BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kasus kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam merupakan salah satu trend yang akhir-akhir ini makin menonjol di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemunculan Ormas-ormas Islam yang dicap radikal—karena mengusung penerapan syariat Islam—sebenarnya bukanlah sebuah fenomena baru. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang menjadi tempat berkembangnya banyak ormas-ormas Islam radikal. Beberapa ormas yang dapat dimasukkan ke dalam kategori radikal antara lain adalah FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FJI (Front Jihad Islam), GAM (Gerakan Anti Maksiat), FUI (Forum Umat Islam) (Forum Komunikasi Ahlusunnah Wal Jamaah) FKAWJ, dan FAKI (Front Anti Komunis Indonesia). Beberapa ormas Islam radikal yang pengaruhnya mencapai tingkat nasional bahkan didirikan di Yogyakarta. Majelis Mujahidin Indonesia dideklarasikan pada Kongres Mujahidin Indonesia I yang berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 5-7 Agustus 2000. FPI cabang Yogyakarta juga sudah berdiri sejak tahun 2007. Ormas-ormas Islam radikal seperti yang telah disebutkan di atas pada umumnya berlandaskan paham Islam yang puritan/konservatif. Ormas-ormas ini bahkan menggunakan kekerasan di beberapa momen tertentu. Di sisi lain, kelompok-kelompok Islam radikal di Yogyakarta tidak hanya menggunakan kekerasan. Mereka juga menempuh cara-cara nirkekerasan seperti mendirikan lembaga penerbitan, menginisiasi seminar dan forum-forum kajian, serta membuat rilisan-rilisan ke media massa. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Front Pembela Islam (FPI) merupakan dua organisasi Islam radikal yang cukup menonjol. Majelis Mujahidin Indonesia secara terangterangan telah mengklaim tujuannya untuk menegakkan khilafah di wilayah Indonesia. FPI
menunjukkan aktivitas-aktivitas berbau kekerasan dengan mengatasnamakan Islam, meskipun FPI sendiri mengaku tidak pernah berniat menegakkan sistem negara Islam. Kedua organisasi ini juga mampu beraktivitas dan menarik pengikutnya di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi sosial provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang cenderung beragam ternyata tidak menghalangi kedua organisasi ini untuk menyebarkan ideologi yang cenderung anti-keberagaman maupun terlibat dalam aktivitas-aktivitas kekerasan terhadap minoritas. Ormas-ormas Islam radikal bukanlah sebuah fenomena baru di Indonesia. Pada masa-masa sebelumnya, berbagai kelompok-kelompok Islam yang dicap radikal telah bermunculan di Indonesia. Kelompok Darul Islam (DI/TII), Komando Jihad, hingga Jamaah Islamiyah merupakan beberapa contohnya. Kelompok-kelompok ini memiliki pengaruh yang cukup besar, sekaligus jaringan yang cukup kuat di berbagai daerah di Indonesia, bahkan hingga region Asia Tenggara. Kemunculan kelompok-kelompok Islam radikal merupakan ancaman langsung terhadap rezim Orde Baru, sehingga rezim pun mengambil langkah-langkah tegas dengan menekan mereka. Tekanan-tekanan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru memang berhasil mematikan organisasi-organisasi Islam radikal, namun ideologi mereka tidak pernah benar-benar hilang. Ideologi itu terus hidup, dipelihara, dan kemudian diteruskan oleh organisasi-organisasi kontemporer seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Jihad Islam (FJI) dan lain sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut mulai bermunculan setelah Orde Reformasi dimulai. Kebebasan demokrasi yang muncul di negara Indonesia era Orde Reformasi merupakan sebuah momentum yang sangat menentukan dalam perjalanan gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia. Iklim demokrasi yang semakin kondusif membuat masyarakat Indonesia memiliki keleluasaan gerak untuk terlibat dalam proses-proses demokrasi, baik yang bersifat prosedural maupun substantif. Keterlibatan masyarakat Indonesia di dalam proses demokrasi ditandai dengan pembentukan organisasi-organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, kelompok-kelompok berbasis identitas (suku, agama, afiliasi ideologi) dan lain sebagainya.
Kelompok-kelompok
memanfaatkan kesempatan ini.
Islam
radikal
merupakan
salah
satu
entitas
yang
Demokratisasi sistem kenegaraan Indonesia pasca-Reformasi 1998 turut memberikan ruang gerak bagi keberadaan organisasi-organisasi masyarakat yang mengusung paham radikal. Paham Islam radikal dan kelompok-kelompok yang mengusungnya tidak pernah secara tegas dilarang oleh pemerintah Indonesia, meskipun beberapa di antaranya jelas-jelas mengambil sikap menolak dasar negara seperti Pancasila dan UUD 1945. Kebebasan ini disalahgunakan oleh beberapa ormas untuk melakukan tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat. Aksi keekerasan ditujukan kepada kelompok-kelompok minoritas yang berbeda pandangan dan pemahaman keagamaan serta identitas seperti komunitas Syiah, Ahmadiyah, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia. Kekerasan juga diarahkan secara spesifik kepada aktivitas-aktivitas yang dianggap menodai kesucian agama (maksiat) seperti pelacuran, minuman keras atau perjudian. Ormas-ormas Islam yang mengusung paham radikal biasanya menggunakan kekerasan dengan dalih melindungi umat Islam dari keburukan-keburukan yang dapat menodai kesucian agama (amar ma’ruf nahi mungkar). Fenomena kemunculan kekerasan oleh ormas Islam radikal di Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah memprihatinkan mengingat wilayah ini dikenal sebagai provinsi yang menjunjung tinggi pluralisme dan toleransi antara warga-warga yang berlainan identitas seperti agama, suku maupun unsur-unsur primordial lainnya. Tingkat toleransi daerah Yogyakarta yang tinggi dapat kita lihat dari keberadaan kelompok-kelompok minoritas tertentu yang berbagi ruang hidup dengan kelompok-kelompok Islam radikal. Kelompok-kelompok ini di antaranya adalah penganut Syiah dan penganut Ahmadiyah. Kelompok ini bukan merupakan kelompok yang baru bermukim di Yogyakarta, namun sudah bertahun-tahun menetap di kota ini. Kelompok-kelompok ini pula yang sering menjadi sasaran intimidasi dan kekerasan oleh ormasormas Islam radikal. Penelitian ini akan membahas mengenai organisasi-organisasi masyarakat yang cenderung radikal dalam lingkup wilayah kota Yogyakarta. Pemilihan ini didasari asumsi bahwa radikalisme Islam (dan radikalisme dalam bentuk lain) cenderung untuk menafikan adanya perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat. Perbedaan tersebut bisa berupa perbedaan agama, perbedaan mazhab, perbedaan afiliasi politik dan lain sebagaimana. Perbedaan kemudian dipandang sebagai sesuatu yang tak dapat diterima dengan alasan bahwa perbedaan tersebut dapat mengancam dan mengotori kaidah agama Islam. Fenomena ini sangatlah menarik untuk
disikapi khususnya dalam konteks kota Yogyakarta yang sebenarnya sangat majemuk. Di kota ini, kelompok-kelompok tersebut hidup dalam sebuah ruang yang sama dengan kelompokkelompok yang mereka anggap tidak sesuai dengan ajaran yang mereka yakini seperti kelompok Syiah, Ahmadiyah, penganut agama-agama lain serta kelompok-kelompok inteletual Islam yang sering dituduh sebagai Islam Liberal. Penelitian ini akan mengulas mengenai dua ormas Islam yang dianggap memiliki latar belakang Islam radikal di Yogyakarta : FPI dan MMI. Selain memiliki latar belakang Islam radikal, kedua kelompok ini juga beberapa kali menggunakan tindakan-tindakan kekerasan sepihak (vigilantism) untuk menyuarakan protesnya terhadap isu-isu tertentu serta kelompokkelompok yang dianggap tidak sepaham dengan mereka. FPI dan MMI dapat dianggap sebagai dua ormas yang konsisten dalam menanggapi isu-isu yang terkait dengan Islam sekaligus merupakan ormas-ormas dengan kekuatan terbesar disertai organisasi yang cukup rapi. Berbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas-ormas Islam kemudian menimbulkan asumsi bahwa Islam adalah agama yang identik dengan kekerasan. Ajaran-ajaran Islam diklaim mengandung potensi untuk
dijadikan pembenaran terhadap digunakannya
kekerasan dalam menyikapi isu-isu tertentu. Pendapat semacam ini tentu saja masih harus dipertanyakan kembali mengingat kekerasan hanya muncul dari segelintir pihak. Sebagian besar umat Muslim Indonesia beserta organisasi-organisasi Islam masih mengambil posisi yang moderat. Organisasi-organisasi Islam yang dicap radikal pun tidak semuanya memilih jalan kekerasan sebagai bagian dari strategi gerakannya. Fenomena ini menimbulkan
berbagai pertanyaan bagi kita semua. Kapankah
kekerasan dapat muncul dari pihak-pihak yang dicap sebagai fundamentalis Islam? Mengapa ada pihak-pihak yang menggunakan kekerasan sementara pihak-pihak yang lain tidak? Penelitian ini selanjutnya akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan riset seperti yang dijabarkan di bawah ini.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Apakah kekerasan yang dilakukan FPI dan MMI merupakan bagian dari strategi gerakan atau hanya merupakan reaksi-reaksi atas kondisi tertentu semata? 2. Kondisi-kondisi apakah yang dapat memunculkan kekerasan dalam aktivitas organsasi FPI dan MMI di kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Memetakan alasan-alasan dan situasi tertentu yang memicu terjadinya kekerasan oleh FPI dan MMI. 2. Memperoleh gambaran tentang posisi kekerasan dalam aktivitas FPI dan MMI, khususnya terkait dengan kekerasan sebagai strategi gerakan atau reaksi terhadap situasisituasi tertentu semata. 3. Mengidentifikasikan alasan-alasan pembenar yang digunakan FPI dan MMI dalam melakukan kekerasan.
D. Review Literatur D.1. Peta Perdebatan terhadap isu Radikalisme Islam di Indonesia
Isu Radikalisme dalam Islam merupakan salah satu kajian yang paling banyak dilakukan oleh para ahli, khususnya setelah peristiwa 11 September 2001. Studi mengenai Radikalisme Islam selama ini terlalu didominasi oleh kajian-kajian mengenai pengaruh ideologi radikal yang dianut oleh organisasi-organisasi Islam radikal terhadap kekerasan yang terjadi. Ideologi menempati peran yang sangat penting dalam memicu kekerasan berbasiskan agama.
Kajian lain yang juga dominan adalah studi tentang penyebab kemunculan Radikalisme Islam adalah adanya deprivasi dan marjinalisasi umat Islam oleh paham-paham sekuler seperti liberalisme, komunisme, globalisasi dan kapitalisme. Dominasi paham-paham sekuler ini dianggap telah memasuki berbagai ranah dalam kehidupan manusia, mulai dari pemerintahan hingga kehidupan sehari-hari. Fenomena ini terjadi baik dalam lingkup global maupun di Indonesia. Kajian-kajian lain yang dominan dalam studi gerakan Islam radikal adalah tentang jaringan-jaringan yang dibentuk antara gerakan-gerakan Islam radikal, khususnya antara gerakan Islam radikal lokal dengan gerakan-gerakan Islam radikal di ranah global. Berbagai penelitian berusaha menempatkan gerakan Islam radikal sebagai bagian dari suatu gerakan sosial yang ingin melakukan transformasi sosial di lingkungannya. Pengaruh struktur kesempatan politik yang terbuka pasca keruntuhan rezim yang otoriter merupakan fokus lain yang menjadi perhatian tentang studi-studi gerakan Islam radikal. Berikut ini merupakan penjabaran lebih detil mengenai studi-studi mengenai gerakan Islam radikal :
D.1.1. Penelitian tentang ideologi yang dianut oleh organisasi Islam radikal
Banyak
peneliti
yang
mengedepankan
pentingnya
faktor
ideologi
dalam
mengonstuksikan perilaku dari gerakan-gerakan Islam radikal. M. Zaki Mubarrak (2007) membahas mengenai fenomena kemunculan gerakan salafi militan yang menawarkan alternatif sistem-sistem Islami ke dalam sistem hukum dan sosial Indonesia. Gerakan ini muncul dari kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan oleh negara dan berusaha membalikkan kondisi tersebut dengan menjadikan Islam sebagai solusi. Penelitian ini mengungkap peranan Jemaah Islamiyah sebagai studi kasus untuk menggambarkan sisi ekstrem dari usaha-usaha tersebut. Khamami Zada (2002) mengupas mengenai isu-isu spesifik yang disasar oleh organisasi-organisasi Islam radikal seperti penolakan terhadap presiden wanita, penolakan terhadap demokrasi, pemberlakuan syariat Islam, pendirian negara Islam serta relasi antara
negara dan agama khususnya semasa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Tema tentang penerapan syariat Islam di Indonesia dan perbandingannya dengan kecenderungan-kecenderungan di kawasan lain seperti Afrika dan Asia merupakan fokus kajian dari Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean (2004).
D.1.2. Penelitian tentang jaringan-jaringan yang dibentuk oleh kelompokkelompok Islam radikal di Indonesia
Greg Fealy & Anthony Bubalo (2007) dan M. Imdadun Rahmat (2005) sama-sama mengupas tentang pengaruh pemikiran Islam radikal di Timur Tengah yang sangat signifikan dalam menginspirasi pemikiran sekaligus gerakan serupa di Indonesia. Paham radikalisme Islam seperti yang disebutkan oleh Fealy & Bubalo (atau “revivalisme Islam” dalam penelitian M. Imdadun Rahman), tidak dapat dipisahkan dari pemikiran-pemikiran para tokoh seperti Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, Abu Ala Maududi dan Abdullah Azzam yang berasal dari Timur Tengah. Pemikiran-pemikiran mereka masuk ke Indonesia melalui berbagai saluran seperti dari jalur pendidikan, dakwah, internet hingga lewat orang-orang Indonesia yang pergi berjihad ke daerah-daerah konflik. Penelitian mereka juga mencakup peranan lembaga-lembaga seperti LIPIA dan Rabithah Al-Islami sebagai
lembaga yang dianggap memfasilitasi baik secara
langsung maupun tidak langsung masuknya paham radikal ke Indonesia. International Crisis Group (ICG) merupakan lembaga yang secara berkelanjutan mengadakan penelitian mengenai jaringan-jaringan yang dibentuk oleh tokoh-tokoh serta organisasi Islam radikal di Indonesia. ICG (2005) menekankan bahwa telah terjadi daur-ulang di dalam keanggotaan kelompok Jamaah Islamiyah yang melakukan pengeboman terhadap Kedutaan Besar Australia. Penelitian tersebut membeberkan fakta bahwa tokoh-tokoh pimpinan organisasi Islam radikal di Indonesia (termasuk MMI dan Jamaah Islamiyah) memiliki keterkaitan historis dengan lingkar Darul Islam dan organisasi-organisasi ‘turunan’-nya seperti Komando Jihad dan kelompok Warman. Penelitian ini turut membahas pentingnya kekerasan sebagai strategi gerakan utama. Ideologi, pola gerakan serta aksi kekerasan yang dilakukan oleh Darul Islam kemudian diwarisi oleh organisasi-organisasi Islam radikal kontemporer.
D.1.3. Penelitian yang membahas profil lengkap dari organisasi-organisasi Islam radikal
Salah satu penelitian yang paling komprehensif tentang FPI dilakukan oleh AlZastrouw Ngatawi (2006). Al Zastrouw berargumen bahwa FPI hanyalah menggunakan Islam sebagai simbol semata dan pada dasarnya merupakan organisasi yang dikontrol oleh kepentingan segelintir pihak khususnya para ulama dan habib yang mendominasi kepemimpinan FPI. Simbolisasi Islam dalam doktrin-doktrin FPI selanjutnya menjadi dasar bagi kekerasan yang menjadi instrumen utama bagi FPI. Kecenderungan penggunaan kekerasan oleh FPI telah dirintis sejak organisasi ini masih bernama PAM Swakarsa seperti yang tertuang di dalam penelitian yang dilakukan oleh Institut Studi Arus Informasi (2005). FPI tidak segan-segan menggunakan kekerasan tanpa khawatir akan tindakan aparat keamanan mengingat organisasi ini diduga mendapatkan patronase dari pihak militer. Organisasi-organisasi Islam radikal khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah banyak yang mengalami transformasi maupun perpecahan secara internal. Studi yang dilakukan oleh SETARA Institute (20012) menunjukkan bahwa dinamika organisasi-organisasi ini turut melibatkan transformasi yang terjadi pada level individu anggota-anggotanya. Transformasi semacam ini seringkali membuat anggota-anggota ormas Islam radikal bergabung dengan kelompok teroris. Perkembangan dari radikalisme menuju terorisme selalu diawali oleh adanya intoleransi yang dilestarikan dan terus dipupuk sehingga menimbulkan komitmen untuk melakukan kekerasan.
D.1.4. Studi tentang Gerakan Sosial
Gerakan Radikalisme Islam seringkali mengambil bentuk sebagai sebuah gerakan sosial yang bertujuan untuk melakukan perubahan/transformasi sosial di dalam masyarakat. Transformasi yang ingin dicapai oleh gerakan-gerakan Islam radikal berada dalam tataran struktural maupun moral. Strategi-strategi gerakan yang mereka rumuskan dan jalankan pun disesuaikan dengan
tujuan-tujuan ini.
Abdul Azis (2011) memotret mengenai seluk-beluk Majelis Mujahidin
Indonesia, khususnya mengenai strategi-strategi gerakan MMI dalam mempromosikan syariat Islam sebagai solusi atas krisis yang melanda Indonesia. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun ideologi yang dianut oleh MMI adalah ideologi radikal, namun metode-metode gerakan yang mereka gunakan pada dasarnya bersifat moderat. MMI dapat digolongkan sebagai sebuah gerakan sosial yang bertujuan untuk melakukan transformasi sosial. Strategi-strategi gerakan yang MMI terapkan misalnya melalui dakwah, publikasi lewat media massa & percetakan Wihda Press, pendidikan, hingga kegiatan-kegiatan sosial. MMI tidak pernah secara resmi memasukkan kekerasan ke dalam strategi gerakannya. Noorhaidi Hassan (2008) membahas mengenai seluk-beluk organisasi Laskar Jihad yang merupakan sayap militer dari organisasi salafi FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah). Laskar Jihad yang selama ini dikenal sebagai pasukan paramiliter yang diterjunkan untuk berperang di Maluku, ternyata melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Laskar Jihad membantu membangun dapur umum, membangun atau memperbaiki masjid yang rusak, menggelar pengajian, membangun radio hingga membuat dapur umum. Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan hanyalah salah satu bagian dari strategi gerakan sosial dari gerakan Islam radikal. Di sisi lain, Laskar Jihad juga menggunakan kekerasan sebagai simbol tuntutannya terhadap penegakan syariat Islam. Simbolisasi tersebut diperlihatkan melalui pelaksanaan hukuman rajam yang dilakukan kepada anggotanya yang didakwa melakukan pemerkosaan di Maluku. Hukuman rajam ini mendapatkan peliputan yang sangat luas dari media dan pihak Laskar Jihad sendiri nampaknya tidak menutup-nutupi kejadian ini. Salah satu studi paling luas tentang gerakan sosial berbasiskan Islam tertuang dalam buku Gerakan Sosial Islam : Teori, Pendekatan, dan Studi Kasus (Wicktorowics-(ed), 2012). Dengan mengambil beberapa contoh kasus dari negara-negara Islam di Timur Tengah, studi ini berusaha memotret strategi-strategi gerakan sosial Islam di tempat-tempat tersebut. Studi ini mengungkap bahwa penggunaan kekerasan sebagai salah satu instumen dalam gerakan sosial merupakan hasil dari pilihan rasional para pelakunya. Kekerasan yang bersifat kolektif adalah hasil dari pembingkaian yang dilakukan oleh para pelaku di dalam gerakan sosial dengan memanfaatkan situasi dan kondisi yang dialami oleh gerakan sosial tersebut. Kekerasan akan muncul khususnya saat gerakan sosial mengalami represi berlebihan dari aparat atau saat semua saluran aspirasi yang ada telah ditutup. Kekerasan akan menyebar
luas ke kalangan yang lebih besar di saat biaya yang harus ditanggung apabila bersikap pasif lebih besar dari biaya melakukan kekerasan. D.1.5. Studi tentang Perkembangan Radikalisme Islam di Indonesia pasca-Orde Baru
c. Perkembangan Radikalisme Islam yang mewujud dalam maraknya kemunculan organisasi-organisasi Islam radikal mulai terjadi setelah rezim Orde Baru runtuh pada tahun 1998. Keruntuhan rezim yang sebelumnya bersifat represif menimbulkan ruang di dalam struktur politik Indonesia akibat hilangnya status quo. Ruang ini membuka kesempatan di dalam struktur politik yang sebelumnya monolitik untuk diisi oleh gerakan-gerakan Islam radikal. Gerakangerakan Islam radikal kemudian terlibat lebih jauh ke dalam pertarungan wacana terkait krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Martin van Bruinessen et. al (2014) berusaha untuk menggambarkan conservative turn (pembelokan ke arah konservatif) yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Conservative Turn ini ditandai oleh kemunculan organisasi-organisasi yang berusaha menegakkan syariat Islam di daerah-daerah tersebut. Beberapa organisasi tersebut antara lain KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam di Indonesia) di Makassar serta FPIS (Front Pemuda Islam Surakarta) dan Majelis Tafsir Al-Qur’an di kota Solo. Conservative turn juga ditengarai terjadi di lembaga-lembaga Islam yang sudah terlebih dahulu eksis seperti Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Disertasi Eric Hiariej (2009) menyoroti kemunculan ideologi radikalisme di dalam lembaga-lembaga seperti pesantren Al-Mukmin Ngruki Sukoharjo, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Front Pembela Islam (FPI). Disertasi tersebut berargumen bahwa ideologi Islam radikal merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk melawan gejala konsumerisme dan kapitalisme yang makin berkembang di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru. Kapitalisme telah masuk hingga ke ranah privat dan berusaha mendefinisikan seluruh segi kehidupan manusia termasuk aspek moral dan relijiusitas. Proses tersebut menyebabkan munculnya represi terhadap identitas umat Islam serta menghilangkan keunikan dan keaslian identitas umat Islam. Ideologi Islam radikal selanjutnya merupakan solusi untuk bertahan dari represi consumer culture sekaligus mempertahankan keunikan identitas Islam di tengah-tengah dunia yang dianggap semakin tercemar oleh kapitalisme.
E. Fokus Penelitian
Berdasarkan pemetaan terhadap studi-studi di bab sebelumnya, penulis akan memfokuskan studinya pada kekerasan yang dilakukan oleh FPI dan MMI, khususnya kasuskasus kekerasan yang mendapat peliputan media massa. Meskipun berpandangan cenderung puritan dan radikal, pada dasarnya MMI dan FPI turut memperhitungkan kondisi kota Yogyakarta dan Indonesia pada umumnya dimana demokratisasi tengah menjadi trend. MMI dan FPI turut menyesuaikan strategi gerakannya dengan fenomena ini. Di sisi lain, baik FPI dan MMI mengalami situasi-situasi tertentu yang menyebabkan keduanya menggunakan kekerasan. Penelitian ini selanjutnya akan berusaha untuk memetakan situasi-situasi yang mendasari munculnya kekerasan sekaligus membahas bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat kekerasan dalam strategi gerakan MMI dan FPI. Kedua ormas ini dipilih karena keduanya dapat dikategorikan sebagai ormas yang memiliki sejarah yang cukup panjang di kota ini. Kedua ormas ini masing-masing juga memiliki rekam jejak kekerasan di Yogyakarta, meskipun dengan pola dan intensitas yang berbeda-beda. FPI dan MMI mewakili dua ormas Islam radikal yang memiliki perbedaan dari segi ideologi, struktur organisasi, kepemimpinan, strategi-strategi hingga tujuan gerakan. Perbedaan ini diharapkan dapat memperkaya pembahasan mengenai latar belakang penggunaan kekerasan oleh kedua ormas Islam radikal ini. Penulis akan menelusuri alasan-alasan di balik penggunaan kekerasan oleh FPI dan MMI. Apakah kekerasan merupakan salah satu strategi utama dari struktur gerakan kedua ormas ini atau kekerasan hanya merupakan reaksi sesaat atas kondisi-kondisi tertentu? Penulis akan menelusuri lebih lanjut mengenai faktor-faktor internal (dari dalam organisasi) maupun eksternal (dari luar organisasi) yang memicu penggunaan kekerasan. Faktor lain yang patut dikaji untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang kekerasan ormas Islam adalah adanya pembenaran terhadap aksi-aksi kekerasan. Penelitian ini akan mengupas hal-hal yang menjadi sarana pembenaran bagi aksi kekerasan yang dilakukan oleh ormas Islam radikal.
Penulis sepakat dengan Quintan Wicktrowicz (Wicktorowickz et.al, 2012) bahwa penggunaan kekerasan merupakan hasil dari pilihan-pilihan rasional yang ditentukan dengan memperhitungkan berbagai faktor di dalam gerakan maupun di masyarakat dan negara. Perspektif semacam ini dapat lebih memberikan kontribusi bagi kita dalam memahami kekerasan tidak semata-mata dari sisi pandang moralis yang berpatokan pada baik dan buruk semata. Kekerasan adalah perilaku yang berasal dari pemikiran rasional dan dilandasi oleh perhitungan yang matang terkait dengan hal-hal yang melatarbelakanginya sekaligus konsekuensi yang menjadi keluaran dari perilaku kekerasan tersebut. Radikalisme Islam merupakan sebuah inisiatif yang muncul di saat kondisi umat Islam mengalami tekanan-tekanan tertentu, baik yang bersumber dari institusi seperti negara maupun dari aliran-aliran pemikiran lain seperti liberalisme, kapitalisme, sosialisme, Marxisme dan lain sebagainya. Radikalisme Islam dapat dipandang sebagai sebuah gerakan tandingan sekaligus gerakan kebangkitan (revivalis) yang berusaha mengembalikan Islam kembali kepada statusnya sebagai satu-satunya sistem yang baik bagi perikehidupan umat Islam bahkan dunia pada umumnya (rahmatan lil’alamin). Para pemikir utama dalam ideologi Islam yang dicap radikal seperti Ibnu Taimiyah, Abu a’la al-Maududi, Hassan al-Banna, Sayyid Quthb, Taqiquddin al-Nabhani dan Abdullah Azzam telah meletakkan dasar-dasar ideologis tentang konsep-konsep utama dalam gerakan Islam radikal. Konsep-konsep tersebut di antaranya konsep Islam sebagai pedoman hidup menyeluruh bagi umat (din-wa dawlah), supremasi hukum Tuhan di dunia (Hakimiyya), konsep pemimpin umat (khilafah) hingga prinsip perjuangan (jihad). Konsep-konsep tersebut sangat berguna sebagai pedoman dalam memperjuangkan Islam yang kaffah, namun perjuangan dalam mewujudkannya tentunya memerlukan sebuah wadah. Ide-ide yang masih bersifat abstrak memerlukan strategi-strategi tertentu untuk mampu bertahan dan memperluas pengaruhnya. Kebutuhan inilah yang akhirnya memunculkan konsep praksis tentang Islam sebagai gerakan politik dan sosial. Strategi perjuangan yang kerap menjadi acuan bagi kelompok-kelompok Islam radikal adalah gerakan jihad melalui kekerasan. Strategi jihad melalui kekerasan merupakan strategi yang dikembangkan oleh Sayyid Quthb dan Abdullah Azzam. Tujuan utama dari strategi jihad
adalah menggantikan secara paksa para pemimpin yang dianggap dholim dan tidak
menerapkan sistem Islam di dalam negara. Konsep jihad dengan kekekerasan ini bertolak belakang dengan konsep gerakan sosial moderat ala Ikhwanul Muslimin. Apabila Ikhwanul Muslimin bertujuan untuk melakukan transformasi sosial secara bertahap dari bawah ke atas, maka gerakan jihad bertujuan untuk melakukan transformasi sosial secara radikal dari atas ke bawah. Gerakan-gerakan Islam radikal yang muncul di Indonesia turut mengadopsi tujuan transformasi sosial menuju masyarakat Islami dari gerakan-gerakan Timur Tengah tersebut. Gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia juga mengadopsi strategi-strategi gerakan sosial dari Timur Tengah. Strategi-strategi gerakan tersebut pada akhirnya disesuaikan dengan konteks yang terjadi di negara ini. Strategi-strategi gerakan Islam radikal mencakup strategi yang bersifat moderat hingga ke aksi-aksi kekerasan. Kecenderungan penggunaan kekerasan oleh ormas-ormas Islam radikal di Indonesia merupakan suatu fenomena yang masih harus diteliti secara lebih lanjut. Studi-studi tentang organisasiorganisasi Islam radikal di Indonesia selama ini masih berkutat pada jaringan-jaringan yang mereka bangun (ICG, 2005; Rahmat, 2006; Fealy & Bubalo, 2007), struktur peluang politik pasca-Orde Baru yang membuka kesempatan bagi perkembangan ormas-ormas Islam (Van Bruinessen et.al, 2014; Van Bruinessen, 2013) serta pengaruh perkembangan ideologi Islam radikal (Zada, 2002; Mubarrak, 2007; Adnan Amal & Rizal Panggabean, 2004). Kekerasan yang dilakukan oleh ormas Islam radikal sempat disinggung dalam penelitian yang membahas selukbeluk dan kegiatan ormas Islam radikal (Ngatawi, 2006; ISAI, 2005; SETARA Institute, 2012) dan studi mengenai ormas Islam radikal sebagai bentuk gerakan sosial (Azis, 2011; Wicktorowicz et.al, 2012; Hassan, 2008). Penelitian-penelitian tersebut belum mengeksplorasi isu kekerasan sebagai pokok bahasan utama. Kekerasan hanya merupakan bagian kecil dari pembahasan tentang ormas-ormas Islam radikal khususnya sebagai konsekuensi dari ideologi radikal yang mereka anut. F. Kerangka Konseptual F.1. Konsep Cycle of Contention dan Framing
Konsep Cycle of Contention (siklus penentangan) dan framing ( pembingkaian isu) merupakan dua dari tiga konsep utama dalam teori gerakan sosial. Satu konsep lagi adalah political opportunity structure (struktur peluang politis). Konsep political opportunity structure terkait dengan gerakan fundamentalis Islam di Indonesia sebelumnya telah dibahas oleh para ahli seperti Robert Hefner dalam Civil Islam (2000), Noorhaidi Hassan dalam Laskar Jihad : Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas Pasca Orde Baru (2008) dan M. Zaki Mubarrak dalam Genealogi Islam Radikal di Indonesia (2007) sehingga penulis tidak akan menguraikannya lebih lanjut. Konsep cycle of contention mengemukakan bahwa terbukanya peluang politik yang muncul akibat keruntuhan rezim akhirnya membuka momentum bagi gerakan-gerakan sosial untuk berkembang dari tahap perencanaan gerakan ke arah pembentukan serta konsolidasi. Proses konsolidasi kemudian ditandai dengan usaha untuk membesarkan gerakan melalui rekrutmen anggota baru, perluasan jaringan dan kontak, serta mobilisasi massa. Pada tahapan ini mulai dilakukan tindakan-tindakan yang disebut sebagai repertoire of contention, yaitu pemakaian bentuk-bentuk aksi kolektif tertentu disertai dengan penggunaan simbol-simbol yang kasar, ritual-ritual agama, dan pertunjukkan seni budaya.1 Konsep cycle of contention sangat berkaitan dengan konsep framing (pembingkaian). Framing terjadi saat aktor gerakan sosial menciptakan dan menggelindingkan wacana yang dapat bergema di antara mereka yang menjadi target mobilisasi.2 Proses ini melibatkan sebuah penafsiran atas grievance/ keluhan dari kelompok-kelompok yang menjadi target mobilisasi berdasarkan sebuah bingkai utama (master frame) yang berdasarkan nilai-nilai tertentu . Keberhasilan dari framing ini sangat ditentukan oleh harapan akan keberhasilan yang dijanjikan oleh bingkai utama tersebut. Framing mencakup strategi-strategi untuk mengomunikasikan pesan untuk meraih dukungan massa dan menambah keanggotaan. Framing membutuhkan sebuah kemampuan khusus untuk memilih isu-isu dan simbol yang akan dipilih dan dikontekstualisasikan untuk mencapai frame resonance (gaung bingkai), yaitu respon-respon memadai yang akan mengubah mobilisasi potensial menjadi mobilisasi aktual.3 Frame 1
Seperti dikemukakan oleh Sidney Tarrow dalam Power in Movement (1998), dikutip dari Laskar Jihad : Islam, Militansi, dan Pergulatan Identitas Pasca Orde Baru (2008) hal. 132. 2 David Snow et.al dalam Frame, Alignment Process, Micromobilization and Movement Participation (1986), dikutip dari Ibid, hal.132. 3 Ibid, loc.cit
resonance selanjutnya akan menjadi basis bagi pembentukan identitas kolektif dimana identitas kolektif yang kuat selanjutnya akan menentukan keputusan yang diambil oleh para aktor dan cara mereka menyesuaikan kegiatan-kegiatan mereka dengan situasi yang terus berubah.4
F.2. Vigilantism
Vigilantism merupakan sebuah konsep mengenai keterlibatan orang-orang di luar aparat keamanan atau otoritas yang berwajib dalam menegakkan apa yang mereka yakini sebagai hukum dan sekaligus menciptakan ketertiban. Vigilantism berasal dari bahasa Latin ‘vigilant’ yang dapat diartikan sebagai penjaga atau pengawas. Kamus online Merriam-Webster mendefinisikan vigilantism sebagai ‘a member of a volunteer committee organized to suppress and punish crime summarily (as when the processes of law are viewed as inadequate); broadly : a self-appointed doer of justice’.5 Definisi yang seringkali dijadikan acuan untuk konsep vigilantism adalah definisi yang dirumuskan oleh Rosenbaum & Sederberg. Mereka berdua mendefinisikan vigilantism sebagai “…simply establishment of violence. It consists of acts or threats of coercion in violation of the formal boundaries of an established sociopolitical order which, however, are intended to the violators to defend that order from some form of subversion”.6
Dalam bahasa sehari-hari, vigilantism lebih dikenal dengan ungkapan ‘main
hakim sendiri’. Fenomena vigilantism merupakan sebuah bentuk tindakan sepihak dari beberapa unsur masyarakat
yang mengambil-alih hukum dari otoritas yang berwenang dan
menjadikannya sebagai alat pribadi. Dalam kasus-kasus semacam MMI dan FPI, mereka seringkali berdalih bahwa aparat yang berwenang sama sekali tidak mengambil tindakan atas hal-hal yang mereka anggap telah ‘mengotori akidah Islam’ dan ‘menimbulkan keresahan umat’. Mereka mengklaim bahwa aksi-aksinya mewakili umat Islam sebagai kelompok mayoritas yang terancam baik oleh pencemaran akidah maupun negara yang pasif dalam menindaknya. 4
Alberto Melucci dalam Challenging Codes : Collective Action in the Information Age (1996), dikutip dalam Ibid, hal.133 5 http://www.merriam-webster.com/dictionary/vigilante, diakses tanggal 11 Juni 2014 pukul 06.23 6 Rosenbaum & Sederberg seperti dikutip dari The Cause of Vigilante Political Violence : The Case of Jewish Settlers hal. 10, diunduh dari http://people.ds.cam.ac.uk/rga1000/rga-10.pdf, tanggal 11 Juni 2014 pukul 18.05
Fenomena ketidakmampuan pemerintah dalam menindak hal-hal yang dianggap mencemari nilai-nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok fundamentalis ini merupakan salah satu prasyarat paling mendasar dalam terjadinya aksi-aksi vigilante. Rosenbaum dan Sederberg selanjutnya berpendapat bahwa “the potential for vigilantism varies positively with the intensity and scope of belief that a regime is ineffective in dealing with the prevailing socio-political order.7 FPI dan MMI dapat dikategorikan sebagai social-group-control vigilantism apabila meminjam tipologi yang dirumuskan oleh Rosenbaum & Sederberg (1976).
Social-group-
control vigilantism didefinisikan sebagai “establishment violence directed against groups that are competing for, or advocating a redistributing of, values within the system”.8
G. Hipotesis
FPI dan MMI menggunakan wacana Islam sebagai unsur pembentuk identitas bagi mereka yang membedakannya dengan mayoritas warga Yogyakarta. Identitas Islam yang spesifik ini turut berfungsi untuk menarik batas yang tegas antara mereka dengan kelompokkelompok minoritas yang dianggap ‘menyimpang’. Komitmen terhadap Islam sebagai identitas ditunjukkan melalui penampilan/busana, tingkah-laku bahkan aksi-aksi yang menjurus ke arah kekerasan . Di sisi lain, FPI dan MMI pun akan dituduh sebagai pihak yang ‘menyimpang’ dan liyan. Polarisasi semacam ini akan dapat kita ketahui dengan mempelajari lebih lanjut mengenai seluk-beluk sejarah FPI dan MMI, komposisi keanggotaannya, mazhab Islam yang dianutnya serta dikaitkan dengan konteks sosial, politik dan ekonomi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai tempat berkembangnya kedua ormas ini. FPI dan MMI dapat dikatakan menggunakan prinsip vigilantism di dalam melaksanakan prinsip-prinsip yang mereka yakini tentang Islam. Kedua ormas ini seringkali melakukan aksi-aksi seperti sweeping terhadap tempat hiburan malam atau lokasi-lokasi yang disinyalir menjadi tempat maksiat lainnya. MMI bahkan tercatat pernah melakukan penyerangan terhadap kantor LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) di daerah Banguntapan Bantul demi 7 8
Dikutip dari Vigilante Politics (1976) oleh Jon Rosenbaum & Peter.C.Sederberg (.ed) hal 7. Ibid, hal.12.
mencegah diskusi buku Allah, Liberty & Love karya penulis feminis Irsyad Manji.9 Anggotaanggota MMI juga pernah menyerang seniman Bramantyo Prijosusilo yang dianggap memprovokasi MMI dengan mengadakan sebuah pertunjukan seni di dekat markas MMI di daerah Kotagede.10 Aksi kekerasan menjadi pilihan karena aparat keamanan dianggap tidak mau bertindak tegas. Ketidakmampuan aparat ini seringkali dikaitkan pada ketidak sesuaian antara nilai-nilai yang dianut oleh pemerintah dan ormas-ormas seperti FPI dan MMI. FPI dan MMI mempertanyakan komitmen aparat keamanan terhadap Islam. Alasan untuk menjaga nilai-nilai keislaman dari deprivasi oleh negara maupun aktor-aktor lainnya merupakan salah satu penyebab metode vigilantism dipilih oleh FPI. FPI dan MMI menggunakan kekerasan yang bersifat reaksioner untuk menanggapi kemunculan nilai-nilai baru yang dianggap mengancam nilai-nilai mereka. Kecenderungan penggunaan kekerasan di luar hukum sebagai jalan keluar muncul apabila nilai-nilai yang mereka anut merupakan sesuatu yang final dan tidak dapat diganggugugat lagi, sehingga melahirkan pendekatan zero-sum terkait dengan kemunculan nilai-nilai lain yang dianggap tidak sesuai.
H. Metode Penelitian
Dalam meneliti tesis berjudul “Perbandingan Strategi Gerakan Front Pembela Islam dan Majelis Mujahidin Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Keamanan Daerah Istimewa Yogyakarta” ini, penulis akan menggunakan metode penelitian deskriptif-kualitatif. Penelitian ini akan menggunakan referensi berupa data-data sekunder dari buku, jurnal, surat kabar, situs-situs internet, majalah dan hasil penelitian dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Data ini akan dilengkapi dengan data primer berupa hasil wawancara dengan tokohtokoh serta anggota dari FPI maupun MMI. Pemilihan responden akan diarahkan pada tokohtokoh yang terlibat langsung di dalam kekerasan maupun tokoh-tokoh yang berperan dalam 9
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/09/058402825/Buntut-Diskusi-Irshad-Manji-Majelis-Mujahidin-SerangLKiS, diakses tanggal 11 Juni 2014 pukul 15.15 10 http://news.detik.com/read/2012/05/07/135728/1911036/10/sempat-digeruduk-ormas-pembangunan-tempatibadah-di-gunungkidul-disetop?nd771108bcj, diakses tanggal 11 Juni 2014 pukul 15.25
memberikan pembenaran terhadap kekerasan. Penulis juga akan mewawancarai pihak-pihak yang pernah menjadi korban aksi kekerasan FPI dan MMI untuk mendapakan gambaran yang lebih lengkap terhadap aksi-aksi kekerasan mereka.
I. Sistematika Penulisan
Tesis yang berjudul “Perbandingan Strategi Gerakan Front Pembela Islam dan Majelis Mujahidin Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Keamanan Daerah Istimewa Yogyakarta” ini akan dibagi ke dalam lima bab. Bab Pertama berisikan mengenai pendahuluan. Dalam bab ini Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah serta kerangka konseptual. Pembahasan dalam Bab I ini selanjutnya dengan argumen utama, studi literatur, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab Kedua dari tesis ini akan membahas mengenai seluk-beluk sejarah, latar belakang ideologis, tujuan dan misi utama organisasi, komposisi anggota, komposisi kepengurusan, struktur organisasi serta program-program yang dilaksanakan oleh FPI dan MMI sebagai sebuah gerakan sosial. Bab ini memiliki fokus untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh terhadap FPI dan MMI sebagai sebuah organisasi maupun sebuah gerakan sosial. Bab Ketiga dari tesis ini akan mulai membandingkan strategi-strategi gerakan sosial yang dijalankan oleh FPI dan MMI dalam mencapai misi-misi organisasinya. Perbandingan ini dilakukan mulai dari struktur keorganisasiannya, tujuan, latar belakang ajaran/ideologi yang dianut, hingga bentuk-bentuk aksi dan kegiatan yang dilaksanakan oleh kedua organisasi ini untuk mencapai tujuan berdasarkan ideologi yang dianutnya. Perhatian khusus akan ditujukan pada bagaimana kedua ormas ini menarik pengikut-pengikut baru dan memobilisasi massa untuk menyuarakan aspirasinya terhadap suatu isu. Pembahasan di bab ini juga akan mencakup pilihan untuk melakukan tindakan-tindakan sepihak atau kekerasan sebagai salah satu strategi gerakan. Bab Keempat dari tesis ini akan menguraikan seluk-beluk penggunaan kekerasan atau tindakan-tindakan sepihak (vigilantism) dari MMI dan FPI. Bab ini akan mengambil contoh kasus dari berbagai kekerasan yang mereka lakukan untuk menanggapi beberapa isu seperti kemaksiatan, LGBT, penyelewengan akidah yang dilakukan oleh beberapa unsur seperti Islam
Liberal (contoh : pembubaran diskusi Irsyad Manji) maupun kelompok-kelompok seperti Ahmadiyah dan Syiah. Bab ini juga akan membahas mengenai dampak kekerasan tersebut baik yang bersifat langsung seperti jatuhnya korban, kerusakan fisik dan material, hingga munculnya rasa takut dari warga sekitar lokasi-lokasi penyerangan. Bab Kelima merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dari pembahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya. Pada bab terakhir ini akan diuraikan secara singkat jawaban dari rumusan masalah yang sudah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Berdasarkan kesimpulan tersebut, penulis berharap dapat memberikan masukan dan saran yang bersifat membangun untuk menghindari atau meminimalisir dampak-dampak buruk dari kekerasan yang ditimbulkan oleh pilihan strategi gerakan FPI dan MMI tersebut.