BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) masih menjadi masalah kesehatan yang utama di dunia maupun di indonesia. Menurut WHO pada tahun 2011 insiden kasus tuberkulosis di Indonesia sekitar 4% jumlah pasien tuberkulosis di dunia dan merupakan ke 4 terbanyak setelah India, Cina dan afrika selatan. Menurut Global TB Report 2011, terdapat 189 per 100.000 penduduk atau 450.000 kasus. Prevalensi HIV diantara pasien tuberkulosis diperkirakan 3%. Obat-obatan yang di gunakan dalam pengobatan tuberkulosis terdiri dari beberapa kombinasi diantaranya yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan etambutol. Khusus untuk wilayah Kal-Teng menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2012 adalah 1.502 penderita tuberkulosis dan untuk wilayah Palangka Raya 129 penderita tuberkulosis. Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya pada tahun 2012 tercatat ada 798 penderita tuberkulosis sedangkan pada tahun 2013 bulan Januari sampai bulan April tercatat 194 kasus. Tujuan
pengobatan
Tuberkulosis
adalah
memusnahkan
basil
tuberkulosis dengan cepat dan mencegah kekambuhan. Ada kesepakatan umum bahwa apa yang disebut sebagai paduan pengobatan yang efektif ialah pengobatan yang gagal kambuhnya kurang dari 5 %. (Depkes RI, 2002). Dalam pemakaian obat-obat anti tuberkulosis tidak jarang ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Kelainan yang
1
2
ditimbulkan mulai dari peningkatan kadar transminase darah (SGOT/SGPT) yang ringan sampai pada hepatitis. (Sudoyo, 2010) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) juga dapat menimbulkan banyak efek samping kelainan hematologis diantaranya adalah anemia, trombositosis, trombositopenia, leukositosis, leukopenia dan eosinofilia. Pada masa pengobatan pasien dipantau dengan pemeriksaan laboratorium BTA (Basil Tahan Asam). Pemeriksaan BTA biasanya dilengkapi juga dengan pemeriksaan hematologi. Selain karena OAT, tuberkulosis sendiri juga dapat menimbulkan kelainan hematologi, baik sel-sel hematopoiesis maupun komponen plasma. Kelainan-kelainan tersebut sangat bervariasi dan kompleks. Pemeriksaan hematologi meliputi
hemoglobin,
jumlah leukosit, jumlah eritrosit, hitung jenis leukosit, jumlah trombosit, hematokrit serta pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) dapat merupakan petunjuk adanya komplikasi atau merupakan komplikasi OAT. Kelainan hematologis ini dapat juga menimbulkan kesulitan dalam pengelolaan tuberkulosis karena akan mempengaruhi pemilihan OAT. Di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangkaraya, pasien yang menjalani terapi OAT pada akhir bulan II dan akhir bulan VI selain menjalani pengobatan BTA juga dilakukan pemeriksaan hematologi. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran hematologi pada pasien Terapi OAT.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran hematologi pada pasien terapi OAT? 2. Apa kelainan hematologi yang sering dijumpai pada terapi OAT?
3
3. Berapa persen pasien dengan terapi OAT yang menunjukkan kelainan hematologi?
C. Batasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana
gambaran
hematologi pada pasien terapi OAT yang menjalani pengobatan pada akhir bulan ke II dan akhir bulan ke VI.
D. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana gambaran hematologi pada pasien terapi obat anti tuberkulosis?
E. Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran hematologi pada pasien terapi obat anti tuberkulosis (OAT) yang sedang dalam masa pengobatan.
F. Manfaat Penelitian a. Mahasiswa Menambah wawasan tentang gambaran hematologi pada pasien terapi obat anti tuberkulosis (OAT) b. Klinisi Sebagai bahan informasi bagi dokter yang menangani pasien dengan terapi OAT.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tuberkulosis 1. PengertianTuberkulosis. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang bersifat kronis dan menular, disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis dan dapat menyerang berbagai organ tubuh termasuk paru-paru. (Hardjoeno, 2007). Kuman ini berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µm, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula Basil Tahan Asam (BTA). kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant (tertidur lama, selama beberapa tahun), dan akan muncul kembali bilamana kondisi tubuh menurun. (Bahar A, 2001) Gejala umum yang dijumpai pada orang yang mengalami infeksi tuberkulosis yaitu batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan , deman meriang lebih dari sebulan. (Depkes RI, 2005)
2. Penegakan Diagnosis Tuberkulosis a. Pemeriksaan Bakteriologis Diagnosis tuberkulosis melalui pemeriksaan kultur atau biakan merupakan metode baku emas (gold standard). Namun pemeriksaan
4
5
kultur memerlukan waktu lebih lama 6-8 minggu dan mahal. Pemeriksaan
3 spesimen (sewaktu, pagi, sewaktu) dahak secara
mikroskopis ini lebih cepat dan lebih murah. Pemeriksaan tersebut berupa pemeriksaan mikroskopis dari dahak yang telah dibuat sediaan apus dan diwarnai dengan Ziehl Neelsen. Bila Kuman Basil Tahan asam dijumpai dua kali dari 3 kali pemeriksaan penderita disebut penderita positif/menular. b. Pemeriksaan Radiologis (Foto Rontgen) Gambaran rontgen tuberkulosis paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai tuberkulosis adalah : 1) Gambaran soliter yang oval atau melingkar (tuberkuloma) 2) Bayangan mediastinal dan hiler termasuk pembesaran kelenjar getah bening (muncul pada kompleks primer) 3) Gambaran nodul kecil yang difus (tuberkulosis milier) c. Tes Tuberkulin Di indonesia, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB pada orang dewasa. Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantouk (penyuntikan intra kutan) yaitu dengan menyuntikan 1 ml tuberkulin PPD (purified protein derivative) secara intrakutan dan mengamati reaksi yang terjadi setelah 48-72 jam. Reaksi berupa indurasi kmerahan akan timbul, yang terdiri atas infiltrat limfosit (yakni persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin). Pemeriksaan laboratorium tuberkulosis dilakukan pada :
6
1) Pada waktu penegakan diagnosis (SPS dahak pasien pada pertama kali datang) a) Sewaktu (A) b) Pagi (B) c) Sewaktu (C) 2) Follow up akhir fase intensif (SP dahak pasien pada akhir minggu ke 5/masa intensif pengobatan) a) Sewaktu (D) b) Pagi (E) 3) Follow up bila 1 bulan sebelum akhir pengobatan (AP) a) Sewaktu (F) b) Pagi (G) 4) Follow up akhir pengobatan (AP) (SP dahak pasien pada akhir masa pengobatan) a) Sewaktu (H) b) Pagi (I) 5) Pemeriksaan setelah pemberian sisipan a) Sewaktu (J) b) Pagi (K)
B. Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Beberapa jenis OAT adalah sebagai berikut : 1. Isoniazid (H) Dikenal dengan nama INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam beberapa hari pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman yang sedang berkembang. 2. Rifampisin (R)
7
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant yang tidak dapat di bunuh oleh isoniazid. 3. Pirazinamid (Z) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. 4. Streptomisin (S) Bersifat bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. 5. Etambutol (E) Bersifat bakteriostatik, Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. (Depkes RI, 2008)
C. Terapi Tuberkulosis Paduan OAT yang dipakai program sesuai dengan rekomendasi WHO berupa paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari 3 kategori yaitu : Kategori – 1, Kategori – 2, Kategori – 3. Setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal/intensif dan fase lanjutan/ intermiten. 1. Pengobatan TBC diberikan dalam beberapa tahap, yaitu : a) Tahap Intensif Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 bulan. Sebagian besar penderita BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif.
8
b) Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu 4-6 bulan. Tahap lanjutan penting untuk mencegah terjadinya kekambuhan. (Depkes RI, 2002) 2. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan panduan OAT standar, yaitu : a. Kategori – 1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan, kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan. Kategori I diberikan untuk : 1) Penderita baru BTA positif 2) Penderita baru BTA negatif/rontgen positif yang sakit berat dan ekstra paru berat. b. Kategori – 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu. Obat ini diberikan kepada penderita BTA positif yang sudah pernah mengkonsumsi OAT selama lebih sebulan, yang mendapat obat kategori – 2 ini ialah penderita : 1) Kambuh (relaps) BTA positif 2) Gagal (failure) BTA positif 3) Lain – lain BTA positif
9
c. Kategori – 3 (2 HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan, diteruskan dengan tahap lajutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif/rontgen positif dan Penderita ekstra paru ringan (Depkes RI, 2008) Untuk menjamin kesembuhan dan mencegah resistensi serta keteraturan pengobatan dan mencegah drop out/lalai perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian pengobatan dengan pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yaitu pengawasan langsung menelan obat jangka pendek oleh pengawas pengobatan setiap hari. Prinsip DOTS adalah dalam rangka mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan, yaitu dua hari berturut-turut pada fase awal atau seminggu pada fase lanjutan. 1) Penderita TB yang rumahnya dekat dengan PRM ,PS (Pustu, Polindes terlatih). 2) Penderita yang rumahnya jauh dengan unit kesehatan, diperlukan pengawas pengobatan atas bantuan masyarakat, LSM atau PPTI (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia) dan PKK. Sebelum pengobatan pertama kali diberikan pengawas dan penderita harus diberi penyuluhan singkat tentang gejala penderita tersangka TB, mengapa periksa dahak 3 kali, pentingnya berobat secara teratur sesuai jadwal. (Depkes RI. 2005) Penanggulangan penyakit tuberculosis dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directely Observed Treatment Short-course) yang direkomendasikan oleh WHO terdiridari 5 komponen yaitu :
10
1. Komitmen politis 2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya 3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan 4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu 5.
Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan
global dalam penanggulangan tuberkulosis (stop TB partnership) dengan memperluas strategi DOTS sebagai berikut : 1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan 4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. 5. Memberdayakan pasien dan masyarakat 6. Melaksanakan dan mengembangkan riset (Depkes RI, 2008)
D. Syarat Laboratorium Tuberkulosis Untuk menjamin ketepatan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, harus dilakukan kegiatan pementapan mutu yang meliputi : 1. Pendidikan dan pelatihan 2. Pelaksanaan pemantapan mutu internal : a) Persiapan penderita b) Pengumpulan dan penanganan spesimen c) Pemeliharaan alat/mikroskop d) Uji kualitas reagen/larutan pewarna
11
e) Penyusunan prosedur tetap f) Pencatatan serta pelaporan 3. Pelaksanaan pemantapan mutu eksternal : a) Melakukan uji silang/cross check b) Mengikuti uji profisiensi/uji panel c) Supervisi 4. Melaksanakan praktek laboratorium yang benar. 5. Menindaklanjuti pemantapan mutu internal dan eksternal dengan kegiatan peningkatan mutu. (Depkes RI, 2007)
E. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) OAT dapat menimbulkan kelainan hematologis sebagai berikut : 1. Anemia siderobastik sekunder karena gangguan metabolisme vitamin B6. Efek samping tersebut disebabkan oleh; Isoniazid, sikloserin, pirazinamid. 2. Anemia hemolitik, efek samping tersebabkan oleh; Rifampisin 3. Trombositopenia, efek samping tersebut disebabkan oleh; Rifampisin, etambutol, rifabutin, kapreomisin, siprofloksasin. 4. Leukopenia, efek samping tersebut disebabkan oleh; Asam paraaminosalisilat, isoniazid, rifampisin, streptomisin, rifabutin, kapreomisin, siprofloksasin. 5. Eosinofilia,
efek
samping
tersebut
disebabkan
oleh;
kapreomisin,
siprofloksasin. (Oehadin, 2009)
F. Kelainan Hematologi Pada Tuberkulosis Tuberkulosis dapat menimbulkan kelainan hematologi, baik sel-sel hematopoiesis maupun komponen plasma. Pada prinsipnya kelainan hematologi pada tuberkulosis dapat disebabkan oleh proses infeksi M. tuberculose, efek samping OAT atau kelainan dasar hematologi yang mengalami infeksi
12
tuberkulosis. (Oehadin, 2009). Bermacam – macam kelainan yang dapat terjadi pada tuberkulosis adalah : 1. Eritrosit (sel darah merah) a.
Penurunan (anemia) , disebabkan karena : 1) anemia penyakit kronis (anemia normokrom normositik) 2) defisiensi asam folat sekunder karena anoreksia atau peningkatan pemakaianfolat 3) defisiensi vitamin B12 sekunder karena keterlibatan ileum 4) anemia hemolisis autoimun 5) anemia sideroblastik sekunder karena gangguan metabolisme B6 6) fibrosis sumsum tulang 7) aplasi sumsum tulang 8) infiltrasi amiloid pada sumsum tulang 9) hipersplenisme
b.
Peningkatan (polisitemia) yang disebabkan karena tuberkulosis ginjal menyebabkan peningkatan eritropoietin.
2. Granulosit a. Penurunan (neutrofil/basofil/eosinofil), disebabkan karena : 1) defisiensi folat sekunder karena anoreksi atau peningkatan kebutuhan folat 2) fibrosis sumsum tulang 3) aplasi sumsum tulang 4) infiltrasi amiloid pada sumsum tulang 5) infeksi kronik 6) hipersplenisme b. Peningkatan (neutrolfil/basofil/eosinofil) yang disebabkan karena respon inflamasi.
13
3. Trombosit a. Penurunan, disebabkan karena: 1) mekanisme imunologis 2) koagulasi intravaskuler diseminata 3) fibrosis sumsum tulang 4) aplasia sumsum tulang 5) hipersplenisme b. Peningkatan, disebabkan karena reaksi fase akut.
4. Limfosit a. Penurunan yang disebabkan karena infeksi tuberkulosis b. Peningkatan yang disebabkan karena respon inflamasi
5. Leukosit (Sel Darah Putih) Kelainan seri leukosit yang dapat ditemukan pada infeksi tuberkulosis adalah leukositosis. Leukositosis merupakan keadaan dimana jumlah leukosit meningkat yaitu melebihi 10.000/mm3. Leukositosis terjadi bila ada jaringan cedera atau infeksi. (Pearce, 2004). Leukositosis disebabkan produksi sumsum tulang meningkat, sehingga jumlahnya dalam darah cukup untuk menyelenggarakan emigrasi pada waktu jaringan cedera atau radang. a) Neutrofilia Neutrofilia adalah peningkatan jumlah neutrofil di atas 6000/mm3. Netrofilia ditemukan pada 20 % penderita tuberkulosis dengan infiltrasi kesumsum tulang. Netrofilia disebabkan karena reaksi imunologis dengan mediator sel limfosit T dan membaik setelah pengobatan.
14
b) Eosinofilia Eosinofilia adalah peningkatan jumlah eosinofil di atas 700/mm3. Merupakan respon terhadap inflamasi, tuberkulosis dapat menimbulkan sindroma PIE (Pulmonary Infiltration with Eosinophilia) yang ditandai dengan adanya batuk, sesak, demam, berkeringat, malaise dan eosinofilia. c) Basofilia Basofilia adalah peningkatan jumlah basofil di atas 150/mm3. Merupakan respon terhadap inflamasi serta menunjukkan kemungkinan adanya kelainan dasar penyakit mieloproliferatif. d) Monositosis Monositosis adalah peningkatan jumlah monosit di atas 950/mm3. Tuberkulosis merupakan penyebab utama monositosis. Monosit berperan penting dalan respon imun pada infeksi tuberkulosis. Monosit berperan dalam reaksi seluler terhadap bakteri tuberkulosis. Sebagian fosfolipid mikobakterium tuberkulosis mengalami degradasi dalam monosit dan makrofag yang menyebabkan transformasi sel-sel tersebut menjadi sel epiteloid. Monosit merupakan sel utama dalam pembentukan tuberkel. Aktivitas pembentukan tuberkel ini dapat tergambar dengan adanya monositosis dalam darah. Monositosis dianggap sebagai petanda aktifnya penyebaran tuberkulosis. e) Limfositosis Limfositosis
adalah
peningkatan jumlah limfosit
di
atas
4000/mm3. Limfositosis merupakan respon imun normal di dalam darah dan jaringan limfoid terhadap tuberkulosis. Repon ini menimbulkan peningkatan limfosit dalam sirkulasi. Limfositosis menunjukkan proses penyembuhan tuberkulosis.
15
f) Leukopenia Leukopenia adalah penurunan jumlah leukosit di bawah 4000/mm3. Pada umumnya leukopenia disebabkan karena penurunan jumlah neutrofil (neutropenia). Pada leukopenia berat, penurunan jumlah neutrofil dapat disertai penurunan limfosit dan monosit. Infeksi mikobakterium tuberkulosis dapat menimbulkan pansitopenia (anemia, leukopenia, trombositopenia). g) Neutropenia Neutropenia adalah penurunan neutrofil di bawah 2000 /mm3. Neutropenia biasanya merupakan bagian dari anemia dan disebabkan karena fibrosis atau disfungsi sumsum tulang atau sekuestrasi di limpa. Defisiensi folat dan vitamin B12 dapat menyebabkan neutropenia. h) Limfopenia Limfopenia adalah penurunan jumlah limfosit di bawah 1500/mm3.
Limfopenia
menunjukkan
proses
tuberkulosis
aktif.
Tuberkulosis yang aktif menyebabkan penurunan total limfosit T sebagai akibat penurunan sel T4. Sel T8 tidak mengalami perubahan secara konsisten, Sel B total juga menurun. Pengobatan tuberkulosis yang berhasil, memperbaiki jumlah sel-sel tersebut menjadi normal. i) Monositopenia Monositopenia adalah penurunan jumlah monosit di bawah 200/mm3. Monositosis ditemukan pada 40% penderita tuberkulosis dengan infiltrasi kesumsum tulang.
16
6. Trombosit a. Trombositosis Trombositosis adalah jumlah trombosit di atas 450.000/mm3. Trombositosis merupakan respon terhadap inflamasi dan sering ditemukan pada tuberkulosis. Derajat trombositosis berkorelasi dengan derajat respon inflamasi yang diukur dengan laju endap darah. Respon inflamasi menyebabkan produksi platelet stimulating factor yang terjadi sejalan
dengan
fase
inflamasi
penyakit
dan
membaik
dengan
penyembuhan tuberkulosis. b. Trombositopenia Trombositopenia adalah jumlah trombosit di bawah 100000/mm3. Trombositopenia dapat terjadi karena mekanisme yang sama dengan terjadinya
neutropenia.
Pada
infeksi
tuberkulosis
dapat
terjadi
trombositopenia purpura imun. (Oehadin, 2009)
G. Pemeriksaan Laboratorium Berdasarkan uraian diatas, untuk memperoleh pemantauan diagnosis penyakit tuberkulosis selain dengan pemeriksaan mikroskopik BTA, juga dapat dilakukan pemeriksaan hematologi yang meliputi hemoglobin, jumlah leukosit, jumlah eritrosit, jumlah trombosit, hitung jenis leukosit, hematokrit serta laju endap darah. Berikut merupakan interpretasi dari nilai sel darah normal. Tabel 1 Interpretasi nilai sel darah normal Pengukuran Hemoglobin LED Jumlah Eritrosit Jumlah Leukosit Jenis Luukosit
Satuan g% Jam/mm Juta sel/mm3 Sel/mm3 %
Laki-laki Perempuan 13,4-17,6 12,0-15,4 ≤ 10 ≤ 15 4,7-6,1 4,2-5,2 5.000-10.000
17
- Eosinofil - Basofil - Staf (batang) - Neutrofil (segmen) - Limfosit - Monosit Jumlah Trombosit Hematokrit
Sel/mm3 %
1-3 0-1 2-6 50-70 20-40 2-8 150.000-350.000 37-48 (Sumber: Price,2009)
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang di dukung oleh studi pustaka, yaitu dengan cara menggambarkan hasil penelitian, dan hasil penelitian di gambarkan dalam bentuk prosentasi (%).
B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di laboratoriumdi RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Adapun waktu penelitian dilakukan pada tanggal 5 Mei sampai 15 juni 2013.
C. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah pasien tuberkulosis yang mendapatkan OAT Paket di poliklinik RSUD dr. Doris sylvanus Palangkaraya. D. Sampel Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Purposive Sampling karena sampel yang dimaksud didasarkan pada kriteria tertentu. Sampel yang digunakan adalah pasien terapi OAT paket yang telah menjalankan pengobatan pada akhir bulan ke II dan akhir bulan ke VI dan melakukan pemeriksaan hematologi.
E. Definisi Operasional penelitian 1. Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular (yang bersifat kronik) yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
18
19
2. Gambaran hematologi adalah informasi yang berisi hasil–hasil: pemeriksaan yang terdiri dari hemoglobin, jumlah leukosit, jumlah eritrosit, hitung jenis leukosit, jumlah trombosit, hematokrit serta laju endap darah (LED). 3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah obat untuk mengobati tuberkulosis yang terdiri dari obat yang kandungannya terdiri dari isoniazid, rimfapisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
F. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data dari hasil pemeriksaan hematologi pasien yang mendapat terapi OAT, yang terdiri dari hemoglobin, jumlah leukosit, jumlah eritrosit, hitung jenis leukosit, hematokrit, dan LED.
G. Pengolahan dan Analisis Data Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh data hasil penelitian melalui pengumpulan data yang akan dibuat dalam bentuk prosentase. Data penelitian meliputi : 1. pemeriksaan hemoglobin 2. pemeriksaan jumlah leukosit 3. pemeriksaan hitung jenis leukosit 4. pemeriksaan jumlah trombosit 5. pemeriksaan hematokrit 6. pemeriksaan LED Adapun Masing – masing data akan dibuat dalam bentuk prosentase (%).
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Penelitian dilakukan dilaboratorium RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, mulai tanggal 5 mei sampai 15 juni 2013 pada pasien rawat jalan dari poliklinik paru dengan diagnosis TB paru, akhir pengobatan bulan ke 2 dan ke 6 dan melakukan pemeriksaan hematologi. Diperoleh sampel sebanyak 30 orang; 8 orang menjalani terapi OAT akhir bulan II dan 22 orang terapi OAT akhir bulan VI. Adapun hasil-hasil penelitian dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.
Tabel 2 Jumlah Pasien Terapi OAT yang Melakukan Pemeriksaan Hematologi Berdasarkan Usia Usia 15-30 tahun 31-50 tahun >50 tahun
Frekuensi 4 Orang 5 Orang 21 Orang
Persentase 13 % 17% 70 %
Tabel 3 Jumlah Pasien Terapi OAT Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Frekuensi 18 Orang 12 Orang
20
Persentase 60 % 40 %
21
Tabel 4 Jumlah Pasien Terapi OAT Berdasarkan Lamanya Terapi Diagnosis TB akhir bulan II TB akhir bulan VI
Frekuensi 8 Orang 22 Orang
Persentase 27 % 73 %
Tabel 5 Penilaian Pemeriksaan Hemoglobin Pada Pasien Terapi OAT Akhir Bulan II Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase
Hb ≤ 12,0 g% 1 Orang 1 Orang 2 Orang 25%
Hb>12 g% 5 Orang 1 Orang 6 Orang 75%
Tabel 6 Penilaian Pemeriksaan Hemoglobin Pada Pasien Terapi OAT Akhir Bulan VI Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Persentase
Hb≤ 12 g% 2 Orang 5 Orang 7 Orang 32%
Hb> g% 9 Orang 6 Orang 15 Orang 68%
Tabel 7 Penilaian Pemeriksaan Jumlah Leukosit Pada Pasien Terapi OAT Akhir Bulan II Jumlah Sampel 8 Sampel Persentase
Klasifikasi Jumlah Leukosit Meningkat Normal 1 6 12% 76%
Menurun 1 12%
22
Tabel 8 Penilaian Pemeriksaan Jumlah Leukosit Pada Pasien Terapi OAT Akhir Bulan VI Jumlah sampel 22 Sampel Persentase
Klasifikasi Jumlah Leukosit Meningkat Normal 3 16 14% 72%
Menurun 3 14%
Tabel 9 Penilaian Pemeriksaan LED Pada Pasien Terapi OAT Akhir Bulan II Jumlah sampel 8 Sampel Persentase
Nilai LED Meningkat 3 37%
Normal 5 63%
Tabel 10 Penilaian Pemeriksaan LED Pada Pasien Terapi OAT Akhir Bulan VI Jumlah sampel 22 Sampel Persentase
Nilai LED Meningkat 14 64%
Normal 8 36%
Tabel 11 Penilaian Pemeriksaan Jumlah Trombosit Pada Pasien Terapi OAT Akhir Bulan II Jumlah Sampel 8 Sampel Persentase
Klasifikasi Jumlah Trombosit Meningkat Normal Menurun 8 100% -
23
Tabel 12 Penilaian Pemeriksaan Jumlah Trombosit Pada Pasien Terapi OAT Akhir Bulan VI Jumlah Sampel 22 Sampel Persentase
Klasifikasi Jumlah Trombosit Meningkat Normal Menurun 21 1 95% 5%
B. Pembahasan Berdasarkan data yang diperoleh, jenis kelamin yang banyak menjalani terapi tuberkulosis adalah laki-laki dengan persentase sebanyak 60 % atau 18 pasien sedangkan perempuan sebanyak 12 pasien atau 40 %. Hal ini disebabkan karena biasanya laki-laki mengkonsumsi alkohol dan merokok. Berdasarkan hasil penelitian yang melakukan pengobatan tuberkulosis banyak dari usia diatas 50 tahun sebesar 70 %. Hal tersebut disebabkan karena pada usia lanjut respon imun dan daya tahan tubuh mulai mengalami penurunan sehingga rentan terserang infeksi tuberkulosis. Berdasarkan hasil penelitian yang banyak memantau pengobatan tuberkulosis yaitu pada akhir pengobatan bulan ke 6 dengan persentase 73 % atau sebanyak 22 orang. Hal ini dikarenakan untuk melihat apakah respon imun tubuh pasien sudah kembali normal atau belum. Sedangkan yang menjalani pemeriksaan pada akhir pengobatan bulan ke 2 yaitu dengan persentase 27 % atau sebanyak 8 orang, ini dikarenakan untuk mengontrol apakah hasil sputum BTA sudah negatif. Berdasarkan hasil penelitian, kelainan hematologi tidak banyak menunjukan peningkatan yang signifikan. Hal ini dikarenakan pada pengobatan akhir bulan II dan akhir bulan VI pemeriksaan BTA sudah menunjukan hasil negatif. Dari data penelitian, kelainan hematologi yang banyak
terjadi pada
waktu awal pengobatan tuberkulosis adalah anemia, peningkatan LED,
24
neutrofilia, limfopenia, limfositosis dan leukositosis. Namun hanya pada nilai LED yang mengalami peningkatan sebanyak 57%. Peningkatan tersebut terjadi karena infeksi kronis. Jumlah leukosit juga sedikit meninggi dengan limfositosis pada hitung jenis leukosit. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal. Laju endap darah mulai turun ke arah normal. Pemeriksaan hematologi saat akhir bulan II terapi OAT untuk hemoglobin menunjukkan kasus anemia sebanyak 25%, sedangkan pada akhir bulan VI sebanyak 32%. Keadaan ini mungkin akibat efek samping OAT yaitu INH dan pirazinamid. Pemeriksaan jumlah leukosit pada akhir bulan II ditemukan leukopenia 12% dan leukositosis 12%. Pada akhir bula VI ditemukan leukopenia 14% dan leukositosis 14%. Leukopenia dapat terjadi karena efek samping obat INH, rifampisin dan streptomisin. Pemeriksaan LED adalah indikator untuk menilai apakah penyakit sudah membaik. Pada terapi OAT akhir bulan II, terjadi peningkatan LED pada 37% pasien. Pada akhir bulan VI sebanyak 64% LED masih tinggi. Hal ini mungkin akibat infeksi lain atau infeksi sekunder. Pemeriksaan trombosit tidak banyak menunjukkan kelainan. Hanya ada 1 kasus yang mengalami trombositopenia. Mungkin akibat efek samping obat rifampisin dan etambutol. Secara keseluruhan kelainan hematologi yang terjadi pada 30 pasien dengan terapi OAT,
yaitu; anemia (36%), leukopenia (13%), leukositosis
(13%), trombositopenia (3%), peningkatan LED (23%). Apabila masih ditemukan kelainan hematologi pada akhir masa pengobatan maka pasien akan diberikan vitamin untuk mengembalikan sel-sel menjadi normal.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan Berdasarkan penelitian 30 pasien terapi OAT
dapat disimpulkan;
kelainan hematologi yang ditemukan yaitu anemia (36%), leukopenia (13%), leukositosis (13%), trombositopenia (3%), peningkatan LED (23%). Keadaan tersebut dapat terjadi karena efek samping OAT (INH, Rifampisin, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol). 2. Saran a. Untuk Klinisi Agar dapat melengkapi diagnosis atau data klinis untuk melengkapi data laboratorium. b. Untuk mahasiswa Sebagai informasi untuk menjadi bahan penelitian selanjutnya dengan sampel yang lebih banyak.
25