BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rokok menimbulkan polusi terhadap perokok pasif dan lingkungan sekitarnya. Ada beberapa negara yang tergolong paling tinggi tingkat perokoknya. Sepuluh negara dengan perokok tertinggi adalah: China dengan 390 juta perokok atau 29% penduduk, India 144 juta perokok atau 12.5% penduduk, Indonesia 65 juta perokok atau 28% penduduk (~225 miliar batang tahun), Rusia 61 juta perokok atau 43% penduduk, Amerika Serikat 58 juta perokok atau 19% penduduk, Jepang 49 juta perokok atau 38% penduduk, Brazil 24 juta perokok atau 12.5% penduduk, Bangladesh 23.3 juta perokok atau 23.5% penduduk, Jerman 22.3 juta perokok atau 27%, dan Turki 21.5 juta perokok atau 30.5% (WHO, 2009). Angka perokok di Indonesia jauh meningkat dibandingkan dengan tahun 2002 (WHO,
2009).Kementrian
Kesehatan
melalui
PusatPromosi
Kesehatan
menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi (Kemenkes RI, 2003). Jumlah penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang merokok meningkat dari 34.7% di tahun 2010 menjadi 36,3% di tahun 2013 (Balitbangkes RI, 2014). Rata-rata jumlah rokok yang dihisap per hari di Indonesia 12,3 batang/hari (setara dengan satu bungkus), konsumsi paling rendah di DI Yogyakarta, dan paling
tinggi di Bangka Belitung. Proporsi tertinggi pada tahun 2013 adalah di Nusa Tenggara Timur (55,6%) (Balitbangkes RI, 2014). Diperkirakan 384.058 orang (237.167 laki-laki dan 146.881 wanita) di Indonesia menderita penyakit terkait konsumsi tembakau.Total kematiannya akibat konsumsi rokok mencapai 190.260 (100.680 laki-laki dan 50.520 wanita) atau 12,7% dari total kematian pada tahun 2010. Sebanyak 50% dari orang yang terkena penyakit terkait rokok mengalami kematian dini. Penyebab kematian terbanyak adalah penyakit stroke, Jantung Koroner, serta kanker trakhea, bronkhus, dan paru (Depkes RI, 2001). Tujuh dari 10 anak sekolah usia 13-15 tahun terpapar asap rokok di dalam rumah. Tujuh dari 10 anak sekolah usia 13-15 tahun mempunyai orang tua yang merokok. Lebih dari separuh perokok pasif adalah kelompok rentan seperti perempuan dan balita (RISKESDAS, 2007). Bayi yang terpapar asap rokok, baik masih dalam kandungan atau setelah dilahirkan, memiliki peningkatan risiko kelahiran bayi prematur dan memiliki berat bayi lahir rendah (BBLR) serta berlipat ganda risiko untuk sindrom kematian bayi mendadak. Dihitung berdasarkan anak-anak yang terpapar asap rokok orang lain, terdapat 50-100% risiko untuk terjangkit penyakit sistem pernafasan dan peningkatan risiko untuk penyakit infeksi telinga (Kemenkes RI, 2012). Perlindungan pada perokok pasif telah dilakukan dengan berbagai cara. Dalam konteks nasional maupun lokal, di Kalimantan Timur ada dua produk hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No 19 Tahun 2003 tentang
Pengamanan Rokok bagi Kesehatan dan Peraturan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 1 tahun 2013. Kedua peraturan tersebut secara tegas mengakomodasi efek negatif tembakau (asap rokok) bagi lingkungan berupa larangan merokok di tempat-tempat umum, yang dinyatakan sebagai "Kawasan Tanpa Rokok" atau KTR. PP No 19/2003 maupun PERGUB No 1/2013 yang menegaskan bahwa tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok. Di Jepang sendiri, sudah banyak perusahaan-perusahaan yang menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok.Tanaka dan timnya (2006) melakukan penelitian mengenai kesiapan berhenti merokok dengan menilai tahapan berhenti merokok pada karyawan di 12 perusahaan di Jepang. Penelitian tersebut membagi 12 perusahaan menjadi dua kelompok, enam perusahaan merupakan kelompok intervensi dan enam perusahaan lainnya merupakan kelompok kontrol. Dari pengambilan data awal sebelum dilakukan intervensi, didapatkan bahwa sebanyak 71,6% atau 727 dari 1017 karyawan tidak memiliki motivasi untuk berhenti merokok (precontemplation), 26,6% atau 270 dari 1017 karyawan berada pada tahap contemplation, dan 1,9% atau 19 dari 1017 karyawan berada pada tahap preparation. Setelah dilakukan intervensi selama tiga tahun, didapatkan hasil bahwa responden yang tidak memiliki motivasi untuk berhenti merokok atau yang berada di tahap precontemplation menurun menjadi 9,8% dari 727 karyawan, yang berada pada tahap contemplation menurun menjadi 19,3% atau 52 dari 270
karyawan, dan yang berada pada tahap preparation menurun menjadi 31,6% atau enam dari 19 karyawan (Tanaka et al., 2006). Dengan adanya peraturan yang mencanangkan kebijakan kawasan tanpa rokok, seperti di Jepang, perusahaan-perusahaan di Indonesia juga mulai banyak yang menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok, salah satunya adalah PT. Kaltim Prima Coal (KPC) yang terletak di Kalimantan Timur.PT. KPC mempekerjakan 25.363 orang (4947 dari PT. KPC & 20.416 dari kontraktor). Prevalensi merokok pada karyawan PT. KPC mencapai 49% pada tahun 2010 dan hanya turun sangat sedikit menjadi 46% pada tahun 2013. Sebelum Peraturan Gubernur Kalimantan Timur tentang Kawasan Tanpa Rokok diberlakukan, pada tahun 2010, PT. KPC sudah mulai menerapkan zona bebas asap rokok (kawasan tanpa rokok/KTR). Keputusan untuk menerapkan kebijakan KTR dan membatasi akses untuk merokok hanya dalam tempat yang ditentukan dibuat setelah adanya tiga karyawan yang meninggal dalam jangka waktu dua bulan akibat penyakit terkait dengan merokok. Manajemen PT. KPC meningkatkan komitmen dan meluncurkan program berhenti merokok yang lebih agresif dengan target membuat seluruh wilayah PT. KPC dan semua fasilitasnya bebas dari kegiatan merokok pada Januari 2014. Dilakukan pula pelatihan intervensi singkat bagi 20 mantan perokok untuk menjadi peer educator. Divisi Keamanan, Keselamatan dan Kesehatan Lingkungan melakukan kampanye dengan menggunakan video dan materi pendidikan kesehatan lainnya. Beberapa aturan dan peraturan, seperti pemeriksaan acak kepada karyawan untuk memeriksa karyawan masih membawa rokok atau
tidak telah diterapkan. Pendidikan bagi karyawan (operator, mekanik, dll.) serta untuk siswa SMP YPPSB (sekolah untuk anak-anak karyawan yang disponsori perusahaan) juga telah dilakukan. Evaluasi atas kebijakan ini perlu dilakukan untuk melihat sikap dan tahapan kesiapan berhenti merokok para karyawan PT. KPCsetelah
diterapkannya
kebijakan
KTR.
Hasil
evaluasi
cenderung
menunjukkan bahwa peraturan bebas asap rokok menunjukkan hasil yang positif. Evaluasi dapat membawa temuan yang berbeda atau tak terduga yang mungkin membantu dalam mengidentifikasi kesenjangan atau kekurangan dalam peraturan (misalnya, pengecualian untuk tempat tertentu), dalam pelaksanaan dan penegakan peraturan, atau dalam proses menuju diberlakukannya dan pelaksanaan peraturan(CDC, 2001). B. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan pada latar belakang, permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana sikap dan kesiapan terhadap berhenti merokok menurut Transtheoretical Model setelah penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok pada karyawan PT. Kaltim Prima Coal?”. C. Tujuan 1. Tujuan umum Mengetahui sikap dan kesiapan berhenti merokok karyawan setelah penerapan kebijakan KTRdi PT. KPC
2. Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain: a.
Mengetahui sikap para karyawan PT. KPC terhadap berhenti merokok
setelah penerapan kebijakan KTR b.
Mengetahui kesiapanpara karyawan PT. KPC untuk berhenti merokok
(stage of readiness to change) setelah penerapan kebijakan KTR c. Mengetahui adanya hubungan antara sikap untuk berhenti merokok dengan jumlah konsumsi rokok para karyawan PT. KPC D. Manfaat 1. Bagi profesi keperawatan Digunakan untuk memberikan pendidikan mengenai bahaya merokok dan keuntungan yang didapatkan seseorang jika berhenti merokok pada masyarakat. 2. Bagi masyarakat Digunakan
untuk
membantu
masyarakat
dalam
pencapaian
keberhasilan berhenti merokok dan memahami pentingnya penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok agar meningkatkan kesiapan dan usaha untuk berhenti merokok. 3. Bagi instansi terkait Digunakan sebagai tolok ukur efektivitas penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok dan program berhenti merokok yang diterapkan di PT. KPC yang dapat dilihat dari kesiapan karyawan serta usaha dan keberhasilannya untuk berhenti merokok.
E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, penelitian tentang sikap dan kesiapan terhadap berhenti merokok pada karyawan PT. KPC ini belum pernah dilakukan. Peneliti menemukan beberapa penelitian terkait antara lain yang berjudul : 1. “Effectiveness of a Low-Intensity Intra-Worksite Intervention on Smoking Cessation in Japanese Employess: A Three-year Intervention Trial”. Dilakukan oleh Tanaka et al. di Jepang pada tahun 2006. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menilai perilaku berhenti merokok dengan mengukur
tiga
tahapan
pra-tindakan,
yaitu
precontemplation,
contemplation, dan preparation pada karyawan di 12 perusahaan di Jepang dengan memberikan intervensi intensitas rendah di tempat kerja selama tiga tahun. Penelitian tersebut dilakukan di Jepang dengan sampel sebanyak 2.307 orang. Sebanyak 1.017 orang masuk ke dalam grup intervensi dan 1.290 orang masuk ke dalam grup kontrol. Dari pengambilan data awal sebelum dilakukan intervensi, didapatkan bahwa sebanyak 71,6% atau 727 dari 1017 karyawan tidak memiliki motivasi untuk berhenti merokok (precontemplation), 26,6% atau 270 dari 1017 karyawan berada pada tahap contemplation, dan 1,9% atau 19 dari 1017 karyawan berada pada tahap preparation. Setelah dilakukan intervensi selama tiga tahun, didapatkan hasil bahwa responden yang tidak memiliki motivasi
untuk
berhenti
merokok
atau
yang
berada
di
tahap
precontemplation menurun menjadi 9,8% dari 727 karyawan, yang berada pada tahap contemplation menurun menjadi 19,3% atau 52 dari 270
karyawan, dan yang berada pada tahap preparation menurun menjadi 31,6% atau enam dari 19 karyawan. Dari penelitian tersebut terbukti bahwa intervensi intensitas rendah di tempat kerja efektif untuk menurunkan
prevalensi
karyawan
yang
berada
pada
tahap
precontemplation, contemplation, dan preparation, dan intervensi ini dapat pula diimplementasikan di tempat kerja yang memiliki prevalensi perokok yang tinggi namun memiliki kesiapan untuk berhenti merokok yang rendah. Penelitian tersebut adalah quasi experimental, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti adalah cross sectional. 2. A Longitudinal Assessment of The Impact of Smoke-Free Worksite Policies on Tobacco Use. Dilakukan oleh Bauer et al. pada tahun 2005. Penelitian tersebut dilakukan di Amerika Serikat. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji dampak kebijakan kawasan bebas asap rokok di tempat kerja pada perilaku berhenti merokok. Penelitian tersebut menggunakan metode kohort dengan responden yang merupakan anggota dari Intervensi Komunitas untuk Berhenti Merokok atau Community Intervention Trial for Smoking Cessation (COMMIT). COMMIT merupakan komunitas yang berdiri pada tahun 1988 yang merekrut sekitar 1.000 perokok berusia 25 sampai 64 tahun di 20 komunitas di Amerika Serikat dan dua komunitas di Kanada. Pada tahun 1993, lebih dari 13.000 anggota komunitas ini yang diwawancarai kembali. Pada tahun 2001, kelompok ini ditindaklanjuti dan dilakukan survei melalui telepon, dan ada lebih dari 7.000 orang berhasil dilakukan wawancara kembali. Penelitian tersebut berfokus pada 1967
peserta yang menunjukkan bahwa mereka adalah perokok dan ikut serta dalam wawancara survei yang telah dilakukan pada tahun 1993 dan 2001. Hasil dari penelitian tersebut adalah orang-orang yang bekerja di lingkungan yang menerapkan kebijakan kawasan bebas asap rokok di tempat kerjanya antara tahun 1993 dan 2001, 1,9 kali lebih mungkin untuk berhenti merokok dibandingkan dengan orang-orang yang tempat kerjanya tidak menerapkan kebijakan kawasan bebas asap rokok. Para perokok mengalami penurunan rata-rata konsumsi rokok harian sebanyak 2,57 batang. Orang-orang yang bekerja di tempat kerja yang menerapkan kebijakan kawasan bebas asap, 2,3 kali lebih mungkin untuk berhenti merokok dibandingkan dengan orang-orang yang bekerja di tempat yang tidak menerapkan kebijakan kawasan bebas asap rokok dan melaporkan penurunan konsumsi rokok harian sebanyak 3,85 batang. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah penelitian tersebut dengan metode kohort, sedangkan yang peneliti ajukan adalah cross sectional. Penelitian tersebut juga multi-site, sedangkan peneliti hanya menggunakan one site. 3. “Effect of Smoke-free Workplaces on Smoking Behaviour: Systematic Review”. Dilakukan oleh Fichtenberg dan Glantz. Penelitian tersebut menganalisis 26 penelitian mengenai dampak dari kebijakan kawasan tanpa rokok di Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Jerman pada bulan Juli tahun 2002. Penelitian tersebut melaporkan bahwa tempat kerja yang benar-benar bebas asap rokok berhubungan dengan penurunan prevalensi
merokok sebesar 3,8% (95% interval kepercayaan 2,8% menjadi 4,7%) dan 3,1 batang rokok lebih sedikit yang dihisap per hari. Kombinasi dari efek penurunan prevalensi dan pengurangan jumlah rokok yang dihisap setiap hari menghasilkan penurunan rata-rata 1,3 batang per hari per karyawan, yang dapat disamakan dengan pengurangan relatif sebanyak 29%. Untuk mencapai pengurangan konsumsi tembakau yang sama, pajak pada bungkus rokok harus meningkat dari $ 0,76 menjadi $ 3,05 (0,78 € menjadi € 3,14) di Amerika Serikat dan dari £ 3,44 menjadi £ 6,59 (5,32 € untuk € 10,20) di Inggris. Jika semua tempat kerja menjadi bebas asap rokok, konsumsi per kapita pada semua penduduk akan turun sebesar 4,5% di Amerika Serikat dan 7,6% di Inggris, industri tembakau mengalami kerugian biaya sebesar $ 1,7 miliar dan £ 310 juta per tahun. Untuk mencapai pengurangan yang sama, pajak per bungkus akan meningkat menjadi $ 1,11 dan £ 4,26. Review ini menyimpulkan bahwa tempat kerja yang bebas asap rokok tidak hanya melindungi orang yang tidak merokok dari bahaya merokok pasif, tetapi juga mendorong para perokok untuk berhenti atau mengurangi konsumsi merokok. Penelitian tersebut hanya menghitung pengurangannya saja, sedangkan penelitian ini meneliti stage of readiness to change. Kebaruan dari penelitian ini adalah pengambilan datanya dilakukan di perusahaan pertambangan yang masih sangat jarang dilakukan di Indonesia.