BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang penting bagi kehidupan. Air adalah komponen lingkungan hidup yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia dan mahluk lainnya. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan air dalam tubuh organisme. Sekitar 70% berat badan manusia terdiri atas air dan dalam badan air terdapat benda-benda hidup yang sangat menentukan karakteristik air tersebut, baik secara kimia, fisis, dan biologi (Soemirat, 2011). Air bersih dengan kualitas baik merupakan dasar penting untuk fisiologis manusia. Kegunaan air bagi tubuh manusia antara lain untuk membantu proses pencernaan, mengatur proses metabolisme, mengangkut zat-zat makanan dan mengatur keseimbangan
suhu tubuh. Air juga dipergunakan untuk menjaga
kebersihan tubuh serta untuk kegiatan rumah tangga, keperluan umum, industri, perdangan, pertanian, pelayaran dan lain sebagainya (Asmadi et al., 2011). Keberadaan air tanah dapat tercemar jika tidak dilakukan pengawasan dan pemantauan. Pencemaran air tanah akan berakibat buruk bagi kesehatan manusia. Dewasa ini Pencemaran air di kota-kota besar telah menunjukkan gejala yang cukup serius, penyebab pencemaran tersebut berasal dari buangan industri tanpa proses pengolahan yang langsung dibuang kebadan air, disamping itu laju perkembangan penduduk yang cepat menyebabnya padatnya jumlah populasi dan pemukiman sehingga banyaknya pemakaian air, hal ini akan meningkatkan jumlah limbah cair yang dihasilkan dari pembuangan rumah tangga. Selain itu rendahnya kesadaran masyarakat terhadap sanitasi lingkungan, terlihat dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang membuang kotoran/ feses dan sampah ke sungai, kolam, selokan, dan tanah (Asmadi and Suharno, 2012). Menurut Widiati dan Kusnanto (2001) disebagian besar negara, sumber pencemaran air dihasilkan dari limbah cair rumah tangga, limbah cair industri, saluran hujan, air perkotaan dan limbah cair dari kegiatan pertanian.
1
2
WHO memperkirakan 80% dari seluruh penyakit di dunia ini disebabkan oleh sanitasi yang buruk, air yang tercemar dan ketidak tersediaanya air (Admassu et al., 2004). Diperkirakan sepertiga kematian di negara berkembang disebabkan oleh komsumsi air yang terkontaminasi. Data lainnya dari WHO menunjukkan sekitar 2,2 juta orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit diare dan 10% dari penduduk negara berkembang sangat rentan terinfeksi (Kimani et al., 2007). Sementara penelitian yang dilakukan di Ethiopia menunjukkan lebih dari 60% penyakit menular disebabkan oleh kondisi sanitasi lingkungan yang buruk, pasokan air yang tidak aman dan higienis (Admassu et al., 2004). Air yang dikomsumsi masyarakat haruslah bersumber dari mata air yang baik dan bebas dari pencemaran, karena itu untuk menjaga kualitas air agar layak dikomsumsi dan aman bagi kesehatan perlu ditetapkan dengan suatu standar. Penetapan standar air ini tergantung dari kegunaan air dan asal sumber air. Standar
kualitas
air
bersih
telah
416/MENKES/PER/IX/1990. Parameter
diatur
dalam
Permenkes
RI.
No:
kualitas air yang digunakan untuk
kebutuhan manusia haruslah air yang tidak tercemar atau memenuhi persyaratan mikrobiologi, fisika, kimia, dan radioaktif. Untuk persyaratan mikrobiologik kadar maksimum total koliform air perpipaan 10/100 ml sementara bagi air bukan perpipaan 50/100 ml. Dalam penetapan standar bakteriologis air berbeda satu negara dengan negara yang lain tetapi semua harus sesuai dengan rekomendasi WHO dimana standar kualitas air minum lebih ketat dibandingkan dengan perairan untuk rekreasi (Idowu et al., 2011). Rekomendasi dari WHO, standar indeks MPN kurang dari 10 total koliform dengan nol coli tinja dinyatakan layak untuk di komsumsi (Admassu et al., 2004 ; Olabisi et al., 2008). Menurut Franceys et al.(1992) sistem pembuangan kotoran manusia dan saluran pembuangan limbah yang tidak memenuhi syarat dan tidak sehat dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi tanah dan sumber air. Kondisi spal yang retak/bocor, adanya genangan air dalam sumur resapan yang terbuka, tentu akan mengundang lalat dan menjadi tempat yang cocok untuk perkembangbiakan
3
nyamuk serta menyebarkan infeksi. Disamping itu menciptakan gangguan berupa bau dan mengganggu pemandangan. Pencemaran air tanah ini dapat diantisipasi dengan menentukan jarak yang tepat antara sumur gali dan sumber pencemar. namun sulit untuk menentukan aturan umum untuk kondisi tanah agar terhindar dari pencemaran. Pedoman umum yang digunakan adalah sumur ditempatkan di daerah lebih tinggi dan mimimal jaraknya 15 meter dari jamban. Dengan adanya pemisahan lateral antara sumber pencemaran air dan tanah akan mengurangi resiko kontaminasi feses (Kimani and Ngindu, 2007; Pickford, 1995). Menurut aturan Depkes (1995) Sumur gali harus ditempatkan jauh dari sumber pencemar. Apabila letak sumber pencemar lebih tinggi dari sumur dan diperkirakan aliran air tanah mengalir ke sumur, maka jarak minimal sumur terhadap sumber pencemar adalah 11 meter. Jika letak sumber pencemar sama atau lebih rendah dari sumur, maka jarak minimal adalah 10 meter dari sumur. Sumber pencemar dapat berasal dari
jamban, air kotor/comberan, tempat
pembuangan sampah, kandang ternak dan sumur/saluran resapan. Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Provinsi DIY tahun 2001, telah melakukan pemantauan terhadap kualitas air pada 100 sumur gali di sekitar pemukiman yang mempunyai resiko pencemaran rendah, sedang dan tinggi yang berasal dari Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan Sleman. Hasil pemeriksaan kualitas air sumur gali menunjukkan jumlah koliform tinja pada air tanah di Kabupaten Sleman 23,33% tidak memenuhi syarat dan sebesar 3,33% kadar zat organik tidak memenuhi syarat (Suhardini et al., 2005). Hasil pendataan Dinkes Kabupaten Sleman terhadap 290.694 KK (kepala keluarga) yang menggunakan sarana air bersih dirincinkan sebagai berikut: sebanyak 17.170 KK (5.9%) menggunakan air ledeng/PDAM, 741 KK (0.3%) menggunakan air sumur pompa tangan, 254.788 KK (87,6%) menggunakan air sumur gali, dan 15.361 KK (5.3%) sisanya menggunakan sumur pompa tangan, air kemasan dan lainnya. Data diatas menunjukkan sebagian besar masyarakat di Kabupaten Sleman memakai air sumur gali sebagai sarana air bersih yaitu 87.6% (Profil Dinkes Sleman, 2013).
4
Untuk menilai kualitas air sumur gali yang aman dikomsumsi oleh masyarakat, Dinas Kabupaten Sleman telah melakukan pemeriksaan kualitas air sumur gali terhadap 3.091 sampel, terdiri dari 1.686 sampel air untuk pemeriksaan bakteriologi dan 1.405 sampel air untuk pemeriksaan kimia. Hasilnya menunjukkan sebanyak 883 sampel (52,37%) memenuhi syarat bakteriologis dan 889 sampel (63,27%) memenuhi syarat kimia (Profil Dinkes Sleman, 2013). Sementara data Profil Dinas Peternakan Kabupaten Sleman tahun 2013 tentang keberadaan peternakan menjelaskan bahwa keseluruhan peternakan kelompok yang terdaftar di Kabupaten Sleman berjumlah 44 kelompok sapi potong, 2 kelompok ayam buras dan lokasi peternakan tersebut jauh dari pemukiman penduduk. Namun ada beberapa masyarakat yang memiliki peternakan pribadi di sekitar pemukiman penduduk, mencakup peternakan sapi, ayam, bebek dan kambing yang tidak terdaftar di Dinas Peternakan Sleman. Keberadaan perkandangan dalam wilayah pemukiman akan beresiko terhadap pencemaran lingkungan dan pencemaran air tanah, situasi ini akan berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat. Hasil survey lapangan yang dilakukan peneliti
terhadap
perkandangan
di
Dukuh
Jetis
Jogopaten
Kelurahan
Pandowoharjo Kabupaten Sleman, ditemukan sebanyak 29 perkandangan yang terdiri dari 13 kandang sapi, 3 kandang kambing, 8 kandang ayam, 5 kandang bebek/entok yang terletak di sekitar pemukiman penduduk dan jarak perkandangan tersebut sangat
berdekatan dengan sumur gali, sungai dan
persawahan. Kondisi kandang tersebutpun sangat tidak layak, baik dari segi bangunan, SPAL dan tempat penampungan feses. Masyarakat mengeluh tidak nyaman dan terganggu dengan keberadaan kandang-kandang tersebut. Seluruh penduduk Dukuh Jetis Jogopaten (145 Kepala keluarga) memakai sarana air bersih yang bersumber dari sumur gali dangkal yang berjumlah 135 sumur gali dan sebagian besar sumur gali berada pada kedalaman 2 - 5 meter, maka keberadaan peternakan tersebut menjadi pertimbangan terhadap kontaminasi air sumur yang akan menimbulkan water borne disease. Sementara akibat perkandangan yang tidak layak/buruk dan berdekatan dengan rumah warga akan menimbulkan berbagai penyakit pada saluran pernafasan, infeksi parasit,
5
munculnya penyakit yang ditularkan oleh serangga (lalat, nyamuk, kecoa) dan tikus. Termasuk dalam 10 besar penyakit yang terjadi di Kabupaten Sleman adalah common cold/nasopharyngitis, batuk, demam, diare, gastroenteritis, faringitis akut, infeksi akut pada saluran pernafasan atas dan DBD (demam berdarah dengue). Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan jarak dan kondisi fisik sumber pencemar terhadap kualitas bakteriologis air sumur gali di sekitar kandang ternak di Dukuh Jetis Jogopaten. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian adalah: Bagaimana hubungan jarak dan kondisi fisik sumber pencemar terhadap kualitas bakteriologis air sumur gali di sekitar kandang ternak di Dukuh Jetis Jogopaten Kecamatan Sleman. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan jarak dan kondisi fisik sumber pencemar terhadap kualitas bakteriologis air sumur gali di sekitar kandang ternak di Dukuh Jetis Jogopaten Kecamatan Sleman. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan jarak jamban, SPAL, dan kandang ternak dengan sumur gali terhadap kualitas bakteriologis air sumur gali. b. Untuk mengetahui hubungan kondisi fisik jamban, SPAL, sumur gali dan kandang ternak terhadap kualitas bakteriologis air sumur. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberi mamfaat kepada: 1. Bagi instansi terkait Sebagai tambahan informasi, bahan masukan dan evaluasi pada pelaksanaan program penyediaan air bersih serta menjadi bahan penyusunan kebijakan dan peraturan program pengawasan kualitas air bersih.
6
2. Bagi masyarakat Menambah
pengetahuan,
mendorong
dan
membangkitkan
kesadaran
masyarakat
agar memiliki kesadaran yang tinggi dalam menjaga sarana
sanitasi lingkungan dalam memelihara sumber air sumur gali yang digunakan sebagai sarana air bersih sehingga dapat terhindar dari berbagai penyakit berbasis lingkungan. 3. Bagi peneliti lain Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti tentang hubungan kondisi jamban, sarana pembuangan air limbah dan sumur gali terhadap kualitas bakteriologis air sumur gali. E. Keaslian Penelitian Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan sarana sanitasi lingkungan terhadap kualitas bakteriologis air sumur gali, antara lain: 1.
Desvita (2000), meneliti tentang “Hubungan jarak sumber pencemaran, kondisi fisik sarana dan prilaku pengguna sumur gali dengan kualitas bakteriologis air sumur gali di Kelurahan
Keperakan Kota Yogyakarta”
struktur tanah terdiri dari endapan vulkanik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak sumber pencemaran, kondisi fisik sumur mempunyai hubungan yang sangat rendah, sementara perilaku pengguna mempunyai hubungan yang cukup kuat dengan kualitas bakteriologis air sumur. 2.
Yunus (2003), meneliti tentang “Kualitas bakteriologis, nitrit dan nitrat air tanah di lokasi rumah tangga sangat sederhana (RSS) Kota Palangkaraya” hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas bakteriologis, kandungan koliform total dan koliform tinja signifikan terhadap jarak sumur, kontruksi sumur, jumlah pemakai sumur dan lama pemakaian sumur gali.
3.
Idhamsyah (2008), meneliti tentang “Pengaruh lingkungan fisik dan perilaku pemakai sumur gali terhadap kualitas bakteriologis pada air sumurgali di kelurahan Jembatan Mas Kecamatan Pemayung Kabupaten
Batang Hari
Propinsi Jambi” pada tanah yang bertekstur lempung (tanah liat). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi sumur dan
perilaku pemakai
7
mempunyai pengaruh paling besar terhadap kualitas bakteriologis air sumur dibanding dengan lingkungan fisik sekitar sumur dan jumlah pemakai sumur. 4.
Irianti (2001), meneliti tentang “Risiko Pencemaran bakteriologis air sumur di daerah pedesaan Kabupaten Rembang” Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada musin kemarau ada dua variabel yang bermakna yaitu dinding sumur dan genangan air dalam jarak 2 meter di sekitar sumur. Pada Musin hujan hanya satu variabel yaitu lokasi sumur terhadap rumah. Berdasarkan hasil pemeriksaan ukuran partikel jenis tanah sekitar sumur tidak bermakna karena relatif homogen.
5.
Kimani and Ngindu (2007), Penelitian tentang “Quality of water the slum dwellers of a Kenyan slum”, yang bertujuan untuk melihat praktek sanitasi dalam penggunaan sumur gali di Kenya. Mengunakan metode penelitian Observasional reseach dengan desain cross-sectional. Hasil penelitian menunjukkan perilaku pembuangan kotoran dan pengguna sumber air yang memenuhi syarat masih sangat kurang.
6.
Sri Mukti Suhardini et al. (2005), meneliti tentang “Hubungan jarak dan kualitas fisik sumur terhadap jumlah koliform tinja dan kadar zat organik air sumur sekitar peternakan babi Kabupaten
Bantul”.
dan industri tahu di Desa Ngestiharjo
Menggunakan
metode
cross-sectional.
Variabel
independen: jarak dan kualitas fisik sumur dan variabel dependen: jumlah koliform tinja dan kadar zat organik di dalam air sumur. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan antara kualitas fisik sumur dan jumlah koliform tinja di sekitar peternakan babi, tidak ada korelasi yang signifikan antara jarak dan kualitas fisik sumur terhadap kadar zat organik di sekitar peternakan babi dan di sekitar industri tahu.