BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manajemen jalan napas merupakan salah satu keterampilan yang paling penting yang harus dimiliki ahli anestesi. Ketidakmampuan menjaga jalan napas dapat menimbulkan kondisi yang mengancam jiwa pada pasien . Laryngeal mask airway (LMA) merupakan salah satu tipe alat jalan napas supraglottic dengan keamanan dan kemudahannya sebagai alternatif face mask dan intubasi endotrakheal. Pemasangan LMA ke dalam hipofaring membentuk sekat kedap udara di sekeliling laring untuk memberikan ventilasi tekanan positif
atau
pernapasan spontan, tanpa memerlukan intubasi di laring. LMA telah diterima secara luas untuk manajemen jalan napas rutin, kondisi kesulitan jalan napas dan keadaan emergensi (Suzanna et al 2011; Monem & Khan, 2007). American Society of Anesthesiologist (ASA) tahun 2003 memasukkan LMA dalam algoritma penatalaksanaan jalan napas sulit, dimana LMA sangat berguna pada kondisi “cannot ventilate dan cannot intubate” (ASA, 2003). Panduan resusitasi jantung paru dan kegawatan kardiovaskular American Heart Association sejak tahun 2000 menggunakan LMA sebagai alat ventilasi pada pasien anak
atau dewasa yang mengalami kesulitan atau kegagalan dalam
melakukan facemask atau intubasi endotrakheal (AHA, 2000). LMA didesain dan dikembangkan pertama kali pada tahun 1981 oleh Dr Archie Brain di Inggris, dikenal sebagai LMA klasik, dan mulai digunakan pada praktek klinis pada tahun 1988. LMA klasik memiliki kemampuan menjaga jalan napas secara adekuat serta insidensi yang rendah terjadinya komplikasi mayor dan morbiditas pharyngolaryngeal. Konsekuensinya, sejak diperkenalkan, alat ini telah digunakan untuk anestesi secara rutin lebih didukung lebih dari 2500 publikasi
ilmiah.
dari 200 juta pasien serta
Seiring dengan kesuksesan dan
popularitas LMA klasik maka telah dikembangkan dan dipasarkan LMA denga n berbagai desain dan variant (Cook & Howes, 2011; Cook, 2006). Suatu
metode
pemasangan
LMA klasik
dengan
teknik
standar
direkomendasikan oleh Dr Archie Brain. Setelah deflasi cuff secara penuh, LMA
1
dimasukkan dengan bantuan indek jari menekan masker kearah cranioposterior melewati kurva palatofaringeal, dilanjutkan kearah caudal sampai dirasakan adanya tahanan di mana ujung masker memasuki upper esophageal sphincter (Monem & Khan, 2007). Beberapa modifikasi baik induksi, relaksasi maupun teknik pemasangan LMA klasik telah dilakukan pada tahun-tahun berikutnya, merefleksikan fakta bahwa pemasangan LMA tidak selalu sukses pada kesempatan pertama dengan tingkat kesuksesan yang bervariasi. Tidak jarang dijumpai adanya darah pada ujung LMA saat inserinya yang diakibatkan usaha berlebihan untuk memasukkan LMA ke posisi yang tepat. Adanya darah pada LMA saat pelepasan dan nyeri tenggorokan paska operasi
mengindikasikan
adanya trauma pada mukosa faring. (Wakeling et al, 1997, Yodfat, 1999; Kovacs & Law, 2008). Kelemahan utama dari teknik standar ini adalah bahwa jari-jari operator mungkin akan terhalang oleh gigi dan pembukaan mulut pasien. Pasien dengan pembukaan mulut yang minimal dan kondisi jalur orofaring yang sulit akan memerlukan usaha dan percobaan yang berlebih untuk mencapai posisi LMA yang sesuai (Brock-Utne, 2008). Selain itu problem yang dikarenakan fleksibilitas dari pipa,
sering dijumpai
di mana pemasangan LMA memerlukan
tekanan secara langsung melewati lengkungan aksis yang berbeda dari jalan napas terutama pangkal lidah dan posterior faring. Hal ini dipersulit jika LMA klasik kehilangan kelengkungan normal dikarenakan proses autoclave yang berulang (Jeong, 2009). Dilaporkan bahwa keberhasilan pemasangan LMA klasik dengan teknik standar pada usaha pertama berkisar antara 57 % hingga 95,5% (Matta et al, 1995; Brimacombe, 1996, Wakeling et al, 1997, Amemiya N. et al., (2004), Sudhir et al, 2007, Haghighi et al,2010, Suzanna et al, 2011). Berbagai variasi teknik meliputi rotasi 180º (teknik reverse), pengembangan cuff secara penuh atau parsial, penggunakan laringoskopi, manuver jaw thrust, blok nervus supraglotic, penggunaan relaksan otot ,penggunaan rigid stylet (teknik Yodfat), dan penggunaan fiberoptik bronkoskopi. Diantara teknik modifikasi tersebut belum ada yang benar-benar dipertimbangkan sebagai teknik yang definitif, tetapi semua
2
dilakukan dengan tujuan meningkatkan keberhasilan dan mengurangi komplikasi yang terjadi seperti aspirasi, bronkospasme, laringospasme, desaturasi oksigen, dan trauma mukosa jalan napas (Monem & Khan 2007; Haghighi et al, 2010). Matta et al (1995) pada studi 350 pasien menunjukkan data keberhasilan pemasangan pada usaha pertama LMA klasik sebesar 75% dan meningkat hingga 92% setelah lebih dari 2 kali usaha. Suatu modifikasi pemasangan dengan pengembangan cuff LMA secara parsial meningkatkan keberhasilan pemasangan pada usaha pertama sebesar 88% dan 97.7 % setelah lebih dari 2 kali usaha. Brimacombe (1996) melakukan kritisi pada hasil penelitian Matta et al dikarenakan keberhasilan yang rendah pada insersi pertama LMA disebabkan problem teknik yang tidak optimal, tetapi Matta mengkonfirmasi bahwa semua pelaksana yang terlibat telah berpengalaman melakukan LMA pada penelitian ini (Matta, 1996) Brimacombe (1996) menyatakan bahwa apabila pendekatan standar dilakukan secara benar, maka keberhasilan pemasangan LMA klasik pada usaha pertama dapat mencapai 95,5 % dalam waktu kurang dari 20 detik. Suatu survey pada praktek anestesi di Wales (Dingley & Asai, 1996) menunjukkan hanya 3040% dari ahli anestesia menggunakan teknik standar untuk pemasangan LMA. Jika pendekatan standar begitu mudah dan efektif seperti yang dilaporkan Brimacombe, mestinya teknik ini akan lebih populer dari yang dilaporkan oleh Dingley dan Asai. Haghighi,
(2010)
melakukan
membandingkan teknik standar
penelitian
terhadap
120
pasien
insersi LMA dengan teknik” Airway”(rotasi
180º), dengan hasil keberhasilan pada usaha pertama dengan teknik Airway sebesar 86% dibandingkan dengan teknik standar sebesar 80%. Amemiya et al (2004) telah melakukan penelitian deskriptif pada pemasangan LMA klasik dengan tehnik jaw thrust yang dilakukan oleh ahli anestesi dan pemasangannya oleh perawat kamar operasi yang menunjukkan keberhasilan pemasangan pada usaha pertama sebesar 90%. Penggunaan pelumpuh otot suksinilkholin dosis kecil, setelah induksi propofol 2,5 mg/kgBB dapat meningkatkan keberhasilan pemasangan LMA pada
3
usaha pertama sebesar 93% dibandingkan 67 % bila propofol diberikan tanpa pelumpuh otot, keuntungan lain dari pemberian pelumpuh otot ini bahwa penggunaan total dosis propofol dan kejadian hipotensi yang lebih rendah pada kelompok suksinilkholin (Ho & Chui, 1999). Yodfat pada tahun 1999 melakukan observasi dan pertama kali menemukan manfaat penggunaan rigid (kaku) stylet pada pemasangan LMA. LMA klasik dikembangkan sebagian dan dibengkokkan dengan sudut 90 º, pada titik antara masker dan pipa (titik pertama lengkungan) dan pada pertengahan pipa (titik kedua lengkungan) secara signifikan dapat meningkatkan keberhasilan pemasangan LMA pada semua praktisi. Sudut yang dibentuk akan mempermudah pemasangan LMA dengan gerakan pergelangan tangan mengayun yang sederhana, seperti penempatan laringoskop dibelakang pangkal lidah. Setelah pemasangan dan stylet dikeluarkan, maka LMA akan kembali fleksibel dan menyesuaikan dengan anatomi pasien. Brock-Utne (2008) melaporkan keberhasilan pemasangan LMA klasik dengan modifikasi teknik menggunakan stylet pada wanita 40 th ASA 1, berat badan 80 kg dan tinggi 165 cm yang menjalani prosedur sitoskopi dan biopsy pada kandung kemih setelah sebelumnya gagal dengan metode standard dan teknik rotasi 180º. Jeong (2009) sangat merekomendasikan teknik ini dikarenakan kemudahannya dan tidak menyebabkan kerusakan pada posterior faring. Diharapkan dengan teknik ini kelemahan pemasangan LMA klasik dengan teknik standar dapat teratasi, LMA menjadi lebih kaku, lengkung pipa lebih sesuai dengan anatomi jalan napas, dan tidak memerlukan ruang yang lebih di rongga mulut serta dapat menghindarkan kontak operator dengan mulut pasien. Dari data-data yang disampaikan di atas ternyata masih timbul permasalahan berkaitan dengan pemasangan LMA klasik, angka keberhasilan pada usaha pertama masih rendah dan bervariasi dari penelitian satu ke penelitian lainnya.
Beberapa
penelitian tentang
alternatif pemasangan LMA klasik
dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan dan mengurangi efek yang merugikan.
Salah satu modifikasi teknik pemasangan LMA adalah dengan
menggunakan rigid stylet. Mengingat data yang disampaikan sebelumnya hanya
4
berupa data observasional dan laporan kasus , hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang keberhasilan pemasangan LMA dengan modifikasi teknik menggunakan rigid stylet untuk membuktikan keberhasilan teknik ini dibandingkan dengan teknik standar.
B. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: Angka keberhasilan pemasangan LMA klasik pada usaha pertama dengan teknik standar masih rendah dan bervariasi dari penelitian satu ke penelitian yang lainnya. Modifikasi teknik menggunakan rigid stylet diharapkan dapat meningkatkan angka keberhasilan pemasangannya dan mengurangi komplikasi akibat pemasangannya.
C. Pe rtanyaan Penelitian Pertanyaan penelitiannya adalah: Apakah angka keberhasilan pemasangan LMA Klasik pada usaha pertama akan meningkat dengan modifikasi teknik menggunakan rigid stylet dibandingkan dengan teknik standar?
D.Tujuan Penelitian Untuk mengetahui angka keberhasilan pemasangan LMA klasik pada usaha pertama dengan modifikasi teknik menggunakan rigid stylet dibandingkan dengan metode standar.
E. Manfaat Penelitian Manfaat khus us: Diharapkan modifikasi teknik menggunakan rigid stylet pada pemasangan LMA klasik dapat meningkatkan angka keberhasilan pemasangan dan mengurangi komplikasi akibat pemasangan LMA. Manfaat secara umum:
5
Diharapkan hasil penelitian dapat menjadi
pedoman klinisi dalam
melakukan pemilihan teknik pemasangan LMA yang mudah, efektif dan cepat dengan komplikasi yang minimal.
F. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai perbandingan keberhasilan pemasangan LMA dengan modifikasi teknik menggunakan rigid stylet dibandingkan dengan teknik standar sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Data yang diperoleh penulis hanya berupa data observasional keberhasilan pemasangan LMA klasik dengan menggunakan rigid stylet yang dilakukan oleh Yodfat (1999) dan Jeoung (2009) dan laporan kasus (Brock-Utne, 2002) mengenai keberhasilan teknik pemasangan LMA klasik dengan penggunaan rigid stylet sebagai alternatif karena pemasangan dengan teknik standar gagal.
Tabel 1: Penelitian tentang keberhasilan pe masangan LMA klasik dengan teknik standar dibandingkan dengan teknik modifikasi lain atau dibandingkan alat supraglottic yang lain. Peneliti/tahun
Intervensi
Matta et al 1995
Membandingkan teknik standar dengan pengembangan cuff secara parsial
Brimacombe,J (1996)
Wakeling et al 1997
Analisis deskriptif pemasangan 1500 LMA dengan teknik standar untuk membukt ikan keberhasilan pemasangan dan komplikasi yang terjadi.
Membandingkan teknik standar dengan pengembangan cuff secara parsial, setelah induksi dengan propofol 2,5 mg/ kgBB dan opiat (morfin, petid in atau fentanyl)
Desain/ sampel RCT 350 pasien
Deskriptif 1500 pasien
RCT 200 pasien
Hasil Keberhasilan insersi pada usaha pertama LMA klasik sebesar 75% dan meningkat hingga 92% setelah lebih dari 2 kali usaha. Suatu modifikasi insersi dengan pengembangan cuff LMA secara parsial men ingkatkan keberhasilan insersi pada usaha pertama sebesar 88% dan 97.7 persen setelah lebih dari 2 kali usaha Keberhasilan pemasangan pada usaha pertama sebesar 95.5% dengan keseluruhan kegagalan setelah 3 kali usaha sebesar 0.4%. Desaturasi, SpO2 di bawah 90% pada 10 kejad ian dan di bawah 80% pada satu kasus. Keberhasilan insersi pada usaha pertama LMA klasik sebesar 80% dan 94% setelah usaha ke 2 atau lebih. Sedangkan modifikasi dengan pengembangan cuff sebagian menunjukkan data keberhasilan insersi pertama 88% dan 97% setelah percobaan ke 2 atau lebih-tidak bermakna
6
Ho & 1999
Chui,
Amemiya N. et al. (2004)
Turan et al 2006
Sudhir et al 2007
Haghighi, et al 2010
Susanna et al 2011
Membandingkan kemudahan insersi LMA klasik antara suksisnilcholin 0,1 mg/kg BB dibandingkan dengan NaCl 0,9% setelah induksi propofol 2,5 mg/kg BB
pemasangan LMA klasik dengan tehnik jaw thrust yang dilakukan oleh ahli anestesi dan pemasangannya oleh perawat kamar operasi, Induksi menggunakan Propofol 2,5 mg/kg BB dan fentanyl 100 mcg. Membandingkan kemudahan pemasangan LMA klasik dibandingkan dengan Laryngeal tube (LT) dan Cobra PLA setelah induksi propofol 2.5 mg/kg dan mivacuriu m 0.2 mg/kg Membandingkan kemudahan pemasangan LMA klasik dibandingkan dengan Disposable Ambu teknik standar pemasangan LMA dengan teknik “Airway” (rotasi 180), induksi dengan Thiopental 46 mg/kgBB dan fentanyl 1-2 mcg/kg BB Membandingkan kemudahan pemasangan LMA klasik dibandingkan dengan Ambu Auraonce, setelah induksi Propofol 2,5-3 mg/ kg dan fentanyl 2 mcg/ kg
RCT double blind 60 pasien
Deskriptif 70 pasien
RCT 90 pasien
RCT crossover 50 pasie n RCT 120 pasien
RCT 118 pasien
di antara ke 2 grup Kejad ian nyeri tenggorokan (p<0,01) dan darah pada LMA paska pelepasan (p<0.01) leb ih sedikit secara bermakna pada grup dengan pengembangan cuff. Keberhasilan pemasangan pada usaha pertama pada Suksinilkholin grup 93% Placebo grup 67% p <0.02. Total dosis propofol yang diperlukan untuk pemasangan lebih rendah pada sukisinilkholin grup (2.57 vs 3.25 mg/kg BB, p<0.01) dan lebih rendah angka kejad ian hipotensi (p<0.05) Keberhasilan pemasangan pada usaha pertama sebesar 90%, dengan angka kegagalan 0,04%. Ko mplikasi nyeri tenggorokan pada 2 pasien (0,02%) dan laringospasme pada 1 pasien (0,02%). Keberhasilan pemasangan pada usaha pertama LMA Klasik 57% dan PLA 97%, (p< 0.05) Ko mplikasi perdarahan mu kosan PLA 50%, LMA dan LT 17% Keberhasilan pemasangan pada usaha pertama pada LMA Klasik 84% dan LMA Ambu 92% , p=0,22 Ko mplikasi sama d i antara 2 grup Keberhasilan pada usaha pertama dengan teknik Airway sebesar 86% dibandingkan dengan teknik standar sebesar 80%.
Keberhasilan pemasangan pada usaha pertama LMA klasik 87% dan LMA Ambu 83%. Waktu insersi secara signifikan lebih singkat pada Ambu LMA (p=0.008) Ko mplikasi perdarahan mu kosa jalan napas sama di antara 2 grup. Nyeri tenggorokan lebih sedikit pada LMA A mbu (p=0.025).
7