BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemberitaan tentang pelanggaran kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sangatlah gencar diberitakan oleh media massa, baik cetak, elektronik, maupun media baru (internet). Pemberitaan yang disajikan biasanya seputar kasus pencemaran nama baik seseorang. Hal tersebut seiring dengan semakin banyaknya kasus tentang pelanggaran UU ITE yang terjadi di Indonesia. Harianjogja.com memaparkan hasil data yang diperoleh dari Information Communication and Technology (ICT) Watch bahwa setidaknya sejak UU ITE diundangkan 2008 lalu hingga menjelang akhir tahun 2014 sudah ada 71 nitizen yang terjerat UU ITE, dan 40 kasus di antaranya terjadi pada tahun 2014.1 Banyaknya kasus pelanggaran UU ITE tersebut juga semakin diperkuat dengan data yang dipaparkan oleh Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), sebuah jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara. SAFENET memaparkan bahwa hingga tahun 2014, sudah ada 74 kasus yang menggunakan UU ITE sebagai dasarnya. Sebanyak 39 kasus, sekitar 53% dari total 74 kasus terjadi pada tahun 2014 dan sekitar 92% dari kasus tersebut merupakan kasus pencemaran nama baik.2 Salah satu kasus yang cukup gencar diberitakan oleh media massa di akhir tahun 2014 adalah kasus pelanggaran UU ITE yang menjerat seorang ibu rumah tangga bernama Ervani Emy Handayani, warga Gedongan, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. 1
Lihat http://www.harianjogja.com/baca/2014/11/17/facebook-berujung-penjara-belajar-daripengalaman-apji-desak-uu-ite-dibenahi-552824 2 Lihat http://id.safenetvoice.org/2015/02/revisi-uu-ite-dipastikan-masuk-prioritas-prolegnas2015/#more-1161
1
Kasus Ervani tersebut bermula ketika ia memposting status di media sosial facebook via Blackberry yang berbunyi, “Iya sih Pak Har baik, yang enggak baik itu namanya Ayas dan Spv (supervisor) lainnya. Kami rasa dia enggak pantas dijadikan pimpinan Jolie Jogja Jewellery. Banyak yang lebay dan masih labil seperti anak kecil!” (Harian Jogja, 2014). Karena postingan status facebook itulah Ervani dilaporkan oleh Ayas atau Dyas Sarastuti (supervisor Jolie) dengan tuduhan pencemaran nama baik melalui media elektronik 9 Juni 2014 lalu. Setelah dua kali menjalani pemeriksaan di Polda DIY, Ervani kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan pada 29 Oktober 2014, berkas Ervani diserahkan ke Kejaksaan Negeri Bantul dan ia ditahan di Rutan Wirogunan Jogja (Harian Jogja, 2014). Kasus Ervani terus berlanjut hingga pada akhirnya ia divonis bebas tak bersalah pada tanggal 5 Januari 2015, seperti dilansir krjogja.com tertanggal 5 Januari 2015. Media cetak lokal pun tak luput turut memberitakan kasus Ervani Emy Handayani ini, seperti Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja. Penelitian ini berawal dari adanya asumsi bahwa kedua media tersebut memiliki posisi pemberitaan yang memihak kepada salah satu pihak tertentu dalam memberitakan kasus Ervani Emy Handayani. Menurut asumsi awal tersebut, posisi pemberitaan dari Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja amat sangat ketara dari sisi keberpihakannya. Kedaulatan Rakyat dengan mottonya “Suara Hati Nurani Rakyat” terlihat lebih memposisikan dirinya untuk berpihak kepada Ervani Emy Handayani, seorang ibu rumah tangga sebagai korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Asumsi tersebut bermula dari cukup mendominasinya judul-judul berita terkait dukungan kepada Ervani yang disajikan oleh Surat Kabar Kedaulatan Rakyat. Seperti berita yang disajikan Kedaulatan Rakyat pada tanggal 12 November 2014 yang berjudul “Datangi PN Bantul Korban UU ITE Minta Ervani Dibebaskan”. Atau judul berita yang disajikan pada tanggal 19 November 2014 dengan judul “Kunjungan Bupati Sri Surya Widati Berikan Dukungan Moral Kepada Ervani”.
2
Posisi pemberitaan yang memihak kepada Ervani tersebut sama halnya dengan pemberitaan yang disajikan oleh Surat Kabar Harian Jogja yang mengusung motto “Berbudaya Membangun Kemandirian”. Dilihat dari judul-judul berita yang disajikan juga terlihat memihak kubu Ervani Emy Handayani. Seperti berita yang disajikan pada tanggal 1 Desember 2014 yang berjudul “Pendukung Ervani Demonstrasi di Titik Nol”. Atau judul berita yang disajikan pada tanggal 2 Desember 2014 yang menyebutkan bahwa “Saksi Ahli Sebut Ervani Tak Layak Dibawa ke Pengadilan”. Ketika ditilik pada versi online Harian Jogja pada tanggal 19 November 2014 terdapat berita yang menyatakan bahwa, “Diyah Sarastuty, pelapor kasus pelanggaran Pasal 27 ayat 3 Undang-undang No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan terdakwa Ervani Emy Handayani berharap media netral dalam memberitakan kasus tersebut. Melalui kuasa hukumnya, Achil Suyanto, Diyah merasa tersudutkan oleh pemberitaan di media. Ia ingin meluruskan pemberitaan yang seolah-olah kasus tersebut terjadi karena dirinya” (Hasanudin 2014). Adanya berita di harian jogja versi online tersebut menimbulkan asumsi bahwa pemberitaan kasus Ervani Emy Handayani di media massa seringkali berat sebelah atau berpihak kepada salah satu pihak tertentu hingga ‘Ayas’ selaku pelapor merasa tersudutkan oleh pemberitaan media. Namun, pemberitaan versi online Harian Jogja tersebut tidak terdapat pada versi cetaknya. Oleh karena itu, maka munculah asumsi bahwa posisi Harian Jogja sendiri berbeda ketika ditilik dari versi cetak dan versi onlinenya. Dan di dalam penelitian ini akan lebih melihat bagaimana posisi pemberitaan Harian Jogja dalam versi cetaknya saja. Posisi pemberitaan yang memihak tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan. Sebuah berita yang disajikan haruslah bersifat objektif, adil, berimbang, dan tidak memihak kepada salah satu pihak. Seperti yang telah dijelaskan dalam Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia pada pasal 5 yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia harus menyajikan berita secara berimbang, dan adil, mengutamakan
3
kecermatan dan ketepatan, serta tidak mencampurkan fakta dan opini sendiri (Kusumaningrat, 2005 : 47). Kedua media cetak, yakni Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja merupakan dua media yang sudah memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Yogyakarta. Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat sendiri merupakan surat kabar lokal tertua di Kota Yogyakarta. Dengan motto yang selalu diusung yakni “Suara Hati Nurani Rakyat”, Kedaulatan Rakyat dapat bertahan sejak terbit perdana pada tanggal 27 September 1945 hingga saat ini. Bahkan, sampai saat ini Kedaulatan Rakyat masih digadang-gadang sebagai surat kabar yang masih setia menyebarkan informasi yang benar dan berimbang. Beragam penghargaan pun pernah diraih oleh Kedaulatan Rakyat, seperti Koran Harian Terbesar Peringkat 1 Gretaer Yogyakarta, Koran Pembaca Harian Terbanyak Peringkat 6 Nasional, 10 Besar Koran Terbaik 2005 dari Dewan Pers, dan masih banyak lagi penghargaan lainnya. Sedangakan Harian Jogja merupakan salah satu surat kabar baru di daerah Yogyakarta dengan mottonya “Berbudaya Membangun Kemandirian”. Meski baru pertama kali terbit pada tahun 2008, namun surat kabar ini mampu mendapatkan banyak jumlah pembaca setia. Seperti yang telah dipaparkan oleh Nielsen Media Index Tahun 2011 menyebutkan bahwa Kedaulatan Rakyat mendapatkan peringkat pertama pembaca terbanyak, yaitu dengan total jumlah 475.000 pembaca, sedangkan Harian Jogja menempati peringkat ketiga dengan jumlah pembaca sebanyak 51.000 pembaca, setelah Koran Merapi yang menduduki peringkat kedua.3 Dengan adanya asumsi awal dari kedua media tersebut yang menyatakan bahwa Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja berpihak kepada salah satu pihak tertentu, maka peneliti ingin melihat secara lebih jauh dengan menggunakan hitungan kuantitatif, bagaimana sebenarnya posisi pemberitaan dari kedua media tersebut dalam memberitakan kasus Ervani Emy Handayani. Apakah memang benar berpihak kepada salah satu pihak tertentu, ataukah ternyata bersikap netral 3
Lihat http://krjogja.com/images/SKH%20Kedaulatan%20Rakyat.html
4
sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik. Hal tersebut tentulah sangat penting untuk diteliti lebih jauh mengingat Surat Kabar Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Yogyakarta. Untuk melakukan penelitian ini, peneliti memilih periode penelitian yang akan dibatasi sejak 29 Oktober 2014 hingga 5 Januari 2015, yakni sejak pertama berkas dilimpahkan ke kejaksaan dan Ervani pun ditahan di Rutan Wirogunan hingga Ervani dinyatakan bebas tak bersalah oleh hakim pengadilan. Periode tersebut dirasa tepat dan cukup untuk melihat bagaimana penyajian berita kasus Ervani Emy Handayani di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja.
B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana posisi pemberitaan kasus Ervani Emy Handayani di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja periode 29 Oktober 2014 – 5 Januari 2015?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Untuk mengetahui bagaimana posisi pemberitaan kasus Ervani Emy Handayani di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja periode 29 Oktober 2014 – 5 Januari 2015.
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1. Manfaat Akademis Memberikan sumbangsih bagi studi ilmu komunikasi khususnya penelitian dengan menggunakan metode analisis isi.
5
2. Manfaat Praktis a. Bagi pihak media surat kabar harian, diharapkan agar dapat menyajikan berita dengan mengambil posisi pemberitaan yang netral dan berimbang, serta layak untuk dikonsumsi pembaca. b. Bagi pemerintah, agar dapat lebih memperhatikan isu-isu serta kritik yang dilakukan oleh media massa melalui penyajian beritanya. c. Bagi Masyarakat, agar lebih kritis dan selektif dalam memahami berita yang disajikan oleh media massa, lebih khususnya media cetak berupa surat kabar harian.
E. Kerangka Pemikiran Penelitian tentang posisi pemberitaan kasus Ervani Emy Handayani di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja ini merupakan sebuah diskusi mengenai arah posisi pemberitaan surat kabar lokal daerah dalam mengkonstruksi berita terkait dengan kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dialami oleh Ervani Emy Handayani. 1. Posisi Pemberitaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, kata posisi diartikan secara sederhana sebagai letak, kedudukan (dalam hal orang atau barang).4 Hal tersebut tentu berbeda dengan definisi posisi jika dihubungkan dengan dunia sains yang memiliki pengertian sebagai letak suatu benda pada suatu waktu tertentu terhadap titik acuan tertentu.5 Sedangkan definisi dari pemberitaan sendiri dapat diambil dari kata dasarnya, yakni berita. Berita dapat dipahami sebagai hasil rekonstruksi tertulis dari realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan (Abrar, 2005:2). Abrar menyakini bahwa penulisan sebuah berita lebih merupakan pekerjaan merekonstruksi realitas sosial ketimbang gambaran dari realitas itu sendiri. Di dalam bukunya, Abrar juga mengutip 4 5
Lihat http://kbbi.web.id/posisi Lihat http://paarif.com/posisi-jarak-dan-perpindahan/
6
definisi berita yang dikemukan oleh W.J.S. Purwadarminta, yang menyebutkan bahwa berita adalah laporan tentang satu kejadian yang terbaru (ibid) (Abrar, 2005:3). Sedangkan, Muhtadi di dalam bukunya yang berjudul “Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik” menjelaskan bahwa sangat sulit bagi manusia awam bahkan para ahli komunikasi di dalam mendefinisikan sebuah berita. Menurutnya, membuat definisi berita memang tidak semudah memahami berita itu sendiri. Oleh karena itu, Muhtadi berpendapat bahwa akan lebih mudah mendefinisikan berita dengan menggunakan perumpamaan atau dengan mengungkapkan contoh (Muhtadi, 1999: 108). Muhtadi mengambil definisi berita milik Bruce D.Itule dalam News Writing and Reporting for Today’s Media yang mendefinisikan berita sebagai “man bites dog” yang secara tidak langsung memberi pengertian bahwa berita merupakan sesuatu yang memang belum pernah terjadi, atau belum pernah didengar sebelumnya. Dari contoh tersebut juga dapat disimpulkan bahwa berita adalah sesuatu yang dianggap berbeda bagi orang atau masyarakat yang berbeda pula. Hal tersebut disebabkan karena faktor orang dan lingkungan dianggap juga turut menentukan apakah sesuatu tersebut dapat dianggap layak menjadi sebuah berita atau tidak (Muhtadi, 1999: 108-109). Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh Kusumaningrat dalam mendefinisikan sebuah berita. Sama seperti Muhtadi, Kusumaningrat juga menganggap bahwa berita lebih mudah untuk diketahui daripada didefinisikan. Tetapi menurutnya definisi berita sangat diperlukan untuk mengetahui secara jelas apa yang disebut berita bagi keperluan pekerjaan mencari, menghimpun, dan membuat berita (Kusumaningrat, 2005: 31-32). Kusumaningrat menjelaskan definisi berita dengan menekankan bahwa arti sebuah berita tidaklah sama bagi negara-negara yang menganut sistem pers bebas/ liberal dengan negara-negara yang menganut sistem pers penguasa/ sistem pers
yang bertanggungjawab.
Ia memulai
pendefinisian berita
dengan
memaparkan definisi berita menurut Pers Timur dan Pers Barat. Dalam Pers
7
Timur, berita tidak dipandang sebagai barang dagangan. Berita adalah suatu “proses”, proses yang ditentukan arahnya. Berita tidak didasarkan pada maksud untuk memuaskan nafsu “ingin tahu” segala sesuatu yang “luar biasa” dan “menakjubkan”, melainkan pada keharusan ikut berusaha “mengorganisasikan pembangunan dan pemeliharaan negara sosialis”. Definisi berita Pers Timur tersebut berbeda dengan definisi berita Pers Barat yang memandang bahwa berita sebagai “komoditi”, sebagai “barang dagangan” yang dapat diperjualbelikan. Oleh karena itu, sebagai barang dagangan ia harus “menarik”(Kusumaningrat, 2005: 32-33). Lalu bagaimana dengan definisi berita di Negara Indonesia sendiri? Dalam hal ini Kusumaningrat meyakini bahwa dalam mendefinisikan berita pers Indonesia lebih sesuai jika menggunakan definisi berita yang dianut oleh Pers Barat (Kusumaningrat, 2005: 38). Dari semua definisi berita di dalam bukunya, pada akhirnya Kusumaningrat menyimpulkan definisi berita secara sederhana dan mudah dipahami, yakni berita adalah informasi aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik perhatian orang (Kusumaningrat, 2005: 40). Berdasarkan kamus online artikata.com kata pemberitaan sendiri dapat didefinisikan sebagai proses, cara, perbuatan memberitakan (melaporkan, memaklumkan).6 Hal tersebut juga sama dipaparkan oleh kamusbesar.com yang memaparkan bahwa pemberitaan dapat diartikan juga sebagai perkabaran atau maklumat.7 2. Objektivitas dalam Pemberitaan Sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia, sebuah pemberitaan haruslah bersifat objektif dan tidak berpihak, seperti apa yang telah tercantum pada pasal 5 yang menyatakan bahwa, wartawan Indonesia harus menyajikan berita secara berimbang, dan adil, mengutamakan kecermatan dan ketepatan, serta tidak mencampurkan fakta dan opini sendiri (Kusumaningrat, 2005 : 47). 6 7
Lihat http://www.artikata.com/arti-359848-pemberitaan.html Lihat http://www.kamusbesar.com/4654/pemberitaan
8
Kusumaningrat di dalam bukunya juga menyebutkan bahwa sebuah berita memiliki beberapa sifat-sifat istimewa dimana sifat tersebut bukan saja berfungsi untuk menunjukkan bentuk-bentuk khas praktik pemberitaan, namun juga berlaku sebagai pedoman dalam menyajikan dan menilai layak tidaknya suatu berita untuk dimuat (Kusumaningrat, 2005:47). Ia menambahkan bahwa setidaknya ada tujuh sifat istimewa berita yang kemudian disebut juga sebagai unsur-unsur layak berita. Ketujuh sifat tersebut, yakni akurat, lengkap, adil dan berimbang, objektif, ringkas, jelas dan hangat (Kusumaningrat, 2005 : 48). Melihat dari ketujuh sifat istimewa berita tersebut, salah satu unsur yang cukup penting di dalam sebuah berita adalah objektivitas. Berita harus bersifat objektif. Yang dimaksud dengan objektif adalah berita yang dibuat harus selaras dengan kenyataan, tidak berat sebelah, dan bebas dari prasangka (Kusumaningrat, 2005 : 54). Pendapat Kusumaningrat semakin diperkuat dengan pendapat McQuail (1992) (dikutip oleh Siregar, dkk 2014) yang
menyatakan bahwa
objektivitas dan netralitas telah menjadi standart baku bagi jurnalistik yang menuntun
kinerja
mereka,
sekaligus
menjadi
‘penanda’
bagi
tingkat
profesionalitas kinerja media. McQuail juga menambahkan bahwa objektivitas juga diperlukan untuk mempertahankan kredibilitas (McQuail dalam Siahaan, dkk, 2001:64). Dari pengertian-pengertian tentang objektivitas di atas menunjukkan bahwa posisi sebuah pemberitaan tidak boleh berat sebelah, namun harus adil dan seimbang (bersikap netral). Hal tersebut akan berpengaruh pada tingkat keprofesionalan media dan kredibilitas berita yang disajikan. a) Definisi Objektivitas
Telah disebutkan di atas bahwa objektivitas penting dalam sebuah pemberitaan. Berbagai macam penelitian terdahulu yang memfokuskan pada penelitian kualitas pemberitaan sebagian besar menggunakan konsep objektivitas sebagai tolak ukurnya. Konsep ukuran objektivitas juga berlaku pada penelitian
9
ini dimana posisi pemberitaan diteliti dengan menggunakan konsep objektivitas, lebih khususnya pada dimensi impartiality (ketidakberpihakan) sesuai dengan apa yang telah disebutkan di latar belakang masalah. Di dalam bukunya, Maras menjelaskan bahwa mendefiniskan objektivitas di dalam jurnalisme tidaklah mudah bahkan seringkali ambigu (Maras, 2013: 8). Namun, ada beberapa definisi dari objektivitas yang dapat dijadikan pedoman. Yang pertama, objektivitas sendiri dapat didefinisikan sebagai pelaporan akan realitas atau fakta yang sebisa mungkin dilakukan, tanpa memasukkan prasangka maupun opini pribadi wartawan (Walter Cronkite dalam Maras, 2013:7). Sedangkan objektivitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sikap jujur, tidak dipengaruhi pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dalam mengambil putusan atau tindakan8. Selanjutnya, Siahaan, dkk di dalam bukunya yang berjudul “Pers yang Gamang Studi Pemberitaan Jajak Pendapat Timor Timur” juga menyebutkan bahwa objektivitas pemberitaan adalah penyajian berita yang benar, tak berpihak, dan berimbang (Siahaan, dkk, 2001: 100). b) Indikator Objektivitas Maras menjelaskan bahwa objektivitas dapat dilihat dari tiga aspek yang berbeda, yakni nilai, proses, dan bahasa (Maras, 2013: 8). Dilihat dari aspek nilai, Everette E. Dennis menyatakan bahwa, kita dapat menghubungkan objektivitas dalam jurnalisme dengan tiga tujuan utama, yakni memisahkan antara fakta dan opini, menyajikan pandangan emosional yang terpisah dari berita, serta berusaha untuk keadilan dan keseimbangan (Dennis & Merrill dalam Maras, 2013: 8). Selain aspek nilai, aspek lainnya adalah prosedur. Dimensi prosedur ini meliputi upaya menyediakan sudut pandang yang kontras, keseimbangan, dan sudut pandang alternatif dengan menggunakan bukti
pendukung, memastikan
pengutipan secara tepat, dan pada akhirnya dapat mengorganisikannya ke dalam format berita yang familiar (Maras, 2013: 9). Sedangkan aspek yang ketiga adalah aspek bahasa. Objektivitas adalah sejenis “permainan bahasa”, yang merupakan
8
Lihat http://kbbi.web.id/objektivitas
10
strategi spesifik menampilkan kembali kejadian, fakta, dan detailnya (Maras, 2013: 9). J. Westersthal (1983) dalam Siahaan, dkk dijelaskan bahwa ia telah mengembangkan kerangka konseptual dasar bagi usaha meneliti dan mengukur objektivitas pemberitaan dan telah mengalami beberapa modifikasi. Meta-konsep objektivitas Westersthal yang dikembangkan oleh McQuail memiliki dua dimensi, yakni factuality (dimensi kognitif atau kualitas informasi pemberitaan) dan impartiality (dimensi evaluatif pemberitaan dihubungkan dengan sikap netral wartawan terhadap objek pemberitaan, menyangkut kualitas penanganan aspek penilaian, opini, interpretasi subjektif, dan sebagainya) (McQuail dalam Siahaan, dkk, 2001:64). Siahaan,dkk, menyebutkan bahwa objektivitas pemberitaan dapat dilihat dari dua dimensi menurut McQuail tersebut. Dikutip dari Hidayat dalam Siahaan, dkk, dimensi factuality memiliki dua sub-dimensi, yakni truth dan relevance. Sedangkan Rahayu di dalam bukunya menyebutkan bahwa dimensi faktualitas ini dibagi menjadi tiga, yakni kebenaran (truth), informativeness, dan relevance (Rahayu, 2006: 10). Sub dimensi truth adalah tingkat kebenaran dan keterandalan (reliabilitas) fakta yang disajikan, ditentukan oleh factualness (pemisahan yang jelas antara fakta dan opini), dan accuracy (ketepatan data yang diberitakan, seperti jumlah, tempat, waktu, nama, dan sebagainya). Dalam dimensi truth, McQuail masih menambahkan satu lagi kriteria untuk mengukur dimensi truth, yakni completeness yang berkaitan dengan kelengkapan berita, namun Siahaan,dkk dalam bukunya menilai kriteria tersebut kurang relevan, karena kelengkapan fakta dan data tidak secara langsung berkait dengan tingkat kebenaran berita (Siahaan, dkk, 2001: 65). Selanjutnya, dimensi informativeness lebih berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi kualitas pemahaman dan pembelajaran tentang peristiwa yang terjadi, manusia maupun benda (McQuail dalam Rahayu, 2006: 10). Sedangkan sub-dimensi relevance mensyaratkan perlunya proses seleksi
11
menurut prinsip kegunaan yang jelas, demi kepentingan khalayak. McQuail berpendapat bahwa relevan tidaknya aspek-aspek realitas yang diberitakan bisa ditentukan berdasarkan salah satu atau kombinasi dari empat kriteria, yakni normative standards, journalistic, audience, dan real world indicators (McQuail dalam Siahaan, dkk, 2001:65). Lebih lanjut, dimensi kedua, yakni impartiality, merupakan dimensi evaluatif, dikaitkan dengan sikap wartawan yang harus menjauhkan setiap penilaian pribadi (personal) dan subjektif (Hidayat dalam Siahaan,dkk, 2001: 65). Rahayu menambahkan, di dalam model Westertahl, aspek evaluatif ini berkaitan dengan ketidakberpihakan (impartiality) (Rahayu, 2006: 10). Impartiality, memiliki dua sub-dimensi, yaitu neutrality dan balance. Lebih lanjut, Rahayu menjelaskan bahwa netralitas lebih berhubungan dengan presentasi fakta itu sendiri yang dapat dievaluasi dari penggunaan katakata, citra, dan frames of reference yang bersifat evaluatif dan juga penggunaan gaya presentasi yang berbeda, sedangkan balance lebih berhubungan dengan seleksi atau penghilangan fakta-fakta yang mengandung nilai atau ekspresi point of view mengenai apa yang dianggap sebagai ‘fakta’ oleh pihak-pihak terkait dalam perdebatan (Rahayu, 2006 : 10). McQuail dalam Rahayu menambahkan bahwa dalam meneliti balance, kita perlu mencari denotasi, sedangkan dalam meneliti netralitas, kita perlu mencari konotasi (McQuail dalam Rahayu, 2006: 11). Sub-dimensi neutrality ditentukan oleh penyajian yang non-evaluatif dan non-sensasional. Sedangkan sub-dimensi balance mensyaratkan perlunya proses seleksi yang memberikan equal or propotional access/ attention (yakni pemberian akses, kesempatan, dan perhatian yang sama terhadap para pelaku penting dalam berita) ; dan even-handed evaluation (yakni pemilihan penilaian negatif dan positif yang berimbang untuk setiap pihak yang diberitakan (Hidayat dalam Siahaan,dkk, 2001: 65). Lebih lanjut, Rahayu menjelaskan bahwa ada dua jenis balance, yakni internal balance dan external balance. Internal balance melihat
12
keseimbangan pemberitaan dalam sebuah teks berita, sedangkan external balance melihat keseimbangan dalam beberapa item atau program berita dalam satu jenis media. Dalam analisis isi, balance diukur dengan menghitung berapa banyak ruang dan waktu yang diberikan media untuk menyajikan pendapat atau kepentingan salah satu pihak. Selain itu, balance juga dapat diukur dengan mengevaluasi derajad prominence, linkage, sequence, dan sebagainya yang mengimplikasikan adanya pengarahan (direction) ataupun penilaian (valuation) (Rahayu, 2006: 22). Sedangkan di dalam dimensi neutrality, beberapa hal seperti penempatan, keutamaan relatif, headlining, dan pilihan kata merupakan bagian dari dimensi netralitas penyajian sebuah berita. Semua bentuk sensasionalisme, penggunaan kata-kata yang ambigu, emosionalisme atau ‘warna’ dalam presentasi hanya akan menjauhkan netralitas dan objektivitas dalam pemberitaan (Rahayu, 2006:24). Ashadi Siregar di dalam Siahaan, dkk menjelaskan bahwa mengukur objektivitas pemberitaan pada dasarnya menakar sejauh mana wacana fakta sosial identik dengan wacana fakta media. Untuk itu, prinsip pertama dalam jurnalisme adalah objektivitas. Siregar menjelaskan bahwa dalam skema Wastersthal, akurasi merupakan salah satu faktor yang menentukan truth (kebenaran) yang digunakan sebagai landasan kerja jurnalisme dan dimaksudkan untuk menjaga agar wacana fakta media identik dengan fakta sosial (Siregar dalam Siahaan, dkk, 2001: 66). Selanjutnya, prinsip kedua dalam jurnalisme yang dimaksud oleh Siregar adalah
keseimbangan
dan
keberpihakan.
Keseimbangan
menciptakan
ketidakberpihakan, dan ketidakseimbangan melahirkan keberpihakan. Sebaliknya, ketidakberpihakan
menjaga
keseimbangan,
dan
keberpihakan
membuat
ketidakseimbangan. Keseimbangan dan keberpihakan tersebut dapat dilihat dari kandungan dan konteks fakta sosial (Siregar dalam Siahaan, dkk, 2001: 66). Dalam hal ini, Siregar juga menambahkan bahwa keseimbangan dan ketidakberpihakan dalam fakta media ditentukan oleh perspektif jurnalis, yang
13
mencakup sudut pandang (angle), posisi jarak (distance) dalam menghadapi fakta sosial, dan bahasa yang digunakan. Sudut pandang merupakan langkah awal mengidentifikasi fakta, yaitu saat menentukan subjek yang dipilih sebagai fokus perhatian. Sedangkan distance adalah sikap sosial jurnalis menghadapi subjek, yakni netral, antipati, empati, ataukah simpati; serta sikap intelektual jurnalis, apakah apriori ataukah aposteriori. Sedangkan bahasa menyangkut pilihan kata dalam merekonstruksikan fakta sosial dalam mewujud melalui pertanyaan langsung person dalam fakta sosial, narasumber atau narasi jurnalis atas fakta sosial (Siregar dalam Siahaan, dkk, 2001: 67-68). Menurut Siregar, sisi keseimbangan dapat dilihat dari posisi struktural pelaku dan atau/ narasumber, dan berapa banyak pelaku dan/ atau narasumber dari masing-masing pihak. Sedangkan keberpihakan tercermin antara lain dari pilihan subjek dalam judul, lead, dan penutup (ending), serta cakupan keluasan rekonstruksi versi fakta dari narasumber masing-masing pihak (Siregar dalam Siahaan, dkk, 2001: 68). 3. Imparsialitas sebagai Posisi Pemberitaan oleh Media Rahayu di dalam bukunya menjelaskan bahwa di level meso institusi, media bukanlah lembaga yang terbebas dari prasangka, subjektivitas ataupun kepentingan-kepentingan
tertentu.
Pemilik
media
berhak
menentukan
kebijaksanaan terhadap suatu berita. Akibatnya, sebagai produk akhir (mikro), berita bisa dibuat berdasarkan ragam kepentingan, terutama berkaitan dengan ekonomi politik media (Rahayu, 2006 : 133). Emka dalam Rahayu juga menilai bahwa di tengah hiruk pikuk pertarungan kepentingan yang ada dalam masyarakat, media selalu memiliki kepentingan sendiri. Bisa jadi sekadar kepentingan bisnis untuk menaikkan tiras dengan menjual isu-isu panas sebagai konflik yang terjadi di masyarakat atau kepentingan yang lebih bersifat ideologis, termasuk kepentingan politik. Kepentingan-kepentingan
semacam
inilah
yang
mendorong
wartawan
menomorduakan kontrol profesinya sehingga kemudian lahir liputan-liputan yang
14
bias, tidak berimbang, tidak adil, bahkan memperparah situasi konflik (Emka dalam Rahayu, 2006 : 133-134). Selanjutnya, Prakoso dalam Rahayu menjelaskan bahwa media massa memiliki keterbatasan dalam menyajikan seluruh realitas sosial sehingga ada proses seleksi saat para editor sebagai gatekeeper memilih berita-berita mana saja yang akan dimuat atau tidak. Pemilihan ini jelas sangatlah subjektif dan bergantung pada misi, visi, nilai, dan ideologi yang ingin disampaikan media massa. Ketika media menyeleksi pemuatan berita, media itu telah berpihak kepada suatu nilai. Dalam kaitan ini, Prakoso melihat keberpihakan media dari posisi yang diambil media akan berada dalam tiga pihak, yaitu apakah media cenderung berafeksi positif, netral, atau negatif (Prakoso dalam Rahayu, 2006 : 134). Seperti apa yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini berfokus kepada konsep posisi pemberitaan yang akan diteliti dengan menggunakan dimensi imparsialitas. Oleh karena itu, maka untuk dapat mengukurnya haruslah mengacu pada konsep objektivitas seperti apa yang telah dipaparkan di atas. Konsep keberpihakan pernah disinggung oleh Dennis McQuail yang menyebutkan bahwa objektivitas pemberitaan lebih merupakan tujuan daripada cita-cita yang diterapkan seutuhnya, bahkan tak selamanya diidamkan atau diperjuangkan. Dalam sistem media massa yang memiliki sejumlah media alternatif di dalam masyarakatnya, membuka kesempatan untuk menyajikan informasi yang memihak, meski sumber informasi tersebut harus bersaing dengan sumber informasi lainnya yang menyatakan dirinya objektif (McQuail dalam Siahaan, dkk, 2001: 59-60). Konsep berpihak, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti mengikut (memilih) salah satu pihak.9 Siahaan,dkk di dalam bukunya menjelaskan bahwa ketidakberpihakan (impartiality) adalah tingkatan sejauh mana evaluasi subjektivitas (penilaian, interpretasi, dan opini pribadi) wartawan tidak terlibat dalam memproses fakta menjadi berita (Siahaan,dkk, 2001:102). Sedangkan menurut Sudibyo (2001) dalam Sumartono, impartialitas adalah sikap 9
Lihat http://kbbi.web.id/pihak
15
netral dalam penyajian dan seimbang dalam penyajian fakta antara yang pro dan kontra (Sumartono, 2005: 52). Selanjutnya, Rahayu di dalam bukunya menjelaskan bahwa seringkali ketidakberpihakan dijadikan ukuran kualitas suatu berita sehingga dapat dijadikan sebagai acuan penilaian (evaluasi) sebuah berita (Rahayu, 2006: 10). Rahayu menambahkan, di dalam sebuah penelitian, isu utama mengenai ketidakberpihakan adalah apakah teks berita secara sistematis menonjolkan satu sisi di atas yang lain ketika berkenaan dengan isu isu kontroversial dengan tujuan mengarahkan pembaca konsisten ke arah tertentu (McQuail dalam Rahayu, 2006:10). Berkowitz dalam Rahayu memaparkan bahwa keberpihakan yang paling mendasar terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung (favourable) ataupun perasaan tidak mendukung (unfavourable) (Rahayu, 2006:134). Sedangkan Thurstone lebih spesifik mendefinisikan bahwa sikap berpihak sebagai derajat afeksi positif atau afeksi negatif terhadap suatu objek psikologis (Prakoso dalam Rahayu, 2006:134). Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa konsep keberpihakan di dalam penelitian ini akan menggunakan konsep indikator objektivitas pemberitaan yang lebih berpusat pada konsep keberpihakan.
F. Kerangka Konsep Di dalam penelitian ini, peneliti membatasi objek penelitian hanya pada pemberitaan terkait kasus Ervani Emy Handayani pada Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja edisi 29 Oktober 2014 hingga 5 Januari 2015. Penelitian ini hadir atas dasar bahwa sebuah pemberitaan haruslah bersikap objektif dan tidak berpihak/ mengambil posisi netral. Seperti yang telah dipaparkan oleh McQuail (1992) (dikutip oleh Siregar, dkk 2014) yang menyatakan bahwa objektivitas dan netralitas telah menjadi standart baku bagi jurnalistik yang menuntun kinerja mereka, sekaligus menjadi ‘penanda’ bagi tingkat profesionalitas kinerja media. Seperti yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini menggunakan pemberitaan surat kabar sebagai objek yang akan diteliti. Berita sendiri dapat
16
didefinisikan sebagai hasil rekonstruksi tertulis dari realitas sosial yang terdapat dalam kehidupan (Abrar, 2005:2). Realitas sosial yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menjerat Ervani Emy Handayani. Melalui pemberitaan terkait kasus Ervani ini, peneliti ingin melihat arah posisi pemberitaan yang dilakukan oleh surat kabar harian yang notabene sebagai media massa, yakni Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja. Posisi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi online, diartikan sebagai letak atau kedudukan. Sedangkan pemberitaan menurut artikata.com berarti proses, cara, perbuatan memberitakan (melaporkan, memaklumkan). Jadi, posisi pemberitaan dalam penelitian ini lebih ditujukan pada letak atau kedudukan sebuah perbuatan pemberitaan. Letak kedudukan dalam pemberitaan
akan
dilihat
dengan
menggunakan
dimensi
impartiality
(ketidakberpihakan). Dimensi impartiality sendiri berarti dimensi evaluatif pemberitaan dihubungkan dengan sikap netral wartawan terhadap objek pemberitaan, menyangkut kualitas penanganan aspek penilaian, opini, interpretasi subjektif, dan sebagainya (McQuail dalam Siahaan, dkk, 2001:64). Definisi impartiality (ketidakberpihakan) sendiri lebih lanjut dipaparkan oleh Siahaan,dkk di dalam bukunya yang menjelaskan bahwa ketidakberpihakan (impartiality) adalah tingkatan sejauh mana evaluasi subjektivitas (penilaian, interpretasi, dan opini pribadi) wartawan tidak terlibat dalam memproses fakta menjadi berita (Siahaan,dkk, 2001:102). Untuk mengukur konsep keberpihakan tersebut haruslah mengacu pada konsep objektivitas, begitu pula dalam penelitian ini. Penelitian ini akan menggunakan indikator objektivitas milik Dennis McQuail yang telah mengalami modifikasi berdasarkan tulisan milik Siahaan, dkk dan Rahayu.
Pemilihan
penggabungan
indikator
tersebut
agar
dapat
lebih
merepresentasikan bagaimana posisi pemberitaan Surat Kabar Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja dalam memberitakan kasus Ervani Emy Handayani. Semakin banyak unit analisis yang digunakan, tentunya yang telah disesuaikan dengan
17
tujuan penelitian, maka semakin mudah untuk mencapai hasil penelitian sesuai dengan yang diharapkan. Penelitian ini dilakukan dengan metode Analisis Isi. Analisis akan dilakukan dengan membuat unit analisis dan kategorisasai penelitian untuk mengukur posisi pemberitaan. Berikut unit analisis dan kategori penelitian yang akan digunakan di dalam penelitian ini : Tabel 1.6.1 Unit Analisis dan Kategori Penelitian Mkomcd
Sub Dimensi Unit Analisis
Kategori
Balance
Source Bias
Ketidakseimbangan
sumber
yang dikutip dalam peliputan Slant
Ada
atau
tidaknya
kecenderungan
dalam
pemberitaan Cover both sides
Menyajikan dua/lebih gagasan/ tokoh atau pihak-pihak yang berlawanan secara berimbang dan proposional
Nilai imbang
Menyajikan evaluasi dua sisi
(even handed-evaluation)
(aspek
positif
atau
negatif)
terhadap fakta maupun pihakpihak yang menjadi berita secara bersamaan dan proposional Neutrality
Pencampuran opini dengan Opini/pendapat fakta
pribadi
wartawan masuk kedalam berita yang disajikan
Kesesuaian judul dengan isi Kesesuaian berita
subtansi
judul
dengan berita dengan isi/tubuh berita
Sensasionalisme
1.
Ada
atau
tidak
adanya
18
(sifat
suka
sensasi)
menimbulkan personalisasi (pandangan yang melihat individu tertentu sebagai aktor utama atau tunggal yang paling
berpengaruh
dalam
sebuah peristiwa)
2. Ada tidaknya emosionalisme (penonjolan aspek emosi, seperti suka, benci, sedih, gembira, dan lain-lain)
3. Ada atau tidaknya dramatisasi (bentuk
pennyajian
atau
penulisan berita yang bersifat hiperbolik dan melebih lebihkan sebuah fakta dengan maksud menimbulkan efek dramatis)
Stereotypes
Pemberian
atribut
tertentu
terhadap individu atau kelompok tertentu Juxtaposition
Wartawan menyandingkan dua fakta
yang
maksud
berbeda
untuk
dengan
menimbulkan
efek kontras, yang pada akhirnya menambah kesan dramatis berita yang disajikan Linkage
Menyandingkan dua fakta yang berlainan dengan maksud untuk
19
menimbulkan efek asosiatif
G. Definisi Operasional Penelitian ini akan meneliti terkait tentang konsep posisi pemberitaan yang akan dilihat melalui dimensi impartiality (ketidakberpihakan). Untuk dapat mengukur konsep tersebut, pada diperlukanlah operasionalisasi konsep. Proses operasionalisasi ini dilakukan dengan cara membuat definisi operasional. Definisi operasional
sendiri
memiliki
arti
sebagai
seperangkat
prosedur
yang
menggambarkan usaha atau aktivitas peneliti untuk secara empiris menjawab apa yang digambarkan dalam konsep (Eriyanto, 2011 :177). Definisi operasional di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Balance Balance adalah keseimbangan dalam penyajian aspek-aspek evaluatif, seperti pendapat, komentar, penafsiran fakta oleh pihak-pihak tertentu) (Siahaan,dkk, 2001:102). Di dalam penelitian ini balance diukur dengan indikator: a. Source bias atau penampilan satu sisi dalam pemberitaan Aspek source bias ini dapat dilihat dari ketidakseimbangan sumber berita yang dikutip dalam peliputan (Rahayu, 2006: 23). Akan dilihat adakah ketidakseimbangan sumber berita di dalam penyajian berita Ervani Emy Handayani di Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja. Dengan pilihan coding sheet sebagai berikut : 1 = Ada, sumber berita berasal dari pihak Ervani saja / pihak lain yang mendukung Ervani. Berita mengandung Source Bias, karena sumber berita yang disajikan hanya berasal dari pihak Ervani (Ervani sendiri, Keluarga, Pengacara) ataupun pihak lain yang mendukung Ervani (Saksi Ahli yang ditunjuk, Pihak LSM/ Organisasi Masyarakat).
20
2 = Ada, sumber berita berasal dari pihak Ayas saja
/ pihak lain yang
mendukung Ayas. Berita mengandung Source Bias, karena sumber berita yang disajikan hanya berasal dari pihak Ayas (Ayas sendiri, Pihak Jolie, Jaksa Penuntut Umum) ataupun pihak lain yang mendukung Ayas (Saksi Ahli yang ditunjuk, Pihak LSM/ Organisasi Masyarakat). 3 = Ada, sumber dari kedua belah pihak namun tidak seimbang. Sumber berita menampilkan dua sisi (kedua belah pihak), namun berat sebelah/ tidak seimbang. Dapat dilihat dari siapa saja narasumber di dalam berita, jumlah narasumber dari masing-masing pihak, dan lain sebagainya. 4 = Tidak ada, sumber berita berasal dari kedua belah pihak dan seimbang. Sumber berita menampilkan dua sisi (kedua belah pihak) dan seimbang. Dapat dilihat dari siapa saja narasumber di dalam berita, jumlah narasumber dari masing-masing pihak, dan lain sebagainya.
b. Slant atau kecenderungan di dalam pemberitaan Dalam aspek ini akan dilihat apakah berita mengandung unsur kritikan atau pujian/ ada tidaknya slant di dalam berita, karena kritik maupun pujian tersebut dapat mencerminkan kecondongan media terhadap nilai-nilai tertentu (Rahayu, 2006: 23). Di dalam penelitian ini slant akan dilihat pada dua kategori bagian, yakni pada lead dan tubuh berita. Lead berita sendiri berupa rangkuman berita dan berada di awal bagian berita. Jika didalam suatu berita tidak terdapat lead, yang dijadikan lead adalah paragraf 1. Sedangkan tubuh berita yang dimaksud dalam penelitian ini adalah paragraf 2 hingga paragraf terakhir. Berikut tampilan pada coding sheet: 1 = Mendukung pihak Ervani, tidak mendukung pihak Ayas. Adanya bentuk kalimat pujian yang ditujukan bagi pihak Ervani, atau kalimat kritikan yang ditujukan bagi pihak Ayas.
21
2 = Mendukung pihak Ayas, tidak mendukung pihak Ervani. Adanya bentuk kalimat pujian yang ditujukan bagi pihak Ayas, atau kalimat kritikan yang ditujukan bagi pihak Ervani. 3 = Netral, tidak mendukung siapapun. Dalam hal ini tidak ada bentuk pujian maupun kritikan bagi kedua belah pihak berseteru. 4 = Tidak Jelas. Bentuk kalimat pujian dan kritikan tidak jelas ditujukan bagi pihak siapa.
c. Cover both sides Cover both sides adalah menyajikan dua/lebih gagasan/tokoh atau pihakpihak yang berlawanan secara bersamaan dan proporsional (Siahaan,dkk, 2001:102). Di dalam penelitian ini cover both sides diukur dengan apakah berita tersebut sudah mengandung cover both sides atau tidak. Dengan tampilan pada coding sheet sebagai berikut : 1 = Ada pendapat/ gagasan dari masing-masing pihak (Ervani dan Ayas) dan seimbang (Cover Both Sides). Dapat dilihat dari penyajian pendapat/gagasan dari masing-masing pihak. Keseimbangan dapat dilihat dari jumlah pendapat/ gagasan dari masing-masing pihak/ porsi penyajian pendapat/ gagasan dari masing-masing pihak tersebut. 2 = Tidak Cover Both Sides. Dapat dilihat dari ada pendapat/ gagasan masingmasing pihak namun tidak seimbang (dapat dilihat dari jumlah dan porsi) atau pendapat/ gagasan yang disajikan hanya dari satu pihak saja.
d. Nilai Imbang (even handed-evaluation) Nilai Imbang (even handed-evaluation) adalah menyajikan evaluasi dua sisi (aspek negatif dan positif) terhadap fakta maupun pihak-pihak yang menjadi berita secara bersamaan dan proporsional (Siahaan,dkk, 2001:102). Di dalam penelitian ini nilai imbang diukur dengan komentar-komentar dari ahli yang ditujukan bagi pihak Ervani dan Ayas. Komentar-komentar yang
22
berikan oleh pihak lain (Hakim, ahli, LSM/ Organisasi Masyarakat, dan lainlain diluar keluarga atau pengacara Ervani) terhadap pihak Ervani Emy Handayani (Ervani, Keluarga, Pengacara) dan komentar-komentar yang berikan oleh pihak lain (Hakim, ahli, LSM/ Organisasi Masyarakat, dan lainlain diluar Jaksa Penuntut Umum, Pihak Jolie) terhadap pihak Ayas (Ayas, Jolie, Jaksa Penuntut Umum). Dengan paparan coding sheet sebagai berikut : 1 = Positif. Komentar dari ahli, dll dalam berita cenderung positif terhadap pihak Ayas. Dapat dilihat dari adanya dukungan, pujian, penyampaian hal-hal positif mengenai pihak Ayas. 2 = Negatif. Komentar dari ahli, dll dalam berita cenderung negatif terhadap pihak Ayas. Dilihat dari kritik, celaan, penyampaian hal-hal positif mengenai pihak Ayas. 3 = Positif dan Negatif. Komentar dari ahli dalam berita ada yang positif dan juga ada yang negatif. 4 = Tidak Jelas. Tidak ada penilaian yang spesifik. 5 = Tidak Ada. Tidak dapat diidentifikasi secara jelas.
2. Netralitas Netralitas yaitu tingkatan sejauh mana sikap tidak memihak wartawan dalam menyajikan berita (Siahaan,dkk, 2001:102). Netralitas diukur dengan indikator : a. Pencampuran opini dengan fakta Pencampuran opini dan fakta artinya opini/ pendapat pribadi wartawan masuk ke dalam berita yang disajikan (Siahaan,dkk, 2001:102). Di dalam penelitian ini pencampuran opini dengan fakta diukur dengan ada tidaknya pencampuran antara opini wartawan dengan fakta yang disajikan di dalam berita. Opini yang dimaksud adalah penilaian moral wartawan terhadap suatu peristiwa atau fenomena yang ditujukan bagi salah satu pihak di dalam berita dan menimbulkan efek dramatisasi. 23
b. Kesesuaian judul dengan isi berita Yang dimaksud dengan kesesuaian judul dengan isi berita adalah kesesuaian subtansi judul dengan berita dengan isi/tubuh berita (Siahaan,dkk, 2001:102). Di dalam penelitian ini kesesuaian judul dilihat dari sesuai tidaknya judul dengan isi berita. Sesuai jika apa yang ditulis di judul juga diulas di dalam isi berita. Tidak sesuai jika apa yang ditulis di judul tidak ada di dalam isi berita. Selain itu, tidak sesuai juga dapat dilihat dari judul berita yang terlalu mendramatisir (melebih-lebihkan) sehingga menimbulkan kecenderungan pada pihak tertentu. c. Sensasionalisme Sensasionalisme dapat diartikan sebagai sifat suka menimbulkan sensasi. Tujuan sensasionalisme adalah untuk menarik perhatian orang lain (Rahayu, 2006: 24). Akan dilihat apakah ada sensasionalisme di dalam berita. Jika ada, ditujukan bagi pihak Ervani ataukah Ayas. Sensasionalisme diukur dengan indikator : 1. Ada atau tidaknya personalisasi di dalam berita. Personalisasi sendiri berarti pandangan yang melihat individu tertentu sebagai aktor utama atau tunggal yang paling berpengaruh dalam sebuah peristiwa. 2. Ada atau tidaknya emosionalisme. Emosionalisme sendiri merujuk pada penonjolan aspek emosi, seperti suka, benci, sedih, gembira, dan lain-lain dibandingkan dengan aspek logis rasional dalam penyajian sebuah berita. 3. Ada atau tidaknya dramatisasi. Dramatisasi berarti bentuk penyajian atau penulisan berita yang bersifat hiperbolik dan melebih-lebihkan sebuah fakta dengan maksud menimbulkan efek dramatis.
d. Stereotype Stereotype sendiri berarti pemberian atribut tertentu terhadap individu atau kelompok tertentu dalam penyajian sebuah berita. Atribut tersebut dapat memiliki asosiasi yang negatif maupun positif, tetapi yang jelas tidak pernah 24
bersifat netral atau berdasarkan pada kenyataan yang sebenarnya (Rahayu, 2006: 26). Contoh stereotype dalam pemberitaan media adalah berita yang bernuansa gender, seperti menyebut nama korban perkosaan dengan menggunakan nama bunga, misalnya mawar, melati, bunga dan sebagainya. Di dalam penelitian ini stereotype akan diukur dengan ada atau tidaknya stereotype di dalam berita yang diteliti yang ditujukan bagi pihak Ervani maupun pihak Ayas dengan pilihan pada coding sheet sebagai berikut : 1 = Iya, atribut positif. Jika ada atribut yang diberikan bagi pihak Ervani/ Ayas dan bernuansa positif. 2 = Iya, atribut negatif. Jika ada atribut yang diberikan bagi pihak Ervani/ Ayas dan bernuansa negatif. 3 = Tidak Ada. Tidak adanya pemberian atribut sama sekali di dalam berita yang ditujukan bagi pihak Ervani/ Ayas. e. Juxtaposition Juxtaposition dapat diartikan dengan menyandingkan dua hal yang berbeda. Juxtaposition digunakan oleh wartawan untuk menyandingkan dua fakta yang berbeda dengan maksud untuk menimbulkan efek kontras, yang pada akhirnya menambah kesan dramatis berita yang disajikan (Rahayu, 2006: 26). Dalam penelitian ini akan dilihat apakah ada atau tidak Juxtaposition di dalam berita. Jika ada maka ditujukan bagi pihak siapa. Contoh juxtaposition adalah di beberapa surat kabar bertema hukum dan kriminal, juxtaposition sering ditemukan dengan menampilkan kontras pertarungan antara dua dunia, kebaikan melawan kejahatan, dan polisi melawan penjahat.
f. Linkage Linkage artinya menyandingkan dua fakta yang berlainan dengan maksud untuk menimbulkan efek asosiatif. Linkage dilakukan untuk menghubungkan dua fakta yang sebenarnya berbeda sehingga kedua fakta tersebut dianggap 25
(diasosiasikan) memiliki hubungan sebab akibat (Rahayu, 2006: 26). Di dalam penelitian ini akan diukur dengan ada atau tidaknya Linkage di dalam berita yang diteliti. Jika ada maka ditujukan bagi pihak siapa. H. Metodologi Penelitian 1.
Metode Penelitian Penelitian ini akan meneliti bagaimana posisi pemberitaan di Surat Kabar
Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja dalam memberitakan kasus Ervani Emy Handayani. Oleh karena itu, metode yang cocok untuk digunakan adalah metode analisis isi kuantitatif. Di dalam buku Nunung Prajarto yang berjudul Analisis Isi Metode Penelitian Komunikasi disebutkan bahwa metode analisis isi dikenal sebagai sebuah metode penelitian yang sistematik, objektif, dan cenderung kuantitatif dengan fokus pada isi pesan di media massa (Prajarto, 2010 : 4). Peneliti menggunakan metode analisis isi karena metode analisis isi sendiri merupakan salah satu metode khas kajian ilmu komunikasi yang diterapkan pada isi pesan yang disajikan oleh media. Hal tersebut tentulah sejalan dengan rumusan, tujuan, serta objek dari penelitian ini yang akan meneliti tentang bagaimana posisi pemberitaan di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja terkait kasus Ervani Emy Handayani. Dengan menggunakan metode analisis isi ini, selain dapat mencirikan dan mendeskripsikan isi pesan yang disajikan oleh media massa, juga dapat digunakan untuk melihat perbandingan isi pesan dari dua atau lebih media massa. Oleh karena itu, penelitian ini sangatlah tepat jika diteliti dengan menggunakan metode analisis isi dibanding dengan metode-metode lainnya.
2.
Objek Penelitian Yang menjadi objek penelitian ini adalah berita terkait dengan kasus
Ervani Emy Handayani di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian
26
Jogja. Analisis isi yang dilakukan pada penelitian ini berdasarkan pemberitaan pada kedua surat kabar tersebut. Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat sendiri merupakan surat kabar lokal tertua di Kota Yogyakarta. Dengan motto yang selalu diusung yakni “Suara Hati Nurani Rakyat”, Kedaulatan Rakyat dapat bertahan sejak terbit perdana pada tanggal 27 September 1945 hingga saat ini. Bahkan, sampai saat ini Kedaulatan Rakyat masih digadang-gadang sebagai surat kabar yang masih setia menyebarkan informasi yang benar dan berimbang. Beragam penghargaan pun pernah diraih oleh Kedaulatan Rakyat, seperti Koran Harian Terbesar Peringkat 1 Gretaer Yogyakarta, Koran Pembaca Harian Terbanyak Peringkat 6 Nasional, 10 Besar Koran Terbaik 2005 dari Dewan Pers, dan masih banyak lagi penghargaan lainnya. Sedangakan Harian Jogja merupakan salah satu surat kabar baru di daerah Yogyakarta. Meski baru pertama kali terbit pada tahun 2008, namun surat kabar ini mampu mendapatkan banyak jumlah pembaca setia. Seperti yang telah dipaparkan oleh Nielsen Media Index Tahun 2011 menyebutkan bahwa Kedaulatan Rakyat mendapatkan peringkat pertama pembaca terbanyak, yaitu dengan total jumlah 475.000 pembaca, sedangkan Harian Jogja menempati peringkat ketiga dengan jumlah pembaca sebanyak 51.000 pembaca, setelah Koran Merapi yang mendudukin peringkat kedua.10 Alasan lain mengapa Surat Kabar Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja dipilih di dalam penelitian ini karena adanya asumsi awal yang menyatakan bahwa kedua surat kabar tersebut memiliki posisi pemberitaan yang berpihak kepada
salah
satu
pihak
tertentu.
Dengan
termuatnya
berita
online
harianjogja.com yang menyatakan bahwa Diah Sarastuti, pelapor kasus pelanggaran UU ITE Ervani Emy Handayani yang merasa bahwa dirinya tersudutkan oleh pemberitaan di media menimbulkan asumsi bahwa media-media massa tidak bersikap netral dalam memberitakan kasus tersebut.
10
Lihat http://krjogja.com/images/SKH%20Kedaulatan%20Rakyat.html
27
Sedangkan periodesasi waktu objek penelitian yang akan dianalisis ialah antara tanggal 29 Oktober 2014 hingga 5 Januari 2015. Periodesasi tersebut dipilih berdasarkan momentum penting yang telah ditentukan oleh peneliti sebelumnya. Pada tanggal 29 Oktober 2014 merupakan momentum dimana untuk pertama kalinya berkas kasus Ervani dilimpahkan ke kejaksaan dan Ervani pun ditahan di Rutan Wirogunan dan pada akhirnya dinyatakan bebas tak bersalah oleh hakim pengadilan pada tanggal 5 Januari 2015. 3.
Populasi dan Sampel Populasi adalah satuan yang diteliti secara keseluruhan (Prajarto, 2010:
39). Populasi dalam penelitian ini adalah semua item-item berita terkait kasus Ervani Emy Handayani yang disajikan dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja periode 29 Oktober 2014 hingga 5 Januari 2015, dengan perincian jumlah teks berita di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat terkait kasus Ervani Emy Handayani pada periode 29 Oktober 2014 hingga 5 Januari 2015 berjumlah 14 item berita, sedangkan pada Surat Kabar Harian Jogja pada periode dan kasus yang sama berjumlah 8 item berita. Penelitian ini menggunakan seluruh anggota populasinya atau sampel dengan jumlah seluruh teks berita adalah 22 berita. 4.
Teknik Pengumpulan Data Hal pertama yang peneliti lakukan untuk mengumpulkan data, yaitu
peneliti akan membuat kliping berita yang memuat tentang pemberitaan Ervani Emy Handayani di Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja Periode 29 Oktober 2014 hingga 5 Januari 2015. Setelah data primer diperoleh, kemudian data dikumpulkan dengan menggunakan coding sheet yang telah dibuat sebelumnya dengan mencatat, menyeleksi, dan mengkode data yang dibutuhkan di dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti juga akan melakukan studi pustaka yang dijadikan sebagai data sekunder, yaitu dengan melakukan pembelajaran terhadap berbagai referensi terkait dengan penelitian analisis isi, misal berupa buku, jurnal online, skripsi, maupun thesis.
28
5.
Pengkodingan Analisis data yang dilakukan di dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
pengkodingan. Pengkodingan yang dilakukan peneliti pada dasarnya merupakan proses pengidentifikasian terhadap isi message dengan mengacu pada lembar kode yang telah disusun. Pengkodingan dijalankan dengan mencatat pemunculan kata, suara, atau gambar di media yang terkait dengan klasifikasi dan kategori yang telah ditetapkan, dan tentunya yang telah pula diuji reabilitasnya (Prajarto, 2010: 71). Pengkodingan akan dilakukan oleh dua orang atau lebih pengkoding yang telah berpengalaman dan mengetahui isu yang tengah diteliti dan agar hasilnya menjadi akurat. Pengkodingan dilakukan dalam lembar koding dengan perhitungan menggunakan distribusi frekuensi. Pengkoding akan membaca teks dan mengisi ke dalam lembar coding yang telah disediakan sebelumnya. Proses pengkodingan ini akan dilakukan hingga kesemua berita telah dikoding berdasarkan batasan definisi operasional yang telah ditentukan. Proses tersebut dilakukan oleh masing-masing pengkoding. Makin tinggi kesamaan hasil pengkodingan, makin reliable data tersebut. 6.
Uji Reabilitas Di dalam penelitian analisis isi kuantitatif, untuk mendapatkan hasil data
yang reliable atau objektif, maka perlu dilakukan uji reabilitas. Stemler (2001) menyatakan bahwa reabilitas dalam penelitian analisis isi
pada dasarnya
mengarah pada stabilitas (kecenderungan koder untuk secara konsisten antarwaktu mengodenya), reproduksibilitas (kecenderungan koder untuk menentukan kategori dengan cara yang sama), dan akurasi (ketepatan teks untuk ditentukan kategorinya) (Prajarto, 2010: 60). Pendapat lain juga disampaikan oleh Tinsley dan Weiss (2000) yang menegaskan bahwa persetujuan antarkoder dibutuhkan sebagai landasan untuk menghakimi nilai-nilai tertentu yang telah ditetapkan (Prajarto, 2010: 60). Dilihat dari pendapat di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya kesepahaman yang sama antar koder di dalam penelitian analisis isi. Oleh karena itu, untuk melihat apakah data yang dihasilkan sudah sesuai dengan
29
yang diinginkan, maka dipakai metode uji reabilitas dengan formula rumus sebagai berikut :
CR =
Keterangan : CR = Koefisien Reabilitas M = Jumlah pernyataan yang disetujui dua pengkode N1 dan N2 = Jumlah pernyataan yang dikode oleh pengkode pertama dan kedua (Prajarto, 2010: 64) Angka koefisien reliabilitas yang diperoleh akan berkisar dari 0,00 hingga ke 1,00 atau dapat juga dimunculkan dalam bentuk persentase (Prajarto, 2010: 64). 7.
Teknik Analisis Data Dalam tahap analisis data ini, angka hasil pengolah data sudah didapat.
Selanjutnya, peneliti akan mendeskripsikan bagaimana posisi pemberitaan Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Harian Jogja dalam menyajikan berita kasus Ervani Emy Handayani. Dari hasil deskripsi tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan dari penelitian ini serta rumusan masalah dari penelitian ini juga dapat terjawab.
30