BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Senyawa D-tagatosa merupakan suatu monosakarida hasil isomerisasi dari Dgalaktosa. Monosakarida ini telah ditetapkan sebagai material GRAS (Generally Recognized as Safe). Monosakarida D-tagatosa dapat digunakan sebagai pemanis rendah kalori alternatif sebab memiliki derajat kemanisan mendekati sukrosa (92%) namun menghasilkan kalori setara 38% dari sukrosa (Buemann et al., 2000). Produksi D-tagatosa, secara umum, dengan bahan D-galaktosa dilakukan pada suhu yang tinggi (>70oC) (Beadle et al., 1992). Produksi D-tagatosa dapat dikatalisis oleh logam yang bersifat basa seperti Ca(OH)2. Metode ini memiliki kelemahan yaitu karamelisasi yang menimbulkan produk berwarna kecoklatan serta pembentukan produk samping yang tidak diinginkan sehingga memerlukan purifikasi yang lebih rumit. Saat ini telah dikembangkan metode isomerisasi D-galaktosa menjadi Dtagatosa melalui reaksi enzimatis yang dikatalisis oleh L-arabinosa isomerase (LAI) (Izumori et al., 1978). Penggunaan L-AI sebagai katalisis dalam produksi Dtagatosa dianggap lebih efektif. Sifat kerja enzim yang spesifik menyebabkan produk yang dihasilkan juga spesifik sehingga menyederhanakan proses purifikasi. Sementara itu, operasional produksi pada suhu tinggi menyebabkan kebutuhan L-arabinosa isomerase yang bersifat termostabil. Termostabilitas ini diperlukan agar enzim mampu bekerja di kisaran suhu tinggi secara optimal. Eksploitasi L-AI diawali dengan isolasi gen pengkode enzim ini. Enzim L-AI dikode oleh gen araA yang termasuk ke dalam operon ara. Operon ara terdapat di dalam genom mikrobia termofilik seperti Thermotoga maritima (Kim et al., 2003a),
Thermotoga
neapolitana
(Roh
et
al.,
2000),
Geobacillus
stearothermophilus (Kim et al., 2002), G. thermodenitrificans (Kim & Oh, 2005)dan Alicyclobacillus acidocaldarius (Lee et al., 2005). Hal ini menunjukkan
1
bahwa mikrobia termofilik dan hipertermofilik merupakan sumber potensial L-AI termostabil. Indonesia memiliki habitat bersuhu tinggi dengan potensi isolat mikrobia termofilik. Salah satu lokasi yang berpotensi adalah Dataran Tinggi Dieng. Lokasi ini memiliki habitat dengan kondisi suhu ekstrim seperti Sumber Air Panas Bitingan,
Kawah
Candradimuka,
Kawah
Sileri,
dan
Kawah
Sikidang
(Kartikaningsih, 2005). Terdapat isolat mikrobia termofilik yang telah berhasil diisolasi dari Dieng. Isolat ini digolongkan ke dalam genus Geobacillus (Prijambada, 2010 dan Wedhastri, 2015, komunikasi pribadi). Menurut Minana-Galbis et al., 2010 tidak semua anggota genus Geobacillus dapat menggunakan L-arabinosa sebagai sumber karbon yang ditandai dengan hasil negatif pada uji fermentasi L-arabinosa. Anggota genus Geobacillus seperti G. stearothermophilus, G. kaustophilus dan G. thermodenitrificans merupakan mikrobia yang memiliki gen araA, yang mengkode L-AI. Enzim L-AI secara umum mengkatalis isomerisasi L-arabinosa menjadi L-ribulosa, yang terjadi pada langkah pertama metabolisme L-arabinosa (Schleiff, 2002). Deteksi gen araA diperlukan untuk mengetahui kemampuan isolat mikrobia termofilik dari Dieng sebagai penghasil L-AI termostabil. Metode ini dapat dilakukan menggunakan PCR dengan primer yang ditargetkan pada sekuens internal gen araA. Dalam pelaksanaannya, PCR memerlukan komponen krusial yang berupa primer. Primer merupakan untai DNA pendek yang diperlukan sebagai awalan bagi sintesis DNA baru, baik secara in vivo maupun in vitro. Primer yang baik harus memiliki beberapa syarat antara lain panjang 18-30 mer, GC rasio 40-60%, keunikan urutan yang baik sehingga dapat menempel pada target spesifik serta tidak membentuk struktur sekunder seperti hairpin loop dan self-dimer. Pemenuhan syarat primer yang baik tersebut memerlukan kalkulasi matematis secara bersamaan, yang secara otomatis dapat dilakukan oleh program dan alat bioinformatika pada proses desain primer. Desain primer dilakukan dengan didahului data mining pada database sekuens DNA, misal dari web NCBI. Kumpulan data sekuens DNA kemudian dapat
2
digunakan sebagai acuan dan template untuk mendesain primer. Kandidat primer yang digenerasi melalui program bionformatika dapat sekaligus dipakai dalam simulasi PCR secara in silico, untuk mengestimasi keberhasilannya dalam mengamplifikasi gen target. Primer yang didesain pada penelitian ini akan diaplikasikan untuk deteksi gen araA pada bakteri termofilik yang diisolasi dari Kawah Sikidang, Dieng. Informasi yang telah diuraikan sebelumnya di atas, menyebutkan bahwa isolat bakteri termofilik tersebut belum dikarakterisasi dengan sempurna. Hal ini menyebabkan beberapa karakter, termasuk kemampuan isolat ini untuk menghasilkan enzim L-AI belum dapat dikonfirmasi secara pasti. Namun, hal ini tidak menjadi halangan dalam usaha eksploitasi isolat ini. Konsekuensinya deteksi gen menjadi penting. Primer dapat didesain berdasarkan template genom atau CDS (Coding Sequence) dari strain yang berkerabat dekat. Primer yang didesain memiliki keberhasilan hingga tingkat tertentu pada amplifikasi gen target. Apabila primer didesain hanya berdasarkan satu template dari satu strain bakteri, maka primer hanya akan berhasil dalam batasan strain bakteri itu saja. Hal ini menjadi salah satu kelemahan jika diterapkan pada isolat bakteri yang belum dikarakterisasi secara sempurna. Untuk mengantisipasi hal ini maka perlu dilakukan pendekatan menggunakan Multiple Sequence Alignment (MSA). Pendekatan ini menggunakan sebanyak mungkin data sekuens DNA dari berbagai strain bakteri yang memiliki gen pengkode L-AI. Penggunaan multiple sequence alignment, pada akhirnya akan didapatkan primer degenerasi yang dapat menempel pada sebagian besar strain bakteri. Pada prakteknya, untuk dapat mengamplifikasi gen target dari berbagai strain bakteri, digunakan kombinasi beberapa primer agar kekurangan satu primer dapat ditutupi oleh yang lain. Penelitian ini akan menjadi studi awal eksploitasi L-AI, khususnya dari bakteri termofilik hasil isolasi dari Dieng. Desain primer dilakukan dengan pendekatan multiple sequence alignment pada beberapa strain bakteri penghasil LAI. Data sekuens DNA akan dialignment menggunakan CLUSTALW dan MUSCLE. Kedua algoritma ini digunakan untuk membandingkan sensitifitas
3
keduanya sehingga ditemukan kandidat primer terbaik. Kandidat primer akan diuji dalam program PCR in silico untuk melihat sejauh mana kemampuan primer untuk mengenali target. Selanjutnya, kandidat primer akan dimasukkan program pengecekan karakter untuk melihat GC ratio, Tm (melting temperature), Languange Complexity serta kemungkinan pembentukan hairpin loop dan selfdimer (self-complementarity dan self-annealing).
B. Permasalahan Dari uraian tersebut timbul permasalahan, yaitu: 1. Bagaimana sekuens serta karakter dari primer yang dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen araA pengkode L-AI dari bakteri termofilik yang diisolasi dari kawah Sikidang Dieng? 2. Bagaimana sensitifitas algoritma CLUSTALW dan MUSCLE dalam melakukan alignment? 3. Bagaimana performa primer yang didesain dalam simulasi PCR in silico?
C. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui sekuens primer untuk amplifikasi gen araA pada isolat bakteri termofilik dari Dieng 2. Membandingkan sensitifitas algoritma CLUSTALW dan MUSCLE 3. Mengetahui performa primer dalam simulasi PCR in silico
D. Manfaat penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sekuens primer untuk amplifikasi gen araA dari isolat bakteri termofilik di Indonesia 2. Memberikan informasi perbandingan algoritma CLUSTALW dan MUSCLE dalam pendekatan multiple sequence alignment pada proses desain primer 3. Memberikan pengantar salah satu cara mendesain primer untuk amplifikasi gen dari bakteri yang belum dikarakterisasi secara spesifik
4
4. Memberikan informasi baru mengenai isolat mikrobia Indonesia yang mampu potensial dalam menghasilkan L-AI termostabil 5. Memberikan informasi untuk keperluan eksploitasi L-AI termostabil di Indonesia
5