Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis limfatik adalah penyalit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dan berdampak pada kerusakan sistem limfe di tubuh manusia. Tiga spesies cacing filaria yang menyebabkan filariasis limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori (Schmidt dan Robert, 2000). Penyebaran penyakit diperantarai oleh nyamuk sebagai vektor. Cacing dewasa hidup pembuluh limfa, sedangkan mikrofilaria terdapat didalam darah (Mc Mahon dan Lawrence, 1996). Filariasis limfatik yang dikenal sebagai penyakit kaki gajah, menyebabkan risiko tertular bagi milyaran penduduk di banyak negara. Lebih dari 120 juta manusia telah terinfeksi, 40 juta diantaranya mengalami cacat fisik, sehingga mereka tidak mampu beraktifitas secara fisik . Sepertiga dari orang yang terinfeksi tinggal di India, Afrika dan sisanya terdapat di Asia Selatan, Pasifik dan Amerika. Negara-negara tropis dan sub wilayah tropis dimana penyakit ini didapatkan, prevalensi infeksinya cenderung mengalami peningkatan (WHO, 2000). Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan juga bahwa program kesehatan masyarakat yang dilaksanakan untuk memberantas penyakit ini belum sepenuhnya berhasil. Hal ini menyebabkan terjadi lonjakan kasus setiap tahunnya mulai, dari 25 juta di 12 negara pada tahun 2000 menjadi 122 juta di 36 negara pada tahun 2003 dan 250 juta di 39 negara pada tahun 2004. Menurut WHO (2000) filariasis bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan yang tepat dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan payudara serta alat kelamin, baik pada laki-laki maupun perempuan. Pada daerah yang endemik, lebih dari 10% laki-laki dan perempuan menderita penyakit ini.
Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Walaupun penyakit ini tidak menyebabkan kematian tetapi dapat menyebabkan cacat fisik permanen sehingga
pada stadium lanjut,
menyebabkan menurunnya
produktivitas penderitanya, keluarga, maupun masyarakat, dan merupakan beban sosial. Penyakit filariasis di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Brugia malayi, Brugia timori dan Wuchereria bancrofti (Depkes, 2003). Penyebaran filariasis hampir di seluruh wilayah Indonesia, dan umumnya daerah dataran rendah, terutama pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Dibeberapa daerah tersebut mempunyai tingkat endemisitas cukup tinggi. Berdasarkan hasil survei cepat pada data tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang yang tersebar pada 1.553 desa, di 231 kabupaten dan 26 propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya dilaporkan oleh 42% dari 7.221 puskesmas (Depkes, 2006a). Tingkat endemisitas filariasis di Indonesia berdasarkan hasil survei darah jari tahun 1999 masih tinggi dengan Microfilaria rate (mf rate) 3,1% (Depkes, 2006a). Dan sejak tahun 2001 mf rate tertinggi terdapat di Papua, Aceh, Maluku dan NTT dengan kisaran antara 6,9 – 11,6 % (Depkes, 2004). Lokasi yang endemis dengan rata-rata Microfilaria rate 3,1%, berarti 6 juta orang berisiko terinfeksi cacing filaria karena nyamuk penularnya tersebar luas (Anonim, 2007). Penentuan suatu wilayah sebagai sebagai daerah endemis diawali dengan survai kasus kronis yang dilanjutkan dengan survei darah jari. Survei darah jari dimaksudkan untuk mengidentifikasi Microfilaria dalam darah tepi pada suatu populasi penduduk. Hasil dari survei jari tersebut bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas infeksinya yang dinyatakan dengan Microfilaria rate. Bila Microfilaria rate ≥ 1% maka daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis. Saat ini telah teridentifikaksi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Amigeres yang menjadi vektor filariasis. (Depkes, 2006b). 2
Secara umum filariasis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan banyak ditemui di kawasan timur Indonesia, seperti Papua dan Nusa Tenggara. Untuk menurunkan angka kesakitan penyakit filariasis, maka sejak tahun 2002 pemerintah mengadakan program eliminasi filariasis berupa pengobatan masal dengan pemberian obat filarzan/dietil karbamasin sitrat (DEC) 6 mg/kg berat badan ditambah dengan Albendazol 400 mg. Salah satu daerah yang menjadi fokus penanganan adalah Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (Anonim ,2007). Walaupun telah dilakukan program pengobatan masal dalam rangka eliminasi filariasis di Indonesia sejak tahun 2002, namun demikian pada beberapa daerah seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua masih ditemukan beberapa kasus baru penderita filariasis seperti yang terjadi di Kabupaten Manokwari Propinsi Papua Barat. Berdasarkan laporan kegiatan survei Filariasis dari Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari pada tahun 2007 yang dilaksanakan pada 5 (lima) distrik yaitu Masni, Ransiki, Maripi, Sidey dan Oransbari diketahui bahwa dari 2.455 penduduk yang diperiksa 8,35% dinyatakan positif, atau rata-rata mf ratenya 7,3. Untuk lebih jelasnya data tersebut dapat dilihat pada tabel 1.
3
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 1. Situasi Penyakit Filariasis menurut hasil survey pada beberapa Distrik di Kabupaten Manokwari, 2007 Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Distrik Kampung Penduduk yang Penduduk Positif diperiksa diobati 12 12 Masni Koyani 123 120 24 Masni 278 250 24 Ransiki Dembek 581 445 14 14 433 334 18 18 Tobou 120 13 13 Maripi Saumarin 124 265 8 8 Mupi 275 Sidey Saray 169 150 23 23 Kaironi 149 140 54 54 375 26 26 Oransbari Watariri 388 13 13 262 256 Moari Jumlah 2792 2455 205 205
mf rate (%) 9,8 8,6 2,4 4,2 10,5 2,9 13,6 36,2 6,5 5,0 7,3
Sumber : Laporaran Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari 2008 Tingginya kasus filariasis di Kabupaten Manokwari yang ditandai dengan angka Microfilaria rate yang berada diatas rata-rata angka nasional (3,1%) menggambarkan tingkat penularan filariasis yang cukup tinggi, dan merupakan indikator penentuan Kabupaten Manokwari sebagai daerah endemis filariasis. Secara epidemiologi, keadaan ini dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu manusia sebagai Host, mikrofilaria sebagai Agent dan Environment atau lingkungan yang memungkinkan terjadinya perkembangbiakan nyamuk penularnya. Kasus filariasis yang ditemukan di Kabupaten Manokwari adalah jenis W. bancrofti dan B. malayi yang ditularkan oleh nyamuk spesies Anopheles, Culex, Aedes dan Mansonia. Menurut Depkes 2006a, nyamuk yang menjadi vektor filariasis di
Papua
adalah
An.farauti,
An.koliensis,
An.punctulatus
An.barbirotris,
Cx.annuliotris, Ma.uniformis serta Ae.kochi. Penyebaran filariasis di Kabupaten Manokwari meliputi daerah pesisir pantai di bagian utara yaitu Distrik Amberbaken dan Sidey yang berbatasan dengan Kabupaten Sorong sampai ke Distrik Oransbari, Ransiki dan Maripi di bagian selatan yang lingkungannya berawa dan berair payau.
4
Beberapa kasus bahkan ditemukan dilokasi transmigrasi yang lingkungan pemukimannya terdapat persawahan seperti Distrik Masni dan Oransbari. Penularan penyakit ini cukup tinggi karena didukung oleh perilaku atau kebiasaan masyarakat setempat untuk beraktivitas di luar rumah pada malam hari seperti menjaga kebun, berburu, menghadiri pesta adat dan kebiasaan tidak berpakaian lengkap saat ke luar rumah pada malam hari sehingga memudahkan digigit nyamuk. Kurangnya pengetahuan dan persepsi yang salah tentang penyakit filariasis dan tingkat sosial ekonomi yang umumnya rendah berdampak pada rendahnya upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap penularan filariasis, sehingga dapat menimbulkan kejadian kasus filariasis klinis maupun kronis berupa cacat menetap seperti yang dialami 228 penderita di Kabupaten Manokwari ( gambar 1 dan tabel 2) 120
100
jumlah
80
60
103
40 53 20 26
19 0
0
0-1
0 1-4
0 5-9
5 10-14
15-19
20-44
44-54
55-59
12 60-69
10 >70
Kelompok Umur
Gambar 1. Grafik Penderita Filariasis dengan cacat menetap (Elefantiasis) di Kabupaten Manokwari, 2007 Berdasarkan grafik di atas diperoleh gambaran bahwa kelompok umur yang terbanyak menderita cacat fisik adalah kelompok umur 20 – 44 tahun atau usia produktif sebesar 103 kasus (45,18%) dan terendah adalah umur 10-14 sebanyak 5 kasus (2,19%).
5
Tabel 2. Data penderita filariasis dengan cacat menetap (Elephantiasis) menurut lokasi kejadian di Kabupaten Manokwari 2007 No
Puskesmas / Distrik
Jumlah
%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Amban / Manokwari Barat 1 0.44 Anggi / Anggi 0 0.00 Kebar / Kebar 121 53.07 Maripi / Manokwari Selatan 58 25.44 Masni / Masni 0 0.00 Minyambow / Minyambow 0 0.00 Sanggeng / Manokwari Barat 1 0.44 Saukorem / Amberbaken 0 0.00 Sidey / Masni 1 0.44 Oransbari / Oransbari 0 0.00 Prafi / Prafi SP IV 12 5.26 Ransiki / Ransiki 18 7.89 Sururey / Sururey 0 0.00 Warmare / Warmare 15 6.58 Wosi / Manokwari Barat 1 0.44 Kabupaten Manokwari 228 100.00 Sumber : Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kab.Manokwari 2008 Berdasarkan data pada tabel 2, di atas diketahui bahwa dari total kasus
sebanyak 228 kasus, golongan umur dengan jumlah terbanyak adalah 20 – 44 tahun yaitu sebanyak 103 kasus. Namun demikian kejadian elefantiasis ini dijumpai juga pada golongan umur dibawah 30 tahun (5 kasus)
dan umur diatas 70 tahun
(10 kasus). Sedangkan lokasi dengan kasus terbanyak adalah Distrik Kebar dengan jumlah 121 kasus (53,07%). Berdasarkan uraian tersebut di atas yang ditunjang dengan data yang ada, maka penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian tentang faktor risiko yang berhubungan dengan timbulnya kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari.
6
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Apakah lingkungan pemukiman yang berawa, ada persawahan dan kondisi rumah yang tidak sehat merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat ?. b. Apakah status sosial budaya dan ekonomi seperti pekerjaan sebagai petani, tingkat pendapatan dan pengetahuan yang rendah merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat ? c. Apakah perilaku atau kebiasaan tidak menggunakan kelambu saat tidur, ke luar rumah pada malam hari dan tidak menggunakan pakaian lengkap saat keluar rumah pada malam hari, merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. 2. Tujuan Khusus : a. Untuk mengetahui apakah faktor lingkungan pemukiman yang berawa, ada persawahan dan kondisi rumah yang tidak sehat merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. b. Untuk mengetahui apakah faktor sosial budaya dan ekonomi seperti pekerjaan sebagai petani, tingkat pendapatan dan pengetahuan yang rendah merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat.
7
c. Untuk mengetahui apakah faktor perilaku atau kebiasaan tidak menggunakan kelambu saat tidur, keluar rumah pada malam hari, dan tidak menggunakan pakaian lengkap saat keluar rumah pada malam hari merupakan faktor risiko kejadian filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi pengelola program pemberantasan filariasis serta memperbaiki sistem pelayanan kesehatan yang ada. 2. Menjadi acuan untuk menentukan kebijakan-kebijakan program pencegahan dan pemberantasan filariasis di Kabupaten Manokwari. 3. Untuk menambah wawasan peneliti terutama dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit filariasis di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat.
E. Keaslian penelitian Penelitian serupa belum pernah dilakukan di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Penelitian yang sama pernah dilakukan oleh : 1. Saniambara, 2005 dengan metode penelitian cross sectional study
dengan
perbedaan pada metode dan varibel penelitian, dan lokasi penelitian. Pada penelitian tersebut metode yang digunakan adalah cross sectional study dan varibel umur, jenis kelamin merupakan varibel penelitian, sedangkan pada penelitian ini metode yang digunakan adalah Case control study dan varibel umur serta jenis kelamin tidak diteliti. 2. Uloli, 2007 dengan metode penelitian case control study dengan perbedaan pada varibel penelitian dan lokasi penelitian. Perbedaannya adalah pada penelitian tersebut varibel kebiasaan memelihara kucing termasuk variabel yang diteliti tetapi variabel kondisi rumah tidak diteliti. Pada penelitian ini variabel kebiasaan
8
memelihara kucing tidak diteliti sedangkan variabel kondisi rumah merupakan salah satu variabel yang diteliti. 3. Putra, 2007 dengan metode penelitian case control study dengan perbedaan pada varibel penelitian dan lokasi penelitian. Perbedaannya adalah pada penelitian tersebut
salah
satu
variabel
independen
adalah
cara
berpakaian
ke
sawah/kebun/hutan. Pada penelitian ini variabel tersebut tidak diteliti sedangkan variabel cara berpakaian pada saat keluar pada malam hari merupakan salah satu variabel yang diteliti.
9