1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Salah satu ciri dari sikap modern, menurut pendapat Mulder (De Jong, 1984) ialah obyektifisasi, menaruh perhatian mental terhadap benda-benda, rasa hormat terhadap materi dan hubungan yang positif dengan materi adalah syarat mutlak bagi setiap modernisasi. Modernisasi dan kemajuan zaman yang membawa masyarakat pada pola dan gaya hidup materialistis, konsumtif dan hedonistis
telah
menggiring
perspektif
masyarakat
terhadap
nilai-nilai
kemanusiaan yang menyempit. Sikap sabar, tawakal, ulet, telaten, dan cermat yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis dan serba cepat. Manusia modern, menurut Kusuma (dalam Tuhusetya, 2007) telah melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya sendiri akibat pada keasyikan sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya, tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Dampak dari sikap dan gaya hidup masyarakat modern yang materialistis, konsumtif dan hedonis adalah suatu eksistensi manusia yang timpang dan berat sebelah. Soejatmoko (dalam De Jong, 1984) menyebutnya ”kehampaan eksistensiil” karena manusia tidak dapat menghadapi tantangan-tantangan kehidupan modern. Soejatmoko menjelaskan bahwa dalam peradaban modern, upaya pembangunan tidak hanya mengejar
2
peningkatan kesejahteraan material sehingga terlepas dari cita-cita yang berakar dalam kebudayaan tradisional. Kebudayaan dan agama yang tradisionallah yang dapat mengajarkan manusia untuk memahami pertanyaan-pertanyaan tertinggi seperti kehidupan, maut, tujuan, dan makna. Nilai-nilai tinggi seperti hidup, mati, dan tujuan hidup tidak merintangi kecakapan manusia, melainkan justru memperlebarnya (De Jong, 1984). Modern tidak berarti imitasi, peniruan dari keadaan negara-negara yang sudah maju. Modern adalah suatu sikap, suatu cara berpikir, suatu cara menghadapi dunia dan kehidupan manusia. Modern tidak berarti merubah keadaan tradisional melainkan berarti pembukaan dimensi-dimensi yang baru (Mulder, 1986). Modern adalah suatu sikap yang mampu menginovasi nilai-nilai tradisional, melestarikannya, dan mengambil sisi positifnya untuk membuka dimensi baru demi kehidupan yang lebih bermakna, lebih bahagia, dan lebih hidup. Mulai tahun 2000 masyarakat mulai melirik teknik-teknik tradisional untuk meraih ketenangan batin dan jiwa seperti yoga atau zen. Prabowo dan kawankawan menerangkan bahwa sejak awal dekade 2000-an, mulai diramaikan dengan adanya pelatihan (training seminar) yang diselengggarakan oleh konsultan asing. Pelatihan ini mencakup latihan meditasi, pengembangan pikiran (mind), dan kekuatan-kekuatan kejiwaan (psychic powers). Dalam pelatihan tersebut, konsepkonsep, dan teknik-teknik diambil dari disiplin agama-agama timur terutama India, Cina, dan Jepang (dalam Prabowo, dkk., 2005).
3
Ada baiknya sebagai masyarakat Indonesia untuk melihat cara-cara tradisional dari budaya bangsa sendiri sebagai salah satu upaya mencapai kebahagiaan, ketenangan dan ketentraman jiwa, serta kesehatan mental agar tidak lagi terdapat kehampaan eksistensiil dalam kehidupan manusia Indonesia. Salah satu upaya manusia Indonesia, khususnya masyarakat Jawa untuk memahami hakikat kehidupan dan mencapai kebahagiaan yang sempurna adalah melalui tradisi mistik Sepanjang sejarah Indonesia, tanah Jawa terkenal dengan budaya dan tradisinya yang selalu berbau mistik. Sebagian besar masyarakat memahami mistik sebagai suatu hal yang berkaitan dengan klenik dan gaib. Namun ternyata arti mistik lebih luhur daripada kelihatannya. Happold (dalam Hidayatullah, 2004:) dalam bukunya “Misticism; A Study and Anthology” mendefinisikan a mystic: “one who had been initiated into this mysteries, through which he had gained an esoteric knowledge of Divine things and had been reborn into eternity”. Mistik dalam pengertian ini adalah suatu sikap untuk membuka tabir misteri supaya mendapat pengetahuan Ilahi dan akhirnya dapat terlahir kembali dalam keabadian. Mistik seperti ini seharusnya merupakan ekspresi keagamaan paling luhur dari setiap orang. Seorang feminis, Margaret Smith menjelaskan mistik merupakan bagian terpenting semua agama yang besar, yang bangkit menentang formalitas beku dan ketumpulan religius. Tujuannya, menurut Smith, membangun hubungan secara sadar dengan yang Absolut, dimana sosok manusia menemukan obyek cinta yang bersifat personal (Sutopo, 2006).
4
Pengetahuan keilahian dan keabadian adalah dirasakan secara personal. Meminjam pendapat James (dalam Liem, 2008), yang menyebutkan bahwa “agama” adalah rumah dari agama personal. Sebagai rumah agama, agama formal mampu memberikan perilaku standar, namun tidak secara personal. Bahkan kesadaran intuitif dalam agama personal tidak bisa dipaksakan karena kesadaran ini adalah buah dari pengertian yang melewati pengalaman psikologis yang paling dalam. Dan itu semua diberikan oleh mistik dalam setiap agama. Masyarakat Jawa telah mengenal mistik sejak lama. Sejak zaman dahulu kala, telah banyak masyarakat yang tahu tentang tradisi mistik di Jawa yang dikenal dengan agama Jawa atau kejawen (Javanisme). Sejak di tanah Jawa belum mengenal agama, hingga masuknya agama-agama besar di Jawa, dan sampai sekarang, mistik kejawen (Javanisme) tetap eksis dipelosok desa, di sudut kota, bahkan di tengah hingar bingar ibukota. Javanisme menekankan ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap narima terhadap segala peristiwa sambil menempatkan individu dibawah masyarakat dan masyarakat dibawah semesta alam (Mulder 1986). Secara umum mistisisme kontemporer Jawa disebut kebatinan (Rajaby, 2009). Praktik mistisisme pada masyarakat Jawa lazim disebut laku batin. Laku batin dapat dilakukan perorangan maupun ritual yang dilakukan kelompok dengan cara mengikuti perkumpulan kebatinan (Soehadha, 2008). Kebatinan seringkali dianggap intisari Javanisme. Gaya hidup orang Jawa adalah kebatinan, yaitu gaya hidup manusia yang memupuk batinnya. Pada dasarnya kebatinan adalah mistik, penembusan terhadap pengetahuan mengenai alam dengan tujuan mengadakan
5
hubungan langsung antara individu dengan lingkungan Yang Maha kuasa (Mulder, 1986). Sekarang ini organisasi-organisasi kebatinan atau aliran-aliran kejawen masih tetap menunjukkan perkembangannya dengan berbagai bentuk ajaran dan praktik ritual masing-masing. Praktik mistisisme dan aliran kebatinan berkembang di Indonesia sejak awal abad ke-20 dan meningkat cukup pesat semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 (Woodward, 1999 dalam Soehadha, 2008). Biro Pengawas Aliran Kepercayaan (PAKEM) dari Departemen Agama telah mencatat sebanyak 360 gerakan kebatinan dalam tahun 1964. Setelah G 30 September 1965, banyak gerakan yang bersimpati dengan PKI hilang, sehingga daftar PAKEM yang baru yang dibuat dalam tahun 1971 hanya mencatat sebanyak 217 gerakan saja, dan 177 diantaranya bertempat di Jawa Tengah. Dari ke-177 gerakan itu, 13 berada di Surakarta (De Jong, 1973, Pakan, 1978, Koentjaraningrat, 1984). Zifana menuliskan bahwa dalam daftar Kejaksaan Agung tahun 1975/1976 terdaftar 224 aliran. Direktorat PPK (sekarang Dit Binahayat) sejak tahun 1979 hingga 1981 berhasil menginventaris 182 macam aliran penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ke-182 aliran yang terdaftar di Direktorat PPK tersebut nampaknya belum mencakup keseluruhan aliran-aliran kebatinan. Berbagai macam aliran yang masih bersifat lokal yang pernah dijumpai Simuh dalam penelitian di daerah-daerah Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, dan Cilacap belum termasuk dalam perhitungan tersebut (Zifana, 2008). Said Aqil
6
Siroj, ketua pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bahkan mengatakan saat ini ada kurang lebih 320 aliran kebatinan di Indonesia (Siroj, 2007) Lima aliran kebatinan terbesar di tanah Jawa yang sampai sekarang ini masih tetap eksis dengan jumlah penganut terbanyak adalah Hardapusara dari Purworejo, Susila Budi Darma (SUBUD) yang asalnya berkembang di Semarang, Paguyuban Sumarah dan Sapta Darma dari Yogyakarta dan Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) dari Surakarta. Tempo, 19 september 1987 menuliskan bahwa di Indonesia ada ratusan aliran kepercayaan yang terdaftar. Pangestu memiliki lebih dari 100.000 anggota dan nampaknya merupakan aliran kebatinan terbesar di Indonesia. Jumlah itu tersebar di 170 cabang di berbagai daerah, terutama Jawa, Kalimantan, dan Sumatra (www.majalah.tempointeraktif.com, 1987). Sekarang ini jumlah cabang dan penganut Pangestu telah bertambah banyak. Darsokusumo, sebagai Pejabat Ketua Pengurus Pusat Pangestu pada 20 Mei 2005 dalam sambutannya ketika Kongres Pangestu ke-15 menerangkan bahwa Pangestu telah memiliki 196 cabang dimana 184 cabang berada di Pulau Jawa dan 12 cabang di luar Pulau Jawa, dengan jumlah anggota seluruhnya 206.030 orang (Kongres Pangestu XV, 2005). Pangestu sebagai suatu paguyuban kebatinan yang terbesar di Indonesia memiliki pokok-pokok ajaran yang menitikberatkan pada pendidikan dan pengolahan jiwa yang memberikan tuntunan bagi umat manusia dalam bersikap dan berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, serta alam. Tujuan Pangestu ialah “mengantar umat manusia ke kesejahteraan abadi di pangkuan
7
Suksma
Kawekas
(Tuhan)
dan
memperkukuh
para
anggotanya
untuk
kesejahteraan umat manusia dan negara” (Hadiwiyono, 1983). Pangestu sebagai salah satu aliran mistik kebatinan juga memiliki tujuan mistik seperti ajaran-ajaran mistik kebatinan lainnya. Olah jiwa dan laku batin dalam ajaran Pangestu juga mengarah pada tujuan mistik manunggaling kawula Gusti (Endraswara, 2006). Latihan spiritual atau ritual, laku batin, maupun olah jiwa
dalam kebatinan Pangestu pada dasarnya adalah bertujuan agar para
pelakunya dapat merasakan “rasa tertinggi” sebagai aspek fundamental dari penghayatan mistik seseorang (Geertz, 1993). Tradisi mistik pada umumnya memiliki sebuah kesamaan, yaitu adanya penyatuan pada sesuatu yang bersifat transenden. Penyatuan adalah pengalaman yang ditandai dengan hilangnya batas antara subyek dan obyek. Pengalaman ini oleh Bistami diekspresikan dalam sebuah kalimat, “Aku mencari Tuhan dan hanya menemukan diriku. Aku mencari diriku dan hanya menemukan Tuhan” (dalam Liem, 2008). Tradisi mistik secara umum dan tradisi mistisisme Jawa khususnya, pada dasarnya terangkum dalam penghayatan dan pengalaman mistik para pelakunya. Stace mengatakan: ”Our question “what is mysticism?” really means “what is mystical
experience.”
(dalam
Kartowidjojo,
2004).
Selanjutnya
Stace
mengatakan, ”The point is that a mystical idea is a product of the conceptual intellect, whereas a mystical experience is a non-intellectual mode of conciousness”. Pertanyaan tentang apa itu mistik, menurut Stace sebenarnya berarti juga apakah pengalaman mistik itu. Yang jadi poin disini adalah gagasan
8
mistik adalah hasil dari konsep intelek, sedangkan pengalaman mistik adalah hasil dari suasana/keadaan kesadaran yang non-intelek. Memahami mistik adalah dengan memahami pengalaman mistik pelaku mistik, sedangkan pengalaman mistik itu sendiri lebih dari pengalaman intelektual, karena pengalaman mistik tidak pernah terjadi pada saat indra bekerja, terutama indra intelek yaitu otak. Geertz, Mulder, dan Jong mengatakan pengalaman mistik kebatinan Pangestu adalah masalah “rasa”. Pengalaman mistik ataupun permasalahan rasa dalam mistik kebatinan Pangestu adalah suatu pengalaman transpersonal. Kajian keilmuan mengenai pengalaman transpersonal adalah psikologi transpersonal. Psikologi transpersonal ingin menjawab pertanyaan “siapa saya?” dengan penyembuhan, spiritual, kreativitas, dan menghubungkan dengan ‘higher self’ (Milburn, dalam www.judithmilburn.com; Tisdale, 1995). Beberapa psikolog telah menemukan bahwa pengalaman mistik tampak berhubungan dengan psychological strength dan well-being. Tes psikologi juga mengindikasikan bahwa “peakers” atau seorang yang mengalami “peak experience” adalah lebih tidak dogmatik, tidak autoritarian, dan lebih intelektual, imajinatif, dan rileks daripada “non-peakers” (Koltko, 1989). Penjelasan diatas menggambarkan psikologi transpersonal yang tertarik pada perubahan dan perluasan konsep self. Psikologi transpersonal juga mengkaji pengalaman seseorang yang berkenaan dengan eksistensi individual sebagai ekspresi realitas yang lebih luas dan berkonsentrasi pada wilayah dimana psikologi dan spiritual saling meliputi (Milburn, dalam www.judithmilburn.com).
9
Pengalaman mistik tentunya juga termasuk di dalam pengalaman semacam ini mengingat pengalaman mistik adalah transformasi kesadaran, dari kesadaran mental-spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal ilahiah (Hilmy, 2006). Penulis menyimpulkan dalam hal ini psikologi transpersonal ingin melihat perkembangan kepribadian seseorang, sejauh mana individu secara sadar mengembangkan self-nya melalui pengalaman mistik untuk mencapai kesejahteraan hidup dan psychological strength. Bila
dilihat
beberapa
dekade
sebelum
psikologi
transpersonal
dikembangkan, sudah banyak tokoh psikologi yang mencoba menelurkan teoriteori perkembangan kepribadian dan self.
Tujuan perkembangan kepribadian
seluruh umat manusia tentunya adalah kepribadian sehat dan penuh. Tiap tokoh menyebutnya dengan cara masing-masing dan menjelaskannya dengan proses masing-masing pula. Carl Gustav Jung menyebut individu dengan kepribadian yang sempurna adalah orang-orang yang terindividuasi. Sedangkan Abraham Maslow menyebutnya orang-orang yang teraktualisasi. Pribadi yang teraktualisasikan dilukiskan sebagai “penggunaan, dan pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya”. Orang semacam ini memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya (Goble, 2000; Baihaqi, 2008). Dalam perkembangan teori Maslow berikutnya disimpulkan bahwa level tertinggi dari aktualisasi diri adalah transenden (Huiitt, W, 2004). Maslow mengungkapkan bahwa ada dua point yang dibuat tentang orang yang teraktualisasi yaitu nilai-nilainya yang natural (alami) dan nampak mengalir begitu saja dalam kepribadiannya. Dan
10
orang-orang yang teraktualisasi mampu mentransendensikan banyak hal yang berlawanan yang tidak dapat disangkal seperti perbedaan antara spiritualitas dan fisik, egois dan tidak egois, serta yang maskulin dan feminin. Sedikit berbeda dengan Maslow, Jung menjelaskan orang-orang yang terrealisasi ini dengan suatu kondisi yang menunjukkan proses yang lebih struktural karena mengikutsertakan kesadaran dan ketidaksadaran serta posisi sentral ego dalam proses tersebut. Teori psikologi analitik Jung menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan hidup yang disebut realisasi
diri.
Orang
dikatakan
mencapai
realisasi
diri,
kalau
dapat
mengintegrasikan semua kutub-kutub yang berseberangan dalam jiwanya menjadi kesatuan pribadi yang homogen (Alwisol, 2008). Realisasi diri merupakan truly your self yang dapat dicapai dengan berani menerima kesunyian dan dilalui dengan proses yang awalnya tidak mengenakkan (Jung, 1986). Realisasi diri berarti diferensiasi yang sangat penuh, sangat sempurna, serta perpaduan yang harmonis dari semua aspek seluruh kepribadian manusia. Ini berarti bahwa psyche telah mengembangkan pusat baru, yakni “diri”, menggantikan pusat yang lama yakni ego (Hall dan Lindzey, 1993). Jung juga menjelaskan konsepnya mengenai realisasi diri melalui fungsi transendental dimana proses ini mencoba mengintegrasikan aspek-aspek kepribadian yang saling berlawanan, antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara ego dan shadow, dan antara anima dan animus. Apa hubungan orang yang terindividuasi menurut Jung dan orang yang teraktualisasi menurut Maslow dengan pengalaman mistik kebatinan Pangestu
11
dan psikologi transpersonal? Pertanyaan inilah yang mendasari penelitian penulis. Psikologi analitik Jung memahami ketidaksadaran dan dimensi spiritual dalam hidup. Psikologi humanistik Maslow mencari makna dasar psyche sebagai ‘soul’ yang tidak hanya sebuah otak yang dihubung-hubungkan atau perilaku yang dikondisikan. Soul adalah aspek yang abadi dari eksistensi manusia yang benarbenar membawa makna dan hidup kepada setiap orang dan menunjukkan intisari siapa dia sebenarnya (Milburn, dalam www.judithmilburn.com). Psikologi analitik Jung adalah tentang kesadaran yang dipengaruhi oleh ketidaksadaran, psikologi humanistik Maslow adalah kesadaran yang dipengaruhi oleh pengalaman (individual conscious experience), dan psikologi transpersonal menurut Walsh (Tisdale, 1995) adalah tentang mistik dimana rasa individu tentang self yang secara signifikan berubah dan pada kenyataanya meluas. Singkatnya, realisasi diri Jung yang dicapai melalui usaha mental dalam memperluas kesadaran dengan menerima ketidaksadaran dapat dilakukan dengan tata cara spiritual atau mistik. Sedangkan aktualisasi diri Maslow dapat dicapai melalui pengalaman puncak (peak experience) yang terbukti lebih mistik, religius dan indah (poetical). Konsep realisasi diri Jung dan aktualisasi diri Maslow meskipun berada dalam dua aliran psikologi yang berbeda namun arah dan ujung dari pemikiranya adalah sama yaitu suatu tingkat perkembangan kepribadian yang melampaui normalitas. Artinya, suatu tingkat perkembangan kepribadian yang belum tentu dapat dimiliki oleh banyak orang. Ide-ide Jung telah mempengaruhi tulisantulisan Maslow hingga sampai akhir hidupnya Maslow membuka aliran keempat
12
psikologi yaitu psikologi transpersonal yang mengkaji higher self dilihat dari tradisi-tradisi mistik timur. Tidak dapat dipungkiri bahwa Jung akan diakui sebagai pemimpin spiritual dan intelektual dari gerakan revolusioner dalam psikologi modern ke arah fenomenologi, eksistensialisme, meditasi, kerohanian, ilmu mistik, ilmu gaib, perluasan kesadaran, transendensi, kesatuan diri, dan pemenuhan diri (Hall dan Lindzey, 2001). Bagaimana realisasi diri dan aktualisasi diri ini terjadi dapat dipahami melalui pengalaman mistik yang merupakan bagian dari psikologi transpersonal. Dan pada akhirnya, pengalaman mistik yang dipilih penulis untuk menjadi objek kajian penelitian ini adalah mistik kebatinan Pangestu. Suatu hal yang menarik untuk melihat lebih dalam tentang apa saja yang dapat diberikan oleh mistik kebatinan Jawa khususnya Pangestu pada aspek psikologis seseorang karena mistik kebatinan Jawa ternyata bukan saja memberikan suatu nilai yang gaib dan hitam namun memiliki nilai keluhuran sebagai upaya mental manusia menuju kesempurnaan hidup. Mistisisme Jawa, dalam hal ini, merupakan sebuah harapan yang mampu mempertemukan semua tradisi spiritual dalam cara pandang yang universal. Encyclopedia Britannica (dalam Liem, 2008) menyebutkan bahwa mistisisme adalah harta karun abad ke20 yang tersembunyi di pusat-pusat jiwa manusia. Bagi penulis mistik kebatinan Jawa memiliki keistimewaan yang sama dengan Yoga dalam budaya HindhuBudha dan Zen dalam budaya Jepang, dalam menyumbangkan upaya kesejahteraan psikologis dan kesehatan mental di bidang psikologi. Mungkin hal
13
itulah yang mampu menjelaskan tentang alasan mengapa banyak orang tua Jawa tampak sabar, tenang, dan berumur panjang.
B. PERTANYAAN PENELITIAN Pertanyaan penelitian yang akan dicari jawabannya adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana pengalaman mistik para penganut Pangestu? 2) Bagaimana proses mencapai realisasi diri penganut Pangestu menurut teori Jung? 3) Bagaimana proses mencapai aktualisasi diri penganut Pangestu menurut teori Maslow? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang : 1) Pengalaman mistik penganut kebatinan Pangestu. 2) Proses pencapaian realisasi diri dan aktualisasi diri para pengikut Pangestu. 3) Keterkaitan antara aktualisasi diri Maslow dan Realisasi diri Jung dalam pengalaman mistik Pangestu.
D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini dibagi mejadi 2 macam, di antaranya sebagai berikut ini :
14
1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya bukti empiris tentang pengalaman mistik dalam aliran kebatinan Jawa, khususnya Pangestu sehingga mampu membantu dalam upaya mencapai realisasi diri dan aktualisasi diri. 2. Manfaat Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan: a. Bagi masyarakan luas, dapat membantu dalam memahami filsafat dan ajaran mistik kebatinan Jawa untuk mendapatkan kebahagiaan hidup serta diharapkan dapat mengambil sisi positif dari pengalaman mistik para pengikut Pangestu. b. Bagi peneliti lain, dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk penelitian selanjutnya, khususnya mengenai aktualisasi diri dalam praktek mistik pangestu, realisasi diri dalam praktek mistik pangestu dan pengalaman mistik pengikut pangestu.
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. MISTISISME JAWA 1. Pengertian Mistisisme Jawa Mistisisme, dalam bahasa Inggris mysticism, bahasa Yunani mysterion, dari mystes (orang yang mencari rahasia-rahasia kenyataan) atau myein (menutup mata sendiri). Istilah ini berasal dari agama-agam misteri Yunani yang para calon pemeluknya diberi nama “mystes” (dalam Hidayatullah, 2004). Pendapat-pendapat tentang paham mistik (dalam www.wikipedia.com) adalah sebagai berikut: 1) Kepercayaan tentang adanya kontak antara manusia bumi (aardse mens) dan Tuhan (Haeringen dan Woordenboek, 1948), 2) Kepercayaan tentang persatuan mesra (innige vereneging) ruh manusia (ziel) dengan Tuhan (Haeringen dan Woordenboek, 1948), 3) Kepercayaan kepada suatu kemungkinan terjadinya persatuan langsung (onmiddelijke vereneging) manusia dengan Dzat Ketuhanan (goddelijke wezen) dan perjuangan bergairah kepada persatuan itu (Kunstwoordentolk, dan Kramers), 4) Kepercayaan kepada hal-hal yang rahasia (geheimnissen) dan hal-hal yang tersembunyi (verborgenheden) (Kramers), 5) Kecenderungan hati (neiging) kepada kepercayaan yang menakjubkan (wondergeloof) atau kepada ilmu yang rahasia (geheime wetenschap). (Kunstwoordentolk dan Kramers),
16
Happold (dalam Hidayatullah, 2004) dalam bukunya “Misticism; A Study and Anthology” mendefinisikan a mystic: “one who had been initiated into this mysteries, through which he had gained an esoteric knowledge of Divine things and had been reborn into eternity”. Maksudnya, seorang yang terinisistaif ke dalam misteri, yang mendapat pengetahuan ilahiah dan setelah itu merasa dilahirkan kembali ke dalam keabadian. Berger (1991) dan Geertz (1993) menerangkan bahwa mistisisme sendiri merupakan suatu pengalaman keagamaan tertentu yang ditunjukkan oleh adanya kondisi psikologis yang berhubungan dengan ciri-ciri tertentu yang melibatkan jenis kesadaran tertentu, dimana simbol-simbol indrawi dan pengertian-pengertian dari pengertian abstrak seolah-olah terhapuskan. Jiwa merasa disatukan dalam suatu kontak langsung dengan kenyataan yang menguasainya. Dalam bentuk idealnya, mistisisme menimbulkan pengakuan bahwa penyatuan seperti itu telah terjadi secara empiris, semua invidualitas menghilang dan diserap dalam lautan keilahian yang maha luas (dalam Soehadha, 2008). Mistisisme Jawa tentunya merupakan suatu fenomena mistik ataupun mistisisme yang terdapat atau lebih tepatnya dilakukan oleh masyarakat Jawa. Mistisisme yang dulunya berkembang dan beranak-pinak, terutama di Jawa, tumbuh subur bersama budaya asli, secara perlahan-lahan tergusur oleh paham keagamaan baru yang disebut agama-agama theisme (Sutopo, 2006). Mistisime Jawa adalah mistisisme yang berakar dari budaya Jawa (dalam http/:mauratania.wordpress.com). Secara umum mistisisme kontemporer Jawa disebut kebatinan (Rajaby, 2009). Praktik mistisisme pada masyarakat Jawa lazim
17
disebut laku batin. Laku batin dapat dilakukan perorangan maupun ritual yang dilakukan kelompok dengan cara mengikuti perkumpulan kebatinan (Soehadha, 2008). Pada dasarnya orang-orang Jawa beranggapan bahwa Tuhan terletak di dalam hati dan hidup. Bagi orang Jawa penyembahan ini adalah penyembahan terhadap yang transenden. Selain itu pula, budaya mistik Jawa sangat memberikan ruang bagi pemikiran dan terminology mistik agama “impor” yang juga mengekspresikan penyembahan dengan cara-cara ritual dan ceremonial (Rajaby, 2009).
2. Sejarah Mistisisme Jawa Tradisi mistik di Jawa merupakan suatu sinkretisme dari agama-agama yang datang ke tanah Jawa. Agama-agama yang membawa pengaruh besar pada perkembangan mistik di Jawa diantaranya adalah agama Hindhu, Budha, dan Islam. Agama Hindhu yang datang di Indonesia ialah suatu bentuk penyembahan Siwa. Agama Siwa yang ada di Indonesia pada waktu itu ialah agama Siwa yang telah dipengaruhi oleh aliran Tantra, yaitu yang mengajarkan penjelmaan atau penubuhan Brahman (zat pertama, asal segala sesuatu). Sedangkan Agama Budha yang berkembang di Indonesia adalah agama Budha Mahayana yang telah menyembah banyak Budha (Hadiwiyono, 1983). Sedangkan ajaran agama Islam yang tersebar di pantai utara Jawa mengandung unsur-unsur mistik, karena agama Islam yang berkembang di pantai utara itu berasal dari Gujarat India, yang pada saat itu juga diwarnai unsur-unsur mistik (Imam, 2005). Pada akhir abad ke-16 dan belahan kedua abad ke-17 di Aceh ada 4 orang tokoh tassawuf, yaitu
18
Syamsul-din dari Pasai, Hamzah dari Pansur, Nurul-Din Al Raniri dan Adul-Rauf dari Singkel. Namun ajaran Hamzah dan Syamsul-Din merupakan ajaran yang mencerminkan kebatinan yang dianut umum (Hadiwiyono, 1983). Konsep penciptaan dalam ajaran Hindhu-Siwa mapun Budha-Mahayana merupakan suatu penciptaan alam semesta (jagad gedhe) dan manusia (jagad cilik) yang keluar dari keadaan Siwa ataupun Budha. Ajaran Budha-Mahayana dan Hindhu-Siwa sama-sama mengajarkan bahwa manusia dan alam semesta dipandang sebagai pengaliran keluar dari Yang Ilahi (Hadiwiyono, 1983; Imam, 2005). Ajaran Hamzah tentang konsep penciptaan disebut dengan ”pengaliran keluar” (tanazzul) dan ”pengaliran kembali” (taraqqi). Dari dalam diri Allah mengalirlah ke luar alam semesta dan manusia secara bertahap atau berpangkatpangkat. Di dalam kebatinan Islam pangkat-pangkat ini disebut martabat. Hamzah mengumpamakan martabat ini seperti pangkat laut yang tak bergerak, pangkat ombak, pangkat uap dan awan, pangkat hujan, pangkat sungai, dan pangkat pengaliran kembali ke laut (Hadiwiyono, 1983). Sedangkan ajaran Syamsul-Din tantang konsep penciptaan ini adalah terjadi dalam 6 pangkat, dengan 1 pangkat tambahan tentang pengaliran kembali. Ajarannya mirip dengan ajaran AlBurhanpuri karena Symasul-Din juga adalah muridnya (Imam, 2005). Ajaran ini dikenal dengan ajaran martabat tujuh. Jalan kembali manusia kepada Tuhan baik dalam ajaran Hindhu, Budha, maupun Islam adalah suatu jalan kesempurnaan. Konsep kelepasan dan kesempurnaan menurut ajaran Hindhu-Siwa dan Budha-Mahayana pada
19
prinsipnya adalah ketika manusia bisa lepas dari tumimbal lahir sehingga dapat kembali (mantuk) ke tampat kediamannya dan tercapailah kesempurnaan. Jalan menuju kesempurnaan ini menurut Hamzah ada 4 pangkat, yaitu syaria, tariqa, haqiqa, dan ma’rifa. Sedangkan Syamsul-Din menyebutnya dengan pangkat islam, iman, tawhid, ma’rifa.
3. Kejawen dan Mistik Kebatinan a. Pengertian Kejawen Suseno juga membedakan masyarakat Jawa kedalam dua kelompok atas dasar keagamaan. Kedua-duanya secara nominal termasuk agama Islam, tetapi golongan pertama dalam kesadaran dan cara hidupnya lebih ditentukan oleh tradisi-tradisi Jawa pra-Islam, sedangkan golongan kedua memahami diri sebagai orang Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam. Yang pertama disebut Jawa Kejawen. Dalam kepustakaan, kelompok pertama sering juga disebut “abangan”, yang kedua “santri” (Suseno, 1993). Cliford Geertz dalam disertasinya “Religion of Java” menjelaskan Kejawen sebagai ilmu Jawi atau Javanese-ism. Kejawen adalah segala adat istiadat masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah yang merupakan warisan leluhur yang tidak termasuk dalam hukum Islam. Ada juga yang mendefinisikan kejawen sebagai sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa dimana terdapat keyakinan akan adanya Tuhan, yakni akan adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai alam serta memiliki konsep-konsep tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakni akan adanya makhluk-makhluk halus penjelmaan nenek
20
moyang yang sudah meninggal, yakin adanya roh-roh penjaga, setan-setan, hantu, raksasa dan kekuatan-kekuatan gaib dalam alam semesta (Koentjaraningrat, 1984). Budaya Jawa Kejawen inilah yang selanjutnya mengembangkan ajaran mistisisme di Jawa khususnya sangat berkembang di wilayah keraton Surakarta dan Yogyakarta. Inti dari budaya Jawa maupun kejawen adalah mistik. De jong menjelaskan mistik merupakan salah satu bentuk, bahkan visi dasar dari Javanisme. Seluruh Jawa diliputi oleh suasana mistik yang merangkum semua kelompok penduduk, lepas dari tingkat sosial atau pendidikan (De Jong, 1984). b. Pola Pikir Mistik Jawa Endraswara (2006) merangkumkan pola pikir mistik dalam masyarkat Jawa sebagai berikut: 1) Pola pikir etis, yakni pemikiran mistis yang mengarah tercapainya manusia berbudi pekerti luhur atau manusia waskitha. Yakni manusia yang mampu hidup harmonis antara makrokosmos dan mikrokosmos; 2) Pola pikir kosmis, yakni manusia yang menginginkan lebur dengan alam semesta. Manusia berada dalam proses ”menjadi” secara kontinu; 3) Pola pentheistis, yakni suatu paham antroposentris yang harus mengupayakan ke arah manunggaling Kawula Gusti. Manusia selalu mengadakan semedi untuk manunggal dengan Tuhan. Pola pikir etis dan kosmis didasarkan pada pandangan orang-orang Jawa untuk mencapai harmonisasi dengan alam semesta. Widodo (2004) menerangkan bahwa kondisi harmonis ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari konsep tentang
kesatuan eksistensi,
konsep
ini
dikenal
dengan
jagad
gedhe
21
(makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos). Endraswara menjelaskan alam semesta atau jagad gedhe identik dengan jagading manungsa atau jagad cilik yang harus diseimbangkan. Keharmonisan dua alam hidup manusia ini, akan menyebabkan ketentraman hidup. Prinsip harmoni dapat dicapai melalui tindakan mistik kejawen. Yakni melalui harmonisasi batin manusia, yaitu menegakkan etika mistik kejawen. Etika yang dianut adalah budi pekerti luhur, yaitu bertindak sepi ing pamrih rame ing gawe (Endraswara, 2005). Selanjutnya,
terkait
dengan
pola
pikir
kosmis,
Mulder
(1996)
mengungkapkan adanya hukum kosmis (ukum pinesthi) yang mengungkapkan bahwa segala peristiwa yang terjadi dalam perjalanan sejarah di dunia ini sebenarnya telah ditetapkan sebelumnya. Segalanya menunjuk pada adanya keteraturan karena pusat dari hukum kosmis ini sesungguhnya adalah ”Yang Maha Tunggal” (Hyang Suksma) yaitu hidup (urip) dari mana semua eksistensi berasal dan kepada siapa harus kembali (dalam Widodo, 2004). Peleburan dengan kosmos ataupun alam semesta merupakan tujuan mistik kejawen. Pola pikir pantheistis dalam mistik kejawen adalah mengenai konsep ketuhanan yaitu manunggaling kawula Gusti. Manunggal artinya menjadi satu atau bersatu. Jadi manunggaling Kawula Gusti merupakan upaya manusia untuk manunggal atau bersatu dengan Tuhan. Hal ini dilandasi dengan kepercayaan bahwa manusia dapat mengadakan komunikasi langsung atau bahkan bersatu dengan Tuhan (Endraswara, 2006).
22
c. Pengertian dan Sifat Kebatinan Kebatinan seringkali dianggap sebagai intisari “Kejawen”. Gaya hidup orang Jawa adalah kebatinan (Imam, 2005). Kebatinan sendiri akar katanya batin, berasal dari lafaz bahasa Arab, artinya yang di dalam, yang sulit, yang tersembunyi. Batin itu menunjukkan sifat, dengan sifat batin itu manusia merasa dirinya lepas dari segala yang semu. Beberapa tokoh mencoba mendefinisikan kebatinan. Kebatinan menurut Wongsonegoro merupakan bentuk kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa menuju tercapainya budi luhur dan kesempurnaan hidup (dalam Endraswara, 2006). Kebatinan menurut Projohusodo adalah suatu ilmu atas dasar ketuhanan absolut yang mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan Tuhan tanpa perantara (dalam Imam, 2005). Sedangkan Mertodipuro menjelaskan bahwa kebatinan adalah cara ala Indonesia mendapatkan kebahagiaan. Di Indonesia, kebatinan, apapun namanya seperti tasawuf, ilmu kesempurnaan, teosofi, dan mistik adalah gejala umum. Kebatinan memperkembangkan inner reality, kenyataan rohani. Karena itulah selama bangsa Indonesia tetap berwujud Indonesia, beridentitas asli, maka kebatinan akan tetap di Indonesia, baik di dalam agama atau di luarnya (dalam Imam, 2005). Pengertian-pengertian tersebut diatas memberi kesimpulan bahwa kebatinan merupakan cara asli Indonesia dalam mencapai kebahagiaan, budi luhur, dan kesempurnaan hidup dengan mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan Tuhan dimana dimaksudkan untuk mengembangkan eksistensi batin atau kenyataan rohani. Adapun mistik kejawen, adalah pelaku budaya Jawa
23
yang berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini berarti, mistik kejawen, kepercayaan, dan kebatinan adalah tiga sisi kultural yang saling melengkapi. Mistik kejawen adalah perwujudan dari salah satu laku yang dilaksanakan oleh sebuah aliran kebatinan dan kepercayaan. Dengan kata lain, mistik merupakan bagian dari jurus kebatinan dalam praktik kultural. Pandangan hidup masyarakat Jawa yang menganut aliran kebatinan serta laku mistik, akan menekankan pilar hidup pada ketentraman batin, keselarasan, dan keseimbangan (harmoni), yang dilandasi oleh sikap menerima, sabar, awas eling (mawas diri), anoraga atau andhap asor (rendah diri), dan prasaja (Endraswara, 2006). Jelaslah bahwa dalam budaya Jawa mistik dan kebatinan adalah sangat dekat. Bahkan menurut pemahaman kontemporer, mistisisme juga berarti kebatinan. Pelaku mistik pasti dan selalu menggunakan daya batin untuk menyingkapkan misteri dan kerahasiaan. Orang Jawa dalam budayanya menggunakan batin untuk berkomunikasi langsung dengan realitas yang lebih tinggi. Sejalan dengan hal ini Subagya (dalam Endraswara, 2006) menjelaskan sifat-sifat kebatinan yang mengandalkan pada: 1) Batin, berasal dari lafal bahasa Arab yang bermakna perut, rasa mendalam, tersembunyi, rohani, dan asasi; 2) Rasa, yaitu sebuah pengalaman rohani subyektif; 3) Keaslian, yaitu bangkitnya hasrat untuk mengembangkan kepribadian asli; 4) Hubungan antar warga, mereka bersatu karena terikat sebuah paguyuban yang memiliki kesamaan pandangan hidup yaitu, ke arah manunggaling kawula Gusti;
24
5) Ahklak sosial, kebatinan merupakan gerakan yang melawan demoralisasi, karenanya selalu menyerukan kesusilaan dengan semboyan budi luhur dan sepi ing pamrih; 6) Gaib, dalam kebatinan terdapat kepercayaan pada daya-daya gaib yang suprarasional, misalnya nujum, ilmu ngalamat, ilmu pertanda, zimat, tuah, dan sebagainya.
4. Teori Mistik a. Delapan Postulat Geertz tentang Mistik Kebatinan Jawa Teori mistik ini terkait dengan delapan postulat yang telah diungkapkan Clifford Geertz dalam bukunya Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, yaitu sebagai berikut: 1. Dalam kehidupan sehari-hari manusia, perasaan tentang “baik” dan ”buruk”, ”kebahagiaan”, dan ”ketidakbahagiaan” saling bergantung secara inheren dan tak bisa dipisahkan. Tak seorang pun bisa berbahagia sepanjang waktu atau tidak bahagia sepanjang waktu, tetapi terus menerus berada diantara dua keadaan ini dari hari ke hari, dari jam ke jam, menit ke menit. Variasi ini sama buat semua perasaan (cinta, benci, takut, dan sebagainya). Selanjutnya, tujuan hidup bukanlah untuk memaksimalkan perasaan yang positif dan meminimalkan yang negatif, yakni ”pengejaran kebahagiaan” yang pada hakikatnya tidak mungkin, sebab maksimasi sesuatu perasaan juga mengandung maksimasi perasaan sebaliknya. Maka yang
25
menjadi tujuan adalah meminimalkan semua nafsu dan sedapat mungkin membungkam semuanya itu, mengerti ”perasaan’ yang lebih benar yang terletak di baliknya. Yang mejadi tujuan adalah tentrem ing manah, ”kedamaian (ketenangan, ketentraman) di dalam hati (tempat kedudukan emosi-emosi itu). 2. ”Di bawah” atau ”di balik” perasaan manusiawi yang kasar ada suatu perasaan makna dasar yang murni, rasa, yang sekaligus merupakan diri sendiri seorang individu (aku) dan suatu manifestasi Tuhan (Gusti, Allah) dalam individu itu. Kebenaran keagamaan yang dasar dari seorang mistikus priyayi terletak dalam persamaan: rasa = aku = Gusti. 3. Tujuan manusia adalah untuk ”tahu” atau ”merasakan” rasa tertinggi ini di dalam diri sendiri. Prestasi demikian membawa kekuatan spiritual, suatu kekuatan yang bisa digunakan untuk maksud baik maupun buruk dalam soal-soal duniawi. Hanya ada sedikit perhatian terhadap ganjaran di luar dunia ini; sepanjang hal semacam itu mungkin, ini merupakan mistik yang menduniawi. 4. Untuk memperoleh ”pengetahuan” tentang rasa tertinggi ini, orang harus memiliki kemurnian kehendak, harus memusatkan kehidupan batinnya
sepenuhnya
mengintensifkan
dan
untuk
mencapai
memusatkan
tujuan
semua
tunggal
ini,
sumber-sumber
spiritualnya pada suatu titik yang kecil (seperti kalau orang memusatkan sinar matahari melalui suryakanta untuk menghasilkan
26
panas maksimum pada suatu titik). Alat utama untuk memperoleh kemurnian kehendak dan pemusatan daya upaya demikian ini adalah: pertama, pengumpulan kehidupan instinktif seseorang, mengangkat diri diatas kebutuhan fisiologis sehari-hari, dan kedua, disiplin dalam penarikan diri dari minat duniawi untuk jangka waktu yang lama atau sebentar dan pemusatan terhadap hal-hal yang dalam. Yang paling penting diantara disiplin instinktual adalah puasa, begadang, dan absensi seksual. Penarikan diri sementara dari minat kepada dunia lahir disebut semedi atau dalam bentuknya yang paling intensif yang tak pernah dipraktekkan sekarang, tapa, yang terdiri dari duduk lurus berdiam diri mutlak dan mengosongkan diri dari semua isi duniawi sejauh mungkin. 5. Kecuali disipilin spiritual dan meditasi, studi empiris terhadap kehidupan emosional, suatu psikologi metafisik, juga menimbulkan suatu pengertian dan pengalaman mengenai rasa. Studi semacam itu merupakan suatu analisa pengalaman fenomenologis dan dianggap sebagai ”teori” yang menyangkut praktek berpuasa dan kewajiban lainnya. Salah satu rangkaian variasi diantara berbagai sekte mistik agaknya terletak sepanjang kontinum ini; menurut titik berat yang mereka berikan terhadap pengendalian naluriah dan meditasi di satu pihak serta refleksi dan analisa di pihak lain; tapi tak satu pun mengabaikan salah satu dari keduanya itu mendukung dan memperkuat satu sama lain.
27
6. Karena orang berbeda-beda dalam kesanggupannya melaksanakan disiplin spiritual itu (dan tak seorang pun benar-benar mampu sekarang ini jika dibandingkan dengan orang di zaman dulu), dalam kesanggupan lamanya mereka berpuasa, tidak tidur dan bermeditasi dan berbeda-beda pula dalam kesanggupannya untuk melakukan analisa sistematik tentang pengalaman dalam (atau memahami suatu analisa yang sudah dilakukan seorang guru terkenal), maka mungkinlah untuk meletakkan orang pada tingkatan yang berbedabeda menurut kesanggupan dan prestasi spiritualnya, suatu penggolongan yang menimbulkan sistem guru-murid, dimana seorang guru yang maju mengajar kepada murid yang kurang maju sedang ia sendiri merupakan murid guru yang lebih maju lagi. 7. Pada tingkat pengalaman dan eksistensi tertinggi, semua orang adalah satu dan sama dan tidak individualitas, karena rasa, aku, dan Gusti adalah ”obyek abadi”, yang sama dalam semua orang. Walaupun pada tingkatan pengalaman sehari-hari, individu-individu dan bangsa-bangsa dapat dikatakan memiliki kedirian yang berbeda dan memiliki perasaan yang berbeda pula (sekalipun bahkan disini ada suatu unsur kebersamaan yang penting), pada dasarnya mereka itu sama. Kombinasi pengertian ini dengan ide mengenai hirarki yang didasarkan atas prestasi rohaniah menimbulkan suatu etik yang menganjurkan keterlibatan yang makin meningkat dalam merasakan perasaan orang lain (tepo saliro), dimulai dari keluarga sendiri lalu
28
para tetangga, desa, distrik, dan negara sampai ke seluruh dunia (hanya beberapa orang saja seperti Gandhi, Isa, Muhammad yang dianggap telah mencapai simpati universal serupa itu), dan sebuah pandangan organis feodal mengenai organisasi sosial di mana individu dan kelompok mempunyai suatu tempat di masyarakat menurut anggapan tentang kesanggupan rohani mereka. 8. Karena tujuan semua manusia untuk mengalami rasa, maka sistem religi, kepercayaan dan praktek-prakteknya seharusnya hanyalah merupakan alat untuk mencapai tujuan itu dan hanya baik sepanjang semua itu bisa membawa ke sana. Ini menimbulkan pandangan yang relatifistis terhadap sistem-sistem serupa itu, dimana beberapa sistem dianggap memang baik untuk beberapa orang dan yang lain baik buat orang lain lagi dan semuanya memiliki beberapa kebaikan buat seseorang. Dengan demikian adanya toleransi mutlak diperintahkan, meskipun tidak selalu dipraktekkan dengan sempurna (dikutip dari Geertz, 1989). Dari ke delapan postulat tersebut dapat disimpulkan bahwa teori mistik mengandung konsep tentang manunggaling kawula Gusti, tata cara (ritual) dan disipilin mistik yang harus dilakukan, analisa fenomenologis mengenai pengalaman yang dirasakan, serta interaksi yang terjadi antara guru-murid. b. Manunggaling Kawula Gusti Konsep ketuhanan dalam budaya mistik Jawa masih ambivalen. Endraswara menerangkan bahwa paham mistik masih menganut transendensi dan imanensi.
29
Transendensi percaya bahwa Tuhan adalah absolut, mutlak, berada sebelum yang lain ada. Tuhan adalah supranatural, menembus, dan teramat sangat. Sedangkan imanensi, menganggap bahwa Tuhan ada (inhenet) atau hadir (present). Tuhan ada di dalam alam semesta dan di dalam diri manusia (Endraswara, 2005). Tuhan pada dasarnya ada dua peneguhan, yaitu monisme dan panteisme. Rudolf Eisler (dalam Zoetmulder, 1991) menjelaskan monisme adalah kecederungan untuk mengembalikan kejamakan dalam suatu bidang kepada suatu kesatuan atau menerangkan keanekaan dengan berpangkal suatu prinsip tunggal. Sedangkan panteisme adalah ajaran Tuhan dan dunia tak merupakan dua hakikat yang sungguh terpisah dan yang diluar dari yang lain, melainkan Tuhan sendiri merupakan segala-galanya, segalanya itu Tuhan, segalanya itu modus, partisipasi dalam Ketuhanan; Tuhan adalah imanen dalam segalanya itu sebagai hakikat kodratnya. Lalande (dalam Zoetmulder, 1991) bahkan mendefinisikan panteisme sebagai teori yang mengajarkan bahwa segala sesuatu itu Tuhan, Tuhan dan dunia manunggal. Selain kebimbangan antara Tuhan yang dianggap transenden atau imanen, antara panteistis dan monistis, juga apakah manunggaling kawula Gusti dianggap bersatunya manusia dengan Tuhan adalah masalah ”rasa” ataukah ”ada”. Beberapa sumber menunjukkan bahwa manunggaling kawula-Gusti lebih bersifat immanen. Hal ini ditunjukkan dengan ajaran martabat tujuh yang bersifat tajjali yang rata-rata banyak aliran mistik menjelaskan konsep Tuhan dan manusia berdasarkan ajaran ini.
30
Endraswara menerangkan bahwa manunggaling kawula-Gusti merupakan suatu pengalaman, bukan ajaran. Manusia merasa menghadap Tuhan melalui batin. Suatu pengalaman yang benar-benar nyata, tak terbatas (infinite) bagi yang pernah mengalaminya (Endraswara, 2008). Jadi manunggaling kawula-Gusti merupakan pengalaman bersatunya manusia dengan Tuhan melalui rasa. Seperti yang dijelaskan Zoetmulder (1991) bahwa kemanunggalan yang dimaksud adalah kemanunggalan yang tercapai dalam keadaan ekstasis. Kemanunggalan kawula-Gusti ini terjadi dengan lenyapnya kesadaran sang mistikus untuk sementara waktu, namun sesudah saat ekstasis kesadaran tetap kembali dan yang dialami adalah antara Dia yang dicari dengan dia sendiri tetap ada perbedaan. Kemanunggalan ini berarti bukan manunggal pada ”ada” Tuhan yang mutlak, melainkan kemanunggalan yang hanya untuk menerangkan suatu kemanunggalan yang tak dapat diterangkan. c. Analisa Fenomenologi Pengalaman Mistik 1) Rasa Geertz menjelaskan bahwa usaha aliran mistik adalah pertama-tama untuk memenangkan fluktuasi perasaan dalam kehidupan sehari-hari dan mencapai keadaan ”damai di hati” (dalam Geertz, 1989). Jika emosi dan perasaan dapat menjadi tenang, maka ”dibelakang” atau ”di bawah” atau ”di dalam”emosi itu seorang bisa berhadapan dengan realitas yang tertinggi yakni refleksi Tuhan dalam diri. Biasanya, bagian pusat dari kehidupan dalam seseorang, tempat Tuhan berada dalam individu, disebut ”hati” (manah). Tetapi pada umumnya hanya dianggap sebagai inti dari individu manusia, pusat
31
yang dalam dari eksistensinya. Dengan demikian ”hati” dalam pengertian ini merupakan semacam lokasi rohaniah, tempat di kedalaman individu dimana dirinya yang sejati maupun rasa tertinggi, yakni Tuhan, dapat ditemui (dalam Geertz, 1989). Masalah pengalaman mistik yang perlu digaris bawahi adalah tentang ”rasa”. Gonda (1998) berpendapat bahwa rasa yang berkembang dalam masyarakat Jawa memiliki kedalaman makna. Rasa dalam pemahaman mistik Jawa, menurutnya ada tekanan khusus pada hati, sufi, dan atas kalbu. Selanjutnya, Gonda menyatakan sebagai berikut: ...tidaklah mudah untuk menyatakan dengan tepat, konotasi apa yang dimaksud oleh para mistikus ini ketika menggunakan istilah yang favorit ”rasa”. Kata ini sering dipakai untuk menerjemahkan kata Arab ”sirr” rahasia, misteri yang merujuk pada unsur yang paling halus dan laten dalam hati nurani manusia, yang disebut sebagai tempat Tuhan bertahta, ”tempat” dimana roh dan Tuhan bersatu... dalam naskahnaskah mistik Jawa prinsip Ketuhanan ini juga disebut ”rasa”, tetapi bukan rasa yang biasa, bukan rasa (perasaan) yang kita alami di tubuh, melainkan rasa yang kita hayati dalam hati. Hati nurani yang bersih dan jernih menerima ”rasa” tertinggi, yang suci dan tanpa cacat...(dan)...di satu sisi ”suksma” dan ”rasa” dianggap berkaitan, tetapi bukan prinsip yang identik...di sisi lain keduanya dapat saling dipertukarkan atau suksma bisa disebut ”rasa sejati” (dalam Endraswara, 2005).
32
Rasa yang melingkupi manusia juga dibagi kedalam: a. Rasa pangrasa, yakni rasa badan wadag, seperti yang dihayati manusia melalui inderanya: rasa pedas, gatal, sakit, enak, dan lain-lain, b. Rasa rumangsa, yakni rasa eling, rasa cipta, dan rasa grahita, seperti misalnya ketika manusia menyatakan bahwa kramadangsa telah ”ngrumangsani kaluputani” atau ” rumangsa amung titah, kramadangsa amung saos sukur”, c. Rasa sejati, yakni rasa yang masih mengenal rasa yang merasakan, dan rasa yang dirasakan. Sudah manunggal, tetapi masih dapat disebut. Rasa damai, rasa bebas, rasa abadi, termasuk dalam pilihan ini, d. Sejatining rasa, yakni rasa, yang berarti hidup itu sendiri yang abadi (Hadiwiyono, 1983; Jatman, 1997; Endraswara, 2005). Tingkat rasa (1) sebenarnya kalau berpijak pada pandangan psikologi Jawa Ki Ageng Suryamentaram masih tergolong ”rasa hidup”. Sedangkan tingkatan rasa (2), (3), (4) telah merambah ke dunia batin manusia. Rasa tersebut sudah tergolong rasa rohani. Rasa yang benar-benar tumbuh dari kedalaman batin (dalam Endraswara, 2005). Dari empat tingkatan rasa tadi yang paling banyak memberi aroma batin dalam kehidupan mistik adalah rasa sejati. Akhirnya, melalui rasa sejati manusia dapat mengenal rahasia hidup, rahasia hubungan manusia dengan Tuhan dengan membuka tabir misteri (Endraswara, 2005). Geertz mengatakan bahwa pengetahuan tentang rasa tertinggi adalah tujuan pencarian mistik dan harus menjadi tujuan keagamaan semua orang. Sering perbuatan pemahaman ini dianggap memiliki dua tahap utama yaitu ”neng” atau ”hening” atau ”diam” yang menunjuk kepada penenangan emosi, dan kemudian
33
ning (kejernihan pengetahuan yang dalam), gerak hati yang mengikuti keheningan dan yang bisa merupakan pengalaman yang sangat emosional, sekalipun biasanya dilukiskan sebagai ”tanpa isi sama sekali, batin yang sama sekali kosong” (dalam Geertz, 1989). Mulder (1983) menjelaskan tahap-tahap yang akan dilalui untuk mencapai apa yang disebut oleh Geertz ”rasa yang tertinggi”, yaitu: 1) Tahap mistik pertama, yang paling rendah disebut sarengat adalah menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum agama. Pelaku mistik kaum priyayi menjalankan kewajiban-kewajiban seperti menghormati manusia tua, guru, dan raja, dengan kesadaran bahwa menghormati mereka adalah menghormati Tuhan. Kaum santri, menjalankan sholat lima waktu dengan setia, sedangkan kaum abangan juga menghormati aturan-aturan sosial, tetapi tidak secara khusus mengutamakan hirarki sosial, melainkan lebih pada hirarki para leluhur, roh-roh, tokoh wayang, dan hormat pada tatanan kosmos. Tahap perjalanan mistik ketiga dan selajutnya, jalan makin sempit dan meninggalkan yang lahir menuju yang batin, dan lebih mistik; 2) Tahap kedua, disebut tarekat, dimana kesadaran tentang hakikat tingkah laku tahap pertama harus insyafi lebih dalam dan ditingkatkan. Misalnya, doa-doa ritual tidak lagi hanya gerak-gerik tubuh dan pembacaan ayat-ayat melainkan usaha-usaha yang luhur dan kudus dan persiapan dasar untuk menjumpai Tuhan dalam lubuk batin manusia; 3) Tahap ketiga, disebut hakikat adalah tahap menghadapi kebenaran. Inilah tahap berkembangnya secara penuh kesadaran akan hakikat doa dan pelayanan
34
kepada Tuhan; pemahaman mendalam, bahwa satu-satunya cara bagi apa saja yang ada adalah menjadi wadi Tuhan, menjadi bagian yang tergantung kepada seluruh tatanan kosmos. Tindakan ritual menjadi kehilangan kepentingan karena hidup dan tindakan manusia menjadi doa terus menerus kepada Tuhan; 4) Tahap terakhir dan tertinggi adalah mahrifat, yaitu ketika manusia mencapai jumbuhing kawula lan Gusti. Dalam tahap ini, jiwa manusia terpadu dengan jiwa semesta dan tindakan manusia semata-mata menjadi laku, kehidupan manusia menjadi doa terus menerus kepada Tuhan, apapun yang dikerjakannya seperti halnya bekerja, mandi, tidur, atau makan. Pada titik ini manusia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi (dalam Endraswara, 2005). 2) Pengalaman Mistik Pengalaman menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti barang apa yang dirasakan. Pengalaman mistik adalah memperluas batas pengatahuan tentang diri. Individu akan merasa menjadi satu dengan orang lain, dengan lingkungan alam, dengan alam semesta secara keseluruhan. Hal ini bukanlah pengalaman intelektual belaka. Dalam pengalaman transeden individu adalah satu dengan dunia dan alam semesta. Batas pribadi digambarkan secara lebih luas. Pada akhirnya batas ini menghilang secara bersama-sama. Situasi seperti ini, dimana rasa seseorang tentang identitas meluas melebihi batas kepribadian juga disebut sebagai pengalaman transpersonal (Koltko, 1989). Koltko, seorang psikolog juga menguraikan karakteristik pengalaman mistik dilihat dari kualitasnya, yaitu:
35
1) The ”ego quality”, selama pengalaman ini, individu kehilangan rasa tentang diri, dan merasakan larut ke dalam sesuatu yang lebih hebat, 2) The ”unifying quality”, selama pengalaman ini, individu merasakan bahwa ”semuanya adalah satu”, 3) The ”inner subjective quality”, individu merasakan bahwa sesuatu memiliki kesadaran yang mana tidak biasa dipandang sebagai dasar, seperti pohon, atau bumi itu sendiri, 4) The ”temporal/spatial quality”, individu mengalami waktu dan ruang secara berbeda, dan bahkan merasakan bahwa pengalaman terjadi diluar batas normal dari ruang dan waktu, 5) The ”noetic quality”, individu merasakan bahwa pengalaman merupakan sebuah sumber dari pengetahuan yang benar, 6) The ”ineffable quality”, pengalaman yang tidak mungkin untuk diekspresikan dalam bahasa normal, 7) The ”positive emotion quality”, pengalaman yang memiliki aspek yang riang gembira, 8) The ”sacred quality”, pengalaman yang pada hakikatnya suci atau keramat (dalam Koltko, 1989). Pengalaman mistik sebagai salah satu subyek dari kajian ilmu psikologi transpersonal merupakan transformasi kesadaran, dari kesadaran mental-spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran trans-personal yang bersifat tunggal ilahiah (Hilmy, 2006). Koltko menjelaskan bahwa pengalaman mistik adalah tingkat kesadaran yang lebih tinggi yang merupakan the most highly developed
36
minds yang lebih dari sekedar puisi, seni, ilmu pengetahuan, atau filosofi (Koltko, 1989). Kesadaran mengambil posisi penting dalam pengertian pengalaman mistik diatas. Green (2001) mendefinisikan kesadaran (consciousness) sebagai persepsi yang terjaga dari objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan waktu (dalam Prabowo dkk, 2005). Kesadaran merupakan kapasitas dari mata pikiran untuk merefleksikan
image
atau
gambaran
mental
tentang
diri
sebagaimana
direpresentasikan dalam masa lalu, saat ini, dan masa depan (Tinnin, 1991). Merriam webster online (2008) menyataan bahwa kesadaran adalah kualitas atau status untuk menjadi sadar terutama sesuatu dengan diri seseorang atau tentang objek eksternal, status, dan fakta (dalam Ahlin, 2009). Edelman (2003) menjelaskan bahwa kesadaran adalah suatu proses multidimensional yang muncul dari interaksi otak, tubuh, dan lingkungan. Kesadaran ini ada dua bentuk yaitu primary consciousness dan higher consciousness. Yang pertama merupakan kemampuan untuk menggunakan persepsi, keadaan motorik, dan memory untuk membangun suasana multimodal di dalam keadaan sekarang, sedangkan yang kedua adalah dihubungkan kepada yang melebihi perkembangan binatang dengan kemampuan bahasa yang mana mengizinkan individu untuk melampaui keadaan sekarang yang diingat, dan bentuk suatu cerita masa lalu, rencana masa depan, dan kesadaran yang menjadi sadar (dalam Ahlin, 2009). Karakteristik dari status sadar yang dibangun oleh otak termasuk diantaranya segi-segi, kesatuan, integrasi, refleksi dari perasaan subyektif dan stimulasi perasaan yang familiar ataupun perasaan kekurangan (Ahlin, 2009).
37
Kesadaran ini memiliki tingkatan (level of consciousness), tapi ada pula yang menyebutnya sebagai “posisi”, karena sifatnya yang tidak memilki hirarki. Huston Smith (dalam Rowan, 1993) membuat model dengan empat tingkatan: body, mind, soul, dan spirit. Pada tingkatan soul, masalah simbolik dan ganda merupakan hal penting. Tingkat ini merupakan tingkatan yang ditemukan apabila benar-benar masuk ke dalam dan menerima kualitas imaginatif, sehingga banyak orang yang meletakkan imajinasi sebagai suatu yang fantastik, menggairahkan, bahkan mungkin berbahaya. Pada tingkatan spirit penekanannya pada kesatuan (unity) dan meninggalkan hal-hal yang simbolis (dalam Prabowo dkk, 2005). Dalam struktur kepribadian manusia, evolusi atau perkembangan level kesadaran secara ringkas bisa dibagi dalam tiga tahap: dari level subconscious ke level self conscious dan ke level superconscious. Level paling bawah, subconscious, sangat bersifat insting, libido, impulsif, animal (sifat binatang), kurang lebih sama dengan komponen id dalam psikoanalisa Freud. Level menengah dari kesadaran manusia ditandai dengan sifat-sifat adaptasi sosial, penyesuaian mental, sifat integrasi dari ego, dan tahap lanjut konsepsi. Sedangkan tahap paling tinggi yang dicapai kesadaran manusia adalah tahap yang sama keadaannya dalam pencapaian puncak spiritual dari agama-agama. Tahap puncak ini ditandai dengan penyatuan kesadaran diri dengan kesadaran semesta, kebahagiaan, ketenangan dan hal-hal yang bersifat holistik, mungkin lebih mirip dengan konsep individuasi dari Jung dan aktualisasi diri dari Maslow (Wilber, 2000). Lingkaran kehidupan manusia bergerak dari level bawah yaitu level subconscious (instingtual, id-ish, impulsive) ke level menengah atau level self-
38
conscious
(egoic,
conceptual)
kemudian
ke
level
puncak
atau
level
superconscious, digambarkan dalam bentuk lingkaran. Lingkaran ini dibagi ke dalam dua bagian, busur keluar (outward arc) dan busur ke dalam (inward arc). Pergerakan dari level sub-conscious ke level self-conscious digambarkan dalam bentuk busur keluar. Pergerakan ini ditandai dengan sifat penegasan diri, kisah pertempuran sang ego dengan dirinya sendiri, dan konflik-konflik di bawah sadar yang ditandai dengan rasa cemas dan terasing. Sedangkan perkembangan kesadaran dari level selfconscious ke level superconscious merupakan pergerakan ke dalam diri, digambarkan dengan busur kedalam (inward arc), ini ditandai dengan pencapaian tahap transendensi dan realisasi diri. Kesadaran manusia selain dapat dipahami melalui level kesadaran juga dapat dipahami melalui status kesadaran. Beberapa status kesadaran manusia yang biasa dikenal misalnya, terjaga, mimpi, dan tidur pulas. Ini adalah status normal kesadaran yang biasa dialami sehari-hari, disamping ada juga status luar biasa atau perubahan status kesadaran dan merupakan kesadaran yang sifatnya lebih tinggi, yaitu berupa pengalaman puncak (pengalaman spiritual, atau peak experience menurut Maslow), keadaan meditasi dan kontemplasi (Wilber, 2000). Ada empat jenis status kesadaran yang luar biasa ini, dan disebut juga kesadaran transpersonal, yaitu: psychic, subtle, causal dan nondual. Psychic adalah status kesadaran yang dialami oleh type nature mysticism, yakni pengalaman spiritual seolah-olah dirinya menyatu dengan seluruh sensor alam semesta. Subtle ialah status kesadaran yang dialami oleh type deity mysticism, yakni pengalaman diri yang menyatu dengan sumber, pusat alam semesta. Causal
39
adalah kesadaran yang dialami oleh type formless mysticism, dimana individu yang mengalaminya akan merasakan terhentinya pengalaman dan segenap sensor indrawi, tenggelam dalam keadaan yang tidak mewujud, kesadaran yang tak berbentuk. Nondual adalah keadaan yang dialami oleh tipe integral mysticism, yakni sebuah pengalaman bersatunya antara yang memanifestasi dan yang tidak, antara wujud dan ketiadaan (Wilber, 2000). Setiap struktur atau level kesadaran seseorang tentu saja meliputi semua status kesadarannya. Setiap orang pasti akan mengalami status kesadaran yang normal seperti terjaga, mimpi, dan keadaan pulas, tak menjadi masalah dimana level orang tersebut berada. Juga setiap level bisa berada pada status kesadaran yang luar biasa, atau perubahan kesadaran, berupa pengalaman puncak dalam bentuk psychic, subtle, causal, dan nondual. Hanya saja ada perbedaan sikap dan interperstasi terhadap pengalaman tersebut yang bergantung kepada tingkatan level kesadarannya. Umpamanya, dua orang yang berada di level yang berbeda (misalnya antara rational dan psychic) bisa sama-sama mempunyai pengalaman puncak pada status causal, tapi pengaruh (berupa penyikapan dan interpretasinya) dari pengalaman puncak tersebut masing-masing sangat berbeda. Pengalaman puncak yang dialami oleh orang di semua tingkatan level kesadaran, pada dasarnya bersifat sementara. Pengalaman ini menjadi permanen andaikata seseorang sudah berada di level tersebut. Umpamanya, orang yang berada di level causal pasti mempunyai pengalaman pada status causal secara permanen, tapi pengalaman puncak yang berada di atasnya, misalnya pada status nondual, yang dialami, sifatnya hanyalah sementara atau temporer (Wilber, 2000).
40
Berbeda dengan dengan kesadaran adalah bawah sadar (subconscious). Koneksi antara kesadaran dan bawah sadar disebut altered state of consciousness (ASC). Koneksi ini dengan sendirinya akan mengarah menjadi keadaan bawah sadar (Green, 2001 dalam Prabowo dkk, 2005). Secara intensif, ASC dapat juga dicapai melalui hypnosis, meditasi, berdoa, yoga atau dzikir (Prabowo dkk, 2005). Menurut Bourguignon (1979), Altered state of consciousness adalah kondisi dimana sensasi, persepsi, kognisi, dan emosi dirubah. Hal ini dapat dikarakteristikkan dengan perubahan dalam melakukan sensasi, mempersepsi, memikirkan, dan merasakan. Hal ini merupakan modifikasi hubungan individual kepada self, body, sense of identity, and environment of time, space, or other people (dalam Tinnin, 1990). Peters dan Price William (1983) menjelaskan bahwa kondisi ASC sebagai jalan kepada status batin yang lain dan mereka percaya bahwa bermacam tingkat ASC hanya untuk dinamika proses psikologis yang secara spontan dan sukarela didatangkan, memiliki perbedaan dengan manifestasi fisik dan menjadi secara tinggi dipengaruhi oleh kepercayaan kebudayaan, simbol, dan nilai personal yang menentukan isi pengalaman (dalam Ahlin, 2009). Menurut Charles Tart, ASC adalah suatu perubahan kualitatif dalam keseluruhan pola dari fungsi mental, seperti misalnya orang yang mengalami merasa bahwa kesadarannya secara radikal berbeda dari fungsinya yang biasa. Selanjutnya Metzner (1992) menambahkan bahwa perubahan yang terjadi adalah perubahan dalam berpikir, merasakan, dan mempersepsi yang memiliki awal, durasi, dan akhir. Perubahan ini yang dapat diukur adalah:
41
1) A disturbed time sense (gangguan perasaan tentang waktu): percepatan waktu atau “time standing still”; 2) Perceptual change (perubahan perseptual): visual dan akustik; 3) Body image change (perubahan gambaran tubuh): seperti sensasi mengambang atau terbang atau experiencing body-boundaries dissolved (mengalami batas tubuh yang lenyap); 4) Alteration thingking (pemikiran yang lebih): multi asosiasi, perasaan kreativitas yang meningkat, atau pemikiran magis (dalam Kjellgren dkk, 2008). Kadang-kadang selama ASC, pengalaman transpersonal terjadi. Pengalaman transpersonal merupakan keseluruhan pengalaman manusia melebihi level ego, juga
termasuk
pengalaman
spiritual.
Beberapa
pengalaman
sering
dikarakteristikan sebagai rasa yang tak terlukiskan, atau suatu pengalaman langsung yang menghubungkan dengan sagala hal, atau perasaan terhubung dengan semesta alam (Kjellgren, dkk, 2008). d. Tata Cara (Ritual) dan Disiplin Mistik Geertz menjelaskan untuk mencapai keadaan mistik, orang harus ngesti. Ngesti berarti menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya langsung kepada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit. Hal ini semacam penggalian mental yang intens, pencarian pengertian yang didukung oleh kehendak yang tak tertahankan dan suatu penggabungan kedalam satu keseluruhan sederhana dari berbagai kekuatan dalam individu itu. Semua indra, emosi, bahkan sebisa mungkin seluruh proses
42
fisik tubuh, semuanya dibawa kedalam satu kesatuan dan dipusatkan kepada tujuan tuggal (dalam Geertz, 1989). Ngesti sebagai suatu penggalian yang intens atau sebagai permohonan yang sangat juga dilengkapi dengan banyak disiplin instinktual. Disiplin instinktual ini terwujud dalam suatu tata cara ataupun ritual. Turner (1966) mengartikan ritual sebagai perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu tertentu secara berkala, bukan sekedar sebagai rutinitas yang bersifat teknis, melainkan mengacu pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasaan atau kekuatan mistis (dalam Soehadha, 2008). Kesimpulannya, agar sampai kepada Tuhan orang harus memusatkan seluruh kekuatannya kepada tujuan itu dan mengekang sejauh mungkin kebutuhannya untuk makan, minum, tidur dan juga kebutuhan seksual. Kegiatan serupa itu disebut semedi atau tapa (dalam Geertz, 1989). e. Pola Guru dan Murid Sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual diantara berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi hanya sampai titik tertentu. Hubungan guru murid merupakan sekumpulan hubungan pasangan antara individu guru dan individu murid, istilah yang pada akhirnya relatif karena bila dua orang sedang mempelajari mistik bersama-sama maka yang lebih tinggi otomatis adalah guru dan yang lebih rendah adalah murid (dalam Geertz, 1989).
43
B. PANGESTU 1. Pengertian dan Sejarah Pangestu Pengestu didirikan oleh R. Soenarto Mertowardojo. Soenarto dilahirkan pada hari jumat 21 April 1899 di desa Simo, Kawedanan Simo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Paguyuban Ngesti Tunggal berdiri sebagai sebuah organisasi pada tanggal 20 Mei 1949, dalam suatu pertemuan yang diselengggarakan di rumah Soenarto. Acara pertemuan diawali dengan melakukan pangesti (doa permohonan) dan dilanjutkan dengan pemberian wejangan dari Soenarto. Isi dari wejangan tersebut dimuat dalam buku ”Sabdha Khusus”. Salah satu dari wejangan tersebut menyebutkan agar didirikan sebuah perkumpulan sebagai pengikat para siswa dalam mendalami ajaran Sang Guru Sejati, sebagaimana telah diturunkan melalui R.Soenarto (Soehadha, 2008). Perkumpulan ini dinamakan ”Paguyuban Ngesti Tunggal” setelah Soenarto melakukan pangesthi dan mendapat petunjuk dari Tuhan. Pangestu mempunyai arti ”berkah”, yaitu berkah dari Sang Guru Sejati kepada siswanya. Adapun Paguyuban Ngesti Tunggal dimaksudkan sebagai sebuah perkumpulan yang memiliki pengertian, yang bersifat lahir dan batin. Secara lahir bertujuan hendak bertunggal (bersatu) dengan semua golongan yang dilandasi oleh kerukunan dan kasih sayang. Pengertian yang bersifat batin dimaksudkan bahwa Pengestu memiliki tujuan untuk bersatu atau kembali kepada Tuhan Yang Mahatunggal (Soehadha, 2008). Selama kurun waktu 16 tahun (dwi windu) yaitu pada tahun 1965, tahun terakhir masa kehidupan Soenarto, Pangestu telah berkembang pesat dengan
44
memilki 82 cabang dan puluhan ribu anggota di beberapa kota di Indonesia (Imam,2005; Soehadha, 2008). Data terakhir diperoleh dari kongres XV Pangestu yang diadakan di Solo. Kongres Pangestu ke-15 menerangkan bahwa Pangestu telah memiliki 196 cabang dimana 184 cabang berada di Pulau Jawa dan 12 cabang di luar Pulau Jawa, dengan jumlah anggota seluruhnya 206.030 orang (dalam Kongres Pangestu XV, 2005).
2. Ajaran Pangestu dalam Kitab Sasangka Djati Di dalam kitab Sasangka Djati terangkum tujuh ajaran Pangestu yaitu Hasta Sila, Paliwara, Gumelaring Dumadi, Tunggal Sabda, Jalan Rahayu, Sangkan Paran, dan Panembah. a. Hasta Sila Ajaran hasta sila, atau panembah batin delapan sila, sebagai jalan untuk kembali bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa, dibagi menjadi dua bagian, yakni tri sila, dan panca sila. Tri sila adalah panembah hati dan cipta kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. tri sila terdiri atas: 1) Eling, berarti sadar atau ingat. Eling berarti kesadaran yang membuat manusia merasa bahwa dirinya ada dan sedang melakukan sesuatu. Jadi eling adalah kesadaran akan keberadaan (Suparto, 2001). Suparto menjelaskan terdapat tiga kesadaran manusia kepada Tuhan, yaitu: (1) kesadaran murni, yaitu kesadaran akan Suksma Kawekas sebagai sumber hidup; (2) kesadaran tinggi, yaitu kesadaran akan Suksma Sejati sebagai pembabar prinsip hidup; (3) kesadaran
45
manusia sebagai wujud hidup. Terdapat tingkatan dalam kesadaran manusia. Tingkat terendah kesadaran manusia ialah kesadaran yang dilandasi oleh pemahaman bahwa yang disebut ’aku’ adalah raga yang kasat mata sehingga segenap potensi hidup masih diwarnai oleh tujuan untuk melayani raga, yaitu makan, minum, seks, dan kenyamanan. Sedangkan kesadaran yang sejati adalah kesadaran yang dilandasi oleh suatu sikap bahwa manusia bukanlah semata sebagai raga, melainkan roh suci sebagai sinar Tuhan yang menjadi sumber hidup abadi; 2) Pracaya, berarti percaya. Kitab Sasangka Djati (1969) menyebutkan bahwa orang Pangestu harus percaya bahwa Sang Guru Sejati menjadi penuntun hidup manusia. Pangestu mengajarkan bahwa manusia sejati adalah manusia yang dapat menyatu dengan Tuhan. Percaya kepada Tuhan adalah sesuatu yang mutlak, jika manusia ingin menyatu dengan Tuhan; 3) Mituhu, berarti taat, taat melaksanakan perintah Tuhan. Orang Pengestu harus percaya bahwa tidak ada suatu pekerjaan apapun yang utama yang harus dilaksanakan manusia yang bukan pekerjaan Tuhan. Jadi semua pekerjaan yang baik bagi semua manusia sebenarnya adalah pekerjaan Tuhan (dalam Soehadha, 2008). Ajaran Pancasila merupakan lima watak utama yang terdiri dari: 1) Rila, berarti ikhlas. Kitab Sasangka Djati menyebutkan bahwa rila adalah keleluasaan hati dengan disertai rasa bahagia dalam menyerahkan seluruh miliknya, wewenangnya, dan semua hasil pekerjaannya kepada Tuhan, dengan rasa tulus ikhlas, sebab semua itu ada dalam kekuasaan Tuhan, maka harus
46
tidak ada sesuatu apapun yang mengganjal (membekas) dalam hatinya (kitab Sasangka Djati, 1969); 2) Narima, berarti menerima apa adanya. Kitab Sasangka Djati (1969) menyebutkan bahwa orang yang bersikap narima bukanlah orang yang lemah dalam pekerjaannya, tetapi orang yang “nrima ing pandum”, yang artinya orang yang menerima apa yang telah menjadi bagiannya dan selalu bersyukur kepada Tuhan. Orang–orang ini adalah orang yang terkaya di antara manusia kaya lainnya. Sikap rela mengarahkan perhatian kepada segala sesuatu yang telah dicapai dengan upayanya sendiri, sedangkan narima menekankan kepada “apa adanya”, menerima segala sesuatu yang telah menimpa diri (De Jong, 1976); 3) Temen, berarti jujur dan sungguh-sungguh. Temen dalam kitab Sasangka Djati (1969) diartikan sebagai ajaran yang membangun kesadaran manusia agar selalu sungguh-sungguh menepati janji atau kesanggupannya, baik yang masih dalam batin maupun yang sudah diucapkan. 4) Sabar, dalam Sasangka Djati (1969) diartikan sebagai sikap kuat dalam menghadapi segala cobaan, tetapi bukan orang yang pupus dalam keinginannya, namun kebalikannya sebagai orang yang sentosa hatinya, luas ilmunya, tidak sempit budinya, pantas disebut lautnya pengetahuan, oleh karena dirinya yang tidak membeda-bedakan antara emas dengan tanah, kawan dengan lawan sudah dianggap sama saja. Dapat diumpamakan sebagai samudra yang dapat menampung apa saja, tidak bisa meluap akibat dialiri oleh sungai-sungai dari mana saja;
47
5) Budi luhur, adalah sifat yang diusahakan oleh manusia agar dapat menyerupai sifat Tuhan, yaitu kasih sayang kepada sesama. b. Paliwara Paliwara adalah pokok larangan Tuhan kepada manusia. Paliwara ada lima macam, yaitu: 1) Jangan meyembah kepada selain Allah, 2) Berhati-hati dalam hal syahwat, 3) Jangan makan atau mempergunakan makanan yang memudahkan rusaknya badan jasmani, 4) Taatilah undang-undang negara dan peraturanya 5) Jangan berselisih. c. Gumelaring Dumadi Gumelaring dumadi berarti pagelaran penciptaan kehidupan, mulai dari jagad besar, mahkluk seperti hewan, tumbuhan dan juga manusia. Ajaran pertama berisi pengetahuan tentang adanya empat unsur (anasir) yang membentuk dunia materi alam semesta, yakni unsur swasana, api, air, dan tanah. Kedua, pengetahuan tentang penciptaan hewan, tumbuhan, dan segala yang ada di muka bumi ini, selain manusia. Ketiga adalah ajaran atau pengetahuan tentang penciptaan manusia (Soehadha, 2008). Pertama kali yang diciptakan oleh Tuhan, adalah swasana, kemudian api, air, dan tanah. Dan kemudian menjadi jagad gedhe. Keempat anasir ini saling berinteraksi sehingga menyebabkan terciptanya benda-benda angkasa. Baru kemudian memungkinkan bagi adanya kehidupan dan diciptakanlah mahkluk
48
hidup. Ajaran Pangestu menerangkan bahwa masing-masing mahkluk hidup yang ada di bumi tercipta dari anasir yang berbeda satu sama lainnya. Secara skematis anasir yang ada dalam mahkluk tersebut dapat diambarkan dalam tabel berikut: Tabel 1. Anasir mahkluk menurut ajaran Pangestu (dalam Soehadha, 2008) Mahkluk Hidup
Anasir / Unsur Fisik
Jiwa
1) Sari tanah Roh suci (tanpa penuntun Guru Binatang
2) Sari api Sejati) 3) Sari swasana 1) Sari tanah Tanpa Roh Suci
Tumbuhan 2) Sari air Mahkluk halus 1) Sari api
Daya bayangan Tuhan
1) Sari Swasana
Roh Suci disertai Suksma Sejati
2) Sari api
sebagai penuntun dan Guru Sejati
3) Sari tanah
yang manunggal dengan Suksma
4) Sari air
Kawekas.
(dewata)
Manusia
Selain itu manusia juga dilengkapi dengan empat macam nafsu, yaitu nafsu mutmainah, amarah, lawamah, dan sufiah. Keempat nafsu ini merupakan cerminan dari sifat-sifat empat anasir yang membentuk diri manusia (Soehadha, 2008): 1) Unsur swasana menimbulkan nafsu mutmainah. Nafsu mutmainah mendorong manusia untuk selalu menyatu dengan lingkungannya dan menyatu dengan Suksma Sejati. Oleh karena itu manusia yang memilki nafsu mutmainah
49
cenderung hidup rukun dengan masyarakat di sekelilingnya dan berakhlak mulia. 2) Unsur tanah membentuk nafsu lawamah. Nafsu ini mendorong manusia bersikap
menjaga
eksistensinya,
mempertahankan
diri,
dan
memperkembangkannya. Wujud konkretnya mendorong manusia senang terhadap makanan, minuman, dan syahwat. 3) Nafsu sufiah adalah nafsu yang terbentuk dari anasir air. Nafsu sufiah lazim pula disebut keinginan. Oleh karena itu nafsu sufiah mendorong manusia untuk mendekatkan diri kepada apa yang diinginkannya. 4) Nafsu amarah adalah nafsu yang terbentuk dari anasir api yang dapat membakar semangat manusia atas berbagai keinginannya. Apabila nafsu amarah manusia besar, maka akan kuat pula keinginannya, dan juga sebaliknya. d. Tunggal Sabda Tunggal sabda mengandung arti bahwa baik kitab suci Al-Quran, maupun kitab suci Injil, demikian pula kitab Sasangka Djati, ketiga-tiganya merupakan sabda tunggal, dalam arti sama-sama sabda dari Tuhan (Allah) (Imam, 2005). Namun tetap ada perbedaan yang mendasar dari ketiganya sebab Pangestu sendiri menyatakan bukan agama dan R. Soenarto sendiri juga mengaku hanya sebagai ‘siswa’ Suksma Sejati, dan menyebut dirinya hanya sebagai warana (perantara) sabda. e. Jalan Rahayu Jalan Rahayu terdiri dari lima ajaran, yaitu:
50
1) Paugeraning Pangeran Marang Kawula, sebagai dasar kepercayaan; 2) Panembah, sebagai sarana untuk memperkuat kebaktian kepada Tuhan yang dapat dilakukan sepanjang waktu, namun ada waktu khusus yang sebaiknya dilakukan yaitu ketika menjelang terbitnya matahari dan menjelang terbenamnya matahari; 3) Budi darma, sebagai wujud kasih sayang kepada sesama hidup, seperti tolong menolong, memberi kebaikan, dan kasih sayang, bisa berwujud materi maupun tenaga dan pengetahuan; 4) Ngunjara hawa nafsu atau mengekang hawa nafsu yang menuju kejahatan, yang dapat dilakukan dengan cara berpuasa atau dengan menahan segala keinginan dan angan-angan yang bersifat keduniawian; 5) Budi luhur sebagai bekal dalam menuju hidup yang sejati, yaitu manusia yang mampu melaksanakan perbuatan yang disenangi Tuhan, yaitu rela berkorban, merelakan kenikmatan, dan kemuliaan diri sendiri bagi orang lain. f. Sangkan Paran Seperti yang dikutip Imam (2005) dari kitab Sasangka Djati bahwa sangkan paran berisi lima ajaran, yaitu: 1) Kembalinya jiwa ke asal mulanya, jika tiba saatnya hamba dipanggil ke hadirat Tuhan. 2) Sebab-sebab yang merintangi kembalinya jiwa ke asal mulanya, karena melanggar larangan Tuhan, 3) Pahala dan pidana Tuhan, 4) Datangnya pembalasan dan leburnya dosa,
51
5) Datangnya pembalasan bagi perbuatan buruk yang belum dibebaskan melalui tobat. g. Panembah Tiga Tingkatan Panembah tiga tingkatan terdiri dari: 1) Panembah raga kepada Roh Suci adalah tingkatan panembah bagi jiwa yang masih muda. Pada tingkatan ini roh suci berupaya menundukkan empat nafsu, yakni lauamah, ammarah, sufiah, dan muthmainah. Panembah raga terhadap Roh suci sebaiknya juga menggunakan bahasa Arab, yang digunakan dalam mengingat Tuhan yang dibarengi dengan keluar masuknya nafas dengan kalimat: ”HU” dan ”ALLAH”. Hu dalam Sasangka Jati berarti singgasana Tuhan yang teramat luas dan tanpa batas yaitu berada di dalam dan di luar jagad cilik karena Tuhan itu meliputi semuanya. Allah berarti Suksma Kawekas yang Maha Luhur, Maha Asih, yang meliputi semesta alam dan seisinya. Panembah kepada Roh Suci sebaiknya dilakukan pada saat tenggelamnya matahari (waktu magrib) dan pada saat munculnya matahari yaitu pada waktu subuh. 2) Panembah roh suci kepada Suksma Sejati, adalah tingkatan panembah bagi jiwa yang telah dewasa, karena Roh Suci telah berhasil menundukkan hawa nafsunya. Pada tingkatan ini roh suci berupaya taat kepada Suksma Sejati. Panembahan ini dilakukan dalam tiga waktu, yaitu ketika magrib (suruping srengenge), tengah malam (lingsir wengi), dan subuh (bangun raina). 3) Panembah Suksma Sejati kepada Suksma Kawekas adalah tingkatan panembah bagi jiwa yang telah luhur budinya. Panembah pada tingkatan ini merupakan
52
jalan untuk bertunggal dengan Tuhan. Waktu melakukan panembah sama dengan dengan panembah tingkat dua, bedanya panembah tingkat tiga ini tidak ada sembah raga Selain penembah tiga tingkatan ada pula panembah empat tataran, yaitu: 1) Sembah raga, merupakan pertanda yang kasat mata dalam menyembah Tuhan. Tata krama dalam panembah sebagai sembah raga, adalah sebagai berikut: bersila dan ngapurancang, posisi tangan menyembah (kedua tangan ditempel didepan hidung), laku duduk, dan lain-lain sesuai dengan cara masing-masing; 2) Sembah cipta, artinya penembah diikuti dengan ingat kepada Tuhan dan memuji nama-Nya; 3) Sembah kalbu, maksudnya adalah dalam melakukan panembah tidak hanya raga dan ciptanya saja yang melakukannya namun juga hatinya. Panembah harus disertai dengan hati yang tulus, sungguh-sungguh dalam menyembah Tuhan; 4) Sembah rasa, sejatinya adalah sembahing orang yang sampai pada tingkat budi luhur sehingga dalam melakukan panembah tidak perlu menggunakan sesembahan tiga sebelumnya. Sembah rasa dilakukan hanya dengan pasrah jiwa raga terhadap Suksma Kawekas (Sasangka Djati, 1968).
3. Konsep Tuhan dalam Ajaran Pangestu Konsep Tuhan dalam Pangestu adalah monoteisme, yaitu percaya pada satu Tuhan, namun Pangestu mengajarkan keadaan Tuhan yang bersifat tiga yang disebut Tripurusa. Tripurusa ini berarti keadaan satu yang bersifat tiga, yaitu:
53
1) Suksma Kawekas (Tuhan Sejati) atau Allah Ta’ala yang berarti yang menghidupi, yang membuat hidup, yang membuat manusia merasa hidup, atau sumber hidup; 2) Suksma Sejati (penuntun sejati, guru sejati) adalah utusan Tuhan. Suksma Sejati adalah karsa atau aktivitas Suksma Kawekas. Kitab Sasangka Djati menyebut Suksma Sejati ini sama dengan Nur Muhammad dalam ajaran tasawuf (Islam), dan sama dengan Sang Putra atau Kristus dalam agama Kristen. Suksma Sejati adalah utusan Tuhan yang sejati sebagai panutan, penuntun, dan guru sejati; 3) Roh Suci (manusia sejati), adalah sifat yang dihidupi atau yang diberi hidup dan yang diberi kekuasaan dalam melaksanakan karsa (kehendak) Tuhan. Roh Suci adalah cahaya Ilahi yang bersemayam dalam jasmani manusia (Hadiwiyono, 1983; Imam, 2005; Soehadha, 2008). Sumantri menjelaskan kata sifat dalam Sasangka Djati berarti faset, aspek, segi, muka (wajah). Jadi Allah itu satu dalam hakikat-Nya namun menampakkan diri dalam tiga faset, tiga wajah yaitu Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan Roh Suci (Hadiwiyono, 1983). Aspek pertama adalah tertinggi, mutlak, diam, statis disebut Suksma Kawekas. Aspek kedua adalah hidup yang dinamis, dilahirkan dari yang statis, disebut Suksma Sejati. Aspek ketiga disebut Roh Suci, jiwa sejati dari manusia yang dianggap sebagai cahayaNya atau percikan api dari Suksma Kawekas (Imam, 2005). Hal ini mirip dengan konsep tajalli (penampakan diri) Tuhan dalam mistik Islam seperti konsep tajalli dan fayd (emanasi) dari Ibn Al-Arabi dan martabat
54
tujuh dari Al-Burhanpuri. Hal ini juga sejalan dengan martabat Nur Muhammad dalam wirid Hidayat Jati Ronggowarsito. Selain itu konsep Tripurusa ini juga menyerupai apa yang menurut Zoetmulder disebut teori emanasi yang disederhanakan.
4. Konsep Manusia dalam Ajaran Pangestu Di dalam kitab SasangkaDjati di terangkan bahwa Tuhan mempunyai kehendak menurunkan Roh Suci sebelum dunia tercipta (Imam, 2005). Sasangka Djati juga menunjukkan bahwa penciptaan (penurunan) Roh Suci terjadi dari cahaya Tuhan yang digambarkan seperti plethikan api dari api Yang Maha Agung. Keterangan ini menunjukkan bahwa penciptaan manusia menurut Pangestu melalui proses emanasi (Imam, 2005). Sebelum Roh Suci diturunkan ke dunia, Tuhan telah memberikan kesaksian yang disebut pahugeran, agar setelah roh suci memakai anasir jasmani senantiasa sadar, bahwa Roh Suci berasal dari Tuhan dan harus kembali kepada-Nya. Terjadinya manusia adalah dari cahaya Tripurusa yang diberi pakaian empat anasir, yang dilengkapi dengan peralatan badan jasmani, yaitu lima panca indera, empat nafsu, dan tiga angan-angan. Sejalan dengan hal ini, karena bayi terjadi dari tujuh keadaan, yakni Tripurusa dan empat macam anasir, maka manusia juga disebut mempunyai saudara tujuh, yang lahir bersama-sama dalam satu hari. Empat saudara disebut nafsu lauamah, amarah, sufiah, mutmainah, dan tiga saudara lainnya disebut angan-angan, yakni pangaribawa, prabawa, dan kemayan. Adapun dasar alasan bahwa manusia itu disebut mempunyai saudara
55
tujuh, karena empat saudara atau empat nafsu itu terjadi dari halusnya empat anasir, dan tiga saudara lainnya atau tiga angan-angan terjadi dari bayangan Tripurusa (Hadiwiyono, 1983; Imam, 2005). Angan-angan sebagai bayangan atau refleksi Tripurusa di dalam selubung jasmani menurut Sumantri (1967) adalah daya-daya intelektual manusia. Refleksi ini mempunyai tiga aspek, yakni cipta, nalar, dan pangerti, masing-masing mempunyai fungsi. Cipta berfungsi untuk menangkap atau membayangkan, nalar berfungsi untuk mengasosiasikan (menghubungkan) berbagai bayangan, dan pangerti berfungsi untuk menyimpulkan dari semua yang dibayangkan. Daya intelektual yang dimiliki oleh masing-asing aspek adalah sebagai pantulan dari Tripurusa, cipta sebagai pantulan Roh suci, nalar sebagai pantulan Suksma Sejati, dan pangerti sebagai pantulan Suksma Kawekas (dalam Hadiwiyono, 1983; Imam, 2005). Kekuasaan angan-angan atau kecakapan intelektual manusia di dalam hidup sehari-hari dipusatkan kepada yang disebut Aku atau Ego manusia. Bahkan, Aku adalah pusat pimpinan jiwa manusia meliputi angan-angan, perasan dan nafsunafsu. Akan tetapi angan-angan yang dipusatkan pada Aku (Ego) itu sesungguhnya bukan jiwa manusia yang sejati, atau bukan Roh suci, melainkan hanya bayangan Tripurusa. Kekuasaan angan-angan yang diberikan Tuhan kepada manusia, supaya dipakai untuk mengendalikan ”saudara empat” (empat nafsunya) lainnya, agar selaras dengan karsa atau kehendak Tuhan (Imam, 2005). Jika kecakapan intelektual manusia disebut Ego, maka Roh Suci dapat disebut ”super ego” (Hadiwiyono, 1983).
56
Ketiga unsur jiwa yaitu angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu, harus berada di bawah satu kendali yang dipimpin oleh sang Aku, agar ketiga unsur jiwa tersebut dapat berjalan selaras dan seimbang sesuai dengan kehendak Tuhan. Bila ketiga unsur jiwa tersebut berjalan selaras dan seimbang, maka jiwa manusia akan merasa tenang tenteram dan bahagia (Imam, 2005). Gambaran jiwa manusia menurut Pangestu yang dirangkum Sumantri dalam Candra Jiwa Soenarto, adalah sebagai berikut:
Pangaribawa
Cipta Alat-alat Palaksana
Alam Sejati
Badan Jasmani Halus (Jiwa)
Badan Jasmani kasar
Angan-angan
Nalar
Prabawa
Pangerti
Kemayan
Sadar
Menerima Senang
P a n c a i n d e r a
Menarik Perasaan Positif
Super Ego Aku (Ego)
Percaya
Sadar Percaya Taat
P u r u s a
Menolak Tak Suka Negatif
Taat
Nafsu
Sufiah Mutmainah Amarah (kemauan) (Keinginan) (Egosentrifugal) Suprasosial Sosial
Rahsa Jati
T r i
Suksma Kawekas
Suksma Sejati
Roh Suci
Lauwamah (Netral) (Egosentrifugal) Tahan Minum Tamak Penderitaan Makan Iri Tidur Aniaya Kekuatan Syahwat Fitnah Jasmani Loba dll.
Gambar 1. Candrajiwa Soenarto (dalam Imam, 2005; Hadiwiyono, 1983; Jatman, 2000) Di dalam Struktur Candrajiwa Sunarto terdapat dua pusat, yaitu: pertama, pusat yang immaterial, yakni Tri Purusa: Suksma Kawekas, Suksma Sejati, dan Roh Suci. Kedua, pusat yang material yang terdiri atas angan-angan, nafsu-nafsu, dan rasa pangrasa atau hidup perasaan. Angan-angan yang terdiri dari pangerti,
57
nalar, dan cipta, kemayan, pangaribawa, prabawa. Nafsu-nafsu terdiri dari mutmainah, amarah, sufiah, dan lawwamah (Hadiwiyono, 1983).
5. Konsep Mistik dalam Ajaran Pangestu Konsep mistik dalam ajaran Pangestu tampak pada hakikat ajarannya yang mengarah pada manunggaling kawula-Gusti. Di dalam Sasangka Djati diterangkan bahwa ajaran Pangestu hakikatnya merupakan tuntunan kerohanian (Kesuksman) menuju bertunggal dengan Tuhan. Hasta sila sebagai intisari ajaran Pangestu, adalah jalan menuju kembali bertunggal dengan Tuhan, berwujud sembah batin delapan sila. Bila Tri sila telah sampai pada kesempurnaanya, maka panca sila segera menyusul mengikuti Tri sila, hingga sampai pula pada kesempurnaannya. Keadaannya lantas campur lebur bertunggal menjadi satu, berwujud kasunyatan (kesempurnaan) abadi (Imam, 2005). Menurut Pangestu ada dua macam kesempurnaan, yaitu kesempurnaan yang tertinggi yang dicapai setelah meninggal dunia dan kesempurnaan yang dicapai orang di dalam hidup ini (Hadiwiyono, 1983).
C. REALISASI DIRI JUNG 1. Struktur Psike atau Kepribadian Psikhe adalah totalitas segala peristiwa psikis baik yang disadari maupun tidak disadari (Suryabrata, 2005). Psyche adalah mencakup keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku (Alwisol, 2008). Jung (1971) percaya bahwa psyche adalah tersusun dari sistem-sistem yang saling tergantung yang terdiri dari
58
kesadaran, yang menyediakan konsistensi, petunjuk dan persepsi yang terkontrol, ingatan, pikiran, dan perasaan; ketidaksadaran personal yang terdiri dari materi yang dilupakan dan direpresikan yang telah hilang dari pikiran yang sadar tapi masih dapat dikeluarkan kembali; dan ketidaksadaran kolektif, yang merupakan transpersonal atau nonpersonal kesadaran
yang tidak menyangkut
dengan
pengalaman personal (dalam, James dan Gillliland). Jadi psyche terdiri dari kesadaran dan ketidaksadaran. Kedua alam itu tidak hanya saling mengisi, tetapi berhubungan secara kompensatoris. Kesadaran berfungsi untuk penyesuaian terhadap dunia luar dan ketidaksadaran berfungsi untu penyesuaian terhadap dunia dalam (Suryabrata, 2005). Batas antara kesadaran dan ketidaksadaran tidak tetap melainkan dapat berubah-ubah, artinya luas daerah kesadaran atau ketidaksadaran dapat bertambah atau berkurang (Suryabrata, 2005). Ada tiga jalinan asumsi tentang sejarah universal psyche, yaitu: 1) The evolution of the psyche, psyche layaknya tubuh telah terstruktur secara kolektif, dan dalam beberapa pengertian dapat dikembangkan seperti itu. Dalam pandangan Darwinian, simbol ini, image, dan ide yang telah diperjuangkan sangat lama adalah paling pas dalam memandu proses individuasi; 2) The preexitence of the psyche, psyche bukanlah sesuatu yang simpel yang telah datang menjadi merdeka dari setiap jiwa, telah mempersiapkan untuk mati, atau hidup dalam beberapa bentuk individual. Bagaimanapun juga efek kumulatif dari seorang yang terindividuasi menemukan jalannya kepada kebijaksanaan secara kolektif dalam ras;
59
3) The archeology of the psyche, menyusul abad ke-19 prinsip biology bahwa “ontogeny recapitulates phylogeny”, proses individuasi mengizinkan ego individual untuk mengalami lagi sejarah psikis ras atau bangsa dari waktu sebelum peradaban sampai sekarang (dalam Heisig, 1997). a. Kesadaran 1) Ego Menurut Jung, hasil pertama dari proses diferensiasi kesadaran itu adalah ego (Alwisol, 2008). Ego merupakan subyek dari segala kegiatan pribadi kesadaran. Kesadaran adalah fungsi aktif yang menghubungkan isi-isi psikis dengan ego sebagai pusatnya sehingga isi psikis ini dapat disadari oleh ego. Seluruh pengalaman menyangkut dunia luar dan dalam harus melewati ego supaya dapat diamati dan dialami. Semua relasi dengan ego sejauh oleh ego sendiri tidak dialami sebagai berhubungan denganya, tetap tinggal dalam ketidaksadaran dan tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan ego. Relasi dari satu isi psikis dengan ego merupakan kriterium dari keasadaran, karena tak ada yang menjadi sadar jika tidak dihadirkan kepada satu subyek (Jung, 1986). Jadi membicarakan kesadaran sama halnya dengan membicarakan ego, ego lah yang menyaring atau menghadirkan semua hal dalam kesadaran subyek. Ego bukan faktor tunggal atau elementer tapi satu faktor kompleks yang tidak bisa diuraikan sampai habis. Ego dilandasi oleh dua dasar berbeda, yaitu dasar somatis dan dasar psikis (Jung, 1986). Dasar somatis ego terdiri dari faktor sadar yaitu faktor-faktor yang mampu menembus ambang kesadaran, dan faktor tak sadar merupakan faktor yang sebagian besar subliminal atau dibawah ambang
60
kesadaran. Dasar psikis ego yaitu ego berdasar pada seluruh ruang kesadaran dan juga pada seluruh jumlah isi yang tak sadar. Ego adalah faktor sadar yang paling utama (par excellence). Awalnya ego muncul dari tubrukkan yang lain antara dunia luar dan dunia batin. Ego merupakan subyek dari semua usaha adaptasi yang berhasil, sejauh usaha-usaha ini dicapai oleh kehendak, namun kehendak didalamnya terbatas. Ego punya peranan penting dalam pengaturan psikis. Ego hanya titik referensi dari ruang kesadaran, yang didasarkan pada dan dibatasi oleh faktor somatis yang disebut diatas, bukan terdiri dari seluruh alam kesadaran. Ego hanyalah bagian dari kepribadian, bukan seluruh kepribadian. Jadi tidak mungkin memberi uraian umum tentang ego karena sifatnya yang individualitas, individual, unik, dan mempertahankan identitasnya sampai tingkat tertentu (Jung, 1986). Kesadaran mempunyai dua komponen pokok, yaitu fungsi jiwa dan sikap jiwa (Suryabrata, 2005). 2) Fungsi Jiwa Fungsi jiwa, adalah suatu bentuk aktivitas kejiwaan yang secara teori tiada berubah dalam lingkungan yang berbeda-beda. Jung membedakan empat fungsi pokok, yang dua rasional, yaitu pikiran dan perasaan, sedang yang dua lagi irasional, yaitu pendriaan dan intuisi. Fungsi-fungsi rasional bekerja dengan penilaian. Pikiran menilai atas benar dan salah, sedang perasaan menilai atas dasar menyenangkan dan tidak menyenangkan. Fungsi irasional berfungsi hanya semata-mata dengan pengamatan. Pendriaan mendapatkan pengamatan dengan sadar-indriah, sedang intusi mendapatkan pengamatan secara sadar-naluriah. Pada dasarnya tiap manusia memiliki keempat fungsi itu, akan tetapi biasanya hanya
61
salah satu fungsi saja yang paling berkembang (dominan) (Alwisol, 2008; Hall&Lindzey, 2005; Suryabrata, 2005). 3) Sikap Jiwa Sikap jiwa, adalah arah daripada energi psikis umum atau libido yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah ini dapat keluar ataupun ke dalam. Arah orientasi manusia yang cenderung ke luar menunjukkan bahwa individu itu memiliki sikap jiwa yang ekstravers. Orientasinya terutama tertuju keluar, pikiran, perasaan, serta tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungan, baik lingkungan sosial maupun non-sosial. Sikap jiwa dengan arah orientasi ke dalam menunjukan orang yang introversi. Orang ini terutama dipengaruhi oleh dunia subyektif, yaitu dunia dalam dirinya sendiri (Alwisol, 2008; Hall&Lindzey, 2005; Suryabrata, 2005). Jung memakai kombinasi sikap dan fungsi ini untuk mendeskripsi tipe-tipe kepribadian manusia dan diperoleh delapan macam tipe manusia, yakni tipe ekstraversi-pikiran, ekstraversi-perasaan, ekstraversi-pengindraan, ekstraversiintuisi,
introversi-pikiran,
introversi-perasaan,
introversi-pengindraan,
dan
introversi-intuisi (Alwisol, 2008; Hall&Lindzey, 2005; Suryabrata, 2005). 4) Persona Apa yang telah diuraikan di atas adalah keadaan kehidupan alam sadar yang sebenarnya, tetapi masih ada satu lagi yaitu bagaimana individu dengan sadar menampakkan diri ke luar karena cara individu dengan sadar menampakkan diri keluar itu belum tentu sesuai dengan keadaannya dirinya yang sebenarnya, dengan individualitasnya. Cara individu dengan sadar menampakkan diri keluar (ke dunia
62
sekitarnya) disebut ”Persona” (Suryabrata, 2005). Jung
(1945) menjelaskan
bahwa persona adalah topeng yang dipakai sang pribadi sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat, serta terhadap kebutuhan arketipal sendiri. Persona adalah kepribadian publik, aspek pribadi yang ditunjukkan kepada dunia atau pendapat publik yang melekat pada individu, lawan dari kepribadian privat yang berada di balik wajah sosial (dalam Hall dan Lindzey, 2005). b. Ketidaksadaran 1) Isi Tak Sadar Isi tak sadar terbagi dalam: a. Isi yang untuk sementara subliminal, yaitu yang dapat dihasilkan kembali sekehendak hati (memory), b. Isi yang tidak apa diingat kembali menurut kemauan, munculnya tiba-tiba (irupsi) dan spontan dari isi subliminal ke dalam kesadaran, c. Isi yang sama sekali tak bisa menjadi sadar, bersifat hipotetis, yang merupakan kesimpulan logis dari fakta-fakta yang mendasari kelompok isi yang kedua. Isi ketidaksadaran ini belum meyerbu ke kesadaran, atau sama sekali tak bisa menjadi sadar (Jung, 1986). Ketidaksadaran mempunyai dua lingkaran, yaitu ketidaksaran pribadi (personal) dan ketidaksadaran kolektif. a. Ketidaksadaran Personal, meliputi hal-hal yang terdesak atau tertekan (kompleks terdesak) dan hal-hal yang terlupakan (bahan-bahan ingatan) serta hal-hal yang teramati, terpikir, dan terasa di bawah ambang kesadaran
63
(Suryabrata, 2005). Ketidaksadaran personal berisikan sekelompok idea (perasaan-perasaan,
pikiran-pikiran,
persepsi-persepsi,
ingatan-ingatan)
mungkin mengorganisir diri menjadi satu, yang disebut kompleks (Alwisol, 2008). Ketidaksadaran Personal memuat isi-isi yang adalah unsur integral dari kepribadian individual dan karena itu juga bisa sadar (Jung, 1986); b. Ketidaksadaran
kolektif,
mengandung
isi-isi
yang
diperoleh
selama
pertumbuhan jiwa seluruhnya, pertumbuhan jiwa seluruh jenis manusia melalui generasi yang terdahulu. Daerah yang paling atas langsung dibawah ketidaksadaran pribadi berisi emosi-emosi dan afek-afek serta dorongandorongan primitif, apabila isi-isi ini termanifestasi maka orang masih dapat mengontrolnya. Daerah dibawahnya lagi berisi ”invasi”, yaitu erupsi dari bagian terdalam daripada ketidaksadaran serta hal-hal yang sama sekali tak dapat dibuat sadar, manifestasi dari hal ini dialami oleh individu sebagai sesuatu yang asing (Suryabrata, 2005). 2) Arketip Ketidaksadaran adalah tidak sadar. Pengetahuan individu akan apa yang tidak disadarinya diperoleh dari manifestasi daripada isi-isi ketidaksadaran itu, yaitu dapat berbentuk kompleks dan symptomp, mimpi, dan archetipus. Symtomp adalah tanda bahaya, yang memberitahu bahwa ada sesuatu dalam kesadaran yang kurang, dan karenanya perluasan ke alam tak sadar. Kompleks-kompleks adalah bagian kejiwaan kepribadian yang terpecah dan lepas dari penilikan (kontrol) kesadaran dan kemudian mempunyai kehidupan sendiri dalam kegelapan alam
64
ketidaksadaran, yang selalu dapat menghambat atau memajukan prestasi kesadaran (Suryabrata, 2005). Mimpi sering timbul dari kompleks dan memiliki bahasa yang bersifat perlambangan dan perlu ditafsirkan. Arketip adalah suatu bentuk pikiran (ide) universal yang mengandung unsur emosi yang besar (Alwisol, 2008; Hall & Lindzey, 2005). Arketip merupakan pusat serta medan tenaga daripada ketidak sadaran yang dapat mengubah sikap kehidupan sadar manusia (Suryabrata, 2005). Arketip dibawa sejak lahir dan tumbuh pada ketidaksadarn kolektif selama perkembangan manusia (sebagai jenis) jadi tidak tergantung pada manusia perorangan. Meskipun semua arketip dapat dipandang sebagai sistem-sistem dinamik otonom yang secara relatif bidang menjadi tidak tergantung pada aspekaspek lain kepribadian, namun sejumlah arketip telah berkembang sedemikian jauh sehingga harus dipandang sebagai sistem-sistem terpisah dalam kepribadian, yaitu bayang-bayang (shadow), syzygy (anima dan animus), dan self (Alwisol, 2008; Hall dan Lindzey, 2005). a. Shadow (Bayang-bayang), bayang-bayang atau shadow adalah arketip yang mencerminkan insting kebinatangan yang diwarisi manusia dari evolusi mahkluk tingkat rendahnya. Bayang-bayang merupakan ”bagian gelap” kepribadian, kekurangan yang tak disadari. Bayang-bayang terbentuk dari fungsi inferior serta sikap jiwa yang inferior, yang karena pertimbangan moral atau pertimbangan-pertimbangan lain dimasukkan ke dalam ketidaksadaran, karena tidak serasi dengan kehidupan alam sadarnya. Bayang-bayang bersifat emosional, semacam otonomi, obsesif (menghantui) dan posesif (menguasai).
65
Pada taraf tertentu bayang-bayang dapat diasimilasikan ke dalam kepribadian sadar selama masih bersifat personal, namun jika bayang-bayang muncul sebagai arketip akan menjadi sulit untuk membuatnya sadar. Hal ini terjadi melalui proyeksi, namun terkadang proyeksi ini tidak dikenali sebagai proyeksi sehingga penyingkapannya merupakan usaha moral yang besar (Alwisol, 2008; Hall dan Lindzey, 2005; Jung, 1986; Suryabrta, 2005). b. Syzygy, terdiri dari anima dan animus. Anima adalah penjelmaan sifat wanita dalam rupa manusia, sifat wanita yang terdapat dalam alam tak sadar pria. Animus adalah penjelmaan sifat pria dalam rupa manusia, sifat pria dalam alam tak sadar wanita (Alwisol, 2008; Hall dan Lindzey, 2005; Jung, 1986; Suryabrta, 2005). Syzygy ada dalam hubungan yang langsung dengan persona. Persona menyesuaikan diri ke luar sedang syzygy menyesuaikan diri ke dalam; jadi persona adalah fungsi perantara antara aku dan dunia dalam. Makin kaku persona, maka makin rendah diferensiasi anima atau animus dan makin diproyeksikan kepada orang lain (Suryabrata, 2005). Anima dan animus hanya disadari dalam relasi lawan jenis, sebab dalam relasi yang demikian proyeksiproyeksi ini bekerja selektif (Jung, 1986). Harus ada kompromi antara tuntutan tak sadar kolektif dengan realitas dunia, agar terjadi penyesuaian yang sehat (Alwisol, 2008; Hall dan Lindzey, 2005). c. Self adalah arketip yang memotivasi perjuangan seseorang menuju keutuhan (Alwisol, 2008). Self adalah titik pusat kepribadian, di sekitar mana semua sistem lain terkonstelasikan. Self mempersatukan sistem-sistem ini dan
66
memberikan kepribadian dengan kesatuan, keseimbangan, dan kestabilan pada kepribadian.
2. Perkembangan Psike atau kepribadian a. Kausalitas, Teleologi, dan Sinkronitas Jung berpendapat, bahwa kausalitas dan teleologi kedua-duanya penting dalam psikologi (Suryabrata, 2005). Segi pandangan teleologis menerangkan masa sekarang dari sudut masa depan. Kepribadian manusia dipahami menurut kemana akan pergi, bukan dimana telah berada. Sebaliknya, masa sekarang dapat dijelaskan oleh masa lampau. Ini adalah pandangan kausalitas, yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa sekarang adalah akibat atau hasil pengaruh dari keadaan-keadaan atau sebab-sebab sebelumnya. Orang memeriksa masa lampau seseorang dengan maksud untuk menerangkan tingkah lakunya sekarang (Hall dan Lindzey, 2005). Menurut Jung, peristiwa psikis tidak selalu dapat dijelaskan dengan prinsip sebab akibat. Dua peristiwa psikis yang terjadi secara bersamaan dan tampak saling berhubungan, yang satu tidak menjadi penyebab dari yang lain, karena keduanya tidak dapat ditunjuk mana yang masa lalu dan mana yang masa depan. Ini dinamakan prinsip sinkronitas. Jung menyimpulkan dari pengalamanpengalaman dalam telepati mental, penginderaan batin (clairvoyance), dan fenomena paranormal lainnya; bahwa ada aturan lain di alam semesta disamping aturan sebab akibat, aturan itulah prinsip sinkronitas (Alwisol, 2008).
67
b. Progresi dan Regresi Di dalam proses perkembangan dapat terjadi gerak maju (progresi) atau gerak mundur (regresi). Apa yang dimaksud dengan progresi oleh Jung adalah bahwa aku sadar dapat menyesuaikan diri secara memuaskan baik terhadap tuntutan-tuntutan dunia luar maupun kebutuhan-kebutuhan ketidaksadaran. Dalam progresi normal, kekuatan-kekuatan penghalang dipersatukan secara selaras dan koordinatif oleh proses-proses kejiwaan (Hall dan Lindzey, 2005; Suryabrta, 2005). Apabila gerak maju ini terganggu oleh rintangan dan karenanya libido tercegah untuk digunakan secara maju maka libido lalu membuat regresi kembali ke fase yang telah di lewati atau masuk ke ketidaksadaran. Regresi tidak selalu berarti negatif, regresi memungkinkan individu untuk mencari penyelesaian dari dalam ketidaksadaran (Hall dan Lindzey, 2005; Suryabrta, 2005).
c. Sublimasi dan Represi Sublimasi merupakan pemindahan energi dari proses-proses yang lebih primitif, instingtif, dan kurang berdiferensiasi ke proses-proses kultural dan spiritual yang lebih tinggi dan lebih berdiferensiasi. Sublimasi ini terjadi untuk proses individuasi dan fungsi transedensi. Apabila pelepasan energi terhambat, entah melalui saluran instingtif atau saluran yang telah disublimasikan maka dikatakan bahwa energi itu direpresikan (Hall dan Lindzey, 2005). Jadi dalam pandangan Jung sublimasi dan represi adalah dua hal yang berlawanan: sublimasi itu progresif, menyebabkan psyche bergerak maju,
68
menambah rasionalitas, sedang represi itu adalah regresif, menyebabkan pyche bergerak mundur, dan menghasilkan irasionalitas. Namun bagi Jung represi itu tetap mempunyai nilai positif (Suryabrata, 2005). d. Jalan Kesempurnaan 1) Individuasi Proses individuasi merupakan proses analitik, memilah-milah, memerinci, dan mengelaborasi aspek-aspek kepribadian (Alwisol, 2008). Individuasi adalah kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam spesies-spesies manusia dan pada setiap orang dengan mana psyche individu dapat mencapai perkembangan yang lengkap dan utuh. Prosesnya berpangkal dari keseluruhan psyche, suatu organisme yang bagian-bagian individualnya dikoordinir oleh sistem relasi komplementer dan saling mengimbangi dan memperkembangkan kematangan kepribadian (Jung, 1986). Proses individuasi berjalan melalui empat sifat yaitu (dalam Baihaqi, 2008; Schultz, 1991): a. Sifat pertama ialah bahwa orang menyadari segi-segi diri yang telah diabaikannya. Hal ini tidak dapat terjadi sebelum usia setengah tua. Jung merumuskan proses individuasi sebagai proses menjadi individu yang unik, diistilahkanya dengan “satu ada, mewujud, yang homogen” yaitu menjadi diri sendiri. Untuk bertujuan ke arah individuasi, orang harus melepaskan tingkah laku-tingkah laku, nilai-nilai, dan pikiran-pikiran yang membimbing setengah bagian pertama dari kehidupan dan sampai pada ketidaksadarannya;
69
b. Sifat kedua ialah pengorbanan tujuan-tujuan material dari masa remaja dewasa dan sifat-sifat kepribadian yang memungkinkan seseorang mencapai tujuantujuan itu. Dalam individuasi tidak ada satupun fungsi atau sikap yang dominan. Dengan individuasi secara paradoks, kategori-kategori perbedaan individual (tipologi kepribadian) ini hilang sebab orang itu tidak dapat dikategorikan sebagai misalnya seorang yang ekstrovers, introvers, ataupun yang lain. Di dalam individuasi akan terjadi perubahan-perubahan pada usia setengah tua, yaitu yang pertama penurunan tahta persona. Kepribadian publik tetap diteruskan sebab masih ada peranan-peranan sosial tetapi orang harus menyadari dirinya dan juga menjadi dirinya sendiri. Yang kedua, ialah menyadari semua kekuatan bayang-bayang yang bersifat destruktif dan konstruktif. Hal ini berarti orang harus menyadari sisi gelap kepribadiannya serta menerima impuls-impuls yang bersifat animalistis dan primitif seperti sifat destruktif dan egois. Hal ini merupakan bagian dari tahap pengetahuan diri, individu harus menerima dan menyadari sisi buruk kepribadiannya juga. Yang ketiga ialah menerima biseksualitas psikologis yaitu anima dan animus. Setiap langkah dalam proses individuasi adalah sulit, tapi mengenal dalam diri sendiri kualitas-kualitas dan sifat-sifat dari jenis kelamin lain jelas hal yang paling sulit karena merupakan hal yang sangat luar biasa dan penyimpangan yang sangat tajam dari gambaran diri sebelumnya. Hal ini juga berfungsi sebagai pelepasan terakhir dalam pengaruh masa kanak-kanak. Bersamaan dengan pengetahuan diri muncullah penerimaan diri.
70
c. Sifat ketiga ialah integrasi diri. Semua segi kepribadian diintegrasikan dan diharmoniskan sehingga semuanya dapat diungkapkan. Untuk pertama kalinya hidup, tidak ada segi, sikap, atau fungsi yang dominan d. Sifat terakhir ialah orang yang mampu menampakkan ungkapan-diri. Ungkapan diri merupakan sifat terkahir dari orang-orang yang terindividuasi. 2) Fungsi Transendensi Jung (1961) menjelaskan bahwa apabila keanekaragaman telah dicapai lewat proses individuasi, maka sistem-sistem yang berdifereniasi itu kemudian diintegrasikan oleh fungsi transeden (dalam Hall dan Lindzey, 2005). Fungsi transendensi merupakan proses sintetik, mengintegrasikan materi tak sadar dengan materi kesadaran, mengintegrasikan aspek-aspek di dalam suatu sistem, dan mengintegrasikan sistem-sistem secara keseluruhan agar dapat berfungsi dalam satu kesatuan secara efektif (Alwisol, 2008). Jung (1943) menjelaskan bahwa fungsi ini memiliki kapasitas untuk mempersatukan semua kecenderungan yang saling berlawanan dalam beberapa sistem dan bekerja menuju tujuan yang ideal yakni kebulatan sempurna (diri). Tujuan dari fungsi transenden adalah pengungkapan pribadi yang esensial dan “realisasi kepribadian dalam semua aspeknya yang mula-mula tersembunyi dalam cairan sel telur; produksi dan penyingkapan dari kebulatan yang original dan potensial” (dalam Hall dan Lindzey, 2005). 3) Realisasi diri Proses individuasi dan fungsi transendensi merupakan langkah menuju realisasi diri. Realisasi diri adalah tujuan hidup menurut pandangan Jung atau
71
tujuan dari perkembangan kepribadian itu sendiri. Realisasi diri berarti diferensiasi yang sangat penuh, sangat sempurna serta perpaduan yang harmonis dari semua aspek seluruh kepribadian manusia. Hal ini berarti bahwa psyche telah mengembangkan pusat baru, yakni diri menggantikan pusat yang lama, yaitu ego (Hall dan Lindzey, 2005). Sifat-sifat dalam individuasi akan menunjukkan individu yang mampu menjadi dirinya sendiri atau mencapai realisasi diri. Boeree menyebut pribadi ini sebagai pribadi yang tidak egoistik (Boeree, 2000). Ciri orang seperti ini adalah berupa: 1) Penerimaan dan toleransi terhadap kodrat manusia pada umumnya. Orangorang yang terindividuasi memiliki kesadaran dan toleransi yang lebih besar terhadap kondisi umat manusia, dengan begitu orang-orang ini merasa lebih empati dengan masalah kemanusiaan, tanpa memandang ras, golongan, dan agama (Baihaqi, 2008; Schultz, 1991). 2) Orang-orang ini menerima apa yang tidak diketahui dan misterius, menerima dalam kesadaran dan ketidaksadaran, serta adanya faktor-faktor irasional. Hal ini juga meliputi gejala-gejala supranatural dan spiritual yang mencakup kepercayaan terhadap kewaskitaan dan kepercayaan terhadap Allah. 3) Selanjutnya orang yang sudah terindividuasi adalah orang yang memiliki kepribadian yang universal karena tidak ada satupun segi kepribadian yang dominan (Baihaqi, 2008; Schulz, 1991).
Ketika individuasi tercapai, self
meliputi totalitas psyche manusia seimbang dalam pusatnya, self menyatukan tanpa kontradiksi dari kutub-kutub jiwa: kesadaran dan ketidaksadaran, terang dan gelap, tubuh dan jiwa, dan sebagainya (Kuhnis, 2006). Self adalah tujuan
72
hidup, suatu tujuan yang terus menerus diperjuangkan tetapi jarang tercapai. Sebelum diri muncul, maka berbagai komponen kepribadian harus terlebih dahulu berkembang sepenuhnya dan terindividuasikan (Hall dan Lindzey, 2005). ”True self” dapat dengan kemudian berpartisipasi secara individual dalam kenyataan sebelumnya untuk beberapa perbedaan antara subyek dan obyek, antara kesadaran dan dunia, bahkan antara berpikir dan bertindak. Self adalah tujuan atau kesempurnaan dari ego. Hal ini diandaikan seperti biji yang jatuh ke tanah dan mati, kemudian mengeluarkan lagi bunga yang indah. Individu yang luar biasa yang mampu menjadi pahlawan karena membunuh kekuatan binatang dan meletakkan tangan pada harta yang terpendam (Heisig, 1997). Ada enam kesimpulan tentang self dalam teori Jung, yaitu: 1) An original wholeness, self merupakan totalitas psyche; 2) A potential for becoming, self membuat terindividuasi secara total; 3) A agent of the collective unconscious, self merupakan pusat dari proses individuasi; 4) An achieved wholeness, self merupakan hasil aktual dari kesatuan yang harmonis dan antara kekuatan-kekuatan psyche; 5) An archetype of the transcendent absolute, image dari Tuhan, Buddha, Tao, dan sebagainya tak dapat dibedakan dari image self; 6) An archetyoe of the union of the transcendent and the immanent, image Kristus, Khidr, dan lainnya adalah tidak dapat dibedakan dari image self (dalam Heisig, 1997).
73
Integrasi isi-isi ketaksadaran kolektif memiliki pengaruh yang besar terhadap kepribadian ego. Integrasi isi-isi ketaksadaran merupakan bagian dari self. Asimilasinya dapat memperbesar ruang kesadaran tapi juga peranan ego. Sangat penting supaya ego berlabuh dalam dunia kesadaran dan supaya kesadaran diperkuat dengan adaptasi yang tepat. Untuk ini kebajikan-kebajikan tertentu seperti perhatian, ketelitian, kesabaran sangatlah penting dari sudut moral, sebagaimana observasi yang cermat dari symtomatology alam tak sadar dan kritikkritik diri yang obyektif sangat berguna dari segi intelektual (Jung, 1986). Pengalaman-pengalaman religius sejati merupakan bentuk pengalaman paling dekat dengan diri (selfhood) yang mampu dicapai oleh kebanyakan manusia. Ratarata archetipe self tidak akan tampak sebelum orang mencapai usia setengah baya (Hall dan Lindzey, 2005) .
D. AKTUALISASI DIRI MASLOW 1. Teori Kebutuhan Maslow a. Deficiensy Needs Pada awalnya Maslow, mengemukakan kebutuhan manusia meliputi lima kebutuhan yang bersifat hierarkis, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan memiliki dan cinta, kebutuhan-kebutuhan akan penghargaan, kebutuhan untuk mencapai aktualisasi diri. Keempat kebutuhan pertama disebut basic needs atau D needs (Deficiency-needs) (Baihaqi, 2008). Tabel 2 berikut menjelaskan tentang hirarki kebutuhan Maslow.
74
Tabel 2 Hirarki Kebutuhan dari Maslow (Alwisol, 2008) Jenjang Need
Deskripsi
Kebutuhan
Self
Kebutuhan orang unuk menjadi yang seharusnya
berkembang
actualization
sesuai dengan potensinya. Kebutuhan kreatif,
(meta need)
needs
realisasi diri, pengembangan self.
(metaneeds)
Kebutuhan harkat kemanusiaan untuk mencapai tujuan, terus maju, menjadi lebih baik.
Kebutuhan
Esteem Needs
(1) kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi,
karena
kepercayaan diri, kemandirian.
kekurangan
(2) kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain,
(Basic need)
status, ketenaran, dominasi, menjadi penting, kehormatan, dan apresiasi Love needs/
Kebutuhan kasih sayang, keluarga, sejawat,
belongingness
pasangan, anak. Kebutuhan bagian dari kelompok, masyarakat.
Safety needs
Kebutuhan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur, hukum, keteraturan, batas, bebas dari takut dan cemas. Dapat berupa: (1) kebutuhan pekerjaan dan gaji yang mantap, tabungan dan asuransi (askes dan taspen), memperoleh jaminan masa depan. (2) praktek beragama dan keyakinan filsafat tertentu dapat membantu orang untuk mengorganisir dunianya menjadi lebih bermakna dan seimbang.
Physiological
Kebutuhan homeostatik: makan, minum, gula,
needs
garam, serta kebutuhan seks dan istirahat
75
b.
Being Needs Dalam penelitian Maslow selanjutnya (1971) memperluas konsep basic need
ini untuk memasukkan sebuah kategori kebutuhan yang lebih tinggi yang disebut ”metaneeds” atau ”metamotivation”. Metaneeds atau metamotivation adalah tentang dorongan untuk orang-orang yang mengaktualisasikan diri. Maslow menyebut nilai yang paling utama ini mencari aktualisasi diri seseorang sebagai ”being values” atau ”B-values”. Nilai ini disebutkan lagi dan lagi oleh orang yang teraktualisasi diri atau oleh orang lain untuk mendeskripsikan pengalaman puncak. B-values ini terdiri dari: wholeness, perfection, completion, justice, aliveness, richness, simplicity, beauty, goodness, uniqueness, effortlessness, playfulness, truth, honesty, self sufficiency, and meaningfulness (dalam Dhiman, 2007). Empat kebutuhan dasar adalah kebutuhan karena kekurangan atau “D-need” (deficiency need), sedang kebutuhan meta atau kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan
karena ingin berkembang, ingin berubah, ingin mengalami
transformasi menjadi lebih bermakna atau B-need (being need) (Alwisol, 2008). Awalan ”meta’ berarti sesudah atau melampui, dan metamotivation berarti bergerak melampaui ide tradisioal tentang dorongan. Dorongan ini tidak seperti sekedar dorongan kebutuhan D-needs yang terjadi karena keadaan kekurangan. Dneeds ialah dorongan untuk membereskan suatu kekurangan dalam organisme. Sedangkan metamotivation tidak diusahakan untuk memperbaiki kekurangankekurangan atau mereduksi tegangan. Tujuannya ialah memperkaya dan memperluas pengalaman hidup, meningkatkan kesenangan dan kegembiraan yang
76
luar biasa dalam hidup. Cita-citanya ialah meningkatkan tegangan melalui bermacam-macam pengalaman baru yang menantang (Schultz, 1991). Menurut Maslow kebutuhan dasar berisi kebutuhan kebutuhan konatif, sedangkan kebutuhan meta berisi kebutuhan estetik dan kebutuhan kognitif (Alwisol, 2008). Nilai-nilai dalam B-values ini tidak dapat dipisahkan sepenuhnya satu sama lain. Nilai-nilai ini saling berhubungan dan untuk merumuskan yang satu perlu menggunakan
lain-lainnya
sehingga
kebutuhan-kebutuhan
untuk
tumbuh
seluruhnya memiliki nilai yang sama pentingnya dan tidak hierarkis (Goble, 2000). Alwisol (2008) menjabarkan B-needs sebagai meta kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang yang berisi kebutuhan estetik dan kebutuhan kognitif dalam tabel 3 di bawah ini. B-needs atau metakebutuhan akan lebih jelas dengan menyajikan juga dengan metapatologi-metapatologi khusus yang disebabkan oleh kegagalan metakebutuhan (Schlutz, 1991). Tabel 3 Kebutuhan Meta: Kebutuhan estetik dan kognitif dan metapatologi (Alwisol, 2008 ; Goble, 2000; Schlutz, 1991)
B-need Keanggunan (beauty)
Karakter yang sama atau berhubungan Keindahan,
Kekasaran, kegelisahan, kehilangan
keseimbangan
selera, rasa suram.
Metapatologi-metapatologi
bentuk, menarik perhatian. Bersemangat (aliveness)
Hidup, bergerak
Mati, menjadi robot, merasa diri
spontan, berfungsi
sendiri sama sekali ditentukan,
penuh, berubah
kehilangan emosi dan semangat dalam
dalam aturan.
kehidupan, kekosongan pengalaman.
77
Lanjutan tabel 3 B-Needs Keunikan (uniqueness)
Karakter yang sama atau berhubungan
Metapatologi-metapatologi
Keistimewaan,
Kehilangan perasaan diri dan
kekhasan, tak ada
individualitas, perasaan diri sendiri
yang sama,
yang dapat berubah-rubah atau
kebaruan.
anonim.
Bermain-main
Gembira, riang,
Keseragaman, depresi, keadaan tidak
(playfullness)
senang,
jenaka, paranoid, kehilangan
menggelikan, humor.
semangat dalam kehidupan, kesedihan.
Kesederhanaan
Jujur, terbuka,
Terlalu kompleks, kekacauan,
(simplicity)
menasar, tidak
kebingungan, kehilangan orientasi.
berlebihan, tidak rumit. Kebaikan (goodness)
Teratur (order)
Positif, bernilai,
Kebencian, penolakan, kejijikan,
sesuai dengan yang
kepercayaan hanya pada diri dan
diharapkan.
untuk diri.
Rapi, terencana,
Ketidakamanan, keidakwaspadaan,
mengikuti aturan,
kehilangan rasa aman, dan
seimbang.
kemungkinan meramalkan, perlu berhati-hati.
Kemandirian (self
Otonom,
Tanggung jawab diberikan pada
sufficiency)
menentukan diri
orang lain.
sendiri, tidak tergantung. Kemudahan
Ringan, tanpa usaha,
Kelelahan, tegagan, kecanggungan,
(effortlessness)
tanpa hambatan
kejanggalan, kekakuan.
78
Lanjutan tabel 3 B-needs
Karakter yang sama atau berhubungan
Metapatologi-metapatologi
Kesempurnaan
Mutlak, pantas, tidak
Keputusasaan, tidak bisa bekerja apa-
(perfection)
lebih, tidak kurang,
apa.
optimal Kelengkapan
Selesai, tamat,
Ketidaklengkapan, keputusasaan,
(completion)
sampai akhir, puas
berhenti berjuang dan
terpenuhi, tanpa sisa.
menanggulangi.
Kompleks, rumit,
Depresi, kegelisahan, kehilangan
penuh, berat,
perhatian pada dunia.
Tidak berat sebelah,
Kemarahan, sinisme,
menurut hukum yang
ketidakpercayaan, pelanggaran hkum,
seharusnya.
sama sekali mementingkan diri
Berisi (richness) Hukum (justice)
sendiri. Penyatuan
Menerima perbedaan,
(dicotomy/transcendence) perubahan, Keharusan (necessity)
Pikiran hitam/putih, pikiran salah satu dari dua, pandangan sederhana
penggabungan.
tentang kehidupan.
Tak dapat ditolak,
Kaca balu, tidak dapat diramalkan.
syarat sesuatu harus seperti itu. Kebulatan (wholeness)
Kesatuan, integrasi,
disintegrasi
kecenderungan menyatu, saling berhubungan. Kebenaran (truth)
Kenyataan, apa
Ketidakpercayaan, sinisme,
adanya, faktual, tidak
skeptisisme
berbohong.
79
2. Aktualisasi Diri a. Pengertian Aktualisasi Diri Definisi pribadi yang teraktualisasikan memang masih kabur, namun secara bebas Maslow melukiskanya sebagai ”penggunaan, dan pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya. Orang semacam ini memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya (Goble, 2000; Baihaqi, 2008). Mula-mula Maslow menyebut orang-orang luar biasa yang diseledikinya itu orang-orang yang ”teraktualisasikan dirinya”. Aktualisasi diri hanya terdapat pada orang-orang berusia lanjut, cenderung dipandang sebagai suatu keadaan puncak atau keadaan akhir, suatu tujuan jangka panjang, bukan sebagai suatu proses dinamis yang terus menerus aktif sepanjang hidup, lebih sebagai ada daripada menjadi (Goble, 2000). Karena orang-orang yang teraktualisasikan dirinya demikian ini biasanya berumur enam puluh tahun atau lebih, maka kebanyakan orang tidak termasuk dalam kategori ini, orang-orang tersebut belum statis, belum sampai, sedang beranjak ke arah kematangan. Proses aktualisasi adalah perkembangan atau penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau yang terpendam (Goble, 2000). Posisi dasar teori Maslow adalah seseorang menjadi lebih “ter-aktualisasi diri dan ter-transendensi diri”, orang dapat menjadi lebih bijaksana dan otomatis tahu apa yang akan dilakukan dalam suatu situasi yang sangat bervariasi. Daniels (2001) menyarankan bahwa kesimpulan terakhir Maslow bahwa level tertinggi
80
dari aktualisasi diri adalah transenden, pada dasarnya mungkin adalah kontribusi terpenting Maslow pada studinya tentang perilaku dan motivasi manusia (dalam Huiit W, 2004) Transendensi diri adalah untuk menghubungkan sesuatu melebihi ego atau untuk membantu orang lain menemukan pemenuhan diri dan merealisasikan segala potensinya (Huiit W, 2004). Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Dhiman dalam tulisannya, “ Maslow went beyond even self actualization. He considered self-transcendent to be our deepest need and highest aspiration” (Dhiman, 2007). b. Dua Macam Pengaktualisasi Diri Alwisol menjelaskan bahwa aktualisasi diri yang dapat dipandang sebagai kebutuhan tertinggi dari hirarki kebutuhan, tapi juga dapat dipandang sebagai tujuan final, tujuan ideal dari kehidupan manusia dapat dicapai melalui pengembangan diri dan pengalaman puncak (peak experience). Maslow mengemukakan dua jalur untuk mencapai aktualisasi diri yaitu, jalur belajar yang diartikan dengan mengembangkan diri secara optimal pada semua tingkat kebutuhan hirarkis dan jalur pengalaman puncak (peak experience) (Alwisol, 2008). Berkaitan dengan ini Maslow menambahkan bahwa terdapat dua macam pengaktualisasi diri yaitu yang pertama adalah orang mengalami pengalaman puncak lebih kurang atau lebih ringan dan yang kedua adalah orang yang mengalami pengalaman puncak lebih banyak. Yang pertama disebut non-peakers dan yang kedua disebut peakers.
81
1) Peakers Peakers lebih hidup dalam dunia-B, dimetamotivasikan dengan lebih jelas dan memiliki pengalaman-pengalaman puncak yang memberikan wawasanwawasan yang jelas tentang diri mereka dan dunia mereka (dalam Schlutz, 1991). 2) Non Peakers Non-peakers cenderung menjadi orang-orang yang praktis, berinteraksi dengan dunia nyata secara efekif, dan kurang dengan dunia kehidupan B (Bliving) yang lebih tinggi (dalam Schlutz, 1991). c. Karakteristik Aktualisasi Diri Maslow mendeskripsikan arti aktualiasi diri dalam bentuk perilaku nyata, yaitu (dalam Dhiman, 2007): 1) Going at thing ‘whole hog”, aktualisasi diri berarti penuh pengalaman, hidup penuh semangat, tidak mementingkan diri sendiri dengan penuh konsentrasi dan totalitas; 2) Making growth choices. Untuk membuat sebuah pilihan hidup daripada pilihan ketakutan. Selusin waktu dalam sehari adalah untuk bergerak maju menuju aktualisasi diri; 3) Letting the self emerge, dengan mendengarkan gerak suara hati. Orang yang teraktualisasikan membiarkan “self emerge”; 4) Taking responsibility. Orang-orang yang teraktualisasi diri tiap waktunya selalu bertindak dengan jujur dan bertanggung jawab; 5) Listening to one’s own self, menjadi lebih berani dan memiliki keteguhan hati dalam menikmati hidup;
82
6) Working ti become first-rate, selalu ingin menjadi sebaik semampunya; 7) Creating condition for peak experiences. Dengan membuat pilihan untuk berkembang, dengan menjadi jujur dan bertanggung jawab, dengan mendengarkan suara hati, dan dengan selflessly dalam bekerja adalah suatu alasan kejayaan diri mereka. Orang-orang yang teraktualisasi menciptakan kondisi sehingga menjadi mengalami pengalaman yang lebih tampak benarbenar terjadi. 8) Having courage to drop ane’s defenses. Artinya, dapat mengidentifikasi pertahanan dan menemukan alasan untuk berkembang. Berikut ini karakteristik sifat pada orang-orang yang teraktualisasi (Boeree dalam www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000) yaitu: 1) Orang-orang yang reality-centered, dimana dapat mendeferensiasikan apa itu tipuan dan ketidakjujuran dari apa itu kenyataan dan kesungguhan. Orangorang ini tidak memandang dunia hanya sebagaimana yang diinginkan atau dibutuhkan, namun melihatnya sebagaimana adanya. 2) Orang-orang ini adalah problem-centered, artinya memperlakukan kesulitan hidup sebagai suatu masalah yang perlu solusi, bukan suatu kekacauan personal yang bisa membuat menyerah begitu saja. Dan orang-orang ini memiliki pandangan yang berbeda tentang makna dan tujuan. Orang-orang ini merasa bahwa tujuan akhir bukanlah suatu keperluan untuk membenarkan makna, bahwa makna dapat menjadi tujuan akhir dari semuanya, dan bahwa makna adalah sebuah perjalanan yang lebih penting daripada tujuan akhir. Orang-orang seperti ini memiliki dedikasi yang tinggi terhadap pekerjaan dan
83
profesinya. Orang-orang ini menganggap pekerjaan bukanlah sebagai tugas, namun sebagai suatu permainan dan senang melakukannya. Bagi orang-orang seperti ini ide-ide seperti liburan, lelucon, hiburan, istirahat, atau kegemaran terlebur dalam tugas, panggilan, dan pekerjaan. 3) Orang-orang yang menikmati kesepian, dan nyaman dengan kesendirian. Orang-orang ini menikmati relasi personal yang lebih dalam dengan sedikit teman dekat dan anggota keluarga, daripada suatu hubungan yang dangkal dengan banyak orang. Orang-orang ini memiliki kemampuan untuk membentuk pikiran, mencapai keputusan, dan melaksanakan dorongan dan disiplinnya sendiri. 4) Orang-orang ini menikmati otonomi, suatu kemerdekaan yang relatif dari sekedar kebutuhan fisik dan sosial. Orang-orang ini menentang enkulturasi, tidak mudah terkena jebakan tuntutan sosial untuk menjadi ”sesuai aturan” atau ”layak”, dalam kenyataannya orang-orang ini nonconformists in the best sense. Hal ini terjadi karena orang-orang ini tidak lagi didorong oleh motifmotif kekurangan dan tidak tergantung pada dunia nyata untuk mendapatkan kepuasan sebab pemuasan dari motif-motif pertumbuhan datang dari dalam. Orang-orang ini mampu mempertahankan suatu ketenangan dasar di tengahtengah apa yang dilihat orang-orang yang kurang sehat sebagai malapetaka. 5) Orang-orang yang memiliki unhostile sense of humor, memiliki kualitas yang disebut acceptance of self and others. Artinya, orang-orang ini lebih suka membawa “dirimu” sebagai “dirimu” daripada merubah “dirimu” menjadi apa yang seharusnya. Orang-orang ini juga memiliki motivasi yang kuat untuk
84
merubah kualitas negatif dalam diri mereka sendiri jika dapat dirubah. Ini semua datang secara spontan dan simpel. Orang-orang ini lebih suka menjadi diri mereka sendiri daripada harus pura-pura terlihat “wah”. 6) Orang-orang ini memiliki rasa kerendahan hati dan rasa hormat terhadap orang lain. Artinya, orang-orang ini terbuka terhadap etnik dan keunikan individual, bahkan menghargainya. Orang-orang ini memiliki ketertarikan sosial, perasaan kasihan, dan kemanusiaan. Hal ini diiringi oleh etika yang kuat, yang mana adalah spiritual dan kadang-kadang religiusitas dalam pengertian yang alami. 7) Orang-orang ini memiliki apresiasi yang segar, kemampuan untuk melihat sesuatu, bahkan sesuatu yang luar biasa. Orang-orang ini tidak mudah menjadi puas atau bosan oleh pengalaman hidup. Orang-orang ini senantiasa menghargai
pengalaman-pengalaman
tertentu
bagaimanapun
seringnya
pengalaman itu terulang, dengan suatu perasaan kenikmatan yang segar, perasaan
terpesona,
dan
kagum.
Kemampuannya
menjadi
kreatif,
berdayacipta, dan original. Orang-orang ini adalah asli, inventif, dan inovatif, meskipun tidak selalu dalam pengertian dalam menghasilkan karya seni. Maslow menyamakan kreativitas ini dengan daya cipta dan daya khayal naif yang dimiliki anak-anak, suatu cara yang tidak berprasangka dan langsung melihat kepada hal-hal. Kreativitas lebih merupakan suatu sikap, suatu ungkapan kesehatan psikologis, dan lebih mengenai cara bagaimana mengamati dan bereaksi terhadap dunia dan bukan mengenai hasil-hasil yang sudah selesai dari suatu karya seni.
85
8) Orang-orang ini lebih cenderung memiliki pengalaman puncak (peak experience) daripada orang-orang pada umumnya.
3. Peak experience a. Pengertian Peak Experience Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa orang yang mencapai aktualisasi diri ternyata mengalami pengalaman puncak. Pengalaman puncak adalah suatu pengalaman mistik mengenai perasaan dan sensasi yang mendalam, psikologik, dan fisiologik. Suatu keadaan dimana seseorang mengalami ekstasikeajaiban-terpesona-kebahagiaan yang luar biasa, seperti pengalaman keilahian yang mendalam, dimana saat itu diri seperti hilang atau mengalami transendensi (Alwisol, 2008). b. Karakteristik Peak Experience Maslow menerima gambaran pengalaman puncak yang disusun oleh William James sebagai berikut: 1) Tak terlukiskan (ineffability): subyek sesudah mengalami pengalaman puncak segera mengatakan bahwa itu adalah ekspresi keajaiban, yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata, yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain; 2) Kualitas kebenaran intelektual (noetic quality): pengalaman puncak adalah pengalaman menemukan kebenaran dari hakikat intelektual; 3) Waktunya pendek (transiency): keadaan mistis tidak bertahan lama. Umumnya hanya berlangsung 30 menit atau paling lama satu atau dua jam;
86
4) Pasif (passivity): orang yang mengalami pengalaman mistik merasa kemuan dirinya tergusur (abeyance), dan terkadang merasa terperangkap dan dikuasai oleh kekuatan yang sangat besar (dalam Alwisol, 2008). c. Pengaruh Peak Experience dalam Jangka Lama Pengaruh pengalaman puncak berjangka lama, antara lain: 1) Hilangnya symptom neurotic, 2) Kecenderungan melihat diri sendiri lebih sehat, 3) Perubahan pandangan mengenai orang lain dan hubungan dirinya dengan orang lain, 4) Perubahan pandangan diri mengenai dunia, 5) Munculnya kreativitas, spontanitas, dan kemampuan mengekspresikan diri. 6) Kecenderungan
mengingat
pengalaman
puncak
itu
dan
berusaha
mengulanginya, 7) Kecenderungan melihat kehidupan secara umum sebagai hal yang lebih berharga (dalam Alwisol, 2008). Maslow menyimpulkan bahwa selama mengalami pengalaman puncak orang memperoleh persepsi yang lebih baik tentang realitas itu sendiri (Goble, 2000).
87
E. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN
Kejawen
Mistik Kebatinan
PANGESTU Ajaran
Konsep Manusia
Konsep Ketuhanan
Candra Jiwa Sunarto
Tripurusa
Konsep mistik
Manuggaling Kawula_Gusti
PANEMBAH
Ritual
1. 2.
3.
JUNG
MASLOW
Struktur Psyche
B-Needs
Perkembangan Psyche: REALISASI DIRI
Aktualisasi Diri
Panembah Raga kepada Roh Suci Panembah Roh Suci kepada Suksma Sejati Panembah Suksma Sejati kepada Suksma Kewekas
PENGALAMAN MISTIK
Gambar 2. Kerangka Konseptual Penelitian
Kerangka konseptual penelitian ini disusun berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan diatas. Gambar 2 menunjukkan bahwa sasaran penelitian ini adalah pengalaman mistik para pengikut Pangestu yang melakukan ritual Panembah tiga tingkatan. Konsep tentang ritual mistik tentunya juga disertai dengan pemahaman konsep ajarannya. Di dalam setiap ajaran kebatinan termasuk Pangestu selalu terangkum konsep tentang ketuhanan, kemanusiaan dan mistik.
88
BAB III METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (dalam Moleong, 2007). Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian studi kasus. Menurut Smith (dalam merriam,1998) rancangan studi kasus dibedakan dari rancangan penelitian kualitatif yang lain karena mendeskripsikan dan menganalisa secara lebih intensif terhadap satu unit tunggal atau satu sistem terbatas (bounded system) seperti seorang individu, suatu program, suatu peristiwa,suatu intervensi, atau suatu komunitas (dalam Alsa, 2007). Sebagaimana halnya penelitian ini yang berusaha menganalisa lebih mendalam suatu sistem terbatas pengalaman mistik komunitas penganut aliran kebatinan Pangestu, oleh
karena itu rancangan
penelitian yang digunakan adalah studi kasus.
B. FOKUS PENELITIAN Penelitian ini difokuskan pada pengalaman mistik penganut Paguyuban Ngesti Tunggal dalam melakukan ritual mistik panembah untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai proses realisasi diri menurut teori Jung dan proses
89
aktualisasi diri menurut teori Maslow. Fokus penelitian ini telah dirumuskan dalam pertanyaan penelitian berikut ini: 1) Bagaimana pengalaman mistik para penganut Pangestu? 2) Bagaimana proses mencapai realisasi diri penganut Pangestu menurut teori Jung? 3) Bagaimana proses mencapai aktualisasi diri penganut Pangestu menurut teori Maslow?
C. RESPONDEN PENELITIAN Penelitian ini menggunakan tiga responden sesuai dengan tiga tingkatan panembah, yaitu panembah raga kepada Roh Suci, panembah Roh Suci kepada Suksma Sejati, dan panembah Suksma Sejati kepada Suksma Kawekas. Kriteria umur dari responden disesuaikan dengan ciri yang diberikan oleh Maslow dan Jung yaitu bahwa realisasi diri dan aktualisasi diri tidak dapat terjadi sebelum usia setengah tua (dalam Goble, 2000). Responden yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat disimpulkan dalam kriteria sebagai berikut: 1) Siswa Pangestu 2) Melaksanakan panembah dan telah sampai minimal pada ritual panembah tingkatan pertama atau sembah raga, 3) Komunikatif, 4) Berdomisili di wilayah karisidenan Surakarta. Karisidenan Surakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena pangestu lahir dan berkembang pesat di
90
Surakarta selain karena Surakarta adalah salah satu pusat mistik dan budaya Jawa.
D. METODE PENGUMPULAN DATA Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2005). Jenis wawancara yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sesuai dengan pembagian jenis wawancara menurut Patton (dalam Poerwandari, 2005; Moleong, 2007), yaitu wawancara dengan pedoman umum. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan yang tidak perlu ditanyakan secara berurutan (Moleong, 2007). Pada proses wawancara dengan pedoman umum, peneliti dilengkapi rancangan wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Rancangan wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas. Wawancara dengan pedoman umum ini diarahkan pada bentuk wawancara mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan mendalam (Poerwandari, 2005). Jenis wawancara ini tidak terdapat pertanyaan baku yang sudah disiapkan terlebih dahulu, pelaksanaan wawancara disesuaikan dengan konteks wawancara yang sebenarnya (Moleong, 2007).
91
E. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA Prosedur pengambilan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Data Penelitian Data penelitian dalam penelitian ini adalah pengalaman mistik yang mengandung aspek realisasi diri dan aktualisasi diri. Data pengalaman mistik yang mengandung aspek realisasi diri dan aktualisasi diri tersebut tersimpan dalam sumber data. 2. Sumber Data Penelitian Sumber data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer penelitian ini adalah langsung dari responden atau subyek penelitian dan akan berupa kata-kata yang diperoleh melalui wawancara. Sedangkan sumber data sekunder adalah berupa deskripsi tertulis yang diperoleh dari buku-buku tentang Pangestu, yaitu hasil penelitian Hadiwiyono, Soehadha, dan De Jong serta kitab-kitab Pangestu, yaitu Sasangka Djati dan Candra Jiwa Soenarto. 3. Operasionalisasi Data Penelitian Operasionalisasi data penelitian ini merumuskan tentang definisi-definisi operasional data penelitian. Hal ini akan dapat digunakan untuk membuat pedoman pertanyaan penelitian. a. Pengalaman menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti barang apa yang dirasakan. Pengalaman mistik berarti mengalami mistik, yaitu tentang adanya kontak antara manusia, alam semesta, dan Tuhan atau persatuan mesra antara ruh manusia, atau persatuan langsung manusia dengan dzat ketuhanan dan
92
perjuangan bergairah kepada perstuan itu. Pengalaman mistik merupakan transformasi kesadaran, dari kesadaran mental-spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran trans-personal yang bersifat tunggal ilahiah (Hilmy, 2006). Untuk mengungkap variabel pengalaman mistik digunakan metode wawancara dengan rencana umum dan dari ajaran Pangestu melalui kitab Pangestu dan buku-buku tentang Pangestu. b. Realisasi diri adalah tujuan hidup menurut pandangan Jung atau tujuan dari perkembangan kepribadian itu sendiri. Hal ini berarti bahwa psyche telah mengembangkan pusat baru, yakni diri menggantikan pusat yang lama, yaitu ego. Realisasi diri dicapai melalui proses individuasi dan fungsi transendensi. Proses individuasi dan fungsi transendensi akan dilihat dari sifat-sifat orangorang yang terrealisasi yang diberikan oleh Baihaqi (2008) dan Schultz (1991) dan seorang yang mencapai realisasi diri tampak dari ciri-ciri yang disampaikan oleh Schlutz (1991). Untuk mengungkap variabel realisasi diri digunakan metode wawancara dengan rencana umum dan dari ajaran Pangestu melalui kitab Pangestu dan buku-buku tentang Pangestu. c. Aktualisasi diri adalah penggunaan, dan pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas, potensi-potensi, dan sebagainya. Orang semacam ini memenuhi dirinya dan melakukan yang terbaik yang dapat dilakukannya. Aktualisasi diri dalam penelitian ini adalah aktualsasi diri yang dicapai melalui pengalaman puncak (peak experience) yang dalam hal ini adalah pengalaman mistik (peakers). Perubahan yang terjadi dalam diri peakers karena pengalaman mistik tampak pada pengaruh pengalaman puncak
93
menurut Alwisol (2008). Untuk mengungkap variabel aktualisasi diri digunakan metode wawancara dengan rencana umum dan dari ajaran Pangestu melalui kitab Pangestu dan buku-buku tentang Pangestu. 4. Langkah-langkah Pengumpulan Data Penelitian Adapun langkah-langkah mencari data terbaik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) mengkaji sumber data sekunder, yaitu dari buku-buku hasil penelitian Pangestu diantaranya buku Konsepsi Manusia dalam Kebatinan Jawa karangan Hadiwiyono, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa karangan De Jong, dan Orang Jawa Memaknai Agama karangan M. Soehadha serta kitab Pangestu yaitu Sasangka Djati dan Candra Jiwa Soenarto. (2) melakukan wawancara langsung terhadap informan atau responden penelitian untuk mendapatkan sumber data primer. (3) memadukan dan mengkonsultasikan sumber data primer dan sumber data sekunder kepada informan atau responden penelitian. (4) data terbaik yang didapat akan dijadikan data penelitian. Prosedur pengumpulan data ini secara konkret dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini:
94
Pengumpulan Data
Sumber Data Primer
Sumber Data Sekunder
Berupa Kata-kata
Berupa deskripsi tertulis
Diperoleh dari Hasil Wawancara
Diperoleh dari buku Konsepsi Manusia dalam Kebatinan Jawa karangan Hadiwiyono, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa karangan De Jong, dan Orang Jawa Memaknai Agama karangan M. Soehadha serta kitab Pangestu yaitu Sasangka Djati dan Candra Jiwa Soenarto
Dipadukan dan Dikonsultasikan dengan Informan atau Responden Penelitian Data Terbaik
Gambar 3. Prosedur Pengumpulan Data
F. TEKNIK PEMERIKSAAN KEABSAHAN DATA Pelaksanaan teknik pemeriksaan data dilakukan atas empat kriteria, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability) (Moleong, 2007). Kredibilitas penelitian berfungsi untuk melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaannya dapat dicapai dan mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kredibilitas dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan teknik triangulasi (Moleong, 2007). Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2007). Penelitian ini akan menggunakan kredibilitas penelitian dengan teknik triangulasi sumber atau data. Triangulasi sumber mengarahkan peneliti agar didalam mengumpulkan data juga menggunakan
95
beragam sumber data yang berbeda-beda yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bilamana dipadukan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda, baik kelompok sumber sejenis atau berbeda jenis (Sutopo, 2006). Triangulasi sumber dalam penelitian adalah untuk memperoleh suatu data, peneliti akan menggunakan tiga sumber data, yaitu informan, kitab dan buku Pangestu, serta aktivitas atau perilaku. Sumber pertama diperoleh langsung dari responden dan sumber kedua dari buku dan kitab Pangestu. Data dari sumber yang pertama diperoleh dari hasil wawancara dengan responden dan hasil observasi aktivitas responden selama penelitian. Triangulasi sumber dalam penelitian ini tampak jelas dalam gambar 4 berikut: Responden
Wawancara
Buku dan Kitab Pangestu
Kesimpulan hasil penelitian dan konsep ajaran
Data
Gambar 4. Triangulasi Sumber Penelitian
Kriteria keteralihan berbeda dengan validitas eksternal dari nonkualitatif. Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima (Moelong, 2007). Mengutip Stangl (1980), Sarantakos (1993) menyampaikan bahwa dalam penelitian kualitatif validitas dicoba dicapai tidak melalui manipulasi variabel, melainkan melalui orientasinya, dan upayanya mendalami dunia empiris, dengan menggunakan metode paling cocok untuk pengambilan dan analisis data. Konsep yang dipakai antara lain validitas kumulatif, validitas komunikatif, validitas argumentatif, dan validitas ekologis.
96
Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa. Validasi komunikatif dilakukan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya kepada responden penelitian. Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah. Validitas ekologis menunjuk pada sejuah mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dan apa adanya (dalam Poerwandari, 2005). Reliabilitas dalam penelitian kualitatif dikenal dengan dependenbility. Melalui konstruk dependenbility peneliti memperhitungkan perubahan-perubahan yang mungkin terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang diteliti. Peneliti menyadari kompleksitas konteks yang dihadapinya dengan menggunakan desain dan strategi penelitian yang luwes. Peneliti berusaha mengkonsentrasikan diri pada pencatatan rinci tentang fenomena yang diteliti, termasuk interrelasi aspek-aspek yang berkait (Poerwandari, 2005). Konfirmabilitas (confirmability) diusulkan untuk mengganti konsep tradisional tentang objektivitas. Objektivitas dapat diartikan sebagai sesuatu yang muncul dari hubungan subjek-subjek yang berinteraksi. Karenanya, objektivitas dilihat sebagai konsep inter-subjektivitas, terutama dalam kerangka ‘pemindahan’ dari data yang subjektif ke arah generalisasi (data objektif).
Untuk peneliti
kualitatif lain, yang lebih penting adalah obyektivitas dalam pengertian transparansi, yakni kesediaan peneliti mengungkapkan secara terbuka proses dan
97
elemen-elemen penelitianya, sehingga memungkinkan pihak lain melakukan penilain (Poerwandari, 2005)
G. PROSEDUR ANALISIS DATA Analisis artinya kajian untuk menguraikan dan menemukan keterkaitan logis antar hal dan susunan keterkaitan tersebut. Keterkaitan logis antar hal dan susunan keterkaitan dapat disebut memetakan. Singkatnya, menganalisis berarti mengkaji dengan menguraikan dan memetakan (Suwignyo, 2002). Model yang digunakan untuk melakukan itu semua dalam penelitian ini adalah metode analisis data menurut Miles dan Huberman yaitu model analisis interaktif (interactive model of analysis) (Moleong, 2007; Sutopo, 2006). Analisis terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (Miles & Huberman, 1992). Prosedur analisis data dalam penelitian ini akan berlangsung sesuai dengan alur kegiatan analisis yang disarankan dalam model analisis interaktif Miles dan Huberman. 1. Reduksi Data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ”kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan (Miles dan Huberman, 1992). Reduksi data dalam penelitian ini merupakan komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari semua jenis informasi yang tertulis lengkap dalam catatan lapangan (fieldnote). Proses ini
98
berlangsung terus sepanjang pelaksanaan penelitian (Sutopo, 2006). Data dapat disederhanakan dan ditrasformasikan dalam koding yaitu melalui seleksi yang ketat, melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkan dalam suatu pola yang lebih luas, dan sebagainya (Miles & Huberman, 1992). 2. Penyajian Data Penyajian dibatasi sebagai sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan (Miles & Huberman, 1992). Data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk teks naratif, meskipun tidak menutup kemungkinan juga akan disajikan dalam bentuk matriks, grafik, jarigan dan bagan (Miles & Huberman, 1992; Sutopo, 2006). Semuanya dirancang guna merakit informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dapat lebih dimengerti dalam bentuknya yang lebih kompak (Sutopo, 2006). 3. Verifikasi atau Penarikan Kesimpulan Sejak permulaan pengumpulan data, penulis mulai mencari arti bendabenda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan-kesimpulan yang didapat dibiarkan longgar, terbuka, dan skeptis. Mula-mula kesimpulan yang disediakan belum jelas kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh. Kesimpulan akhir tidak mungkin muncul sampai pengumpulan data berakhir. Selama proses analisis berlangsung, kesimpulan-kesimpulan ini juga diverifikasi (Miles & Huberman, 1992; Sutopo, 2006).
99
Verifikasi merupakan aktifitas pengulangan untuk tujuan pemantapan, penelusuran data kembali dengan cepat, mungkin sebagai akibat dari pemikiran kedua yang timbul melintas pada penulis pada waktu menulis sajian data dengan melihat kembali sebentar pada catatan lapangan (Sutopo, 2006). Singkatnya, verifikasi merupakan pengujian kebenaran data penelitian, kekokohannya, dan kecocokannya, atau dengan kata lain validitasnya (Miles & Huberman, 1992). Ketiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan pengumpulan data itu sendiri merupakan proses siklus dan interaktif. Proses analisis data bergerak di antara empat ”sumbu” kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik di antara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data selama sisa waktu penelitiannya (Miles & Huberman, 1992). Prosesnya adalah sebagai berikut: pengumpulan data dilakukan yaitu dengan menggali data dari sumber data primer dan sumber data sekunder sehingga diperoleh data pengalaman mistik dari dua sumber. Data pengalaman mistik yang berupa catatan lapangan yang terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya disusun rumusan pengertiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan yang penting dalam reduksi data. Kemudian dilakukan penyusunan sajian data yang berupa cerita sistematis dan logis dengan suntingan penulis supaya makna peristiwa menjadi lebih jelas dipahami, dengan dilengkapi perabot sajian yang diperlukan (matriks, gambar, atau bagan) yang mendukung kekuatan sajian data. Dari sajian data akan dilakukan penarikan kesimpulan (sementara) dan dilanjutkan verifikasinya.
100
Data penelitian mistik dari dua sumber data akan direduksi dan disajikan dalam dua bentuk kiteria, teks naratif, matriks, jaringan, dan bagan. Data ini akan diteliti manakah yang mengandung aspek realisasi diri dan aspek aktualisasi diri dan kemudian baru akan diperoleh kesimpulan sementara lalu diverifikasi. Proses analisis data model interaktif menurut Miles dan Huberman bila diaplikasikan pada proses analisis data pengalaman mistik Pangestu dalam penelitian akan menjadi gambar 5 di bawah ini.
PENGUMPULAN DATA 1. Data pengalaman mistik hasil wawancara dan observasi (sumber data primer) 2. Data pengalaman mistik dalam ajaran kitab Pangestu dan menurut buku tentang Pangestu (sumber data sekunder). SAJIAN DATA 1. Teks naratif 2. matriks, jaringan, dan bagan.
REDUKSI DATA 1. Data dari sumber data primer didapatkan dan dibandingkan dengan sumber data sekunder 2. Kesimpulan perbandingan data didiskusikan dengan responden atau informan 3. Data pengalaman mistik dengan aspek realisasi diri dan aktualisasi diri dideskripsikan
VERIFIKASI DATA 1. Aspek realisasi diri 2. Aspek aktualisasi diri
Gambar 5. Proses Analisis Data Pengalaman Mistik Pangestu berdasarkan Model Interkatif Miles dan Huberman
101
BAB IV PERSIAPAN, PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN
A. PERSIAPAN PENELITIAN Sebelum penelitian berlangsung peneliti melakukan beberapa tahap guna mempersiapkan penelitian ini. Tahap-tahap yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Tahap Penyusunan Panduan Wawancara dan Pengembangan Metode Wawancara Berdasarkan apa yang telah dihasilkan dari tahap eksplorasi metode wawancara maka telah dikembangkan pertanyaan-pertanyaan dalam panduan wawancara (panduan pertanyaan dapat dilihat lebih lanjut pada lampiran 1). Pertanyaan-pertanyaan dalam panduan pertanyaan disusun dengan susunan dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sangat konseptual (lebih abstrak) menurun hingga pertanyaan pada sesuatu yang lebih nyata atau konkret. Susunan ini digunakan selain untuk mengetahui seberapa jauh pertanyaan menangkap hal- hal yang abstrak, hal ini juga digunakan untuk mengurangi terjadinya pengaruh dari pertanyaan yang direktif yang biasanya hanya akan dijawab “ya” atau “tidak”. Selain itu juga dikembangkan teknik wawancara yang disesuaikan dengan kebiasaan responden. a. Pertanyaan dalam wawancara biasanya diajukan dengan bahasa Jawa.
102
b. Kalau pertanyaan terbuka belum mampu menggali apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh responden, responden dapat dituntun dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat direktif. c. Formulasi pertanyaan dengan menggunakan kata “apa”, “seperti apa” biasanya lebih mudah dibandingkan pertanyaan-pertanyaan yang menggunakan kata “mengapa”, “kenapa”, “bagaimana”. 2. Rencana Koding Untuk Reduksi Data Koding adalah pemberian kode pada satuan-satuan yang telah direduksi. Pemberian kode meliputi: (a) penandaan sumber asal satuan, dalam penelitian ini data yang berasal dari wawancara, (b) penandaan jenis responden, pada penelitian ini kode R=Responden. Kedua responden akan dibedakan dengan pemberian kode I untuk responden I dan kode II untuk responden II, (c) penandaan waktu wawancara, pada penelitian ini wawancara dilakukan dilakukan minimal dua kali untuk setiap responden. Pemberian kode waktu wawancara adalah dengan menggunakan kode 01 dan 02 untuk membedakan wawancara 1 dan wawancara 2, (d) penandaan letak baris di dalam verbatim, penandaan dilakukan dengan mengggunakan angka Arab untuk menunjukkan letak baris di dalam verbatim. Contoh: W. R. I. 01. 101-105 berarti ini merupakan wawancara terhadap responden I, pada pertemuan yang pertama, dan kutipan diambil dari baris 101105 dari verbatim tersebut. Satuan yang telah dikoding dimasukkan ke dalam kategori-kategori tertentu. Kategori adalah kelompok satuan yang disusun berdasarkan pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu (Moleong, 2000). Penafsiran data dilakukan
103
dengan menemukan hubungan antar kategori dan memberinya label dengan pernyataan sederhana berupa proposisi yang menunjukkan hubungan. Proses ini diteruskan hingga memperoleh hubungan yang cukup padat, yaitu sampai menemukan petunjuk metafora atau kerangka berpikir umum (Moleong, 2000).
B. PELAKSANAAN PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan September sampai bulan Oktober. Penelitian ini diawali dengan mencari responden. Responden di dapatkan dari hasil pencarian melalui beberapa teman dan kerabat. Awalnya didapatkan informasi dari seorang teman yang salah satu kerabatnya adalah seorang penganut Pangestu cabang Surakarta. Namun setelah dihubungi orang tersebut meminta untuk menghubungi orang lain, tepatnya adalah pengurus Pangestu bidang penelitian. Orang ini ternyata tak dapat dihubungi, sehingga diputuskan untuk mencari responden dari cabang Pangestu yang lain. Salah satu kerabat ternyata dekat dengan para penganut Pangestu Ranting Ngargoyoso, cabang Karanganyar. Dari orang inilah didapatkan tiga responden penganut Pangestu ranting Ngargoyoso. Berikut tabel responden yang digunakan dalam penelitian: Tabel 4 Data Responden Penelitian No
Nama
Jenis kelamin
Usia
Agama
1
Soenardi
Pria
63 tahun
Kristen
2
Sutanti
Wanita
49 tahun
Kristen
3
Sularso
Pria
49 tahun
Islam
104
Pengambilan data dilakukan pada bulan Oktober. Jadwal pengambilan data dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 5 Jadwal Pengambilan Data Pengambilan Data pada
1
2
3
Responden Responden I
10 Oktober 2009
17 Oktober 2009
22 Oktober 2009
Responden II
17 Oktober 2009
18 Oktober 2009
23 Oktober 2009
Responden III
18 Oktober 2009
24 Oktober 2009
-
C. HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Responden Tidak ada kendala dalam membuat rapport dengan responden penelitian selama pengambilan data. Responden I bernama Soenardi. Selama wawancara responden I sering dipanggil dengan “Eyang Nardi”. Responden I adalah seorang kakek yang telah memiliki banyak cucu, berumur 63 tahun, dan seorang pensiunan kepala sekolah dasar salah satu SD negeri di Kecamatan Ngargoyoso. Responden I memiliki dua orang istri, beberapa teman dan kerabatnya menyebut dia memiliki bojo sambung. Istri pertamanya telah meninggal, istri keduanya tampak lebih muda. Responden I hampir tidak pernah secara langsung menyebutkan agama apa yang dia anut. Menurut informasi yang diperoleh dari teman responden I, dikatakan, “mbah Nardi agamane ketoke Kristen, garwane sing dhisik agamane Kristen”. Sehari-hari responden I menghabiskan hari-hari di
105
kebun. Responden I memiliki kebun wortel. Di kampungnya, responden I menjabat sebagai ketua RW. Responden II adalah seorang ibu yang memiliki dua orang anak gadis. Selama wawancara biasa dipanggil Budhe Tanti. Responden II memiliki sebuah warung makan di pinggir jalan besar. Kebetulan responden yang satu ini adalah anak dari ketua Pangestu ranting Ngargoyoso, namun ketika penelitian ini dilaksanakan ketua ayahnya telah meninggal. Sementara responden III adalah seorang ayah dari tiga orang anak gadis. Selama wawancara biasa dipanggil pakdhe Larso. Responden III adalah seorang penjaga sekolah sekaligus penjual ayam. Responden I dan III selama pengambilan data sangat bekerja sama, semua pertanyaan di jawab dengan cukup jelas. Sedangkan responden II lebih banyak bicara dibandingkan dua responden lainnya. Selama pengambilan data pertanyaan dijawab dengan panjang lebar dan terkadang keluar dari topik dalam pertanyaan. Selain itu jawaban yang diungkapkan sering diulang-ulang. Responden I selama pengambilan data sering menjawab pertanyaan dengan menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan dua responden lainnya lebih sering menjawab pertanyaan dengan bahasa Jawa. Responden III sangat sering menjawab pertanyaan dengan bahasa Jawa krama inggil, sedangkan responden II lebih sering menjawab pertanyaan dengan bahasa Jawa ngoko.
106
2. Hasil Wawancara Responden I a. Pengalaman Mistik Pengalaman mistik berarti mengalami suatu keadaan mistik, yaitu adanya kontak antara manusia, alam semesta, dan Tuhan. Responden I mengaku bahwa selama ini pengalaman seperti ini hanya dialami ketika melakukan ritual panembah (W. R. I. 03. 899-903). Sebagaimana pengertian ritual sebagai perilaku tertentu yang bersifat formal, dilakukan dalam waktu secara berkala, bukan sekedar rutinitas yang bersifat teknis, melainkan mengacu pada tindakan yang didasari oleh keyakinan religius terhadap kekuasan atau kekuatan mistis (dalam Soehadha, 2008). Panembah pun dilakukan oleh responden I secara berkala dan penuh keyakinan akan adanya Tuhan. Seperti diterangkan dalam kitab Sasangka Djati bahwa panembah terdiri dari tiga tingkatan yaitu sembah raga, sembah kalbu, dan sembah rasa. Responden I dirasa-rasakan telah mencapai sembah rasa. Dia
mampu
melakukan
panembah
dimanapun,
dan
kapanpun
hanya
menghubungkan perasaannya dengan Tuhan tanpa perlu lagi memperagakan gerakan-gerakan seperti dalam sembah raga dan sembah kalbu. Saya melakukan panembah sesuai kebutuhan saya mbak, biasanya tiap bangun tidur dan sebelum tidur pada malam hari. Selebihnya sesuai kebutuhan dan keinginan saya. Seperti misalnya kemarin ketika saya akan ke Surabaya, saya melakukannya di dalam mobil. Di dalam mobil ?? Iya, di dalam mobil. Panembah dapat dilakukan dimana saja, mbak. Di dalam mobil, pastinya ramai, ada suara mesin, suara bising hiruk pikuk jalan raya. Apakah
107
mungkin bisa tercipta suasana hening?? Kalau saya bisa, mbak Ganis (eyang tersenyum). Ketika kita berpergian jauh dan disitu bersama-sama banyak orang tentunya kita akan memohon keselamatan kepada Sang Gusti Pangeran baik itu untuk saya maupun semua orang yang berada di dalam mobil. (W. R. I. 01. 80-95). Responden I mengaku bahwa perbedaan dari ketiga tingkatan panembah adalah pada sembah raga seolah-olah hanyalah sebagai latihan dan masih mudah sekali terganggu, setelah mencapai tahap sembah kalbu timbul perasaan mantap. Pada saat melakukan panembah ini satu hal yang teramat sulit yaitu menciptakan konsentrasi. ee..kemudian. ini sedikit mengingat-ingat yang, ketika eyang melakukan panembah itu ka nada tingkatan, ee apakah ada perbedaan ketika eyang melakukan tingkatan pertama, kedua, dan ketiga?
Anu, perbedaanya? Iya, Perbedaanya, anu.. kalau
sembah raga yang jelas itu untuk awal daripada petunjuk itu seolah-olah merupakan latihansaja. Tetapi setelah sampai kita meningkat pada sembah kalbu kemudian sembah suksma, itu anu rasa-rasanya hanya mantap begitu. Hanya begitu, mantap. Kalau kita nilai perbedaan secara pribadi, awalnya rasanya hanya merupakan latihan tapi masih mudah sekali terganggu. Mudah sekali terganggu. Tapi setelah sudah sampai pada tingkatan berikut rasanya mantap, begitu. Hanya begitu. Kalau saya
108
mengatakan terganggu ya, kadang-kadang pada saat itu, pada saat
melaksanakan
sembah
raga
seharusnya
kan
harus
konsentrasi, lah konsentrasi ini yang benar-benar sulit. Nah, kadang-kadang ketika saya baru melakukan panembah, kemudian ada suara anak-anak dari luar mungkin orang lain itu saya masih mendengar dan setelah saya dengar seolah-olah hati saya kurang konsentrasi.
Kurang
konsentrasi.
Padahal
sebaiknya
kita
melakukan itu harus konsentrasi, melupakan segalanya. (W. R. I. 02. 228-250). Dari responsden I diketahui bahwa pengalaman mistik dalam melakukan panembah terdapat proses dari heneng ke hening. Heneng adalah suatu keadaan dimana pikiran hanya terpusat pada satu arah yaitu Tuhan. Keadaan ini disebut responden I dengan “lupa segala-galanya”. Melupakan segalanya? Iya, melupakan segalanya istilahnya dalam bahasa heneng dan hening. Heneng dan hening? Heneng dan hening. Yang heneng dan hening tadi, yang. Heneng itu apa? Dan hening itu apa? Heneng itu ee artinya setelah kita mulai manembah, pikiran itu yah tidak kemana-kemana, melupakan segala-galanya, menuju ke satu arah. Satu arah. Pengertiannya satu arah itu hanya kepada Yang Maha Pencipta atau kepada Tuhan. Dan Tuhan itu dimana. Kemarin sudah saya bilang Tuhan itu yah tampatnya dimana-mana, besarnya sedunia ini, mungkin lebih besar lagi tapi bisa dikatakan kecil karena
109
sudah berada di istilahnya telenge manah. Apa ya? Lubuk hati. Lubuk hati? Iya, lubuk hati. Sudah berada di lubuk hati kita. (W. R. I. 02. 251-307). Baru kemudian proses ini berlanjut ke tahap hening. Hening adalah suatu konsentrasi yang teramat sangat dan sepenuh hati kepada Tuhan. Segala doa dan pujian ataupun permohonan dan pengharapan hanya ditujukan kepada Tuhan. Kalau hening? Kalau hening, hening artinya apa yang kita kehendaki, mungkin dapat diucapkan atau mungkin dapat dikatakan ini yah kalau ini merupakan kata-kata atau kalimat kita ucapkan dengan mulut misalnya atau bisa dibaca dalam hati saja tapi langsung, langsung tujuan ini hanya kepada hati yang kecil sekali yang kita tuju Tuhan berada disitu. Misalnya, “Duh Gusti Allah kang Maha Kawasa”, ini ee ucapan ini betul-betul diaturke kesana gitu loh. Nah maksud saya itu.(W. R. I. 02. 308-316). Selama ini responden I berusaha melakukan panembah sesuai dengan petunjuk yang ada pada kitab Sasangka Djati, namun kadang-kadang karena fisik yang tidak kuat maka sambil duduk pun bisa. Sedangkan ketika melakukan sembah kalbu responden I masih mudah terganggu namun responden I selalu berusaha untuk tidak peduli agar suasana heneng dan hening dapat tercapai. Eyang melakukan panembah itu bagaimana? Sebenarnya sesuai petunjuk dalam sembah raga itu ada gerakan-gerakan. Menurut petunjuk. Tapi dapat dilakukan sesuai sikon. Yah..kalau orang Islam itu seperti melakukan sholat. Tapi kadang-kadang
110
orang mau melakukan seperti itu fisiknya enggak kuat. Sambil duduk di lantai pun bisa, jadi bukanlah suatu keharusan, begitu. Tapi memang sebaiknya sesuai dengan yang ada di buku petunjuk itu. Yang pertama begini, kemudian begini, eee…yang terakhir begini. Kalau waktu eyang sembah raga itu masih sulit menimbulkan suasana heneng sama hening ya, Yang? Iya, iya. Kalau di sembah kalbu sendiri bagaimana, Yang? Yah, saya katakan sulit tadi awal ya. Setelah kita melakukan sembah kalbu ee terus terang saja sampai sekarang ini istilahnya khusus pribadi saya, masih mudah terganggu pihak-pihak kiri atau pihak lain, begitu. Artinya untuk kita membuat suatu konsentrasi tapi ternyata ada suara-suara dari luar masih mendengar. Tapi saya suara apa itu, suara bagaimana itu saya, karena saya ingin sampai heneng dan hening tadi ya tidak peduli, begitu. Kalau dulu, pertama gitu saja atau awal itu akhirnya saya masih ingin mengikuti artinya masih ingin berpikir itu gimana tapi ee akhirnya tuh yah terserahlah yang penting saya baru menghadap Tuhan, menurut perasaan saya begitu. Jadi apapun situasinya tidak peduli.(W. R. I. 02. 328-352). Responden I mengaku bahwa ketika melakukan panembah yang dirasakan adalah perasaan bertemu dengan Tuhan atau berhadapan dengan Tuhan. Responden I sangat yakin bahwa saat itu rasanya dihadapan Tuhan. Dan baginya disitu hanya ada dia dan Tuhan, tidak ada yang lain.
111
Ketika melakukan panembah itu rasanya bagaimana? Gimana ya kalau saya rasakan rasanya tuh anu benar-benar rasa saya bertemu atau saya ini berhadapan dengan Maha Pencipta. Rasanya saya berhadapan dengan Maha Pencipta. Hanya saja yang saya katakan Maha Pencipta atau Tuhan disitu tidak dapat kita gambarkan, tidak bisa kita gambarkan seperti apapun, tidak bisa. Tapi saya yakin karena Tuhan itu ada, pada saat melakukan panembah ini benar-benar rasa saya di hadapan Tuhan, begitu. Rasanya tuh apakah eyang benar-benar merasakan disitu hanya ada eyang sendiri dan Sang Maha Pencipta atau masih ada gangguan?? Ya, yang jelas hanya saya dan Maha Pencipta. Tidak ada yang lain. (W. R. I. 02. 353-366). Pada saat itu responden I mengaku bahwa tubuhnya terasa merinding. Jika rasanya merinding kadang-kadang bisa langsung berakhir artinya panembah itu selesai. Namun kadang-kadang bisa berlanjut sampai tahap berada di pangkuan Tuhan. Apa yang eyang rasakan pada tubuh eyang pada saat itu? Kadang-kadang anu ee rasanya itu merinding. Terus? Kalau rasanya saya merinding begitu kadang-kadang bisa langsung berakhir, kadang-kadang sampai anu sama sekali yang lain itu tidak ada, kita benar-benar berada di pangkuan Tuhan. Rasanya begitu. Ya sulit kita gambarkan, ehehehe…Hehehe.. (W. R. I. 02. 367-374).
112
Hal ini secara emosional digambarkan oleh responden dengan perasaan yang bahagia, benar-benar bahagia. Bagi responden I, saat itu hatinya merasa nalongso dan penuh dosa. Secara emosional rasanya bagaimana? (responden diam saja, melihat peneliti penuh tanya) Secara emosional itu, mm apakah merasa gembira atau bagaimana? Ooh anu rasanya bahagia, jadi merasa bahagia. Benar-benar bahagia. Bahagia? Iya, bahagia. Mm mungkin ada kata lainya yang bisa lebih menggambarkan itu? Hehe gimana ya ehehehe…hanya bahagia dan senang. Hati sana itu rasanya itu istilahnya apa ya, nalongso, mm benar-benar saya ini mahkluknya Tuhan, pernah mempunyai banyak dosa. Ini, nalongsonya disitu. Timbul perasaan seperti itu? Ho’o ada perasaan seperti itu. (W. R. I. 02. 375-389). Responden mengaku bahwa pada saat itu yang ada di ingatannya adalah segala harapan baik bagi dirinya pribadi, keluarga, maupun masyarakat pada umumnya. Ketika pengharapan itu responden memohon kepada Tuhan maka dia pun berharap segala permohonannya dikabulkan selain untuknya juga untuk keluarga dan seluruh masyarakat. Ketika terjadi seperti itu, apa yang ada pikiran, Eyang? Di ingatan Eyang itu apa? Ketika perasaan seperti itu terjadi, karena saya ini masih diberikan hidup hanya harapan, mudahmudahan Tuhan selalu mengabulkan apa yang kita kehendaki atau yang kita inginkan. Ini bukan untuk secara pribadi saja, tapi juga
113
kita sekeluarga, sampai pada masyarakat pada umumnya, sampai disitu. Gitu. Sampai pada keluarga, sampai pada masyarakat pada umumnya? maksudnya? Ee kadang-kadang kan kita ini hidup ditengah-tengah masyarakat, kalau saya mohon salah satu misalnya ee mohon keselamatan dan kekuatan misalnya kecuali pribadi juga keluarga, juga masyarakat pada umumnya. Artinya, ee semuanya diberikan tuntunan dan ee pepadang dalam bahasa Jawanya begitu, pepadang ini dapat saya ganti, pengertian antara umat dengan Tuhan, begitu. (W. R. I. 02. 290-405). Hal ini terjadi seperti sebuah permohonan yang diucapkan dalam hati, seolah-olah seperti berbicara kepada Tuhan. Namun sepanjang pembicaraan itu tidak ada yang menjawab. Dan disini responden sangat yakin bahwa permohonannya didengar oleh Tuhan dan akan dikabulkan. Apakah itu terjadi seolah-olah Eyang bicara atau bagaimana? Saya atau Yang Pencipta? Ya Eyang sendiri gimana, Yang Pencipta gimana? Hehehe…Ooh. Saya sendiri dalam hati kecil sana berbicara tapi sepanjang pembicaraan itu ya tidak ada yang menjawab. Tapi yang kita bicarakan, saya sendiri punya keyakinan karena tujuan saya kepada Tuhan, saya yakin Tuhan pasti tahu. Dan saya juga yakin karena saya umat menyampaikan permohonan atau permintaan kepada Tuhan, saya yakin akan mengabulkan. Hanya begitu, ini dilandasi dengan keyakinan yang kuat. Kalau tidak ya heeeh…. (W. R. I. 02. 406-416).
114
Panembah ini dilakukan dan tanpa terasa bisa berlangsung selama satu jam misalnya. Responden mengaku bahwa panembah itu tahu-tahu sudah selesai dan pernah diceritakan bahwa responden pernah melakukan panembah dari kecamatan Karangpandan sampai di Karanganyar (W. R. I. 01. 100-104). Kalau seperti itu rasanya cepat atau gimana, Yang? Waktunya bagaimana rasanya? Seperti misalnya ketika Eyang ceritakan melakukan
panembah
dari
Karangpandan
sampai
Karanganyar. Itu rasanya cepat, karena pada detik ini saya mulai manembah, dalam perjalanan tadi ya itu tahu-tahu sudah sampai disana atau tahu-tahu sudah disana. Itu kan anu menyangkut perasaan cepat itu. Begitu. Jadi ya tidak peduli digoyang-goyang dalam kendaraan. Eehem. Seperti itu tidak terasa? Tidak terasa. Ee ya terasa tapi sekilas saja, sekilas saja tapi ya saya tetap..nekat. agar disini tidak goyah begitu. (W. R. I. 02. 417127). Keadaan ini terjadi dalam suasana heneng dan hening dan bisa terjadi baik pada sembah raga, sembah kalbu, maupun sembah rasa. Semua itu bisa tercapai kalau dari awal akan melakukan panembah sudah diniati. Namun kalau asalasalan akan mudah terganggu. Suatu panembah hingga bisa tercapai suasana heneng dan hening dirasa sulit oleh responden dan dinilai belum seratus persen menjalankannya. Itu semua terjadi dalam suasana heneng dan hening? Iya. Keadaan seperti itu terjadi dalam keadaan sembah raga,
115
sembah kalbu, atau sembah suksma? Semuanya. Semuanya? Iya. Eyang merasakan setiap manembah terjadi seperti itu atau bagaimana? Kalau kita dari awal itu memang ee sudah kita niati, niati tahu? Iya. Hemm itu bisa. Selalu? Iya, tapi kalau acakacakan atau asal-asalan gampang sekali diganggu. Sampai seperti itu sulit? Sulit. Tidak semuanya dapat melakukan seperti itu dan saya sendiri melakukan sampai seperti itu kalau saya nilai sendiri yah seperti tadi belum seratus persen. (W. R. I. 02. 428447). Pada pertemuan berikutnya, peneliti menanyakan tentang tumraping laku manunggal yang tertulis dalam kitab sasangka djati. Ini merupakan suatu perilaku yang berupaya untuk menyatu dengan Tuhan. Responden menjelaskan hal ini sebagai suatu kegiatan manembah yang langsung kepada Tuhan. Manembah dalam hal ini adalah suatu kegiatan dimana individu tidak memikirkan hal lain selain Tuhan, segala hal sedapat mungkin dilupakan, dan perasaan hanya dikonsentrasikan untuk bertemu Tuhan. Tumraping laku manunggal, maksude laku manunggal niku gimana yang? Laku manunggal iku maksudnya seseorang yang sedang melakukan manembah, tentunya manembah kan langsung pada Tuhan. Maksudnya manunggal itu seperti yang saya katakan kemarin dalam hati kecil atau perasaan saat melaksanakan manembah berlaku manunggal, pikiran tidak memikirkan hal-hal lain selain Gusti Allah. Jadi harus konsentrasilah intinya seperti
116
itu. Ada sesuatu atau hal-hal lain itu sedapat mungkin dilupakan . Jadi saya merasa hanya berhadapan sama Tuhan, melupakan halhal lain. Istilahnya jika saya merasa di sini, Tuhan di depan saya, perasaanya begitu. Ini kalau dijabarkan panjang, tapi intinya ya seperti tadi, istilahnya melupakan segala sesuatu apapun situasi yang ada di dunia ini dan saat itu hati kita fokus hanya satu arah berhadapan dengan Tuhan. (W. R. I. 03. 490-504). Ini adalah suatu tahap dimana lebih unggul dari situasi heneng dan hening. Ada satu kejanggalan ketika hal ini ditanyakan kepada responden. Jika kemarin responden menerangkan seolah-olah tahap heneng dulu baru hening, namun kali ini responden mengaku bahwa situasinya adalah heneng dulu, baru kemudian hening. Hening disini juga merupakan suatu tahap dimana seseorang mampu ngereh hawa nafsune atau menekan hawa nafsu. Hawa nafsu perlu ditekan agar tidak mengganggu perjalanan manembah untuk bertemu dengan Tuhan. Setelah tahap hening ini mampu tercapai, baru kemudian adalah tahap heneng dimana seseorang diajarkan harus matahake gegarane, pangaribawane, lan ciptane atau singkatnya mengosongkan pikiran. Itu lebih unggul daripada hening yang eyang ceritakan kemarin itu? Ya..ya..seperti itu. Karena saya ingin hening sampai heneng, klo masih belum dapat melupakan hal-hal yang lain namanya nanti belum bisa heneng. Hening dulu baru heneng. Hening kemarin berarti kalau ngereh hawa nafsu manembah jati sukmo. Manembah pertama berarti menciptakan hening?
117
Ya….berarti ngereh hawa nafsu. Betul….ngereh hawa nafsu itu ada 4 macam, kudu direh agar tidak mengganggu saya pada saat saya ingin bertemu dengan Tuhan. Ya…ya…ya. Berarti disitu baru matahake gegarane pangaribawane atau ciptane yang berarti mengosongkan pikiran gitu yang? Ya….betul. (W. R. I. 03. 505-518). Setelah mengosongkan pikiran inilah, seseorang akan mampu manunggal dengan Tuhan. Namun responden menjelaskan bahwa itu hanyalah pikiran, tidak sampai ke rasa. Jika seseorang merasa berhadapan dengan Tuhan, walaupun Tuhan sebenarnya tidak bisa digambarkan seperti apa. Tuhan itu ada, namun tidak dapat digambarkan seperti apa. Jika seseorang merasa bertemu dengan Tuhan dan tergambarkan, sesungguhnya itu bukan. Setelah mengosongkan pikiran baru manunggal dengan Tuhan? Ya…ya..Itu hanya pikiran, enggak sampai ke rasa. Kalau saya merasa berhadapan dengan Tuhan, walaupun Tuhan itu sebenarnya tidak bisa digambarkan seperti apa…artinya ora gondho, ora rupo ora iso dirupakake…Nek Tuhan iku koyo opo. Sebenarnya ada, tapi ga bisa digambarkan kayak apa. Dalam arti hening artinya Manunggal dengan Tuhan perasaannya, tapi kalau perasaan masih tergambar rumongso aku urip koyo ngono, ada sesuatu merupakan gambaran itu Bukan….sebenarnya tidak ada apa-apa, tapi kalau masih merasa ada, itu tetap bukan….sulit ya? (W. R. I. 03. 519-529).
118
Ketika pikiran kosong dan segala hal telah dilupakan terkadang muncul sesosok yang mengaku Tuhan. Dan ini dianggap godaan, responden menjelaskan bahwa ini adalah godaan saudara ke empat, atau nafsu-nafsu dalam ajaran Pangestu dan dapat juga ini adalah godaan syetan. Apa kadang-kadang merasa ada apa-apa? Ya. Apanya itu apa? Saya sudah konsentrasi secara benar sampai hening, perasaan saya satu, saya berhadapan dengan Tuhan…oh ini saya ketemu Tuhan rupa dan bentuknya seperti ini…oh ternyata bukan. Apa kadang-kadang seperti itu? Ya….namanya hawa nafsu sodara ke 4 tadi masih mengganggu…jadi bisa aja terjadi demikian. Apa pernah terjadi? Ya….Melihat sesosok? Ya… Apa? Ya hanya seperti tubuh manusia. Godaan bisa saya katakan syetan…ya bentuk dan rupanya seperti manusia. (W. R. I. 03. 530-546). Jika hal ini terjadi maka harus disingkirkan terlebih dahulu atau berhenti dulu. Di dalam ajaran Pangestu hal ini dapat disingkirkan dengan suatu cara, responden menyebutnya dengan kata-kata mistik. Namun kata-kata itu tidak diperkenankan untuk diberitahukan kepada orang lain yang belum masuk ke Pangestu dan mengikuti ceramahnya. Eyang
melihat
sesuatu
waktu
melakukan
manembah,
perasaaanya gimana? Oh masih ada yang menganggu….perlu kita singkirkan dulu atau pergikan dulu atau kita berhenti dulu. Dan caranya menyingkirkan seperti itu ada. Gimana yang? Kemarin udah saya utarakan…satu hal itu. Untuk pengertiannya
119
tidak dapat saya utarakan pada mbak…soalnya mbak sendiri belum mengikuti dan masuk dalam Pangestu. Berarti caranya hanya ingin melupakan hal itu kalau saya gambarkan berarti menganggap itu nafsu dan Eyang melupakan gitu? Ya…itu ada caranya dan merupakan kata-kata mistik, tapi saya yakin itu bisa menyingkirkan semua yang menggoda hati. Itu semua sebenarnya berbadan syetan. (W. R. I. 03. 551-561). Responden mengaku bahwa karena hal seperti di atas sering terjadi maka sebelum melakukan panembah harus diniati dengan sungguh-sungguh supaya tidak ada gangguan dari empat nafsu. Dan jika tidak ada yang mengganggu akan sampai pada tahap lupa dengan segala-galanya dan manunggal dengan Tuhan. Responden mengaku bahwa perasaanya ketika manunggal itu adalah merinding seperti luyut. Nanti kalau setelah seperti itu baru tahap seperti itu tidak ada apa-apa? Atau langsung tidak apa-apa? Karena pernah mengalami gangguan , klo dalam bahasa jawa ada istilah katakata “ aku arep nindake manembah opo yang dikehendaki jangan ganggu gawe”ini jawabe dalam hati. Baru melaksanakan Manembah, tentang lama dan tidaknya tergantung pribadi masing-masing…kadang-kadang sampai lupa, artinya itu sudah masuk dalam suasana hening. Lha jalurnya manunggal dengan Tuhan, ora rupo dan digambarkan koyo ngopo ga bisa. Tidak ada tapi ada kalau gambaran Tuhan seperti itu ada….itu berarti bukan. Rupanya beda-beda ya? Ya….beda…beda. Kalau seperti
120
itu rasanya di tubuh gimana yang? Segalanya seolah-olah lupa, mrinding luyut, lupa segalanya. (W. R. I. 03. 562-576). Luyut ini adalah perasaan yang merasa tenang, tentram, kosong dari segala beban duniawi. Pada saat luyut ini responden hanya merasakan kekosongan dalam pikiran, adanya hanya Tuhan menyatu dengan hati. Menurut responden luyut adalah perasaan dimana dirinya berada di alam suwung dan remang-remang. Responden tidak merasakan apa-apa hanya ada satu titik di hati yang menurutnya menghubungkan antara dirinya dengan Tuhan. Apa yang artinya luyut yang? Sudah melaksanakan manembah dari heneng, hening sampai ke luyut. Luyut itu adalah perasaan yang merasa tenang, tentram kosong dari segala beban duniawi. Kesadaran Eyang dalam luyut itu gimana? Situasinya sulit untuk diilustrasikan, pokoknya setelah hening ke luyut itu lupa segala-galanya atau ada kekosongan dalam pikiran. Kalau menurut Pakdhe narto ada aspirasi dari Tuhan yang mungkin merupakan petunjuk, titah..tapi selama ini saya rasakan belum ke level itu. Adanya ya…Tuhan itu menyatu dengan hati kita begitu..menyatu dan tak ada apa-apa. Kan bisa merasakan antara batas ini saya ini alam pada saat manunggal? Ya…tapi perasaan itu adalah alam kosong atau suwung dan perasaan itu remeng-remeng.tidak terang benderang gitu, tapi remeng-remeng. Tahu remeng-remeng? Iya, terang tapi tidak terang sekali, tapi juga tidak gelap sekali. Iya betul..betul. Antara diri kita
121
mungkin dengan udara, Eyang bisa merasakan batas antara diri saya dan alam? Pada saat luyut, tidak bisa merasakan sama sekali
hanya
titik
di
hati.
Seolah-olah
ada
tali
yang
menghubungkan dengan Tuhan, hanya begitu. Sulit sekali digambarkan dengan kata-kata. Sulit sekali. (W. R. I. 03. 612635). b. Realisasi Diri Ciri pertama realisasi diri adalah kesadaran dan toleransi yang besar terhadap kondisi umat manusia, lebih empati dengan masalah kemanusiaan tanpa memandang ras, golongan, dan agama. Responden I sangat menghargai hal tersebut. Responden mengaku senang dengan orang lain yang taat dengan agama masing-masing. Menurut responden setiap manusia dikodratkan untuk berbakti dengan Tuhan karena manusia adalah ciptaan Tuhan. Cara berbakti inilah yang berbeda-beda, ada yang secara Islam, Kristen, ataupun Pangestu. Responden juga sangat mengahargai dan menerima perbedaan. Responden menceritakan bahwa dirinya sangat senang ketika ada KKN dari mahasiswa UGM di desanya. Menurut responden para mahasiswa ini dari berbagai daerah, pintar, sopan, dan baik hati. Responden mengaku sangat menyenangkan berkumpul dengan orang-orang yang berasal dari banyak daerah yang berbeda-beda. Ya…ya…ya.
Menurut
Eyang
kodrat
sebagai
manusia
bagaimana? Saya menjadi manusia itu tau yang mengadakan siapa? Kalau sudah tau yang mengadakan, sebaiknya berbakti kepadaNya. Berbakti ini dapat melalui berbagai jalan, misalnya
122
lewat Agama Islam, Kristen atau Pangestu. Dalam Pandangan Eyang Bagaimana? Misal saya orang Pangestu melihat orang lain yang beragama lain, menurut saya kalau orang lain sudah memiliki keyakinan agama lain berarti saya senang. Artinya mereka-mereka punya jalan untuk berbakti kepada yang menciptakan.Bagaimana menerapkan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari? Saling hormat-menghormati, saling memberi dan menerima. Bhinelka Tnggal ika yang ada di Indonesia satu. Contoh perilaku saling hormat menghormati, saling memberi dan menerima adalah seperti kemarin ada KKN dari UGM berjumlah 25 orang, mereka berasal dari suku, agama yang berbeda-beda. Dari ke 25 orang ini ditempatkan dalam 4 tempat., kebetulan di tempat Eyang terdapat 7 orang. Orangorang ini berasal dari medan, padang, wonosobo, Jakarta, Ciamis, Irian dan Bantul. Melihat mereka hidup begitu akrab saya melihatnya senang sekali, kita ajak apa saja mereka selalu siap. UGMnya jurusan apa? Macam-macam, peternakan, peternakan, kependudukan geografi. Dan sekarang ke 7 orang UGM yang sudah 2 tahun 2bulan tingkat kuliahnya tidak sama. Setelah lulus dan diwisuda ada yang sudah kerja, yang dari wonosobo jadi guru. Kalau ke sini memberikan les privat anak-anak namanya Lia. Programnya apa? Saya enggak tau, tapi setiap mingu selalu membuat laporan dan mengirimkan laporan ke UGM. Sekarang
123
yang kerja di Pontianak 1 orang, tapi kadang muter-muter sampai ke Makasar, yang 1 lagi diangkat sebagai PNS di Jakarta. Ini kaitannya dengan Bhineka Tunggal Ika selama 2 bulan hidup dalam satu keluarga dengan orang-orang dari berbagai asal di kota-kota Indonesia.Kemarin ada permainan Kujang ganong yang hamper mirip dengan Reog Ponorogo. Ini yang mendorong saya mencari alat sampai ke Ponorogo.Kaitannya dengan Bhineka Tunggal ika saya senang sekali kita hidup di dalam satu keluarga bisa saling memberi dan menerima. (W. R. I. 03. 653-693). Responden I adalah seorang yang menerima banyak hal yang misterius, seperti kehidupan spiritual yang menyangkut dengan hubungan dengan Tuhan, alam semesta yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan mahkluk halus seperti jin, syetan, ataupun malaikat. Menurut
Eyang,
hubungan
manusia
dengan
Tuhan
seharusnya yang seperti apa dan bagaimana? Kalau seperti apa itu sulit sekali digambarkan. Yang jelas menurut saya, saya berperasaan kuat bahwa saya ada karena dicipta olehNYA, sehingga kita tau. Berbaktinya menurut saya ya sesuai dengan ajaran agama yang kita anut. Kalau dalam Islam sholat 5 waktu, Kristen kebaktian tiap hari minggu, tapi kalau di Pangestu berbaktinya tidak terikatwaktu dan dimana tempatnya tidak apaapa. Kalau hubungan manusia dengan alam semesta gimana yang? Gimana ya….Kalau hubungan manusia dengan alam
124
semesta, alam yang dimaksud alam lingkungan sekitar. Karena saya ditempatkan di alam yang saya lihat sekarang ini, kita wajib bersyukur, memelihara, merawat segala sesuatu yang ada di lingkungan kita saja. Karena ini juga menyangkut yang ada di lingkungan ini. Ini juga mirip dengan cobaan kita. Kalau istilah dalam Pangestu, Manusia sama dengan Jagat kecil, sedangkan Dunia adalah Jagad Besar. Untuk manusia terjadinya dari an nash 4 macam yaitu bumi, air, api dan udara. Kalau alam semesta yang kita tidak lihat gimana yang? Alam di luar jagad. Kalau orang Jawa menyatakan awang-awang atau langit. Langit itu panas dan tak ada batasnya, seandainya kita sampai ke sana kita akan ketemu dengan apa yang dinamakan Galaksi. Galaksi itu adalah suatu tempat ciptaan Tuhan, di tengah-tengah ada matahari dan dikelilingi oleh planet sampai planet terbesar. Di sana ada bintangbintang hanya akan mengelompok disini.Kalau di alam lain, kayak dunia ghaib? Dunia Ghoib alam lain yang ditempati makhluk Tuhan yang tidak dapat dilihat dengan mata, atau biasa disebut makhuk halus.Kalau alam ghoib Tuhan menciptakan
makhluk-makhluk
yang
manusia
tidak
bisa
melihatnya karena kecilnya dan tidak dapat dilihat, maka disebut makhluk halus. Manusia diciptakan paling sempurna dan paling akhir. Makhluk halus diciptakan dan diberi ijin untuk menggoda manusia. Kalau dalam buku Sasongko Jati saya yang dik ganis
125
bawa tolong nanti kalau di rumah ada…gumelare dumadi pernah dibaca? Pernah ada rincian. (W. R. I 03. 694-732). Responden
juga
mengaku
pernah
mengalami
kejadian-kejadian
supranatural. Namun sesuai dengan ajaran Pangestu, responden tidak menerima pertolongan dari paranormal. Responden adalah seorang yang sangat meyakini pertolongan Tuhan, dan sangat percaya bahwa mahkluk halus juga ciptaan Tuhan jika tidak diganggu juga tidak akan mengganggu. Kalau kejadian sepeti spiritual, supranatural eyang pernah mengalaminya? Pernah, tapi secara bersama-sama dengan teman-teman lain, tidak sendirian… (W. R. I. 03. 767-796). Ya…ya….ya. Menurut Eyang itu gimana pendapat eyang fenomena tentang orang-orang yang mampu melihat masa depan, atau melakukan konsultasi spiritual atau pengobatan alternative gitu? Misalnya kaitannya dengan perdukunan, kalau kita percaya pada Sang Guru Sejati (Pangestu), kalau dalam Islam gih Nabi Muhammad SAW bahwa Sang Guru itu yang membimbing kita, memberikan petunjuk, memberikan jalan dan pertolongan. Sebenarnya kalau kita ke tempat orang-orang “pinter” itu tidak benar atau tidak disahkan. Kenapa segala sesuatu yang memberi Tuhan lantaran Sang guru tadi, koq malah mintanya kepada orang “pinter” tadi? Ini sangat berdopsa dan disitu sabda yang tertulis juga berbunyi antara lain “Nek kowe butuh opo wae kowe lagi kebingungan, kekurangan sak piturute,
126
nyuwuno marang Aku (Gusti), Aku bakal maringi, menehi opo sing mbok suwun, tapi kalau masih dating kepada paranormal berarti jiwa orang itu masih tipis dan istilah lainnya ibaratnya orang berjalan sudah tidak melewati jalan yang benar/ menyimpang. Atau dengan kata lain lagi dia itu sudah dianggap mempunyai Tuhan yang 2 arah, bukan Tuhan Yang Maha Kuasa, tapi Tuhan kepada paranormal tadi karena percaya. Ini bahayanya disitu… .(W. R. I. 03. 707-817). Hal ini menurut responden dianggap berbahaya karena akan mengganggu saat kematian. Meminta pertolongan kepada Tuhan dianggap menyimpang dari Tuhan oleh responden. Kenapa koq bahaya?sangat Bahaya? Bahaya, kalau minta pada paranormal, karena sudah dianggap menyimpang dengan Tuhan yang lain tidak langsung pada Tuhan Yang Maha Esa. Ini seandainya dia nanti sudah meninggal itu nanti disana akan banyak gangguan mungkin jalannya tidak langsung mulus ke surga, tapi lewat jembatan yang sangat mengerikan, menyedihkan dan lain sebagainya. Mungkin begitu…..mungkin. Kalau di Sasongko jati kemarin sempat baca……..kalau tidak salah orang-orang yang sudah melakukan tata-cara tata-cara yang diajarkan
Pangestu
kemudian
melakukan
praktek
perdukunan bukanlah suatu hal yang benar. Apa benar memang ajaran di Pangestu itu bisa memberikan kepada kita
127
suatu
pengertian-pengertian
yang
orang
awam
tidak
mengetahui gitu ya? Yang pertama, tidak dibenarkan atau tidak benar. Misalnya ada orang yang datang ke Paranormal untuk minta pertolongan itu tidak dibenarkan. Ajaran-ajaran Pangestu itu yang dapat melaksanakan adalah pribadi masing-masing pengikut, semua dapat dilihat, dalam arti tingkah laku dan kepribadian seseorang yang telah mengikuti ajaran Pangestu itu. Ini kalau memang ajaran itu sudah benar-benar dimengerti oleh seseorang, tapi kalau ngambang atau belum dapat diresapi orang itu ya…ga bisa. (W. R. I. 03. 820-842). Ciri ke tiga realisasi diri adalah seorang yang memiliki kepribadian yang universal, artinya tidak ada satu pun segi kepribadian yang dominan. Namun selama pengambilan data responden hanya mengaku ada banyak perubahan pada diri pribadinya dan perubahan dalam hidup secara umum. Satu hal yang sering diungkapkan responden selama pengambilan data yaitu responden merasa lebih sabar, tidak cepat marah, dan tenang. Mengandung arti, itu arti yang bagaimana, yang? Mengandung arti…. Setelah saya me…ya istilahnya instropeksi pada diri saya sendiri, itu kan dalam saya hidup ini banyak hal-hal yang saya lakukan..yah kami anggap kurang baik…saya ingin mempunyai perilaku yang baik. Lah maksudnya baik dan tidak baik untuk saya ya misalnya didalam urusan rumah tangga ini itu kadang-kadang saya pernah tidak, hati saya itu tidak sabar misalnya begitu. Nah
128
ini saya ingin mempunyai jiwa yang sabar. Kalau saya punya sesuatu kemudian diminta atau digunakan oleh orang lain, kadang-kadang saya, ee dalam hati kecil saya tidak rela, tidak iklas. Setelah itu saya tahu, saya ingin semuanya itu, agar saya mempunyai jiwa yang rela, iklas. Artinya saling tolong menolong kepada sesama. Itu..contoh itu. Banyak sekali.. (W. R. I. 02. 169182). Kalau tentang menilai kepribadian atau karakter pada diri Eyang sendiri setelah melaksanakan olah rasa itu bagaimana? Menurut perasaan saya yang tadinya saya kurang sabar, akhirnya bisa lebih sabar. Itu yang bisa kita terapkan, halhal lain masih banyak. (W. R. I. 03. 878-881). Penjelasan ini tentu belum dapat mengungkapkan tidak adanya segi yang dominan dalam kepribadian. Penjelasan responden tentang perubahan dalam pribadinya setelah menghayati ajaran Pangestu hanyalah suatu efek dari selama ini berusaha untuk menghayati dan memahami ajaran. Dan efek ini belum tentu menjelaskan perubahan dalam struktur kepribadian. Menurut pengamatan selama pengambilan data responden I kurang sering mengungkapkan tentang kehidupan pribadi dan keluarganya. Hanya dua kali responden menceritakan tentang keluarganya, itupun tentang kehidupan anak-anaknya. Responden sama sekali tak pernah bercerita tentang dirinya dan istrinya juga tentang kehidupan bergamanya. Namun dari transkrip wawancara responden di atas tampak bahwa adanya satu kesadaran untuk merubah sisi gelap pribadinya menjadi lebih baik sesuai tuntunan ajaran Pangestu. Walaupun responden mengatakan bahwa hal itu sangat sulit
129
tercapai dan hanya 20 sampai 30 persen saja yang responden mampu capai dari tuntunan ajaran Pangestu tersebut. Eyang merasa sulit? Merasa sulit. Seandainya yang saya katakan kemarin namanya pancasila. Utamanya empat, panca itu kan lima, yang empat ini saja rila,narima, temen atau jujur, dan sabar ini udah tertanam pada jiwa saya, diri saya mungkin saya sudah bisa. Saya tahu itu tapi menurut saya, saya nilai sendiri pada pribadi saya sendiri, keempat-empatnya ini belum bisa sempurna untuk kita terapkan. Kalau keempat-empatnya ini nanti bisa seratus persen, kalau saya persentase mungkin yah baru dua lima atau tiga puluh persen begitu. Hehe.. Dua puluh lima sampai tiga puluh persen ya, yang? Iya..hahaha..ini penilaian saya sendiri, kalau saya boleh interopeksi..eehehehe.. (W. R. I. 02. 215-227). c. Aktualisai Diri Responden mengaku bahwa ada banyak perubahan yang terjadi dalam diri dan dalam hidupnya setelah menghayati ajaran Pangestu dan mampu mencapai heneng, hening, dan luyut dalam melakukan Panembah. Perubahan dalam diri ditunjukkan responden dari pengakuannya bahwa dirinya merasa lebih sabar, iklas, dan tenang (W. R. I. 03. 878-881). Sedangkan perubahan dalam kehidupan pribadi dengan orang lain tampak dari banyak jawaban responden seperti ketika responden selalu memohonkan keselamatan (W. R. I. 01. 91-95) dan pepadhang (W. R. I. 02. 392-405) untuk keluarga dan masyarakat. Responden juga mengaku bahwa dirinya dulu sering bersikap kurang sabar sdalam rumah tangga namun
130
setelah menghayati ajaran Pangestu responden merasa lebih sabar di dalam rumah tangga dan lebih iklas dalam kehidupan bermasyarakat, tolong menolong dan bergotong royong (W. R. I. 02. 169-182 dan 881-896). Dalam menghayati ajaran Pangestu itu sejauh Eyang menghayatinya selama ini ada perubahan enggak dalam hidup Eyang? Perubahan dalam kehidupan Eyang secara pribadi yang dulu mudah marah, tidak sabaran dan lain sebagainya, ternyata saya setelah ikut Pangestu mengalami perubahan banyak sekali. Kemudian dengan orang lain pun dalam hal tolong menolong, gotong royong benar-benar sangat saya rasakan. Bahasanya hidup koq kebingungan dengan masalah ini, kita Tanya saja kowe jane bingung masalah opo? Butuhmu ki opo? Kita timbul rasa kasihan. Sebab akhirnya setelah kita rasakan bahwa hidup ini, kita lahir ini awalnya tidak membawa apa-apa, jadi yang saya nikmati sekarang ini hanyalah sesuatu titipan saja. Sodaqah itu pahalanya besar, bukan dalam hal materi tapi mungkin dalam hal salah dan dosa dapat dikurangi juga dengan melaksanakan sodaqah.Dalam Pangestu sodaqah itu namanya Budi Dharma (memberi kepada orang lain dilepas secara ikhlas dan sah). Itu dalam bentuk olah rasa.
Misalnya saya pas datang mengikuti acara kuraos di
Pangestu, kebetulan saya membawa uang 1 juta. Setelah saya kalkulasi dengan semua kebutuhan uang itu masih sisa 1rb..lha uang sisa ini saya masukkan ke kotak amal, tetapi pas dikalkulasi
131
ternyata ga cukup, ga memasukkan ke kotak amal ga apa-apa. (W. R. I. 03. 855-877). Responden mengaku merasa bahagia ketika melakukan panembah. Menurut responden saat melakukan panembah adalah suatu pengalaman yang luar biasa dan responden merasa bahwa panembah adalah suatu kebutuhan. Responden melakukan panembah secara rutin setiap bangun tidur dan sebelum tidur malam, selebihnya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan. Ada suatu keinginan untuk selalu mengulang panembah dan pengalaman yang luar biasa tersebut. Saya melakukan panembah sesuai kebutuhan saya mbak, biasanya tiap bangun tidur dan sebelum tidur pada malam hari. Selebihnya sesuai kebutuhan dan keinginan saya. Seperti misalnya kemarin ketika saya akan ke Surabaya, saya melakukannya di dalam mobil. (W. R. I. 01. 80-84). Responden mengaku bahwa sekarang tidak ada perasaan cemas akan hari esok. Responden mengatakan bahwa sama sekali tidak ada perasaan seperti itu. Responden memang memiliki keyakinan yang besar terhadap rencana Tuhan. Menurut responden Tuhan telah mengatur hidup manusia, dan hanya kepadaNya seharusnya mengeluh, dan meminta pertolongan. Kalau sekarang Eyang memandang masa depan gimana Yang? Apa ada perasaan was-was, cemas, kuatir gitu?tentunya setelah mengikuti Pangestu… Rasa cemas atau kuatir sama sekali ga ada, dulu sebelum ikut ajaran Pangestu sering sekali kuatir. Ada istilah “
132
Yen Kowe Butuh Kebutuhan Rasah Sumelang, Kowe Jaluk Engsun bakal Paringi” begitu mbak…. (W. R. I. 03. 897-903).
3. Hasil Wawancara Responden II a. Pengalaman Mistik Responden ini adalah seorang Kristen yang cukup taat. Panembah dilaksanakan dengan menggunakan doa Kristen. Responden melakukan panembah empat kali sehari, pagi saat bangun tidur, siang, sore dan sebelum tidur. Budhe, nglampahi panembah menurut ajaran pangestu niku nggih setiap teng gereja, nggih setiap saat? Kulo, nek manembah niku, gandeng agama kulo Kristen nggih nggange doa Kristen. Tapi
nek
setiap
saat
bututine
pangesti,
misalnya
saya
membutuhkan pepadhang, saya bisa menggunakan cara pangestu. (W. R. I. 03. 296-301). Jadi waktune nek sembahyang berapa kali ? Lima kali. Lima kali ? Pagi, siang, trus mengke….eh empat kali ding, jadi sonten, terus badhe mapan sare, terus diantara jam satu sampai tiga
niku, terus pagi. Niku. Nah itu kalo dalam
pangestu itu doa nya bisa sewktu-waktu, tapi yang tidak mau harus dijalankan. (W. R. I. 03. 311-317). Responden mengaku melakukaan sembah raga dan sembah kalbu. Akan lebih baik jika melakukan sembah raga karena menurut responden ada banyak pengorbanannya. Namun terkadang mau berdiri saja tidak mau sehingga yang dilakukanya adalah sembah kalbu.
133
Budhe sudah sembah raga atau sembah kalbu? Dua-duanya. Kadang-kadang arep ngadeg we wegah, mbak dadi sing kulo lakoni nggih sembah kalbu. Nggangge duduk, lha sing marake nggih nilai wau aluawamah'e hehehe… wegah adem-adem. Sembah kalbu yang penting dirinya bisa nyampe kesana (menunjuk dada lalu menunjuk keatas) nek bisa niate, ngoten mbak..lebih baik lagi sembah raga. Sembah Raga ka nada pengorbanan lagi, misalnya saya mensucikan diri dulu, harus obah, kudu obah. Tambah bagus lagi itu nek iso nglakoni.hehe.. (W. R. I. 03. 333-242). Responden II mengaku bahwa saat melakukan panembah merasakan suatu ketenangan dan kedamaian jika khusyuk dalam melakukannya. Responden juga mengaku bahwa ketika melakukan panembah seolah-olah merasa melupakan segalanya. Oh niku rasane pripun ketika melakukan panembah ? Rasane nggih….kalo kula, padane dengan khusyuk saestu ngoten lhe mbak, kan otomatis disitu ada rasa ketenangan, kedamaina…nek pas khusyuk tenan. Nah kan kadas melupakan segalanya. Melupakan segalanya ? Nggih, melupakan keduniawian ngoten lhe mbak. Dadi niate mung nyaket thok, dadi teng mriki (menunjuk ke dada) damai dan selamat. (W. R. I. 03. 348-356). Saat melakukan panembah agar sampai pada tahap khusyuk maka harus diusahakan untuk melupakan alam sekitar. Selama panembah agar kekhusyukan
134
dapat tercapai sebisa mungkin tidak merasakan apa yang terjadi atau apa yang dirasakan pada tubuh. Responden mengumpamakan hal ini dengan digigit nyamuk. Jadi walaupun digigit nyamuk, sebisa mungkin untuk tidak dirasakan agar mencapai khusyuk. Rasane Lingkungan sekitarnya tuh gimana? saat manembah terus khusyuk begitu niku pripun? Oh…pas khusyuk ngaten berusaha melupakan alam sekitar, ngoten. Oh ngoten nggih ? Nggih, rasanya Cuma tenang. Merasakan ketenangan dan ketentraman. Kalau kayak gitu itu merem ? Nggih no mbak merem. Kalau berdoa merem, kalau ga merem padanane nyamuk, misale awake dewe pas berdoa, terus da nyamuk,trus digigit, dianggap wae ga digigit mbak. Yo ra dirasake, dirasake nggih podo mawon. Enggak dirasake, niku kerasa tapi ga dirasake, opo ga kerasa tenan ? Kerasa nanging ga dirasakake. Berusaha tidak merasakan itu. Oh gitu? Yo kerasa….hehe..wong dicokot, tapi ga dirasake ben khusyuk. (W. R. I.03. 357-372). Pada saat khusyuk tubuh responden merasa merinding, kemudian tubuh terasa ringan. Hal ini dirasakan sebagai suatu keajaiban bagi responden, tubuh terasa ringan, tidak merasakan apa-apa, dan hanya merasa enak saja. Namun kalau tidak khusyuk kaki mulai terasa kesemutan, dan jika digigit nyamuk jadi terasa. Terus tubuhnya tuh rasanya gimana? Nek pas khusyuk ngoten gitu nggih gemrinding, terus entiiing ngoten, tapi sok-sok ning sikil
135
kene gringgingen. oh gitu? Nggih. Tapi pas bener-bener khusyuk gitu tuh? Ya enggak merasakan. Tubuhnya rasanya gimana? Entenglah…biasa ngaten le, mbak. Mboten ngrasake pripun-pripun ngaten, koyo dene suatu keajaiban ngaten nika, dadi awak ki ngrasake penak thok. Nek dong pas ora ngoten nggih…..oalah nyamuke, di ceplek..terus dadi ora khusyuk, wong dirasake, dadi wis ora sido khusyuk maleh. Nek khusyuk tenan niku, rasane nggih penak thok. (W. R. I. 03. 374-387). Secara emosional responden mengaku merasa senang karena pada saat khusyuk itu hanya ada ketenangan, ketentraman, dan kedamaian. Pada saat khusyuk pikiran harus dikosongkan, segala permasalahan keduniawian harus ditinggalkan. Namun bukanlah suatu hal yang mudah mengiklaskan segala bentuk keinginan dan permasalahan duniawi. Secara emosional gimana? Secara emosional…mah… sedih.. seneng.
Seneng,
tentrem
og.
Nek
khusyuk
tenan
niku
tenang…seneng…perasaane ki damai seneng! … Terus di dalam pikirannya itu pripun? Pikirane nggih, harus di kosongkan pikirkan itu harus kosong mbak. Semua keduniawan koyo wis ditinggal-nggal tenan, ngoten nika. Koyo-koyo nek belajar wis nglaleke, sing arep dipikir-pikir yo wis iklasno ngoten nika. Tapi tidak setiap doa itu bisa tercapai seperti itu. Tapi Budhe pernah mencapai seperti itu?? Kadang-kadang. Tidak sering tapi kadang-kadang enek masalah arep nglaleke yo angel yo mbak, yo
136
ra khusyuk mung ngucapke thok. Dadine koyo keburu-buru ngoten niku. Kerep yen ngoten niku. Kerepe ngoten niku, dadi misale oh arep doa sek, duwe pikiran ''ngopo to kesusu'' , nah untuk menghilangkan itu tuh kan sulit sekali, dadi yo mung butuhe thok ok..plek..plek..wis nindakake kewajibane. Padane ngoten niku, dadi ra khusyuk. Khusyuk dan tidaknya sering tidaknya, hehe…waktu doa itu. Wong sesasi niku, khusyuk niku paling ping tiga ping pindho kok khusyuknya, lha wong rumongso piye dunia besar tesih sumandul ning badan niki, dados untuk ngosong ke pikiran itu susah sekali. Karepe pas niat tenan dilalah pikirane pingin tenang eh mikir opo, kelingan opo, kan dadi ora khusyuk. Ngoten niku. (W. R. I. 03. 388-419). Pada saat khusyuk itu tidak melihat apa-apa. Diri menjadi merasa berdosa, nelangsa, dan penuh taubat. Pikiran kosong dan hati merasa penuh dosa. Jika suasana seperti ini dapat tercapai maka lamanya panembah menjadi tidak terasa. Pikiran kosong, tidak tahu waktu, tidak merasa capek dan kesemutan (W. R. I. 03. 451-453). Satu jam ataupun setangah jam berlalu begitu saja. Namun jika suasana ini tidak tercapai, mengingat situasi seperti ini tidak selalu mampu dicapai karena sulit maka pelaksanaan panembah juga menjadi terburu-buru. Pas khusyuk gitu pernah ga kosong, ga lihat apa-apa ? Nek pas khusyuk niku malah anu mbak teng mriki niku koyo ewa den era nonton apa-apa. Malah hanya merasa diri kita itu penuh dosa, penuh panalongso, penobatan, ngaten lhe mbak nek koyo ra
137
terpikir, dadine neng jiwa ki koyo wis penuh kotoran, penuh dosa ngunu. Teng mriki koyo kosong blong ngoten.Berapa lama kegiatan gitu? Lah kadang-kadang pas donga tenan ngoten, sak jam yo ra kroso, setengah jam mboten kroso nek pas saat-saat ngoten niku nggih, tapi nek pas saat-saat sambil lalu yo lima menit koyo wis kudu oyak-oyak. Hehe…Padane cepet-cepet ndang rampung. Sing penting nglakoni kewajibane. Ngoten niku gangguan luar ki tetep masih banyak…mboten mesti sebulan iso khusyuk ping pisan nopo ping pindho niku mboten mesti, tenan niku. Hehe..mengosongkan niku sulit sekali. (W. R. II. 03. 420435). Setelah melakukan panembah sampai pada suasana khusyuk yang dirasakan adalah senang, gembira, lega, dan tenang. Beban terasa lepas, hilang, dan yang ada hanya merasa tenang. Baik sembah raga, sembah kalbu, dan sembah rasa suasana khusyuk ini tetap dapat diciptakan. Nek
bar
ngeteniku
bar
nglakoni
manembah.
Setelah
manembah khusyuk selama 1 jam, itu rasane ati gimana? Gih sumringah neng ati seneng, lego, tenang ngoteniku mbak….beban rasane
koyo
ucul,
ilang
yang
ada
Cuma
ketenangan
…Ya….ya….ya… Iku gunanya di antara manembah rasa, manembah qalbu bisa diciptakan semacam itu? Bisa…tapi alam khusyuk bener-bener tenang, damai. Ketenangan tetep ada, ketentraman juga tetep ada. (W. R. II. 03. 483-492).
138
Responden mengaku tidak pernah merasa bertemu dengan Sang Pencipta. Saat melakukan panembah sampai khusyuk tadi yang dirasakan hanya perasaan damai, senang, dan tenang saja. Ketemu sama Pencipta? Klo ketemu yo gak mbak….wong Gusti Allah iku angel dijangkau. Yang ada Cuma merasakan senang, damai dan tenang…merasakan kosong blong ga da beban…eneke muk seneng, damai tenang…. (W. R. II. 03. 493-497). Suasana khusyuk ini tercapai dengan mengucapkan dzikir terus menerus. Di dalam dzikir ini tersebar doa dan permohonan kepada Tuhan. Responden mengucapkan hu Allah, hu Allah terus menerus dengan khusyuk, pikiran dan hati terus mengucapkan doa kepada Tuhan hingga tidak terasa, perasaan menjadi damai, dan pikiran menjadi kosong. Selama itu mengucapkan doa terus dan kita merasa tenang tenang gitu? Yo gih…andaikan kita khusyuk betul-betul kan diwaktu kita doa..apa kebutuhan kami dan ucapannya tersebar itu kados
Dzikir.
Klo
dzikirnya
dari
Pangestu
itu…Hu…Allah…Hu…Allah dzikir dalam batin. Begitu terus? Ya…selama kita dzikir kan tidak terasa mbak…klo sehabis kita doa mengucapkan ayat itu sudah ikut
dzikir. Sembah raga?
Waktu sembah raga jadi suasana khusyuk pas dzikir itu? Gih…Jadi dipikiran sama hatinya mengucapkan Hu Allah…Hu Allah gitu terus. (W. R. II. 03. 498-510).
139
Responsden mengatakan bahwa dirinya sudah sampai pada sembah kalbu. Selama ini responden ingin sekali melaksanakan sembah rasa tapi belum bisa karena dirasa-rasakan belum sesuai dengan apa yang pernah dibaca dan tuntunan Pangestu. Budhe, sampeyan nek mpun sampe sembah apa ? Nek kulo niku sampe sembah kalbu. Nek sembah rasa ingin sekali tapi belum bisa. Belum bisa ? Iya karena dirasa-rasakan kok tidak sesuai dengan apa yang pernah dibaca. Ajaran-ajaran yang sudah disampaikan sama atasan-atasan, itu kan oh sembah rasa ki ngaten-ngaten, tapi belum pernah merasakan. (W. R. II. 03. 625627). Pada sembah rasa menurut responden adalah sudah merasakan kekosongan, alam terasa kosong. Responden mengumpakan sama dengan keadaan mati suri. Sejauh ini yang dirasakan sampai sembah kalbu itu gimana Budhe ? Sembah kalbu, nggih ngaten wau… yow is sing melupakan ke duniawian lha nek sembah rasa kan iku mbak sing wis iso seakan-akan kosong, alame wis kosong seakan-akan koyo wis ngrasake MATI SURI niko le. Nek aku durung pernah. Budhe dereng pernah ? Belum. Lha kan masih banyak kekurangan, dosa-dosa gitu, utawa kesalahan-kesalahan. Belum sesempurna apa yang diharapkan. (W. R. II. 03. 633-642).
140
b. Realisasi Diri Responden adalah seorang yang menerima kodrat kemanusiaan dan perbedaan. Responden menganggap bahwa kodrat manusia adalah seperti roh yang suci, yang suka berbuat baik sesuai dengan ajaran Tuhan. Selain itu kodrat menurut responden diibaratkan seperti takdir, harus berusaha merubah dan menjadi lebih baik namun dengan jalan yang baik dan mendekat dengan Tuhan. Responden menerima kodrat manusia yang dipahami sebagai takdir namun juga tidak ingin menyerah pada nasib. Manusia harus menerima takdir yang dituliskan Tuhan namun juga mau merubahnya menjadi lebih baik dengan jalan yang baik dan mendekat pada Tuhan. Kalau menurut, Budhe kodrat manusia yang seharusnya itu bagaimana? Kodrat? Ya itu tadi kalau jiwa manusia ini kan ada roh suci. Nah kodratnya juga harus berbuat seperti roh suci. Berbuat kebaikan sesuai ajaran Tuhan. Ning manusia kalau sudah di kodratkan di dalam sangkan paran, yang dulu pernah berbuat seperti itu, terus diciptakan lagi. kodratmu ik kalu kita tidak mau merubah, kodrat itu kan seperti takdir to mbak? Kalau kita tidak berusaha merubah, lha misale kodrae we arep dadi wong sugih, kita malas bekerja, kan kita melawan kodrat. Nah malas-malasan kan kita enggak bisa kan kita jadi orang kaya. Seperti itu. Nek kodrate dadi wong ora duwe, sanajan warisane akeh, ndilalah tumindake ora bener, opo diapusi uwong, opo lah. Nah ini harus kita lawan. Tuhan tidak akan merubah kodrat manusia, kalau kita
141
sendiri tidak merubah. Lha nek gitu kita harus hati-hati, mendekat pada Sang Pencipta. Lha misale wong ki arep kejeglokan kelopo, karena kita mendekat kepada Tuhan dadine kejeglokan pelem wae ora loro. Dapet pengentheng-pengentheng. Tapi nek ora mendekat kejeglokan kelopo, eh malah sing akeh sisan. Hahahaha. (W. R. II. 03. 1112-1131). Beberapa jawaban responden menunjukkan bahwa responden adalah seorang yang sangat menghagai perbedaan agama, maupun ras, dan golongan. Seperti halnya responden I, responden II juga hidup di tengah-tengah perbedaan agama, orang tuanya seorang Islam, dan pembantunya yang setiap hari bekerja di warung makan miliknya juga seorang muslim, sedangkan dia sendiri beragama Kristen dan cukup taat. Beberapa cerita tentang sikap responden terhadap pembantunya yang suka mencuri menunjukkan bahwa sikap responden sangat menghargai, dan menerima perbuatan pembantunya. Responden tidak ingin melukai hati pembantunya dengan mengeluarkannya dari pekerjaan dengan cara yang buruk sehingga tidak terjadi pertengkaran kemudian memutus tali persaudaraan diantara keduanya. Meskipun pembantunya berbeda keyakinan dengan responden. Tidak berbeda dengan responden I, responden II pun beralasan bahwa semua umat manusia ini ciptaan Tuhan sama dengan dirinya dan mengapa pula tidak saling membantu padahal tujuan semua manusia adalah sama yaitu kembali kepada Tuhan hanya jalannya saja yang berbeda. Sak niki mbak nek jenenge uwong ora saling menghargai, lha sak niki kula Kristen, orang tua Islam to mbak kok iso seiring to mbak
142
wong urip bareng-bareng. Sing penting iso kerja sama, nggih to? Wong kabeh ciptaane Tuhan. Nek rewang kulo ora sholat, nggih kulo sengeni. “mbak luhur, mbak sholat, ngashar opo magrib” seperti itu kita saling mengingatkan. Saat pengajian, “mbak kowe kok ora pengajian, ngopo?”, nah gitu. Kalau saya mau ke gereja, yo dielingke, “Budhe nang gereja mboten, beston mboten?”, gitu. Jadi kita saling menghargai, jadi komunikasinya kan bagus, ngaten. (W. R.II. 03. 1102-1111). Responden menjelaskan bahwa dalam menerapkan prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari harus pandai-pandai menempatkan diri. Hal ini berhubungan dengan saling menghormati dan menghargai. Dalam ajaran Pangestu memang dituntun agar menghargai semua umat manusia, menghargai dan menghormati umat agama lain. Jika seorang Pangestu menjalankan ajaran Pangestu dengan baik, sudah otomatis kehidupan bertoleransi dan berbhineka tunggal ika akan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Nah, kalau menurut Budhe menerapkan prinsip bhineka tunggal ika dalam kehidupan sehari-hari, itu bagaimana? Kita harus
pandai-pandai
menempatkan
diri.
Nah
ini
kalau
hubungannya saling menghargai, saling menghormati tadi. Yang kalau tadi kita berlainan agama, kan tujuannya sama. Misalnya mau ke Solo, ada yang lewat Sragen, lewat Karanganyar. Lah ini mengapa kita tidak saling mengingatkan, saling menjaga? Kalau dalam bhineka kan harus menghargai kerukunan, nggih to mbak?
143
Kalau kita bisa menjalankan kodrat ajaran otomatis, bhineka tunggal ika kita jalankan sehari-hari. Nggih to? Hehehe… (W. R. II. 03. 1132-1142). Hal ini menunjukkan responden memenuhi ciri pertama realisasi diri yaitu menerima kodrat manusia pada umumnya, memiliki kesadaran dan toleransi yang lebih besar terhadap kondisi umat manusia, dan berempati dengan masalah kemanusiaan, tanpa memandang ras, golongan, dan agama. Responden tentunya adalah pribadi yang sangat meyakini akan adanya Tuhan. Terbukti karena berdasarkan pengamatan selamapengambilan data, responden tiap minggu pergi ke gereja. Dan dari banyak pembicaraan selama pengambilan data, responden sering menghubungkan masalah sehari-hari dengan rencana atau kehendak Tuhan (W. R. II. 02. 198-200; 205-207; 439-447; 437448). Selain itu responden juga mempercayai hal-hal yang misterius dan supranatural seperti takdir, mahkluk halus, surga, neraka dan kematian. Responden dalam banyak kesempatan sering mengungkakan bahwa hidupnya sudah dekat dengan kematian. Nggih niku wau, carane srengenge wis pangklong dadi wong ki umure wis kari pirang dino kas, dadi lagi kroso meh tobat. Hehe…Baru menyadari, baru sangat membutuhkan, nek boten nggih yi dianggap alah opo ngunu kuwi, alah…. Hehe…. Wis umur……. Tapi kan mung ucapan lha nek koyo niku ngoten-ngoten eh yo penting tenan. (W. R. II. 02. 182-187).
144
Responden
juga
nampak
banyak
berusaha
untuk
memperbaiki
hubungannya dengan Tuhan. Responden merasa banyak dosa, dan berusaha memperbaiki
diri
dengan
semakin
mendekat
dengan
Tuhan.
Banyak
permasalahan hidup yang diselesaikan dengan memperbanyak kepasrahan kepada Tuhan, seperti masalah responden dengan pembantunya, masalah rejeki, bahkan masalah rumah tangga. Oleh karena itu responden mendapat ketenangan dan ketentraman. Kalau dalam kepribadian atau karakter Budhe,bagaimana? Didalam kehidupan sebelum menghayati Pangestu itu ajaranajaran mungkin didalam batin itu tidak tenang, ketentraman tidak ada, kedamaina di dalam rumah tangga, tidak ada. Tidak ada kekompakan. Tapi setelah menyiswa, setelah menghayati ajaran semua itu yo rumah tangga merasa ada kedamaian, ada ketentraman antara pakdhe, sama anak, dan sama lingkunganya pun merasa jauh sekali sebelum kita mengenal. Sekarang sudah ada rasa panarima. Apa yang ada didepan saya sudah saya syukuri, itu yang membuat kita rasakan tenang. Gimana ya mbak…orang yang menyiswa dan tidak itu mesti ada bedanya. Misalnya kalau kita merasa sedih, orang awam pasti larinya ke dukun atau paranormal. Tetapi kita sudah punya senjata yaitu berserah kepada Tuhan. Meski kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan dalam arti kita bias merasakan ketenangan dalam berdoa, Tuhan akan memberikan jalan ketenangan. Kan
145
misalkan hati kita sedih, sedang dalam menghadapi masalah, apa yang membuat hati kita gelap. Tapi setelah mendekat, berserah itu kita ada pepadhang dari Tuhan, gitu. (W. R. II. 03. 650-674) Selain meyakini akan adanya Tuhan, responden juga mempercayai hal-hal yang tidak diketahui secara kasat mata di alam semesta seperti indra keenam serta hal-hal misterius yang tidak banyak disadari. Responden percaya bahwa manusia diciptakan Tuhan hidup berdampingan dengan mahkluk lain yang tidak kelihatan yaitu mahkluk halus. Kalau memandang alam semesta, gimana Budhe? Alam donya niku kan misterius, ada yang kita ketahui, ada yang tidak. Nah itu menurut Budhe gimana? Misale punden, roh halus, gendruwo ngaten to mbak? (Kemudian Budhe berdiri dan menunjukkan kepada saya suatu kitab tentang pewayangan Jawa yang hubungannya dengan alam kadewatan. Tapi karena kitab itu tidak ada penjelasanya dan hanya terdapat gambar, Budhe berusaha menjawab pertanyaan peneliti dengan kalimatnya sendiri). Panca indera manusia itu kan sebetulnya ada indera keenam. Kalau orang-orang biasa, kalau ada apa-apa kan kita enggak tahu. Kalau kita mendekat, misalnya saja diberi pengetahuan lebih oleh Tuhan, misalnya saja ada roh halus disitu, dia tahu. Nah jin-jin itu kan tidak semuanya jahat, ada yang suka menolong, ada yang untuk pesugihan itu, ada yang mengganggu
146
tapi kalau misalnya kita tidak mengganggu, mereka juga tidak mengganggu. (W. R. II. 03. 1143-1159). Ini menunjukkan bahwa responden II memenuhi ciri kedua realisasi diri yaitu menerima hal-hal yang misterius, tidak disadari, dan hal yang berhubungan dengan kewaskitaan, supranatural, dan kepercayaan akan adanya Tuhan. Selanjutnya untuk ciri ketiga realiasasi diri yaitu tentang kepribadian yang universal ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang ditunjukkan oleh responden I. Jawaban responden II tidak menunjukkan ciri yang spesifik yang bisa menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur kepribadian selama reponden menghayati ajaran Pangestu dan memiliki pengalaman mistik selama melakukan panembah. Responden mengaku bahwa setelah benar-benar menghayati ajaran Pangestu, menerapkan sendiri ajarannya, dan merasakan sendiri pengalamanpengalaman selama melakukan panembah telah terjadi banyak perubahan dalam diri dan kehidupan pribadinya. Responden merasa lebih sehat, merasa bahwa banyak sifat buruknya yang menjadi lebih baik sekarang, dan hubungan dengan orang lain juga menjadi lebih baik, hubungan dengan keluarga menjadi semakin kompak. Ee… selama ini, selama 5 tahun ini menghayati Pangestu, walaupun sebelumnya sudah tahu, perasaanya gimana? Perasaanya yo luwih tenang, luwih tentrem sak wene mpun menghayati ngono.Ooh…ngoten…? Nggih,
pokoke
misalkan
dhek mbiyen nggih budhe, perkara napa-napa ngoten langsung mak prempeng ngoten, sak niki mboten. Oh yow is ben…pasrah
147
karo Gusti Allah. Ya piker sek tak nalar. Prempeng?? Emosi, misale…..hueh..huh (responden memperagakan tangan kanan diremas-remas dan dipukul-pukul di atas tangan kiri. Langsung pipine uabang…brangasan). Emosinya di depan. Sak niki eh nggih iso rodo nekon sithik, eh..sing penting Gusti Allah, perso nek ngoten kan iso rodo nekan sithik. Hwah nek mbiyen opoopo sithik brangasan. Hueh..huh..akhirnya kita sendiri yang rugi. Kesehatan terganggu…ngoten niku. Kenapa ko merasa lebih sehat ? Ya karena ada ketenangan itu tadi kan semua jiwa yang tenangkan mempengaruhi lha niku sing kulo pengeni. Supaya sehat tenan kan jiwa yang tenang kan bedo mbak karo jiwa sing brangasan, otomatis mengko darah tinggi… thuru… thut… thut… thut. Hehehe. (W. R. II. 02. 193-215). Responden merasa sekarang semakin bisa mengendalikan emosi dan amarah, serta lebih sabar dan iklas dalam menjalani hidup. Rasa sosial juga terasa lebih mudah. Sampai penghayatan sejauh ini dalam Pangestu…Mm…ada perubahan ga dalam diri Budhe? Ada. Banyak.
Apa aja,
Budhe? Misalkan nek kulo biasane gampang emosi. Mm.. misalnya
dalam
hidup
bermasyarakat.
Mm….
difitnah,
et…hem…dirasani uwong misalnya, sing A ngomong,’’ mbak kowe dirasani iki’’. Biasane kan mak bel…Emosi, sekarang tidak misalnya gitu. Terus rasa sosialnya niku merasakan kurang, tapi
148
sekarang karena berkat yang diberikan pada kita rasa sosialnya, entah berupa apa, walaupun tak berharga tapi mungkin kita sudah punya rasa itu. (W. R. II. 03. 643-654). Responden juga merasakan ketenangan dan ketentraman setelah menghayati ajaran Pangestu. Kehidupan rumah tangga menjadi lebih kompak. Kalau dalam kepribadian atau karakter Budhe,bagaimana? Didalam kehidupan sebelum menghayati Pangestu itu ajaranajaran mungkin didalam batin itu tidak tenang, ketentraman tidak ada, kedamaian di dalam rumah tangga, tidak ada. Tidak ada kekompakan. Tapi setelah menyiswa, setelah menghayati ajaran semua itu yo rumah tangga merasa ada kedamaian, ada ketentraman antara pakdhe, sama anak, dan sama lingkunganya pun merasa jauh sekali sebelum kita mengenal. Sekarang sudah ada rasa panarima. Apa yang ada didepan saya sudah saya syukuri, itu yang membuat kita rasakan tenang. Gimana ya mbak…orang yang menyiswa dan tidak itu. (W. R. II. 03. 655665). Namun responden mengakui bahwa dirinya masih merasa kurang dalam sifat iklas. Responden masih merasa kurang iklas terlebih setelah sepeninggal orang tuanya. Ada rasa dimana responden belum merelakan kematian orang tuanya. Namun dibalik itu responden merasa bersyukur mengenal pangestu. Responden mengatakan bahwa sekarang menjadi lebih tenang, karena jika tidak betapa menderitanya dirinya. Pangestu dan agama harus seiring, inilah yang
149
membuat responden merasa lebih menerima hidup. Dengan mengenal Tuhan responden merasa bahagia walaupun masih dirasa kurang atau belum sempurna menjalankan ajarannya. Setiap manusia kan punya kelebihan dan kekurangan. Selama ini, sejauh menghayati pangestu, apa yang budhe rasakan terhadap kekurangan dan kelebihan Budhe? Kekurangan saya mm…saya sering merasa kekurangan. Disini ini.. rasa tidak iklas itu sering muncul. Padahal disitu itu ada lima. Pancasila itu, rila, narima, temen, sabar, budi luhur. Untuk mencari rila kan iklas, mbak. Rasa iklas ki, apalagi saat-saat sekarang itu waktu mbah kakung meninggal itu, sering sekali muncul rasa tidak iklas. Mengapa orang tua sudah dipanggil, kadang saya sering menangis, sering ini mengulang kembali. Ini kan rasa tidak iklas, mbak. Nah,ini sering menghantui mengulang kembali. Ini kan rasa tidak iklas, mbak. Nah, ini sering menghantui dan untuk saya rasakan kelebihan saya, seandainya saya tidak mengenal ini, seperti apa jiwa saya, lebih menderitanya diri saya. Itu kelebihan dan kekuranganya. Jadi kelebihanya tuh disini to untuk menghibur, dari pribadi, seumpamane saya tak mengenal pangestu, tidak mentaati peraturannya, walaupun anu yo mbak, piye yo mbak. Mm…Pangestu dengan agama kan harus seiring. Yo kan?! misalkan saja belajar tentang keagamaan terus, tidak disertai Pangestu. Saya kira, jalan tidak seimbang. Saya
150
menghadapi pangestu terus, tapi dalam tata keorganisasian kan kita harus mengikuti agama, seperti pernikahan, kematian kan ada tata caranya, tapi untuk jiwa, seandainya kita mengenal Tuhan, tidak sungguh-sungguh alangkah menderitanya jiwa kita. Nah kelebihannya saya merasa beruntung sekali, mengenal Tuhan dan masuk dalam pangestu ini. Merasa beruntung itu kelebihan kami. Kekurangannya yaitu belum saya itu, belum, rasa-rasanya masih belum benar-benar menjalankan perintahnya, rasa iklas, rasa sabar, masih kurang, rasa panarima, ini kadang-kadang masih timbul rasa tidak panarima juga. (W. R. II. 03. 782-818). Ini menunjukkan adanya kesadaran dalam diri responden untuk menerima kekurangan dan terus berusaha untuk memperbaikinya. Responden sadar bahwa dirinya memiliki sisi gelap dan terus berusaha menekan kemunculannya dalam perilakunya meskipun itu sulit karena dia manusia biasa. Jane ucapannya cuma sabar, tapi sulit sekali menjalankannya seperti menghadapi pembeli yang tidak sesuai dengan nurani kita, kadang emosi, rasa sabar ini yang sulit sekali……hahaha. Jujur saja, mbak rasa tidak iklas ini sekarang-sekarang ini sering muncul sepeninggal mbah kakung, alah…..mengapa begitu cepat simbah itu dipanggil Allah ini,mengapa…..lha disini kadangkadang menangis sendiri. Nah ini kan kadang-kadang membuat jiwa kita tidak sehat karena tidak bisa menjalankan pancasila. Nah itu tadi untuk menjalankan ya kita berusaha, tapi manusia
151
masih banyak kekurangan. Setiap bangun tidur saja, berdoa, minta kekuatan dan kesabaran. Nah baru berdoa saja kan ini kan sabar sudah hilang lagi. Nah bangun ketemu pakdhe ah…ha..ha.. Kan sulit sekali untuk menjalankan apa yang kita harapkan, apa yang kita inginkan, tapi kan mengapa tidak menjalankan yang sulitnya jalan tadi. Kita ibaratkan orang jalan. Jalan setapak menuju kebaikan itu kan banyak duri-durinya, kita harus pegangan kuat. Memang ada kelebihan dan kekurangan. Kalo kita menerima anugerah, menerima kedamaian, disini waah sering merasa bahagia sekali. Tapi kadang-kadang entah sebulan sekali, entah sedetik, diberi ujian sedikit saja sudah menghujat Tuhan. (W. R. II. 03. 818-838). c. Aktualisai Diri Pengalaman mistik pangestu yang dirasakan oleh responden II ternyata menunjukkan banyak perubahan pada diri dan kehidupan pribadi. Seperti sudah banyak diungkapkan pada sub bab realisasi diri diatas, responden mengaku merasa lebih sehat, karena merasa lebih sabar dan tidak cepat marah (W. R. II. 02. 196-215). Responden merasa sekarang merasa ada ketenangan dan ketentraman di dalam hati. Responden mengatakan bahwa jiwa yang tenang akan berbeda dengan jiwa yang brangasan atau jiwa yang terburu-buru dan penuh emosi. Menurut responden jiwa yang brangasan dapat memicu penyakit darah tinggi. Kenapa ko merasa lebih sehat ? Ya karena ada ketenangan itu tadi kan semua jiwa yang tenangkan mempengaruhi lha niku sing
152
kulo pengeni. Supaya sehat tenan kan jiwa yang tenang kan bedo mbak karo jiwa sing brangasan, otomatis mengko darah tinggi… thuru… thut… thut… thut. Hehehe. (W. R. I. 02. 210-215). Dulu sebelum menghayati pangestu dan menerapkan ajarannya responden sering terpicu emosinya, emosional, dan mudah marah. Namun setelah mulai menghayati pangestu, responden sekarang memasrahkan semua yang terjadi kepada Tuhan sehingga perasaan menjadi lebih tenang dan tentram. Ee… selama ini, selama 5 tahun ini menghayati Pangestu, walaupun sebelumnya sudah tahu, perasaanya gimana ? Perasaanya yo luwih tenang, luwih tentrem sak wene mpun menghayati ngono. Ooh…ngoten…? Nggih, pokoke misalkan dhek mbiyen nggih budhe, perkara napa-napa ngoten langsung mak prempeng ngoten, sak niki mboten. Oh yow is ben…pasrah karo Gusti Allah. Ya piker sek tak nalar. Prempeng?? Emosi, misale…..hueh..huh (responden memperagakan tangan kanan diremas-remas dan dipukul-pukul di atas tangan kiri. Langsung pipine uabang…brangasan). Emosinya di depan. Sak niki eh nggih iso rodo nekon sithik, eh..sing penting Gusti Allah, perso nek ngoten kan iso rodo nekan sithik. Hwah nek mbiyen opoopo sithik brangasan. Hueh..huh..akhirnya kita sendiri yang rugi. Kesehatan terganggu…ngoten niku. (W. R. II. 02. 193-209)
153
Hubungan dengan orang lain pun menjadi lebih baik, dengan keluarga, anak dan suami, semuanya menjadil lebih kompak. Rumah tangga dirasakan lebih nyaman. Didalam kehidupan sebelum menghayati Pangestu itu ajaranajaran mungkin didalam batin itu tidak tenang, ketentraman tidak ada, kedamaina di dalam rumah tangga, tidak ada. Tidak ada kekompakan. Tapi setelah menyiswa, setelah menghayati ajaran semua itu yo rumah tangga merasa ada kedamaian, ada ketentraman antara pakdhe, sama anak, dan sama lingkunganya pun merasa jauh sekali sebelum kita mengenal. Sekarang sudah ada rasa panarima. Apa yang ada didepan saya sudah saya syukuri, itu yang membuat kita rasakan tenang. Gimana ya mbak…orang yang menyiswa dan tidak itu mesti ada bedanya. Misalnya kalau kita merasa sedih, orang awam pasti larinya ke dukun atau paranormal. Tetapi kita sudah punya senjata yaitu berserah kepada Tuhan. Meski kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan dalam arti kita bias merasakan ketenangan dalam berdoa, Tuhan akan memberikan jalan ketenangan. Kan misalkan hati kita sedih, sedang dalam menghadapi masalah, apa yang membuat hati kita gelap. Tapi setelah mendekat, berserah itu kita ada pepadhang dari Tuhan, gitu. (W. R. II. 03. 656-674). Selain hubungan dengan keluarga, responden juga merasa rasa sosialnya semakin meningkat. Karena berkat dan rejeki yang diberikan Tuhan membuat
154
responden merasa lebih mudah memberi dan berbagi walaupun tidak seberapa namun perasaan ingin memberi itu sudah ada. Misalkan nek kulo biasane gampang emosi. Mm.. misalnya dalam hidup bermasyarakat. Mm…. difitnah, et…hem…dirasani uwong misalnya, sing A ngomong,’’ mbak kowe dirasani iki’’. Biasane kan mak bel…Emosi, sekarang tidak misalnya gitu. Terus rasa sosialnya niku merasakan kurang, tapi sekarang karena berkat yang diberikan pada kita rasa sosialnya, entah berupa apa, walaupun tak berharga tapi mungkin kita sudah punya rasa itu. (W. R. II. 03. 647-659). Responden II pun memiliki
toleransi yang besar dengan masyarakat.
Responden hidup rukun dengan pembantunya yang Islam dan ada kerja sama yang baik diantara keduanya. Responden dan pembantunya saling mengingatkan untuk menjalakan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Sak niki mbak nek jenenge uwong ora saling menghargai, lha sak niki kula Kristen, orang tua Islam to mbak kok iso seiring to mbak wong urip bareng-bareng. Sing penting iso kerja sama, nggih to? Wong kabeh ciptaane Tuhan. Nek rewang kulo ora sholat, nggih kulo sengeni. “mbak luhur, mbak sholat, ngashar opo magrib” seperti itu kita saling mengingatkan. Saat pengajian, “mbak kowe kok ora pengajian, ngopo?”, nah gitu. Kalau saya mau ke gereja, yo dielingke, “Budhe nang gereja mboten, beston mboten?”, gitu.
155
Jadi kita saling menghargai, jadi komunikasinya kan bagus, ngaten. (W. R. II. 03. 1102-1111). Pandangan responden dalam banyak hal yang terjadi di dunia ini hampir selalu dihubungkan dengan Tuhan. Seperti menanggapi perbedaan agama, responden mengatakan bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan, agama hanyalah sebagai suatu jalan, walaupun berbeda-beda tujuannya adalah sama yaitu Tuhan, mengapa semua orang tidak saling membantu dan saling bekerja sama (W. R. II. 03. 1132-1142). Responden yang dulunya tidak pernah ke gereja sekarang menjadi rutin ke gereja karena itu adalah suatu kebutuhan. Responden juga berusaha selalu mendekat kepada Tuhan dengan banyak berdoa, tidak hanya pada saat susah saja, namun diusahakan untuk selalu mengingat Tuhan setiap saat. Beda banget ya, Budhe ? Beda. Sudah jauh berbeda dulu saya enggak pernah ke Gereja. Agama saya Kristen, belum mengenal pangestu. Yo mengenal tapi belum menghayati kadang kalo inget, ke Gereja, kalo enggak yo enggak. Tapi sih masuk dan menghayati yo kita semakin aktif ke Gereja, karena itu ternyata suatu kebutuhan. Lha dalam masuk pangestu itu seakan-akan diabaikan, ternyata pangestu bukan agama tapi menguat jiwa, menunjuk kan mana yang benar, mana yang harus ke Gereja. Perbedaanya jauh sekali. Yang dulu dong-dongan yen longgar saja. Sekarang wong itu kebutuhan ya harus kita usahakan, dulu doa, waktu lagi susah aja langsung datang kepada Tuhan untuk memberi pertolongan itu lah setelah ikut pangestu, kita eling itu dan menyadari kita ciptaan
156
Tuhan, mengapa kita tidak dating kepada Tuhan. Lha sehari dulu itu misalkan doa Cuma sekali, sekarang setelah ikut Pangestu, kita resapi, kita hayati kita bias setiap saat berdoa. Misalkan kita tidak sempat meluangkan waktu masuk kemari dan duduk. Tapi saat memasak atau dalam perjalanan pun kita bisa mendekat. Disitulah perbedaanya. Jauh sekali….(W. R. II. 03. 675-694). Sebisa mungkin menurut responden seseorang harus mensyukuri apa yang diberikan Tuhan. Manusia memang harus berusaha namun juga sebaiknya mensyukuri apa yang diterima. Tidak mensyukuri membuat pikiran menjadi ngongso atau terpaksa, tertuntut, dan berambisi. Perasaan bersyukur dan berserah kepada Tuhan membuat responden merasa berkecukupan dan kecukupan ini sesuai dengan kekuatannya. Kadang-kadang wah sing penting uripe sugih neng donya we. Seperti Tuhan bersabda, ‘’ Banya murid, tapi sedikit terpilih’’. Kita pun berusaha semaximal mungkin dihadapan Tuhan belum apa-apa tapi niat ingsun usaha, entah dihadapan Tuhan yang menilai. Tapi setelah kita betul-betul berserah, menghadapi apa yang ada dihadapan kita, ya semua orang karepe yo sugih yo menurut kekuatan. Misalkan saja kita sehari biasanya dapat 50 ribu, hari ini mendapat 100 rb tidak kita syukuri, ini kan ngongso pikirane, dan tidak kita syukuri akhire golek pelarian lah. Nah inilah goda yang paling besar. Bila kita berserah, apa yang kita dapatkan kita syukuri, tapi bisa membuat kecukupan pada
157
kehidupan kami. Nah kecukupan ini tadi sesuai dengan kekuatan kita. Nah nek wong kuwi lagi mbrangkan terus pingin ngadeg kan mesti jatuh. (W. R. II. 695-709). Pernyataan responden menunjukkan bahwa budi pekerti yang baik itu sulit dicapai dan hanya orang lain yang bisa menilai. Sering orang lain itu menilai seseorang buruk dan belum tentu banyak orang menyukai sikap seseorang. Responden mengatakan bahwa hanya sedikit saja orang yang biasanya menyukai sikap masing-masing orang, namun walaupun begitu tetap saja harus terus berbuat baik. Dan untuk mendapatkan hal ini (image diri yang baik) itu tidak perlu banyak sanjungan, yang paling penting adalah terus berbuat baik. …tetangga kan udah dilihat orang itu kaya atau miskin. Tapi tentang budi pekerti ini sulit sekali kan untuk dibaca kalo kita tidak berusaha menunjukkan kepada masyarakat atau kepada tetangga, misalkan he wong kuwi dek mben gawene galak kok saiki ora, ndek mben gawene ngene ternyata kan, disini kita harus perubahan ini kita berusaha berubah bukan kita yang menilai tapi orang lain yang menilai, lha disini. Dadi entah orang itu menilai seperti apa terserah menilai kita tapi yang penting kita berusaha untuk berbuat baik … lha untuk mendapatkan ini tidak perlu mendapat sanjungan dari orangorang tapi yang penting kita berusaha berbuat baik kalo ada hasil atau tidaknya kita yang merasakannya. Nggih to mbak, masalah orang wong kie, wong njobo wah wong iki saiki sugih,
158
wonge saiki berhasil tapi dari segi itu bagaiman jalan mendapat rejeki itu tapi kalo budi pekerti perilaku, lha ini sulit sekali. (W. R. II. 03. 711-748). Karena sikap yang berusaha mendekat kepada Tuhan, pasrah, sabar, dan terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik sesuai dengan ajaran Pangestu maka di hati ada rasa kedamaian. Dengan terus berbuat baik dan taat pada ajaran maka perasaan menjadi damai, tenang, dan tentram. kalo kita tau taat kepada ajaran seperti hal-hal yang seperti ini tidak perlu kita ucapkan, kita lihat lebih teliti, kita tidak tau gitu saja kan disini ada perdamaian tidak dapat tekanan darisana, darisini. (W. R. II. 03. 768-771). Sekarang responden merasa harus terus berbuat baik, mengikuti tuntunan agama dan ajaran pangestu. Hal ini karena semua keinginan sudah berkurang dan keinginan responden sekarang hanya ingin mendekat kepada Tuhan untuk sangu pati atau bekal kematian. Bekal ini bukanlah harta dunia, namun kesucian. Karena inilah responden ingin terus berbuat baik kepada orang lain. Ya. Iki pangestu ini adalah rasa panarima tadi, untuk keinginan yang tersampaikan…Mm…kalau kita sudah mengingat umur ya mbak? kalo umur diatas 30-40 tahun kan misalkan matahari kan masih berada di tengah, keinginanya sekuat tenaga, ingin mencapai setinggi langit, tapi kalau sudah mencapai umur 40 keatas, nah kan ibarat sinar matahari kan sudah glewang. Nah disini kan sudah orang seakanakan sudah pangklong srengenge iku, nah kalo orang belajar
159
keagamaan, belajar pangestu, dalam taat beragama karena disini semua keinginan sudah berkurang, mbak. Ya keinginan cuma ingin mendekat, dan untuk sangu pati. Dan sangu pati ini tidak butuh bondo donya, mbak. Yang dibutuhkan hanya kesucian. Lha untuk mencapai kesucian ini, kita harus merubah segalanya. Yang dirubah bukannya keinginan, tapi yang dirubah Cuma watak kita. Yang dulunya tamak, sekarang tidak ramak. Yang dulunya brangasan, sekarang harus kita tekan. (W. R. II. 03. 855-871). Meskipun berulang kali diungkapkan bahwa responden berusaha terus mendekat kepada Tuhan dan terus berserah, ternyata responden juga mengungkapkan bahwa responden masih merasa cemas akan masa depan ataupun hari-hari esok. Responden merasa was-was dan untuk menghilangkannya sulit sekali. Responden masih sering merasa was-was tentang masa depan baik masa depannya maupun masa depan keluarga juga tentang pekerjaan. Selama menghayati pangestu, ada kecemasan, kekhawatiran enggak akan masa depan, Budhe? Itu masih ada, mbak. Masih ada? Waktu mbah kakung mau meninggal itu kan saya pernah baca sedikit di kitab sabda khusus itu tentang anu orang was-was,rasa kuatir. Saya itu ngopo nggih, kalo sekarang kuatir, merasa was-was. Gimana cara untuk menghilangkan rasa was-was itu. Itu sulit sekali memang, kadang-kadang ya ini menghilangkan memang sulit sekali rasa was-was itu. Ya memang saya sering sekali merasa was-was. Apalagi masih banyak keluarga. Gimana nanti kehidupan anak saya.
160
Hidup keluarga saya. Apakah nanti bias masuk surga tidak. Bagaimana nanti dapat jodoh yang bagaimana. Rasa kuatir tetap menghantui. Ini sering muncul, tidak cuma sekali, dua kali dalam sehari, dua hari. Misalkan dalam jualan, kalau kita tidak bisa memegang teguh jiwa kita. Dodolanku mengko payu po ra. Ini kan rasa kuatir. Ini nanti kalo ada perubahan pekerjaan, pekerjaan yang lain, iki piye, lha terus ngko piye, laaah…Rasa kuatir itu sering muncul. Rasa kuatir dan rasa was-was. Tidur sampe mandi, sampe tidur lagi, seringkali muncul. Kadang saat makan saja, saya bias berpikir iki mengko piye yo….. (W. R. II. 03. 915-937) Setelah menghayati ajaran pangestu, perasaan was-was ini sudah berkurang walaupun masih ada. Perasaan was-was ini sekarang timbul dan tenggelam, sedangkan kalau dulu perasaan was-was ini hampir terus muncul. Sampai sekarang? Sampai sekarang. Berkurang atau tidak? Ya berkurang. Kalau dulu yang dimakan apa, rasa kuatir full, hampir satu hari full. Tapi setelah ikut pangestu yo muncul, tenggelam, muncul. Ada tenggelamnya dulu, nanti kuatirnya full, nah sekarang yo mungkin timbul tenggelam, timbul tenggelam, rasa kuatirnya. (W. R. II. 03. 938-945). Responden juga menerangkan bahwa sekarang usaha warung makannya sudah memiliki pelanggan, padahal dulu harapan tinggalah harapan, tidak ada usaha untuk mewujudkannya. Sekarang setelah berserah kepada Tuhan, usaha warung makannya telah memiliki tempat tetap untuk berjualan dan tidak perlu
161
menawar-nawarkan untuk mencari pelanggan. Responden menjelaskan bahwa dalam berdagang ataupun bekerja mencari keuntungan adalah suatu hal yang baik namun harus dengan cara yang wajar. Jika Tuhan sudah berkehendak maka kesuksesan akan datang, dan responden merasa bersyukur karena sampai sekarang pelanggannya tidak ada yang kapok. Kalau seseorang itu taat kepada tuntunan agama dan ajaran pangestu, selalu bersyukur kepada Tuhan, menerima segala yang terjadi maka akan ada ketentraman dan kedamaian di hati. Bekerja sebaiknya sekuatnya untuk mendapatkan rejeki dan tidak perlu di paksa. Oh, nggih. Misalkan dulu, kita punya harapan, ya tinggal harapan thok, misalkan pembeli aja kita harus ndadak nawak-nawake kesanakemari. Tapi setelah betl-betul berserah, serah kepada tuhan, kita tidak menawarkan, orang yang mencari kita. Tak usah mencari pelanggan keman-mana … Orang dagang mencari keuntungan adalah hal yang baik, tapi dengan jalan yang wajar. Untunge pelangganpelanggan saya enggak ada yang kapok. Orang lewat misalkan kebetulan lewat pasti bilang, “ kalau saya lewat, saya pasti mampir sini karena saya cocok masakane”, gitu … Nek uwis taat, disyukuri, ditrimo yo kuwi sing penting disini ada kedamaian, ketentraman. Nyambut gawe sak kuwate, lantaran pengen entuk rejeki, yo kudu usaha, sak mampune. Ora usah dipeksa. Itu. (W. R. II. 03. 10541092). Pernyataan-pernyataan responden II ketika pengambilan data ini menunjukkan perubahan dalam diri, hidup, dan pandangan terhadap dunia setelah menghayati
162
ajaran
Pangestu. Penghayatan responden terhadap
ajaran pangestu ini
mengantarkannya pada pengalaman-pengalaman mistik ketika melakukan panembah ataupun berdoa dan membawa responden pada perubahan dalam diri dan hidupnya. Satu pernyataan yang sering diungkapkan adalah perubahan diri menjadi lebih sabar dan tidak emosional, perubahan hidup yang menjadi lebih kompak dalam rumah tangga, lebih bertoleransi dengan orang lain, dan semakin rajin beribadah. Hal ini yang membuat responden merasa damai, tenang, dan tentram. Ini menunjukkan bahwa responden lebih menikmati hidup.
3. Hasil Wawancara Responden III a. Pengalaman Mistik Responden III mengaku seorang muslim, namun dengan jujur responden mengatakan bahwa dia tidak melakukan ibadah sholat. Ekspresi keagamaanya langsung pada ritual panembah menurut ajaran Pangestu. Responden III mengaku merasa kurang puas dalam menjalankan syariat Islam. Responden memilih beragama Islam hanya karena tuntutan yang diberlakukan pemerintah. Ini kan ga dibatasi waktu, saya ga sholat saya ikuti Pangestu, jadi ikuti manembah…ya manembah Pangestu. Memang agama saya Islam, tapi saya tidak melaksanakan syariat Islam rasanya kurang puas..sedangkan peraturan pemerintah kan enggak seperti itu. (W. R. III. 01. 116-120). Responden III melaksanakan panembah wajib minimal tiga kali sehari, dan sekali waktu pada waktu tengah malam. Menurut responden kegiatan mengingat Tuhan,
163
apapun dan bagaimanapun caranya sudah dapat disebut sebagai manembah kepada Tuhan. Asalkan seseorang eling kepada Tuhan setiap melakukan sesuatu baik dalam ucapan maupun perbuatan, itu sudah dapat disebut menyembah Tuhan. Kalau saya melaksanakan minimal 3x dalam sehari, itu wajib. Ada tambahan lagi 1x dalam sehari di tengah malam. Setiap saat atau tiap detik mengingat dan mengucapkan agama dari Tuhan itu sudah dinamakan Manembah. Istilahnya saya dalam melakukan sesuatu, saya eling dengan Tuhan begitu juga dalam ucapan maupun tindakan saya. (W. R. III. 01. 131-135). Responden III mengaku menjalani panembah masih dalam tahap sembah raga (W. R. III. 02. 288-289). Sembah raga dilaksanakan dengan niat lahir dan batin untuk melaksanakan kewajiban. Sembah raga dilaksanakan dengan mengucapkan doa sambil melakukan gerakan-gerakan sesuai dengan yang diajarkan oleh Pangestu. Setelah selesai mengucapkan doa responden melakukan dzikir dengan menyebut hu-Allah, hu-Allah sampai luyut. Masalah Manembah Pakdhe,….sembah Pakdhe pun sampai tataran nopo? Gih tasih sembah raga, sembah raga nek pun sembah qalbu kaitane kalian niku. Istilahe sembah raga disik baru sembah qalbu. Selama ini yang dirasakan waktu sembah raga? Gih nek pun nganyaki sembah raga niku gih pun netepi kewajiban, rasane pun niat suci lair batin, diucapkan doane nek pun rampung doane gih kantun dzikir. Dzikir di dalam Pangestu niku gih Hu
164
Allah…Hu Allah sampai luyut. Ten Pangestu gitu. Jadi sesudah sembah rasa, istilahe rasane pun manunggal tapi gih dereng saget 100%. (W. R. III. 02. 286-297). Kurang lebih responden III mendefinisikan luyut tidak berbeda dengan responden III. Luyut adalah kosong, yang ada cuma perasaan senang, tenang, tentram, dan tidak ada pikiran apa-apa. Lha rasane sampai luyut niku pripun? Luyut niku gih kosong, eneke muk seneng,tenang, tentrem, ga ada pikiran apa-apa. (W. R. III. 02. 298-330). Responden III mengaku melakukan panembah sesuai dengan kebutuhan, namun jika melakukan panembah di waktu pagi hari masih merasa buru-buru. Hal ini dikarenakan dikejar waktu untuk bekerja dan dibayang-bayangi banyaknya pekerjaan maka terasa buru-buru. Gih menurut kebutuhan, nek waktu pagi biasane gih rodo kesusu margo selak kekoyak gawean, istilahe dalam sembahyang dibayang-bayangi gawean mulo dadine kesusu. (W. R. III. 02. 305-307). Hal ini terjadi jika suasana heneng dan hening tidak mampu diciptakan. Responden mengatakan bahwa seperti itu adalah suatu panembah yang secara lahir dikatakan sembahyang namun secara batin tidak. Dan menurut responden belum tentu banyak orang pangestu mampu menciptakan suasana heneng dan hening dalam melakukan panembah.
165
Masih sering kepikiran apa-apa gitu? Ya kalau tidak dalam hening heneng gih.. o…oo. Iki ko ndang ngene…ngene laire sembahyang, tapi batine boten. Mulo kulo critakne bahwa hening heneng niku seumur hidup boten mesti saget nglampahi sekali mawon. (W. R. III. 02. 308-313). Responden
III
dalam
pengambilan
data
mengaku
tidak
dapat
menggambarkan suasana ketika manunggal dengan Tuhan dalam melakukan panembah. Hal ini dikarenakan responden belum pernah merasakan manunggal dengan Tuhan, namun percaya bahwa dirinya sudah menjalankan kehendak Tuhan atau melaksanakan tugas. Kalau setaunya pakdhe manunggal itu rasanya gimana? Belum tau, wong belum merasakan, tapi dalam hati dan pikiran percaya bahwa saya itu sudah menjalani kehendak Tuhan atau melaksanakan tugas. (W. R. III. 02. 314-317). Responden mengaku bahwa dia masih jarang melakukan sembah raga sampai tahap heneng dan hening. Namun kemudian responden meralat pernyataan jarang ini dengan belum pernah. Heneng dan hening dikatakan sebagai suasana yang lupa, tidak ingat apa-apa. Tidak merasakan pegal dan kesemutan. Tidak memikirkan apa-apa dan melupakan segalanya, yang dirasakan hanya enak saja. Namun responden belum pernah merasakan hal ini, apalgi luyut dan manunggal. Kalau waktu heneng yang dirasakan gimana? waktu hening gimana? Rasanya heneng hening niku nek pun iso nglakoni heneng ning rasane pun boten kados kelingan, ning kejadian
166
ngeten niki gih jarang, belum pernah. Gih kados ingkang kulo aturke ten ngajeng wau gih meniko sekali seumur hidup. Lali kabeh nopo pripun? Gih. Sing pun nglampahi kan ngeten niku pun ngrasake keju, gringgingen, pun boten mikir nopo-nopo pun lali kabeh, entene muk penak.Sing pun nglampahi ngeten niku boten enten keju, kesel dan ngantuk. (W. R. III. 02. 318-329). Selama ini responden masih merasakan kesemutan sewaktu melakukan panembah. Selain panembah responden juga melakukan amalan saat tengah malam selama kurang lebih satu setengah jam. Amalan ini kurang lebihnya juga sama dengan ritual panembah. Selain melakukan panembah responden III melakukan ritual yang lain yang disebutnya dengan prihatin, yaitu dengan puasa. Namun responden tidak setuju jika ritual prihatin ini disamakan dengan puasa. Prihatin disini hanyalah mengurangi makan, minum, tidur, dan membicarakan sesuatu yang tidak enak didengar. Pakdhe tesih ngrasakne keju? Gih tesih gringgingen. Kulo gih kerep nglakoni amalan gih wekdale 1 – 2 jam waktu mbah giyono seh dereng surut, kalau sembahyang habis lilin 1 gih minimal 1,5 jam meniko wonten ing tengah malam. Kalau dalam Agama Islam lebih dikenal dengan sebutan Tahajud. Kalau di Pangestu nglakoni atau prihatin, sing dilakoni nopo? poso? Boten poso, tapi ngurang-ngurangi gih ngurang-ngurangi maem, minum, tidur, ngendiko barang sing boten kepenak ten kuping. Wonten ing Agama Islam kan gih boten angsal nglakoni sing elek. Nek neng
167
Pangestu iku gulang-gulangane ngeten niku. (W. R. III. 02. 330342). Sebelumnya dalam pengambilan data responden pernah mengungkapkan bahwa dirinya kadang-kadang merasa heneng dan hening dalam melakukan panembah. Namun responden belum pernah sampai pada tahap bertemu dengan Tuhan. Selama dalam panembah yang dirasakan adalah mampu mengendalikan diri. Sambil melakukan panembah responden bisa melupakan kebutuhan ekonomi, kebutuhan keluarga. Dan kalau sudah heneng yang dirasakan hanyalah enak dan tidak memikirkan apa-apa. Pernah enggak pakdhe waktu Manembah sampai bener-bener ketemu sama Tuhan? elum….yang sudah bisa bertemu dengan Tuhan itu belum tentu dari 1000 orang ada 1 orang yang bisa ketemu. Menjalani Manembah itu dari sudut pandang pakdhe gimana? Kalau saya rasakan selama saya manembah rasanya saya bisa mengendalikan diri, umpamanya pengen nesu bisa hilang. Sambil sembahyang kadang-kadang bisa menghilangkan kebutuhan ekonomi, kebutuhan dengan keluarga. Kalau sudah heneng gitu sudah terasa enak, wong boten mikir nopo-nopo rasane enak. Pakdhe sudah sampai pada tahap situ? Kadangkadang, tapi belum sampai pada tahap ketemu Tuhan. (W. R. III. 01. 163-175). Selama melakukan panembah jika belum lama waktunya maka sembahyang atau kualitas manembahnya belum sampai ke hati. Dalam hal ini doa
168
sudah dibacanya namun belum sampai ke dalam atau ke hati sehingga belum heneng. Namun bila sudah heneng yang dirasakan adalah seperti tidur pulas dan rasanya tenang. Tetapi kadang-kadang bila sudah dalam waktu lama belum sampai pada tahap heneng, tubuh akan merasa merinding. Tapi bila sudah heneng rasanya seperti orang mati. Yang jadi pikiran itu kayak gimana? Mikir apa waktu manembah? Kalau waktu belum lama belum nyampe ke hati, sudah membaca doanya tapi belum sampai ke dalam atau heneng. Bila sudah heneng bisa heneng….tidur pulas rasanya tenang. Kadang-kadang kalau belum nyampe tidur rasanya prinding gitu, tapi bila sudah nyampe tidur itu rasanya kayak mati. (W. R. III. 01. 176-182). b. Realisasi Diri Tidak jauh berbeda dengan responden II, responden III menganggap kodrat manusia sebagai takdir yang bisa dirubah selama seseorang itu berusaha. Jika dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak mau merubah sikap maka sikapnya tak kan berubah menjadi lebih baik. Sepanjang seseorang berusaha berubah disertai dengan taubat dan doa serta terus memohon kepada Tuhan maka Tuhan pasti mengabulkan. Menurut pakde kodrat manusia ini bagaimana? Kodrat manusia menurut orang Jawa dapat diwiradati artinya bisa dirubah selama mau dan berusaha untuk merubahnya. Kodrat wong gih ngeten niku, tapi sepanjang ada usaha untuk berubah
169
pasti bisa berubah. Dalam kehidupan sehari-hari sepanjang manusia ga gelem merubah sikape gih ngeten-ngeten niku terus, tapi sepanjang saget merubah ditambahi toubat lan dongo, nyenyuwun kalian Gusti Allah maka lambat laun saget berubah. Misale mbak ganis nyuwun laptop ibuke, tapi mbak ganis nyuwun mawon gih boten ditumbaske, ananging benten menawi mbak ganis nyuwun terus tur menawi ibuke kerepotan gawean diewangi, mesti ko bakal dipundutke. (W. R. III. 02. 502-512). Pernyataan ini menunjukkan bahwa manusia sebaiknya tidak berpangku tangan, namun selalu berusaha untuk merubah hidupnya menjadi lebih baik namun dengan cara-cara yang baik pula sesuai tuntunan ajaran yang diyakini. Sedikit berbeda dengan responden I dan responden II , dalam beberapa pernyataan jawaban responden III sering menunjukkan sikap bangga sebagai seorang penganut pengestu. Beberapa pernyataanya menunjukkan hubungan atau interaksi yang hanya sekitar lingkup anggota dalam pangestu saja. Jawaban responden ketika pengambilan data cukup sering memberi kesan bahwa di dalam pangestu selalu ada toleransi dan semua agama, ras, dan golongan dianggap sama, namun responden tidak menunjukkan kesan yang sama pada masyarakat selain pengikut pangestu. Pernyataan responden III menerangkan bahwa agama kadang hanya dipakai kedok untuk menutupi perbuatan negatif. Responden yakin bahwa disekitar warga pangestu, selama orang tersebut menjalankan ajaran pangestu maka tidak akan berbuat negatif.
170
Nek istilahe teng gen keagamaan kalian Pangestu benten koq. Ten Pangestu niku diblake nopo enek e, wulangane Pangestu niku nek langsung disukakne, nyoto iso dilakoni benten kalian agama-agama sanese, kados Agama Islam katah ingkang dipun sanepakne utowo dikiaskan. Agama Islam niku sae, tapi jarang sing iso nompo sing iso nglakoni. Pangestu adalah satu, wulangane dimana saja sama. Nek enten kegiatan boten enten saru sikune, boten enten pemikiran negatif. Dadi misale wonten kerja bakti bareng antara pengikut lanang lan wadon, gih dipun lakoni kanthi sareng-sareng lan rukun, boten enten pemikiran neko-neko. Sebagai gambaran adalah Bagaimana caranya bisa lewat sungai yang ada buayanya yang buas? Lha rombongan harus membuat cara bagaimana biar ga kecebur lan sampai tujuan dengan selamat. Satu sama lain bergandengan tangan jangan sampai jatuh ke air. Lha itu Pangestu diibaratkan Satu, membangun kesepakatan, saling erat. Kalau dengan umat lain, yang berbeda agama, suku, latar belakang sikapnya gimana? Sepanjang warga Pangestu sama. Selain warga Pangestu ya ga papa, cuma tidak sepaham, tidak saling tau dalamnya hati masing-masing, Cuma tujuane sama. Kalau saya menilai agamaagama sanese seh nggawe ditunggangi utowo buat kedok dengan cara-cara atau perilaku yang salah. Kalau Pangestu sepanjang 100% masih Pangestu ga mungkin melaksanakan perbuatan
171
negatif. Kalau ada kegiatan yang mengumpulkan pengikut dari semua jenis, ga mungkin ada yang berbuat negatif, kalau ada yang berbuat begini begitu pasti ada tujuane. Sepanjang mboten enten tujuane ga mungkin berbuat negatif. (W. R. III. 02. 513542). Namun responden juga menyataka bahwa dalam menyikapi perbedaan di dalam masyarakat seperti perbedaan agama, ras, dan golongan adalah harus saling menghormati. Misalnya seorang Pangestu maka harus menghormati seorang muslim, begitupun sebaliknya, seorang muslim juga sebaiknya menghormati seorang pangestu. Menurut pakde bagaimana sikap kita dalam menerapkan prinsip Bhineka Tunggal Ika dalam hidup sehari-hari? Harus saling menghormati dengan agama lain, suku lain, orang lain. Umpama
saya
melaksanakan
tugas
Pangestu,
yang
lain
melaksanakan tugas Islam ya silakan. (W. R. III. 02. 543-547). Responden III sangat percaya akan kehadiran Tuhan. Hal ini tampak pada ketekunanya dalam melakukan panembah. Tanpa adanya kepercayaan yang kuat akan kehadiran Tuhan, keadaan mistik dalam melakukan ritual panembah sulit diciptakan seperti heneng, hening, luyut, bahkan manunggal. Responden juga percaya bahwa Tuhan akan memberikan imbalan yang melimpah bagi orangorang yang baik, yang dengan iklas memberi dan menafkahkan hartanya. Orangorang seperti ini akan dilipatgandakan rejekinya. Hal seperti ini dalam pangestu disebut dengan budi dharma.
172
Nek kangge kulo bondo donyo sak piturute niku naming titipan. Lha nek uripe pun cukup, surut, unduh-unduhane nek saget gih nglakoni budi dharma, weweh, pitulung tumraping sanes. Lha besok diunduh naliko wis surut. Gusti Allah bakal nglipetake ganjarane. Menawi wonten Agama islam pas bulan poso menehi dhaharan saur utowo buko niku ganjarane bakal dilipetke 70 kali. Niku gih masuk akal. Tuhan yang Katon Wajib disungkemi. lae..lae..lae. Maksude lae…lae? Sambat. Mbokne yen dijaluki ki kek ono, ko rak diijoli langkung okeh. misale ngekeki biji jagung 1 ko lak oleh ijol biji 9. (W. R. III. 02. 453-463). Responden juga menunjukkan sikap yang percaya dengan hal irasional dan misterius. Dalam suatu kesempatan ketika pengambilan data responden pernah menganjurkan peneliti untuk rutin nyekar atau mengunjungi makam kerabat yang sudah meninggal. Kebetulan ayah kandung peneliti sudah meninggal sejak enam tahun yang lalu, dan responden menganjurkan peneliti untuk tetap mengurus dan mengunjungi makam. Menurut responden seseorang yang mau mendoakan seorang yang sudah meninggal adalah suatu bentuk penghormatan kepada yang meninggal dan imbal baliknya adalah yang meninggal pun memintakan ampunan bagi yang mendoakan kepada Tuhan. Dan karena seorang yang meninggal sering didoakan maka ruh nya dapat manunggal dengan Tuhan. Buk’e sering nyekar bapak boten mbak? Gih masih nyekar, sebelum 1000 hari dulu nyekare tiap minggu, tapi setelah 1000 hari nyekare sebulan sekali. Boten masalah. Sing penting paling
173
boten pas wetone nek boten gih pas geblake. Dalam filosofi orang nyekar dapat digambarkan kayak begini…aku, yang sudah mati sudah jadi nisan saja keluargaku masih peduli untuk kirim doa, imbal baliknya dimintakan ampunan pada Gusti Allah, supados ruhnya saget manunggal kalian Gusti. Gih kulo pas seminggu setelah bapak meninggal saya diajak pakde saya ke tempat seorang kyai, lha pak kyai itu menyarankan supaya tiap malam jumat kirim doa. Menawi nyekar boten beto kembang boten nopo-nopo mbak, yang penting kiriman doanya agar ruh yang meninggal bisa menyatu dengan Gusti. (W. R. III. 02. 463477). Responden III pun mengaku hidupnya telah banyak berubah setelah mengikuti Pangestu. Responden menjelaskan perubahan ini baik dari dalam maupun luar. Kalau perubahan dari dalam adalah perasaan dan pikiran menjadi longgar, tenang, tentram, dan tidak ada perasaan was-was akan hidup. Sedangkan perubahan dari luar adalah perubahan hidup dalam bidang ekonomi yang semakin baik, hubungan dengan keluarga menjadi bersatu dan masalah-masalah yang dapat terselesaikan dengan baik sehingga tidak sampai mengganggu pikiran. Kalau perubahan dalam diri pakdhe secara pribadi? Istilah pribadi itu dari dalam atau luar? Kalau dari dalam? Rasanya tenang, tentram tak ada rasa kuatir was-was ga ada istilah sesuk piye yo? Kebutuhan ekonomi luar nopo hubungan dengan keluarga bisa bersatu terus. Bila ada masalah mampu dipecahkan
174
walaupun masalah ringan ataupun berat adanya dalam hati saja. Masalah dikatakan ringan, berat hanya dalam perkataan saja tetapi di hati tidak. Jadi Allah itu bila memberikan ujian, cobaan pasti
disesuaikan
dengan
umatnya
bukan
asal
langsung
memberikan ujian gitu. (W. R. III. 01. 190-200). Selanjutnya responden menjelaskan bahwa sebelum mengikuti pangestu sering berbuat seenaknya saja. Artinya banyak perilakunya yang tidak baik, yaitu melanggar ajaran agama dan merugikan orang banyak. Sekarang, setelah responden mengikuti pangestu, responden mengaku banyak keputusan yang diambil dengan berpikir panjang sehingga sebisa mungkin tidak merugikan dan menyakiti perasaan orang lain. Pakdhe setelah mengikuti Pangestu ada perubahan dalam diri pakdhe ga? misale gih dari karakter atau sifat-sifat … Gih enten. Jaman rumiyen sak derange ngerti wulangane Pangestu, Agama meniko menawi mlangkah utawi mlaku sak senenge dewe. Misale jane mlaku kudu lewat dalan iki, ananging amargo kurang sabar akhire ga sido mlaku lewat dalan mau e malah mlaku nglumpati pager.ngeten niku kan jane boten bener. Ning sak niki sak sampunipun mlebet Pangestu pun boten wani nglampahi ingkang kados mekaten. Nek meh mlaku dipikir sing dowo disik, dadi yen iso jo ngrugekne wong liyo, misale guneman gih boten ngantos nglarani tumraping sanes. (W. R. III. 02. 367-378).
175
Selain itu responden juga merasakan perubahan dalam berhubungan dengan orang lain. Sekarang menjadi lebih iklas dalam membantu orang lain. Perubahan ten tetangga, wong liyo? Istilahe gih secara ikhlas, misale enten wong kebutuhane nopo mawon gih menawi saget dipun Bantu. Mbantu meniko gih kanthi ikhlas ten manah. Intine misale mampu tur dijaluki bantuan, maka akan memberikan bantuan itu kanthi ikhlas boten enten paksaan. (W. R. III. 02. 381-386). Responden mengaku bahwa dulunya dia adalah seorang yang suka minum minuman keras, berjudi, dan sering keluar rumah. Namun setelah responden mengikuti pangestu perbuatan tersebut mulai dikurangi dan sampai sekarang sudah tidak dilakukan serta mulai menuntun kawan-kawanya untuk menghentikan perbuatan seperti itu. Melaksanakan tugas hidup. Kulo tumut Pangestu pun kat jaman rien, naliko sak derenge ikut Pangestu, tumindak kula tasih sering maen, minum,dolan nanging sak sampunipun ikut Pangestu lambat laun tindakan kolo wau kulo kirangi sekedik-sekedik sampai pun boten nglakoni. Sak sampuni ikut Pangestu niku nular-nularke barang sing apik. (W. R. III. 02. 397-401). Pernyataan responden ini secara keseluruhan belum dapat menjelaskan perubahan struktur kepribadian sehingga dapat dikatakan pribadi yang universal, yang
dapat
menyeimbangkan
atau
mengintegrasikan
kutub-kutub
yang
berlawanan dalam kepribadian. Penghayatan responden terhadap ajaran pangestu
176
serta pengalaman mistiknya dalam melakukan ritual panembah jelas membawa perubahan yang besar dalam diri pribadi dan kehidupannya secara keseluruhan. Namun hal ini belum dapat mengindikasikan adanya perubahan dalam struktur kepribadian dan menjadikan responden sebagai pribadi yang universal. Apalagi penjelasan responden banyak membicarakan tentang perubahan secara luar seperti perubahan ekonomi. c. Aktualisasi Diri Pengalaman mistik responden III yang diungkapkan dalam sub bab sebelumnya terbukti membawa efek terhadap diri pribadi dan kehidupan responden secara keseluruhan. Seperti yang dijelaskan dalam sub bab realisasi diri, responden mengatakan ada dua bentuk perubahan dalam dirinya, yang pertama adalah perubahan dari dalam dan perubahan dari luar. Kalau perubahan dari dalam adalah perasaan dan pikiran menjadi longgar, tenang, tentram, dan tidak ada perasaan was-was akan hidup. Sedangkan perubahan dari luar adalah perubahan hidup dalam bidang ekonomi yang semakin baik, hubungan dengan keluarga menjadi bersatu dan masalah-masalah yang dapat terselesaikan dengan baik sehingga tidak sampai mengganggu pikiran (W. R. III. 01. 190-200). Ini menunjukkan bahwa ada perubahan dalam memandang diri sendiri menjadi lebih sehat. Hal ini ditunjang dengan pernyataanya bahwa sekarang setelah responden mengikuti pangestu ada perubahan minat dan kebiasaan buruknya. Yaitu, kebiasaan responden yang suka mabuk, berjudi, dan sering keluar rumah (W. R. III. 02. 397-401).
177
Perubahan ini juga terjadi dalam hubunganya dengan orang lain. Responden mengaku hubungan rumah tangganya menjadi bersatu, banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik (W. R. III. 01. 190-200) dan adanya rasa iklas dalam membantu orang lain (W. R. III. 02. 382-385). Sedangkan perubahan dalam kehidupan secara umum yang sering diungkapkan responden adalah perubahan ekonomi keluarga, yaitu yang dulunya serba kekurangan sekarang responden merasa kebutuhan keluarganya semakin berkecukupan. Alhamdulillah, terima kasih Tuhan saya ucapkan selama saya ingin pergi atau melaksanakan kerja apa aja. Kalau saya ucapkan dan apa yang saya minta. Kalau saya ucapkan dan apa yang diminta itu sudah saya rasakan apa saja yang saya minta sudah banyak terlaksana, daripada yang tidak. Misalnya, umpama ingin pergi saya minta diayomi, selamat, perjalanan lancar tidak ada alangan sampai tujuan….banyak dikabulkan daripada tidak. Kenyataane sakderenge kulo mlebet ten Pangestu kalih pun mlebet niku bentene katah…Jaman riyen maem kurang, nyandang boten utuh, papan kurang apik, kulo gih boten ngetok-ngetoke lek maringi Gusti Allah. Kulo tumut Pangestu sekedik-sekedik saget mlampah, ekonomi gih pun lancar, tentrem nopo sing dikarepke gih kepareng..ning gih istilahe Pengyuwunan direwangi melek, prihatin, ngurang-ngurangi anggone maem, minum, mutih lan sakpiturute. (W. R. III. 01. 136-151).
178
Perubahan pandangan yang terjadi dalam diri responden terhadap dunia adalah pandangannya bahwa manusia hidup haruslah selalu memiliki cita-cita, mau berusaha, dan terus berdoa dan meminta kepada Tuhan. Maksud dari usaha ini harus selain berusaha mencapai cita-cita juga harus disertai dengan pertobatan dan prihatin. Dengan berusaha dan berdoa maka perubahan kehidupan yang lebih baik akan dikabulkan oleh Tuhan. Gih nyuwun sewu, menawi kulo wong urip niku kedah gadah citacita, tujuan, menawi boten gadah lha kengeng nopo ndadak urip. Pedomane wong urip niku enek sing nguripi gih enten sing njatah, sepanjang kita usaha nek naming jatahke gih keliru. (W. R. III. 02. 432-436). Responden mengungkapkan bahwa secara keseluruhan masih dirasakan perasaan was-was walaupun sedikit. Menurut responden seorang itu tidak mungkin melepaskan perasaan kuatirnya seratus persen akan hidup. Bagi responden dalam hidup ini harus ada perencanaan untuk masa depan. Perasaan was-was ini timbul dalam merintis kemudian menjalani perencanaan hidup itu. Sekarang pakdhe ada ga perasaan was-was, kuatir, tentang kehidupan masa depan itu gimana? Gih sedikit masih ada. Gih wong niku nek ken nglepas 100% rasa kuatire niku gih boten enten. Misale mawon mikir masalah ekonomi keluarga, wonten ing mriku kan wonten rancangan-rancangan hidup. Rancangan hidup niki gih kedah dipun rintis lan jalani. (W. R. III. 02. 410-416).
179
Namun responden sudah menerima dan sangat bersyukur dengan kehidupannya sekarang. Tapi responden belum merasa puas, karena tujuannya belum tercapai. Tujuan responden adalah mampu manunggal dengan Tuhan, dan responden terus berusaha sampai sekarang dengan rutin melakukan panembah dan prihatin. Salah ritual prihatin yang dilakukan responden adalah tiap tengah malam berjalan mengelilingi kampung. Dalam satu kesempatan pernah ditanyakan mengapa hal itu dilakukan, dan responden hanya menjawab tidak ada alasan apa-apa. Jawaban ini diikuti senyuman istrinya. Ketika ditanyakan ada perasaan apa ketika melakukan prihatin tiap tengah malam, responden pun hanya menjawab tidak ada dan hanya ingin melakukannya saja. Kalau disimpulkan kehidupan pakdhe sekarang, dah puas, atau dah cukup senang? Kalau puas belum mbak. Kalau cukup sudah, ya cukup sandang, papan, pangan, tapi belum merasa puas. Kalau sudah merasa puas berarti sudah tidak mau melaksanakan apa-apa di dunia ini, karena selama orang merasa puas niku citacitane ten donyo pun ilang. Sudah menerima atau bersyukur? Sudah nerima, bersyukur, ucapan terima kasih pada Tuhan, tapi belum merasa puas amargo belum keturutan tujuane.Tujuane gih muk pengen waktu sembahyang bisa menyatu dengan Gusti Allah. Nek wong Pangestu cita-citane muk niku, padahal yang bisa menyatu dengan Tuhan itu jarang bisa. Mbok bilih diparengke mengke kan saget menyatu atau manunggal kawulo Gusti. Kulo satu bulan penuh niki yen bengi mlaku-mlaku ngubengi kampung
180
sampai jam 12 malem baru masuk rumah. Masuk rumah, sembahyang trus tidur. Ini merupakan suatu yang dinamakan sesirih atau Prihatin. (W. R. III. 02. 483-499). Responden satu kali pernah mengakui bahwa jika melakukan manembah sampai heneng dan hening rasanya enak dan ingin terus mengulangi. Ini menunjukkan bahwa ada dorongan dalam diri responden untuk mengulangi pengalaman mistik itu (W. R. III. 01. 111-114).
D. ANALISIS DATA Pada tahap analisis data peneliti menyajikan data hasil wawancara yang telah di koding secara satuan dalam matriks per tema dalam penelitian. Tabel 6 Analisis Data Tema Ajaran Pangestu Tema
Kategori
Verbatim
Suksma Kawekas
AJARAN
Ketuhanan (tripurusa)
Suksma Sejati Roh Suci
Manusia dan Candra Jiwa
Mistik
Tripurusa sinar,cahaya,atau
(W. R. I. 12-37); (W. R. II. 01. 43-56); (W. R. III. 01. 47-54); (W. R. III. 55-60).
Manunggaling Kawula Gusti
menurut
ketiga
pepadhang.
(W. R. I. 08-11); (W. R. I. 38-48); (W. R. I. 01. 49-55); (W. R. 01. 210-227); (W. R. I. 02. 448-464); (W. R. I. 02. 473-488); (W. R. II. 01. 23-42); (W. R. II. 01. 57-64); (W. R. II. 01. 65-75); (W. R. II. 01. 76-94); (W. R. II. 01. 106-116); (W. R. II. 01. 160-172); (W. R . II. 02. 233-252); (W. R. III. 01. 25-46); (W. R. III. 01. 63-66). (W. R. I. 01. 150-155); (W. R. II. I. 03. 490504); (W. R. I. 03. 519-529); (W. R. II. 01. 95101); (W. R. II. 01. 117-141); (W. R. II. 02. 253-265); (W. R. II. 02. 266-270).
responden Tripurusa
sering diumpamakan adalah
Tuhan
yang
dengan bersifat
181
tiga,diumpamakan seperti lampu yang bersinar. Orang pangestu sangat percaya pada satu Tuhan, namun sifat Tuhan ini memancar,memancarkan sinarnya kepada manusia. Sedangkan manusia dalam ajaran pangestu sesungguhnya adalah roh yang suci. Semua manusia dianggap roh suci. Menurut ajaran pangestu manusia adalah lahir bersama saudara tujuh, yaitu empat nafsu dan tiga angan-angan yang merupakan gambaran tripurusa. Jadi sejak lahir manusia sebenarnya telah memiliki kesucian karena mempunyai gambaran tripurusa atau Tuhan dalam jiwanya. Candra jiwa dalam ajaran pangestu menerangkan bahwa jiwa manusia diibaratkan seperti kereta kencana yang ditumpangi oleh roh suci. Kereta kencana ditarik oleh empat kuda yang diibaratkan sebagai nafsu, dan dikendalikan oleh seorang kusir yang diibaratkan sebagai angan-angan. Jika kereta kencana telah diberi pepadhang oleh Tuhan maka perjalanannya terkontrol oleh kebaikan sifat Tuhan. Tapi jika tidak maka jiwa manusia akan dikuasai oleh empat nafsu, perjalanan kereta terbawa oleh lari kuda. Dan jika begitu maka hidup manusia tidak akan tenang, karena jiwa nya tak tahu kemana tujuan dan arahnya. Jiwa manusia yang telah terang, disinari oleh cahaya Tuhan karena telah mampu mengalahkan empat nafsu mewujudkan pribadi manusia yang berbudi luhur. Dalam ajaran pangestu, pribadi yang berbudi luhur memiliki lima watak utama yang disebut pancasila. Selama pengambilan data, perwujudan menjadi manusia yang budi luhur inilah yang sering diungkapkan oleh responden. Keseluruhan wawancara dari ketiga responden menunjukkan bahwa tujuan dari
182
ajaran dan ritual yang dihayati oleh seluruh warga pangestu adalah pancasila, yaitu manusia yang memiliki lima watak utama,manusia berbudi luhur. Usaha mistik adalah untuk mencapai itu semua. Pribadi yang berbudi luhur akan tercapai jika seseorang memahami ajaran pangestu, menghayatinya, dan melaksanakannya. Keseluruhan responden menyatakan bahwa sangatlah tidak mudah untuk benar-benar menjalankan ajaran pangestu sehingga seorang dapat dikatakan “berbudi luhur”. Usaha yang sangat sering diungkapkan responden terkait dengan mistik adalah panembah. Responden I menyatakan dengan jelas bahwa keadaan mistik, yaitu adanya kontak dengan alam semesta dan Tuhan hanya dirasakan selama panembah. Manunggaling kawula lan Gusti tercapai ketika manusia menjalankan panembah dengan sempurna. Tabel 7 Analisis Data Tema Pengalaman Mistik Ritual Panembah Tema
Pengertian
Kategori
Pengalaman Mistik
Pengalaman berarti barang apa yang dirasakan. Jadi pengalaman mistik adalah merasakan mistik. Mistik mengandung arti: 1) Adanya kontak antara manusia, alam
Alam Semesta (*alam = lingkungan sekitar)
Verbatim (W. R. I. 01. 72-74); (W. R. I. 01. 75-77); (W. R. I. 02. 234-250); (W. R. I. 02. 251316); (W. R. I. 02. 340-352); (W. R. I. 02. 367-373); (W. R. I. 02. 375-381); (W. R. I. 02. 417-427); (W. R. I. 02. 428-443); (W. R. I. 03. 505-509); (W. R. I. 03. 530-546); (W. R. I. 03. 557-567); (W. R. I. 03. 570571); (W. R. I. 03. 602-610); (W. R. I. 03. 618-622); (W. R. I. 623-630); (W. R. II. 03. 334-342); (W. R. II. 03. 348-352); (W. R. II. 03. 353-362); (W. R. II. 03. 364-373); (W. R. II. 03. 374-378); (W. R. II. 03. 379387); (W. R. II. 03. 388-391); (W. R. II. 03. 399-404); (W. R. II. 03. 405-419); (W. R. II. 03. 427-235); (W. R. II. 03. 449-464); (W. R. II. 03. 473-482); (W. R. II. 03. 483487); (W. R. II. 03. 489-492); (W. R. II. 03. 498-506); (W. R. II. 03. 633-642); (W. R. III. 01. 104-117); (W. R. III. 01. 167-173); (W. R. III. 01. 176-189);
183
Lanjutan tabel 7 Tema
Pengertian
Kategori
(W. R. III. 02. 292-297); (W. R. III. 02. 298-302); (W. R. III. 02. 304-307); (W. R. III. 02. 308-310); (W. R. III. 02. 326-225).
2) Persatuan mesra antara ruh manusia;
PENGALAMAN MISTIK
3) Persatuan langsung
(W. R. I. 02. 353-361); (W. R. I . 02. 362366); (W. R. I. 02. 382-389); (W. R. I. 02. 390-396); (W. R. I. 02. 406-416); (W. R. I. 03. 490-504); (W. R. I. 03. 510-529); (W. R. I. 03. 611-617); (W. R. II. 03. 420-426); (W. R. II. 03. 436-448); (W. R. II. 03. 493497); (W. R. III. 01. 128-136); (W. R. III. 01. 163-166); (W. R. III. 01. 175); (W. R. III. 02. 311-323).
dengan Dzat ketuhanan dan perjuangan bergairah ke arah itu. Pengalaman mistik adalah merasakan suatu
Verbatim
Tuhan
kondisi mistik yaitu adanya kontak dan bisa berupa persatuan antara manusia dengan alam semesta dan Tuhan
Pengalaman mistik yang dialami oleh ketiga responden berbeda satu sama lain. Hal ini ternyata sesuai dengan tingkatan panembah yang dijalankan. Dari ketiga responden, responden I memiliki gambaran yang paling kaya tentang pengalaman mistik. Responden I telah menjalankan sembah rasa, panembah tingkat ketiga walaupun dirinya masih merasa belum dapat dikatakan berbudi luhur. Karena pengalamannya tentang manunggal baru saja dirasakan setelah sekian lama menghayati ajaran pangestu. Setiap tingkatan panembah memiliki gambaran pengalaman yang berbeda-beda. Pengalaman ini juga memiliki tahapan yang sesuai dengan tahapan dalam panembah.
184
Berdasarkan data selama wawancara ditemukan ada tiga tahapan pengalaman mistik yang dirasakan yaitu heneng, hening, dan luyut. Setelah dikroscekkan dengan data sekunder dari kitab Sasangka Djati, gambaran setiap tahapan pengalaman ini sesuai dengan tiap tingkatan panembah. Dari data primer melalui wawancara ini juga ditemukan bahwa terjadi perubahan kesadaran setiap responden mulai memasuki tahapan pengalaman heneng, hening, dan luyut. Perubahan kesadaran ini adalah dari kesadaran individu akan kehidupan dunia menjadi kesadaran tunggal akan kehadiran Tuhan. Perubahan ini ditandai dengan lupa segala-galanya, tidak merasakan apa-apa, tubuh terasa ringan, tidak terasa batas antara tubuh dan alam, kosong, tidak mendengar apa-apa, merasa hanya ada titik di hati yang menghubungkan dengan Tuhan. Dari data hasil wawancara hanya reponden I dan II yang merasakan hal ini dan keduanya mengaku merasa bahagia ketika pengalaman ini terjadi. Tabel 8 Analisis Data Tema Realisasi Diri
REALISASI DIRI
Tema
Ciri
Indikator
Verbatim
Penerimaan dan
Kesadaran dan toleransi
(W. R. I. 03. 598-657); (W.
toleransi terhadap
terhadap kodrat
R. II. 03. 1112-1131); (W.
kodrat manusia pada
manusia
R. III. 02. 501-512).
umumnya serta
Empati terhadap
(W. R. I. 03. 659-708); W.
memiliki kesadaran dan
masalah kemanusiaan
R. II. 03. 1132-11420); (W.
toleransi yang lebih
tanpa memandang
R. III. 01. 184-189); (W. R.
besar terhadap kondisi
perbedaan ras,
III. 02. 530-542); (W.R. I.
umat manusia sehingga
golongan, dan agama.
03. 543-545)
merasa lebih empati dengan masalah.
185
Lanjutan tabel 8 Tema
Ciri
Indikator
Verbatim
Menerima apa yang
Menerima gejala-gejala
(W. R. I. 03. 709-716); (W.
tidak diketahui dan
supranatural dan
R. I. 03. 717-727); (W. R. I.
misterius, menerima
irasional
03. 728-736); (W. R. I. 03.
kemanusiaan tanpa memandanga ras,
REALISASI DRI
golongan, dan agama
dalam kesadaran dan
737-746); (W. R. I. 03.
ketidaksadaran, serta
747-759); (W. R. I. 03.
adanya faktor-faktor
762-778); (W. R. I. 03.
irasional. Hal ini juga
627-630); (W. R. I. 03.
meliputi gejala
552-556);
supranatural dan
(W. R. II. 03. 1101-1112);
spiritual yang
(W. R. II. 03. 1143-1146).
mencangkup
Menerima gejala-gejala
(W. R. I. 03. 792-813); (W.
kepercayaan terhadap
spiritual dan
R. I. 03. 814-821); (W. R. I.
kewaskitaan dan
kepercayaan kepada
03. 689-697); (W. R. I. 03.
kepercayaan terhadap
Tuhan.
654-657);
Tuhan
W. R. I. 03. 564-567); W. R. I. 03. 519-529); (W. R. I. 03. 494-504); (W. R. I. 354-361); (W. R. I. 03. 150-157); (W.R. I. 03 404405); (W. R. II. 02. 587596); (W. R. II. 02. 597605); (W. R. II. 02. 665674); (W. R. II. 02. 675702); (W. R. II. 02. 807812); (W. R. II. 02. 855870); (W. R. II. 02. 892900); (W. R. II. 02. 1062);
186
Lanjutan tabel 8 Tema
Ciri
Indikator
Verbatim (W. R. III. 01. 134-136); (W. R. III. 01 198-202); (W. R. III. 02. 291-297); (W. R. III. 02. 443-445); (W. R. III. 02. 453-459); (W. R. III. 02. 465-471); (W. R. III. 02. 475-477); (W. R. III. 02. 493-500);
REALISASI DIRI
(W. R. III. 02. 505-509). Memiliki kepribadian
Ungkapan self. Self
(W. R. I. 02. 159-168); (W.
yang universal karena
meliputi psyche
R. I. 02. 170-173); (W. R. I.
tidak ada satupun segi
manusia yang seimbang
02. 180-183); (W. R. I. 02.
kepribadian yang
dalam pusatnya. Self
186-206); (W. R. I. 03.
dominan.
menyatukan tanpa
544-552); (W. R. II. 02.
kontradiksi dari kutub-
587-596); (W. R. II. 02.
kutub jiwa. Self adalah
646-654); (W. R. II. 02.
arketip yang
655-665); (W. R. II. 02.
memotivasi perjuangan
782-786); (W. R. II. 02.
orang menuju
787-829); (W. R. II. 02.
keutuhan, titik pusat
855-870); (W. R. III. 02.
kepribadian,
367-378); (W. R. III. 03.
mempersatukan sistem-
379-380); (W. R. III. 03.
sistem dan memberikan
381-386); (W. R. III. 03.
kepribadian dengan
396-401); 850-872); (W. R.
kesatuan,
I. 03. 873-891); (W. R. II.
keseimbangan, dan
02. 189-192); (W. R. II. 02.
kestabilan pada
193-215); (W. R. II. 02.
kepribadian.
216-232; (W. R. II. 02. 529-532); (W. R. II. 02. 538-542).
187
Data primer hasil wawancara diatas menunjukkan bahwa ketiga responden memenuhi dua ciri pertama realisasi diri,yaitu toleransi yang lebih besar terhadap kemanusiaan dan menerima yang misterius, keadaan yang irasional, supranatural, dan spiritual. Hal ini ditunjukkan dengan sikap responden yang menerima perbedaan agama,ras,golongan, dan kepercayaan. Ketiga responden juga sangat mempercayai adanya Tuhan karena inilah pondasi dasar dalam pengalaman mistiknya ketika melakukan panembah. Responden juga menunjukkan sikap yang percaya pada banyak hal yang misterius, khususnya yang menyangkut tentang alam semesta. Sesuai dengan ajaran pangestu bahwa Tuhan menciptakan dunia dan alam semesta
beserta dengan mahkluk-mahkluknya baik mahkluk yang
berbadan kasar seperti manusia dan mahkluk yang berbadan halus yang tidak kasat mata. Berbeda dengan ciri pertama dan kedua realisasi diri, ciri ketiga menunjukkan hasil yang sulit disesuakan dengan keadaan seluruh responden. Responden mengaku terjadi banyak perubahan dalam diri dan kehidupannya namun perubahan ini belum menunjukkan suatu kepribadian yang universal. Keperibadian yang universal adalah pribadi yang mampu menyeimbangkan kutub-kutub dalam kepribadiannya, antara kesadaran dan ketidaksadaran, antara ego dan shadow, antara anima dan animus. Artinya individu ini telah mampu mengembangkan arketip self dalam kepribadiaannya. Tujuan ini belum tercapai karena keseluruhan responden mengaku masih banyak kekurangan dalam menjalankan ajaran pangestu sepenuhnya. Namun ketiga responden terus berusaha untuk mencapainya, terbukti dengan perubahan yang terus terjadi pada diri dan
188
hidup responden. Satu perubahan yang sering diungkapkan adalah perubahan dari seorang yang emosional, kurang iklas dalam menolong sesama, cepat marah, dan berperilaku buruk menjadi seorang yang lebih sabar, narimo, iklas dalam memberi pertolongan, tidak cepat marah, dan berperilaku baik. Tabel 9 Analisis Data tema Aktualisasi Diri melalui Pengalaman Mistik (Peakers) Tema
Kategori
Ciri
Verbatim
Hilangnya simptomp neurotic (*neurotic = halangan untuk memperoleh kepuasan menghalangi gerak maju
II. 03. 915-935); (W. R. II. 03. 940-945); (W. R. III. 03. 410421)
menuju aktualisasi diri (W. R. I. 02. 162-163); (W. R. I. 03. 853-856); (W. R. I. 03. 873-877); (W. R. II. 02. 210-
Efek
(peakers)
Aktualisasi diri melalui pengalaman mistik
kebutuhan dasar dan
(W. R. I. 03. 892-898); (W. R.
225); (W. R. II. 02. 205-209);
pengalaman mistik dalam
Melihat diri sendiri lebih
jangka waktu
sehat
lama
(W. R. II. 02. 226-230); (W. R. II. 02. 465-471); (W. R. II. 03. 646-654); (W. R. II. 03. 702-704); (W. R. II. 03. 776789); (W. R. II. 03. 825-827); (W. R. II. 03. 827-865); (W. R. III. 03. 177-173).
Perubahan pandangan
(W. R. I. 03. 699-708); (W. R.
diri mengenai dunia
I. 03. 856-857); (W. R. I. 03.
(*dunia = alam
877-891); (W. R. II. 02. 440-
kehidupan, lingkungan,
441); (W. R. II. 02. 442-441);
segala yang bersifat
(W. R. II. 02. 442-468); (W.
kebendaan)
R. II. 02. 551-565); (W. R. II.
189
Lanjutan tabel 9 Tema
Kategori
Ciri
Verbatim 02. 571-586); (W. R. II. 02. 656-658); (W. R. II. 03. 675680); (W. R. II. 03. 720-769); (W. R. II. 03. 790-795); (W. R. II. 03. 940-954); (W. R. II. 03. 1015-1028); (W. R. II. 03. 1065-1080); (W. R. III. 02. 219); (W. R. III. 02. 241-260); (W. R. III. 02. 274-285).
Efek
(peakers)
Aktualisasi diri melalui pengalaman mistik
144-162); (W. R. III. 02. 206-
pengalaman
Perubahan pandangan
(W. R. I. 02. 174-182); (W. R.
mengenai orang lain
I. 02. 393-405); (W. R. I. 03.
dan hubunganya
654-656); (W. R. I. 03. 686-
dengan orang lain
688); (W. R. II. 02. 659-674); (W. R. II. 03. 900-914); (W.
mistik dalam
R. II. 03. 1000-1025); (W. R.
jangka waktu
III. 02. 372-378); (W. R. III.
lama
380). Munculnya kreativitas,
(W. R. I. 02. 319-325); 9W.
spontanitas, dan
R. I. 03. 677-688); (W. R. II.
kemampuan
01. 29-35); (W. R. II. 02. 181-
mengekspresikan diri.
191); (W. R. II. 02. 603-605);
(*kreativitas = berdaya
(W. R. II. 02. 730-740); (W.
cipta dan original,
R. II. 02. 961-985); (W. R. III.
spontanitas = asli,
115-120); (W. R. III. 02. 135-
inventif, inovatif)
136); (W. R. III. 02. 387-393); (W. R. III. 02. 396-409). (W. R. III. 02. 449-459).
Kecenderungan
(W. R. I. 03. 860-863); (W. R.
melihat kehidupan
I. 01. 155-159); (W. R. II. 02.
190
Lanjutan tabel 9 Kategori
Ciri
322-332); (W. R. II. 919-
berharga
937); (W. R. II. 02. 10441045); (W. R. III. 03. 597-
pengalaman mistik dalam jangka waktu lama
Verbatim
secara umum lebih Efek
(peakers)
pengalaman mistik
Aktualisasi diri melalui
Tema
596). Kecenderungan
(W. R. I. 01. 80-84); (W. R. I.
mengingat pengalaman
01. 98-123); (W. R. II. 02.
puncak dan berusaha
1044-1045); (W. R. III. 01.
mengulanginya
111-114);
Efek atau pengaruh pengalaman mistik dalam jangka waktu lama pada ketiga responden dalam penelitian ini kurang lebih menunjukkan hasil yang sama dengan teori Maslow. Dengan jelas responden mengaku bahwa banyak perubahan yang terjadi dalam diri dan kehidupan responden. Ketiga responden menunjukkan hasil yang kurang lebihnya mirip, hanya satu pertanyaan saja yang menunjukkan hasil yang berbeda antara satu responden dengan dua responden yang lainnya. Responden I mengaku bahwa tidak ada lagi perasaan cemas akan masa depan atau hari esoknya nanti. Sedangkan responden II dan III mengaku masih ada perasaan cemas akan masa depan dan hari esok dia dan keluarganya. Pertanyaan selebihnya menunjukkan jawaban yang kurang lebih sama antara ketiga responden. Pada intinya keseluruhan responden mengaku ada perubahan dalam pandangan pada diri sendiri,orang lain,dunia secara keseluruhan, kehidupan, dan minat. Ketiga responden cenderung merasa lebih sehat, tenang, tentram, dan bahagia. Ketiganya juga terus berusaha mengulang pengalaman
191
mistiknya dalam melakukan panembah hingga mampu merasakan manunggal dengan Tuhan. E. PEMBAHASAN Pada tahap ini peneliti menganalisis dan menerjemahkan hasil temuan penelitian. Hasil temuan yang telah dimasukkan ke dalam kategori-kategori kemudian akan dilanjutkan ke dalam proses penafsiran dan penerjemahan. Proses penafsiran dan penerjemahan ini akan peneliti lakukan dengan membandingkan, mencari hubungan sebab-akibat, mencari keterkaitan antara satu kategori dengan kategori yang lain untuk mendapatkan pola hubungan antarkategori untuk kemudian mendapatkan jawaban dari pertanyaan penelitian yang peneliti ajukan. Peneliti juga akan menggunakan proses pembandingan dengan sumber data sekunder dari kitab Pangestu, buku hasil penelitian tentang pangestu, dan beberapa dokumen ceramah pangestu yang diberikan oleh responden serta teori psikologi analitik Jung dan humanistik Maslow. 1. Identifikasi Pengalaman Mistik Pengalaman mistik adalah merasakan suatu keadaan mistik yaitu adanya kontak yang bisa berupa persatuan antara manusia dengan alam semesta dan Tuhan. Pengalaman ini melebihi pengalaman intelektual belaka. Di dalam pengalaman mistik terjadi perubahan kesadaran atau transformasi kesadaran dari kesadaran mental spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-ilahiah (Hilmy, 2006). Bersifat empiris berarti bersifat nyata dan konkret. Kesadaran mental-spiritual yang bersifat nyata ini akan dirubah menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-ilahiah. Transpersonal
192
berasal dari kata trans yang berarti diatas (beyond, over) dan personal yang berarti diri. Dalam pengalaman mistik kesadaran mental-spiritual yang masih bersifat empiris ini akan berubah menjadi kesadaran yang melebihi atau diatas kesadaran tentang diri dan kesadaran ini bersifat tunggal-ilahiah. Pengertian ini menunjukkan adanya persatuan atau peleburan kesadaran yang melebihi kesadaran tentang diri menuju ke kesadaran yang lebih luas, dan lebih tinggi yaitu Tuhan. Menurut psikologi transpersonal, transformasi kesadaran adalah mengenai pengalaman-pengalaman yang mendalam, perasaan keterhubungan dengan pusat kesadaran semesta dan penyatuan dengan alam (Tart, 2001). Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh responden I bahwa ketika melakukan responden merasa kosong dan tidak ada apa-apa (W. R. I. 01. 76-77). Perasaan kosong dan tidak apa-apa adalah suatu gambaran pikiran dan perasaan yang lupa segalanya atau tidak ingat apa-apa. Segala fungsi tubuh, baik perasaan dan pikiran hanya ditujukan pada satu arah yaitu Tuhan. Ucapan, ingatan, dan perasaan hanya difokuskan pada satu tujuan dan tidak ada yang lain. Melupakan segalanya? Iya, melupakan segalanya…. setelah kita mulai manembah, pikiran itu yah tidak kemana-kemana, melupakan segala-galanya, menuju ke satu arah. Satu arah. Pengertiannya satu arah itu hanya kepada Yang Maha Pencipta atau kepada Tuhan. (W. R. I. 02. 256-301) Hal ini dilakukan dan diresapi dengan sangat dalam artinya fokus dari fungsi mental ditujukan pada satu tempat, yaitu hati terdalam, lubuk hati atau telenge manah.
193
Tuhan itu yah tampatnya dimana-mana, besarnya sedunia ini, mungkin lebih besar lagi tapi bisa dikatakan kecil karena sudah berada di istilahnya telenge manah. Apa ya? Lubuk hati. (W. R. I. 02. 302-305) Sebagaimana yang dikatakan oleh Geertz bahwa hati atau manah dianggap orang Jawa sebagai inti dari individu manusia, pusat yang dalam dari eksistensinya, dan suatu lokasi rohaniah, tempat dimana dirinya yang sejati yakni Tuhan dapat ditemui (Geertz, 1989). Keadaan yang lupa segalanya lebih ditegaskan dengan melupakan keduniawian. Artinya melupakan segala urusan yang baru beberapa detik ditinggalkan dan termasuk juga segala bentuk urusan yang ditangkap panca indera seketika setelah ritual panembah dimulai. Nggih, melupakan keduniawian ngoten lhe mbak. Dadi niate mung nyaket thok, dadi teng mriki (menunjuk ke dada) damai dan selamat. (W. R. II. 03. 354-356). Inilah yang dimaksud dengan “merubah kesadaran mental-spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-ilahiah”. Segala hal keduniawian yang empiris dan dapat ditangkap oleh panca indera ditinggalkan dalam pengalaman mistik. Tidak ada yang dilihat, didengar, dirasa, dan diraba. Kosong sama sekali. Suatu pengalaman yang dalam karena membutuhkan kepasrahan dan keiklasan yang total atas segala hal menuju satu tujuan yaitu Tuhan. Semua masalah dunia baik itu kesulitan hidup ataupun kebahagiaan harus ditinggalkan.
194
Pikirane nggih, harus di kosongkan pikirkan itu harus kosong mbak. Semua keduniawan koyo wis ditinggal-nggal tenan, ngoten nika. Koyo-koyo nek belajar wis nglaleke, sing arep dipikir-pikir yo wis iklasno ngoten nika. Tapi tidak setiap doa itu bisa tercapai seperti itu. (W. R. II. 03. 400-404). Ketika kesadaran ini telah berubah yaitu dari kesadaran mental spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggalilahiah yang terjadi adalah suatu keadaan yang benar-benar kosong, sama sekali kosong. Pengalaman mistik yang artinya mengalami mistik adalah mengalami kekosongan. Pada saat ini pikiran dan perasaan hanya menuju pada Tuhan dan benar-benar merasuk ke dalam hati sanubari. Dan ketika benar-benar kosong inilah yang disebut sebagai manunggal. Maksudnya manunggal itu… seperti yang saya katakan kemarin dalam hati kecil atau perasaan saat melaksanakan manembah berlaku manunggal, pikiran tidak memikirkan hal-hal lain selain Gusti Allah. Jadi harus konsentrasilah intinya seperti itu. Ada sesuatu atau hal-hal lain itu sedapat mungkin dilupakan . Jadi saya merasa hanya berhadapan sama Tuhan, melupakan hal-hal lain. Istilahnya jika saya merasa di sini, Tuhan di depan saya, perasaanya begitu. Ini kalau dijabarkan panjang, tapi intinya ya seperti tadi, istilahnya melupakan segala sesuatu apapun situasi yang ada di dunia ini dan saat itu hati kita fokus hanya satu arah berhadapan dengan Tuhan. (W. R. I. 03. 494-504).
195
Kekosongan inilah yang dianggap sebagai kontak atau persatuan antara manusia dengan Tuhan, manunggaling kawula lan Gusti. Pada saat ini benarbenar dirasakan bahwa tidak ada yang lain selain “aku” dan Tuhan. pada saat melakukan panembah ini benar-benar rasa saya di hadapan Tuhan, begitu. Rasanya tuh apakah eyang benar-benar merasakan disitu hanya ada eyang sendiri dan Sang Maha Pencipta atau masih ada gangguan?? Ya, yang jelas hanya saya dan Maha Pencipta. Tidak ada yang lain. (W. R. I. 360-366). Saat ini terjadi, batin adalah sama sekali kosong. Tak ada apa-apa sama sekali, hanya ada titik di hati yang menghubungkan diri dengan Tuhan, seperti yang diungkapkan responden I, “Pada saat luyut, tidak bisa merasakan sama sekali hanya titik di hati. Seolah-olah ada tali yang menghubungkan dengan Tuhan, hanya begitu”. Jika ada apa-apa, atau merasakan atau mendengar atau melihat itu bukan. Dalam ajaran pangestu Tuhan sama sekali tak dapat digambarkan, ora rupa, ora iso dirupakake. Kontak dengan Tuhan adalah suatu keadaan yang benar-benar kosong dan tidak ada apa-apa. Dalam pengertian warga pangestu inilah yang disebut dengan manunggaling kawula Gusti. Keadaan manunggal adalah suatu keadaan yang tanpa isi sama sekali. Ketika fungsi mental telah kehilangan kontak dengan segala hal yang berhubungan dengan keduniawian ada satu tekanan yang harus diperhatikan bahwa pertemuan dengan Tuhan adalah alam kosong, tak ada isi sama sekali, yang dalam banyak tulisan mistik Jawa disebut sebagai alam suwung.
196
Tekanan ini penting karena dalam pengalaman mistik bukan tidak mungkin ada satu penampakan yang mengaku sebagai Tuhan. Warga pangestu selalu menegaskan hal ini, bahwa Tuhan bersifat immaterial, tidak dapat dicapai dengan panca indera, berada di luar maupun di dalam, berada di mana-mana mencakup alam semesta seisinya. Responden I menjelaskan bahwa terkadang ketika pikiran dan perasaan sudah mulai lupa dengan hal-hal keduniawian maka bisa terjadi gangguan dengan melihat sesosok dan mendengar bahwa sosok itu mengatakan dirinya adalah Tuhan. Jika ini terjadi maka panembahnya belum mencapai manunggal. tapi kalau perasaan masih tergambar rumongso aku urip koyo ngono, ada sesuatu merupakan gambaran itu Bukan….sebenarnya tidak ada apa-apa, tapi kalau masih merasa ada, itu tetap bukan….sulit ya? Apa kadang-kadang merasa ada apa-apa? Ya. Apanya itu apa? Saya sudah konsentrasi secara benar sampai hening, perasaan saya satu, saya berhadapan dengan Tuhan…oh ini saya ketemu Tuhan rupa dan bentuknya seperti ini…oh ternyata bukan. Apa kadang-kadang seperti itu? Ya….namanya hawa nafsu sodara ke 4 tadi masih mengganggu…jadi bisa aja terjadi demikian. Apa pernah terjadi? Ya….Melihat sesosok? Ya… Apa? Ya hanya seperti tubuh manusia. Godaan bisa saya katakana syetan…ya bentuk dan rupanya seperti manusia. (W. R. I. 03. 52546).
197
Pengalaman
manunggal
dalam
panembah
ini seperti
apa
yang
diungkapkan koltko (1989) bahwa pengalaman transpersonal adalah suatu pengalaman yang melebihi pengalaman intelektual belaka, batas diri digambarkan secara lebih luas dan kemudian hilang secara bersama-sama, dan situasi ini adalah ketika rasa seseorang tentang identitas meluas melebihi batas kepribadian. Tidak ada batas antara individu dan alam semesta, yang ada hanya kekosongan, suwung, remang-remang namun dalam sanubari merasa bahwa ada hubungan atau kontak dengan Tuhan. Responden I mengatakan sepanjang itu semua terjadi ada perasaan nalongso, penuh dosa, dan ingin bertaubat. Kontak atau hubungan terjadi melalui suatu doa atau permohonan namun dengan keyakinan yang amat sangat bahwa seketika itu dia benar-benar dihadapan atau dipangkuan Tuhan. Suasana ini membawa pada satu hasil akhir yang luar biasa. Secara emosional seluruh responden mengaku bahwa ketika pengalaman mistik terjadi, ketika kesadaranya seketika berubah dari empiris menjadi transpersonal hanya ada perasaan bahagia. Ini tak ubahnya sebagai suatu keajaiban menurut responden II. Hati merasa tenang, tentram, dan damai karena tidak merasakan apa-apa. Mboten ngrasake pripun-pripun ngaten, koyo dene suatu keajaiban ngaten nika, dadi awak ki ngrasake penak thok… Secara emosional gimana? Secara emosional…mah… sedih.. seneng. Seneng, tentrem og. Nek khusyuk tenan niku tenang…seneng…perasaane ki damai seneng! (W. R. I. 02. 382-391) Hal ini mirip apa yang disebut oleh Prof. Nurcholis Madjid sebagai kemabukan mistik. Prof. Nurcholis Madjid menjelaskan hal ini dalam tulisannya
198
tentang mistisisme Islam. Satu hal pokok dalam pembicaraan tentang mistik yaitu adanya keyakinan dan penghayatan yang dalam akan kehadirat Tuhan. Mistik mampu membangun ruang personal antara individu dengan Tuhan, dan disinilah letak penghayatan keagamaan yang tertinggi. Mengutip tulisan Prof. Nurcholis Madjid, pengalaman mistik tertinggi menghasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase, suatu kemabukan mistik dimana individu tidak menyadari hal lain selain keberadaan Tuhan. Prof. Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa meskipun pengalaman mistik hanyalah suatu kejadian sementara (transitory), namun relevansinya bagi pembentukan budi pekerti akan bersifat abadi. Sebab dalam pengamalan intense sesaat itu orang berhasil menangkap suatu kebenaran yang utuh. Kesadaran akan kebenaran itulah yang menimbulkan rasa bahagia dan tentram yang mendalam. Dan inilah yang dimaksud oleh Geertz (1989) bahwa tujuan dari semua mistik adalah pencapaian ”rasa yang tertinggi”, yaitu rasa bahagia dan tentram yang mendalam. Perubahan
kesadaran
dalam
pengalaman
mistik
oleh
psikologi
transpersonal disebut dengan altered state of consciousness (ASC). ASC ini dapat dicapai melalui hypnosis, meditasi, berdoa, yoga, atau dzikir. Pengalaman mistik dalam ritual panembah ini tidak jauh berbeda dengan dengan berdoa, dzikir, dan meditasi. Pada tingkatan sembah raga, panembah akan diikuti dengan dzikir dengan mengucapkan hu-Allah berulang-ulang, dan dalam seluruh tingakatan panembah selalu ada permohonan dan doa yang akan dipanjatkan. Perubahan yang diungkapkan oleh responden sesuai dengan perubahan yang terukur dalam penelitian Kjellgren, dkk (2008), yaitu:
199
1)
A disturbed time sense (gangguan perasaan tentang waktu): percepatan waktu atau “time standing still”; responden I dan II mengaku bahwa ketika panembah dapat dilakukan dengan khusyuk responden tak merasa jika ternyata panembah telah dilakukan selama 30 menit sampai 1 jam.
2)
Perceptual change (perubahan perseptual): visual dan akustik; responden I mengaku bahwa dalam keadaan manunggal tidak ada apapun yang di dengar ataupun dilihat. Responden kehilangan kontak dengan dunia luar, yang ada hanya kekosongan.
3)
Body image change (perubahan gambaran tubuh): seperti sensasi mengambang atau terbang atau experiencing body-boundaries dissolved (mengalami batas tubuh yang lenyap); responden I mengaku bahwa pada saat luyut atau manunggal tidak bisa merasakan batas antar alam dan diri, yang ada hanya titik di hati. Sedangkan responden II mengaku bahwa ketika khusyuk tubuhnya terasa sangat ringan, tidak merasakan pegal, ataupun kesemutan. Responden II bahkan mengatakan bahwa pengalaman tersebut seperi sebuah keajaiban.
4)
Alteration thingking (pemikiran yang lebih): multi asosiasi, perasaan kreativitas yang meningkat, atau pemikiran magis. Responden I dan II, keduanya mengatakan bahwa dalam pikiran dan ingatan mereka hanya ada gambaran diri yang penuh dosa dan ingin bertaubat. Responden merasa nelangsa.
200
2. Tahapan Pengalaman Mistik Pengalaman mistik dalam penelitian ini adalah pengalaman mistik yang dirasakan ketika melakukan ritual panembah. Dalam pengalaman mistik itu sendiri peneliti simpulkan ada tiga tahapan berdasarkan data yang diperoleh ketika wawancara serta data sekunder dari kitab sasangka jati dan dokumen ceramah pangestu yang dipinjamkan oleh responden kepada peneliti. Tahapan ini sangat berhubungan dengan tingkatan panembah dalam ajaran pangestu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan tulisan Geertz (1989) dan Endraswara (2006) bahwa biasanya ada dua tahapan dalam pengalaman mistik yaitu “neng” dan “ning”. Berdasarkan penjelasan responden ada tiga tahapan ketika pengalaman mistik berlangsung, yaitu: 1) Heneng, adalah suatu tahap dimana pelaku mistik berusaha meninggalkan segala urusan keduniawian, melupakan segala-galanya dan pikiran difokuskan atau ditujukan pada satu arah yaitu Tuhan. Pada tahap ini pelaku mistik harus benar-benar berkonsentrasi penuh untuk meninggalkan segala bentuk urusan dan masalah hidupnya dan kemudian memusatkan pikirannya hanya pada Tuhan. 2) Hening, adalah kejernihan dan ketulusan hati dan pikiran untuk menyembah Tuhan. Segala pujian, permohonan, dan doa harus diresapi sedalam-dalamnya dan ditujukan pada satu titik ke lubuk hati dimana Tuhan dianggap berada. Hal ini membutuhkan konsentrasi yang sangat dan tidak akan tercapai sebelum pelaku mistik dapat melupakan segala hal dan hanya mengingat Tuhan. Dapat diumpamakan hening adalah suatu
201
kedaan dimana dalam keheningan dan kejernihan pikiran, seseorang benarbenar menyembah, memuji, dan memohon hanya kepada Tuhan dengan ketulusan yang dalam. 3) Luyut, perasaan yang tenang, tentram dan kosong meninggalkan segala beban duniawi. Pada tahapan inilah pelaku mistik akan menemui alam suwung karena pada tahap ini pelaku mistik sudah benar-benar lupa segalanya dan hanya merasakan kekosongan. Batas diri telah lenyap, individu merasa lebur dengan alam semesta dan ikut menjadi satu dengan kekosongan itu sendiri. Individu tidak merasakan apa-apa sama sekali hanya titik di hati seolah-olah ada tali yang menghubungkan diri dengan Tuhan. Selanjutnya, tahapan dalam pengalaman mistik ini berkaitan erat dengan tiga tingkatan dalam panembah dan empat tataran panembah. Panembah dalam ajaran pangestu terdiri dari tiga tingkatan, yaitu panembah raga kepada roh suci, panembah roh suci kepada suksma sejati, dan panembah suksma sejati kepada suksma kawekas. Di dalam panembah ini sebenarnya terkandung empat tataran penyembahan, yaitu sembah raga, sembah cipta, sembah kalbu, dan sembah rasa. Berkaitan dengan tahapan pengalaman yang telah disebutkan diatas, setiap tingkatan ternyata menunjukkan tahap pengalaman yang berbeda-beda. Ketiga responden dalam penelitian ini ternyata melakukan tingkatan yang berbeda-beda. Responden I mengaku belum lama merasakan sembah rasa setelah sekian lama mengikuti pangestu, responden II merasa telah melakukan tingkatan sembah kalbu walaupun baru lima tahun benar-benar menghayati ajaran pangestu, sedangkan
202
responden III masih dalam tingkatan sembah raga. Sembah raga dan sembah cipta biasanya dianggap satu tingkatan atau tataran. Tiap tahapan pengalaman mistik dalam tiga tingkatan dan tataran panembah adalah sebagai berikut: 1) Panembah raga kepada roh suci, panembah raga kepada roh suci mengandung tataran sembah raga dan sembah cipta. Dalam kitab sasangka jati dijelaskan bahwa roh suci memiliki sifat Pangeran atau Tuhan yang menguasai empat nafsu (luamah, amarah, supiah, dan mutmainah). Pada tingkatan ini pelaku mistik berusaha ngereh hawa nafsune atau mengekang hawa nafsunya. Dalam mengekang hawa nafsu ini pikiran (cipta) digunakan untuk selalu mengingat Tuhan dan utusannya dengan meluhurkan atau memuji namanya melalui gerakan yang diperagakan. Pada panembah raga kepada roh suci ini berarti bertujuan untuk menciptakan keadaan heneng dalam pengalaman mistik. Seperti yang dirasakan oleh responden I, pada tahap ini tubuh dan panca indera terkadang masih merasakan pegal, letih, ataupun kesemutan. 2) Panembah roh suci kepada suksma sejati, panembah roh suci kepada suksma sejati mengandung tataran sembah kalbu. Pada tahap ini roh suci sudah mampu menguasai hawa nafsunya jadi pikiran (cipta) mulai dapat mengontrol hawa nafsu. Diri tidak lagi diarahkan oleh hawa nafsu karena pikiran sudah mampu menguasai nafsu-nafsu itu. Pada tingkatan ini individu mulai untuk taat dengan kesungguhan dan kesucian hati untuk memasrahkan kuasa dirinya yaitu memasrahkan pikiran (cipta). Artinya
203
pikiran sudah tidak digunakan lagi dan mulai diselamkan kedalam keheningan. Panembah tingkatan yang kedua ini adalah untuk mencapai tahap hening dimana pikiran dapat seolah-olah berpisah dari otak dan individu mulai untuk mengiklaskan segala hal dengan kejernihan dan kesucian batin hingga diri menjadi larut dalam suasana hening. Individu akan merasakan kedamaian dan ketenangan ketika mencapai keheningan. Batas diri sedikit demi sedikit mulai tak terasa. 3) Panembah suksma sejati kepada suksma kawekas, merupakan tumraping laku panunggal atau penerapan dari keadaan manunggal. Pada panembah tingkat ketiga individu benar-benar memasrahkan segalanya kepada kuasa Tuhan. Setelah mampu menundukan hawa nafsu, kemudian merelakan pikiran dan akhirnya pada tahap ini individu memasrahakn angen-angen atau harapan dan keinginan kepada Tuhan. Individu harus membiasakan diri untuk ngukut angen-angene atau meredam segala keinginan agar sedikit demi sedikit dapat sampai pada sadhuwuring budi atau memiliki watak yang budiluhur. Pada tahap ini menunjukkan kepasrahan total kepada Tuhan, batas diri mulai lebur karena tak ada lagi nafsu, kebutuhan, dan keinginan yang ada hanyalah kuasa Tuhan. Hasil akhir dari tingkatan ini adalah keadaan luyut, yaitu lupa akan segala-galanya, yang ada hanyalah kekosongan, tanpa isi sama sekali. Tiap tingkatan ini hanya individu masing-masing yang bisa merasakan. Sama sekali tidak ada patokan bahwa pada kuantitas seberapa individu dapat naik ke tingkatan berikutnya. Diri pribadi yang melakukan dan juga diri sendiri yang
204
merasakan serta memutuskan sudah mampukah untuk melanjutkan ke tingkatan panembah selanjutnya. 3. Realisasi Diri dalam Ajaran Pangestu Menurut ajaran pangestu yang terangkum dalam candra jiwa (Sasangka Djati, 2005; Ceramah Penerangan Pangestu, 2009), manusia terdiri dari tiga struktur jiwa yaitu: 1) Badan jasmani kasar (soma), terdiri
dari tubuh manusia dan lima panca
indera. Panca indera inilah yang menghubungkan manusia dengan dunia luar atau dunia besar (jagad gedhe). 2) Badan jasmani halus (psyche), terdiri dari angan-angan, nafsu, dan perasaan. Angan-angan, merupakan bayangan Tripurusa, terdiri dari cipta atau pikiran (pangaribawa) yang merupakan bayangan roh suci dan memiliki fungsi membayangkan dan menangkap gatra dan wujud. Kedua, adalah nalar (prabawa) yang merupakan bayangan suksma sejati yang berfungsi untuk menghubungkan bayangan yang ada dan ketiga, adalah pengerti (kemayan) yang
merupakan
bayangan
dari
suksma
kawekas
berfungsi
untuk
menimbulkan pengertian setelah melihat keseluruhan fungsi cipta dan nalar. Nafsu terdiri dari empat macam yang terbetuk dari empat anasir yaitu luamah, amarah, sufiah, dan mutmainah. Perasaan adalah hasil dari mempengaruhi (interaksi) antara angan-angan dan nafsu-nafsu. Bila angan-angan dan nafsunafsu selaras maka perasaan menjadi positif yaitu menerima, senang, puas, dsb. Bila yang terjadi adalah sebaliknya maka perasaan menjadi negatif yaitu perasaan menolak, sedih, kecewa, dsb.
205
3) Alam sejati, adalah tempat bertahtanya Tripurusa, kerajaan Allah yang berada di hati sanubari manusia yang suci. Candra jiwa manusia menurut ajaran pangestu ini diibaratkan seperti kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda dengan empat warna dan dikendalikan oleh seorang kusir. Di dalam kereta duduk seorang penumpang menggunakan pakaian jubah dan sorban. Arti dari perumpamaan ini adalah badan jasmani diumpakan sebagai kereta, empat nafsu sebagai kuda, angan-angan diumpamakn sebagai kusir, dan roh suci diumpamakan sebagai penumpang. Manusia dalam pangestu diibaratkan hidup sesuai dengan kereta kencana yang berjalan. Jika kuda dan kusir terprakarsai oleh kehendak penumpang yang telah mendapatkan sinar atau pepadhang dari Tuhan maka hidupnya akan bahagia dan tenang. Kereta kencana diibaratkan seperti kaca. Jika kaca itu bersih dan bening maka sinar Tuhan mampu ditangkap, namun jika kaca itu kotor dan gelap maka sinar Tuhan tak kan mampu menjangkaunya. Kereta kencana atau jiwa manusia dalam ajaran Pangestu dituntun menuju pancasila yaitu menusia dengan lima watak utama, yaitu rila, narima, temen, sabar, dan budi luhur. Lima watak utama ini tercapai dengan menundukan badan jasmani halus pada tri sila yaitu sadar, percaya, dan mituhu (taat). Angan-angan yang terdiri dari cipta, nalar, dan pangerti harus sadar akan rahsa sejati, artinya angen-angen menyadari alam sejati tempat Tripurusa bertahta. Perasaan harus percaya akan rahsa sejati dan alam sejati. Oleh karena itu empat nafsu dapat dikendalikan oleh angan-angan dan akhirnya mampu taat serta selaras akan karsa Tuhan. Hasil akhir dari semua ini adalah manusia hidup tak lagi mengikuti arah
206
kemana empat kuda wujud dari nafsu-nafsu ini berjalan, melainkan arah hidup manusia dikendalikan oleh karsa Tuhan melalui angan-angan yang mampu mengendalikan laju empat nafsu tersebut. Konsep ajaran pangestu tentang manusia ini dapat dibandingkan proses individuasi dalam teori Jung. Hasil akhir dari individuasi adalah realisasi diri dan komponen paling penting dalam individuasi adalah membuka tabir ketidaksadaran menuju satu keutuhan dan kebulatan kepribadian. Dalam individuasi, ego akan menurunkan tahta persona untuk lebih mendekat kepada ketidaksadaran. Tujuan akhir dari pencarian ego di dalam ketidaksadaran adalah diri (self). Sebelum sampai pada self, harus ada pengetahuan diri dimana ego menyadari sisi gelap kepribadiannya, kemudian biseksualitas psikologisnya, lalu menerima setiap pengetahuan tentang dirinya tersebut dan baru akan sampai pada self. Ketika realisasi diri tercapai jiwa mengembangkan pusat yang baru yaitu diri (self) menggantikan pusatnya yang lama yaitu ego (Hall & Lindzey, 2005). Ketika realisasi diri ini tercapai, shadow dan syzygy (anima dan animus) tak lagi memproyeksikan dirinya ke dalam ego sehingga mempengaruhi perilaku sadar individu. Shadow sebagai sisi gelap manusia dan syzygy sebagai biseksualitas psikologis telah terdiferensiasi dan terintegrasi dalam diri (self) dan pada akhirnya diri (self) mampu mengungkapkan diri dalam sifat-sifat orang-orang yang terindividuasi, orang-orang yang telah merealisasikan dirinya. Ada kesamaan antara individuasi dan candra jiwa dalam ajaran pangestu. Pangestu sering ditegaskan oleh penganutnya sebagai wadah pendidikan jiwa dimana tujuannya adalah membekali para anggotanya dengan jiwa yang sehat,
207
kuat, dan berbudi pekerti luhur agar dapat melaksanakan tugas hidup jasmaniahrohaniah dengan sempurna dan agar dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki ialah hidup bahagia abadi dan akhirnya dapat kembali bertunggal dengan Tuhan. Dalam wawancara dengan ketiga responden banyak diungkapkan bahwa tujuan dari ajaran pangestu ini adalah membentuk pribadi yang berbudi pekerti luhur, dan caranya adalah dengan melaksanakan jalan rahayu yaitu paugeraning pangeran marang kawula sebagai dasar kepercayaan, panembah, budi darma atau beramal, mengekang hawa nafsu, dan budi luhur sebagai bekal dalam menuju hidup yang sejati. Inti dari ajaran pangestu adalah membentuk pribadi yang budi luhur karena pribadi inilah yang dianggap dapat hidup bahagia dan mampu manunggal dengan Tuhan. Pribadi yang budi luhur adalah manusia yang mampu melaksanakan perbuatan yang disenangi oleh Tuhan dan segala perilakunya dekat dengan sifat Tuhan. Sedangkan menurut Jung (1986) dalam diri manusia ada satu tendens yang paling besar yaitu kecenderungan batin untuk mewujudkan diri, untuk menjadi diri sendiri. Sebab dalam diri manusia terdapat kemungkinan atau potensi-potensi asli yang mengarah pada tujuan tertentu dan tujuan dari proses perkembangan psikis adalah mencapai keutuhan kepribadian, yang sebesar mungkin meluaskan bidang kesadaran. Jalan unik untuk mencapainya disebut individuasi dan tujuan dari individuasi ini tidak lain daripada membebaskan self dari bungkus-bungkus palsu persona (topeng psikis sebagai adaptasi atau penyesuaian dengan tuntutan sosial) dan dari kekuasaan alam tak sadar arketipis yang merajalela (shadow dan anima atau animus). Hal ini tak ubahnya dengan
208
proses membebaskan pancaran tripurusa dari angan-angan yang dikendalikan oleh empat nafsu hewani dalam ajaran pangestu. Self adalah arketip yang menggambarkan Tuhan (dalam Jung, 1986). Jika ini dibandingkan dengan banyak ajaran kebatinan di Jawa secara umum dan ajaran pangestu khususnya nampak banyak kesamaan. Inti dari ajaran mistik, termasuk juga pangestu adalah mengolah rasa batin untuk menyatukan diri dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti) dan mewujudkan manusia yang berbudi pekerti. luhur. Dalam ajaran pangestu seorang dituntun untuk menjadi manusia yang berbudi luhur dan manusia berbudi luhur dapat menunggal dengan Tuhan setelah meninggal. Untuk menjadi manusia yang berbudi luhur ini harus memiliki empat watak utama dalam pancasila yaitu rila, narima, temen, sabar. Jika keempat watak telah dimiliki maka otomatis watak budi luhur ini tercapai. Watak pancasila ini tercapai dengan membawa badan jasmani halus kepada trisila, yaitu membawa angan-angan, perasaan, dan nafsu-nafsu untuk sadar, percaya, dan taat. Sempurnanya trisila, pancasila, dan jalan rahayu, mencapai budi luhur didorong oleh panembah yang sempurna. Jika pangestu menuntun untuk membersihkan jiwa manusia agar pancaran sinar tripurusa dapat diterima menuju manusia yang berbudi pekerti luhur yang menjalankan karsa Tuhan maka tidak berbeda dengan teori Jung yang menyatakankan bahwa manusia memiliki tendensi untuk mengungkapkan dirinya yang sejati melalui individuasi menuju self sebagai gambaran Tuhan (imago dei) agar tercapai realisasi diri. Dengan kata lain penganut pangestu dalam berusaha
209
mencapai manusia berbudi pekerti luhur adalah sedang melakukan proses individuasi untuk mencapai realisasi diri. Realisasi diri di dalam ajaran pangestu adalah tercapainya pribadi yang berbudi luhur yang memiliki lima watak utama dalam pancasila. Pribadi yang berbudi pekerti luhur adalah pribadi yang mampu mengungkapkan self sebagai pusat baru dalam kepribadiannya. Arketip self adalah sama dengan gambaran Tripurusa dalam ajaran pangestu yang terselam dalam alam kasunyatan atau alam sejati. Jika ini terungkapkan maka sang manusia menjadi manusia yang berbudi luhur yaitu memiliki perilaku yang sesuai dengan karsa Tuhan. Tabel 10 dibawah ini menunjukkan perbandingan antara empat sifat dalam proses individuasi dengan proses mencapai budi luhur dalam pangestu. Tabel 10 Perbandingan proses Individuasi dengan Proses Mencapai Watak Budi Luhur dalam Pangestu
Empat sifat dalam individuasi (dalam Baihaqi, 2008; Schultz,
Proses meencapai watak budi luhur melalui tiga tingkatan panembah
1991) a. Sifat pertama ialah bahwa orang
dalam pangestu a. Angan-angan harus dibuat sadar dan
menyadari segi-segi diri yang telah
perasaan dibuat percaya akan adanya
diabaikannya. Hal ini tidak dapat
Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa)
terjadi sebelum usia setengah tua.
sehingga individu dapat merasakan
Untuk bertujuan ke arah individuasi,
rasa sejati yaitu merasakn kehadiran
orang harus melepaskan tingkah laku-
Tripurusa dalam hati sanubari yang
tingkah laku, nilai-nilai, dan pikiran-
suci.
pikiran yang membimbing setengah
b. Meredam atau mengendalikan nafsu
210
Lanjutan tabel 10 Empat sifat dalam individuasi
Proses meencapai watak budi luhur
(dalam Baihaqi, 2008; Schultz,
melalui tiga tingkatan panembah
1991)
dalam pangestu bagian pertama dari kehidupan dan
lauamah dan amarah, sehingga cipta
sampai pada ketidaksadarannya;
tidak lagi dutunggangi lauamah dan
b. Sifat kedua ialah pengorbanan tujuan-
amarah. Terkendalinya laumah dan
tujuan material dari masa remaja
amarah mewujudkan watak jujur dan
dewasa dan sifat-sifat kepribadian yang
sabar. Dengan demikian angan-angan
memungkinkan seseorang mencapai
(cipta, nalar, dan pangerti) mendapat
tujuan-tujuan itu. Dalam individuasi
tuntunan dan pepadang dari suksma
tidak ada satupun fungsi atau sikap
kawekas dan suksma sejati. Sila ketiga
yang dominan. Di dalam individuasi
tri sila tercapai dengan membuat taat
akan terjadi perubahan-perubahan pada
nafsu laumah dan amarah kepada
usia setengah tua, yaitu yang pertama
cipta. Hal ini merupakan hasil dari
penurunan tahta persona. Kepribadian
kesempurnaan sembah raga (tingkatan
publik tetap diteruskan sebab masih
pertama dalam panembah)
ada peranan-peranan sosial tetapi orang
c. Nalar (prabawa) ditundukkan sampai
harus menyadari dirinya dan juga
menyerah kepada suksma sejati, dan
menjadi dirinya sendiri. Yang kedua,
prabawa silem ing kaheningan atau
ialah menyadari semua kekuatan
larut dalam keheningan. Watak rila
bayang-bayang yang bersifat destruktif
dan narima terwujud karena sifat tidak
dan konstruktif. Hal ini berarti orang
iklas dan tidak menerima
harus menyadari sisi gelap
bersumberkan pada prabawa (nalar)
kepribadiannya serta menerima impuls-
yang ditunggangi oleh laumah.
impuls yang bersifat animalistis dan
d.
Menundukkan kamayan (pangerti)
primitif seperti sifat destruktif dan
tunduk dan pasarh kepada suksma
egois. Hal ini merupakan bagian dari
sejati dan akhirnya kamayan (pangerti)
tahap pengetahuan diri, individu harus
larut dalam keheningan. Bersama-
menerima dan menyadari sisi buruk
sama cipta dan nalar, kamayan
kepribadiannya juga. Yang ketiga ialah
(pangerti) lepas dari otak dan individu
211
Lanjutan tabel 10 Empat sifat dalam individuasi (dalam Baihaqi, 2008; Schultz, 1991)
Proses meencapai watak budi luhur melalui tiga tingkatan panembah dalam pangestu
menerima biseksualitas psikologis
menjadi luyut. Budi luhur tercapai atau
yaitu anima dan animus. Bersamaan
panunggla antara roh suci, suksma sejati,
dengan pengetahuan diri muncullah
dan suksma kawekas terwujud di alam
penerimaan diri.
sejati. Individu mencapai tingkat
c. Sifat ketiga ialah integrasi diri. Semua segi kepribadian diintegrasikan dan
kasunyatan jati dan tercapailah watak budi luhur.
diharmoniskan sehingga semuanya dapat diungkapkan. Untuk pertama kalinya hidup, tidak ada segi, sikap, atau fungsi yang dominan. d. Sifat terakhir ialah orang yang mampu menampakkan ungkapan-diri. Ungkapan diri merupakan sifat terkahir dari orang-orang yang terindividuasi.
4. Realisasi Diri dan Aktualisasi diri melalui Pengalaman Mistik Ketiga responden mengaku bahwa banyak perubahan yang terjadi pada diri masing-masing setelah sekian lama menghayati ajaran pangestu. Responden I yang telah 39 tahun menghayati pangestu mengaku belum lama ini merasakan pengalaman manunggal dalam melakukan panembah dan hanya satu orang ini saja dari ketiga responden penelitian yang mengaku sudah merasakan manunggal ketika panembah. Walaupun begitu responden I masih merasa belum menjadi pribadi yang diharapkan dalam ajaran pangestu atau pribadi yang berbudi luhur. Responden II mengaku baru lima tahun benar-benar menghayati ajaran pangestu
212
dan sekarang responden telah sampai pada sembah kalbu. Sedangkan responden III sudah 27 tahun mengikuti pangestu tapi masih menjalankan sembah raga. Hanya responden I dan II yang memiliki banyak gambaran tentang pengalaman mistik dalam melakukan panembah. Responden III mengaku masih sering merasakan kesemutan selama melakukan panembah. Dari ketiga responden mengatakan bahwa banyak sekali perubahan yang telah dirasakan setelah mengikuti dan menghayati ajaran pangestu. Sesuai dengan teori Maslow, bahwa merasakan pengalaman mistik dalam jangka waktu lama akan membawa banyak perubahan yang dikategorikan dalam (dalam Alwisol, 2008): 1) Hilangnya symptom neurotik, 2) Kecenderungan melihat diri sendiri lebih sehat, 3) Perubahan pandangan mengenai orang lain dan hubungan dirinya dengan orang lain, 4) Perubahan pandangan diri mengenai dunia, 5) Munculnya kreativitas, spontanitas, dan kemampuan mengekspresikan diri. 6) Kecenderungan
mengingat
pengalaman
puncak
itu
dan
berusaha
mengulanginya, 7) Kecenderungan melihat kehidupan secara umum sebagai hal yang lebih berharga. Ketujuh perubahan ini setelah ditanyakan kepada ketiga responden, beberapa diantaranya menunjukkan jawaban yang tidak jauh berbeda dari ketiga responden. Hanya satu pertanyaan yang yang dijawab berbeda dari ketiga responden yaitu
213
pertanyaan dari kategori hilangnya symptom neurotik. Neurotik dalam teori Maslow dijelaskan sebagai suatu halangan untuk memperoleh kepuasan kebutuhan dasar dan menghalangi gerak maju menuju aktualisasi diri (Alwisol, 2008). Untuk kategori ini peneliti menggunakan pertanyaan “apakah setelah mengahayati ajaran pangestu sejauh ini masih ada perasaan cemas menghadapi hari esok atau masa depan?”. Dari ketiga responden, hanya responden I yang menjawab, “tidak sama sekali” (W. R. I. 03. 895-896). Responden II menjawab, “masih, tapi sudah berkurang, jauh berkurang” (W. R. II. 03. 940-945). Dan responden III menjawab, “sedikit masih ada” (W. R. III. 03. 410-421). Keenam kategori pertanyaan lainnya di jawab hampir sama oleh ketiga responden. Seluruh responden cenderung merasa dirinya lebih sehat sekarang. Keseluruhan responden merasa pikiran longgar, tenang, tidak emosional, dan rasa ingin marah yang jauh berkurang (lebih sabar). Seluruh responden juga merasa hubunganya dengan orang lain semakin baik khususnya hubungan dalam rumah tangga. Ketiga responden sama-sama menjawab bahwa keadaan rumah tangganya kini lebih kompak. Interaksi dengan orang lain selain keluarga pun menjadi lebih iklas khususnya dalam hal saling tolong menolong. Untuk kategori perubahan pandangan diri mengenai dunia pun menunjukkan respon yang sama dari ketiga responden. Dunia diartikan sebagai alam kehidupan, lingkungan, dan segala yang bersifat kebendaan. Dan pandangan responden mengenai hal ini selalu dihubungkan dengan ciptaan Tuhan atau titipan Tuhan. Responden I dan II sangat jelas menunjukkan hal ini (W. R. I. 03. 699-708; 856-857; 873-877 dan W. R. II. 03. 700-705; 776-789; 825-927; 827-860) sehingga membuat dua orang ini
214
memandang perbedaan entah itu perbedaan agama, ras, golongan ataupun apa saja hanya sebagai sarana menuju satu tujuan yang sama. Misalkan saja perbedaan agama dipandang hanyalah perbedaan cara namun memiliki tujuan yang sama yaitu kembali ke Tuhan. Ataupun perbedaan kaya dan miskin dipandang hanyalah sebuah cobaan. Harta dan kekayaan hanyalah sebuah titipan bukan tujuan. Orangorang ini memiliki satu tujuan yang sama yaitu kembali kepada Tuhan dan manunggal setelah meninggal menuju alam kamulyan langgeng (surga). Ketiga responden juga menunjukkan sikap yang spontan, apa adanya, jujur, bebas, dan tanpa pamrih. Misalkan dalam menolong peneliti ketika pengambilan data, ketiga responden mau meminjamkan buku-bukunya, dan meluangkan waktu untuk wawancara. Responden II adalah salah satu contoh orang yang sangat jujur dan spontan bahkan bersedia bercerita tentang permasalahan rumah tangganya atau langsung tanpa basi-basi meminjamkan semua buku-buku pangestu kepada peneliti. Ketiga responden juga nampak melihat kehidupan secara umum lebih berharga. Hal ini tampak dari tujuan-tujuan mereka mengikuti pangestu (W. R. I. 02. 160-182; W. R. II. 02. 181-191; W. R. III. 01. 25-26). Mereka ingin merubah hidup mereka menjadi lebih baik, berperilaku baik, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dan akhirnya dapat meninggal dengan manunggal. Ketiga responden juga selalu berusaha untuk meningkatkan pengalaman mereka dalam melakukan panembah. Ketiga responden merasa sulit melakukan panembah yang sempurna sehingga bisa benarbenar mengalami suatu pengalaman mistik manunggal dengan Tuhan namun ketiganya selalu berusaha untuk terus melakukanya sampai bisa.
215
Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang pangestu memiliki metamotivasi untuk terus mengaktualisasikan dirinya. Peakers dalam teori Maslow adalah orang-orang yang hidup dalam dunia B, dimetamotivasikan dengan lebih jelas, memiliki pengalaman puncak yang memberikan wawasan yang jelas tentang diri dan dunia mereka (Schultz, 1991). Orang-orang pangestu adalah peakers dalam teori maslow. Orang-orang ini berusaha untuk terus berkembang menjadi pribadi yang sesuai dengan ajaran pangestu, terus dan terus meskipun itu sulit. Pengalaman mistik yang mereka rasakan membawa mereka pada wawasan bahwa dirinya sebagai manusia dan dunia dimana dia berada adalah milik Tuhan. Dengan menjadi pribadi yang berawatak budi luhur maka manusia akan mampu menjadi dirinya yang sejati yang memiliki perilaku sesuai dengan karsa Tuhan. Jika aktualisasi diri dalam teori Maslow dipandang sebagai kebutuhan tertinggi dari suatu hirarki kebutuhan, namun juga dipandang sebagai tujuan final, tujuan ideal dari kehidupan manusia (dalam Alwisol, 2008). Maka hal ini pun sama dengan realisasi diri dalam teori Jung yang dianggap sebagai tujuan final perkembangan kepribadian manusia menuju keutuhan. Dalam ajaran pangestu yang dipandang sebagai tujuan utamanya adalah membentuk watak pancasila, menjadi pribadi yang berbudi luhur dan akhirnya nanti akan dapat manunggal dengan Tuhan ketika meninggal. Dalam ajaran pangestu pribadi yang mekar menjadi dirinya yang sejati adalah pribadi yang memiliki watak budiluhur yang memiliki sifat-sifat yang dekat dengan Tuhan, perilakunya adalah sesuai dengan karsa Tuhan. Dan untuk mencapai seperti ini tergantung pada sempurnanya panembah (Bawa Raos ing Salabeting raos, 1986). Pengalaman mistik yaitu
216
pengalaman dimana individu merasakan kontak dengan alam semesta dan Tuhan adalah terjadi pada saat panembah. Sempurnanya ini semua akan membawa pada pembentukan watak yang budi luhur. Dapat dikatakan bahwa budi luhur dalam pangestu merupakan suatu tujuan final perkembangan manusia yang dalam psikologi analitik disebut realisasi diri, dan psikologi humanistik disebut aktualisasi diri. Tabel 11 dibawah ini menunjukkan perbandingan lima watak pancasila dengan ciri-ciri individu yang terindividuasi (terealisasi) (dalam Schultz, 1991) dan ciri-ciri inidividu yang teraktualisasi (dalam Alwisol, 2008; Boeree dalam www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000). Tabel 11 Perbandingan Lima Watak Utama Pancasila, Ciri Realisasi Diri, dan Ciri Aktualisasi diri Ciri-ciri Realisasi Lima watak Pancasila
diri
dalam Ajaran Pangestu
(dalam Schultz, 1991)
1) Rila, berarti ikhlas. rila
1) Penerimaan dan
Ciri-ciri Aktualisasi Diri (dalam Alwisol, 2008; Boeree dalam www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000). 1) Orang-orang yang reality-
adalah keleluasaan hati
toleransi terhadap
centered, dimana dapat
dengan disertai rasa
kodrat manusia
mendeferensiasikan apa itu
bahagia dalam
pada umumnya.
tipuan dan ketidakjujuran dari
menyerahkan seluruh
Orang-orang
apa itu kenyataan dan
miliknya,
yang
kesungguhan. Orang-orang ini
wewenangnya, dan
terindividuasi
tidak memandang dunia hanya
semua hasil
memiliki
sebagaimana yang diinginkan
pekerjaannya kepada
kesadaran dan
atau dibutuhkan, namun
Tuhan, dengan rasa
toleransi yang
melihatnya sebagaimana
tulus ikhlas, sebab
lebih besar
adanya.
217
Lanjutan tabel 11 Ciri-ciri Realisasi Lima watak Pancasila
diri
dalam Ajaran Pangestu
(dalam Schultz, 1991)
Ciri-ciri Aktualisasi Diri (dalam Alwisol, 2008; Boeree dalam www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
semua itu ada dalam
terhadap kondisi
kekuasaan Tuhan, maka
umat manusia,
problem-centered, artinya
harus tidak ada sesuatu
dengan begitu
memperlakukan kesulitan
apapun yang
orang-orang ini
hidup sebagai suatu masalah
mengganjal
merasa lebih
yang perlu solusi, bukan
(membekas) dalam
empati dengan
suatu kekacauan personal
hatinya. Orang ini tidak
masalah
yang bisa membuat
mengharap-harapkan
kemanusiaan,
menyerah begitu saja. Dan
buah jerih payahnya,
tanpa
orang-orang ini memiliki
bersusah hati atau
memandang ras,
pandangan yang berbeda
berkeluh kesah tentang
golongan, dan
tentang makna dan tujuan.
semua penderitaan atau
agama (Baihaqi,
Orang-orang seperti ini
kesengsaraan. Orang ini
2008; Schultz,
memiliki dedikasi yang
tidak menginginkan
1991).
tinggi terhadap pekerjaan
sanjung puji dan
2) Orang-orang ini
2) Orang-orang ini adalah
dan profesinya. Orang-orang
kemashuran. Tidak iri
menerima apa
ini menganggap pekerjaan
hati dan tidak gemar
yang tidak
bukanlah sebagai tugas,
mencampuri urusan
diketahui dan
namun sebagai suatu
orang lain, serta tidak
misterius,
permainan dan senang
lekat kepada semua
menerima dalam
melakukannya.
benda yang dapat rusak
kesadaran dan
tetapi bukan orang yang
ketidaksadaran,
menikmati kesepian, dan
melalaikan kewajiban.
serta adanya
nyaman dengan kesendirian.
faktor-faktor
Orang-orang ini menikmati
menerima apa adanya.
irasional. Hal ini
relasi personal yang lebih
Kitab Sasangka Djati
juga meliputi
dalam dengan sedikit teman
2) Narima, berarti
3) Orang-orang yang
218
Lanjutan tabel 11 Ciri-ciri Realisasi Lima watak Pancasila
diri
dalam Ajaran Pangestu
(dalam Schultz, 1991)
Ciri-ciri Aktualisasi Diri (dalam Alwisol, 2008; Boeree dalam www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
(1969) menyebutkan
gejala-gejala
dekat dan anggota keluarga,
bahwa orang yang
supranatural dan
daripada suatu hubungan yang
bersikap narima
spiritual yang
dangkal dengan banyak orang.
bukanlah orang yang
mencakup
Orang-orang ini memiliki
lemah dalam
kepercayaan
kemampuan untuk membentuk
pekerjaannya, tetapi
terhadap
pikiran, mencapai keputusan,
orang yang “nrima ing
kewaskitaan dan
dan melaksanakan dorongan
pandum”, yang artinya
kepercayaan
dan disiplinnya sendiri.
orang yang menerima
terhadap Allah.
apa yang telah menjadi
3) Selanjutnya
4) Orang-orang ini menikmati otonomi, suatu kemerdekaan
bagiannya dan selalu
orang yang
yang relatif dari sekedar
bersyukur kepada
sudah
kebutuhan fisik dan sosial.
Tuhan. Orang–orang ini
terindividuasi
Orang-orang ini menentang
adalah orang yang
adalah orang
enkulturasi, tidak mudah
terkaya di antara
yang memiliki
terkena jebakan tuntutan sosial
manusia kaya lainnya.
kepribadian
untuk menjadi ”sesuai aturan”
Sikap rela mengarahkan
yang universal
atau ”layak”, dalam
perhatian kepada segala
karena tidak ada
kenyataannya orang-orang ini
sesuatu yang telah
satupun segi
nonconformists in the best
dicapai dengan
kepribadian
sense. Hal ini terjadi karena
upayanya sendiri,
yang dominan
orang-orang ini tidak lagi
sedangkan narima
(Baihaqi, 2008;
didorong oleh motif-motif
menekankan kepada
Schulz, 1991).
kekurangan dan tidak
“apa adanya”,
Ketika
tergantung pada dunia nyata
menerima segala
individuasi
untuk mendapatkan kepuasan
sesuatu yang telah
tercapai, self
sebab pemuasan dari motif-
menimpa diri (De Jong,
meliputi totalitas
motif pertumbuhan datang dari
219
Lanjutan tabel 11 Ciri-ciri Realisasi Lima watak Pancasila
diri
dalam Ajaran Pangestu
(dalam Schultz, 1991)
Ciri-ciri Aktualisasi Diri (dalam Alwisol, 2008; Boeree dalam www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
1976); narima
psyche manusia
dalam. Orang-orang ini
cenderung kepada
seimbang dalam
mampu mempertahankan suatu
ketentraman hati, jadi
pusatnya, self
ketenangan dasar di tengah-
bukan orang yang
menyatukan tanpa
tengah apa yang dilihat orang-
enggan bekerja,
kontradiksi dari
orang yang kurang sehat
melainkan menerima
kutub-kutub jiwa:
sebagai malapetaka.
apapun yang menjadi
kesadaran dan
5) Orang-orang yang memiliki
bagiannya. Apapun
ketidaksadaran,
unhostile sense of humor,
yang sudah ada di
terang dan gelap,
memiliki kualitas yang disebut
tangannya dikerjakan
tubuh dan jiwa, dan
acceptance of self and others.
dengan senang hati,
sebagainya (Kuhnis,
Artinya, orang-orang ini lebih
tidak tamak, dan tidak
2006).
suka membawa “dirimu”
serakah serta tidak iri
sebagai “dirimu” daripada
terhadap kebahagiaan
merubah “dirimu” menjadi apa
orang lain.
yang seharusnya. Orang-orang
3) Temen, berarti jujur dan
ini juga memiliki motivasi
sungguh-sungguh.
yang kuat untuk merubah
Temen dalam kitab
kualitas negatif dalam diri
Sasangka Djati (1969)
mereka sendiri jika dapat
diartikan sebagai ajaran
dirubah. Ini semua datang
yang membangun
secara spontan dan simpel.
kesadaran manusia agar
Orang-orang ini lebih suka
selalu sungguh-sungguh
menjadi diri mereka sendiri
menepati janji atau
daripada harus pura-pura
kesanggupannya, baik
terlihat “wah”.
yang masih dalam batin maupun yang sudah
6) Orang-orang ini memiliki rasa kerendahan hati dan rasa
220
Lanjutan tabel 11 Ciri-ciri Realisasi Lima watak Pancasila
diri
dalam Ajaran Pangestu
(dalam Schultz, 1991)
diucapkan. 4) Sabar, dalam Sasangka
Ciri-ciri Aktualisasi Diri (dalam Alwisol, 2008; Boeree dalam www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
hormat terhadap orang lain. Artinya, orang-orang ini
Djati (1969) diartikan
terbuka terhadap etnik dan
sebagai sikap kuat
keunikan individual, bahkan
dalam menghadapi
menghargainya. Orang-orang
segala cobaan, tetapi
ini memiliki ketertarikan
bukan orang yang
sosial, perasaan kasihan, dan
pupus dalam
kemanusiaan. Hal ini diiringi
keinginannya, namun
oleh etika yang kuat, yang
kebalikannya sebagai
mana adalah spiritual dan
orang yang sentosa
kadang-kadang religiusitas
hatinya, luas ilmunya,
dalam pengertian yang alami.
tidak sempit budinya,
7) Orang-orang ini memiliki
pantas disebut lautnya
apresiasi yang segar,
pengetahuan, oleh
kemampuan untuk melihat
karena dirinya yang
sesuatu, bahkan sesuatu yang
tidak membeda-
luar biasa. Orang-orang ini
bedakan antara emas
tidak mudah menjadi puas atau
dengan tanah, kawan
bosan oleh pengalaman hidup.
dengan lawan sudah
Orang-orang ini senantiasa
dianggap sama saja.
menghargai pengalaman-
Dapat diumpamakan
pengalaman tertentu
sebagai samudra yang
bagaimanapun seringnya
dapat menampung apa
pengalaman itu terulang,
saja, tidak bisa meluap
dengan suatu perasaan
akibat dialiri oleh
kenikmatan yang segar,
sungai-sungai dari
perasaan terpesona, dan
221
Lanjutan tabel 11 Ciri-ciri Realisasi Lima watak Pancasila
diri
dalam Ajaran Pangestu
(dalam Schultz, 1991)
mana saja. 5) Budi luhur, adalah sifat
Ciri-ciri Aktualisasi Diri (dalam Alwisol, 2008; Boeree dalam www.ship.edu.com; Baihaqi, 2008; Goble, 2000).
kagum. Kemampuannya menjadi kreatif, berdayacipta,
yang diusahakan oleh
dan original. Orang-orang ini
manusia agar dapat
adalah asli, inventif, dan
menyerupai sifat
inovatif.
Tuhan, yaitu kasih sayang kepada sesama.
8) Orang-orang ini lebih cenderung memiliki pengalaman puncak (peak experience) daripada orangorang pada umumnya.
Berdasarkan perbandingan di atas tampak bahwa lima watak utama dalam pancasila ini membawa seseorang menuju pribadi yang sesuai dengan ciri realisasi diri dan aktualisasi diri. Watak rila dan narima membawa seseorang untuk menerima perbedaan dan menerima kenyataan, apapun itu. Kedua watak ini membuat seseorang menerima kenyataan atas apa yang sudah diusahakan maupun kenyataan yang terjadi apa adanya dalam hidup. Watak ini membuat orang menjadi reality centered, menikmati kesepian dan kesendirian, menerima diri sendiri dan orang lain, spontan, apa adanya, dan rendah hati. Watak jujur membuat seseorang menjadi merasa bebas, adil, dan memegang teguh kebenaran. Watak jujur membawa seseorang merasa merdeka, menikmati otonomi, dan bebas. Orang-orang ini tidak tergantung pada dunia nyata untuk mendapatkan
222
kepuasan sebab pemuasan dari motif-motif datang dari dalam sehingga mampu mempertahankan ketenangan ditengah-tengah kesulitan. Watak sabar membawa orang untuk terus berusaha dan tidak putus asa. Orang yang sabar memiliki hati yang lapang, kuat, menerima berbagai cobaan tapi juga berhati teguh, berpengetahuan luas, tidak berpikiran sempit, dan tidak berhenti berusaha. Watak ini membawa seseorang pada pribadi yang problemcentered yang memperlakukan kesulitan hidup sebagai suatu masalah yang perlu solusi, bukan suatu kekacauan personal yang membuat putus asa. Jika keempat watak ini tercapai maka seseorang itu secara otomatis menjadi pribadi yang berbudi luhur. Watak ini mengungkapkan arketip self dalam kepribadian. Orang yang berwatak budi luhur adalah orang yang menebarkan sifat Tuhan. Pada watak inilah arketip self mengungkapkan diri dan menunjukkan peranan sebagai pusat kepibadian yang baru menggantikan ego. F. KELEMAHAN PENELITIAN Sejauh penelitian ditulis, peneliti berusaha melasanakan penelitian sebaik dan seilmiah mungkin Seperti halnya penelitian lain, penelitian ini mempunyai kelemahan, yaitu 1. Sulitnya menemukan pengikut pangestu yang telah memiliki watak budi luhur. Beberapa orang yang dianggap telah sampai watak budi luhur telah meninggal dunia. 2. Keterbatasan waktu membuat interaksi di lapangan penelitian hanya sebentar sehingga data yang diperoleh kurang variatif dan kurang sempurna.
223
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN 1. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, Pengalaman mistik adalah merasakan suatu keadaan mistik yaitu adanya kontak yang bisa berupa persatuan antara manusia dengan alam semesta dan Tuhan. Kontak antara manusia dengan alam semesta dan Tuhan berupa kekosongan, individu tidak merasakan apa-apa, hanya titik di hati yang menghubungkan individu dengan Tuhan. Di dalam pengalaman mistik terjadi perubahan kesadaran atau transformasi kesadaran dari kesadaran mental spiritual yang bersifat empiris menjadi kesadaran transpersonal yang bersifat tunggal-ilahiah (Hilmy, 2006). Perubahan yang terjadi adalah: a. Percepatan waktu; responden I dan II mengaku bahwa ketika panembah dapat dilakukan dengan khusyuk responden tak merasa jika ternyata panembah telah dilakukan selama 30 menit sampai 1 jam. b. Perubahan perseptual, yaitu persepsi visual dan akustik; responden I mengaku bahwa dalam keadaan manunggal tidak ada apapun yang di dengar ataupun dilihat. Responden kehilangan kontak dengan dunia luar, yang ada hanya kekosongan. c. Perubahan gambaran tubuh dan mengalami batas tubuh yang lenyap., responden I mengaku bahwa pada saat luyut atau manunggal tidak bisa merasakan batas antar alam dan diri, yang ada hanya titik di hati.
224
Sedangkan responden II mengaku bahwa ketika khusyuk tubuhnya terasa sangat ringan, tidak merasakan pegal, ataupun kesemutan. d. Pemikiran yang lebih, multi asosiasi dan pemikiran magis. Responden I dan II mengatakan bahwa dalam pikiran dan ingatan mereka hanya ada gambaran diri yang penuh dosa dan ingin bertaubat. Responden merasa nelangsa. Pengalaman mistik ini memiliki tahapan yaitu: a. Heneng, adalah suatu tahap dimana pelaku mistik berusaha meninggalkan segala urusan keduniawian, melupakan segala-galanya dan pikiran difokuskan atau ditujukan pada satu arah yaitu Tuhan. Pada tahap ini pelaku mistik harus benar-benar berkonsentrasi penuh untuk meninggalkan segala bentuk urusan dan masalah hidupnya dan kemudian memusatkan pikirannya hanya pada Tuhan. b. Hening, adalah kejernihan dan ketulusan hati dan pikiran untuk menyembah Tuhan. Segala pujian, permohonan, dan doa harus diresapi sedalam-dalamnya dan ditujukan pada satu titik ke lubuk hati dimana Tuhan dianggap berada. Hal ini membutuhkan konsentrasi yang sangat dan tidak akan tercapai sebelum pelaku mistik dapat melupakan segala hal dan hanya mengingat Tuhan. Dapat diumpamakan hening adalah suatu kedaan dimana dalam keheningan dan kejernihan pikiran, seseorang benarbenar menyembah, memuji, dan memohon hanya kepada Tuhan dengan ketulusan yang dalam.
225
c. Luyut, perasaan yang tenang, tentram dan kosong meninggalkan segala beban duniawi. Pada tahapan inilah pelaku mistik akan menemui alam suwung karena pada tahap ini pelaku mistik sudah benar-benar lupa segalanya dan hanya merasakan kekosongan. Batas diri telah lenyap, individu merasa lebur dengan alam semesta dan ikut menjadi satu dengan kekosongan itu sendiri. Inidividu tidak merasakan apa-apa sama sekali hanya titik di hati seolah-olah ada tali yang menghubungkan diri dengan Tuhan. 2. Realisasi diri dalam ajaran pangestu adalah mencapai pribadi yang budi luhur. Realisasi diri dalam pangestu berarti tersingkapnya pepadhang dari Tuhan dalam pribadi yang budi luhur karena sifat dan perilakunya selalu dekat dengan Tuhan ini juga berarti bahwa self sebagai arketip gambaran Tuhan (imago dei) telah menjadi pusat baru dari kepribadian (psyche) menggantikan pusat yang lama yaitu ego. Berdasarkan data yang diperoleh, orang-orang pangestu berusaha untuk menjadi orang yang berwatak budi luhur dan manunggal dengan Tuhan. Jadi mekarnya potensi warga pangestu adalah menjadi pribadi yang berbudi luhur. Proses mencapai realisasi diri penganut pangestu atau dalam hal ini adalah proses individuasi adalah melalui pengalaman mistik yang dilatih didalam panembah. Prosesnya adalah dengan Tri sila yaitu suatu sikap manusia kepada Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa) untuk mencapai lima watak utama dalam pancasila. Prosesnya adalah sebagai berikut:
226
a. Angan-angan harus dibuat sadar dan perasaan dibuat percaya akan adanya Tripurusa (Tuhan Yang Maha Esa) sehingga individu dapat merasakan rasa sejati yaitu merasakn kehadiran Tripurusa dalam hati sanubari yang suci. b. Meredam atau mengendalikan nafsu lauamah dan amarah, sehingga cipta tidak lagi dutunggangi lauamah dan amarah. Terkendalinya laumah dan amarah mewujudkan watak jujur dan sabar. Dengan demikian anganangan (cipta, nalar, dan pangerti) mendapat tuntunan dan pepadang dari suksma kawekas dan suksma sejati. Sila ketiga tri sila tercapai dengan membuat taat nafsu laumah dan amarah kepada cipta. Hal ini merupakan hasil dari kesempurnaan sembah raga (tingkatan pertama dalam panembah) c. Nalar (prabawa) ditundukkan sampai menyerah kepada suksma sejati, dan prabawa silem ing kaheningan atau larut dalam keheningan. Watak rila dan narima terwujud karena sifat tidak iklas dan tidak menerima bersumberkan pada prabawa (nalar) yang ditunggangi oleh laumah. d. Menundukkan kamayan (pangerti) tunduk dan pasarh kepada suksma sejati dan akhirnya kamayan (pangerti) larut dalam keheningan. Bersamasama cipta dan nalar, kamayan (pangerti) lepas dari otak dan individu menjadi luyut. Budi luhur tercapai atau panunggla antara roh suci, suksma sejati, dan suksma kawekas terwujud di alam sejati. Individu mencapai tingkat kasunyatan jati dan tercapailah watak budi luhur.
227
3. Aktualisasi diri yang dicapai melalui pengalaman mistik menghasilkan seorang peakers dimana aktualisasi dirinya membuat orang tersebut menjadi lebih mistik, religius, sholeh, dan, indah (poetical). Peakers dalam ajaran pangestu adalah seorang yang budi luhur dan memiliki lima watak utama dalam pancasila yaitu rila, narima, temen, sabar, dan budi luhur. Orang-orang ini selalu dimetamotivasikan oleh B-neeeds untuk terus berkembang menjadi individu berbudi luhur dan memiliki sifat-sifat yang mirip dengan sifat Tuhan. Aktualisasi diri penganut pangestu adalah melalui pengalaman mistik yang dilatih didalam panembah. Efek pengalaman mistik dalam jangka waktu lama membawa perubahan dalam diri dan kehidupan penganut pangestu. Perubahan ini adalah: a. Hilangnya simptomp neurotik. Penganut pangestu mengaku sama sekali tidak merasa cemas akan apa yang terjadi terhadap diri dan kehidupannya nanti setelah sebelumnya perasaan cemas itu masih ada ketika pengalaman mistik belum dirasakan secara intens. b. Kecenderungan melihat diri sendiri lebih sehat. Penganut pangestu cenderung mengaku lebih sehat, tenang, tentram, dan bahagia dengan kondisinya. Penganut pangestu merasa sekarang lebih sabar, iklas, dan tidak emoional dibanding sebelumnya. c. Perubahan pandangan mengenai orang lain dan hubungan dengan orang lain. Penganut pengestu umumnya sekarang merasa hubungan dengan keluarga menjadi semakin kompak, rumah tangga menjadi lebih
228
menyenangkan dibanding sebelumnya. Selain itu toleransi dalam masyarakat juga semakin besar. d. Perubahan pandangan diri mengenai dunia. Dunia diartikan sebagai alam kehidupan, lingkungan, dan segala yang bersifat kebendaan. Dan pandangan penganut pangestu mengenai hal ini selalu dihubungkan dengan ciptaan Tuhan atau titipan Tuhan, seperti pandangan mengenai harta, hubungan dengan masyarakat, maupun perbedaan agama. e. Munculnya kreativitas dan spontanitas, dan kemampuan mengekspresikan diri. Sekarang kehidupan para penganut pangestu dirasa lebih baik secara finansial dan banyak perencanaan yang berhasil dicapai seperi dalam bidang usaha, pendidikan, dan pekerjaan. f. Kecenderungan
mengingat
pengalaman
puncak
dan
berusaha
mengulanginya. Seluruh penganut pangestu mengaku untuk terus berusaha mengulang pengalaman mistiknya walaupun diakui sangat sulit mencapai tahap-tahap dalam pengalaman mistik. g. Kecenderungan melihat kehidupan secara umum lebih berharga. Orangorang pangestu ingin merubah hidup mereka menjadi lebih baik, berperilaku baik, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dan akhirnya dapat meninggal dengan manunggal. 4. Aktualisasi diri dan realisasi diri dalam pengalaman mistik Pangestu samasama diperoleh melalui sempurnanya panembah. Panembah yang sempurna membawa panganut pangestu pada lima watak utama pancasila. Aktualisasi diri menurut teori Maslow lebih menunjukkan hasil akhir dari karakteristik
229
orang-orang yang teraktualisasikan. Maslow tidak menyebutkan bagaimana proses untuk mencapainya, yang diungkapkan hanyalah caranya yaitu dengan pengalaman mistik, sedangkan proses didalamnya tidak diungkapkan dengan gamblang. Sedangkan realisasi diri menurut teori Jung adalah sebaliknya. Jung mengungkapkan bagaimana proses mencapai realisasi diri dan proses ini lebih bersifat psikis yaitu dalam proses individuasi. Namun Jung tidak mengungkapkan secara jelas ciri-ciri atau karakteristik orang-orang yang terindividuasi atau terrealisasi ini.
B. SARAN Beberapa hal yang dapat dilakukan baik untuk perbaikan dalam penelitian selanjutnya, maupun saran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut: a. Masyarakat Mistik tidak hanya mengenai hal-hal yang bersifat klenik dan gaib, namun mistik adalah lebih kepada penghayatan yang dalam akan kehadiran Tuhan. Mistik dapat membuat ruang personal antara manusia dengan Tuhan. Cara-cara didalam mistik dapat digunakan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, lebih khusyuk dalam beribadah, dan lebih bertoleransi dengan kehidupan kemanusian selama tidak bertentangan dengan tuntunan dan ajaran agama masingmasing.
230
b. Peneliti selanjutnya 1)
Penelitian ini akan lebih baik jika menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif yaitu dengan menggunakan metode psikotest agar aktualisasi diri dan realisasi diri dapat dibuktikan dan ditunjukkan signifikasinya dengan pengalaman mistik selain dinamika dan proses yang terjadi di dalamnya.
2)
Kemampuan menggunakan metode clinical interview kiranya akan sangat dibutuhkan untuk melakukan penelitian spiritualitas dalam mistik kebatinan Jawa.
3)
Penelitian ini dapat dikembangkan pada penelitian tentang psikoterapi humanistik dan analitik dengan menggunakan prinsip-prinsip spiritual dalam tradisi dan kebudayaan Jawa. Selain itu juga dapat dikembangkan pada hal-hal yang lebih kontekstual seperti kaitan antara mistik dengan religiusitas seseorang, kebermaknaan hidup dan psikopatologi.