BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi Bangsa Indonesia yang mampu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat. Hal tersebut kemudian dijamin dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa: “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Sebagai suatu norma kewenangan (bevoegheidsnorm), Pasal 33 ayat (3) tersebut telah mengatribusikan kewenangan kepada subjek hukum, dalam hal ini negara, untuk melakukan perbuatan hukum terhadap sumber daya alam (bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015:1). Implementasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 kemudian lahir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA). Tujuan dari UUPA pada pokoknya adalah untuk meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, meletakkan dasar kesatuan dan penyederhanaan hukum agraria nasional, dan memberikan kepastian hak dan kepastian hukum atas tanah bagi rakyat khusunya petani (Imam Koeswahyono, 2007:30). UUPA merupakan undang-undang yang berisi mengenai ketentuan pokok tentang keagrariaan, baik itu tanah, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi dari 67 pasal dalam UUPA, 53 pasal mengatur tentang tanah, mengenai bidang lainnya hanya disinggung sebanyak satu atau dua pasal saja (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015:2). Tanah mempunyai peran penting dalam pemenuhan kehidupan manusia, sehingga banyak manusia yang berusaha untuk menguasai dan memiliki tanah seluas-luasnya, namun penguasaan tanah tersebut tidak diikuti dengan pengusahaan, pemanfaatan, dan penggunaan tanahnya, serta tidak memperhatikan
1
2
batas minimum dan maksimum yang ditentukan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku, sehingga terjadi pembiaran atas tanah yang menyebabkan tanah tidak terawat yang berakibat tanah menjadi terindikasi terlantar bahkan bisa menjadi terlantar. Padahal di sisi lain masih banyak masyarakat miskin di pedesaan yang sebagian besar bergantung pada pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bagi para petani, tanah memainkan peran yang penting dalam kehidupan ekonomi dan sosial mereka. Tanah memberikan mereka akses untuk mendapatkan peluang, pendapatan, ekonomi yang baik, kesehatan, dan status dalam masyarakat. Hal tersebut kemudian menjadi masalah krusial di sebagian besar negara tentang bagaimana meningkatkan dan memberi kepastian hukum kepada masyarakat miskin untuk memiliki lahan tetap (Roy L. Prosterman1 & Tim Hanstad, 2006: 763). Oleh karena itu, diperlukan kegiatan reforma agraria atau penataan kembali kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah untuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan. Pelaksanaan Reforma Agraria yang merupakan implementasi dari mandat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Keputusan MPR Nomor 5/MPR/2003 tentang Penugasan kepada MPR-RI untuk menyampaikan perlunya penataan struktur penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan penggunaan tanah. Tanah merupakan komponen dasar dalam reforma agraria, maka pada dasarnya tanah yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek reforma agraria. Oleh karena itu, penyediaan tanah merupakan langkah strategis bagi keberhasilan reforma agraria. Salah satu contoh sumber tanah objek reforma agraria adalah tanah terlantar. Kegiatan untuk mewujudkan reforma agraria salah satunya adalah melalui penertiban dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar. Tanah terlantar yang sudah ditetapkan menjadi tanah negara akan menjadi salah satu objek reforma agraria (http://bpn.go.id/Program/ReformaAgraria diakses pada hari Rabu, 13 April 2016 Pukul 13.22 WIB).
3
Secara operasional, reforma agraria di Indonesia dilaksanakan melalui dua langkah sekaligus yaitu: “Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, dan UUPA serta proses penyelenggaraan landreform plus, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan pentaan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang memungkinkan masyarakat
untuk memanfaatkan tanahnya secara baik”
(http://www.bpn.go.id/Program/Reforma-Agraria diakses pada hari Rabu, 13 April 2016 Pukul 13.22 WIB). Pembaruan agraria tidak boleh dipahami sebagai proyek bagi-bagi tanah semata, tetapi harus diorientasikan pada upaya peningkatan kesejahteraan petani serta revitalisasi pertanian dan pedesaan secara menyeluruh. Untuk itu, selain harus merupakan upaya penataan struktural untuk menjamin hak rakyat atas sumber-sumber agraria melalui landreform, reforma agraria harus merupakan upaya pembangunan lebih luas yang melibatkan banyak pihak untuk menjamin agar aset tanah yang diberikan dapat berkembang secara produktif dan berkelanjutan (Muhammad Ilham Arisaputra, 2015: 97). Penelantaran tanah sering terjadi pada usaha perkebunan, hal ini dikarenakan usaha perkebunan membutuhkan lahan atau tanah yang sangat luas sehingga akan lebih sulit dalam mengembangkan usahanya. Hal tersebut akan berdampak pada menurunnya kesejahteraan para petani yang bekerja di perkebunan karena lahan tidak produktif lagi yang kemudian akan memicu penjarahan dan penguasaan lahan oleh masyarakat sekitar atau petani penggarap. Seperti halnya yang terjadi pada kepemilikan Hak Guna Usaha Nomor 1/Batang (selanjutnya disebut HGU Nomor 1/Batang) atas nama PT. Perusahaan Perkebunan Tratak yang terletak di Desa Tumbrep Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah seluas kurang lebih 89,8410 hektar. Tindakan penelantaran tersebut merupakan pelanggaran terhadap kewajiban pemegang hak atas tanah yang dapat menghilangkan peluang untuk memberikan potensi ekonomi tanah, sehingga cita-cita luhur untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak optimal.
4
HGU Nomor 1/Batang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar melalui Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 7/PTT.HGU/BPN-RI/2013 tanggal 16 Januari 2013 tentang Penetapan Tanah Terlantar yang Berasal dari HGU Nomor 1/Batang Atas Nama PT. Perusahaan Perkebunan Tratak Terletak di Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah. Terhadap Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tersebut, bekas pemegang hak Perkebunan Tratak pernah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, akan tetapi gugatannya ditolak dan telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana Putusan PTUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PTUN-JKT tanggal 8 Juli 2013. Berdasarkan Putusan tersebut, lahan HGU Nomor 1/Batang adalah lahan yang tidak dipelihara dengan baik, sehingga menyebabkan petani yang bekerja di Perkebunan Tratak menjadi terlantar dan sulit mencari nafkah. Hal demikian menyebabkan para petani menggarap sendiri lahan tersebut untuk menghidupi keluarganya, dan setelah lahan ditanami dan digarap oleh para petani, lahan tersebut menjadi areal yang subur. Setelah ditetapkan sebagai tanah terlantar, Tanah bekas HGU Nomor 1/Batang ditetapkan sebagai tanah negara yang langsung dikuasai oleh Negara dan merupakan Tanah Cadangan Umum Negara (Selanjutnya disebut TCUN bekas Perkebunan Tratak) yang kemudian menjadi objek reforma agraria. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar juncto Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar (Selanjutnya disebut Perkap BPN Nomor 5 tahun 2011
tentang
Pendayagunaan
Tanah
Negara
Bekas
Tanah
Terlantar),
pendayagunaan TCUN peruntukannya adalah untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui program reforma agraria, program strategis negara, dan cadangan negara lainnya. TCUN bekas Perkebunan Tratak peruntukannya sudah ditentukan berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional
Nomor
424/KEP-23.3/XI/2015
tentang
Penetapan
5
Peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara Terletak di Desa Tumbrep, Kecamatan
Bandar,
Kabupaten
Batang,
Provinsi
Jawa
Tengah,
yaitu
didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui Program Reforma Agraria seluas kurang lebih 79,841 hektar dan Cadangan Negara Lainnya seluas kurang lebih 10 hektar. Kegiatan reforma agraria dalam pelaksanaanya harus seimbang antara kegiatan landreform (berupa asset reform) dan acces reform. Namun pada kenyataannya, pelaksanaan reforma agraria lebih didominasi kegiatan asset reform seperti kegiatan yang selama ini telah dilaksanakan,
yaitu
redistribusi
tanah.
Kegiatan
landreform
bertujuan
meningkatkan kehidupan sosial ekonomi para petani penerima tanah, namun kegiatan tersebut hanya dapat mencapai hasil dalam hal penguatan aset tanah bagi para penerima tanah saja. Pendayagunaan dan pengololaan TCUN bekas Perkebunan Tratak melalui program roforma agraria harus berdayaguna dan berhasil guna untuk mencapai keadilan dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 2 Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam menyatakan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Batang dengan redistribusi tanah untuk petani sudah beberapa kali dilaksanakan, yaitu: 1) pada tahun 2004 lahan seluas 55 hektar diredistribusikan kepada 800 petani penggarap Desa Simbangdesa, Kebumen, dan Kecamatan Tulis; 2) Tahun 2011 dengan luas 45 hektar diredistribusikan kepada 45 petani Desa Kuripan, Kecamatan Subah. Tahun 2016 TCUN
bekas Perkebunan Tratak seluas 79,8410
hektar
diredistribusikan kepada 425 Petani Dukuh Cepoko (Desa Tumbrep) dan Desa Wonomerto, Kecamatan Bandar serta Desa Kambangan, Kecamatan Blado. Luas tanah yang diredistribusikan tersebut jika dibandingkan dengan jumlah petani
6
yang menerima redistribusi sangat sedikit. Luas tanah yang diterima petani berkisar antara 1.301 m2 hingga 3.785 m2, namun kebanyakan memperoleh tanah dengan luas antara 1.500 m2 hingga 2.000 m2 saja. Padahal ada 10 hektar tanah yang diperuntukkan untuk cadangan negara lainnya, apabila tanah yang diperuntukkan untuk cadangan negara itu diperuntukkan untuk reforma agraria, luas tanah yang diterima petani bahkan belum mencapai 0,5 hektar sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Secara filosofis, berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 juncto Pasal 2 Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, peruntukan TCUN seharusnya diprioritaskan kepada masyarakat, jika ada sisa baru untuk yang lain. Namun, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar juncto Pasal 4 ayat (2) Perkap BPN Nomor 5 tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar ada tiga kemungkinan pihak yang akan menjadi subjek Pendayagunaan TCUN, yaitu masyarakat, pemerintah, dan badan hukum. Hal tersebut kemudian akan menimbulkan pertanyaan siapa yang akan diprioritaskan. Berdasarkan hal tersebut di atas, peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak seharusnya diprioritaskan kepada masyarakat, jika ada sisa baru untuk yang lain. Selain itu, TCUN bekas Perkebunan Tratak juga sudah dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kebun secara terus berlanjut selama puluhan tahun. Berdasarkan hal tersebut, sehingga menjadi penting untuk melakukan penelitian mengenai “Pendayagunnan Tanah Cadangan Umum Negara Untuk Reforma Agraria (Studi Bekas Perkebunan Tratak)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara bekas Perkebunan Tratak sudah mewujudkan Reforma Agraria?
7
2. Apakah proses redistribusi Tanah Cadangan Umum Negara bekas Perkebunan Tratak sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan? C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian pada dasarnya memiliki tujuan yang hendak dicapai. Tujuan penelitian harus jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian. Terdapat dua macam tujuan dalam penelitian, yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk memberikan preskripsi terhadap peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara bekas Perkebunan Tratak dalam mewujudkan Reforma Agraria. b. Untuk memberikan preskripsi proses redistribusi Tanah Cadangan Umum Negara bekas Perkebunan Tratak berdasarkan peraturan perundangundangan. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah, memperluas, dan mengembangkan wawasan serta pengetahuan penulis di bidang Hukum Administrasi Negara dalam hal Pendayagunaan Tanah Cadangan Umum Negara bekas Perkebunan Tratak untuk Reforma Agraria. c. Untuk menerapkan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum. D. Manfaat Penelitian Penelitian hukum dapat memberikan manfaat bagi pengetahuan terutama ilmu hukum baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis
8
a. Penulisan hukum ini diharapkan dapat menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan pengetahuan di bidang hukum pada umumnya dan Hukum Administrasi Negara pada khususnya. b. Penulisan hukum ini diharapkan dapat menambah referensi dan literatur kepustakaan
sebagai
acuan
untuk
melakukan
penulisan
sejenis
selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Menjadi wadah bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir ilmiah serta untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh selama ini. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait serta memberikan pengetahuan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan bermanfaat bagi pihak yang mengkaji ilmu hukum khususnya mengenai Pendayagunaan Tanah Cadangan Umum Negara bekas Perkebunan Tratak untuk Reforma Agraria. E. Metode Penelitian Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya berjudul Penelitian Hukum menyatakan bahwa penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum (2014: 47). Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how, penelitian hukum ini dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi, sehingga dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi, dan kemudian memberikan pemecahan atas masalah tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 60).
9
H.J. van Eikema Hommes sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan memiliki metodenya sendiri, sehingga tidak dimungkinkannya penyeragaman metode untuk semua bidang ilmu (2014: 19). Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa metode yang digunakan dalam sebuah penelitian harus disesuaikan dengan bidang ilmu yang diteliti. Oleh karena itu, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut: 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunkan penulis adalah penelitian hukum (legal research). Menurut Peter Mahmud Marzuki, istilah legal research atau dalam bahasa Belanda rechtsonderzoek selalu normatif (2014: 55). Penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 47). Penelitian hukum ini akan meneliti mengenai Pendayagunaan TCUN untuk Reforma Agraria dengan studi bekas Perkebunan Tratak. Hal yang akan diteliti penulis adalah apakah peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak sudah mewujudkan reforma agraria atau belum. Reforma Agraria berkaitan erat dengan redistribusi tanah, jadi penulis juga akan mengkaji apakah proses redistribusi TCUN bekas Perkebunan Tratak sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau belum.
2.
Sifat Penelitian Tujuan penelitian hukum adalah untuk memberi preskripsi mengenai apa yang seyogianya dilakukan, bukan membuktikan kebenaran hipotesis. Preskripsi itu harus timbul dari hasil telaah yang dilakukan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 69). Oleh karena itulah preskripsi yang diberikan harus koheren dengan gagasan dasar hukum yang berpangkal dari moral (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 70). Berpegang kepada karakteristik ilmu hukum sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan dalam penelitian hukum harus
10
dapat dan mungkin untuk diterapkan, sekalipun bukan asas hukum yang baru atau teori baru, paling tidak argumentasi baru sehingga preskripsi tersebut bukan merupakan suatu fantasi atau angan-angan kosong (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 251). Penelitian hukum ini bersifat preskriptif, karena penelitian ini bertujuan untuk memberikan preskripsi terhadap peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak dalam mewujudkan Reforma Agraria. 3.
Pendekatan Penelitian Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya yang berjudul Penelitian Hukum (2014: 133) mengatakan bahwa, di dalam penelitian hukum terdapat beberapa
pendekatan.
Dengan
pendekatan
tersebut,
peneliti
akan
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 133). Dalam metode pendekatan perundang-undangan, peneliti perlu memahami hierarki dan Asas-Asas dalam peraturan perundang-undangan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 137). Dalam penelitian hukum ini undang-undang dan regulasi yang akan ditelaah adalah UUD NRI Tahun 1945, Tap MPR nomor IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, UUPA, Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan
11
Tanah Terlantar, dan Perkap BPN Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar. Pendekatan
konseptual
(conseptual
approach)
beranjak
dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pendangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 135136). 4.
Sumber Penelitian Hukum Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data, untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumbersumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181). Sumber penelitian hukum ini diperoleh berdasarkan bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder yang meliputi: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181). Dalam penelitian hukum ini yang menjadi bahan hukum primer adalah: 1) UUD NRI Tahun 1945; 2) Tap MPR nomor IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam; 3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria;
12
4) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian; 5) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian; 6) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar; 7) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar. 8) Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor
424/KEP-23.3/XI/2015
tentang
Penetapan
Peruntukan Tanah Cadangan Umum Negara Terletak di Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 181). Serta dapat pula berupa makalah atau artikel hukum yang relevan dengan pembahasan dalam penelitian hukum ini. Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum sekunder berupa buku-buku teks, jurnal hukum, tesis, skripsi, makalah, dan artikel yang ada di internet. Selain itu Penulis juga menggunakan catatan hasil wawancara. 5.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah studi dokumen atau studi kepustakaan (library research). Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) sehingga yang dilakukan peneliti adalah mencari perundangundangan mengenai atau yang berkaitan dengan isu yang diteliti. Dalam penelitin hukum dengan menggunakan statute approach, bahan hukum primer yang dikumpulkan adalah peraturan perundang-undangan. Hal ini
13
berlaku bagi karya akademik berupa skripsi, artikel di jurnal, makalah, maupun tesis. Begitu pula dengan bahan hukum primer berupa putusan pengadilan. Selain menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual (conseptual approach), maka Penulis juga melakukan penelusuran buku-buku hukum yang banyak terkandung konsep-konsep hukum. 6.
Teknik Analisa Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam penelitian hukum ini adalah metode silogisme deduksi dan interpretasi. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa metode deduksi sama seperti silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles dimana penggunaannya berpangkal pada pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor. Selanjutnya, dari kedua premis tersebut ditarik kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 89). Menurut Philiphus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki (2014: 90), penggunaan metode deduksi dengan logika silogistik untuk penalaran hukum yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum, sedangkan premis minornya adalah fakta hukum yang kemudian ditarik suatu konklusi. Selanjutnya metode interpretasi maksudnya adalah menafsirkan kata dalam aturan hukum. F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika penulisan hukum disajikan guna memberikan gambaran secara
menyeluruh mengenai pembahasan yang akan dirumuskan sesuai dengan kaidah atau aturan baku penulisan hukum. Dalam sistematika penulisan hukum terdiri dari 4 (empat) Bab dimana tiap Bab dibagi dalam beberapa Sub Bab yang mana bertujuan untuk mempermudah pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Sistematika penulisan hukum tersebut diuraikan sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan, penulis memaparkan mengenai latar belakang masalah penelitian hukum ini, menguraikan rumusan masalah yaitu apakah
peruntukan
TCUN
bekas
Perkebunan
Tratak
sudah
14
mewujudkan Reforma Agraria dan apakah proses redistribusi TCUN bekas Perkebunan Tratak sudah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Bab ini juga menguraikan mengenai tujuan penelitian penulis yang terdiri dari tujuan objektif yang pada intinya adalah untuk memberikan preskripsi terhadap peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak dalam mewujudkan agraria dan untuk memberikan preskripsi proses redistribusi TCUN bekas Perkebunan Tratak berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, serta tujuan subyektif yang pada intinya adalah untuk kepentingan penulis. Bab ini juga menguraikan mengenai manfaat penelitian yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis. Selain itu juga menjelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan oleh penulis. Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah penelitian hukum yang bersifat preskripsi dengan
menggunakan
pendekatan
perundang-undangan
dan
konseptual. Sumber penelitian hukum ini terdiri dari bahan hukum primer dan dan bahan hukum sekunder
yang dikumpulkan
menggunakan studi dokumen atau studi kepustakaan yang kemudian di analisa menggunakan metode silogisme deduksi dan interpretasi. Bagian terakhir dalam bab ini menguraikan sistematika penulisan hukum. BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Bab ini diuraikan kajian pustaka yang berkaitan dengan judul dan masalah yang diteliti oleh Penulis guna memberikan landasan toeri terhadap penelitian hukum ini. Tinjauan pusataka ini dibagi menjadi 2 (dua) sub bab yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri dari teori-teori yang relevan dengan penulisan hukum ini, yaitu tinjauan tentang Hak Menguasai Negara, tinjauan tentang Pendayagunaan Tanah Nagara bekas Tanah Terlantar, tinjauan tentang Pengaturan Redistribusi Tanah Objek Landreform dan tinjauan tentang Rechtsverwerking. Sedangkan kerangka pemikiran digunakan
15
untuk memudahkan pemahaman alur berpikir yang digambarkan melalui bagan dan tulisan. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini akan menjelaskan mengenai hasil penelitian hukum penulis, yang mana merupakan jawaban dari perumusan masalah yang menjadi dasar bagi penulis dalam melakukan penelitian hukum ini. Bab ini disusun menjadi tiga sub bab. Sub bab pertama menguraikan mengenai gambaran umum objek penelitian yang terdiri dari lanskap TCUN bekas Perkebunan Tratak dan riwayat penguasaan TCUN bekas Perkebunan Tratak. Sub bab kedua menguraikan mengenai peruntukan TCUN bekas Perkebunan Tratak dalam mewujudkan reforma agraria dan sub bab yang ketiga menguraikan mengenai proses redistriubusi TCUN bekas Perkebunan Tratak berdasarkan peraturan perundang-undangan. BAB IV : PENUTUP Bab ini penulis menguraikan simpulan dari hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dan disertai saran terhadap permasalahan yang diteliti dalam penulisan hukum ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN