BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada bidang akuakultur, mikroalga umumnya telah dikenal sebagai pakan alami untuk pembenihan ikan karena dan memiliki peran sebagai produsen primer di perairan dan telah banyak digunakan dalam produksi berbagai macam industri. Mikroalga digunakan karena mampu memproduksi biomassa yang tinggi dan dapat diinduksi untuk menghasilkan metabolit sekunder. Disamping itu mikroalga mampu mensintesis berbagai macam senyawa antioksidan seperti karotenoid, asam lemak tidak jenuh, protein, polisakarida, vitamin, astaxanthin, fikosianin dan senyawa aktif biologi lainnya (Kozlenko dan Henson, 1998; Jin, 2010). Salah satu mikroalga yang saat ini dikembangkan adalah Chlorella zofingiensis karena berpotensi sebagai sumber karotenoid. C. zofingiensis memiliki kemampuan untuk mengakumulasi astaxanthin dan cantaxanthin yang tinggi ketika diberi paparan cahaya tinggi dan nitrogen rendah (Pelah et al., 2004). Meskipun demikian produksi biomassa dari mikroalga hingga saat ini masih belum optimal. Karotenoid merupakan salah satu pigmen sekunder yang terdapat pada C. zofingiensis dan berfungsi dalam penyerapan cahaya saat fotosintesis serta merupakan bentuk perlindungan bagi mikroalga dalam menanggapi cahaya berlebih. Pigmen ini memiliki fungsi utama dalam penyerapan energi cahaya dan digunakan dalam proses fotosintesis sehingga mampu menghasilkan oksigen dan glukosa yang akan menjadi sumber dasar jaring makanan bagi kehidupan organisme lainnya. Karotenoid pada C. zofingiensis telah banyak dikembangkan dan merupakan prekursor pembentukan vitamin A untuk kesehatan mata (Haryatfrehni, 2013). Sintesis karotenoid pada mikroalga akan meningkat ketika kondisi fisiologis sel tidak seimbang dan dipengaruhi oleh beberapa faktor lainnya. Dibawah kondisi cekaman lingkungan, keseimbangan didalam sel mikroalga akan terganggu dan menyebabkan pembentukan radikal bebas berlebih (Pisal dan Lele, 2005) Karotenoid memiliki manfaat yang sangat luas, salah satunya sebagai antioksidan. Astaxanthin merupakan sumber antioksidan. Astaxanthin merupakan
1
ketokarotenoid yang diklasifikasikan sebagai xantofil. Astaxanthin merupakan metabolit yang diturunkan dari zeaxanthin atau cantaxanthin. Pigmen tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat tinggi dan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan digunakan pada pengobatan kanker dan diabetes. Hingga saat ini, aplikasi astaxanthin banyak dimanfaatkan terutama pada bidang kesehatan dan memiliki sifat yang lebih unggul dibanding antioksidan dari karotenoid lainnya. Aplikasi astxanthin ini juga telah banyak diaplikasikan pada bidang farmasi, kosmetik dan sebagai zat tambahan pada makanan (Dragos et al., 2008). Keberadaan astaxanthin dalam sel mikroalga C. zofingiensis cukup tinggi apabila mengalami kondisi cekaman lingkungan dan pemberian cahaya berlebih (Boussiba et al., 2000; Sarada et al., 2002). Untuk dapat memproduksi astaxanthin dari mikroalgae C. zofingiensis maka hal yang perlu diperhatikan adalah sifat fisiologis dari mikroalga tersebut seperti tingkat pertumbuhan, suhu dan kerentanan untuk terkena kontaminasi. C. zofingiensis merupakan alga hijau (Chlorophyta) yang memiliki bentuk sel tunggal. Mikroalga ini telah banyak dimanfaatkan secara komersial karena memiliki nilai gizi yang tinggi (Fretes et al., 2012). Klorofil merupakan pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh organisme fotosintetik serta termasuk pigmen yang memberikan warna hijau pada sebagian besar organisme fotosintetik. Klorofil pada mikroalga terdapat pada kloroplas, berfungsi untuk menyerap cahaya dan digunakan dalam fotosintesis. Terdapat beberapa jenis klorofil yaitu klorofil a, b, c, d, dan lainnya (Haryatfrehni, 2013). C. zofingiensis merupakan chlorophyta yang mengandung klorofil b untuk menangkap energi cahaya pada panjang gelombang 470-650 nm. Komposisi klorofil tergantung pada spesies, kondisi cahaya dan ketersediaan mineral (Satoh et al., 2001; Mlodzinska, 2009). Salah satu faktor utama yang mempengaruhi produktvitas klorofil pada C. zofingiensis adalah cahaya, meliputi intensitas, kualitas spektrum dan fotoperioda. Kebutuhan akan intensitas cahaya tergantung jenis alga dan kepadatan alga yang dikulturkan. Spektrum cahaya yang dapat digunakan oleh mikroalga dalam fotosintesis disebut sebagai PAR (photosynthetically active region) dengan panjang gelombang 400-740 nm (Zhu et al., 2008). Selain itu, warna cahaya memiliki peranan yang penting dalam proses fotosintesis. Selama proses fotosintesis
2
berlangsung, klorofil akan meneruskan warna cahaya yang spesifik yaitu sebagian besar spektrum biru 450-475 nm dan spektrum merah dengan panjang gelombang 630-675 nm (Richmond, 2004). Pada umumnya karotenoid yang bertindak sebagai pigmen akan lebih banyak menyerap cahaya biru. Penyerapan panjang gelombang tersebut berkaitan dengan fotosintesis yang dilakukan oleh mikroalga dan mempengaruhi pertumbuhan sel. Kadar glukosa dan nitrat merupakan nutrisi utama yang mempengaruhi pembentukan astaxanthin pada mikroalga dan mampu menigkatkan pertumbuhan sel (Ip dan Chen, 2005). C. zofingiensis merupakan mikroalga yang mampu mensintesis astaxanthin dengan jumlah <1mg/g (Lorenz dan Cysewski, 2000; Ip dan Chen, 2005). Menurut Orosa et al. (2001) C. zofingiensis menghasilkan astaxanthin yang cukup tinggi ketika mengalami kondisi cekaman berupa salinitas 300 mM NaCl dengan paparan radiasi yang tinggi. Salinitas dan cahaya merupakan faktor pembatas bagi mikroalga. Pemberian salinitas yang tinggi kedalam medium menyebabkan sel mikroalga membentuk sebuah pertahanan pada lapisan sel dan membentuk
metabolit
sekunder
berupa
karotenoid.
Kondisi
demikian
menyebabkan sel lebih toleran terhadap paparan salinitas. Mikroalga membutuhkan nutrisi penting yang mengandung unsur C, N dan P untuk pertumbuhannya. Sumber cahaya yang diterima oleh mikroalga menentukan jumlah sel yang dihasilkan. Modifikasi medium berupa Farmpion, Urea, dan ZA merupakan medium yang digunakan untuk kultivasi mikroalga C. zofingiensis secara masal (Muavatun, 2015). Penggunaan medium tersebut didasarkan atas kandungan nitrogen yang tinggi, mampu meningkatkan biomassa, karbohidrat dan kandungan kartenoid pada C. zofingiensis. Oleh karena itu dengan menggunakan medium modifikasi oleh Muavatun (2015) dengan salinitas bertingkat serta dengan menggunakan sinar merah-biru diharapkan mampu meningkatkan kadar klorofil dan karotenoid dari mikroalga C. zofingiensis sebagai sumber penghasil astaxanthin.
B. Rumusan Masalah Kultivasi C. zofingiensis menggunakan medium modifikasi dengan kandungan nitrogen yang tinggi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
3
memproduksi karotenoid dalam jumlah banyak, akan tetapi pertumbuhan biomassa mikroalga tersebut lebih lambat. Sehingga permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimanakah pengaruh cahaya merah biru terhadap laju pertumbuhan C. zofingiensis ? b. Bagaimanakah pengaruh salinitas terhadap kadar klorofil dan karotenoid yang dihasilkan oleh C. zofingiensis ?
C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui pengaruh cahaya merah-biru terhadap laju pertumbuhan C. zofingiensis b. Mengetahui pengaruh salinitas terhadap kadar klorofil dan karotenoid yang dihasilkan oleh C. zofingiensis
D. Manfaat Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai pengaruh cahaya dengan salinitas pada medium dalam kultivasi mikroalga C. zofingiensis sebagai upaya peningkatan produksi karotenoid. Manfaat lainnya adalah mampu meningkatkan biomassa dan produktivitas karotenoid dari C. zofingiensis yang digunakan sebagai antioksidan dan menjadi sumber alternatif bahan tambahan pada kosmetik dan suplemen.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka 2.1. Mikroalga C. zofingiensis Mikroalga merupakan mikroorganisme yang mampu mengubah cahaya matahari menjadi biomassa melalui reaksi fotosintesis. Mikroalga mampu menjalankan reaksi fotositensis lebih efisien dan mampu menghasilkan tingkat pertumbuhan dan biomassa yang lebih tinggi (Sostaric et al., 2009). Mikroalga dapat berupa alga mikroskopis dan sianobakteria, memiliki klorofil a dan mampu berfotosintesis menghasilkan senyawa karbon organik. Disamping itu mikroalga mampu mensintesis berbagai macam senyawa antioksidan seperti karotenoid, astaxanthin dan fikosianin yang banyak mengandung vitamin (Kozlenko dan Henson, 1998; Weil, 2000; Richmond, 2004). Klasifikasi Chlorella zofingiensis Dönz adalah sebagai berikut: Divisi
: Thallophyta
Sub Divisi
: Alga
Kelas
: Trebouxiophyceae
Ordo
: Chlorellales
Famili
: Chlorellaceae
Genus
: Chlorella
Species
: Chlorella zofingiensis Dönz.
Mikroalga merupakan salah satu sumber yang sangat menjanjikan untuk menghasilkan produk karotenoid, asam lemak tidak jenuh, protein, polisakarida, vitamin dan senyawa aktif biologi lainnya (Jin, 2010). Mikroalga juga telah banyak digunakan dalam aplikasi bioremediasi untuk lingkungan (Suresh dan Ravishankar, 2004; Jin, 2010). Hingga saat ini mikrolaga telah dipertimbangkan sebagai salah satu sumber potensial yang sustainable untuk menghasilkan produk biodisel (Chisty, 2007). Salah satu spesies mikroalga Haematococcus pluvialis dinyatakan sebagai mikroalga yang mampu menghasilkan astaxanthin hingga 4% dari berat biomassanya (Boussiba, 2000). Alga Haematococcus telah digunakan sebagai
5