BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Proses globalisasi yang terjadi telah menjadikan negara-negara dan aktor-aktor internasional dalam kondisi interdependensi. Dari globalisasi tersebut, terbentuk sebuah tatanan ekonomi internasional yang memerlukan partisipasi dari negara-negara lain sehingga pertumbuhan suatu negara bisa terjadi. Kompetisi antar negara menjadi tidak terhindarkan lagi, produksi-produksi komoditas menjadi lebih ditingkatkan, sekaligus untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara. Industri merupakan salahsatu komponen dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Industrialisasi menjadi sebuah jalan untuk suatu negara mendapatkan keuntungan dengan menjual hasil produksi mereka ke negara lain. Proses produksi tidak terlepas juga dengan komponen-komponen produksi lainnya, salahsatunya adalah energi. Selama ini industri-industri tersebut banyak menggunakan energi tidak terbaharukan, yakni penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi. Tercatat pada data tahun 2012, konsumsi energi tak terbaharukan dari industriindustri dunia mencapai total 41% seluruh konsumsi energi, yang terdiri dari 29% dari batubara dan 12% minyak bumi, sedangkan sisa energi produksinya adalah 27% dari listrik, 20% dari gas alam (natural gas), 7% dari biofuel dan 5% dari panas, sehingga total energi bersih dan terbaharukan yang terpakai adalah sebesar 32%. 1 Akan tetapi, jika ditinjau lebih jauh, konsumsi listrik sebagai sumber energi industri membuat ketergantungan industri-industri dunia terhadap sumber energi tak terbaharukan semakin tinggi, dikarenakan dari data tahun 2007, konsumsi sumber energi tak terbaharukan cukup tinggi; batubara sebesar 41,5%, dan minyak bumi sebesar 5,6%2, dimana pada tahun 2012 penggunaan batubara dunia pada pembangkit listrik pun juga tinggi, sebesar 41% gas emisi
1
International Energy Agency, Energy balance flows (daring),
, diakses pada 16 Maret 2015. 2 E. Glover, ‘Electricity Generation in a Post-Coal World’, stanford.edu (daring), 2 Desember 2010, , diakses pada 16 Maret 2015.
karbon di dunia adalah hasil penggunaan batubara untuk pembangkit listrik.3 Penggunaan energi fosil secara terus-menerus ini dalam jangka panjang dapat menimbulkan kelangkaan energi fosil yang tersedia nantinya. Selain itu juga, polusi udara yang terus mencemari lingkungan juga berpengaruh buruk terhadap lingkungan dan kesehatan. Gambar 1. Share Konsumsi Energi Industri 20124
Share Konsumsi Energi Industri 2012 7%
5%
Batu Bara Minyak Bumi 29%
20% 12% 27%
Listrik Gas Alam Biofuel Panas
Melihat hal tersebut, negara-negara mulai mengembangkan teknologi bersih dalam penggunaan energi, seperti contohnya adalah teknologi panel surya. Tren teknologi bersih itu seakan menjadi sebuah kompetisi, membuat sebuah pasar global baru dengan komoditas teknologi-teknologi bersih, yang didominasi sendiri oleh negara-negara pemegang teknologi bersih, seperti contohnya adalah Jepang, Jerman dan Amerika Serikat yang menguasai pasar panel surya dekade lalu.5 Akan tetapi, semakin tahun, ada banyak negara-negara pesaing yang mulai merambah ke pasar teknologi bersih, seperti Tiongkok, Taiwan, Korea Selatan.67 Dengan situasi tersebut, nampak bahwa lingkup teknologi bersih pun sekarang menjadi area industri dengan prospek ekonomi yang meyakinkan. Keadaan dinilai akan menjadi seperti dahulu, dimana negara-negara berlomba-lomba untuk menciptakan dan menjual teknologi untuk kebutuhan dan kehidupan dunia yang lebih baik, namun tidak dengan polusi udara dan kelangkaan sumber energi yang mengancam, karena
3
What’s your Impact, What are the main sources of carbon dioxide emissions? (daring), , diakses pada 16 Maret 2015. 4 Kompilasi dari berbagai sumber 5 K. Bullis., ‘The Chinese Solar Machine,’ Technology Review (daring), 19 December 2011, , diakses 26 November 2014. 6 ENF, Solar Panels Manufacturers From South Korea, , diakses pada 18 Maret 2015. 7 ENF, Solar Panels Manufacturers From South Taiwan, , diakses pada 18 Maret 2015.
untuk kali ini inovasi dan teknologi tersebut adalah sebuah jalan keluar alternatif dari masalah-masalah sebelumnya. Gambar 2. Indikator Kapasitas Instalasi Panel Surya8
Tidak berhenti di persaingan dalam produksi panel surya antara negara-negara tersebut, yang mengejutkan adalah upaya dan semangat Tiongkok dalam produksi panel surya. Pada tahun 2013, Tiongkok merupakan produsen panel surya terbesar di dunia, dengan Yingli Solar sebagai suplier tertinggi, diikuti oleh Trina Solar, keduanya adalah produsen panel surya dari Tiongkok. 9 Dari segi instalasi panel surya, dari tahun 2010 hingga 2013, dalam tiga tahun Tiongkok telah menginstal panel surya 18300 Megawatts, angka yang sama dengan yang Jerman peroleh sejak tahun 2002 hingga 2010. Akan tetapi angka tertinggi masih dipegang oleh Jerman, dengan total instalasi 36000 Megawatts pada tahun 2013 yang terus naik secara konstan dari tahun 2004, lalu Italia berada pada angka 17600 Megawatts, sedangkan Jepang hanya sebesar 13600 Megawatts, dan Amerika Serikat berada dibawah dengan angka 12000 Megawatts. Langkah Tiongkok tersebut membuat Tiongkok menjadi produsen dan konsumen panel surya tertinggi saat ini. Kemampuan Tiongkok untuk mendominasi pasar dan juga di sisi lain, memproduksi teknologi yang dahulunya hanya didominasi oleh beberapa negara maju saja 8
J. M. Roney., ‘China Leads World to Solar Power Record in 2013,’ Earth Policy Institute (daring), 18 June 2014, , diakses 25 November 2014. 9 S. Mehta., ‘Global 2013 PV Module Production Hits 39.8GW; Yingli is the Shipment Leader,’ Green Tech Media (daring), 23 April 2014, , diakses 25 November 2014.
menjadi sebuah ketertarikan tersendiri. Transfer teknologi bersih memungkinkan untuk berpindahnya dan terdistribusikannya pengetahuan ke negara-negara lain, baik itu secara embodied atau disembodied. Ditambah lagi adanya tuduhan dari Amerika Serikat akan peretasan data rahasia mengenai panel surya oleh Tiongkok menjadikan persaingan dan perlombaan kedua setelah perlombaan nuklir.
10
Amerika Serikat juga berusaha
memaksakan tarif anti-dumping terhadap komoditas panel surya Tiongkok untuk mencegah dominasi panel surya Tiongkok dalam pasar. 11 Langkah ini ditujukan untuk menangkal intervensi pemerintah Tiongkok dalam pasar yang memberi keuntungan komoditas panel surya Tiongkok dalam meraup share pasar dengan harga yang lebih rendah. Tarif ini dapat menghalangi pendapatan Tiongkok dalam perdagangan panel surya. Namun demikian, Tiongkok merupakan negara yang termasuk dalam penyumbang gas emisi terbesar, dan dari fakta dimana Tiongkok memproduksi panel surya secara masal dan memasang panel surya secara intens di negaranya sendiri, Tiongkok dengan Amerika Serikat, dua negara besar penyumbang gas emisi terbesar selama berabad-abad, mendeklarasikan komitmen untuk sama-sama melakukan sesuatu terhadap gas emisi di kedepannya, yang sebelumnya tidak pernah meratifikasi perjanjian Kyoto Protocol. Dalam komitmen kedua Kyoto Protocol yang konferensinya dilakukan di Qatar, tahun 2012, menghasilkan amandemen DOHA untuk meneruskan pengendalian atas gas emisi dunia hingga tahun 2020, pemerintah Tiongkok telah mengumumkan atas penerimaan terhadap amandemen ini, dengan Beijing berencana menekan gas emisinya sebesar 40% dari basis tahun 2005 pada akhir tahun komitmen kedua Kyoto Protocol, 2020. 12 Mengikuti pernyataan ini juga, dalam pertemuan APEC, Tiongkok secara formal berjanji dan mengumumkan sebuah komitmen bahwa pengeluaran Tiongkok akan gas emisi yang besar akan berujung pada tahun 2030, dan menambahkan persentase energi terbaharukan sebagai sumber energi utamanya sebanyak 20 persen.13
10
D. Cardwell, ‘Solar Company Seeks Stiff U.S. Tariffs to Deter Chinese Spying’, Nytimes (daring), 1 September 2014, , diakses pada 28 Maret 2015. 11 E. Wesoff, ‘SolarWorld Wins Again: Big Anti-Dumping Tariffs in US-China Solar Panel Trade Case’, Green tech media (daring), 25 Juli 2014, < http://www.greentechmedia.com/articles/read/SolarWorld-Wins-AgainBig-Anti-Dumping-Tariffs-in-US-China-Solar-Panel-Tra>, diakses pada 28 Maret 2015. 12 ‘China, Qatar: CHINA agrees to DOHA’s amendment of the KYOTO PROTOCOL’, MENA Report, London, 6 Juni 2014. 13 ‘China Promises Carbon Emissions to be Peak Around 2030’, China Bussiness News, Shanghai, 15 Februari 2015.
Tidak hanya itu, dalam kacamata pembangunan yang berkelanjutan atau disebut dengan konsep Sustainable Development, pada tanggal 18 hingga 20 Juni 2012 diadakan konferensi bertempat di Rio Jenairo, Brazil, konferensi ini bernama United Nations Conference on Sustainable Development (UNCSD) atau biasa disebut dengan Rio+20.14 Rio+20 mengumpulkan banyak pemimpin dunia, pemerintahan, sektor-sektor pribadi serta NGO untuk membahas lebih lanjut implementasi Sustainable Development, pembangunan yang melihat dalam tiga aspek yakni lingkungan, sosial dan ekonomi, yang pernah dibahas dalam konferensi sebelumnya, yakni Rio+10 pada tahun 2002. Dalam Rio+20, Tiongkok menjadi salah satu negara anggota termasuk negara yang berniat untuk menjadi negara pelopor dalam pembangunan Sustainable Development.15 Seperti juga statemen yang telah diucapkan oleh Asisten Menteri Luar Negeri Ma Zhaoxu dalam pidatonya dalam salahsatu acara untuk Rio+20, beliau menyimpulkan bahwa Tiongkok sebagai negara berkembang yang bertanggung jawab, aktif dalam mempromosikan kerjasama internasional untuk sustainable development.16 Dari pihak United Nations Development Programme (UNDP) pun juga mengatakan hal yang sama, sebagaimana dikutip dari statemen UNDP Director for Environmental Finance, Yannick Glemarec, bahwa sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat serta perekonomian terbesar di dunia, Tiongkok adalah aktor pelopor dalam usaha untuk melawan perubahan iklim dan mempromosikan sustaunable development secara global. 17 Dengan komitmen-komitmen Tiongkok dalam mempromosikan kehidupan yang lebih baik ke depannya, tentu menarik jika dipandang bahwa Tiongkok saat ini memberlakukan industri besar-besaran untuk menghasilkan panel surya. B. Rumusan Masalah Dari latarbelakang yang telah dibahas, Tiongkok yang merupakan negara penyumbang gas emisi terbesar di dunia, ditambah dengan komitmen Tiongkok untuk menjadi negara pelopor dalam mempromosikan sustainable development, menjadikan masalah lingkungan adalah prioritas untuk segera diselesaikan sebelum tahun 2030. Pengembangan dan produksi masal serta implementasi intens teknologi energi bersih
14
‘Rio+20: China Shares Achievements from Three Decades of Development’, PR Newswire Asia, New York, 22 Juni 2012. 15 PR Newswire Asia, 22 Juni 2012. 16 ‘Assistant Foreign Minister Ma Zhaoxu Expounds China’s Six Expectations for the Rio+20 Summit’, Targeted News Service, Washington, D.C, 17 Juni 2012. 17 PR Newswire Asia, 22 Juni 2012.
seperti panel surya merupakan langkah awal Tiongkok yang dapat diketahui saat ini. Akan tetapi kebutuhan Tiongkok sebagai negara berkembang terhadap pertumbuhan ekonomi dapat terganggu jika pengembangan teknologi bersih itu tidak diikuti dengan kebijakan lain yang mendukung, dikarenakan tingginya harga teknologi bersih. Serta, teknologi bersih yang termasuk teknologi baru dan against the mainstream dirasa akan lama terintegrasi dengan masyarakat secara menyeluruh jika tidak diikuti sebuah kebijakan juga, dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat akan teknologi tersebut. Halanganhalangan yang muncul dalam perdagangan panel surya di pasar global juga mempunyai potensi untuk menghambat rencana dan kebijakan Tiongkok. Maka, rumusan masalah yang didapat
sebagai
berikut;
Bagaimana
Tiongkok
menyeimbangkan
kepentingan
Industrialisasi dengan Sustainable Development melalui Clean Technology Development? Lalu, bagaimana Tiongkok mengatasi hambatan penjualan panel surya di pasar global? C. Kerangka Teori Dalam pembahasan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disajikan, untuk menjawab rumusan masalah yang ada menggunakan beberapa konsep dan teori. Konsep dan teori yang digunakan yakni; a. Industrial Policy Industrial Policy (IP), atau biasa disebut dengan kebijakan industri secara umum berarti semua interaksi yang melibatkan pemerintah dengan sektor industri. Hal Ini berarti pemerintah melakukan kontrol penuh atas aktivitas industri di negara tersebut agar bersinergi dengan kebijakan pemerintah. Industrial Policy ditandai dengan sebuah kebijakan negara yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi produktivitas atau aktivitas suatu industri. Industrial Policy adalah sebuah kebijakan reformasi ekonomi untuk skala luas yang menyatu dengan program politik. Reformasi tersebut memberikan pemerintah otoritas tambahan, juga otoritas keuangan dan regulasi, untuk secara langsung merubah struktur industri di negara tersebut.18 Sedangkan kunci keberhasilan Industrial Policy terletak pada ketepatan pilihan industri yang dilakukan oleh pemerintah. Penelitian ini menggunakan konsep Industial Policy sebagai landasan utamanya, dengan melihat aktivitas Tiongkok saat ini dimana produktivitas panel surya berkembang 18
R. B. Mackenzie., ‘Industrial Policy’, Library of Economic and Liberty (daring), , diakses pada 28 November 2014.
sangat pesat, hingga Tiongkok berhasil menjuarai penjualan panel surya di dunia. Peran pemerintah terhadap sektor energi bersih panel surya menjadikan sebuah komoditas potensial untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya. Seperti menurut Dominic Williams, suatu negara memberlakukan Industrial Policy secara eksplisit dalam rangka mendorong dan mempromosikan industri-industri domestik agar dapat bersaing dalam ranah internasional, seperti yang telah Jepang lakukan selama bertahun-tahun dalam fase economic recovery setelah kekalahan di Perang Dunia II. 1920 Dari Industrial Policy ini sendiri, dapat diasumsikan bahwa Tiongkok mengejar kepentingan nasionalnya dalam memajukan perekonomiannya melalui industrialisasi panel surya itu. Industrial Policy dalam penerapannya dapat dilihat mengejar tiga kepentingan, yakni Kekayaan, Pengaruh dan Pekerjaan. 21 Dalam aspek kekayaan, negara yang menerapkan Industrial Policy memberikan dorongan dan insentif bagi industri-industri yang beroperasi pada bidang yang telah ditentukan oleh pemerintah di kebijakannya, sehingga industri-industri ini dapat berkembang lebih teratur dan cepat karena dukungan pemerintah, yang nantinya dalam jangka panjang, keuntungan dapat dirasakan dari industri-industri yang mampu bersaing dengan pesaing dari negara lain, kemudian, pendapatan industri tersebut memberikan pendapatan negara pula dalam bentuk pajak. Kepentingan pengaruh dari Industrial Policy, pemerintah berupaya untuk menanamkan pengaruh pada berbagai aktor ekonomi, dari akar rumput hingga menengah, dari kebijakan bantuan dan suntikan dana pada pelaku bisnis. Dari sini pengaruh yang telah didapat ini pemerintah dapat dengan leluasa mengarahkan aktor-aktor ekonomi ini agar bersinergi dengan kebijakan pemerintah yang lain. Sedangkan dari segi pekerjaan, dimana pekerjaan berarti suara voting. Dengan berlakunya Industrial Policy, industri-industri baru dengan dukungan pemerintah akan banyak bermunculan dimana nantinya dapat menyerap tenaga kerja, yang lalu dari sekian banyak orang yang mendapat pekerjaan ini akan merasa berterimakasih pada pemerintahan, dan dapat diasumsikan sekian banyak orang yang mendapat pekerjaan akan memberikan suara voting pada pemimpin tersebut dikemudian hari. Dari Industrial Policy ini, Tiongkok yang memegang kendali atas perusahaan-perusahaan panel surya dibawah kebijakannya, mampu mengatur dan mengarahkan kemana industri tersebut akan maju, dan setelahnya pemerintah akan semakin memegang kendali atas industri-industri tersebut berkat pengaruhnya dari bantuan dan insentif yang diberikan. 19
D. Williams., ‘Industrial Policy’, Local Economy, vol. 25, no. 8, Desember 2010, p. 613. W. W. Lockwood., ‘Japan’s Economic Recovery’, The American Economic Review, vol. 49, no. 1, Maret 1959, pp. 178-180. 21 Williams, pp. 616-619 20
b. Strategic Trade Policy Strategic Trade Policy, sebuah konsep yang mengacu pada pembuatan kebijakan yang mempengaruhi hasil dari interaksi antar negara lain berhubungan dengan pasar dan perekonomian. Dalam kata lain, kebijakan ini adalah upaya dari pemerintahan untuk mengintervensi jalannya produksi dan penjualan, baik di dalam negeri atau di luar negeri, untuk melancarkan penjualan komoditasnya yang berada di negara lain. Konsep ini mulai berkembang sejak awal tahun 80-an, dimana perdagangan ekspor impor antar negara telah bergerak.22 Strategic Trade Policy ditujukan untuk menstimulus sektor perdagangan yang dinilai sehingga dapat menaikkan angka pemasukan dari penjualan komoditas tersebut. Dalam konteks ini, upaya-upaya pemerintah untuk menstimulus jalannya perdagangan sebuah sektor dapat bermacam-macam, seperti contohnya subsidi ekspor, tarif impor, R&D dan penanaman investasi dapat memberikan efek perdagangan nantinya.23 Dari implementasi strategic trade policy ini, upaya-upaya kebijakan yang dikeluarkan diharapkan berpengaruh dalam peningkatan tingkat economic rent bagi komoditas sektor strategis yang dipilih. Economic Rent yang dimaksud disini adalah perbedaan pendapatan yang didapat dengan suatu cara atau kondisi daripada pendapatan yang didapat seharusnya. 24 Ini berarti, strategic trade policy juga menggantungkan rent yang tercipta dalam perdagangan sebagai margin pendapatan sehingga memberi keuntungan baik bagi negara dan juga perusahaan-perusahaan sektor strategisnya. Rent ini bisa disebabkan oleh skala ekonomi, subsidi ekspor, R&D, inovasi teknologi dan upayaupaya yang tidak menyangkut faktor kualitas suatu komoditas. Skala ekonomi dapat menciptakan rent, sebab adanya selisih harga produksi yang lebih kecil jika memproduksi suatu komoditas dalam skala yang besar. Maka, selisih harga produksi tersebut adalah rent yang merupakan keuntungan, sehingga semakin besar skala produksi, tingkat rent semakin tinggi, semakin tinggi juga keuntungan. Subsidi ekspor juga dapat menciptakan rent dalam suatu komoditas yang telah diekspor keluar, membuat pemotongan harga produksi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan disebabkan subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Pemotongan harga 22
J. R. Silva, H. R. Faustino, ‘Strategic Trade Policy and The New WTO Round’, Research Gate (daring), 30 Mei 2014, , p. 1, diakses pada 28 Maret 2015. 23 B. J. Spencer, J. A. Brander, ‘Strategic Trade Policy’, Dictionary of Economics (daring), , diakses pada 28 Maret 2015. 24 J. R. Silva & H. R. Faustino, p. 9.
produksi oleh perusahaan disebabkan oleh subsidi ekspor ini juga merupakan rent yang dapat memberi keuntungan, baik dalam harga penjualan yang tetap sehingga memberikan keuntungan dalam margin profit atau dengan harga penjualan yang disesuaikan sehingga mendapatkan keuntungan dalam share penjualan. Dalam ranah R&D, terdapat dua macam outcome yang dapat dilakukan suatu negara atau perusahaan dalam mempengaruhi harga dan keuntungan yang didapat. 25 Pertama adalah inovasi produk, dimana sebuah komoditas mendapatkan rent dari kenaikan harga yang disebabkan naiknya kualitas. Dan yang kedua adalah inovasi proses, kebalikan dari sebelumnya, inovasi proses mencari cara untuk menurunkan harga produksi suatu komoditas dengan efektifitas dan efisiensi. Selisih penurunan harga produksi tersebut yang akan menciptakan rent.
D. Argumen Utama Dalam pergantian beberapa negara telah bergerak untuk menjadi negara pengguna dan pembuat panel surya, sekaligus masuk menjadi peserta pasar teknologi bersih panel surya yang juga bisa berkontribusi pada pertumbuhan negara. Tidak terkecuali bagi Tiongkok, dimana Beijing yang dibawah perjanjian Kyoto Protocol, dan kebutuhannya untuk mengurangi gas emisi di negaranya sendiri. Dengan insentif dari pemerintah, menggunakan industrial policy, Tiongkok membangun industri-industri panel surya sendiri dan memproduksinya secara masal, bertujuan untuk memasang secara intens di negaranya sendiri sebagai metode pengurangan emisi dan penghematan sumber daya alam fosil. Dikarenakan tingginya harga produksi dan harga jual teknologi bersih seperti panel surya, pemerintah memberi insentif kepada perusahaan panel surya sehingga harga produksi dan harga jual dapat ditekan sedemikian mungkin sehingga akomodatif bagi masyarakat. Selain itu juga pemerintah memberi insentif dan dorongan bagi masyarakat untuk memasang panel surya. Insentif dan subsidi pemerintah dalam kebijakan ini tentu menguras dana yang besar, sehingga untuk menutup lubang tersebut Tiongkok memerlukan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi, yakni menjual panel surya ke pasar global dengan skala ekonomi besar. Upaya-upaya untuk mengurangi harga produksi lebih signifikan melalui R&D, insentif dan subsidi demi menjadikan komoditas panel surya sebagai sektor strategis,
25
B. Subhajit, ‘Process Innovation and Strategic Trade Policy’, ASBBS Proceedings, vol. 19, no. 1, 2012, p. 860.
sehingga Tiongkok dapat tetap bertahan dengan harga jual yang lebih rendah untuk meraup share pasar global. E. Sistematika Penelitian Penelitian ini akan mengelompokkan pokok bahasan menjadi empat bab. Pada bab pertama adalah bab pendahuluan, dimana penulis menjelaskan tentang latar belakang permasalahan yang akan diteliti, rumusan masalah penilitian berdasarkan dari latar belakang yang telah disajikan, landasan konseptual yang akan digunakan nantinya untuk mengkaji data yang disajikan, dan argumentasi utama untuk mengkaji seluruh substansi dari penelitian, dan terakhir adalah sistematika penelitian. Bab kedua, adalah bab pembahasan pertama pada isi penelitian, yang nantinya akan disajikan data-data dan penjelasan mengenai kebijakan di Tiongkok dalam panel surya sebagai komoditasnya serta sebagai teknologi alternatif pengurangan emisi dan penghematan energi. Penjelasan bab ini nantinya akan meliputi tentang isi dan bagaimana regulasi kebijakan pemerintah akan industri panel surya itu, instalasinya, implementasinya, insentif-insentif apa saja yang ada. Bab ketiga, adalah bab pembahasan mengenai penjualan komoditas panel surya Tiongkok di pasar global. Penjelasannya meliputi hambatan-hambatan apa saja yang ada, lalu alasan dan upaya-upaya Tiongkok dalam mengurangi
harga
produksi
dan
harga
jual,
serta
strategi
Tiongkok
dalam
menanggulanginya. Hingga pada bab keempat, dimana adalah bab penutup yang menyimpulkan kembali dengan ringkas, konklusi yang telah didapat dari penelitian ini.