DEC-LAP.AKHIR PELAKSANAAN PKPP-2012
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Filariasis atau dengan nama lain penyakit kaki gajah (elephantiasis), termasuk salah satu jenis penyakit yang mendapat perhatian khusus di dunia kesehatan. Walaupun jarang menyebabkan kematian, pada stadium lanjut penyakit ini dapat menjadikan seseorang menderita cacat fisik permanen hingga menimbulkan dampak yang signifikan, terutama di tengah masyarakat Negara berkembang di daerah tropis maupun sub tropis yang justru tengah didera permasalahan sosial ekonomi. Saat ini dilaporkan lebih dari 1 milyard penduduk dunia memiliki risiko menderita filariasis. Lebih dari 120 juta orang dari 80 negara telah terinfeksi filaria, bahkan ribuan desa di 26 propinsi di Indonesia dinyatakan endemis. Karena itulah WHO mencanangkan kesepakatan global untuk memberantas penyakit ini dengan mengangkat tema The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020. [1,2] Deteksi filaria bergantung pada keberadaan cacing stadium mikrofilaria dalam darah tepi, atau dikenal dengan istilah periodisitas. Uniknya, periodisitas filaria ditemukan di antara pukul 10 malam hingga pukul 2 pagi (nocturnal), sehingga pengambilan sampel darahpun harus dilakukan malam hari. Di samping itu, larva aktif baru ditemukan 6-12 bulan setelah seseorang terinfeksi filaria, dan manifestasi filariasis baru terlihat ±4 tahun kemudian, sehingga deteksi dini untuk kasus ini cukup sulit ditegakkan. Pemeriksaan laboratorium seperti identifikasi antigen filaria dengan teknik ELISA atau Rapid Immuno-chromatography Card sebenarnya dapat pula dilakukan, namun teknik ini selain rumit, juga sering memberikan false positif[3]. Teknik diagnosis yang memiliki nilai kesensitifan dan kespesifikan yang tinggi, masih sangat diperlukan. Teknik nuklir kedokteran dengan menggunakan radiofarmaka, memberi harapan untuk dapat dijadikan pilihan alternatif memecahkan permasalahan ini. Dihipotesiskan bahwa DEC-sitrat yang saat ini digunakan sebagai obat filariasis, secara kimia memungkinkan untuk ditandai dengan nuklida teknesium-99m. Radiofarmaka
99m
Tc1
DEC diperkirakan akan di-uptake oleh mikrofilaria di dalam tubuh orang terinfeksi. Dengan demikian mikrofilaria yang berikatan dengan
99m
Tc-DEC ini dapat dilacak
keberadaannya, dan diharapkan deteksi dini dapat ditegakkan. Seperti diketahui, dietilkarbamazin telah bertahun-tahun digunakan dalam pengobatan limfatik filariasis, dan dengan dosis 6mg/kg bobot badan mampu menurunkan mikrofilariaemi sangat cepat. Target kerja DEC adalah asam arakhidonat (arachidonate 5-lipozygenase) dan pathway siklooksigenase (cytochrome c-oxydase sub-unit 1) yang berada pada selubung mikrofilaria. Mekanisme kerja DEC sebagai obat diprediksi menurunkan aktivitas otot, akibatnya parasit seakan mengalami paralisis, dan akan mudah terusir dari tempatnya di tubuh hospes. Dugaan lain, DEC dapat menyebabkan perubahan pada permukaan membran mikrofilaria, sehingga lebih mudah dihancurkan oleh daya pertahanan tubuh hospes. Mekanisme kerja tersebut dihipotesiskan identik apabila DEC digunakan sebagai preparat diagnostik. Penelusuran DEC yang terikat dengan mikrofilaria dipermudah dengan teknesium-99m yang memancarkan radiasi yang terikat secara kimiawi dengan DEC, sehingga keberadaan mikrofilaria dimanapun dan/atau kapanpun akan dapat ditelusuri di dalam tubuh hospes. Pada program Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa 2011, telah dilakukan penelitian penandaan dietilkarbamazin dengan radionuklida teknesium-99m. Dalam penelitian tersebut telah dihasilkan suatu formula sediaan yang dapat ditandai dengan radionuklida teknesium-99m dengan komposisi jumlah dietilkarbamazin 4mg, SnCl2.2H2O 100µg dan kondisi reaksi pada pH4. Hasil penandaan menunjukkan efisiensi dan kemurnian di atas 95% dengan karakter fisikokimia yang cukup baik, begitu pula dengan hasil uji pendahuluan biodistribusi dan farmakokinetika pada hewan normal yang tidak diinduksi dengan filaria[4]. Namun demikian, hasil pengembangan sediaan ini belum dapat diaplikasikan secara klinis apabila beberapa persyaratan farmasetik dan uji keamanan belum terpenuhi. Beberapa kajian in-vitro maupun in vivo non klinis masih harus dilakukan. Evaluasi seperti „drug receptor binding“ sebagai penentu terikatnya
99m
Tc-DEC
dengan reseptor filaria, menjadi hal penting yang harus dibuktikan, begitu juga halnya 2
dengan uptake filaria terhadap
99m
Tc-DEC. Pembuktian dapat dilakukan tidak hanya
melalui kajian in-vitro, tetapi juga dapat dilakukan secara in-vivo pada hewan uji terinfeksi atau terhadap penderita volunter. Di samping itu, kajian aspek farmakologis, seperti uji farmakokinetika, toksikologi, sterilitas, a-pirogenitas, kesesuaian dosis diagnostik dan rute pemberian masih harus dimantapkan. B. Pokok Permasalahan Keberhasilan penandaan DEC dengan radionuklida teknesium-99m yang telah dilakukan pada program PKPP 2011 menuntut tindak lanjut pembuktian aplikasinya. Berikut adalah beberapa pokok permasalahan yang dihadapi: Karakteristik fisiko-kimia sediaan:
Apakah sediaan dalam bentuk ”Kit” tetap stabil selama penyimpanan?
Apakah ada perubahan tingkat kemurnian hasil penandaan setelah sediaan disimpan dalam jangka waktu lama?
Penyediaan bahan uji
Mudahkah mendapatkan cacing filaria ?
Mudahkah membuat hewan uji terinfeksi cacing filaria ?
Adakah penderita yang bisa dijadikan volunteer ?
Karakter biologis:
Amankah 99mTc-DEC digunakan sebagai sediaan diagnostik?
Bagaimana uptake mikrofilaria terhadap 99mTc-DEC?
Bagaimana profil farmakokinetika 99mTc-DEC?
Apakah hasil pencitraan memberikan prospek yang baik bahwa sediaan tersebut dapat digunakan sebagai sediaan diagnostik filaria?
Mungkinkah pemberian intra-vena dapat menunjukkan prospek yang lebih baik dibanding pemberian intra-dermal?
C. Maksud dan Tujuan Kegiatan Maksud dan tujuan kegiatan penelitian pada tahap ini lebih difokuskan pada perolehan data bahwa sediaan
99m
Tc-DEC memenuhi persyaratan farmasetik. Di
samping itu, juga untuk meyakinkan kepada para calon pengguna kelak (end user) bahwa: 3
Formula yang dihasilkan dapat digunakan sebagai perangkat diagnosis untuk deteksi dini
filariasis,
sehingga
menjadi
sumbangan
nyata
dalam
memecahkan
permasalahan kekinian di masyarakat dalam menunjang program Indonesia sehat, dan sebagai sumbangan nyata bagi program “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020“. D. Metodologi Pelaksanaan D.1. Lokus Kegiatan : (koridor non ekonomi) Walaupun tidak secara langsung terkait dengan program Master Plan Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), namun masalah kesehatan sebenarnya menjadi parameter penting yang sangat mempengaruhi taraf kehidupan dan kesejahteraan bangsa. Filariasis dapat dikatakan sebagai salah satu “penyakit yang terabaikan” padahal di samping mempengaruhi nilai estetika, juga berdampak sangat nyata pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat, D.2. Fokus Kegiatan: Nasional Strategi (Teknologi Kesehatan dan Obat) D.3. Ruang Lingkup Dari pokok permasalahan di atas, maka lingkup kegiatan dikelompokkan ke dalam: 1. Pengujian stabilitas sediaan setelah disimpan dalam jangka waktu tertentu (efisiensi penandaan dan kemurnian radiokimia dijadikan indikator utama). 2. a. Pengajuan Perizinan Komisi Etik Penggunaan Hewan Percobaan b. Pemberian infectious agent pada hewan uji. 3. Uji biologis, ditujukan untuk mempelajari sifat sediaan dengan fokus pada kajian toksisitas, uptake/biodistribusi, profil farmakokinetika. 4. Pencitraan dengan kamera gamma, baik pada hewan uji maupun volunteer D.4. Bentuk Kegiatan Dengan lingkup seperti di atas, berikut adalah beberapa bentuk kegiatan yang dilaksanakan untuk pencapaian target kinerja dalam penelitian ini a.l.: Intensifikasi aktivitas kegiatan laboratorium terutama dalam perencanaan/scheduling. Menjalin hubungan kerjasama internal, dan dengan instansi terkait (Dinas Kesehatan dan Rumahsakit), terutama dalam memperoleh sampel uji dan pemanfaatan fasilitas. 4
Produk Hasil Penelitian dan Pengembangan PKPP-2011:
KIT KERING DIETIL KARBAMAZIN
KEADAAN PENDERITA FILARIASIS
5
BAB II PELAKSANAAN KEGIATAN A. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan A.1. Perkembangan Kegiatan (Teknis) Telah dilakukan kajian in-vitro dan in-vivo sediaan
99m
Tc-Dietilkarbamazin sitrat
(DEC) sebagai sediaan alternatif deteksi dini filariasis. Hasil penandaan optimal dengan tingkat kemurnian di atas 90% diperoleh dengan menambahkan
99m
Tc-
perteknetat ke dalam suatu formula yang terdiri dari 4mg DEC-sitrat, 100 µg SnCl2.2H2O, pH 4, dan waktu inkubasi pada suhu kamar selama 10-20 menit. Berdasarkan hasil pengamatan uji stabilitas, sediaan yang disimpan selama 7 bulan dalam bentuk kit kering, masih menunjukkan efisiensi penandaan dan tingkat kemurnian di atas 90%, dan tetap stabil secara fisiko-kimia maupun biologis. Namun demikian, sediaan
99m
Tc-DEC harus segera digunakan setelah disiapkan, dan
disarankan tidak disimpan lebih dari 2 jam setelah direkonstitusi dengan perteknetat. Pengaruh peningkatan volume larutan
99m
Tc-perteknetat yang ditambahkan,
walaupun sedikit menurunkan efisiensi penandaan, namun masih berada dalam batas yang diizinkan (>90%). Data uji toksisitas, menunjukkan sediaan 99mTc-DEC aman untuk digunakan. Hasil uji biodistribusi pada tikus putih percobaan galur Wistar, menunjukkan bahwa akumulasi sediaan terbesar ditemukan dalam sistem limfatik, terutama pada kelenjar popliteal, lumbar dan mesentrik. Dari kurva kinetika diperoleh nilai waktu paruh (T½) biologis masing-masing sebesar ±40 menit baik pada tikus normal maupun pada tikus terinfeksi pasca pemberian intra-dermal, dan sebesar 29,7 menit apabila diberikan secara intra-vena. Pencitraan kamera gamma pasca penyuntikan intra-dermal dan intra-vena pada volunteer, menunjukkan gambaran positif bahwa sediaan
99m
Tc-DEC terakumulasi
pada target organ. Namun demikian, mengingat kelemahan pada pemberian intradermal yang memberikan rasa sakit dan tidak mudah dalam membedakan sumbatan filaria dan sumbatan fisik lainnya seperti pada teknik limfoskintigrafi, maka rute penyuntikan intra-vena menjadi pilihan. 6
A.2. Kendala dan Hambatan Pelaksanaan Kegiatan Dalam melaksanakan kegiatan, walaupun tidak terlalu signifikan dan dapat dicarikan solusinya, tercatat beberapa kendala teknis, seperti: Kesulitan dalam perolehan sampel uji (penelusuran penderita filariasis) yang belum mendapatkan pengobatan. Informasi keberadaan sampel uji diperoleh melalui komunikasi dengan para tenaga medis, baik yang berada di rumahsakit maupun melalui Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten. Keharusan pengambilan cuplikan darah terinfeksi yang dilakukan malam hari (nocturnal) di luar kota. Untuk mengatasi permasalahan, di samping harus menjelaskan perlakuan dan benefit/risk kepada penderita, peneliti berkoordinasi dengan petugas teknis lapangan di Dinas Kesehatan Kabupaten. Kesulitan menumbuhkan cacing filaria pada hewan uji Penjadwalan penggunaan fasilitas kamera gamma di rumahsakit yang dilakukan di luar jam kerja (hari sabtu). Hal inipun hanya dapat dilakukan melalui komunikasi yang terjalin baik antara team peneliti dengan para tenaga medis di rumahsakit. B. Pengelolaan Administrasi Manajerial B.1. Perencanaan Anggaran Seperti halnya kegiatan penelitian, anggaran dialokasikan ke dalam kelompok gaji upah, bahan habis pakai, perjalanan dan lain-lain seperti ditampilkan pada tabel berikut: No.
URAIAN
ALOKASI DANA (%)
1.
Gaji dan upah
60
2.
Bahan habis pakai
21
3.
Perjalanan
4
4.
Lain-lain
3
5.
Pajak
12
TOTAL
100
Pengelolaan
pembelanjaan
dan
penggunaan
anggaran
secara
teknis
disesuaikan dengan termin yang diterima dengan memilah berdasarkan skala prioritas. 7
B.2. Mekanisme Pengelolaan Anggaran Anggaran dikelola berdasarkan azas satu pintu lembaga. Dalam hal pengadaan bahan, para peneliti mengajukan SIPU yang diketahui oleh Kepala Bidang masingmasing untuk diteruskan ke Bagian Tata Usaha u.p. Subbag.Perlengkapan. Peneliti tidak pernah berhubungan langsung dengan rekanan. Pola pengadaan disesuaikan dengan petunjuk peraturan dan perundangan yang berlaku. Sesuai dengan alokasi waktu/jam kegiatan masing-masing peneliti yang tertera dalam proposal, bendahara membayarkan gaji upah setiap periode 2 bulanan disesuaikan dengan termin yang diterima. B.3. Rancangan dan Perkembangan Pengelolaan Aset Dalam kegiatan PKPP 2012 yang dilaksanakan tidak terdapat pembelian atau pengadaan belanja modal yang dijadikan aset, sehingga untuk kegiatan ini tidak ada rancangan dan pengembangan pengelolaan ke depan. B.4. Kendala dan Hambatan Pengelolaan Administrasi Manajerial
Hingga akhir kegiatan tidak ditemui kendala dan hambatan pengelolaan administrasi. Apabila ada perubahan, dan untuk tertib administrasi terutama yang terkait dengan anggaran belanja di lembaga internal, peneliti utama selalu berkoordinasi dengan bendahara.
Hal yang menyangkut kerjasama eksternal, termasuk komunikasi dengan berbagai instansi terkait, berjalan lancar tanpa hambatan, dan bahkan mendapatkan respon positif, sehingga memperlancar perolehan data dan penggunaan fasilitas yang tidak dimiliki lembaga peneliti. Hal ini dapat dijadikan modal awal untuk menjalin kerjasama berikutnya, terutama dalam pemanfaatan hasil litbang oleh para pengguna kelak.
8
BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA A. Metode Pencapaian Target Kinerja A.1. Kerangka – Rancangan Metode Penelitian (teknis) Dengan lingkup kegiatan seperti telah diuraikan di atas, berikut adalah beberapa metode yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan teknis penelitian: A.1.1. Pengamatan stabilitas sediaan dalam bentuk ”kit” Sediaan yang diformulasikan dalam bentuk ”kit”, disimpan di dalam lemari pendingin untuk jangka waktu tertentu. Uji stabilitas dilakukan dengan mengamati hasil efisiensi penandaan dan tingkat kemurnian radiokimia setelah sediaan tersebut direkonstitusi dengan larutan natrium perteknetat (99mTc). Tingkat kemurnian ditetapkan dengan metode kromatografi menggunakan berbagai fase diam dan fase gerak. A.1.2. Evaluasi Kit-kering Radiofarmaka Dietil-karbamazin. 1. Pengujian sterilitas dan pirogenitas, dilakukan dengan mengikuti metode dan prosedur yang tercantum dalam Farmakope Indonesia. 2. Untuk melihat pengaruh volume terhadap efisiensi penandaan, dilakukan variasi penambahan jumlah/volume larutan Natrium perteknetat ke dalam sediaan kit kering DEC. A.1.3. Evaluasi Pre-klinis Radiofarmaka 99mTc-Dietil-karbamazin. 1. Hewan uji yang digunakan (normal dan setelah diinfeksi filaria) adalah jenis tikus Wistar dengan berat ±250-300 gram dan mencit Swiss dengan berat ±30-40 gram. 2. Penentuan toksisitas, dilakukan sesuai metode dan prosedur yang diterakan dalam Farmakope Indonesia dengan melipat-gandakan dosis yang diberikan setelah dikonversi ke dalam dosis umum yang diterima manusia. 3. Pengamatan biodistribusi dan uptake pada sistem limfatik, dilakukan dengan pembedahan dan pengukuran akumulasi aktivitas di dalam organ. 4. Profil farmakokinetika pada hewan uji diamati setelah pemberian sediaan melalui rute intra-dermal dan intra-vena, baik pada hewan normal maupun terinfeksi. 5. Pencitraan dengan kamera gamma pada hewan uji dan volunteer, dilakukan setelah penyuntikan sediaan 99mTc-DEC melalui rute intra-dermal dan intra-vena 9
A.2. Indikator Keberhasilan Pencapaian Dalam tabel berikut, ditampilkan indikator keberhasilan serta pencapaian target kegiatan: KEGIATAN
INSTANSI TERKAIT
KRITERIA KEBERHASILAN
UKURAN KEBERHASILAN
% CAPAIAN
KET.
1 2 Izin Komisi Etik Batan Penggunaan Hewan Uji
3 Persetujuan Komisi Etik
4 Surat formal persetujuan Komisi Etik
5 100%
6
Uji Stabilitas sediaan
Tidak terjadi Kemurnian perubahan radiokimia di sifat fisikoatas 95% kimia sediaan
100%
Uji stabilitas sudah diamati hingga bulan ke 8 kegiatan
Uji biodistribusi & profil kinetika pada hewan uji normal dan terinfeksi, serta uji biologi lainnya
Perolehan data T½ distribusi & eliminasi
Keseragaman hasil biodistribusi & kurva kinetika
100%
Gambaran jelas & dapat dibaca
100%
Pencitraan Dinas Kesediaan dengan kamera KesKab pasien volunteer gamma (in-vivo Tasik pada hewan uji RSHS Pencitraan & volunteer) dapat dibaca dengan jelas
Dapat membedakan normal dan abnormal
CAPAIAN KEGIATAN s/d 10 September 2012
Dilakukan terhadap 2 (dua) penderita volunteer, injeksi intra-vena & intradermal
100%
A.3. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian Dari tabel indikator keberhasilan yang ditampilkan di atas, pada dasarnya kegiatan telah terselesaikan sesuai dengan perencanaan semula. Beberapa kendala teknis telah dicarikan solusinya sehingga hasil yang diharapkan dapat dicapai. Berikut uraian detail mengenai perkembangan kegiatan substantif: 10
A.3.1. Evaluasi stabilitas sediaan dalam bentuk “kit” kering DEC Di samping pengamatan organoleptis, sediaan dinyatakan masih tetap stabil apabila efisiensi penandaan dan tingkat kemurnian radiokimia
99m
Tc-DEC tidak kurang
dari 90%. Penentuan kemurnian dihitung berdasarkan timbunan aktivitas di daerah Rf sediaan (99mTc-DEC) dan pengotor (Tc04- dan Tc02) dari suatu sistem kromatografi dengan TLC-SG sebagai fase diam dan aseton kering sebagai fase gerak. Hasil penandaan dan tingkat kemurnian radiokimia berdasarkan periode waktu penyimpanan sediaan di lemari pendingin, ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 1 berikut: Tabel 1. Efisiensi Penandaan dan Tingkat Kemurnian 99mTc-DEC No.
Waktu penyimpanan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan 7 bulan
Efisiensi Penandaan dan Kemurnian Radiokimia ( % ) 95,4 ± 3,3 97,2 ± 0,8 98,3 ± 0,2 98,3 ± 0,4 96,4 ± 1,3 97,3 ± 0,5 98,0 ± 0,0 98,2 ± 0,8
Gambar 1. Kurva kestabilan berdasarkan waktu penyimpanan Dari data efisiensi penandaan dan tingkat kemurnian seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 di atas, terlihat bahwa kit DEC tetap stabil walaupun telah disimpan selama ±8 bulan. Hal ini memberikan keuntungan tersendiri kelak bagi produsen karena sediaan tidak harus selalu dibuat segar menjelang digunakan. 11
A.3.2. Uji stabilitas setelah rekonstitusi larutan perteknetat (Na99mTc04) Ketidak stabilan sediaan terutama yang terkait dengan penurunan hasil penandaan (yield) dan tingkat kemurnian, di samping karena sediaan disimpan terlalu lama, juga dapat disebabkan karena sediaan tidak segera digunakan setelah dilakukan penambahan larutan perteknetat. Gambaran perubahan hasil penandaan setelah penambahan/rekonstitusi larutan 99mTc-perteknetat, ditunjukkan pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Pengaruh Penyimpanan Setelah Penambahan Larutan 99mTc-perteknetat Stabilitas sediaan berdasarkan periode waktu setelah rekonstitusi 99m Tc-perteknetat Penyimpanan 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam Yield / Kemurnian (%)
96,31
90,48
88,90
87,16
Data dalam tabel 2 di atas, dapat dijadikan pertimbangan bagi pengguna agar sebaiknya sediaan tidak disimpan terlalu lama, atau digunakan tidak lebih dari 2 jam apabila telah direkonstitusi dengan larutan Natrium-perteknetat. A.3.3. Pengujian sterilitas dan pirogenitas Uji sterilitas dan pirogenitas dilakukan dengan mengacu metode dan prosedur yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia. Hasil percobaan terhadap cuplikan sediaan menunjukkan bahwa semua sediaan uji, baik yang dibuat segar maupun yang telah disimpan selama 8 bulan berada dalam keadaan steril dan bebas pirogen. A.3.4. Pengaruh volume terhadap hasil penandaan Mengingat volume sediaan harus sekecil mungkin terkait dengan cara penyuntikan, maka penambahan larutan
99m
Tc-perteknetat harus diperhatikan. Pada
Tabel 3 berikut ditunjukkan pengaruh besarnya volume
99m
Tc-perteknetat pada hasil
penandaan dengan memvariasikan penambahan jumlah larutan 99mTc-perteknetat. Tabel 3. Pengaruh Volume 99mTc-perteknetat pada Penandaan DEC No. 1. 2. 3. 4.
Volume 99mTc-perteknetat (ml) 1,0 2,0 3,0 4,0
Efisiensi penandaan (%) 97,90 92,23 93,89 94,58 12
Data di dalam Tabel 3, walaupun menunjukkan adanya penurunan hasil penandaan, dari sisi persyaratan, kesemuanya masih dalam batas yang diizinkan. Namun demikian, jumlah volume tetap harus diperhatikan mengingat akan menjadi tidak favourable apabila disuntikkan ke pasien; karena itu sesedikit mungkin volume yang dtambahkan, menjadi pilihan para klinisi. A.3.5. Penyiapan hewan uji Setelah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penggunaan Hewan Uji, tikus Wistar dengan berat rerata 250-300 gram dan mencit jenis Swiss dengan berat ± 30-40 gram disiapkan. Sebagian tikus diinfeksi dengan cacing filaria yang terkandung dalam darah penderita filariasis melalui injeksi intra-vena. Hewan tersebut disiapkan untuk perlakuan uji biodistribusi, farmakokinetika dan pencitraan. A.3.6. Uji toksisitas Uji toksisitas dilakukan dengan memberikan sediaan
99m
Tc-DEC melalui dua rute
penyuntikan intra-dermal dan intra-vena masing-masing pada 5 ekor mencit jenis Swiss dengan berat rata-rata ±30 gram dengan dosis berlipat ganda dari dosis yang diberikan kepada manusia berdasarkan pada perhitungan konversi bobot badan. Kelainan yang mungkin terjadi diamati selama 7 hari, dan dilanjutkan hingga 14 hari sambil tetap diberi pakan dan minum seperti biasa. Hasil uji toksisitas ditunjukkan pada Tabel 4 berikut: Tabel 4. Pengamatan uji toksisitas 99mTc-DEC terhadap hewan uji Perlakuan
Berat mencit ratarata (gram)
Dosis penyuntikan 99m Tc-DEC
Intra dermal
30,4 ± 2,70
462 µCi (15,2 mCi/kg)
Intra vena
38,0 ± 1,97
430 µCi (11,3 mCi/kg)
Konversi Tanda keracunan / ke dosis kematian manusia selama 7-14 hari pengamatan 912 x 135 x
-
Dari data yang ditampilkan dalam Tabel 4, terlihat bahwa tidak seekorpun mencit uji menunjukkan kelainan ataupun kematian walaupun diberikan dosis yang jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan akan digunakan oleh manusia. Dari data toksisitas ini pula dapat dinyatakan bahwa sediaan ini aman untuk digunakan. 13
A.3.7. Biodistribusi dan uptake sediaan pada sistem limfatik a. Pengamatan biodistribusi Pengamatan bioditribusi sediaan
99m
Tc-DEC dilakukan melalui pembedahan
pasca penyuntikan intradermal/intracutan pada tikus putih galur Wistar normal; dan aktivitas yang terakumulasi di dalam setiap organ selang periode waktu tertentu diukur dengan peralatan Single Channel Analyzer seperti digambarkan pada kurva berikut:
Gambar 2. Kurva Biodistribusi 99mTc-DEC pasca penyuntikan intra-dermal Pada kurva di atas, ditunjukkan bahwa penimbunan aktivitas tertinggi (27,5%) terdapat di organ popliteal 15 menit pasca penyuntikan intra-dermal, dan menurun dengan bertambahnya waktu hingga 4,76% pada menit ke 120. Di samping akumulasi tertinggi ditemukan pada beberapa organ yang terkait dengan sistem limfatik seperti pada popliteal, lumbar dan mesentrik, data pada gambar 2 juga menunjukkan penimbunan yang cukup berarti di organ ginjal. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat ginjal termasuk salah satu jalur ekskresi. Penimbunan aktivitas pada beberapa organ lainnya tidak menunjukkan nilai yang signifikan.
14
b. Uptake sediaan pada sistem limfatik Untuk mengetahui seberapa lama sediaan
99m
Tc-DEC berada dalam kelenjar
popliteal, lumbar dan mesentrik seperti pada Gambar 2, Gambar 3 berikut menunjukkan waktu uptake sistem limfatik terhadap sediaan:
Gambar 3. Waktu uptake sistem limfatik terhadap sediaan 99mTc-DEC Walaupun uptake pada popliteal menunjukkan nilai radioaktivitas tertinggi pada awal penyuntikan, namun terlihat bahwa menuju menit ke 45 terjadi penurunan yang cukup tajam dibandingkan dengan lumbar dan mesentrik. Hal ini dimungkinkan karena popliteal merupakan kelenjar terdekat pada daerah penyuntikan dibandingkan dengan lumbar dan mesentrik. Baru setelah proses penurunan, aktivitas yang terakumulasi mendekati jumlah yang sama dengan kelenjar limfatik lainnya. A.3.8. Penentuan profil farmakokinetika Parameter farmakokinetika sediaan obat memiliki arti penting dalam penatalaksanaan diagnosis maupun terapi suatu penyakit. Di antara parameter farmakokinetika, waktu ekskresi/eliminasi yang sering dihubungkan dengan waktu paruh biologis, atau waktu yang menyatakan lamanya suatu obat berada di dalam tubuh seseorang, sangat perlu untuk diketahui. Uji farmakokinetika
99m
Tc-DEC dilakukan dengan menyuntikkan sediaan secara
intra-dermal pada tikus normal maupun tikus terinfeksi, kemudian beberapa tetes darah dari bagian ekor dicuplik selang periode waktu 5’, 15’, 30’, 45’, 60’, 90’, 120’ dan 180’ . 15
Pengukuran aktivitas cuplikan darah dilakukan dengan peralatan Single Channel Analyzer; dan perhitungan aktivitas dikoreksi untuk bobot darah yang sama (cacahan per gram) dan terhadap waktu paruh (T½) nuklida teknesium-99m. Gambar 4 dan 5 di bawah ini menunjukkan profil farmakokinetika sediaan pasca penyuntikan intra-dermal pada tikus normal dan tikus terinfeksi.
Gambar 4. Profil Kinetika 99mTc-DEC pasca penyuntikan intra-dermal pada tikus normal
Gambar 5. Profil Kinetika 99mTc-DEC pasca penyuntikan intra-dermal pada tikus terinfeksi
16
Dengan mengasumsikan sediaan berada dalam satu kompartemen, maka dari profil kinetika yang tertera pada Gambar 4 dapat dihitung nilai waktu paruh biologis (T½) 99m
Tc-DEC pasca penyuntikan intra-dermal pada tikus normal adalah sebesar 44,32
menit, sedangkan dari Gambar 5 menunjukkan nilai waktu paruh biologis (T½) pada tikus terinfeksi sebesar 37,83 menit. Apabila dilihat dari karakter individual mahluk hidup, nilai ini tidak menunjukkan signifikansi perbedaan. Karena itu, dapat dinyatakan waktu paruh biologis pasca pemberian intradermal adalah ±40 menit. T½ biologis pada penyuntikan intra-dermal mengindikasikan waktu yang cukup lama bagi sediaan berada dalam tubuh. Secara logika hal ini mudah dipahami karena jalur penyuntikan tidak langsung ke dalam pembuluh darah. Nilai ini memberikan kelebihan
tersendiri
mengingat
teknik
limfoskintigrafi
yang
digunakan
dalam
pendeteksian penyakit, juga memerlukan waktu yang tidak singkat, sehingga ada keleluasaan bagi para klinisi untuk melakukan penatalaksanaan diagnosis. Namun demikian, mengingat sulitnya membedakan sumbatan fisik dengan sumbatan filaria melalui teknik limfoskintigrafi, maka pemberian melalui injeksi intra-vena menjadi pilihan yang diharapkan memberikan nilai positif. Pada kurva yang diterakan pada gambar 6, ditunjukkan bahwa T½ biologis dengan model satu kompartemen melalui injeksi intra-vena, memberikan nilai 29,7 menit. Nilai ini dianggap cukup untuk menelusuri keberadaan sediaan di dalam tubuh apabila dilakukan pencitraan dengan kamera gamma pada manusia.
Gambar 6. Profil Kinetika 99mTc-DEC pasca penyuntikan intra-vena 17
A.3.9. Pencitraan kamera gamma pada hewan uji dan volunteer Hasil pencitraan dengan kamera gamma menjadi kunci utama pembuktian bahwa suatu sediaan layak digunakan.
Hal ini ditujukan untuk meyakinkan bahwa
sediaan benar-benar terakumulasi pada target organ. Gambar 7 dan 8 berikut menunjukkan hasil pencitraan kamera gamma sediaan
99m
Tc-DEC di dalam tubuh tikus
terinfeksi filaria pasca penyuntikan intra-dermal dan intra-vena.
Gambar 7. Pencitraan pada tikus terinfeksi filaria dengan 99mTc-DEC (intra dermal)
Gambar 8. Pencitraan pada tikus terinfeksi filaria dengan 99mTc-DEC (intra-vena)
Walaupun hasil pencitraan kamera gamma yang ditunjukkan pada gambar 7 dan 8 membuktikan sediaan terdistribusi di dalam tubuh tikus, namun evaluasi masih sulit dilakukan, apalagi bila mengamati distribusi setelah pemberian intradermal. Gambar 8 yang menunjukkan keberadaan penghitaman di bagian usus setelah penyuntikan intravena, juga memberikan keraguan untuk menetapkan kelainan yang disebabkan filaria. Pembuktian melalui pembedahan di bagian ini, dan perlakuan mikroskopik, juga tidak menunjukkan filaria positif.
Karena itulah, solusi akhir pembuktian harus dilakukan
pada pasien volunteer. Gambar 9 dan 10 menunjukkan volunteer penderita filariasis dengan lokasi pembengkakan berbeda, sedangkan Gambar 11 dan 12 adalah hasil pencitraan kamera gamma pasca penyuntikan Dosis
99m
Tc-DEC intra-dermal dan intra-vena.
99m
Tc-DEC yang diberikan melalui penyuntikan intra dermal adalah 4 x 100µCi,
sedangkan melalui penyuntikan intra-vena ±5mCi. 18
Gambar 9. Volunteer penderita filariasis dengan pembengkakan kaki kiri
Gambar 10. Volunteer penderita filariasis dengan pembengkakan kaki kanan
19
Intra vena
Pembengkakan kaki kanan
Pembengkakan kaki kiri
Intra dermal
Gambar 11. Pencitraan Kamera Gamma pasca penyuntikan intra-dermal pada penderita filariasis
Gambar 12. Pencitraan Kamera Gamma pasca penyuntikan intra-vena pada penderita filariasis
Pada hasil pencitraan kamera gamma, terlihat bahwa baik melalui penyuntikan intra dermal maupun intra-vena, kedua volunteer penderita filariasis menunjukkan gambaran positif di daerah pembengkakan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua cara penyuntikan dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan filaria. Walaupun kedua rute pemberian diasumsikan melalui jalur mekanisme keterikatan sediaan dengan filaria, nilai lebih diberikan melalui penyuntikan intra-vena karena terjadinya akumulasi 99m
Tc-DEC dapat dibedakan dengan mekanisme limfoskintigrafi. Di samping itu,
akumulasi di ginjal dan kandung kemih, menunjukkan bahwa sediaan diekskresikan melalui organ ini.
20
B. Potensi Pengembangan ke Depan B.1. Kerangka Pengembangan ke Depan Seperti telah dipaparkan di atas, keberhasilan pencapaian target kegiatan menunjukkan prospek yang cukup menjanjikan dari sisi teknis. Mengingat banyaknya temuan kasus filariasis, pihak pengguna sangat berharap agar sediaan ini dapat segera termanfaatkan. Teknologi penyiapan sediaan dan analisisnya sudah dikuasai. Begitu juga dengan rintisan jejaring kerjasama. Potensi pengembangan sangat memungkinkan untuk ditindaklanjuti. Karena itu: Pengembangan aspek teknis, difokuskan untuk melengkapi dan menambah data uji klinis yang masih diperlukan, sekaligus untuk meyakinkan tingkat keberhasilan pada para pengguna. Pengenalan produk melalui difusi teknologi hasil litbang kepada stakeholder dan/atau instansi/lembaga terkait Desain produk dan perhitungan aspek farmakoekonomi Menjaring produsen untuk meningkatkan kapasitas iptek sistem produksi.
B.2. Strategi Pengembangan ke Depan Seperti layaknya kegiatan diseminasi ataupun difusi suatu hasil inovasi, strategi pengembangan ke depan, tidak hanya tertuju pada pemantapan aspek teknis, tetapi juga perlu didukung dengan aspek non teknis. Karena itu, langkah yang diusulkan a.l. mencakup:
Merintis kerjasama dengan para stakeholder dengan melibatkan peran serta penentu kebijakan a.l. pihak Kemenristek, Kemenkes, Badan POM.
Diseminasi hasil litbang melalui publikasi dan/atau seminar di forum profesi
Melibatkan calon produsen agar bisa melakukan kegiatan program peningkatan kapasitas iptek sistem produksi
21
BAB IV SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN A. Sinergi Koordinasi Kelembagaan Program A.1. Kerangka Sinergi Koordinasi Koordinasi antar lembaga terkait, pemerintah maupun swasta sangat penting artinya untuk mendifusikan/mendiseminasikan hasil litbang. Koordinasi di hulu lebih memungkinkan untuk dilakukan oleh para peneliti, sedangkan koordinasi di hilir tidak memungkinkan hanya dilakukan oleh peneliti. Karena itu ke depan, peran fasilitator sangat dibutuhkan agar hasil litbangnya segera termanfaatkan. Langkah dan strategi yang memungkinkan dilakukan peneliti a.l.:
membuat kesepakatan kerjasama dengan para stakeholder terutama tentang pemanfaatan hasil litbang
melaksanakan kegiatan bersama sejak awal perencanaan hingga pelaksanaan kegiatan dengan pola win-win atau reward to reward. Pada PKPP 2012, sinergitas koordinasi terlaksana dengan baik sejak awal
kegiatan berjalan. Bentuk sinergitas ditunjukkan dengan perolehan bahan/cuplikan, kemudahan mendapatkan volunteer dan pemanfaatan berbagai fasilitas penelitian. A.2. Indikator Keberhasilan Sinergi Koordinasi Dengan dasar reward to reward, indikator keberhasilan pada program PKPP 2012 diwujudkan dalam bentuk:
kemudahan mendapatkan sampel uji
kemudahan penggunaan fasilitas Untuk program ke depan, indikator keberhasilan harus ditunjukkan dengan a.l.:
hasil litbang termanfaatkan oleh masyarakat luas
publikasi atau HKI bersama sesuai dengan kesepakatan
A.3. Perkembangan Sinergi Koordinasi Sinergitas koordinasi berjalan sangat baik. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya kendala sejak awal berkoordinasi hingga berakhirnya kegiatan, baik dengan pihak Dinas Kesehatan, Rumahsakit, maupun di kalangan internal lembaga, bahkan secara informal para mitra tetap berkomunikasi dan selalu memberikan respon positif. 22
B. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa B.1. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan Penelitian dalam kegiatan PKPP 2012 yang dilakukan baru saja berakhir. Jenis kegiatannya-pun masih dalam tahap penelitian terapan, dengan demikian pemanfaatan hasilnya belum dapat dilakukan. Kegiatan yang telah selesai dilaksanakan baru dalam tahap awal pembuktian (non-klinis) bahwa hasil litbang ini diharapkan dapat memberikan sumbangan nyata untuk deteksi dini penyakit filariasis dan mendukung program nasional Indonesia Sehat, serta program WHO tentang The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020. Namun demikian, sejak awal, para stakeholder, dalam hal ini pihak Dinas Kesehatan dan Rumahsakit telah ikut dilibatkan dalam kegiatan. Begitu pula dengan penyampaian informasi ke beberapa dokter/tenaga medik di daerah endemic, pernah dilakukan. Secara tidak langsung, penyampaian informasi dan bentuk kerjasama ini telah menggambarkan sebagian langkah strategi yang diambil agar pemanfaatan hasil litbang dapat terlaksana sesegera mungkin. Para peneliti sebenarnya sangat mengharapkan keberadaan fasilitator yang dapat mengakselerasi penyebarluasan dan pemanfaatan hasil litbang, dengan demikian para peneliti tidak harus “bergerilya” sendiri mulai dari hulu ke hilir. B.2. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan Indikator keberhasilan pemanfaatan dari hasil penelitian yang nyata adalah terpakainya
sediaan
oleh
para
pengguna,
dan/atau
dijadikan
rujukan
untuk
mengungkap kelainan yang diderita pasien (suspect) B.3. Perkembangan Pemanfaatan Seperti yang diuraikan di atas, hasil penelitian di PKPP 2012 ini baru dalam tahap uji non klinis, dan baru dimulai dengan sedikit uji pre-klinis, tambahan data uji klinis masih diperlukan. Namun demikian, data yang diperoleh hingga saat ini telah menunjukkan hasil yang diharapkan. Kerjasama dengan para stakeholder sudah dirintis dan mendapat respon positif; keberadaan penderita dan daerah endemik filaria di Indonesia tidak sedikit, karena itu dengan strategi yang tepat, nampaknya pemanfaatan ke depan memberi harapan dan prospek yang baik. 23
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan A.1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan dan Anggaran Seperti diuraikan di atas, program PKPP dengan judul
99m
Tc-Dietil-karbamazin
Sebagai Sediaan Diagnostik Limfatik Filariasis yang difokuskan pada uji non-klinis ini tidak terlepas dari tahap pelaksanaan kegiatan teknis dan administratif. Aspek teknis meliputi kajian farmasetik, seperti pengamatan stabilitas, sterilitas, pirogenitas, toksisitas sediaan, dan dilanjutkan dengan kajian farmakologis seperti biodistribusi, penentuan profil farmakokinetika, serta pencitraan (imaging). Semua kegiatan dapat diselesaikan tepat waktu, serta setiap tahapan menunjukkan data dan hasil yang signifikan, bahkan di akhir kegiatan yang dilengkapi dengan teknik pencitraan pada penderita volunteer menggunakan kamera gamma, menunjukkan sediaan ini benar dapat dimanfaatkan untuk deteksi filariasis seperti yang diharapkan. Di sisi lain, aspek administratif dan anggaran sebagai pendukung bergulirnya kegiatan, terkelola dengan baik dan tidak ditemukan kendala yang berarti. Keberhasilan dan kelancaran pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan anggaran ini dapat dikatakan tidak terlepas dari kerjasama yang terjalin baik antar berbagai pihak terkait, internal lembaga, maupun di luar lembaga. A.2. Metode Pencapaian Target Kinerja Seperti telah disampaikan beberapa kali, target kinerja dapat dicapai seperti harapan semula, dan bahkan dapat dikatakan melebihi target yang direncanakan. Kesungguhan, kebersamaan, transparansi dan komunikasi yang baik, adalah kunci sukses dari pencapaian target kinerja. A.3. Potensi Pengembangan ke Depan Penyiapan sediaan dan cara analisis yang terkait dengan kegiatan dalam penelitian ini telah benar-benar dikuasai. Jejaring kerja juga sudah dirintis sejak awal kegiatan, karena itu potensi pengembangan ke depan sangat terbuka. Jumlah daerah endemik yang tidak sedikit di Indonesia, memberi peluang potensi pengembangan. Prospek pasar sangat terbuka lebar. 24
A.4. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program Sinergitas koordinasi baik kelembagaan ataupun program, nampaknya tidak terkendala walaupun tanpa dilengkapi dengan naskah kerjasama formal. Sekali lagi, peran transparansi dan komunikasi menjadi kunci keberhasilan. Berbagai hal yang diperkirakan akan sulit dilaksanakan, bahkan sebaliknya mendapat respon positif yang kemungkinan dapat dijadikan jalan untuk merintis difusi dan teknologi hasil litbang yang ditemukan. A.5. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa Hasil uji non klinis in-vitro dan in-vivo yang telah dilakukan dalam penelitian ini, khususnya untuk kasus pengembangan obat, dianggap masih belum cukup untuk langsung masuk ke area pemanfaatan. Di samping masih harus menambah data uji pre-klinis dan klinis, masih banyak persyaratan suatu obat agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Rintisan kerjasama yang sudah dilaksanakan dengan melibatkan langsung para mitra ke dalam kegiatan ini, dapat dijadikan pembuka jalan program pemanfaatan ke depan. Namun demikian, walaupun aspek teknis dan administratif sudah lengkap, termasuk registrasi Badan POM terpenuhi, aspek lain, seperti ekonomi, politis, keberpihakan, kebijakan, memiliki peran masing-masing yang berpengaruh pada pemanfaatan hasil litbangyasa. Peran fasilitator sangat dibutuhkan. B. Saran B.1. “Keberlanjutan” Pemanfaatan Hasil Kegiatan Agar hasil kegiatan dapat segera dimanfaatkan: Data teknis, seperti data uji klinis masih perlu ditambah terutama untuk persyaratan registrasi, sekaligus untuk meyakinkan tingkat keberhasilan pada para pemangku kepentingan. Pengenalan produk melalui difusi teknologi hasil litbang kepada stakeholder dan/atau instansi/lembaga terkait Desain produk dan perhitungan farmakoekonomi Menjaring produsen yang “capable” (misalnya memiliki fasilitas produksi, CPOB dll.) untuk meningkatkan kapasitas iptek sistem produksi 25
B.2. Keberlanjutan Dukungan Program Ristek Berbagai keterbatasan, dana dan peralatan sering menjadi kendala bagi seorang peneliti untuk menuangkan ide kreatifnya, apalagi jika yang bersangkutan berada dalam suatu lembaga penelitian seperti saat ini. Ide berkoordinasi sering terlontar, namun di lapangan banyak yang berjalan sendiri-sendiri. Begitu juga hasil litbang yang mungkin bisa memiliki nilai lebih, banyak yang hanya tersimpan di laci. Memasarkan hasil litbang tidak mungkin dikerjakan seorang diri. Sekali lagi peran fasilitator yang dapat menjembatani hal ini sangat dibutuhkan; dan tentu saja Kemenristek menjadi tumpuan.
DAFTAR PUSTAKA 1. ANONIM, Eliminating Lymphatic filariasis, WHO http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Frames/A-F/Filariasi/body Filariasis 2. SULIANTI A., Waspadai kaki gajah, Pikiran Rakyat, 25 Nov. 2010. 3. WEIL G.J., LAMMIE P.J., WEISS N., The ICT filariasis test: A rapid format antigen test for diagnosis of Bancroftian Filariasis. Parasitology Today,13(10)(1997)401-404 4. HANAFIAH A.Ws. et al., Penandaan Dietilkarbamazin dengan radionuklida teknesium-99m sebagai sediaan diagnostik untuk deteksi dini filariasis. Laporan Teknis Program Insentif KMNRT, PKPP-2011. 5. MELROSE, W.D., Chemotherapy for lymphatic filariasis: progress but not perfection Anti-infective Therapy 1(4) (2003) 571-577. 6. SAHA, G.B.,Fundamental of Nuclear Pharmacy,5thed.,Springer,USA,(2004)319-320 7. SZUBA, A., SHIN, W.S., STRAUSS, H.W., ROCKSON, S., Radionuclide lymphoscintigraphy in the evaluation of lymphodema, J. Nucl. Med. 44(1)(2003) 43-57.
26
LAPORAN HASIL PENELITIAN dan PENGEMBANGAN, KEKAYAAN INTELEKTUAL, dan HASIL PENGELOLAANNYA
27
LAPORAN HASIL PENELITIAN dan PENGEMBANGAN, KEKAYAAN INTELEKTUAL, dan HASIL PENGELOLAANNYA Identitas Perguruan Tinggi/Lembaga Penelitian dan Pengembangan Nama Perguruan Tinggi / Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri (PTNBR) BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL
Pimpinan (Isilah nama lengkap
Drs. Djatmiko MSc.
pimpinan perguruan tinggi atau lembaga litbang)
Alamat Perguruan Tinggi / Lembaga Litbang (tuliskan alamat lengkap, kode pos, nomor telepon, nomor faksimile, dan alamat email)
Identitas Kegiatan Judul Kegiatan Litbang yang Dilakukan
99m
Tc-DIETIL-KARBAMAZIN SEBAGAI SEDIAAN DIAGNOSTIK LIMFATIK FILARIASIS EVALUASI NON KLINIS
Penyakit
Abstraksi (Uraian ringkas kegiatan yang telah dilaksanakan dengan penjelasan tentang masalah yang ditangani, latar belakang, tahapan kegiatan, manfaat, metodologi yang digunakan, dan hasil pokok)
Jl. Tamansari No.71, Bandung , 40132 Telp. 022-2503997, Fax. 022-2504081 e-mail:
[email protected]
yang
disebut
Lymphatic
Filariasis
atau
elephantiasis, atau yang lebih dikenal dengan penyakit kaki gajah telah menginfeksi lebih dari 120 juta orang di 80 negara, termasuk Indonesia, dan lebih dari 40 juta dari mereka mengalami ketidak mampuan bekerja (disability) di samping gangguan nilai estetika. Karena jumlah penderita filariasis cukup signifikan dengan memberikan dampak menahun yang sangat mengganggu, maka penyakit ini mendapat perhatian dan penanganan serius dari Kementerian Kesehatan RI, khususnya Bidang Pelayanan dan Penanganan Penyakit Menular. Tidak hanya skala nasional, WHO-pun telah mencanangkan „The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by The Year 2020“. Permasalahan yang dihadapi oleh hampir semua pihak dalam
memberantas
penyakit
infeksi
filariasis
adalah
terlambatnya penyakit ini terdiagnosis atau terdeteksi lebih awal. Masyarakat tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi penyakit ini. Metode deteksi dini yang spesifik dan akurat sangat dibutuhkan. 28
Senyawa
bertanda
99m
Tc-Dietilkarbamazin-citrat
telah
berhasil dibuat dan telah dilaporkan dalam Program Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa (PKPP) 2011 dengan memberikan karakteristik fisikokimia yang cukup baik. Namun demikian, seperti halnya pengembangan obat baru (drug discovery/drug development), berbagai persyaratan farmasetik dan keamanan bagi pengguna menjadi barometer keberhasilan penelitian ini. Karena itu, tujuan kegiatan penelitian yang dilakukan dalam program insentif PKPP 2012 ini lebih difokuskan pada perolehan data in-vitro dan in vivo 99m
(
99m
Tc-Dietilkarbamazin
Tc-DEC), terutama dari aspek non klinis untuk meyakinkan
keberterimaan dan kepercayaan para pengguna. Aspek fisikokimia seperti stabilitas, tingkat kemurnian, dan syarat farmasetik lainnya, serta kajian farmakologis, seperti uji farmakokinetika, toksikologi, sterilitas, a-pirogenitas, kesesuaian dosis diagnostik dan rute pemberian, adalah parameter penting yang dikaji. Beberapa metode uji, terutama yang terkait dengan aspek farmakologis, diselaraskan dengan prosedur dan persyaratan yang ditetapkan farmakope. Di samping itu, telah dilakukan pula proses pencitraan (imaging) dengan kamera gamma, baik pada hewan uji maupun pada penderita volunteer. Dari pengamatan uji stabilitas, sediaan yang disimpan selama 7 bulan dalam bentuk kit kering, masih menunjukkan efisiensi penandaan dan tingkat kemurnian di atas 90%, dan tetap stabil secara fisiko-kimia maupun biologis. Namun demikian, sediaan
99m
Tc-DEC harus digunakan segera setelah disiapkan,
dan disarankan untuk tidak disimpan lebih dari 2 jam setelah direkonstitusi dengan larutan perteknetat. Pengaruh peningkatan volume larutan
99m
Tc-perteknetat
yang ditambahkan pada saat rekonstitusi, walaupun menurunkan efisiensi penandaan, namun masih dalam batas yang diizinkan (>90%). Walaupun demikian, untuk kenyamanan pasien, volume yang diberikan sebaiknya diupayakan sesedikit mungkin. 29
Data uji toksisitas, juga menunjukkan sediaan
99m
Tc-DEC
aman digunakan. Hasil uji biodistribusi pada tikus putih percobaan galur Wistar,
menunjukkan
bahwa
akumulasi
sediaan
terbesar
ditemukan dalam sistem limfatik, terutama pada kelenjar popliteal, lumbar dan mesentrik. Dari kurva kinetika diperoleh nilai waktu paruh (T½) biologis masing-masing sebesar ±40 menit baik pada tikus normal maupun pada tikus terinfeksi pasca pemberian intra-dermal, dan sebesar 29,7 menit apabila diberikan secara intra-vena. Pencitraan dengan kamera gamma pasca penyuntikan melalui rute intra-dermal dan intra-vena pada volunteer penderita filariasis (studi preklinis), menunjukkan gambaran positif bahwa sediaan
99m
Tc-DEC terakumulasi pada target organ. Namun
demikian, mengingat kelemahan pada pemberian intra-dermal yang
memberikan
rasa
sakit
dan
tidak
mudah
dalam
membedakan sumbatan filaria dan sumbatan fisik lainnya seperti pada teknik limfoskintigrafi, maka rute penyuntikan intra-vena menjadi pilihan. Hasil inovasi sederhana ini, diharapkan dapat menjadi sumbangan nyata yang bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya untuk mendeteksi keberadaan penyakit filariasis dan dunia kesehatan di Indonesia, serta berharap dapat membantu mempercepat capaian roadmap perkembangan kit diagnostik pengendalian penyakit menular (ARN 2005-2025), serta program WHO „The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020”. Penelitian ini dapat terselesaikan tepat waktu atas jalinan kerjasama yang baik antara team peneliti, Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, serta para dokter dan staf terkait di Bagian Kedokteran Nuklir Rumahsakit Hasan Sadikin Bandung.
30
Tim Peneliti 1. Nama Koordinator/ Peneliti Utama (PU) 2. Alamat Koordinator/ Peneliti Utama 3. Nama dan Alamat Anggota Peneliti
1. Prof.Dr. A.Hanafiah Ws., 2. 3.
(nama dan gelar akademik, 4. berikut bid. keahlian, alamat anggota peneliti sesuai urutan penulisan anggotanya) 5.
BATAN, Jl.Tamansari 71 Bandung 40132 Dra. Nanny Kartini Oekar MSc. BATAN, Jl.Tamansari 71 Bandung 40132 Prof. Dra. Nurlaila Zainuddin MT BATAN, Jl.Tamansari 71 Bandung 40132 Drs. Duyeh Setiawan, Drs., MT BATAN, Jl.Tamansari 71 Bandung 40132 Dra. Misyetti MT. BATAN, Jl.Tamansari 71 Bandung 40132
Waktu Pelaksanaan 14 Februari 2012 – 14 Oktober 2012 Litbang (tanggal mulai dan akhir)
Publikasi (cantumkan judul-judul publikasi, tahun dan tempat publikasi dilakukan)
Belum dipublikasikan
Identitas Kekayaan Intelektual dan Hasil Litbang Ringkasan Kekayaan Intelektual 1. Perlindungan Kekayaan Intelektual yang dihasilkan dari litbang dengan dukungan insentif KNRT periode 2012 a. Paten Waktu Pendaftaran: ................................................ b. Hak Cipta Waktu Pendaftaran: ................................................. c. Merek Waktu Pendaftaran: ................................................. d. Disain Industri Waktu Pendaftaran: ................................................ e. Disain Tata Letak Sirkuit Terpadu Waktu Pendaftaran: .............................................. f. Varietas Tanaman Waktu Pendaftaran: ............................................... (Pilihlah jenis perlindungan kekayaan intelektual yang diperoleh, dan sebutkan waktu pendaftarannya)
2. Nama Penemuan Baru (nama temuan yang dimintakan perlindungan kekayaan intelektual, asal temuan tersebut: baru atau hasil pengembangan temuan sebelumnya, alasan perlu perlindungan kekayaan intelektual).
3. Nama Penemuan Baru Non Komersial (nama temuan yang tidak dimintakan perlindungan kekayaan intelektual, asal temuan tersebut: baru atau hasil pengembangan temuan sebelumnya, alasan tidak perlu perlindungan kekayaan intelektual).
Nama temuan : Formula Kit-kering Dietil Karbamazin (DEC) dan metode pembuatan senyawa bertanda 99mTc-Dietil Karbamazin. Merupakan hasil inovasi baru dari obat anti cacing filaria dietilkarbamazin (DEC) bertanda radionuklida teknesium-99m yang apabila disuntikkan ke dalam tubuh manusia secara intra dermal atau intra-vena, keberadaannya dapat ditelusuri dengan kamera gamma. Melalui 99m mekanisme yang sama dengan DEC, sediaan Tc-DEC dapat menunjukkan secara lebih spesifik, peka dan lebih dini mendeteksi keberadaan cacing filaria di dalam tubuh.
31
Kejadian filariasis menyebar luas (endemik) di beberapa negara tidak hanya di Indonesia. Pencegahan lebih awal sering tidak dapat dilakukan karena diagnosis sulit ditegakkan, dan pasien baru datang setelah manifestasi (pembengkakan). 4. Cara Alih Teknologi a. Lisensi, b. Kerjasama, c. Pelayanan Jasa Iptek, d. Publikasi. (Pilihlah cara alih teknologi kepada fihak lain agar hasil litbang anda ini dapat dimanfaatkan)
Lisensi, kerjasama dan publikasi. Ringkasan Hasil Penelitian dan Pengembangan 1. Hasil Penelitian dan Pengembangan (Isilah dengan ringkas mengenai hasil litbang yang dicapai; berupa disain, model, prototip, temuan ilmiah lainnya, tulisan ilmiah yang telah dipublikasikan, dan/atau konsultasi kepakaran bidang ilmu tertentu).
Hasil LITBANG : 1.1. Formula Kit-kering Dietil Karbamazin (DEC) dan penguasaan teknologi pembuatan senyawa bertanda 99mTc-Dietil Karbamazin dengan tingkat kemurnian radiokimia lebih besar dari 90%, 1.2. Prototipe kit-kering DEC, stabil selama penyimpanan dalam waktu lama. 1.3. Data sifat/karakteristik fisiko-kimia 99mTc-DEC 1.4. Data sifat/karakteristik biologis (farmakokinetika) 99mTc-DEC 1.5. Hasil pencitraan kamera gamma pada penderita filariasis 1.6. Karya Tulis Ilmiah untuk publikasi
2. Produk, spesifikasi, dan pemanfaatannya. (Isilah dengan ringkas mengenai produk yang dihasilkan, berikut spesifikasi, dan pemanfaatannya)
Produk berupa kit-kering steril dalam vial, stabil pada penyimpanan 4 oC. Setelah ditambahkan larutan teknesium-99m perteknetat, akan dihasilkan sediaan 99mTcDietilkarmamazin (99mTc-DEC) yang dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit filariasis melalui penyuntikan intra-dermal atau intra-vena. Kit kering DEC dapat ditandai dengan 99mTc-perteknetat sebanyak 1 hingga 25 mCi per 1 hingga volume maksimal 4 mL. Tingkat kemurnian hasil penandaan > 90%, merupakan sediaan yang jernih tidak berwarna, steril dengan pH sediaan ± 4.
32
Gambar/Photo Produk Hasil Penelitian dan Pengembangan:
KIT KERING DIETIL KARBAMAZIN
Intra-vena
Pembengkakan kaki kanan
Pembengkakan kaki kiri Intra dermal
HASIL PENCITRAAN KAMERA GAMMA PADA PENDERITA FILARIASIS MENGGUNAKAN HASIL INOVASI
33
Pengelolaan 1. Sumber Pembiayaan Penelitian dan Mitra Kerja (isilah tentang besar pembiayaan, termasuk yang berasal dari mitra kerja)
a. APBN (insentif KNRT) : Rp 250.000.000,- (termasuk pajak) b. APBD : Rp …….....-................ c. Mitra Kerja - Dalam Negeri : dalam bentuk inmateri Nama Mitra : - Luar Negeri : Rp .…….................. Nama Mitra : ..........................
2. Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Penelitian (sebutkan sarana dan prasarana yang dipergunakan dalam kegiatan litbang)
a. Sarana
: fasilitas kerja dengan sumber radioaktif pemancar gamma, laminar air flow, freeze dryer, dose calibrator, pencacah saluran tunggal, peralatan kromatografi kertas dan lapis tipis. b. Prasarana : Laboratorium radioaktif, ruang proses aseptis.
3. Pendokumentasian (bagaimana pendokumentasian kekayaan intelektual dan hasil litbang yg telah dilakukan [CD, microfiche])
Dokumentasi dalam laptop dan computer, serta Buku Catatan Harian Penelitian.
34