BAB I PENDAHULUAN Bagian ini adalah pengantar yang memaparkan tentang latar belakang masalah, yang di dalamnya membahas keberagaman dan keunikan budaya di Indonesia khususnya Toraja tentang tradisi di sekitar pemakaman sebagai cara untuk mengekpresikan dan memaknai dukacita serta kehilangan akibat kematian orang-orang yang mereka kasihi. Masyarakat Toraja memiliki budaya unik yang disebut ma’nenek, sebuah ritual yang mungkin aneh bagi orang lain, namun oleh mereka yang memelihara tradisi ini diyakini sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, yang tanpa disadari sebenarnya justru merupakan kesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan dukacita yang tertunda sehingga menolong mereka untuk memutuskan hubungan psikososial dengan keluarga yang telah meninggal. Bertolak dari hal tersebut maka penulis merumuskan masalah yang diteliti berkaitan dengan cara mengekspresikan dukacita serta apa makna ma’nenek bagi orang Toraja. Dalam bagian ini dipaparkan juga tujuan dan manfaat penelitian.
A. Latar Belakang “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Pepatah ini tepat
untuk
menggambarkan
keberagaman
dan
keunikan
berbagai
kebudayaan di dunia secara khusus suku-suku di Indonesia dalam mengekspresikan dukacita dan kehilangan yang mereka alami akibat kematian orang-orang yang mereka kasihi. Di Indonesia ada beberapa ritual yang dilakukan di sekitar pemakaman, antara lain ritual Tiwah pada suku Dayak di Kalimantan Tengah (Narang, 2010). Ritual tiwah tersebut merupakan prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung. Di 1
Batak ada upacara adat mangongkal holi (Pasaribu, 2010) yaitu upacara adat penggalian tulang belulang orang tua yang telah meninggal untuk dimasukkan ke dalam tugu yakni monumen untuk menghormati orang yang meninggal. Tradisi yang lain adalah ritual mangaro (membongkar) di Mamasa (Rambe, 2014) yakni mengeluarkan kembali tulang-tulang jenazah dari kuburan untuk diratapi, dijemur kemudian dibungkus dengan kain baru lalu disimpan kembali. Orang Toraja juga memiliki ritual ma’nenek yakni suatu upacara yang dilaksanakan di sekitar kuburan. Secara turun temurun orang Toraja meyakini ritual itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayang terhadap leluhur.
Ma’ nenek disebut juga upacara mantanan bunga
(menanam bunga) atau masseroi banuanna nenek (membersihkan rumah nenek/leluhur) yaitu upacara dalam rangka membersihkan kuburan, menanam bunga, mengeluarkan dan menjemur jenazah, tulang-tulang serta mengganti
pakaian/bungkusannya
lalu
menyimpannya
kembali
(Sarira,1998). Ritual ini berlangsung setiap tahun namun ada juga daerah yang melaksanakan hanya sekali dalam 3 tahun di bulan Agustus bersamaan dengan selesainya masa panen. Hal tersebut dihubungkan dengan keyakinan bahwa panen dapat berhasil berkat kasih sayang dari para leluhur (nenek). Oleh karena itu, patutlah juga keluarga yang ditinggalkan menyatakan cinta kasih kepada mereka setelah memperoleh hasil panen. Agustus oleh masyarakat setempat dianggap juga sebagai “bulan nenek” yakni bulan yang dikhususkan untuk menyatakan kasih sayang kepada keluarga yang telah dikuburkan, juga disebut lo’bang padang/alla’ padang (tanah sedang kosong/masa antara). Menurut Pong Lamba’ (1989) juga beberapa partisipan dalam penelitian ini sepanjang Agustus tidak boleh menabur atau menanam padi, tidak diperkenankan juga untuk membeli
2
hewan piaraan seperti babi, kerbau kecuali untuk kebutuhan upacara kematian di luar kampung di mana ritual ma’nenek sedang berlangsung. Berdasarkan observasi penulis selama beberapa kali mengikuti ritual ini, maka sesungguhnya ma’ nenek adalah kesempatan bagi keluarga terdekat maupun orang lain yang memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan almarhum/almarhumah untuk mengekspresikan dukacita dan kehilangan yang sempat “tertunda” oleh karena kesibukan mempersiapkan segala macam kebutuhan “pesta” pemakaman. Pada kesempatan inilah keluarga inti (anak,cucu,suami/istri) mengekspresikan kehilangannya lewat tangisan, ratapan maupun kasih sayang lewat perilaku menjemur, mengganti pakaian dan membungkus kembali dengan kain baru orang yang mereka sangat kasihi. Lingkungan di sekitar “rumah” orang yang dikasihinya juga dibersihkan. Ma’nenek juga sesungguhnya merupakan ritual yang mampu menolong sang penduka memulai kesadaran baru untuk bangkit dan tidak lagi larut dalam duka yang berkepanjangan.Hal tersebut nampak antara lain dari ungkapan salah seorang keluarga setelah ritual: “Memang selalu sedih, selalu diingat...tapi semakin sering kami ma’nenek semakin mampu kami menerima kenyataan bahwa ooo ternyata memang dia sudah tidak ada mi lagi di tengah-tengah keluarga. Lama-kelamaan ternyata kami bisa sembuh dan akhirnya merasa tidak perlu lagi ma’nenek kecuali kalau ada lagi keluarga terdekat yang baru dikuburkan” (23.8.2013). Sebelum ritual ma’nenek masih ada upacara Rambu Solo’ yakni upacara pemakaman yang berlangsung selama beberapa hari bahkan beberapa minggu. Semakin beratnya tuntutan tradisi saat sekarang ini sehubungan dengan jumlah hewan yang harus dipotong pada pelaksanaan upacara pemakaman menyebabkan keluarga tidak mempunyai kesempatan mengekspresikan dukacitanya.
3
Sulitnya memiliki kesempatan tersebut nampak antara lain dari ungkapan Saroengallo (2010.h.87) “Begitu banyak wajah-wajah tidak terduga hadir menunggu kedatangan jenazah ayah saya pagi itu. Begitu banyak kata-kata belasungkawa dan penghargaan terhadap ayah saya. Tidak semua terekam dengan baik dalam ingatan. Saya merasa gamang berada di tengah itu semua. Ada kegembiraan bertemu sanak keluarga. Ada keharuan, ada kesedihan. Tapi ada juga kekuatiran. Apakah reaksi mereka ketika mendengar keputusan rapat di Jakarta bahwa dari lima orang anak hanya akan ada seekor kerbau? Setujukah mereka bila upacara dipaksakan pelaksanaannya pada akhir Februari 2004? Semua bercampur aduk”. Selanjutnya Saroengallo (2010) mengatakan bahwa dalam masyarakat Toraja, seseorang yang meninggal sampai pada upacara pemakamannya akan menjadi milik keluarga besar dan masyarakat. Sehubungan dengan itu, maka keluarga harus mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan selama upacara pemakaman berlangsung sesuai dengan tuntutan adat yang berlaku. Keluarga juga harus memikirkan dan menyediakan berapa jumlah kerbau dan babi. Di daerah Toraja harga kerbau bisa mencapai ratusan juta, sementara harga babi jutaan rupiah. Faktanya logistik dan berbagai kebutuhan tidak terduga lainnya seringkali biayanya jauh lebih besar dari pada yang dianggarkan. Namun, sebelum memulai “pesta” pemakaman keluarga harus mempersiapkan lantang. Lantang
adalah
pondok-pondok
sementara
yang
dibangun
khusus
mengelilingi arena upacara dan menjadi tempat tinggal sementara bagi handai taulan dan sanak keluarga yang datang dari wilayah lain. Siang hari lantang berfungsi sebagai tempat untuk menerima tamu, bersantap, duduk sambil ngobrol dan menyaksikan jalannya upacara. Namun pada malam hari 4
tempat tersebut berfungsi sebagai penginapan selama upacara berlangsung. Biaya yang dikeluarkan untuk membangun lantang ini cukup besar sekalipun hanya dimanfaatkan beberapa hari saja. Besarnya biaya dan “hiruk-pikuknya” upacara pemakaman tidak memberi kesempatan kepada keluarga terdekat untuk merasakan dan mengekspresikan dukacita dan rasa kehilangan yang mereka sedang alami. Semua perhatian tertuju pada persiapan segala macam kebutuhan selama upacara berlangsung, tamu-tamu dan juga membayangkan betapa besar dan beratnya utang yang harus ditanggung setelah upacara selesai. Setiap rombongan datang dengan babi atau juga kerbau dan itu berarti utang bagi keluarga yang harus dikembalikan pada saat “sang pembawa” melaksanakan upacara pemakaman juga. Secara tertulis tidak ada aturan yang mengikat untuk mengembalikan kerbau maupun babi tersebut namun tradisi “pengembalian” secara turun temurun telah mengikat seluruh masyarakat Toraja (Saroengallo, 2010). Para pemuda Toraja di perantauan sering memposting dan menulis status di jejaring sosial seperti facebook yang menunjukkan betapa beratnya beban upacara rambu solo’ antara lain: “sangat bangga menjadi orang Toraja namun berat untuk menjalaninya”. “Betapa berduka dan kehilangannya kami ditinggal ibu tercinta, namun kami harus segera melupakan itu dan bangkit untuk mencari uang guna memenuhi kewajiban kami untuk memotong kerbau. Sangat berat tapi itulah tanggungjawab yang harus kami terima”(12:2-2013).
5
Firman Tuhan yang disampaikan lewat khotbah-khotbah penghiburan menjadi sumber kekuatan supaya mereka tidak berdukacita seperti orang yang kehilangan pengharapan (band. I Tes. 4: 13). Namun berpisah selamanya dengan orang yang terkasih merupakan sesuatu yang amat berat sehingga dibutuhkan waktu dan proses yang cukup panjang untuk membantu mereka beradaptasi dengan kehidupan tanpa orang yang dikasihinya lagi. “ terhitung sebanyak 24 kali ibadah penghiburan dilakukan sejak ayah saya meninggal di Jakarta, di bandara Makassar sampai tiba, diupacarakan dan di makamkan di Toraja. Tetapi beban dukacita sepertinya tak berkurang. Setelah upacara pemakaman selesai dan semua sanak keluarga dan masyarakat tidak lagi nampak di area upacara barulah kehilangan itu benar-benar terasa”, Saroengallo (2010.h.58). Stanley (1978) mengatakan bahwa walaupun semua kehilangan yang relevan dengan kebutuhan manusia merupakan penyebab berduka namun kehilangan yang paling menghancurkan adalah kehilangan seseorang yang sangat dicintai yakni pasangan, anak, orang tua atau orang terdekat lainnya. Dengan demikian, maka proses berduka perlu diekpresikan guna memutuskan ikatan psikososial terhadap orang yang dicintai untuk mengintegrasikan kehilangan ke dalam kehidupan. Hal ini tidak berarti bahwa akhir proses berduka telah tercapai namun akomodasi terjadi saat realitas kehilangan diintegrasikan ke dalam kehidupan. Demikian juga masyarakat Toraja mendefenisikan proses berduka dan kehilangan melalui ritual ma’nenek dengan cara yang konsisten dengan keyakinan mereka tentang kehidupan, kematian dan dunia akhirat
yang disebut puya
(Salombe’, 1981). Pada dasarnya kematian merupakan fakta biologis, tetapi kematian juga memiliki aspek psikologis, sosial, budaya dan agama. Meskipun rasa 6
kehilangan akibat kematian merupakan pengalaman yang universal, namun kematian memiliki konteks budaya. Sikap-sikap budaya dan agama terhadap peristiwa kematian mempengaruhi aspek psikologis dan perkembangan dari kematian, misalnya bagaimana orang dari berbagai usia dan budaya menghadapi kematian mereka sendiri dan kematian orang-orang terdekat mereka (Papalia, Olds & Feldman, 2005). Kematian menyisakan kehilangan dan dukacita bagi orang-orang terdekatnya bukan saja karena kematian itu telah memisahkannya dari orang yang dikasihinya melainkan dalam kondisi itu juga mereka yang ditinggal kehilangan makna hidupnya secara mendalam (Brennan, 2008). Namun disisi lain kematian juga menyadarkan manusia untuk mengevaluasi nilai-nilai pribadi untuk mendapatkan nilai pespektif tentang hidup yakni kemampuan untuk melihat berbagi kenyataan dan pengalaman yang saling berkaitan agar hidup ini lebih bermakna. Membuat perspektif ini dapat menjadi salah satu pengalaman paling konstruktif yang memperkaya dan memenangkan hidup (Hunt, 1987). Dukacita akibat kematian merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia
untuk
meringankan
kehidupannya
menghadapi
kesedihan
mendalam. Dukacita adalah nafas manusia yang merupakan gerakan yang simultan seperti ketika mengeluarkan udara yang kotor, lalu kemudian menghirup udara yang bersih. Ada nafas dalam, sebagaimana ada duka yang dalam dan ringan (Hofstede, 1991). Dalam menghadapi ketidakberdayaan yang diakibatkan oleh tragedi kematian berbagai cara untuk mengekspresikan dukacita memberikan makna konstruktif. Hal tersebut merupakan sebuah upaya untuk mengubah makna kematian dalam cara-cara dimana kesedihan dapat tertahankan sehingga memungkinkan mereka yang ditinggalkan melanjutkan hidup setelah kematian orang terpenting /terkasih mereka (Chan & Chow 2006). 7
Berbagai tradisi turun temurun menyangkut pengaturan. Cara mengenang kematian, dan mengekspresikan kehilangan sangat bervariasi dari satu budaya ke budaya lain. Cara-cara tersebut diatur oleh tradisi, perintah agama atau hukum yang mencerminkan pandangan masyarakat mengenai apa yang dimaksud dengan kematian dan apa yang terjadi setelahnya (Doka, 2003). Menurut Wiryasaputra (2003) setiap budaya telah memiliki perangkat untuk menolong warganya menghadapi dan melewati dukacitanya. Sekalipun mungkin ada tradisi-tradisi yang nampaknya aneh dan mengherankan bagi orang di luar budaya itu. Berdasarkan observasi penulis,
maka
sesungguhnya ma’nenek bagi orang Toraja adalah sebuah perangkat yang unik untuk menolong mereka melewati proses berduka akibat ditinggal oleh orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Setelah melewati waktu dan proses berduka yang cukup lama, sang penduka diharapkan akan tiba pada kesadaran bahwa kematian adalah sebuah fakta yang tidak mungkin diratapi secara terus-menerus karena kematian adalah bagian dari hidup ini. Sebagaimana kelahiran yang berarti ada yang datang dalam kehidupan ini maka kematianlah yang memberi makna bahwa ada juga yang pergi dari kehidupan ini. Oleh karena itu yang terpenting menurut Kagitcibasi, (1994) adalah bangkit dari kesedihan berkepanjangan, mempertahankan dan melanjutkan perbuatan-perbuatan baik yang telah ditunjukkan oleh yang meninggal semasa hidupnya. Menurut Ambaa’ dalam Bigalke (1982) orang Toraja meyakini secara turun temurun bahwa kematian hanyalah peralihan dari kehidupan ini ke “kehidupan yang lain”. Peralihan ini merupakan fase yang sangat menentukan bagi seluruh siklus kehidupan manusia yaitu lahir, dewasa, kawin dan mati. Keyakinan inilah yang membuat sebagian orang Toraja tetap memperlakukan jenazah maupun tulang-tulang layaknya orang yang 8
masih hidup. Ma’nenek juga akan menolong mereka untuk hidup sesuai dengan falsafah orang Toraja yang berpandangan bahwa sesungguhnya kematian itu adalah sesuatu yang tak terpisahkan dari kehidupan ini. Tidak mungkin ada orang tuo balo’ (hidup selamanya). Tetapi ada saat untuk kembali ke To Tumampana (Sang Pencipta). Proses dukacita dan kehilangan dialami oleh para partisipan. Hal tersebut nampak pada aspek fisik sperti menangis, tidak tenang, tubuh lemah, dada sesak, pusing tidak dapat tidur dengan pulas, nafsu makan menurun. Selain itu melalui aspek
mental mereka tidak dapat menerima
kenyataan (menyangkal, menolak) terkejut, sedih, bingung, gelisah, pikiran kacau tidak teratur, kehilangan konsentrasi, selalu berpikir dan merindukan yang hilang, marah, kecewa, putus asa, batin tertekan, perasaan menyesal yang berlebihan, rasa bersalah, merasa berdosa, merasa tidak berarti lagi, merasa sendiri atau kesepian . Berdasarkan aspek spiritual para partisipan mengalami perasaan berdosa, mempersalahkan bahkan marah pada Tuhan. Namun pada sisi lain mereka meyakini bahwa perilaku menjemur, mengganti pakaian pada saat ma’nenek merupakan wujud nyata dari tindakan kasih seseorang yang akan mendatangkan dalle’ (rezeki) bagi kehidupan anak cucu di mana pun mereka berada. Hal itu dihubungkan dengan perintah Firman Tuhan untuk menghormati ayah dan ibu (sanak keluarga) supaya lanjut umur di tanah yang Tuhan berikan (band.Keluaran 20:12). Aspek terakhir dari proses dukacita yang dialami para partisipan yaitu aspek sosial. Gejala dukacita dan kehilangan yang muncul melalui aspek ini, antara lain suka menyendiri, suka mengunjungi makam atau tempat-tempat yang berhubungan dengan orang atau sesuatu yang hilang, mempersalahkan, marah bahkan membenci diri sendiri karena merasa tak mampu mempertahankan nyawa orang yang dikasihinya.
9
Selain berbagai aspek tersebut di atas ritual ma’nenek terbukti membawa dampak yang positif bagi keluarga yang ditinggalkan sehingga mereka mampu menerima kenyataan terpisah dari orang-orang yang dikasihi, bangkit menata kehidupan yang lebih optimis serta membangun harapanharapan tentang masa depan yang lebih baik, juga memperkokoh semangat kebersamaan, kesatuan dan empati dalam komunitas. Melalui ritual ma’nenek, selain sebagai ungkapan hormat dan kasih sayang kepada leluhur, kesempatan untuk mengekspresikan dukacita dan kehilangan yang dirasakannya secara unik, di dalamnya juga terdapat litani ratapan, kesempatan untuk curhat, reuni dengan keluarga dari berbagai tempat, menyampaikan harapan-harapan bahkan menjadi kesempatan untuk merayakan bersama kehidupan setelah kematian orang yang terkasih. Selama proses membungkus dan mengikat jasad dan tulang-tulang jenazah mereka menceritakan kembali kenangan-kenangan selama orang yang dicintainya masih hidup sambil tertawa dan meoli (pekikan khas orang Toraja). Mereka gembira, bangga dan saling mengingatkan untuk mengikuti keteladanan hidup yang telah ditunjukkan almarhum/almarhumah selama hidupnya termasuk kasih sayangnya terhadap hewan piaraan seperti kerbau dan babi serta perhatiannya terhadap tanaman baik di sawah maupun di kebun. Dengan demikian maka sesungguhnya ma’nenek adalah sebuah ritual yang menandai berakhirnya seluruh proses dukacita. Penelitian tentang ma’nenek menjadi penting sebagai salah satu perangkat budaya yang dapat menolong orang Toraja untuk melewati proses dukacitanya. Disamping itu dapat dikatakan bahwa orang Toraja adalah masyarakat “yang hidup untuk mati”. Bahkan sesungguhnya masyarakat Toraja tidak mengenal birth day yang ada hanyalah dead day. Upacara kedukaan yakni Rambu Solo’ menjadi upacara yang paling membutuhkan banyak perhatian dan dana dalam sepanjang kehidupan orang Toraja hingga 10
hari ini. Bahkan menurut Kobong (2009), demi Rambu Solo’ kalau perlu orang berutang sia umpaden tae’na (apa yang tidak ada harus dibuat menjadi ada).
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana ekspresi dukacita dan kehilangan pada orang Toraja. 2. Apa makna ritual ma’nenek bagi orang Toraja C. Tujuan Penelitian Tujuan utama peneliti dalam hal ini adalah untuk mengetahui: 1. Ekspresi dukacita dan kehilangan pada orang Toraja. 2. Makna ritual ma’nenek bagi orang Toraja D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberi sumbangan pengetahuan untuk bidang Psikologi, terutama mengenai dukacita dan kehilangan serta makna ma’nenek bagi orang Toraja. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi lembaga keagamaan, adat dan pemerintah dalam upaya mereinterpretasi dan reaktualisasi budaya Toraja. Selanjutnya bagi masyarakat Toraja diharapkan dapat memberi informasi yang positif mengenai makna ritual Ma’ nenek.
11