BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak mendasar yang patut dimiliki oleh setiap manusia. Setiap negara pun wajib menjamin hak asasi setiap warganya. Salah satu cara untuk mengatur dan menjamin HAM dilakukan dengan menciptakan undang-undang yang berlaku untuk setiap warga negara, sehingga batasan HAM dan pelanggarannya dapat disepakati dan dipatuhi. Meskipun Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur HAM, nyatanya sebagian besar kasus pelanggaran HAM di Indonesia belum diselesaikan dengan tuntas. Salah satu wacana pelanggaran HAM yang belum tuntas adalah peristiwa pemberantasan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965. Kasus pembunuhan PKI yang merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia ini disebut telah menyebabkan lebih dari 500.000 orang (perkiraan jumlah korban berbeda-beda, bahkan hingga jutaan jiwa). Pemerintah Orde Baru (Orba) menyatakan komunis layak diberantas karena mereka kejam, melakukan banyak kejahatan kemanusiaan dan hendak menggulingkan pemerintahan untuk menjalankan sistem yang mereka anut. Selain dibunuh, banyak orang yang dibuang ke Pulau Buru agar tidak mendapatkan akses untuk menyebarkan ajaranajaran komunisme. Penghukuman ini dilakukan tanpa adanya pengadilan terlebih dahulu, sehingga secara sewenang-wenang pemberantasan komunisme ini merampas hak asasi manusia setiap orang yang dihukum, meskipun belum diketahui secara pasti apakah orang tersebut benar-benar terlibat dalam kegiatan komunisme. Pemerintah Orba terus menyuarakan wacana kekejaman komunis melalui berbagai upaya, salah satunya dengan memproduksi film Pengkhianatan
1
G30S/PKI (1984) yang secara berulang ditayangkan di saluran televisi nasional setiap tanggal 30 September. Tindakan tegas pemerintah Orba membuat masyarakat dan media massa tidak berani mengungkap segala hal tentang peristiwa ini. Teks mengenai peristiwa pemberantasan komunis hadir di tengah masyarakat Indonesia sejak masa pemerintahan Orba berakhir. Berbagai media telah digunakan untuk menyuarakan wacana mengenai pemberantasan komunis contohnya melalui film, buku, surat kabar serta media massa lainnya. Sejak turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, mulai terbit tulisan-tulisan di media tentang kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto. Publikasi tulisantulisan semacam ini adalah nihil untuk dilakukan pada saat Soeharto masih berkuasa. Tulisan-tulisan yang mengulas mengenai perjuangan komunis juga hadir dalam berbagai versi. Hal ini menunjukkan adanya perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia. Kelompok komunis yang sebelumnya dianggap sebagai kelompok kejam yang melakukan kejahatan kemanusiaan kini justru dianggap sebagai korban. Anggapan ini didorong oleh beberapa faktor salah satunya adalah pendapat bahwa seharusnya tindakan yang dilakukan pemerintah adalah memberantas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kelompok komunis, alih-alih melakukan pemberantasan massal yang menghilangkan nyawa secara kejam dan tindakan-tindakan diluar batas kemanusiaan lain yang merampas HAM. Pemberantasan ini meninggalkan trauma yang mendalam dan menciptakan kondisi ketidaknyamanan di dalam lingkungan masyarakat. Hingga kini, pelabelan terhadap kelompok masyarakat yang merupakan (eks) komunis beserta keluarganya masih membebani karena citra buruk yang ditanamkan sejak masa Orba. Mereka kehilangan kesempatan bekerja di instansi pemerintahan karena pemerintah Orba melarangnya. Kondisi yang tidak rukun antara masyarakat dan kelompok (eks) komunis di dalam lingkungan masyarakat juga masih terjadi. Salah satunya adalah tindakan pembubaran acara eks tahanan politik (tapol) oleh Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) yang terjadi di Yogyakarta pada Oktober 2013. Berdasarkan keterangan dari salah satu pengelola, acara yang digelar di Padepokan Santi Dharma tersebut merupakan kegiatan sharing tentang bagaimana
2
cara meningkatkan ekonomi keluarga dan anak-anak eks tapol. Meskipun begitu ketua FAKI, Burhannudin menyatakan bahwa tidak ada ampun bagi orang-orang (eks) komunis yang berada dan mengadakan pertemuan di Yogyakarta. 1 Hal ini menandakan wacana komunisme yang diserukan pemerintah Orba masih menjadi wacana dominan yang dipercayai masyarakat. Sementara itu, kelompok (eks) komunis beserta keluarganya masih mengalami penderitaan dan butuh diperhatikan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Setelah jatuhnya rejim Orba yang dipimpin oleh Soeharto, beberapa pemerintahan
berikutnya
telah
melakukan
upaya
untuk
menuntaskan
permasalahan keadilan terhadap tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) yang selama ini masih berada dalam lingkaran hukum sistem Orba. Upaya ini diantaranya dilakukan pada masa pemerintahan B.J Habibie2 dan Abdurrahmad Wahid.3 Namun, pada akhirnya pemerintah tidak mampu menyelesaikan permasalahan ini hingga tuntas. Walau selama ini pemberitaan di media tidak banyak menyorot posisi PKI sebagai korban, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengambil berani tindakan yang tegas. Setelah melakukan penyelidikan selama empat tahun, pada 23 Juli 2012 Komnas HAM menyatakan pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM yang berat. Terdapat sembilan pelanggaran HAM pada peristiwa tersebut yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan 1
Wijaya Kusuma, “FAKI DIY Akui Telah Bubarkan Acara Eks Tapol”, Kompas Online, diakses dari http://regional.kompas.com/read/2013/10/27/2009367/FAKI.DIY.Akui.Telah.Bubarkan.Acara.Eks .Tapol., pada tanggal 24 Agustus 2015 pukul 11:31 WIB. 2 B. J Habibie membebaskan para tapol dan napol pada awal pemerintahannya, namun disinyalir bahwa tindakannya itu tidak lepas dari tekanan internasional. Pembebasan ini pun tidak diikuti dengan pengungkapan maupun peradilan pelanggaran HAM pada peristiwa peristiwa pemberantasan komunis 1965. 3 Setelah Abdurrahman Wahid menggantikan Habibie di kursi kepresidenan, harapan akan penuntasan kasus pelanggaran HAM tersebut semakin besar. Meskipun demikian, Abdurrahman Wahid yang dikenal sebagai pemimpin yang melakukan berbagai hal signifikan bagi penghormatan HAM ini pun mengalami kendala tersendiri. Permintaan maaf yang ia sampaikan kepada para korban pelanggaran HAM 1965 mendapatkan reaksi dari organisasi masyarakat yang sedikit banyak terkait dengan peristiwa pemberantasan komunis tersebut. Usulannya untuk mencabut TAP MPRS XXV/1996 tentang pembubaran PKI dan pelarangan ajaran marxisme, leninisme dan komunisme mendapatkan tentangan banyak pihak meskipun di sisi lain juga mendapatkan pujian.
3
kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.4 Tindakan pengusutan kasus pelanggaran HAM ini juga dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli lainnya baik dari dalam maupun luar negeri. Usaha-usaha pengungkapan dan pengusutan yang dilakukan melalui berbagai media ini tidak memberikan dampak yang nyata sehingga wacana pelanggaran HAM yang dialami komunis ini tidak mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat Indonesia dan internasional. Kemungkinan besar ketersediaan akses untuk mendapatkan informasi mengenai wacana pelanggaran HAM ini sangat terbatas sehingga masyarakat yang mengetahui adanya wacana ini masih terbatas. Hingga akhirnya terjadi perubahan yang signifikan ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan beberapa lembaga peduli hak asasi manusia mengadakan pemutaran perdana film Senyap (The Look of Silence) dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia tanggal 10 November 2014 lalu. Film Senyap diputar di 457 tempat yang tersebar di seluruh Indonesia. Senyap merupakan film dokumenter yang melengkapi film Jagal yang memiliki judul lain The Act of Killing (2012). Kedua film ini mengangkat kisah peristiwa pemberantasan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965-1966. Permintaan pemutaran film Senyap pada awal rilis memiliki peningkatan yang pesat dibandingkan dengan Jagal.5 Film Senyap disutradarai oleh Joshua Oppenheimer yang mengemas kisah peristiwa pembunuhan massal dari sudut pandang keluarga korban pemberantasan yang dituduh sebagai PKI. Film ini mendokumentasikan perjalanan Adi Rukun yang mendatangi para pelaku pembunuhan kakaknya (Ramli) untuk menggali informasi. Film Senyap mengandung muatan wacana pelanggaran Hak Asasi
4
“Pembantaian di Indonesia 1965-1966”, Wikipedia, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%931966, pada tanggal 26 April 2015 pukul 16:25 WIB. 5 Dian Yuliastuti, “Hari HAM Film Senyap Diputar di 457 Tempat”, Tempo Online, diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2014/12/10/111627735/Hari-HAM-Film-Senyap-Diputar-di-457Tempat, pada tanggal 15 Februari 2015 pukul 15:23 WIB.
4
Manusia (HAM) dengan mengungkap pembunuhan kelompok komunis6 termasuk didalamnya adalah simpatisan, anggota, ataupun yang tertuduh sebagai bagian dari komunis dengan cara yang tidak manusiawi dan tidak melalui proses pengadilan. Adegan yang diperagakan dan kata-kata yang diucapkan para narasumber memperlihatkan bagaimana korban ditangkap paksa, disiksa, dan dibunuh. Dalam film ini, komunis digambarkan sebagai korban ketidakadilan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pihak pemberantas yaitu pemerintah dan masyarakat Indonesia. Joshua Oppenheimer menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi meliputi kejahatan genosida7 dan ditambah dengan adanya impunitas para pelaku pelanggaran HAM tersebut. Menurutnya, film Senyap yang telah mendapatkan berbagai penghargaan internasional ini,8 menggambarkan betapa penting kebutuhan rekonsiliasi di Indonesia saat ini.9 Film Senyap mendapatkan berbagai tanggapan dari masyarakat yang menyatakan kesetujuan dan ketidaksetujuan atas wacana yang diungkap dalam film tersebut. Ketidaksetujuan sebagian masyarakat pada wacana pelanggaran HAM yang diungkap dalam film ini dilakukan dengan cara menentang pemutaran film Senyap. Sejumlah acara pemutaran film dihentikan paksa oleh masyarakat seperti yang terjadi di kampus Universitas Gadjah Mada.10 Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) Yogyakarta pun batal menggelar acara nonton bareng film
6
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan kelompok komunis adalah orang-orang yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan kelompok komunis, simpatisan ataupun orang yang hanya dituduh sebagai komunis meskipun tidak ada bukti dan kejelasan pasti keterlibatan mereka karena tidak adanya penyelidikan dan pengadilan secara resmi. 7 Pada awalnya genosida diartikan sebagai tindakan pembantaian besar-besaran yang dilakukan terhadap suatu kelompok ras atau bangsa atau agaman untuk menghilangkan kelompok tersebut. Kemudian, semakin berkembangnya kasus serupa untuk tujuan-tujuan politik kekuasaan, maka pembantaian terhadap anggota kelompok politik tertentu untuk menghilangkan eksistensi kelompok tersebut juga termasuk ke dalam tindakan genosida. 8 “The Look of Silence”, Wikipedia, diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/The_Look_of_Silence, pada tanggal 15 Februari pukul 18:13 WIB 9 Ging Ginanjar, “Oppenheimer: Kita Tidak Bisa Lari Dari Sejarah”, BBC Indonesia Online, diakses dari http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2014/11/141110_wwc_oppenheimer_ging), pada tanggal 15 Februari pukul 17:01 WIB. 10
Addi Mawahibun Idhom, “Massa Serbu Pemutaran Film Senyap di UGM”, Tempo Online, diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2014/12/18/078629330/Massa-Serbu-PemutaranFilm-Senyap-di-UGM, pada tanggal 15 Februari 2015 pukul 16:10 WIB.
5
Senyap. Menurut Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Kepolisian Resor Kota Yogyakarta Komisaris Sigit Haryadi, pembatalan itu disebabkan adanya kabar yang menyebutkan acara itu akan dibubarkan oleh massa anggota Front Anti Komunis Indonesia.11 Sedangkan, menurut Hilmar Farid yang merupakan dosen Universitas Indonesia, dampak peristiwa 1965 tidak hanya di masa lalu namun juga ada pada masa sekarang. Atas nama sesuatu yang lebih penting, yang dalam kasus ini berlatar politik yaitu anti PKI, prinsip-prinsip dasar kemanusiaan diabaikan.12 Wacana
pelanggaran
HAM
terhadap
komunis
dalam
peristiwa
pemberantasan komunis tahun 1965 yang diungkap dalam Film Senyap ini merupakan resistensi wacana minoritas terhadap wacana dominan bentukan pemerintahan Orde Baru yang menyatakan bahwa komunis adalah kelompok yang kejam dan melakukan banyak kejahatan kemanusiaan. Sebenarnya, wacana ini sudah ada sebelum munculnya film Senyap yang dihadirkan melalui berbagai media dan didukung oleh berbagai pihak yang peduli terhadap kasus pelanggaran HAM tersebut. Tetapi kehadiran film Senyap menarik perhatian masyarakat luas dan mendapatkan reaksi dari berbagai pihak yang bersangkutan. Bagaimanapun, film Senyap merupakan film dokumenter yang tidak lepas dari proses konstruksi sehingga bukan merupakan gambaran dari realitas yang objektif. Melalui proses pengambilan gambar dan seleksi penyuntingan (editing), fakta yang disajikan dalam film ini bersifat subjektif. Mengingat bahwa sebagian besar tim produksi film Senyap merupakan outsider yang tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa tersebut, dapat diasumsikan bahwa penyajian wacana pelanggaran HAM dalam peristiwa pemberantasan komunis dalam film Senyap memiliki pendekatan, sudut pandang dan kajian yang berbeda. Sehingga perlu dikaji lebih lanjut bagaimana wacana pelanggaran HAM pada peristiwa pemberantasan komunis tahun 1965 yang diungkap dalam film Senyap.
11
Addi Mawahibun Idhom, “Begini Bubarnya Nonton Film Senyap di AJI Yogya”, diakses dari http://www.tempo.co/read/news/2014/12/17/078629251/Begini-Pembubaran-Nonton-FilmSenyap-di-AJI-Yogya), pada tanggal 15 Februari 2015 16:17 WIB. 12 Edna C. Patissina, “Rekonsiliasi: 1965, Dulu dan Sekarang”, Kompas, 30 Sep 2014.
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, identifikasi masalah penelitian ini adalah bagaimana wacana pelanggaran Hak Asasi Manusia pada peristiwa pemberantasan komunis tahun 1965 disajikan dalam film Senyap?
C. Tujuan Penelitian 1. Menyajikan analisis
wacana
pelanggaran
HAM
pada
peristiwa
pemberantasan PKI diungkap dalam film Senyap. 2. Menganalisis praktik sosiokultural yang melatarbelakangi terbentuknya wacana pelanggaran HAM pada peristiwa pemberantasan PKI yang diungkap dalam film Senyap.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata pada setiap aspek berikut: 1. Dari sudut pandang akademis, penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu komunikasi dan media khususnya studi mengenai Hak Asasi Manusia yang ditampilkan dalam film sebagai media massa. 2. Dari sudut pandang praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan kritik dalam menyajikan isu HAM pada produksi film. Juga dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan kebijakan dalam film khususnya yang memuat konten mengenai HAM, serta memberikan pemahaman mengenai HAM sehingga masyarakat dapat mengetahui dan menilai secara kritis terhadap isu HAM yang ditampilkan dalam media massa khususnya film.
7
E. Kerangka Pemikiran E.1 Teori Wacana Wacana bagi Foucault adalah alat dan efek dari kuasa. Wacana dimaknai sebagai bentuk perluasan kuasa sebagai rezim pengetahuan tertentu yang sedang dan (atau) telah menciptakan jenis pengetahuan tertentu.13 Terdapat dua ide inti metodologi Foucault yaitu arkeologi ilmu pengetahuan dan genealogi kekuasaan. Alan Sheridan berpendapat bahwa arkeologi pengetahuan adalah upaya untuk menemukan seperangkat aturan yang menentukan kondisi kemungkinan keseluruhan yang dapat dikatakan dalam diskursus khusus pada waktu tertentu.14 Arkeologi merupakan metode untuk menemukan kemungkinan kebenaran pada suatu waktu tertentu. Arkeologi tidak berusaha menentukan pemikiran, representasi, citra, tema, akan tetapi arkeologi ingin menentukan wacana itu sendiri sebagaimana yang dipraktekkan berdasarkan aturan-aturan tertentu.15 Sedangkan genealogi adalah kebenaran yang berkaitan erat dengan kekuasaan (power) sehingga membentuk rezim kebenaran.16 Untuk mengetahui kekuasaan, dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Menurut Foucault kebenaran itu diproduksi, sehingga setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Disini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.17 Menurut Foucault kekuasaan bukan lagi suatu hal yang berkepentingan ekonomi. Foucault ingin mengajak kita sadar bahwa analisis mengenai kekuasaan tidak lagi bertumpu pada 13
Marianne W. Jogersen dan Louise J. Philips, Analisis Wacana: Teori dan Metode, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm 28. 14 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm 611. 15 Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, Yogyakarta, IRCiSoD, 2012, hlm 250. 16 Norman Fairclough, Discourse And Social Change, Cambrige, Polity Press, 1993, hlm 49. 17 Eriyanto, Analasis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, Lkis, 2011, hlm 6667.
8
pertanyaan seputar siapa pemilik kekuasaan dan untuk apakah kekuasaan tersebut, melainkan ke proses-proses yang membentuk subjek sebagai hasil pengaruh kekuasaan.18 K. Bertens mengutip empat prinsip Foucault, pertama, kuasa bukanlah kepemilikan melainkan strategi. Foucault tidak memandang kekuasaan sebagai hak kepemilikan yang dimiliki secara terpusat yang disimpan dan diperoleh, tetapi kekuasaan yang dipraktekkan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan dan senantiasa mengalami pergeseran. Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi tetapi terdapat dimana-mana. Hal ini berarti bahwa dimana saja terdapat susunan-susunan, sistem dan regulasi, maka kekuasaan akan selalu hadir. Ketiga, kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Agar kekuasaan menjadi langgeng, kekuasaan tidak harus tampak sangar dan mengerikan malah sebaliknya, kekuasaan harus harus bisa tampak menyenangkan sehingga seolaholah menjadi hal yang wajar sehingga dapat diterima. Keempat, kuasa tidak bersifat destruktif melainkan produktif. Kekuasaan harus dapat menghasilkan sesuatu yang dapat melegitimasikan dirinya.19 Sara Mills merangkum definisi wacana Foucault, yang pertama yaitu wilayah umum semua pernyataan. Mencakup semua ucapan atau teks yang memiliki makna dan pengaruh di dunia. Kedua, yaitu sekelompok statement yang dapat diindividualisasikan. Disini Foucault berupaya mengidentifikasi wacana, yakni, kelompok ucapan yang tampak diatur melalui cara tertentu dan dianggap memiliki suatu koherensi dan kekuatan umum. Ketiga, merupakan suatu praktik teratur yang terkait dengan sejumlah pernyataan. Menurut Mills, Foucault kurang tertarik pada ucapan ataupun teks aktual dibandingkan dengan ketertarikannya pada kaidah dan struktur yang menghasilkan ucapan dan teks tertentu.20 Terdapat beberapa karakteristik penting dari analisis wacana kritis, pertama adalah tindakan, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan 18
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta, Gramedia Pustaka, 2006, hal 113. Opcit.., hlm 354-358. 20 Sara Mills, Diskursus: Sebuah Piranti Analisis Dalam Kajian Ilmu Sosial, Jakarta, Qalam, 2007, hlm 9-10. 19
9
pemahaman semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentik interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, bereaksi, dan sebagainya. Kedua adalah konteks, Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Ketiga adalah historis yaitu menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak tepat dimengerti tanpa menyertakan konteks
yang
menyertainya. Keempat adalah kekuasaan, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Kelima yaitu ideologi. Teori-teori klasik tentang ideologi di antaranya mengatakan bahwa ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan untuk mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Salah satu strategi utamanya adalah dengan membuat kesadaran kepada khalayak bahwa dominasi itu diterima secara taken for granted. 21 Meminjam penjelasan Foucault tentang The Body and Punishment, kehadiran tubuh membentuk suatu disiplin yang memenjarakan kebebasan untuk menetukan kebenaran yang dipahami bersama.22 Wacana perlu disebarluaskan menggunakan medium, medium tersebut merupakan bentuk tubuh yang mendisiplinkan masyarakat dengan pengambaran-pengambaran yang diarahkan untuk menentukan suatu kebenaran. Medium bisa berupa surat kabar, lukisan, film atau media massa lainnya. Norman Fairclough pun menyatakan bahwa visual tidak kalah penting dibandingkan dengan teks verbal. Hal ini dikarenakan adanya hal-hal yang terdapat pada gambar yang informasinya melebihi keterangan yang terdapat dalam teks verbal. Contohnya adalah gestur, ekspresi wajah, gerakan, dan postur tubuh.23 Media dan seni dapat menyampaikan suatu wacana yang dapat dikaji dengan berbagai pengetahuan dan relasinya.24 Kekuasaan dapat diinvestasikan melalui 21
Eriyanto, op.cit., hlm 8. Gillian Rose, Visual Methodologies¸London, SAGE Publication, 2001, hlm. 165. 23 Norman Fairclough, Language And Power, New York, Longman Inc, 1989, hlm 27. 24 Gillian Rose, op.cit., hlm 137. 22
10
media visual. Hal yang menarik di sini adalah bagaimana hubungan kekuasaan ini diproduksi dan apa yang mereka produksi untuk menciptakan subjektivitas tertentu dengan referensi khusus untuk gambar apapun. Kita dapat mencari tahu apa hubungan kekuasaan yang terlibat dalam budaya visual, dengan melihat berbagai posisi seperti resistensi terhadap hubungan kekuasaan, atau upaya yang dilakukan untuk memisahkan aspek yang terdiri dari hubungan kekuasaan.25 Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh McQuail bahwa media massa jarang memulai perubahan secara mandiri, tetapi mereka menyediakan saluran, alat dan arena untuk memainkan peristiwa yang disana terdapat banyak aktor dan kepentingan terlibat, sering kali dalam kompetisi dengan satu sama lain. Objek pengaruh yang utama mungkin bukan publik media secara umum, tetapi kelompok kepentingan lain yang spesifik, para elit, minoritas yang berpengaruh dan lainnya.26 Fairclough membagi analisis wacana ke dalam tiga dimensi yaitu teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Meski teks intinya adalah verbal, namun tidak menutup kemungkinan bahwa ungkapan verbal atau ‘berbicara’ merupakan aktivitas yang terkait dengan gerak isyarat, ekspresi wajah, gerak badan, dan sikap serta lainnya yang mengungkapkan suatu makna. Sebut saja hal ini sebagai ‘visual’, istilah ini dapat diterima oleh para ahli interpretasi.27 Semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah yaitu pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks. Kedua, relasi yang merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan dalam organisasi pembuat teks. Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas produsen (sineas) dan konsumen (penonton) serta bagaimana personal dan identitas ini hendak ditampilkan. Discourse practice merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks. Sedangkan sociocultural practice adalah dimensi yang berhubungan dengan konteks di luar teks. Konteks di sini meliputi banyak 25
Patrick dan Kelli Fuery, op.cit., hlm 1. Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa Jilid 2, Jakarta, Salemba Humanika, 2011, hlm 296. 27 Norman Fairclough, Language And Power, terj. Khatibur rasyadi AM, Malang, Boyan Publishing, 2003, hlm 30. 26
11
hal, seperti konteks situasi, konteks praktik institusi dari media sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya dan politik tertentu.28
E.2 Film Dokumenter Sebagai Media Pengungkapan Wacana Dalam film dan video, kita sering membuat perbedaan antara dokumenter dan genre teater (fiksi). Produksi dokumenter menghadirkan fakta, sedangkan produksi teater menghadirkan fiksi. Karena kita berpikir bahwa dokumenter sebagai presentasi “nyata” subjek, kita dapat dengan mudah salah paham proses produksi dokumenter dan percaya bahwa genre dokumenter tidak menggunakan teknik dan tidak memberikan interpretasi subjek. Kita percaya bahwa konten yang dihadirkan film dokumenter tidak mungkin jauh dari kebenaran.29 Menurut Dziga Vertov,30 kamera merupakan mata film, dan film dokumenter bukan menceritakan suatu realitas objektif, melainkan suatu realitas berdasarkan apa yang terlihat dan terekam oleh kamera sebagai mata film. Ia menyebut mata film dengan sebutan Kino-Eye atau Kino Glaz.31 Seorang dokumenter Inggris John Gierson berpendapat bahwa dokumenter adalah sebagai perwujudan interpretasi kreatif tentang aktualita. Sedangkan Bill Nichols mengatakan bahwa dokumenter dimulai dengan orang melihat dan menghargai berbagai image yang dipersembahkan atau menunjukkan masa lalu dari kejadian yang terjadi di dunia. Melalui pembuat film, dengan suaranya, atau perspektifnya, dan dengan berbagai pengertiannya. Penonton dapat menerima ketika mereka menonton film dokumenter sebagai kenyataan baru yang sangat kompleks, bahkan semi-visible yang bercampur dengan kenyataan sejarah dan mungkin memiliki penyimpangan-penyimpangan yang terkonstruksi. Representasi dari nilai-nilai sejarah dunia dikombinasikan dengan suara (narasi) yang disusun oleh pembuat film mulai memberikan kepemihakkan dokumenter tentang suatu 28
Eriyanto, op.cit., hlm 8. John S. Douglass, The Art of Technique: An Aesthetic Approach To Film And Video Production, Needham Heights, MA, A Simon & Schuster Company, 1996, hlm 6. 30 Vertov adalah sineas dokumenter (dokumentaris) yang berlatar belakang sebagai reporter dan memproduksi film yang bersifat propaganda untuk pemerintah Uni Soviet. 31 Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi, Jakarta, FFTV-IKH Press, 2008, hlm 16. 29
12
nilai dan digambarkan secara sungguh-sungguh dari para politisi dan pemerintah dalam bentuk propaganda. Hal ini dimungkinkan tidak hanya merepresentasikan realita dengan hal-hal yang memiliki nilai ilmiah, tetapi juga memberikan penonton pandangan tentang dunia yang sebelumnya belum pernah dilihatnya.32 Dalam pandangan klasik, film dokumenter ditempatkan sebagai film yang terus-menerus merekam kehidupan nyata. Sehingga dengan cara pandang ini, wajar jika kebanyakan film dokumenter berbicara mengenai etnografi atau kondisi sebuah masyrakat tertentu. Selain itu, dicirikan juga oleh penegasan-penegasan lewat narasi. Film yang berada diluar batasan ini tidak dikategorikan sebagai filmfilm dokumenter. Namun semakin lama, seiring perkembangan film dokumenter, terdapat film-film yang diproduksi dengan konsep baru. Jika sebelumnya film dokumenter berfokus pada penggambaran yang dikemas secara gamblang untuk menunjukkan isu-isu global maupun politik, akhir-akhir ini terdapat film yang mengemas unsur dokumenter secara berbeda. Contohnya, film karya Sokurov dan Tahimik yang memenangkan penghargaan film dokumenter. Film mereka menyorot dari aspek mikro namun bertujuan untuk menggambarkan kondisi makro. Hal ini menjadi sebuah kesadaran baru bahwa sekecil apapun lingkup subjek dalam film dan bagaimanapun bentuk penyajiannya film-film tersebut tetaplah mengandung nilai-nilai dokumentasi.33 Menurut Himawan Pratista dalam buku Memahami Film, struktur bertutur film dokumenter umumnya memiliki kompleksitas cerita dan cara penyajian yang tidak rumit dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan.34 Dalam film dokumenter terdapat realita dan truth (kebenaran). Menurut Robert Bresson, truth memiliki dua pengertian. Pertama, sesuatu yang mengandung kebodohan, flat dan membosankan, yang penampakkannya di mata terlihat jelek atau tidak enak untuk diperhatikan. Kedua, adalah “keindahan sebagai kenyataan yang mulia”. Sedangkan menurut Jean-Luc Godard, ada sutradara yang mencari kebenaran, dan jika mereka mendapatkannya akan dijadikan sesuatu yang lebih cantik. Namun ada juga sutradara yang mencari 32
Gotot Prakosa, Film Pinggiran, Jakarta, FFTV-IKJ, 1997, hlm 125-126. Gotot Prakosa, op.cit., hlm 134-135. 34 Himawan Pratista, Memahami Film, Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008, hlm 4. 33
13
keindahan itu sendiri dan jika mendapatkannya ia juga akan berbicara tentang kenyataan (yang mengandung kebenaran).35 Konsep tentang realita dalam film dokumenter ditawarkan dalam dua kategori. Pertama, yang berhubungan dengan fisik, bahwa realita yang ada adalah dalam bentuk pluralistik. Kedua, yang berhubungan dengan metafisik, yaitu sebuah konsep dalam usaha membentuk struktur konseptual yang bisa menciptakan ruang yang juga bisa dilihat dari berbagai sisi tentang realita. Nampaknya, inilah yang menjadi hal utama dalam memformulasikan sebuah konsep tentang realita, yang dapat mengakomodasikan antara identitas dan keberbedaan, sesuatu yang permanen dengan sesuatu yang bisa berubah-ubah. Sedangkan yang kedua adalah pandangan yang terbuka, untuk memandang dari segala arah dan segala interpretasi. Dalam kenyataannya realita bukanlah monodimensional. Sebaliknya, dari segala arah untuk mendapatkan kristalisasi atau mungkin bahkan berbentuk propaganda. Dalam kemungkinan sejarah manusia memiliki realita yang berlapis-lapis dimana manusia pun sangat memperhatikan persoalan realita, disinilah film memiliki kekuatan yang unik untuk menangkap realita.36 Semakin lama, film dokumenter menjadi lebih refleksif, mengubah pandangan kritis pada
tradisi dokumenter itu sendiri. Contoh sederhananya
adalah film The Atomic Cafe (1982). Film kompilasi ini mengulas sejarah pengujian dan penyebaran senjata nuklir oleh Amerika Serikat, dari Hiroshima ke pertengahan 1960-an. Di De Antonio vena, komentar berkurang hanya untuk sub judul mengidentifikasi tempat, waktu, dan kadang-kadang sumber rekaman footage. Tapi banyak footage tidak berfungsi sebagai catatan transparan kejadian. Karena shot datang dari film pendidikan dan propaganda, The Atomic Cafe berdiam pada cara di mana ini genre dokumenter menyebarkan ide-ide yang begitu disederhanakan tentang perang nuklir. Film ini menyiratkan bahwa
35 36
Gotot Prakosa, op.cit., hlm 124. Gotot Prakosa, op.cit., hlm 126-127.
14
penerimaan publik terhadap kebijakan Perang Dingin diperkuat oleh konvensi dari media populer.37 Ada empat kriteria yang menerangkan bahwa dokumenter adalah film nonfiksi.38 1. Setiap adegan dalam film dokumenter merupakan rekaman kejadian sebenarnya, tanpa interprestasi imajinatif seperti halnya dalam film fiksi. 2.
Bila pada film fiksi latarbelakang (setting) adegan dirancang, pada dokumenter latar belakang harus spontan otentik dengan situasi dan kondisi asli dan apa adanya.
3. Hal yang dituturkan dalam film dokumenter berdasarkan peristiwa nyata (realita), sedangkan pada film fiksi isi cerita berdasarkan karangan (imajinatif). Bila film dokumenter memiliki interpretasi kreatif, maka dalam film fiksi yang dimiliki adalah interpretasi imajinatif. 4. Sebagai sebuah film nonfiksi, sutradara melakukan observasi pada suatu peristiwa nyata, lalu melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya 5. Apabila struktur cerita pada film fiksi mengacu pada alur cerita atau plot, dalam film dokumenter konsentrasinya lebih pada isi dan pemaparan. Apapun peristiwa yang berlangsung di layar, baik itu fantastis atau tidak, penonton adalah saksi dan turut mengambil bagian dalam peristiwa tersebut. Oleh karena itu, meskipun penonton sadar sifat acara yang tidak nyata, mereka bereaksi secara emosional seperti reaksinya pada peristiwa nyata asli.39 Penonton ditentukan tidak hanya sebagai seseorang yang rasa ingin tahu yang harus puas dengan pengimbangan dari gangguan awal, tetapi juga, lebih terpusat, sebagai
37
Kristin Thompson dan David Bordwell, Film History: An Introduction, USA, McGraw-Hill, Inc, 1994, hlm 673. 38 Gerzon R. Ayawaila, op.cit., 2008, hlm 57. 39 Jurij Lotman, “Semiotic of Cinema: The Illusion of Reality”, dalam Film Theory and Criticism, Oxford, Oxford University Press, 2009, hlm 55.
15
seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam kaitannya dengan peristiwaperistiwa. Film itu sendiri dikonstruksi dan ditawarkan untuk penonton ini, yang menjadi titik kejelasan film. Maka, baik fiksi ataupun dokumenter tidak hanya dikonstruksi dari kenyataan, tidak juga untuk menunjukkan realitas, melainkan untuk menawarkan realitas yang jelas dan dapat dimengerti penonton yang penasaran, yang tetap terpisah dari ilusi. Posisi yang ditawarkan kepada penonton adalah seseorang yang mampu yang membuat film dimengerti. Itu adalah posisi pengetahuan yang membangun penonton karena mampu menghasilkan visi kebenaran melalui film. Seringkali, kebenaran yang dipersepsikan oleh penonton tidak lain dari daya lihat, yang keahliannya didasarkan pada fakta yang dapat melihat lebih dari siapa pun atau apa pun.40 Film menjadi salah satu media yang dapat dengan leluasa menampilkan representasi yang dipercayai sebagai penggambaran realita. Terlebih lagi pada film non-fiksi, di mana tidak semua aspek dapat dibentuk dan dikondisikan sesuai dengan keinginan sineas sehingga penonton mempercayai bahwa film dokumenter yang ditontonnya adalah penggambaran realita yang sesungguhnya. Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial itu dikonstruksi dan dimaknakan kembali secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya.41 Menurut Berger dan Luckman, untuk menjelaskan realitas sosial perlu memisahkan pemahaman ‘kenyataan’ dan ‘pengetahuan’. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri.
40
John Ellis, Visible Fiction, New York, Routledge, 2001, hlm 81-83. Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm 12-13. 41
16
Sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakter yang spesifik.42 Realitas dipahami sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk melalui wacana. Menurut Foucault, realitas tidak bisa didefinisikan jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut: wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar. Perspektif kita tentang suatu objek dibentuk dengan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang ini benar dan yang lain salah.43 Foucault menjelaskan tiga jenis perjuangan (struggle) yang dapat dilakukan melalui image yaitu againts domination (melawan dominasi), eksploitation (eksploitasi) dan subjection (ketergantungan pada kepentingan tertentu). Dalam film, khususnya film dokumenter, tidak hanya subjek berjuang melawan dominasi yang terdapat dalam sebuah film, tetapi film yang berjuang melawan gambar dalam film lainnya. Semakin banyak gambar yang dapat dianggap penting dan kuat disajikan dalam sebuah film, maka akan semakin menggoda
dan
menarik
perhatian
penonton
sehingga
semakin
sedikit
kemungkinan adanya perlawanan dari penonton. Ditambah lagi dengan ekspoitasi gambar tentang kekuasaan yang berfungsi untuk memperjelas dan melestarikan dominasi kekuasaan yang telah terbentuk. Institusi gambar menunjuk posisi menonton dari mana subjek diperlukan untuk melihat gambar untuk mendapatkan makna yang ‘tepat’. Melalui gambar yang disajikan dalam film, penonton diarahkan untuk melihat isi film dari posisi yang sesuai dengan harapan pembuat film agar tujuannya tercapai.44 Meskipun film dokumenter termasuk sebagai produk seni, namun Gillian Rose mengatakan bahwa unsur seni ini bukanlah satu-satunya hal penting yang 42
Ibid., hlm 14-15. Eriyanto, op.cit., hlm 73-74. 44 Patrick dan Kelli Fuery, Visual Cultures and Critical Theory, London, Arnold Publishers, 2003, hlm 2-7. 43
17
terkandung dalam visual image, tetapi juga terdapat pengetahuan, institusi, subjek dan praktek yang berfungsi untuk mendefinisikan image tertentu sebagai seni dan bukan seni.45 Bila meminjam istilah Foucault, film dokumenter merupakan The Body (tubuh) yang merupakan media pengungkapan wacana dengan memberikan pengetahuan yang membentuk nilai-nilai kebenaran tertentu.
E.3 Hak Asasi Manusia dan Pelanggarannya Hak asasi artinya hak yang bersifat mendasar. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang bersifat mendasar dan inheren dengan jati diri manusia secara universal.46 Namun, HAM tidak dapat selalu dapat ditegakkan dan terpenuhi secara adil bagi setiap manusia. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti ekonomi dan kekuasaan. Kronologis konseptualisasi penegakan HAM yang diakui secara yuridisformal dapat dijelaskan secara singkat melalui tonggak-tonggak sosialisasinya. Perkembangan berikut juga menggambarkan pertumbuhan kesadaran pada masyarakat Barat. Pertama, munculnya Perjanjian Agung (Magna Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari pemberontakan para baron terhadap Raja John. Isi pokok dokumen itu ialah hendaknya raja tak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorang pun dari rakyat. Kedua, keluarnya Bill of Rights pada 1628, yang berisi penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun, atau untuk memenjarakan, menyiksa, dan mengirimkan tentara kepada siapa pun, tanpa dasar hukum.47 Ketiga, Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 Juli 1776, yang memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dasar tersebut.
45
Gillian Rose, Visual Methodologies, London, Sage Publication, 2002, hlm 136. Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta, Prenada Media, 2005, hlm 47. 47 Edward C. Smith, The Constitution of the United States, New York, Barnes & Noble, 1966, hlm 17. 46
18
Keempat, Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warga Negara dari Perancis pada 4 Agustus 1789, dengan menitikberatkan kepada lima hak asasi pemilikan harta, kebebasan, persamaan, keamanan, dan perlawanan terhadap penindasan. Kelima, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) pada 10 desember 1948, yang memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, pemilikan harta, hak-hak dalam perkawinan, pendidikan, hak kerja, dan kebebasan beragama (termasuk pindah agama).48 Dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan filosofis yang kentara, baik dari segi nilai maupun orientasi. Di Inggris menekankan pada pembatasan raja, di Amerika Serikat mengutamakan kebebasan individu, di Perancis memprioritaskan egalitarianisme persamaan kedudukan di hadapan hukum, sedangkan di Rusia tidak diperkenalkan hak individu, tetapi hanya mengakui hak sosial dan kolektif.49 Seiring dengan kemajuan sistem ekonomi, nampaknya peraturan HAM juga mengalami perkembangan. Peraturan mengenai HAM Inggris telah mengambil keuntungan ekonomi dari negara-negara jajahannya walaupun sebenarnya Inggris sendiri sangat bergantung dengan bahan-bahan impor dari negara-negara tersebut. Inggris pun tidak segan-segan untuk melakukan tindakan kasar untuk mempengaruhi dunia luar.50 Negara-negara bebas, bukan hanya telah meninggalkan teori ekonomi Marxis, tetapi juga teori hak yang berbau Marxis. Bahkan, beberapa negara bekas 48
Ibid., hlm 20. Bambang Sutiyoso, “Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia”, UNISIA No. 44/XXV/I/2002, Yogyakarta, UII Press, 2002, hlm 85. 50 Antara tahun 1840-1860 Cina dan Jepang pun diserang. Karena kepala negaranya terlalu mempertahankan independensi perekonomiannya dan dianggap sebagai musuh yang menghalangi kepentingan Inggris, maka terjadilah Perang Triple Alliance tahun 1864, yang mengarah pada pembunuhan massal bangsa Paraguay (tinggal seperenam yang masih hidup), atau Perang Sipil Cina tahun 1891. Kedua perang itu secara langsung diorganisir dan didanai Inggris, hal ini adalah contoh intervensi Inggris yang kotor. Ketika Inggris semakin kaya dan kuat, negara-negara jajahannya pun semakin menderita. Sistem ekonomi di negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang dibentuk oleh perekonominan kota-kota besar secara perlahan semakin buruk yang ditandai dengan ketidakseimbangan struktural yang sekarang dikenal dengan keterbelakangan (underdevelopment), yaitu ambruknya model kegiatan ekonomi tradisional, struktur sektor tertentu yang rusak dan ketergantungan pada luar negeri (dalam perdagangan, teknik dan finansial). Semua bentuk kekerasan secara langsung dan tak langsung sebagai akibat dari kolonialisme juga harus dicatat ketika kita membicarakan biaya kemanusiaan yang harus dibayar oleh perkembangan ekonomi Inggris. Jamil Salmi, Kekerasan dan Kapitalisme: Pendekatan Baru dalam Melihat HakHak Azasi Manusia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003, hlm 57-58. 49
19
blok komunis yang lama, seperti Hongaria dan Cekoslovakia telah ikut menandantangani
instrumen-instrumen
hak
asasi
manusia
yang
jelas
mengesahkan hak politik dan sipil yang individualistik. Namun, sumbangan pemikiran Marxis kepada perkembangan instrumen internasional mengenai hak sosial, kultural dan ekonomi sangatlah nyata.51 Perolehan keuntungan dari kegiatan perdagangan yang banyak dilakukan di negara-negara besar tidak dihasilkan oleh perdagangan bebas yang menjamin keadilan pihak-pihak yang terlibat. Menurut Milton Friedman, liberalisme mendukung perdagangan bebas sebagai alat yang menghubungkan berbagai negara di dunia secara damai dan demokratis. Selain itu, keuntungan tersebut tidak akan diperoleh tanpa penggunaan kekuatan brutal yang sistematis.52 Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa kekuasaan suatu pihak dapat menindas HAM bagi pihak lainnya demi kepentingan yang menunjang kemapanan dan kesuksesan seperti faktor ekonomi. Negara-negara adidaya seperti Inggris dan Amerika Serikat akan terus berusaha untuk mencapai tujuannya dan mempertahankan posisinya yang memiliki otoritas besar dalam perekonomian global. Banyak sektor yang dapat dikendalikan oleh faktor ekonomi, sehingga negara-negara besar tersebut melakukan berbagai cara untuk dapat mengintervensi kebijakan suatu wilayah. Mereka mengontrol sumber daya wilayah lain dengan sumber daya yang telah dimiliki sendiri meskipun harus melalui peperangan. Berlandaskan dengan adanya berbagai kegiatan perang ataupun perebutan wilayah serta kekuasaan yang semakin sering terjadi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan konvensi mengenai Pencegahan dan Penghukuman terhadap kejahatan Genosida. Hal ini disetujui oleh Majelis Umum pada tahun pada tahun 1948 dan berlaku sejak 1951. Penyusunan dan pengesahan konvensi ini lebih spesifik dimotivasi oleh pengalaman pemusnahan jutaan orang Yahudi dan
51
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori, dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Jakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, 1994, hlm 54. 52 Jamil Salmi, op.cit., hlm 48.
20
kelompok-kelompok lain oleh Nazi sebelum dan selama Perang Dunia II. Genosida didefinisikan oleh Pasal II Konvensi sebagai berikut:53 ....setiap tindakan tersebut berikut ini, yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, seluruhnya atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, rasial atau agama, seperti: a. Membunuh para anggota kelompok itu b. Secara serius menyebabkan kerusakan jasmani atau rohani para anggota kelompok itu c. Secara sengaja memaksakan kepada kelompok itu, kondisi kehidupan yang diperkirakan akan menimbulkan kerusakan fisik pada seluruh atau sebagian kelompok itu d. Memaksakan langkah-langkah yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu e. Memindahkan secara paksa anak-anak kelompok itu ke suatu kelompok Berdasarkan Pasal IV Konvensi menyetujui bahwa suatu pengadilan internasional yang mempunyai yuridiksi untuk mengadili individu-individu yang melakukan genosida, dapat dibentuk oleh negara-negara peserta pada suatu waktu kelak, namun pasal itu juga mengharuskan pengadilan yang berwenang dari negara-negara yang ikut serta dalam konvensi untuk menyetujui yuridiksi atas pelanggaran itu sebelum adanya pemngadilan internasional, apabila kejahatan itu dilakukan dalam wilayahnya. Genosida dianggap sebagai kejahatan dalam hukum internasional, yang menarik yuridiksi universal dan norma ius cogens.54 Pada konvensi ini, penghancuran budaya dan penghancuran kelompok politik tidak termasuk kedalam kategori genosida. Penghancuran budaya dianggap terlalu kabur untuk dan sulit ditinjau pembatasannya. Sedangkan penghancuran kelompok politik ini berhasil lolos dari pengaturan konvensi karena adanya perjuangan dari Uni Soviet yang didukung negara-negara sosialis lainnya yang 53
Aidcom, & The Asia Foundation, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Panduan Bagi Para Jurnalis, Jakarta, Lembaga Studi Pers & Pembangunan, 1999, hlm 127-128. 54 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Jakarta, PT Pustaka Utama Grafiti, 1994, hlm. 128.
21
menentang
dengan
mengemukan
mengemukakan
beberapa
argumentasi.
Argumentasi utama ialah bahwa kelompok politik tidak memperlihatkan watak yang stabil dan permanen, tidak padu karena berdasarkan kehendak, gagasan dan konsepsi para anggotanya (dan karena itu berdasarkan faktor-faktor yang tidak padu dan dapat berubah) dan tidak berdasarkan faktor-faktor yang objektif; lagi pula memperluas larangan-larangan Konvensi itu sampai mencakup kelompok politik mungkin menimbulkan suatu akibat yang berbahaya yaitu campur tangan PBB dalam perjuangan politik yang terjadi dalam suatu negara sehingga membahayakan hak setiap negara untuk menggerogoti atau menggulingkan pemerintahannya.55 Kemenangan Uni Soviet untuk melepaskan kegiatan penghancuran kelompok politik dari aturan
Konvensi
Genosida
dapat
melonggarkan kemungkinan terjadinya peristiwa penghancuran kelompok politik yang mungkin memakan banyak korban di dalam suatu negara yang memiliki kondisi politik pemerintahan yang kompleks dan kritis. Selain Konvensi Genosida seperti yang disebutkan diatas, Deklraasi Universal HAM juga dapat digunakan sebagai pedoman. Berdasarkan 2 pasal deklarasi universal HAM yaitu pasal 5 dan pasal 9, pemerintah Indonesia telah melanggar HAM dalam praktek politik salah satunya pada peristiwa 1965-1966. Kedua pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: 56
Pasal 5: Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina.
Pasal 9: Tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan, atau dibuang dengan sewenang-wenang. Semenjak dicetuskannya Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia
(DUHAM) pada tahun 1948, banyak sekali kemajuan yang telah dicapai, yaitu berupa penghargaan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang paling mendasar. Ditandatanganinya piagam hak asasi manusia atau konvensi tentang HAM pada tahun 1970-an dikawasan regional Eropa, Afrika dan Amerika, merupakan bukti bahwa konsep HAM yang ditawarkan sebagian besar 55
Antonia Cassese, Hak Asasi Manusia Di Dunia Yang Berubah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005, hlm. 106-107. 56 Mansour Fakih dalam Eko Prasetyo, op.cit., hlm. V.
22
bangsa-bangsa yang demokratis hampir telah diterima secara universal oleh dunia.57 Dalam konteks Indonesia, wacana HAM diterima, dipahami selanjutnya diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan dan perkembangan sosiohistoris dan sosio-politis.58 HAM di Indonesia dapat dikatakan bergerak seiring dengan adanya peristiwa dan kepentingan yang mendasari kepedulian pada HAM. Berbagai permasalahan HAM yang terjadi di Indonesia telah mengundang perhatian dunia internasional sejak masa Orde Baru. Praktek politik Orde Baru yang banyak melanggar HAM ternyata mengundang reaksi yang cukup besar di tingkat internasional. Kasus-kasus seperti pembantaian terhadap para aktivis PKI atau yang dituduh aktivis PKI pasca G/30S, kasus Tanjung Priok, Lampung, Timor Timur, maupun Aceh menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara pelanggar HAM yang paling serius di dunia. Tekanan internasional terhadap Orde Baru juga muncul ketika pemerintah dianggap tidak memperhatikan hak-hak asasi para tawanan politik. Perlakuan tidak manusiawi, terhadap tahanan politik yang kebanyakan tidak diadili, kalaupun terjadi dengan tidak fair, membuat dunia bereaksi keras.59 Kasus pembunuhan PKI yang selama ini tidak diadili memperlihatkan banwa terdapat impunitas dalam pemerintahan Indonesia. Dimasa pemerintahan Orde Baru, negara merasa tidak berkewajiban untuk menghormati, melindungi maupun mempromosikan hak asasi manusia warganya. Sebaliknya, negara justru membatasi, mengawasi, dan menindas hak-hak warga negara. Sementara itu, saat ini kita masih menyaksikan suata gejala aneh dimana pelanggaran HAM dihalalkan dan dianggap sebagai satu-satunya cara untuk mempertahankan negara dan demi kepentingan nasional. Bahkan aparat negara negara merasa tidak mampu dan tidak mungkin menjalankan tugas negara tanpa menggunakan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap warga negara.60
57
Jamil Salmi, op.cit., hlm 2. Majda El-Muhtaj, op.cit., hlm 3. 59 Pratikno, Komnas HAM 1998-2001: Pergulatan Dalam Transisi Politik, Yogyakarta, FISIPOL Universitas Gadjah Mada, 2002, hlm 49. 60 Mansour Fakih dkk, Wacana Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Insist Press, 2001, hlm 6. 58
23
Ketika pemerintah mendapatkan kritik dari masyarakat internasional atas pelanggaran-pelanggaran
HAM
yang
terjadi
di
Indonesia,
pemerintah
menanggapinya dengan jawaban bahwa HAM merupakan urusan domestik sehingga kritik dari pihak luar manapun menjadi tindakan intervensi. Sekitar tahun 1980-an, pemerintah menunjukkan sikap defensif terhadap HAM dengan menyatakan bahwa:61 HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilainilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM. Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Pergantian rezim pemerintahan membawa dampak yang sangat penting bagi pemajuan dan perlindungan HAM. Pengkajian ulang dilakukan terhadap kebijakan-kebijakan serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan HAM. Kajian terhdap instrumen-instrumen internasional HAM juga ditingkatkan sehingga banyak norma-norma hukum HAM internasional diadopsi dalam peraturan perundang-undangan nasional. Masa ini tampaknya menandai era diterimanya konsep universalisme HAM.62 Hasil dari perkembangan pengaturan HAM yang dilakukan diantaranya yaitu berupa Perubahan Kedua UUD 1945,63 Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM,64 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,65 dan 61
Bagir Manan, dkk, Perkembangan Pemikiran Dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, Bandung, PT Alumni, 2001, hlm. 48. 62 Ibid., hlm. 54. 63 UUD 1945 dianggap tidak lengkap karena tidak secara eksplisit mengatur masalah HAM, sehingga membuka peluang untuk diadakan perubahan atau penyempurnaan yang kemudian diatur dalam pasal 37. 64 Ketetapan ini menyatakan bahwa pada dasarnya pandangan dan sikap bangsa Indonesia terhadap HAM bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal dan nilai luhur budaya bangsa. Kategori HAM yang dilakukan adalah dengan membagi hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak atas kebebasan informasi, hak keamanan, serta hak kesejahteraan. Ketetapan inni sekaligus menegaskan peningkatan dasar hukum Komnas HAM yang semula berupa Keppres menjadi UU dan komisi ini
24
UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.66 Pada bab II UU Nomor 26 Tahun 2000 ini terdapat pasal 7,8,9 yang mengatur kategorisasi pelanggaran berat HAM. Sesuai dengan pasal 7, pelanggaran berat HAM dibagi menjadi dua kategori yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 8 menjabarkan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, atau kelompok agama, dengan cara:67 a. Membunuh anggota kelompok b. Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok. c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya. d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok. e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Terdapat kritik terhadap pasal ini yaitu tidak adanya ketentuan eksplisit yang menyatakan jumlah minimal korban dari kelompok/komunitas yang bersangkutan. Seharusnya, karakter massal ditentukan dengan jelas dan rinci sehingga kategorisasi genosida tidak tumpang tindih dengan kategorisasi lainnya.68 Dalam pasal 9 dikatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas berfungsi untuk melakukan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang HAM. 65 Pengelompokkan HAM terdiri atas hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak perempuan dan hak anak. Penyusunan UU ini berpedoman pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM), Konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Konvensi PBB tentang hak-hak anak, serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya yang mengatur tentang HAM. 66 Ibid., hlm. 83-95. 67 Ibid., hlm. 93-94. 68 Ibid., hlm. 94.
25
dan sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Bentukbentuk kejahatan kemanusian adalah:69 a. Pembunuhan b. Pemusnahan c. Perbudakan d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional f. Penyiksaan g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yag telah diakui i. Penghilangan orang secara paksa j. Kejahatan apartheid Terdapat kelemahan dari pasal ini yaitu tidak adaya ketentuan tentang penyiksaan yang diatur secara mandiri. Sesuai dengan ketentuan hukum internasional, penyiksaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM meskipun hal itu tidak merupakan bagian dari serangan yang meluas dan sistematik terhadap penduduk sipil.70
F. Metodologi Penelitian F.1 Paradigma Penelitian Untuk meneliti wacana pelanggaran HAM pada peristiwa pemberantasan komunis tahun 1965 dalam film Senyap, peneliti menggunakan paradigma kritis yang percaya bahwa subjek tidak bisa berlaku netral dalam menafsirkan secara 69 70
Ibid., hlm. 94-95. Bagir Manan, ibid., hal 95.
26
bebas dengan pikirannya, karena proses penafsiran seringkali dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.71 Lantaran berkeyakinan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh peneliti ikut serta dalam menentukan kebenaran suatu hal, maka paradigma ini sangat menekankan konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan.72
F.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana model Norman Fairclough. Norman Fairclough membagi wacana dalam tiga bagian yaitu teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Analisis wacana Fairclough lebih terfokus pada teks tulisan, sehingga dibutuhkan adanya teknik analisis teks yang berupa visual gambar bergerak. Kebutuhan analisis teks visual ini akan terpenuhidengan menggunakan analisis wacana visual Gillian Rose. Rose membagi analisis wacana visual menjadi dua yaitu analisis wacana visual 1 yang lebih berfokus pada teks dan analisis wacana visual 2 yang fokusnya lebih besar kepada produksi sosial. Metode analisis wacana visual 1 adalah metode yang cocok digunakan pada penelitian ini untuk membedah data dan menganalisis temuan yang didapatkan. Metode ini lebih terfokus pada gagasan wacana yang diartikulasikan melalui berbagai macam gambar visual dan teks lisan daripada yang dilakukannya untuk praktek emban oleh wacana tertentu. Kemudian mengamati makna-makna visual yang ditampilkan sebagai gambaran diri objek, khususnya pada penelitian ini mengidentifikasikan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang direpresentasikan dalam film Senyap berhubungan dengan asumsi peneliti yaitu adanya kepentingan politik dibalik film tersebut.73 Untuk menganalisis teks pada visual bergerak seperti film, Rose menyatakan bahwa perlu berpegangan pada konsep ikonografi. Ikonografi adalah cabang ilmu yang berurusan dengan seni representasional; sehingga ikonografi frame berkaitan dengan hal-hal yang menjelaskan desain atas semua hal yang 71
Audifax, Research: Sebuah Pengantar untuk “Mencari Ulang” Metode Penelitian Dalam Psikologi, Yogyakarta, Jalasutra, 2008, hlm 349. 72 Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta, Tiara Kencana, 2006, hlm 71. 73 Gillian Rose, op.cit., hlm. 140.
27
masuk dalam frame: staging (peletakan/pemosisian pada panggung) dan komposisi, perspektif yang dipilih (sudut kamera pada umumnya, isu bergulir sekitar "kamera subjektif"), pencahayaan, tekstur, dan visual dan irama struktural. Pilihan pertama direktorial (sutradara) yang mempengaruhi ikonografi frame adalah pilihan perspektif. Perlu diperhatikan, dari manakah titik pandang kamera melihat subjek? Dalam film dokumenter, perspektif adalah jelas dan terus terang, penonton dimaksudkan untuk mengamati realitas apa adanya dari perspektif yang sama
sekali
terpisah.
Di
sisi
lain,
sudut
pandang
subjektif
sering
menginformasikan film naratif fiktif; namun, tidak ada sudut pandang yang benarbenar eksklusif dalam genre ini. Pengarahan pada jenis film ini, sebagian besarnya, mengacaukan sudut pandang objektif dan subjektif.74 Prinsip penting yang didapat dari Gillian Rose yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam menganalisis wacana dengan materi visual yaitu: pertama, bagaimana organisasi retoris dalam sebuah wacana. Kedua, bagaimana produksi sosial wacana tersebut.75 Rose berpatokan pada analisis wacana yang dibangun oleh Michel Foucault yaitu hubungan antara ilmu pengetahuan. Foucault menegaskan bahwa pengetahuan dan kekuasaan merupakan suatu kesatuan. Bukan hanya karena semua pengetahuan yang diwacanakan dan semua wacana itu dipenuhi oleh kekuasaan, tapi karena kekuatan wacana yang diproduksi dari efek sosialnya tergantung pada asumsi dan klaim bahwa pengetahuan yang mereka miliki adalah kebenaran.76 Namun, untuk memahami makna dari pesan visual dan verbal yang diskursif di dalam teks, diperlukan adanya intertekstualitas. Hal ini berguna untuk memberikan pengetahuan mengenai wacana yang diteliti dari berbagai sumber.77 Sesuai dengan konsep ikonografi yang diutarakan oleh Gillian Rose, maka analisis wacana visual pada level teks ini akan dilakukan dengan dua tahap yaitu pembedahan organisasi retoris dan interpretasi komposisional. 74
Dennis DeNitto dan William Herman, Film and The Critical Eye, New York, MacMillan Publishing,Co, Inc., 1975, hlm 38. 75 Kamil Alfi Arifin, Gegar Keistimewaan Jogja: Politik Pertarungan Wacana Dalam Media Luar Ruang, Yogyakarta, Lembaga Ladang Kata, 2014, hlm 39-40. 76 Gillian Rose, op.cit., hlm 138. 77 Ibid., hlm 136.
28
1. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam the compositional interpretation of moving image Gillian Rose adalah sebagai berikut:78 Tabel I.1 Aspek dalam analisis The Interpretation of Moving Image Aspek
Keterangan
No. 1. Mise-en-scene
Berhubungan
dengan
unsur
sinematik
yaitu
sinematografi, editing dan suara. 2. Montage (editing)
Editing adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menghubungkan setiap shot.
3. Sound
Suara dalam film dapat dipahami sebagai seluruh suara yang keluar dari gambar yakni dialog, musik dan efek suara.
2. Tahap analisis organisasi retoris dalam analisis wacana visual Gillian Rose adalah sebagai berikut: 79 Tabel I.2 Langkah-langkah pada analisis organisasi retoris Tahap
Langkah yang dilakukan
Pertama
Mengidentifikasi tema kunci dari objek visual yang dikaji. Rose menggunakan pemahaman Foucault agar memperhatikan secara lebih luas, pada konteks diluar wacana. Pertanyaan-pertanyaan ini ditujukan kepada produktivitas wacana, artinya memfokuskan pada produksi maknanya.
Kedua
Menjelaskan strategi pembenaran dan efek yang dihasilkannya. Pada tahap ini diamati bagaimana struktur wacana dibentuk untuk dapat meyakinkan audiens. Melalui tahap ini, dapat ditemukan adanya celah perbedaan pendapat dalam wacana yakni pengakuan dan kesepakatan.
Ketiga
Menjelaskan kontradiksi-kontradiksi dalam teks objek visual yang dikaji. Meskipun, terdapat kemungkinan tidak ada kontradiksi dalam bagian teks tertentu.
Keempat
Mengamati dan menjelaskan makna-makna yang terdapat di dalam teks, baik makna yang terlihat ataupun tersembunyi.
78 79
Ibid., hlm 48-52. Gillian Rose, op.cit., hlm 149-157.
29
Dengan mengkaji aspek the interpretating moving images terlebih dahulu, dapat menjadi panduan untuk menemukan strategi-strategi yang digunakan sesuai dengan teknis film khususnya film dokumenter untuk dapat mengkaji tahap kedua pada analisis organisasi retoris. Penelitian menggunakan metode analisis wacana visual Gillian Rose belum banyak digunakan. Salah satu penelitian yang menggunakan metode ini adalah penelitian Kamil Alfi Arifin (2012) yang berjudul Gegar Keistimewaan Jogja: Politik Pertarungan Wacana Dalam Media Luar Ruang. Penelitian yang telah diterbitkan dalam bentuk buku ini mengungkap wacana politik pemerintahan Yogyakarta mengenai keistimewaan daerah yang disajikan dalam media luar ruang meliputi poster, spanduk, bendera dan baliho. Penelitian yang dilakukan Arifin ini meneliti makna dari teks dan juga pemosisian subjek. Berhubung objek penelitian ini berupa film, maka akan ada beberapa teknik analisis yang disesuaikan untuk mengamati objek gambar bergerak. Setelah menganalisis strategi retorika yang dibangun oleh pembuat teks yang diteliti, tahap selanjutnya adalah meneliti produksi sosial wacana tersebut. Tahap ini terdiri dari the institutional location dan audiens yang dituju. Cakupan ini setara dengan level discourse pratice dalam model wacana Fairclough yang digunakan. Sehingga, peneliti akan langsung menganalisis pada bagian discourse practice yang menganalisis bagaimana produksi dan konsumsi teks. Bagaimana relasi kuasa baik di dalam maupun luar institusional organisasi dalam praktik produksi wacana. Terdapat dua faktor yang berpengaruh yaitu ekonomi media dan faktor politik. Intertektualitas dibutuhkan untuk mengkaji latar belakang tersebut secara menyeluruh dan mendalam. Kedua, melihat produksi wacana pada tataran audiens yang di asumsikan oleh gambar dan teks. Pada tahap ini, peneliti akan melihat siapakah dan seperti apakah kondisi audiens yang dituju. Tahap
selanjutnya
adalah
bagian
sociocultural
practice
yang
menggambarkan bagaimana kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat memaknai dan menyebarkan idelogi yang dominan kepada masyarakat. Tahap ini meliputi tiga level yaitu situasional, institusional dan sosial. Level situasional melihat bagaimana teks itu diproduksi diantaranya memperhatikan aspek
30
situasional ketika teks tersebut diproduksi. Level institusional akan dibahas pada analisis discourse practice berkaitan dengan pihak-pihak yang berpengaruh dan memiliki relasi kuasa. Level sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam teks. Fairclough pun menegaskan bahwa wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Aspek sosial melihat kepada aspek maskro seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem itu menentukan siapa yang berkuasa, nilainilai apa yang dominan dalam masyarakat. Serta bagaimana nilai dan kelompok yang berkuasa itu mempengaruhi dan menentukan media.80
F.3 Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah film Senyap (The Look of Silence) yang dirilis pada 28 Agustus 2014. Senyap adalah film lanjutan dari film Jagal (The Act of Killing) yang dirilis pada 1 November 2012. Kedua film ini saling melengkapi, namun untuk menonton film Senyap, penonton tidak harus menonton film Jagal untuk memahami kontennya. Film Jagal dan Senyap memuat wacana pelanggaran HAM pada peristiwa 1965 dan mengungkap adanya kasus genosida yang belum diselesaikan dengan tuntas hingga 50 tahun berlalu disebabkan oleh adanya unsur impunitas. Film yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer dengan tim produksi dari luar negeri dan co-sutradara dan tim anonim yang berasal dari dalam negeri. mengungkap wacana pelanggaran HAM pada peristiwa pemberantasan komunis 1965 agar terwujud rekonsiliasi. Film Jagal menyorot sisi pelaku pembantaian (penjagal), sedangkan film Senyap menyorot sisi penyintas (orang yang selamat dari peristiwa tersebut) dan keluarga korban. Adi Rukun adalah adik dari korban pemberantasan bertindak sebagai tokoh kunci dalam film ini. Dengan mendatangi para pelaku pembunuhan, Adi mengharapkan adanya pengakuan dari pelaku dan ucapan permintaan maaf atas kesalahan yang dilakukan pada masa lalu. Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada wacana pelanggaran HAM yang ditampilkan dalam film Senyap melalui adegan-adegan yang mengandung 80
Eriyanto, op.cit., hlm 316-326.
31
unsur wacana pelanggaran HAM pada peristiwa pemberantasan komunis pada tahun 1965. Dalam film Senyap, komunis digambarkan sebagai korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat yang mendukung pemerintahan. Wacana ini bertolak belakang dengan wacana sebelumnya di jaman rezim Orba yaitu komunis adalah kelompok yang kejam dan melakukan kejahatan kemanusiaan demi menggulingkan pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Kriteria adegan yang dipilih adalah sebagai berikut: 1. Adegan yang memuat adanya ungkapan dari narasumber yang terdiri dari pelaku pemberantasan, penyintas, keluarga korban pemberantasan, dan masyarakat awam bahwa terdapat tindakan kejahatan kemanusiaan terhadap komunis. 2. Adegan yang memberikan informasi mengenai identitas komunis dan peristiwa pemberantasan komunis pada tahun 1965. Dari hasil seleksi adegan sebagai objek penelitian, didapatkan 24 adegan yang layak untuk diteliti. Adegan demi adegan akan dijelaskan sebagai berikut: Tabel I.3 Objek Penelitian Adegan Adegan 1
Adegan 2 Adegan 3 Adegan 4 Adegan 5 Adegan 6 Adegan 7 Adegan 8 Adegan 9
Deskripsi Adegan Memperlihatkan video rekaman wawancara kepada pelaku pemberantasan komunis 1965 mengenai tindakan yang dilakukannya saat peristiwa berlangsung. Memberikan informasi mengenai latar belakang peristiwa pemberantasan komunis 1965. Memperlihatkan pendapat masyarakat awam mengenai peristiwa pe pemberantasan komunis 1965. Memperlihatkan video rekaman laporan berita dari stasiun berita milik Amerika, NBC News, mengenai pemberantasan komunis 1965. Memperlihatkan penyampaian pengetahuan dari guru di sekolah anak Adi yang menjelaskan mengenai identitas komunis dan peristiwa G30S. Memperlihatkan penjelasan Adi kepada anaknya mengenai kebenaran mengenai identitas komunis dan peristiwa G30S. Memperlihatkan video rekaman pelaku pemberantasan 1965 yang mempraktekan proses pemberantasan. Mengungkapkan pernyataan ibu Adi sebagai keluarga korban mengenai tindakan para komunis. Memperlihatkan video rekaman penjelasan dan reka ulang pemberantasan
32
Adegan 10 Adegan 11 Adegan 12 Adegan 13
Adegan 14
Adegan 15
Adegan 16 Adegan 17 Adegan 18 Adegan 19 Adegan 20
Adegan 21
Adegan 22
Adegan 23
Adegan 24
oleh pelaku pemberantasan. Mengungkap penjelasan penyintas mengenai peristiwa pemberantasan yang dialaminyaa serta pernyataannya menanggapi peristiwa tersebut. Memperlihatkan video rekaman reka ulang proses pemberantasan komunis dengan sangat rinci oleh pelaku pemberantasan. Memperlihatkan wawancara yang dilakukan Adi yang kepada pelaku pemberantasan komunis 1965. Mengungkapkan pernyataan ibu korban mengenai hal yang dialami anaknya saat peristiwa pemberantasan dan harapannya terhadap nasib komunis. Memperlihatkan video rekaman pelaku pemberantasan 1965 yang menjelaskan proses pemberantasan serta pendapatnya mengenai peristiwa tersebut. Memperlihatkan wawancara yang dilakukan Adi kepada pelaku pemberantasan 1965 yang merupakan orang terpandang dan tokoh penting dalam masyarakat. Memperlihatkan pembicaraan Adi dan ibunya mengenai tindakan yang mereka lakukan demi memperjuangkan hak dan kebenaran. Memperlihatkan video rekaman reka ulang pemberantasan dengan sangat rinci yang dilakukan oleh pelaku pemberantasan. Memperlihatkan wawancara yang dilakukan oleh Adi kepada pelaku pemberantasan menjabat sebagai pimpinan pemerintahan. Memperlihatkan wawancara yang dilakukan oleh Adi kepada pamannya yang terlibat dalam peristiwa pemberantasan 1965. Memperlihatkan pembicaraan Adi dengan ibunya mengenai tindakan paman Adi saat peristiwa pemberantasan dan sikapnya kepada keluarga korban. Memperlihatkan wawancara Adi kepada pelaku pemberantasan yang memberikan penjelasan mengenai tindakannya pada peristiwa, tersebut serta sikap keluarga pelaku terhadap Adi yang merupakan keluarga korban. Memperlihatkan video rekaman pelaku pemberantasan menunjukkan buku yang ia tulis mengenai peristiwa pemberantasan 1965 di wilayah Sumatera Utara dan bermaksud untuk memberikan salinannya kepada Joshua Oppenheimer. Memperlihatkan wawancara Adi kepada keluarga pelaku mengenai tindakan pelaku dalam peristiwa pemberantasan 1965, serta sikap keluarga pelaku kepada Adi yang merupakan keluarga korban. Memperlihatkan video rekaman dua orang pelaku pemberantasan yang mengungkapkan pendapat mereka terhadap peristiwa tersebut. Dan juga memperlihatkan sikap Adi saat menonton video rekaman tersebut.
33
F.4 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Teknik
pengumpulan
data
yang digunakan
adalah
dokumentasi.
Dokumentasi dilakukan dengan mendapatkan dan menonton film Senyap. Kemudian peneliti meng-capture pada adegan yang penting untuk diteliti berupa shot-shot yang berhubungan dengan wacana pelanggaran HAM. a. Data Primer Data primer diperoleh dari rekaman video film Senyap dengan kualitas yang mumpuni agar gambar dan suara jelas untuk diamati dan diteliti. b. Data Sekunder Data pendukung diperoleh dari sumber tambahan yang berasal dari sumber-sumber tertulis seperti buku, jurnal, artikel ataupun bahan bacaan dari internet serta video berupa film-film lain yang mengungkap isu pelanggaran hak asasi manusia, komunisme, peristiwa pemberantasan komunis 1965 serta sejarah politik pemerintahan Indonesia.
F.5 Teknis Analisi Data Analsisis data akan dilakukan melalui tiga level yaitu analisis teks yang meliputi analisis interpretating moving images dan organisasi retoris, analisis produksi sosial yang meliputi produksi dan konsumsi teks serta analisis sosiokultural yang meliputi situasional dan sosial. Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan: 1. Analisis Teks a. Analisis Interpretating Moving Images Tabel I.4 Tahap Analisis Interpretating Moving Images No. 1.
Aspek Mise-en-scene
Unit Analisis a. Frame - Screen ratio - Screen frame - Screen planes - Multiple image/superimpositions b. Shot - Shot distance: extreme long shot, long shot, full, three-quarters, medium, head and shoulders, close-up - Shot focus: deep or shallow, sharp or soft
34
2.
3.
Montage (editing)
a. b. a. b. c.
Sound
Shot angle: angle of approach, angle of elevation, angle of roll Point of view (POV): character, third person, establishing, reverse angle Camera movement pan, tilt, roll, tracking, crane, zoom Continuity Cutting, discontinuitu cutting Cut Type of cut: unmarked cut, fade, dissolve, iris, wipe. Rythm: how long the shot is held Environmental Speech (dialog) Music
b.Analisis Organisasi Retoris Tabel I.5 Tahap Analisis Organisasi Retoris No. Strategi Analisis Unit analisis 1. Mengidentifikasi tema- Teks visual dan tema kunci dan jalan verbal dari film cerita film Senyap Senyap
2.
Mengidentifikasi strategi pembenaran dan efek atas pengetahuan yang dibentuk oleh kekuasaan pada film Senyap
3.
Menjelaskan berbagai kontradiksi-kontradiksi yang terdapat dibalik teks baik visual dan verbal film Senyap
Analisis data Tema yang berhubungan dengan peristiwa pemberantasan PKI tahun 19651966 dari setiap adegan yang diteliti. Tema yang berhubungan dengan pelanggaran HAM terhadap korban pemberantasan PKI tahun 1965-1966. Wacana mengenai pelanggaran HAM dalam film Senyap Penanaman pengetahuan mengenai PKI dilihat dari sudut pandang keluarga korban Representasi harapan sineas melalui film Senyap Kronologi Peristiwa 65 dari berbagai sudut pandang dan sumber Pelanggaran HAM yang terjadi pada peristiwa 65
35
4.
Menunjukkan maknamakna yang tersembunyi dibalik konten film Senyap
Pengetahuan, dan nilai yang ditanamkan sebagai counter wacana pada film Senyap. Seperti adanya pengakuan-pengakuan dari para penjagal, penyintas dan keluarga korban mengenai kebenaran yang terjadi sesungguhnya pada peristiwa ‘65.
2. Discourse Practice Tabel I.6 Tahap Analisis Discourse Practice No. 1.
Level Analisis Produksi teks: tataran institusional
2.
Konsumsi teks: tataran audiens yang dituju
Analisis Mengetahui dan menjelaskan relasi kuasa yang berpengaruh dalam produksi teks Otoritas pembuat pernyataan tersebut. Penonton Indonesia Penonton internasional
3. Sociocultural Practice Tabel I.7 Tahap Analisis Sociocultural Practice No. Level Analisis 1. Situasional 2.
Sosial
Analisis Kondisi atau situasi saat teks diproduksi Aspek makro pada produksi teks seperti sistem politik, ekonomi dan historis
G. Sistematika Penulisan Tulisan yang terdapat dalam penelitian ini terdiri dari lima bab. Pembahasan dari masing-masing bab adalah sebagai berikut: BAB I : Menguraikan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran, dan metode penelitian. BAB II : Menguraikan wacana pelanggaran HAM di Indonesia khsusunya wacana pelanggaran HAM peristiwa pemberantasan komunis 1965 di media massa. BAB III : Menguraikan objek penelitian. BAB IV: Menguraikan hasil temuan sesuai dengan analisis data sesuai dengan kerangka berpikir dan metode analisis wacana kritis yang digunakan. BAB V: Menguraikan kesimpulan dari hasil penelitian ini serta saran penelitian yang dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya.
36