BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit diare hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia, dimana setiap tahunnya kejadian kasus diare sekitar 4 miliar, dengan jumlah kematian sebesar 2,2 juta per tahun (Arvelo et al., 2010). Sebanyak 6% kematian yang disebabkan diare, sebagai akibat dari konsumsi air yang berasal dari sumber air yang tidak aman, sanitasi yang buruk, kepadatan penduduk, perilaku yang buruk dan praktek kebersihan makanan (Masangwi et al.,2010). Di Indonesia penyakit diare juga masih menjadi masalah di bidang kesehatan. Angka kesakitan diare sekitar 15-43% tiap tahun. Dari jumlah tersebut 60-80% diderita oleh anak balita. Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor penyebab antara lain virus, bakteri, parasit, jamur, alergi makanan, minuman maupun obat-obatan serta faktor penyebab lainnya seperti keadaan gizi, hiegine dan sanitasi, sosial budaya, musim dan sosial ekonomi. (Winarno & Sundari, 1996). Di Indonesia diare merupakan salah satu penyebab kematian pada anak diantaranya karena infeksi rotavirus (Umam, 2012). Hasil Riskesdas 2007 bahwa diare merupakan penyebab kematian bayi tertinggi yaitu 42 % dibanding Pneumonia sebesar 24 %. Pada golongan umur 1-4 tahun sebanyak 25,2 % kasus kematian disebabkan diare dan 15,5 % disebabkan oleh pneumonia. Kejadian diare pada setiap balita per tahunnya adalah 1,6-2 kali kejadian. Diperkirakan kejadian diare sebanyak 40 juta setiap tahunnya dengan jumlah kematian 200.000-400.000 balita. Pada tahun 2008 dilaporkan bahwa telah terjadi KLB diare di 15 provinsi dengan penderita berjumlah 8.443 orang, dengan jumlah kematian 209 orang atau Case Fatality Rate (CFR) 2,48 % (Subagyo, 2012). Diare selalu masuk dalam 10 besar masalah kesehatan dan penyakit yang terjadi pada seluruh puskesmas di Indonesia bersama Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Achmadi, 2008). Penyakit-penyakit berbasis lingkungan
masih
1
2
menjadi penyebab utama kematian dan menyumbangkan sekitar 33 % total kematian semua kelompok umur. Masalah ini disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakmampuan masyarakat dalam memelihara kesehatan lingkungan misalnya pembuangan kotoran, air limbah, pembuangan sampah dan penyediaan air bersih, yang akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan khususnya tingginya masalah penyakit infeksi pencernaan diantaranya penyakit diare (Slamet, 2004). Setiap hari lebih dari 5000 balita meninggal dunia dikarenakan infeksi penyakit ini, penyebab utamanya yaitu tidak baiknya kondisi sanitasi. Diare adalah penyakit berbasis lingkungan yang sering berhubungan dengan air, dan sering disebut water borne disease atau penyakit bawaan air. Gambaran dari transmisi penyakit ini adalah siklus faecal oral dimana siklus ini dikenal dengan five fs yaitu fingers, fields, fluids, foods and files yang berhubungan dengan lingkungan (Bartram, 2008). Cara dan tempat penyimpanan air bersih yang tidak benar di daerah sulit air dapat menyebabkan kontaminasi dan berhubungan dengan kejadian diare. Kebiasaan tidak melakukan cuci tangan sebelum makan dan sesudah buang air besar dapat menjadi risiko diare dengan meningkatkan tingkat kematian lebih dari 40 % (Shrestha et al., 2006). Berkembangnya penyakit diare berkaitan dengan perilaku hidup sehat. Transmisi penularan diare secara fecal oral melalui tangan, air, tanah, makanan dan minuman dapat diputus dengan sanitasi lingkungan yang baik, perilaku, peningkatan pengetahuan dan tersedianya sumber air yang memenuhi syarat kesehatan (Soemirat, 2011). Penyakit diare merupakan penyakit berpotensi terjadi penularan secara besar-besaran dan menimbulkan KLB. Terjadinya penyakit yang diketahui atau diduga disebabkan oleh infeksi atau infestasi parasit, melampaui jumlah wajar atau tidak selayaknya ada di tempat dan waktu tertentu dikatagorikan sebagai KLB. Ancaman terjadinya KLB terwujud bila didukung populasi manusia yang rentan, penyebab penyakit dan adanya mekanisme penularan penyakit secara besar-besaran misalnya kontaminasi sumber air dan populasi vektor yang membengkak (Bres, 1995).
3
Kabupaten Boyolali sebagian besar wilayahnya adalah daerah pedesaan dimana penduduknya banyak yang memelihara ternak sapi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali, bahwa jumlah peternak sapi mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 jumlah peternak sapi berjumlah 69.755 orang meningkat pada tahun 2011 yaitu menjadi 84.876 orang. Masyarakat biasanya memelihara ternak seperti sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, kambing dan domba. Pada tahun 2011 jumlah ternak di Kabupaten boyoali adalah 342.423 ekor ternak dan sebagian besar hewan ternak yang dipelihara masyarakat Kabupaten Boyolali adalah sapi potong maupun sapi perah yaitu sebesar 185.779 ekor sapi (54,25 %) dari seluruh jumlah ternak (BPS, 2012). Umumnya masyarakat di Kabupaten Boyolali menempatkan kandang ternak dekat dengan rumah karena alasan keamanan ternak yang merupakan harta simpanan keluarga. Masyarakat belum mengetahui, sanitasi lingkungan yang kurang baik dan pencemaran lingkungan oleh adanya peternakan sapi dekat tempat tinggal dapat menimbulkan berbagai penyakit diantaranya adalah diare. Berdasarkan data Surveilans Terpadu Penyakit (STP) Boyolali, bahwa angka kejadian kasus diare cenderung mengalami kenaikan di wilayah Kabupaten Boyolali. Hal ini dapat dilihat pada gambar 1 berikut: 21.000 18565
19.000 17.000 15.000
15124 14694
13.000 11.000 9.000 7.000 5.000 2010
2011
2012
Sumber : Dinas Kesehatan Boyolali Tahun 2012
Gambar 1. Kecenderungan Kejadian Kasus Diare di Kabupaten Boyolali Tahun 2010-2012
4
Gambar 1 menunjukkan angka kejadian kasus diare di Kabupaten Boyolali terjadi kenaikan yaitu tahun 2010 sebanyak 14.694 kasus (IR 1.5/100 penduduk), tahun 2011 sebanyak 15.124 kasus (IR 1.6/100 penduduk) dan tahun 2012 sebanyak 18.565 ( IR 1.9/100 penduduk). Sebagian besar kasus diare di Kabupaten Boyolali terjadi pada balita. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada gambar 2 berikut: Jumlah kasus 5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 <5
Kelompok umur
5-9
10-14
15-19
2010
20-44
2011
45-54
55-59
60-69
>70
2012
Sumber: Dinas Kesehatan Boyolali 2012
Gambar 2. Kasus Diare Berdasarkan Kelompok Umur di Kabupaten Boyolali Tahun 2010-2012 Gambar 2 menunjukkan jumlah kasus diare tertinggi di Kabupaten Boyolali selama tahun 2010-2012 terjadi pada kelompok umur <5 tahun atau balita. Pada tahun 2010 jumlah kasus diare pada balita sebesar 3.798 kasus (25,8%), tahun 2011 sebesar 3711 kasus (24,5%) dan tahun 2012 sebesar 4.752 (25,6%). RSUD Pandan Arang adalah rumah sakit milik Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di RSUD Pandan Arang berupa kegiatan pelayanan rawat inap dan rawat jalan bagi masyarakat yang datang langsung maupun rujukan dari unit-unit kesehatan kecamatan di sekitar kota Boyolali.
5
Berdasarkan data dari rekam medik menunjukkan kasus diare di RSUD Pandan Arang Boyolali selalu masuk dalam 10 besar penyakit rawat inap, sebagaimana terlihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1. 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap di RSUD Pandan Arang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tahun 2010 Jenis Penyakit Jumlah Dyspepsia 1.919 Diare 1.015 Hipertensi 840 CKR 472 ISPA 444 DM non insulin 428 DF 428 ISK 425 SNH 386 CHF 383
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tahun 2011 Jenis penyakit Diare Dyspepsia Hipertensi DM non insulin CKR SNH Pneumonia ISK ISPA CHF
Jumlah 1.196 1.063 1.049 584 530 520 518 498 412 391
Sumber: RSUD Pandan Arang Boyolali Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 1, bahwa pada tahun 2010 dan 2011 diare selalu masuk daftar 10 penyakit terbanyak rawat inap dan bahkan pada tahun 2011 menempati peringkat pertama. Hal ini menunjukkan bahwa diare masih menjadi beban angka kesakitan yang tinggi di Kabupaten Boyolali. Permasalahan diare tidak hanya berupa angka kesakitan dan kematian yang ditimbulkan, akan tetapi potensi Kejadian Luar Biasa (KLB) yang mungkin terjadi (Depkes RI, 2008). Kejadian luar biasa (KLB) diare juga terjadi setiap tahun di wilayah Kabupaten Boyolali sebagaimana tabel 2 berikut: Tabel 2. Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare di Kabupaten Boyolali Tahun 2010-2013 Kasus Diare Jumlah Kasus Meninggal
Tahun
Jumlah Kejadian
2010
2
2
2
100 %
2011
1
34
0
0
2012
1
30
0
0
2013
1
33
0
0
Sumber : Dinas Kesehatan Boyolali 2013
CFR (%)
6
Tabel 2 menunjukkan bahwa KLB diare di wilayah Kabupaten Boyolali terjadi setiap tahun yaitu sejak tahun 2010-2013, dengan jumlah kasus tertinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu 34 kasus dan terdapat kasus kematian 2 kasus yang terjadi pada tahun 2010. Keadaan ini menunjukkan bahwa kasus diare masih menjadi masalah kesehatan di Kabupaten Boyolali. Keadaan sanitasi lingkungan di Kabupaten Boyolali pada tahun 2012 secara umum masih belum memadai, sebagaimana terlihat pada tabel 3 berikut: Tabel 3. Cakupan Keadaan Sanitasi Lingkungan di Kabupaten Boyolali Tahun 2012 Keadaan sanitasi lingkungan (sampel diperiksa) Rumah Sarana jamban keluarga Sarana pengelolaan air limbah Sarana pembuangan sampah Rumah tangga ber PHBS
No 1 2 3 4 5
Memenuhi syarat (%) 65,99 % 64,5 % 48,6 % 62,3 %) 72,82 %
Sumber : Dinas Kesehatan Boyolali Tahun 2012
Tabel 3 terlihat masih rendahnya cakupan keadaan sanitasi lingkungan yaitu sarana pengelolaan air llimbah 48,6%, cakupan rumah sehat 65,99%, jamban keluarga sebesar 64,5%, sarana pembuangan sampah 62,3%, dan rumah tangga melaksanakan PHBS sebesar 72,82%. Adapun keadaan sarana air bersih di Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada gambar 3 berikut:
10,74
18,85
Perpipaan PDAM
15,02
SGL (Sumur Gali)
3,21 1,69
50,49
SPT (Sumur Pompa Tangan) PAH (Penampungan Air Hujan) Mata air
Sumber : Dinas Kesehatan Boyolali Tahun 2012
Gambar 3. Data Keadaan Sarana Air Bersih Kabupaten Boyolali Tahun 2012
7
Gambar 3 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat menggunakan sumur gali untuk memenuhi kebutuhan sarana air bersih sebesar 50,49% dan jauh lebih besar dari penggunaan air PDAM yang masih sangat rendah yaitu 18,85%. Disamping itu sebagian masyarakat masih menggunakan penampungan air hujan sebesar 3,21% untuk memenuhi kebutuhan sarana air bersih. Hal ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Boyolali masih terdapat daerah pedesaan yang mengalami kesulitan air bersih dengan menampung air hujan dalam memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan data BPS Kabupaten Boyolali tahun 2012 data keadaan fasilitas jamban rumah tangga bahwa keluarga yang memiliki jamban sendiri sebanyak 63,8%, menggunakan jamban bersama adalah 23,9%, menggunakan WC umum 1%, dan tidak mempunyai jamban sebanyak 11,3%. Sanitasi lingkungan yang buruk berkaitan dengan dukungan keadaan fasilitas yang kurang memadai dan didukung kebiasaan memelihara ternak sapi yang tidak memperhatikan kebersihan lingkungan. Berternak sapi dekat lingkungan tempat tinggal bahkan menjadi satu di dalam rumah. Kondisi kandang yang tidak bersih dan tidak sesuai dengan standar peternakan sapi. Keadaan ini akan semakin memperburuk sanitasi lingkungan tempat tinggal dan menjadi faktor risiko meningkatnya kejadian diare. Berdasarkan keadaan di atas, kecenderungan kejadian kasus diare terus meningkat dari tahun 2010 sebanyak 14.695 kasus (IR 1,5/100 penduduk), pada tahun 2012 sebanyak 18.565 kasus (IR 1.9/100 penduduk). KLB diare terjadi setiap tahun, pada tahun 2010 terjadi 2 kali kejadian, tahun 2011-2013 masingmasing terjadi 1 kali kejadian. Kondisi sanitasi lingkungan yang kurang memadai diantaranya cakupan SPAL memenuhi syarat 48.6%, sumber air PDAM 10.7%, tidak mempunyai jamban 11%, dan penggunaan air hujan sebagai sumber air bersih sebanyak 3.2%. Hal ini penting dilakukan penelitian tentang sanitasi lingkungan dan faktor lainnya yang berhubungan dengan kejadian diare terutama pada balita di Kabupaten Boyolali.
8
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan permasalahan yang dapat dimunculkan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat berisiko meningkatkan kejadian diare pada balita? 2. Apakah sarana pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat berisiko meningkatkan kejadian diare pada balita? 3. Apakah tidak memiliki sarana pembuangan air limbah berisiko meningkatkan kejadian diare pada balita? 4. Apakah tidak memiliki sarana pembuangan sampah berisiko meningkatkan kejadian diare pada balita? 5. Apakah keberadaan peternakan sapi di dekat tempat tinggal berisiko meningkatkan kejadian diare pada balita? C. Tujuan Penelitian 1. Membuktikan bahwa sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat berisiko meningkatkan kejadian diare pada balita. 2. Membuktikan bahwa sarana pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat.berisiko meningkatkan kejadian diare pada balita. 3. Membuktikan bahwa tidak memiliki sarana pembuangan air limbah berisiko meningkatkan kejadian diare meningkat pada balita. 4. Membuktikan bahwa tidak memiliki sarana pembuangan sampah berisiko meningkatkan kejadian diare pada balita. 5. Membuktikan bahwa keberadaan peternakan sapi di dekat tempat tinggal berisiko meningkatkan kejadian diare pada balita. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat untuk Instansi terkait Diharapkan akan menjadi bahan masukan dalam menentukan kebijakan tentang kebersihan lingkungan sebagai pedoman di dalam upaya pencegahan dan penanggulangan serta pengendalian penyakit diare di kabupaten Boyolali.
9
2. Manfaat untuk masyarakat Untuk menambah wawasan masyarakat mengenai sanitasi lingkungan dan hubungannya dengan terjadinya diare pada balita sehingga diharapkan akan meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan. 3. Manfaat untuk peneliti Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian ilmiah mengenai sanitasi lingkungan yang berhubungan dengan terjadinya diare pada anak balita,
sehingga dapat digunakan sebagai dasar acuan pelaksanaan
penelitian di masa mendatang. E. Keaslian Penelitian Penelitian sejenis mengenai hubungan sanitasi lingkungan dan faktor risiko kejadian diare antara lain: 1. Zubir (2005) meneliti tentang faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada anak 0-35 bulan (batita) di Kabupaten Bantul. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel bebas antara lain sumber air minum, tempat pembuangan tinja dan status gizi. Variabel terikat yaitu diare. Desain penelitian menggunakan rancangan kasus kontrol. Perbedaannya adalah pada variabel bebas pemberhentian pemberian ASI, jumlah botol susu, cara mencuci botol, kebiasaan cuci tangan setelah buang air besar, cuci tangan sebelum menyuapi anak dan cara pembuangan tinja anak. Waktu, subjek dan lokasi penelitian. Hasil penelitian antara lain sumber air yang tidak terlindungi berisiko untuk terjadinya diare 3,1 kali, jamban tidak saniter berisiko 2,7 kali, ASI dihentikan sebelum anak berusia 2 tahun berisiko 3,25 kali dan mencuci tangan sebelum menyuapi berisiko 1,7 kali terhadap kejadian diare. 2. Erdan (2005) meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya diare akut pada anak usia 0-24 bulan di Kabupaten Gunungkidul. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel bebas sumber air bersih, variabel terikat adalah kejadian diare dan desain penelitian menggunakan
10
rancangan kasus kontrol. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada penentuan variabel bebas terdiri dari variabel status gizi, pemberian ASI eksklusif, pendidikan formal ibu, pekerjaan ibu, jumlah anggota keluarga dan pendapatan keluarga. Subjek penelitian anak usia 0-24 bulan, waktu dan lokasi penelitian. Hasil penelitian antara lain status gizi buruk berisiko 4,4 kali terhadap kejadian diare, ASI tidak eksklusif meningkatkan risiko 2,52 kali, pendidikan formal yang rendah meningkatkan risiko 2,93 kali dan pendapatan keluarga yang rendah meningkatkan risiko 2,65 kali. 3. Hannif (2010) meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare akut pada balita di Kecamatan Umbulharjo dan Kotagede Kota Yogyakarta. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel bebas jamban keluarga dan hygine perorangan. Variabel terikat yaitu diare akut. Desain penelitian menggunakan rancangan kasus kontrol dan subjek penelitian yaitu balita. Perbedaannya adalah variabel bebas kualitas bakteriologis sumber air dan merebus air minum. Waktu dan lokasi penelitian. Hasil penelitian antara lain higiene perorangan yang tidak baik berisiko untuk terjadi diare 2,16 kali dan sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat berisiko 2,10 kali. 4. Aryanto (2012) meneliti tentang studi sosiodemografi dan higiene sanitasi lingkungan pada balita penderita diare di Kota Makasar. Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel bebas sumber air minum dan tempat pembuangan tinja. Variabel terikat diare, desain penelitian kasus kontrol dan subjek penelitian yaitu balita. Perbedaan dengan penelitian ini adalah penentuan pada variabel bebas antara lain tingkat pendidikan ibu, pengetahuan ibu, pekerjaan ibu, umur ibu dan rumah panggung. Waktu dan lokasi penelitian. Hasil penelitian antara lain ibu tidak sekolah berisiko meningkatkan diare balita 4,174 kali, pengetahuan ibu kurang berisiko 3,697 kali, pembuangan tinja tidak higienis berisiko 3,289 kali dan pencemaran pada sumber air katagori amat tinggi berisiko 3,31 kali.