BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Sepakbola merupakan cabang olahraga yang populer di dunia, terutama di Indonesia. Permainan ini sangat digemari dan dimainkan oleh seluruh kalangan, baik tua maupun muda, pria-wanita, kaya-miskin dan bahkan anak kampung yang jauh dari keramaian kota sekalipun sangat menggemari sepakbola. Boleh dikatakan sepak bola adalah olahraga yang merakyat. Sepakbola saat ini sangat komplek dan sudah memasuki era industri. Dewasa ini sepakbola merupakan salah satu isu yang sangat menarik untuk dikaji karena sepakbola sudah menjadi kebutuhan dan bagian dari masyarakat terutama di Indonesia. Suporter dan sepakbola adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan, dimana ada sepakbola disitu juga ada suporter, tidak memandang tua, muda, maupun anak-anak. Kecintaan mereka terhadap tim sepak bola yang dibelanya telah mengubah pikiran normal manusia. Berbagai atribut seperti kaos, bendera, maupun spanduk dengan berbagai warna kebesarannya merah, hijau, maupun biru telah menjadi simbol dan identitas mereka. Kehadiran suporter bagi tim sepak bola tentu sangat diharapkan. Kehadiran suporter menjadi begitu berarti dan menjadi unsur penting dalam pertandingan sepakbola ketika “sentuhan” industri mulai masuk di dalamnya, seperti pertandingan yang mempertemukan tim-tim besar tentu akan menaikkan rating hak siar karena antusiasme penonton sangat tinggi, selain itu penjualan merchandise ataupun pernak-pernik juga merupakan bisnis yang cukup menjajikan bagi kalangan tertentu, misalnya penjualan kaos, syal, topi dan sebagainya. Ada juga sisi lain yang sering menjadikan tontonan lain dalam suatu sepakboloa, yaitu seperti kreativitas suporter dalam menyanyikan yel-yel ataupun bentuk koreografi yang padu. Sepakbola membutuhkan suporter agar sepakbola mampu terus berjalan, dimana suporter yang hadir mendukung tidak hanya memberikan suntikan moral saja, akan tetapi suporter juga memberikan dukungan dari sisi finansial, seperti
6
membeli tiket untuk melihat secara langsung sepakbola di dalam stadion, membeli marchandise klub dan menjadi konsumen para sponsor yang telah mendukung berjalannya kompetisi persepakbolaan di Indonesia. Seperti yang telah diketahui kerusuhan suporter bukan hal yang baru dalam dunia persepakbolaan. Fanatisme yang berlebihan dari suporter dalam mendukung tim kesayangannya kadangkala berubah menjadi kerusuhan atau tindak anarkisme dengan merusak berbagai fasilitas umum. Tindakan kerusuhan suporter ini semakin anarkis ketika terjadi gesekan antara dua kelompok suporter. Tindak kekerasan, kerusuhan, jatuhnya korban baik luka maupunu tewas, rusak dan terganggunya ketertiban dan prasarana umum merupakan citra buruk yang melekat pada suporter sepakbola apabila konflik antar suporter masih terus terjadi. Sepakbola yang seharusnya menjadi sarana hiburan justru kemudian identik dengan kekerasan. Persoalan di luar lapangan bukanlah wewenang PSSI melainkan aparat kepolisian. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah otonom yang terdiri dari 1 kotamadyadan 4 kabupaten (Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul). DIY mempunyai prestasi tersendiridi bidang olahraga sepakbola, ada 3 team berasal dari DIY yaitu PSIM Yogyakarta, PSS Sleman, dan Persiba Bantul. Pada awalnya kesebelasan di DIY hanya 1 yaitu PSIM Yogyakarta. Tetapi lambat laun setiap kabupaten di DIY mempunyai kesebelasan tersendiri. Persepakbolaan di DIY yang mempunyai hubungan dengan adanya rivalitas suoprter yang begitu mencolok yaitu Brajamusti (PSIM) dan Slemania (PSS). Pertandinag antara PSSmelawan PSIM sering disebut dengan laga derby Yogyakarta, sehingga atmosfir serta ketegangan pemain maupun suporter akan meningkat karena kemenangan bukan lagi sekedar tiga poin, namun laga derby ini merupakan adu gengsi siapa klub yang terkuat di Yogyakarta. Sehingga, konflik serta kekerasan seringkali terjadi seperti diberitakan kompas pada 13 februari 2010 “kerusuhan kembali mewarnai derbi PSS Sleman melawan PSIM Yogyakarta pada laga Divisi Utama di Stadion Mandala Krida Yogyakarta. Sedikitnya 13 suporter PSIM terluka akibat tembakan gas air mata dari aparat keamanan. Laga yang dipadati sekitar 13.000 penonton ini berhenti pada menit ke-63 setelah kerusuhan tak bisa
7
dikendalikan. Saat itu skor kedua tim 1-1. Kemarahan suporter terjadi setelah polisi menembakkan gas air mata di tribue timur, tempat suporter PSIM” (di akses pada 13juli 2013). Kerusuhan antar suporter bukanlah hal yang baru di dunia sepakbola Indonesia, gengsi dan harga diri mereka pertaruhkan disaat tim kesayangan bertanding. Di negara-negara eropa yang dianggap sepakbolanya sudah maju, kerusuhan antar suporter juga sering terjadi . Duel tim sekota selalu menghadirkan atmosfir pertandingan yang panas dan sengit sehingga berujung pada kerusuhan antar suporter seperti yang terjadi di Italia. Derby ibukota antara SS Lazio dengan AS Roma berbuntut pada kerusuhan seperti yang diberitakan goal.com pada 9 april 2013, Sejumlah fans AS Roma dan Lazio terlibat kerusuhan jelang Derby della Capitale di Roma, Selasa (9/4) dinihari WIB. Kerusuhan itu terjadi di Ponte Milvio antara kedua kelompok fans sehingga pihak kepolisian harus turun tangan. Bahkan, kabar terakhir mengklaim, dua pendukung AS Roma menjadi korban penusukan dalam bentrok tersebut (www.goal.com 9 April 2013, diakses 13 Juli 2013). Bentrok dan gesekan antar suporter juga terjadi di Yogyakarta kala laga derby mempertemukan PSS Sleman melawan PSIM Yogyakarta yang merupakan salah satu laga derby terpanas di Indonesia. Suporter kedua belah pihak baik itu Slemania dan Brajamusti selalu datang ke stadion, sehingga besar kemungkinan gesekan konflik itu ada. Sebenarnya gesekan kedua belah suporter yaitu Slemania dengan Brajamusti sudah dirasakan cukup lama. Pemerintah juga sudah menengahi akan hal ini dengan melakukan sarasehan Sepakbola DIY di joglo Kedaulatan Rakyat Jalan P Mangkubumi pada hari selasa 20 april 2010. Pembentukan
Slemania
dimulai
dengan
diadakannya
rapat
yang
diselenggarakan pada 9 Desember 2000 di Griya Kedaulatan Rakyat yang diikuti oleh tokoh-tokoh suporter. Dan akhirnya pada tanggal 24 Desember 2000 tercetuslah nama Slemania sebagai wadah suporter pendukung PSS Sleman. Sebagai wadah suporter klub sepakbola, Slemania bersifat terbuka dalam keanggotaannya. Anggota Slemania tidak hanya warga Sleman tetapi tidak tertutup kemungkinan terdapat anggota Slemania yang berasal dari daerah lainnya 8
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, bahkan dari luar provinsi DIY. Secara struktural Slemania membentuk organisasi kecil yang disebut laskar Slemania. Laskar merupakan suatu kelompok kecil yang berbasis di suatu kampung tertentu dengan
anggota
yang
berasal
dari
wilayah
sekitar
kampung
itu
(www.slemania.or.id di akses pada 13 juli 2013). Slemania menggunakan warna hijau sebagai identitas mereka. Saat ini Slemania menempati tribun utara stadion maguwoharjo dan merupakan kelompok suporter resmi dari PSS Sleman dan memiliki sekertariat di Kompleks Stadion Tridadi, lantai II, Sayap Selatan. Brajamusti merupakan kelompok suporter pendukung PSIM yang mempunyai kepanjangan brayat jogja mataram utama sejati. Brajamusti lahir pada 15 februari 2003 sebagai satu-satunya kelompok suporter resmi yang setia membela PSIM sebelum adanya The Mident (mataram independent). Kehadiran brajamusti diharapkan menjadi suntikan tersendiri bagi PSIM saat berlaga dengan memberikan dukungan baik moral maupun finansial. Brajamusti kebanyakan anggotanya adalah warga masyarakat kota jogja yang datang dari berbagai profesi pekerjaan. Brajamusti juga memeliki laskar-laskar yang juga tersebar di kota jogja dan sekitarnya. Stadion mandala krida merupakan markas kebanggaan PSIM dimana Brajamusti senantiasa mendukung untuk memberikan semangat kepada tim PSIM dikala berlaga. Fanatisme yang berlebihan dari suporter dalam mendukung kesebelasan yang disayanginya kandangkala berubah menjadi kerusuhan atau anarkisme dengan merusak berbagai fasilitas stadion maupun fasilitas umum di sekitar stadion. Tindakan kerusuhan suporter ini semakin anarkis ketika terjadi gesekan antara dua kelompok suporter. Meskipun misi perdamaian selalu di dengungkan oleh berbagai kelompok suporter, akan tetapi tindak anarkis yang di lakukan oleh suporter bukannya mereda akan tetapi justru semakin menjadi-jadi. Konflik antara suporter Slemania dan Brajamusti juga banyak menyisakan coretan-coretan ditempat-tempat umum dengan nada-nada yang di sampaikan dalam pesan tersebut bernada provokasi yaitu dengan menghina atau melecehkan suporter lawan. Meskipun sudah ada penanganan dari pemerintah DIY maupun pengurus 9
PSSI konflik antara Slemania dengan Brajamusti masih saja terjadi sampai sekarang. Tindak kekerasan, kerusuhan, jatuhnya korban baik luka maupunu tewas, rusak dan terganggunya ketertiban dan prasarana umum merupakan citra buruk yang melekat pada suporter sepakbola apabila konflik antar suporter masih terus terjadi.Sepakbola yang seharusnya menjadi sarana hiburan justru kemudian identik dengan kekerasan. Persoalan di luar lapangan bukanlah wewenang PSSI melainkan aparat kepolisian. Namun demikian, melaluikomisi disiplin PSSI tetap memberikan sanksi kepada klub, suporter, pemain ataupun panpel yang melakukan pelanggaran."Persoalan bentrok antarsuporter harus dicegah. Semua juga tahu dampaknya tidak hanya terjadi pada suporter tetap juga masyarakat," kata Menpora Roy Suryo di sela dialog dengan suporterdi Hotel Patrajasa Semarang pada hari rabu 15 mei 2013 (www.metrotvnews.com diakses 13 juli 2013). Perseteruan Slemania dengan Brajamusti sudah lama terjadi namun, potensi untuk damai diantara kedua kubu suporter masih sangat besar peluangnya sehingga, dapat memberikan warna yang positif didalam perbedaan yang ada di dunia sepakbola Indonesia di Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Rumusan masalah Dengan melihat fenomena yang ada di atas saya akan mendeskripsikan permasalahan konflik antara Slemania dengan Brajamusti dengan rumusan masalah sebagai berikut : Bagaimana proses adan dinamika konflik antara kelompok suporter Slemania dan Brajamusti dari tahun 2000-2013? C. Tujuan penelitian 1. Mengetahui bagaimana terjadinya konflik antara Slemania dengan Brajamusti. 2. Mengetahui perkembangan konflik antara Slemania dan Brajamusti. 3. Mengetahui periode konflik yang terjadi.
10
D. Manfaat penelitian 1. Memberikan gambaran dan deskripsi yang nyata mengenai konflik suporter antara Slemania dan Brajamusti. 2. Memberikan gambaran serta masukan terhadap pihak-pihak yang terkait dalam menyelesikan konflik suporter di Indonesia terutama konflik antara Slemania dan Brajamusti. 3. Memberikan referensi secara akademis konflik antar suporter di Indonesia, terutama di DIY. 4. Membrikan informasi periodesasi konflik Slemania dengan Brajamusti dari tahun 2000-2013.
E. Tinjauan literatur Penelitian mengenai kerusuhan suporter pernah diteliti oleh Muhamad Tatang di tahun 2006 dengan judul Theater Kolosal Sepakbola.Dalam penelitian ini disinggung mengenai kerusuhan antar suporter sepakbola di Inggris dan di Italia.Kelompok suporter Ultras dicap sebagai kelompok perusuh oleh sebagian besar orang, karena tampilan mereka yang ekstrim.Ultras merupakan kelompok suporter yang loyal dan memiliki jiwa fanatik yang tinggi terhadap klub yang didukungnya. Banyak orang yang membandingkan Ultras dengan Holigan (kelompok suporter pendukung tim nasional Inggris) yang sering melakukan keonaran disetiap pertandingan terutama saat bertanding diluar Inggris, namun secara visual antara Ultras dengan Holigan sangatlah berbeda. Kelompok suporter Ultras selalu tampil mencolok baik didalam lapangan maupun diluar lapangan dengan menggunakan atribut-atribut khas Ultras, sedangkan Holigan tampil secara sederhana tanpa atribut yang menonjol dan tampil layaknya penonton pada umumnya. Penelitian lain dalam bentuk jurnal juga pernah dikaji oleh Ramon Spaaij Ph.D mahasiswa the Amsterdam School for Social Science Research (ASSR),
11
University of Amsterdam, yang menyinggung tentang kekerasan serta kerusuhan suporter hooligan di Inggris dalam judul Aspect of Hooligam Violence“A Reappraisal of Sociological Researchinto Football Hooliganism”. Ramon mendefinisikan kompleksitas dan variabilitas dari fenomena hooligan di Inggris yang setidaknya ada lima dilema konseptual yang dapat diidentifikasi. Pertama, kekerasan dalam kelompok suporter hooligan merupakan kekerasan yang kompetitif antara kelompok-kelompok holigan dari setiap klub sepakbola. Perilaku kekerasan hooligan tidak terbatas pada perkelahian antar suporter saja tetapi vandalisme, serangan terhadap polisi atau nonhooligan pendukung serta pelecehan rasial juga dilakukan. Kedua, perilaku kekerasan kelompok hooligan tidak hanya pada atau di disekitar stadion sepakbola, tetapi juga pada wilayahwilayah lain seperti kota pusat, kafe, klub atau stasiun kereta api (Dunning, 2000: 142). Ketiga, hooliganisme sepakbola melibatkan banyak oposisi simbolis dan agresi ritual yang sulit dibedakan dengan kekerasan 'nyata' (Marsh, 1978) sehingga susah untuk dimasukkan keranah hukum. Oposisi simbolis dalam hai ini dalah bentuk ejekan dengan tulisan atau gambar, sehigga hal ini juga dapat menyulut emosi dan berujung dengan bentrok fisik, sehingga banyak orang berasumsi bahwa hooligan dalam sepakbola merupakan premanisme (Armstrong dan Harris, 1991: 434). Keempat, bahkan hooligan sudan menyatakan diri untuk berkomitmen menggunakan kekerasan. Perilaku kekerasan dapat dipicu dengan spontanitas ketika polisi bertindak agresif maupun kejadian-kejadian dilapangan.Kelompok hooligan juga memberikan pandangan bahwa kelompok ini merupakan paramiliter karena pengorganisasianya yang solid dan memiliki pemimpin untuk memulai kerusuhan.Pada kenyataannya, tingkat organisasi sosial yang terlibat dalam hooliganisme sepakbola tampaknya bervariasi, lintas budaya dan daerah.Bahkan di dalam sepakbola Inggris tingkat organisasi sosial terlibat dalam hooliganisme sepakbola cenderung bervariasi secara signifikan, seperti yang disarankan oleh National Pidana Intelligence Service (NCIS, 2002). Jumlah dan kualitas kelompok hooligan juga bervariasi mulai dari yang sangat frontal dan berdisiplin tinggi, mengkritik klub dan kelompok hooligan lain serta kelompok kriminal hooligan
12
yang sengaja membuat kerusuhan di stadion. Kelima, ketidak miripan hooligan antar negara di eropa menyulitkan konseptualisasi sepakbola hooligan.perbedaan terjadi antara eropa bagian utara dan eropa bagian selatan.Di eropa bagian utara kebanyakan menyebut diri dengan hooligan, namuneropa bagian selatan kebanyakan meyebut diri dengan ultras. Hooligan dan ultras memiliki gaya dan tradisi masing-masing, ultras adalah kelompok penggemar militan, namun kecenderungan mereka untuk kekerasan bervariasi secara substansial (Giulianotti, 2001: 142; Spaaij dan Vinas, 2005: 8081). Fungsi dasar mereka adalah untuk memberikan dukungan ekspresif dan beraneka ragam untuk tim, dan karena itu mereka tidak perlu khawatir untuk mengalahkan atau menjatuhkan lawan mereka melalui intimidasi atau kekerasan (Giulianotti, 2001: 142; Mignon, 2001: 173).
F.
Landasan teori Kehidupan yang plural di Indonesia merupakan suatu anugerah yang tak
ternilai harganya. Keberagaman budaya, suku, agama dan bahasa menjadikan indonesia sarat akan kompleksitas kehidupan sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat kita selalu di hadapkan dengan berbagai macam masalah atau konflik.Konflik dalam kehidupan pasti selalu ada dan tidak dapat di hilangkan.Konflik hanya dapat dicegah agar masalah yang timbul tidak semakin besar dan parah. Konflik adalah hubungan antara dua pihak (Individu atau kelompok) yang memiliki , atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan serta berpotensi menimbulkan tindakan yang lebih serius (Fisher, 2000). Dalam sepakbola konflik merupakan hal yang wajar karena pada dasarnya sepakbola merupakan olahraga yang didalamnya terdapat upaya untuk mengalahkan pihak lawan untuk memperoleh kemenangan. Suporter yang terlibat langsung dengan tim yang bertanding akan ikut terseret dalam situasi konflik tersebut. Suporter hadir di arena pertandingan dengan tujuan mendukung untuk menaikkan mental dan moral tim yang didukung sekaligus meneror mental tim lawan.
13
Dalam buku mengelola konflik tulisan Simon Fisher ada empat tipe konflik, yang pertama yaitu tanpa konflik.Dalam kesan umum hal ini adalah lebih baik.Namun, setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin kedaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis.Memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan serta mengelola konflik secara kreatif. Kedua yaitu konflik laten, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Ketiga yaitu konflik terbuka, konflik yang berakar dalam dan sangat nyata sehingga memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.Keempat yaitu konflik dipermukaan, memiliki akar yang dangkal atau bahkan tidak berakar dan muncul hanya karena kesalah pahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. Analisis konflik mutlak diperlukan untuk mengetahui bagaimana sebuah konflik terjadi, dimana analisis konflik adalah suatu proses praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang (Fisher,2000), analisis konflik diperlukan supaya kita paham dengan latar belakang sebuah konflik tersebut, mengetahui berbagai pihak yang terlibat, mengetahui pandangan kelompok satu dengan kelompok yang lain, serta mengidentifikasi faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik. Bentuk analisis konflik sendiri terdiri dari berbagai alat bantu analisis yang penggunaannya disesuaikan dengan persepsi masyarakat dimana konflik tersebut terjadi serta proses yang telah dilalui oleh sebuah konflik. Analisis di bagi menjadi 9 cara, yaitu penahapan konflik, urutan kejadian, pemetaan konflik, segitiga SPK, analogi bawang Bombay, pohon konflik, analisis kekuatan konflik, analogi pilar,dan piramida konflik. Teknik penahapan konflik merupakan suatu cara menganalisis konflik dalam bentuk sebuah grafik yang menunjukkan fluktuasi (peningkatan dan penurunan) intensitas konflik yang dilukiskan dalam skala waktu tertentu. Analisis dasar dengan teknik penahapan konflik terdiri dari lima tahap berikut ini: 1. Tahap Prakonflik. Ini merupkan periode di mana terdapat ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik
14
tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau, lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. 2. Tahap Konfrontasi. Pada tahap ini konflik semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa bersalah, mungkin para pendukungnya melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua pihak. 3. Tahap Krisis. Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua belah pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menentang pihak-pihak lainnya. 4. Tahap Akibat Konflik. Suatu krisis akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Suatu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain. 5. Tahap Pascakonflik.
Akhirnya, situasi
diselenggarakan dengan
cara
mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. Namun, jika isuisu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali menjadi situasi pra-konflik.
Selanjutnya yaitu urutan kejadian. Teknik pengurutan kejadian merupakan suatu alat bantu analisis konflik dalam bentuk sebuah grafik yang menunjukkan kejadian-kejadian yang digambarkan di dalam skala waktu tertentu. Tujuan menggunakan teknik ini yakni pertama, untuk menunjukkan pandanganpandangan yang berbeda tentang sejarah dalam suatu konflik.Kedua, untuk menjelaskan dan memahami pandangan masing-masing pihak tentang kejadiankejadian.Ketiga, untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian mana yang paling penting bagi masing-masing pihak.
15
Selanjutnya adalah pemetaan konflik. Teknik pemetaan konflik merupakan sebuah alat bantu analisis konflik dalam bentuk semacam teknik visual yang menggambarkan hubungan diantara berbagai pihak yang berkonflik. Tujuannya yakni untuk lebih memahami situasi dengan baik, untuk melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas, untuk menjelaskan di mana letak kekuasaan, untuk memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi, untuk melihat para sekutu atau sekutu yang potensial berada di mana, untuk mengidentifikasi intervensi atau tindakan, untuk mengevaluasi apa yang dilakukan. Teknik yang selanjutnya adalah segitiga SPK (sikap-perilakukonteks).Segitiga SPK merupakan sebuah alat bantu analisis konflik yang menganalisis berbagai faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan konteks bagi masing-masing pihak utama.Tujuannya yakni Untuk mengidentifikasi ketiga faktor itu di setiap pihak utama, untuk menganalisi bagaimana faktor-faktor itu dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak serta untuk mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi. Teknik analisis bawang Bombay merupakan suatu cara untuk menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. Tujuannya adalah untuk bergerak berdasarkan posisi publik masing-masing pihak dan memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak juga untuk mencari titik kesamaan di antara kelompok-kelompok, sehingga dapat menjadi dasar bagi pembahasan selanjutnya. Adapun teknik ini digunakan sebagai bagian dari suatu analisis untuk memahami berbagai dinamika situasi suatu konflik juga sebagai persiapan untuk melancarkan dialog di antara kelompokkelompok dalan suatu konflik serta sebagai bagian dari proses mediasi atau negosiasi. Selanjutnya yaitu pohon konflik.Teknik analisis pohon konflik merupakan suatu alat bantu analisis dengan mengurutkan isu-isu pokok konflik, yakni inti masalah, sebab masalah, dan akibat masalah. Jadi, tujuan dari analisis dengan pohon konflik yakni untuk merangsang diskusi tentang berbagai sebab dan efek dalam suatu konflik, untuk membantu kelompok untuk menyepakati masalah inti, untuk membantu suatu kelompok atau suatu tim dalam mengambil keputusan
16
tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik, untuk menghubungkan berbagai sebab dan efek sutu sama lain, dan untuk memfokuskan organisasinya. Yang selanjutnya adalah analisis kekuatan konflik.Teknik analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi suatu konflik dari sisi positif maupun negatif serta berusaha untuk menilai berbagai kelemahan serta kekuatannya. Selain itu metode ini juga membantu melihatlebih jelas apa kekuatan yang mempertahankan status quo. Analogi pilar merupakan suatu teknik analisis konflik dalam bentuk grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang menahan situasi yang tidak stabil.Tujuannya adalah untuk untuk memahami bagaimana berbagai struktur ditopang, juga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat situasi yang tidak diinginkan tetap bertahan serta untuk mempertimbangkan berbagai cara untuk mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor negatif ini. Teknik ini digunakan manakala situasi tidak jelas kekuatan apa saja yang membuat situasi tidak stabil tetap bertahan. Piramida konflik, yaitu analisis berupa grafik yang menunjukkan tingkat-tingkat stakeholder dalam suatu konflik, yang bertujuan untuk mengidetifikasi ditingkatan manakan permasalahan yang sebenarnya dalam sebuah konflik, serta mengetahui sekutu antar tingkatan yang memperngaruhi jalannya sebuah konflik.Itulah beberapa analisis konflik yang dapat saya jelaskan secara singkat. Analisis SPK didasarkan pada prinsip bahwa konflik memiliki tiga komponen utama yaitu, konteks atau situasi, perilaku mereka yang terlibat dan sikapnya (Fisher, 2000). Dalam konflik ini akan dilihat berbagai sudut pandang antara kedua belah kelompok suporter sehingga kita akan
melihat tanggapan yang
berbeda dari setiap kelompok suporter, karena setiap pihak akan memiliki pengalaman yang berbeda dan persepsi yang bertentangan antara Slemania dengan Brajamusti. Dalam segitiga SPK penting untuk mengetahui persepsi yang mendasari dilakukannya anasisis. Kita daat melakukan analisis yang seluruhnya yang didasarkan pada persepsi kita tentang realitas konflik dengan catatan kita terlibaterat didalamnya (Fisher,2000).
17
Dalam buku pengantar sosiologi konflik dan isu-isu konflik kontemporer segitiga konflik merupakan analisis hubungan sebab akibat atau interaksi yang memungkinkan terciptanya konflik sosial (fisher, 2000) . Ada tiga dimensi atau komponen dalam segitiga konflik menurut Galtung yaitu sikap, perilaku dan kontradiksi atau konteks. Sikap merupakan persepsi anggota kelompok tertentu mengenai isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelompok lain. Perilaku perilaku adalah tingkahlaku kelompok yang terlibat dalam konflik, dapat berupa kerjasama, persaingan, suatu gerakan tubuh dan tangan yang dapat menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Sedangkan kontradiksi adalah kemunculan situasi yang melibatkan problem sikap dan perilakusebagai suatu proses yang artinya kontradiksi diciptakan oleh unsur persepsi dan gerakan kelompok-kelompok yang hidup pada lingkingan sosial. Jadi ketiga komponen ini saling berkaitan satu dengan yang lainya dan akan menimbulkan akibat dari setiap komponen tersebut. Secara sederhana digambarkan, suatu sikap dapat melahirkan perilaku dan pada akhirnya akan menciptaka suatu situasi tertentu pula (Novri Susan, 2009). Konflik tidak akan terpisah dengan kekerasan, baik fisik maupun non fisik. Galtung membagi struktur kekerasan ke tiga kategori, yaitu kekerasan struktural, kekerasan langsung dan kekerasan budaya. Kekerasan langsung masuk dalam kategori kekerasan yang konkrit yang artinya kekerasan yang terjadi dengan ditandai akibat-akibat yang nyata seperti pengrusakan, pemukulan, tawuran dan penganiayaan. Sedangkan kekerasan struktural dan budaya masuk dalam kategori kekerasan abstrak atau tidak nyata. Kekerasan struktural dapat terjadi karena suatu sistem tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia. Sedangkan kekerasan budaya dapat bersumber pada etnis, agama maupun ideologi. Kekerasan struktural dan budaya dapat melahirkan kekerasan secara langsung, ketiga kekerasan tersebut muncul karena tiga komponen yang dipaparkan oleh Johan Galtung yaitu sikap, perilaku dan konteks atau kontradiksi. Sehingga konflik akan menghasilkan kekerasan, menurut Simon Fisher, konflik dan kekerasan merupakan dua hal yang berbeda. Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran yang tidak
18
sejalan. Sedangkan kekerasan meliputi tindakan, perkataan, sikap dan berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik atau mental, sosisal atau lingkungan dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh (Fisher,2001). Dalam skripsi ini peneliti juga akan menggunakan teori penahapan koflik dimana konflik yang terjadi selama ini akan diperiodesasikan sesuai urutan kejadian sehingga dapat terlihat dimana saja konflik itu terjadi dan dapat mengetahui puncak dari setiap konflik yang terjadi.
G. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini saya menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memahami fenomena konflik horizontal antara kelompok suporter Slemania dengan Brajamustiserta isu dan faktor pendukung lain yang ikut membentuk struktur konflik tersebut, sehingga bagaimana sebenarnya peta konflik dapat tersaji secara mendalam dan dapat menghasilkan resolusi konflik yang sesuai dengan dinamika konflik yang ada sesuai dengan fakta yang ada yang bersifat menjelaskan secara deskriptif suatu fenomena konflik antar kelompok suporter. Pendekatan yang digunakan dalam metode ini adalah pendekatan deskriptif. Metode penelitian ini memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah aktual.Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, dan kemudian dianalisa. Pendekatan deskriptif merupakan penelitian yang menuturkan dan menafsirkan data yang ada serta menggambarkan sebuah fenomena, dengan pendekatan ini kita akan banyak menggunakan kata tanya mengapa dan bagaimana sebagai kunci untuk membuka hasil penelitian kita. Sebuah deskripsi merupakan representasi obyektif terhadap fenomena yang ditangkap. Bentuk
19
penelitian ini juga ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia ( Lexy, Moeleong, 1999). Dengan pendekatan ini kita dapat menelaah fenomena apa yang sedang antara kelompok suporter Slemania dengan Brajamusti sehinggakonflik ini menjadi ada. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian akan dilakukan di seluruh wilayah kabupaten Sleman dan Kotamadya jogja. Anggota dan simpatisan Slemania tersebar diseluruh wilayah Sleman dan sekitarnya, angota Slemania terdiri dari banyak kalangan mulai dari pelajar, mahasiswa, pegawai swasta, buruh hingga pengusaha. Kabupaten Sleman terdiri dari 17 kecamatan yang terdiri dari kecamatan Prambanan, Berbah, Depok, Seyegan, Godean, Tempel, Turi, Ngaglik, Cangkringan, Sleman, Gamping, Kalasan, Moyodan, Mlati, Pakem, Ngemplak dan Pakem. Sedangkan Brajamusti merupakan kelompok suporter yang juga tersebar diseluruh wilayah kotamadya jogja dan sekitarnya termasuk di kabupaten Sleman, Klaten dan Bantul yang memiliki koordinator wilayah disetiap kecamatan. Ada 14 kecamatan di Kotamadya jogja antara lain, Kecamatan mantrijeron, Kraton, Mergangsan, Ngampilan, Pakualaman, Gondokusuman, Wirobrajan, Gondomanan, Tegalrejo, Jetis, Danurejan, Umbulharjo, Kotagede dan Gedongtengen.Lokasi penelitian ini diharapkan dapat memberika pemetaan lokasi untuk mencari data sehingga dapat memberikan sajian data yang akurat.
3. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, akan digunakan tiga metode pengumpulan data untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Alasan menggunakan metode ini adalah karena pendekatan yang cukup intens serta mampu mengungkapkan fakta dilapangan yang tentunya akan berpengaruh terhadap validitas data yang ada. Adapun
metode
pengumpulan
data
pengumpulan data sekunder. 20
adalah
observasi,
wawancara
dan
a. Observasi Menurut Guba dan Lincoln dalam bukunya Bugin Burhan penelitian kualitatif tahun 2007 observasi dilakukan dengan alasan agar data dapat diperolah berdasarkan atas pengamatan secara langsung oleh peneliti. Peneliti bisa melihat dan mengamati sendiri dan mencatat keadaan yang sebenarnya terjadi serta bisa mendokumentasikan dengan kamera digital.Penelitimencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposional maupun pengetahuan langsung dari situasi yang ada dan pendapat-pendapat masyarakat.
Menurut
kartono (1980) observasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan. Metode ini saya gunakan untuk melihat langsung keadaan dan situasi dilapangan baik di stadion maupun saat di basecamp Slemania dan Brajamusti sehingga saya dapat melihat langsung keadaan yang sebenarnya. Karena bila hanya dengan melihat pada studi pustaka saja penulis akan kesulitan dalam memperoleh data yang akurat dan detail tentang kebiasaan-kebiasaan Slemania dan Brajamusti di lapangan dan diluar lapangan. Saya juga ikut berpartisipasi untuk menjadi suporter atau paling tidak hadir dan mengamati di stadion saat masing-masing tim bermain agar dapat merasakan euforia dalam mendukung sebuah tim. Selain itu rasa keakraban tumbuh apabila penulis ikut serta dalam berbaur menjadi suporter.
b. Wawancara Wawancara adalah percakapan yang berlangsung secara sistematis dan terorganisasi yang dilakukan oleh peneliti, dimana peneliti menjadi pewawancara dengan sejumlah individu yang
diwawancara atau responden (Silalahi,
2006:287). Informan atau responden memberikan penjelasan secara lengkap sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh pewawancara, agar mendapatkaan hasil yang sesuai dengan apa yang ada dilapangan tanpa ditambah-tambahi dan ditutuptutupi. Metode ini saya anggap tepat untuk mengumpulkan data di lapangan agar
21
penelitian yang saya lakukan mendapatkan informasi yang akurat dari orangorang yang benar-benar mengetahui segala seluk beluk konflik antara Slemania dengan Brajamusti, dimana dengan melakukan wawancara kita memperoleh deskripsi dari sebuah fenomena, dan memberikan gambaran apa yang sebenarnya terjadi. Di dalam melakukan wawancara kita juga dapat menagkap apa yang menjadi inti dari fenomena yang ada terutama di kalangan suporter Slemania dan Brajamusti. Wawancara ini dilakukan dengan tujuan mengetahui perbedaan isu serta efek dan persepsi dari konflik agar dapat terdokumentasikan dengan baik. Wawancara dilakukan secara bertahap dengan menggunakan interview guide agar alur dan informasi bisa ditangkap secara jelas, sehingga tidak melenceng dari apa yang menjadi topik bahasan pada penelitian inidengan teknik wawancara terstruktur, sehingga pertanyaan yang diajukan sesuai dengan topik. Interview guide yang ditanyakan juga disesuaikan dengan data yang diperoleh dilapangan dan fokus kepada masalah penelitian itu sendiri. Sasaran atau informan yang diwawancarai untuk dimintai keterangan adalah tokoh-tokoh serta para koordinator Slemania dan Brajamusti, muai dari koordinator pusat hingga kordinator wilayah diseluruh Sleman dan Kotamadya Jogja serta anggota kelompok suporter yang bersangkutan. Leader yang menjadi dirijen juga menjadi informan penting untuk pengambilan data, karena leader merupakan orang yang menjalankan alur suporter di tribun selama pertandingan berjalan.Untuk menghindari kehilangan data dalam melakukan wawancara maka didukung dengan tape recorder supaya data yag dihasilkan lebih akurat dan mempermudah dalam pengolahan data. c. Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data sekunder merupakan suatu pengumpulan data dari sumbersumber yang terpercaya dengan menggunakan buku, artikel maupun jurnal ilmiah sebagai pendukung penelitian. Pengumulan data sekunder juga dapat menjadi pembangding antara temuan dilapangan dengan hasil wawancara. Pengumpulan data melalui data sekunder tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan penelitian, karena peneliti memperoleh data pendukung serta informasi tambahan yang ada
22
kaitannya dengan penelitian. Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan.Dengan melakukan studi kepustakaan, peneliti dapat memanfaatkan semua informasi dan pemikiranpemikiran yang relevan dengan penelitiannya. Sehingga terjadi singkronisasi antara teori dengan hasil penelitian.
4. Analisis Data
Display data
Pengumpulan data
Reduksi data
Kesimpulan/ verivikasi data
Gambar anlisis data interaktif
Model analisis data interaktif akan digunakan dalam penelitian ini. Model ini terdiri dari tiga hal utama yaitu reduksi data, penyajian data dan kesimpulan. Miles dan Huberman (1992) menyatakan bahwa penyajian data adalah sekumpulan informasi yang tersusun memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Verifikasi data juga dilakukan, verifikasi
23
data yaitu penarikan arti terhadap data yang telah ditampilkan. Miles dan Hubermas (1992) menyatakan bahwa dari permulaan pengumpulan data, penganalisis mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, polapolapenjelasan, konfigurasi yang mungkin ada, alur sebab akibat dan proposisi. Dengan metode analisis data interaktif ini, dirasa tepat untuk melihat kemudian menganalisis konflik yang terjadi antara Slemania dengan Brajamusti. Hal ini dirasa cukup efektif saat peneliti terapkan dilapangan, karena dengan melakukan pencatatan dan pengamatan dilapangan, mencatat keteraturan serta pola-pola penjelasan dari wawancara yang ada dilapangan serta alur sebab akibat proposisi
sangant
membentu
peneliti
manganalisis
fenomena-fenomena
dilapangan, bahkan yang sebelumnya tidak terungkap oleh media.hal ini juga sangat membantu peneliti memperdalam fenomena yang terjadi dilapangan, karena dengan beberapa kali pergikelapangan untuk melakukan interpretasi data guna memverifikasi serta menambah kedalam data. Dengan ini diperoleh kesimpulan yang benar-benar valid. Selain itu, dengan sistematika dan pol-pola penjelasan yang sistematis yang sesuai dengan data dilapangan, peneliti dapat menjelaskan dengan runtut dan sesuai dengan fenomena yang terjadi baik dari segi waktu maupun peristiwa.
24