BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Sepanjang riwayat yang sampai kepada kita bahwa qiyas itu diberikan kepada Nabi saw, dan disamping itu ada pula beberapa riwayat yang sampai kepada kita, bahwa qiyas dalam urusan agama itu dilarang oleh Nabi saw. Qiyas sebagai sumber hukum terletak pada urutan keempat setelah al quran, sunnah, ijma. Ini mengandung pengertian bahwa qiyas baru bisa dipergunakan jika tidak diperoleh ketetapan hukum dalam tigas umber yang mendahuluinya. Dengan kata lain, qiyas dipergunakan dalam keadaan terpaksa. Jadi, ada syarat yang harus dipenuhi sebelum qiyas dijadikan hujjah syariyah. Itupun harus di catat pula, bahwa qiyas sama sekali tidak bisa digunakan dalam masalah ibadah, apalagi ibadah badaniyah atau untuk menetapkan hukum halal-haram. Menggunakan qiyas sebagai sumber hukum dalam masalah-masalah yang bukan ibadah, para ulama berselisih pendapat. Ada yang menerima dan ada yang menolak.bagi ulama yang menerima, sepakat bahwa qiyas baru digunakan jika tidak diperoleh ketetapan hukum dari tiga sumber yang mendahuluinya.
B. Rumusanmasalah 1. Apa pengertian qiyas? 2. Apa syarat-syarat hukum? 3. Apa saja rukun qiyas? 4. Apa saja macam qiyas?
1
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Qiyas Secara harfiyah qiyas bermakna mengukur atau memastikan panjang, berat atau kualitas sesuatu. Itulah mengapa skala disebut dengan miqyas. Dari segi teknis qiyas merupakan perluasan nilai syariah yang dalam kasus asal. Kepada kasus baru karena yang disebut terakhir mempunyai illat yang sama dengan yang disebut pertama. Kasus asal ditentukan oleh nash yang ada dan qiyas berusaha memperluas ketentuan tekstual tersebut kepada kasus yang baru. Dengan adanya kesamaan illat antara kasus asal dan kasus baru, maka penerapan qiyas mendapat justifikasi. Pemakaian analogi hanya dibenarkan apabila jalan keluar dari kasus baru tidak ditemukan dalam al-quran, sunnah atau ijma yang tergolong qhat’i. Akan menjadi sia-sia untuk menggunakan qiyas apabila kasus yang baru dapat terjawab oleh ketentuan yang telah ada. Hukum dapat dideduksi dari salah satu sumber melalui penerapan qiyas. Menurut istilah, banyak rumusan para ulama antara lain :1 a. Menurut shadr al-Syari’ah, qiyas adalah memberlakukan hukum asal pada hukum cabang disebabkan kesatuan ‘Illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja. b. Menurut mayoritas ulama syafi’iyah, qiyas adalah membawa hukum yang belum diketahui kepada hukum yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, disebabkan sesuatu yang menyatukan keduanya ,baik hukum maupun sifatnya. c. Menurut Wahbah al-Zuhaili, qiyas adalah menyamakan kasus yang belum ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash kepada kasus yang
1
Suwarjin. Ushul fiqih. Yogyakatra: Teras. 2012. Hlm. 75-76
2
sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash, disebabkan kesatuan ‘illat hukum diantara keduanya. Dari definisi-definisi di atas, ulama klasik dan kontemporer sepakat bahwa penetapan hukum melalui Qiyas bukanlah penetapan hukum yang utama sebagaimana seperti Alquran, melainkan hanya menyingkap dan menjelaskan hukum saja. Penyingkapan yang dimaksud dilakukan melalui penelitian terhadap illat yang terdapat pada asal dan cabang. Misalnya, untuk mengetahui hukum minuman bir, dapat dilakukan melalui penelitian terhadap kandungannya. Kalau ternyata terdapat zat yang memabukan, maka hukum meminum khamr, yaitu haram, sebab terdapat kesamaan ‘illat diantara keduannya, yaitu memabukan. B. Syarat- Syarat hukum Hukum adalah ketentuan seperti perintah dan larangan yang dikeluarkan oleh al qur’an sunnah, dan ijma’ dan qiyas berusaha memperluasnya kepada kasus yang baru agar menjadi dasar yang sah dari qiyas hukum harus memenuhi syarat berikut: 2 a. Ia harus merupakan ketentuan syar’i yang bersifat praktis, qiyas hanya dapat diusahakan apabila ada hukum dalam sumber-sumber. b. Hukum itu harus berlaku, berarti ia tidak dihapus jadi validasi hukum yang akan diperluas dengan qiyas tidak boleh menjadi masalah yang diperselisihkan. c. Hukum itu harus rasional, dalam pengertiannya bahwaakal manusia mampu memahami alasan atau sebab penerapannya atau ilatnya telah ditentukan secara jelas didalam nash. d. Syarat dari hukum bahwa ia tidak dibatasi oleh situasi keadaaan tertentu. 2
Muhammad Hashim Kamali. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul al-fiqh). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996. Hlm. 262-265.
3
e. Hukum nash tidak mMenunjukkan adanya penyimpangan dari ketentuaan umum qiyas.
C. Rukun Qiyas Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsure pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur, yaitu :3 a. Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat mengqiyaskan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuqoha. Sedangkan ashl menurut hukum teologi adalah suatu nashsyara’ yang menunjukan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadikan dasar hukum. b. Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang belum ada nashnya. Far’u itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. c. Hukum ashl yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash. d. Illat’yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum dan dengan sifat itu pula terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.
D. Macam-macam Qiyas Pembagian Qiyas dapat dilakukan dengan melihat beberapa aspek yang terdapat didalamnya, antara lain :4 a. Dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada ashl dan cabang, qiyas dibagi menjadi tiga, yaitu : 1) Qiyas Aulawi, yaitu qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u lebih kuat disbanding kan illat yang terdapat pada Ashl, seperti mengqiyaskan keharaman memukul orang tua dengan keharaman Rachmat Syafi’i. Ilmu ushul fiqih. Bandung: CV Pustaka setia. 2010. Hlm. 87-88 Suwarjin. Ushul fiqih. Yogyakarta: Teras. 2012. hlm 77-78
3 4
4
berkata ‘ahh dan membentak’ kepadanya. Seperti pada surat al-Israa ayat 23.
.Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ahh" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia”. Illatnya adalah sama-sama menyakitkan. Tetapi pada kasus memukul orang tua illat (menyakitkannya) lebih kuat di banding illat (menyakitkannya) pada kasus berkata ‘ahh’. 2) Qiyas Musawi, yaitu qiyas dimana illat hukum yang terdapat pada far’u sama kuatnya dengan illat yang terdapat pada ashl. misalnya, mengqiyaskan keharaman membakar harta anak yatim dengan keharaman memakan harta anak yatim. Seperti pada surat an-Nisaa ayat 2.
Artinya :
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah
balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu,
5
adalah dosa yang besar”. Illat hukum pada kedua kasus ini sama jenisnya, yaitu sama-sama memusnahkan harta anak yatim dan sama kuatnya. 3) Qiyas Adna, yaitu qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u lebih lemah di bandingkan illat yang terdapat pada ashl. Misalnya, mengqiyas-kan apel kepada gandum dalam menetapkan berlakunya riba fadhli dalam hal tukar menukar barang sejenis. illatnya adalah samasama makanan. b. Dari segi kejelasan illat, qiyas dibagi menjadi dua, yaitu : 1) Qiyas Jali, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan di dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum pada ashl atau illat tersebut tidak ditetapkan di dalam nash, namun titik perbedaan antara ashl dan far’u dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya. Contoh bentuk pertama seperti mengqiyaskan memukul orang tua dengan perkataan ‘ahh’. Sedangkan bentuk kedua seperti mngqiyasakan perempuan kepada laki-laki dalam hal kebolehan mengqoshor saat dalam perjalanan. Karena, meskipun terdapat perbedaan jenis kelamin namun perbedaan tersebut dapat dikesampingkan. Qiyas Jali meliputi qiyas Aulawi dan qiyas Musawi. 2) Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illat hukumnya tidak disebutkan di dalam nash, tetapi di nisbatkan dari hukum ashl yang memungkinkan kedudukan ‘illatnya bersifat zhonni. Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam secara melawan hukum. illat ini lebih jelas kedudukannya pada ashl dibandingkan kedudukan pada far’u. yang termasuk qiyas Khafi adalah qiyas Adna.
6
Untuk lebih paham tentang penerapan tentang qiyas tentu harus lebih di tambah contoh-contoh penerapanya. Berikut contoh qiyas syara’ dan qiyas buatan :5 1. Minum khamar adalah suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan
dengan
nash,
yaitu
haram.
Ditunjukan
oleh
firmanAllah Swt dalam surat Al-Maidah ayat 90.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)
khamar,
berjudi,
(berkorban
untuk)
berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. Dengan illat memabukkan. Maka semua
hasil
perasan
(minuman)
yang
mempunyai
illat
memabukan, hukumnya disamakan dengan khamar dan haram diminum. 2. Pembunuhan ahli waris terhadap yang mewariskan adalah peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan dengan nash, yaitu terhalangnya si pembunuh untuk mendapatkan hak waris. Ditunujkan oleh sabda nabi SAW. اليرث القل “ seorang pembunuh tidak dapat harta warisan (dari yang dibunuh), dengan illat bahwa pembunuhan itu memajukan sesuatu sebelum waktunya, maka tujuan itu ditolak dan dihukum dengan tidak mendapat bagian waris. Pembunuhan pemberi wasiat oleh yang menerima wasiat memiliki illat ini, sehingga 5
Abdul Wahhab khallaf. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta :
7
Pustaka Amani. 2003. hlm. 65-67
hukumnya disamakan dengan
pembunuhan yang mewariskan
oleh ahli waris, dan pembunuhan (penerima wasiat) tidak mendapat bagian yang diwasiatkan dari orang yang bewasiat. 3. Jual beli pada saat adzan hari jum’at adalah peristiwa yang hukumnya ditetapkan dengan nash, yaitu makruh. Ditunjukan oleh firman Allah swt dalam surat Al-jumuah ayat 9.
Artinya : “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
karena ada illat
kesibukan yang melupakan shalat. Sewa menyewa, gadai, atau akad muamalah apa saja pada saat adzan shalat jum’at memiliki illat ini, yaitu kesibukan yang melupakan shalat, maka hukum akad-akad tersebut disamakan dengan jual beli dan makruh dilakukan pada saat adzan shalat.
8
BAB III KESIMPULAN Setelah pembahasan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa qiyas merupakan ukuran dan megetahui ukuran sesuatu, atau sama dengan menyamakan sesuatu dengan yang lain. Sedangkan qiyas menurut istilah adalah bukanlah merupakan penetapan hukum dari awal sebagaimana nash, melainkan hanya menyingkap dan menjelaskan hukum saja. Kemudian terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan menggunakan qiyas. Hal ini dikarenakan terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama manzab fiqh. Tentu qiyas dapat dijadikan alat untuk menentuka hukum yang belum diketahui menurut Iman Syafi’i. Melalui beberapa langkah
sehingga
suatu
permasalahan
kemaslahatan umat.
9
dapat
ditemukan
hukumnya
untuk
Daftar Pustaka Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia. Kamali, Muhammad Hashim. 1996. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam (Ushul alFiqh). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Khallaf, Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani. Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras.
10