belum dewasa. Anak juga merupakan keturunan kedua, kata "anak" merujuk pada seorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita yaitu orang tua. “Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional kedepan” (Ediwarman, 2006: 8). Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat, dan hukum islam. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat (3) bahwa Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Apabila ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “Anak” dimata hukum positif
Indonesia
lazim
diartikan
sebagai
orang
yang
belum
dewasa
(minderjarig/person under age), orang yang dibawah umur/keadaan di bawah umur (minderjarigheid/inferiority) atau sering juga disebut dengan anak yang di bawah pengawasan wali
(minderjarige ondervoordij). Secara internasional
definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention on The Right of The Child Tahun 1989, Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights Tahun 1948 (Lilik Mulyadi, 2005: 3-4). Kasus hukum mengenai tindak pidana yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku maupun korban kejahatan memang membutuhkan penanganan khusus, mengingat sebagai subjek hukum, anak anak belum terikat hak dan kewajiban yang sepenuhnya mengikat. Anak-anak dianggap belum mampu menyadari akibat dan konsekuensi dari perbuatannya yang melanggar hukum dan memungkinkan terjadinya kerugian, disharmoni dan ketidakseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Mereka masih dalam tahap bermain, berkembang dan pencarian jati diri. Dinyatakan dalam salah satu pertimbangan
4
(konsiderans) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Oleh karena itu, ketentuan mengenai penyelengaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus. Maka dibuatlah Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai anak yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diperkenalkan jalur diversi yaitu, pengalihan penyelesaian perkara peradilan pidana ke luar peradilan. Jalur diversi merupakan jalur yang diutamakan untuk digunakan dalam penyelesaian perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Dengan digunakannya jalur diversi ini dimaksudkan untuk mencegah maupun mengurangi dampak buruk dan negatif yang akan didapat oleh anak dikarenakan sanksi maupun proses pengadilan yang ia alami. Jalur diversi merupakan pencerminan restorative justice yaitu keadilan yang restoratif dikembalikan kepada keadaan semula bukan dalam keadaan pembalasan. Restorative Justice dilaksanakan untuk mencapai keadilan restroatif. Restorative Justice memiliki prinsip yang berbeda dengan model peradilan konvensional. Restorative Justice mempunyai prinsip-prinsip (Angkasa, 2009: 3) sebagai berikut: 1. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahan pelaku; 2. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga, sekolah, dan teman sebaya; 3. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah; 4. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi social yang formal.
5
Menurut Kenneth Polk (dalam Juvenile Diversion in Australia: A National Review, 2003: 2) Diversion as program and practices which are employed for young people who have initial contact with the police, but are diversted from the traditional juvenile justice processes before children's court adjudication. Bahwa dari pendapat tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut, diversi adalah suatu program dan latihan-latihan yang diajarkan bagi anak-anak yang mempunyai urusan dengan polisi, sebagai pengalihan dari proses peradilan anak seperti biasanya, sebelum diajukan ke pemeriksaan pengadilan. Mengingat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu diganti dengan undangundang baru. Terjadinya perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat masa penyesuaian atau masa sosialisasi yang disebut sebagai masa transisi. Masa transisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah 2 (dua) tahun sejak tanggal diundangkan pada tanggal 30 Juli 2012, berarti akan diberlakukan secara nasional pada tanggal 30 Juli 2014. Selama masa transisi tersebut diatur dalam Pasal 106 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada saat mulai berlaku maka Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Masih dalam masa transisi tersebut terjadi sebuah tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak yang terjadi di daerah Kepulauan Bali. Kasus tersebut terdapat seorang anak berumur 17 tahun 7 bulan yang menjadi seorang Terdakwa kasus tindak pidana anak. Terdakwa Anak melakukan perbuatan pidana yaitu menjadi perantara jual-beli (Kurir) Narkoba seberat 1,22 Gram yang berupa Kristal Bening Shabu yang masuk pada Golongan I menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Terdakwa Anak dinyatakan hanya sebagai kurir karena dalam tahapan pemeriksaan urine Terdakwa Anak dinyatakan
6
bebas dan bersih dari narkoba. Dalam kasus tersebut yang digunakan sebagai pertimbangan hakim adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penerapan undang-undang tersebut lebih meringankan terdakwa sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (2) Kitab UndangUndang Hukum Pidana yaitu “bilamana ada perubahan dalam perundangundangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.” Terdapat beberapa perbedaan dalam acara pemeriksaan Terdakwa Anak dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebagai salah satu contoh perbedaannya hakim harus mendengarkan memastikan bahwa Terdakwa Anak didampingi oleh Orang Tua/Wali, Penasihat Hukum/Advokat/ Lembaga Bantuan Hukum dan Pembimbing Kemasyarakatan. Selain itu dalam mengadili kasus tindak pidana anak hakim yang digunakan adalah hakim anak tunggal sehingga peran hakim dalam memutus suatu perkara tindak pidana anak sangatlah penting. Demikian juga mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap Terdakwa Anak
lebih bervariasi mengacu
pada tujuan
keadilan restoratif yaitu mengembalikan kepada keadaan semula sebelum terjadinya tindak pidana antara lain dapat dengan perdamaian mengganti kerugian (deversi), dikembalikan kepada orang tuanya, dijadikan anak Negara, atau dikenakan sanksi pidana, kerja sosial, dan sebagainya. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas penulis tertarik untuk mengetahui kekesuaian pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika oleh anak pada masa transisi
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak serta pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tersebut. Sehingga penulis tertarik untuk menuliskannya dalam penulisan hukum
(skripsi)
dengan
judul:
PEMERIKSAAN
PERKARA
MENGGUNAKAN SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PADA MASA TRANSISI DAN PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUS PERKARA ANAK PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Putusan Nomor: 538/PID.SUS-ANAK/2014/PN.DPS)
7
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis menetapkan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian hukum ini yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah pemeriksaan perkara menggunakan sistem peradilan anak pada masa transisi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika telah sesuai Undang Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? 2. Apakah pertimbangan hukum hakim memutus perkara anak pelaku tindak pidana narkotika telah sesuai dengan Pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo Pasal 183 jo Pasal 193 ayat (1) KUHAP?
C.
Tujuan Penelitian
Suatu penelitian pada dasarnya harus mempunyai tujuan yang jelas agar dapat memecahkan masalah yang dimaksud dapat dicapai dengan baik. Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam melakukan penelitian hukum ini terdiri dari tujuan obyektif dan tujuan subyektif sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a) Mengetahui acara
persidangan menggunakan sistem peradilan pidana
anak pada masa transisi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika sesuai Undang Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. b) Mengetahui pertimbangan hukum hakim memutus perkara anak pelaku tindak pidana narkotika telah sesuai dengan Pasal 115 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo Pasal 183 jo Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
8
2.
Tujuan Subyetif a) Menambah pengetahuan dan memperluas wawasan dalam bidang Hukum Acara Pidana mengenai pemeriksaan persidangan pidana yang dilakukan oleh anak menggunakan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak pada masa transisi terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika b) Mengetahui tentang kesesuaian pertimbangan hukum Hakim dalam memutus perkara tindak pidana anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika dengan Pasal 115 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika jo Pasal 183 jo Pasal 193 ayat (1) KUHAP
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian pada hakikatnya diharapkan sebagai pemberi suatu manfaat. Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini dapat dikategorikan sebagai manfaat teoritis dan manfaat praktis yaitu: 1. Manfaat Teoritis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya. b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana dalam memperkaya, pengembangan, tambahan referensi dalam pengkajian terhadap penelitianpenelitian sejenis pada tahap selanjutnya 2. Manfaat Praktis a) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi secara praktis dalam menyumbangkan pengembangan pola pikir secara dinamis mengenai mengenai penerapan Ilmu Hukum yang diperoleh selama menimba Ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
9
b) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan wadah pengetahuan dan wawasan baru bagi para pihak dalam melakukan penelitian-penelitian sejenis ditahap selanjutnya.
E.
Metode Penelitian
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itulah, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 83) 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum (legal research). Penelitian hukum (legal research) adalah suatu proses untuk menentukan kebenaran koherensi, yaitu menentukan apakah aturan hukum yang ada sudah sesuai dengan norma hukum, apakah norma hukum yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum dan apakah tindakan seseorang sudah sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 47). Penelitian hukum bersifat normatif, pendekatan dan bahan-bahan yang digunakan harus dikemukakan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 55-56) 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian ini yaitu preskriptif dan terapan. Peter Mahmud Marzuki menyatakan Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum memepelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menentukan standar prosedur ketentuan-ketentuan rambu-rambu dan melaksankan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 41-42).
10
3. Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki, dalam melakukan penelitian terdapat beberapa jenis pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai asepek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan antara lain (Peter Mahmud Marzuki, 2014:133): a. Pendekatan undang-undang (statue approach) b. Pendekatan kasus (case aapproach) c. Pendekatan historis (historical approach) d. Pendekatan komparatif (comparative approach) e. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Terkait dengan beberapa pendekatan di atas maka, pendekatan yang diguankan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case appoach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam menggunakan pendekatan kasus yang perlu dipahami adalah ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya, ratio decidendi atau reasoning merupakan referensi bagi penyusunan agumentasi dalam pemecahan isu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 134). 4. Jenis dan Sumber Penelitian Sumber-sumber penelitian hukum dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer bersifat autoritatif yang terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuata perundangundangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014:
11
181). Penulis mengunakan bahan-bahan hukum dalam penelitian hukum ini antara lain adalah: a. Bahan Hukum Primer meliputi: 1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP); 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP); 3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; 5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika; 6) Undang-Undang
Nomor
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman; 7) Putusan Nomor: 538/Pid.Sus-Anak/2014/PN Dps. b. Bahan Hukum Sekunder meliputi: 1) Buku-buku teks; 2) Kamus Hukum; 3) Jurnal Hukum; 4) Artikel; dan 5) Bahan dari media internet serta sumber-sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (case approach) maka pengumpulan bahan hukum yang utama adalah dengan cara mengumpulkan putusan-putusan Pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi. Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan hukum ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Teknik pengumpulan bahan hukum tersebut dilakukan dengan mempelajari, membaca, mencatat buku-buku literatur dengan isu hukum yang diteliti oleh peneliti.
12
6. Teknik Analisis Bahan Hukum Penulis menggunakan teknik analisis bahan hukum dengan metode deduktif silogisme. Seperti halnya Silogisme yang diajarkan Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian diatrik suatu kesimpulan atau conclusio (Peter Mahmud Marzuki,2014:89). Selanjutnya Hadjon dalam pemaparannya mengemukakan bahwa premis mayor adalah aturan hukum, sedangkan premis minor adalah fakta hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 90). Dalam penelitian ini premis mayornya adalah peraturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sedangkan premis minornya adalah fakta hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 538/Pid.SusAnak/2014/Pn.Dps.
F.
Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini dibagi menjadi 4 (empat) bab utama dan setiap bab terdiri dari beberapa sub bab guna mempermudah mendapatkan suatu pemahaman yang sistematis dan jelas atas keseluruhan penelitian hukum ini. Sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: BAB I
:
PENDAHULUAN Bab I ini penulis menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
13
BAB II
:
TINJAUAN PUSTAKA Bab II ini penulis memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan hukum yang penulis gunakan yang berkaitan dengan permasalahan yang ditulis. Landasan teori ini meliputi tinjauan tentang proses pemeriksaan, tinjauan tentang sistem peradilan pidana anak, serta tinjauan tentang putusan hakim. Selain itu juga bab ini disertai kerangka pemikiran guna memudahkan pemahaman alur berpikir.
BAB III
:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab
III
ini
penulis
menguraikan
dan
menyajikan
pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu: proses pemeriksaan menggunakan sistem peradilan anak pada masa transisi terhadap anak pelaku tindak pidana narkotika sesuai Undang Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan pertimbangan hukum hakim memutus perkara anak pelaku tindak pidana narkotika telah sesuai dengan KUHAP.
BAB IV
:
PENUTUP Bab IV ini merupakan akhir dari penelitian hukum di mana bab ini memuat simpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan serta memuat saran terhadap pembahasan dan simpulan yang telah dipaparkan.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN