BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Madiun adalah kota kecil yang terletak dibagian barat dalam wilayah Propinsi
Jawa Timur, yang mempunyai letak strategis di mana menjadi perlintasan transportasi darat utama antar provinsi di Pulau Jawa. Melalui motto-nya ―Madiun Bangkit‖ Pemerintah Kota Madiun bersama masyarakatnya berkeinginan untuk membangun Kota Madiun yang indah, tertib dan bersih. Berdasarkan pada kedudukan, fungsi dan peranan Kota Madiun sebagai sub sentra pengembangan wilayah Jawa Timur dibagian barat dan dengan memperhatikan fungsi dan karakteristik yang dimiliki, Kota Madiun mempunyai arah pembangunan Kota Madiun yang disingkat sebagai Kota ―GADIS‖, yang merupakan kepanjangan perdagangan, pendidikan dan industri. Dalam rangka mewujudkannya, Pemerintah Kota Madiun melakukan banyak pembenahan di berbagai sektor, salah satunya adalah akses informasi antara pemerintah dan masyarakat begitu juga sebaliknya. Untuk itu Pemerintah Kota Madiun merasa perlu membetuk sebuah media untuk menyampaikan segala bentuk kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kota Madiun. Maka langkah yang diambil oleh Pemkot Madiun adalah mendirikan radio penyiaran publik yang diberi nama Suara Madiun. Radio Suara Madiun adalah perubahan bentuk dari Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Madiun. Disebutkan dalam PP No. 11 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik pasal 55 disebutkan bahwa: penyelenggara penyiaran radio penyelenggara penyiaran televisi yang didirikan atau dimiliki Pemerintah Daerah yang telah ada dan beroperasi sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dan memilih menjadi Lembaga Penyiaran Publik Lokal, wajib melakukan
1
penyesuaian dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya disebutkan dalam PP No. 11 Tahun 2005 Pasal 7 ayat 3 bahwa Lembaga Penyiaran Publik Lokal merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh pemerintah daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas usul masyarakat. Berdasarkan pasal ini maka Pemerintah Kota Madiun membentuk Perda No. 11 Tahun 2011 tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Suara Madiun, Perda ini disusun untuk mengatur keberadaan LPPL Suara Madiun. Ini adalah kali pertama Kota Madiun membuat Perda terkait dengan komunikasi. Dikatakan oleh Balegda DPRD Madiun, Ngedi Sutrisno, bahwa proses pengajuan perda ini memakan waktu yang cukup panjang, hal ini dikarenakan pemerintah Madiun belum paham tentang apa itu lembaga penyiaran publik. Untuk menyusun Perda ini pemerintah Kota Madiun melakukan studi banding di beberapa wilayah di
Jawa Timur yang telah lebih dulu menyusun perda tentang LPPL.
Beberapa perda yang dijadikan referensi ternyata banyak yang tidak sesuai dengan peraturan diatasnya, yaitu UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Pengalaman baru dalam pembuatan perda terkait dengan komunikasi ini tidak lantas dibuat asal-asalan oleh pemerintah Madiun. Pemerintah Madiun berusaha membuatnya sebaik mungkin dengan mengacu pada peraturan diatasnya, hal ini dilakukan agar terbentuknya Perda No. 11 Tahun 2011 yang notabene payung hukum untuk keberadaan LPPL Suara Madiun nantinya tidak menyulitkan aktivitas LPPL Suara Madiun. Hal ini sangat menarik untuk diteliti terkait dengan proses awal perumusan kebijakan komunikasi di kota Madiun, dimana Pemkot Madiun tentunya punya cara dan alasan yang kuat sehingga mereka merumuskan
perda tersebut
sebagai payung hukum LPPL Suara Madiun tanpa bermaksud mengabaikan peraturan pemerintah pusat.
2
B.
Rumusan Masalah Bagaimanakah proses pembentukan Perda Kota Madiun No. 11 Tahun 2011 tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Suara Madiun?
C.
Tujuan Penelitian 1. Untuk mendeskripsikan secara rinci proses pembentukan Perda Kota Madiun No. 11 Tahun 2011 tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Suara Madiun. 2. Memberikan masukan atau rekomendasi kepada Pemkot Madiun dalam hal perumusan kebijakan yang terkait dengan komunikasi di Kota Madiun.
D.
Manfaat Penelitian 1. Akademik Menambah wawasan keilmuan tentang proses perumusan kebijakan, khususnya kebijakan komunikasi 2. Praktis Penelitian ini diharapkan kelak bermanfaat sebagai salah satu rekomendasi apabila dilakukan upaya-upaya penerapan hal-hal serupa pada masa yang akan datang.
E.
Objek Penelitian dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Propinsi Jawa Timur tepatnya Kota Madiun,
alasan pemilihan lokasi penelitian adalah karena Kota Madiun merupakan kota yang sedang melakukan banyak pembangunan di segala sektor dalam nuansa Kota Gadis (Kota Perdagangan, Pendidikan, Industri, dan Pariwisata) dan pembenahan/penataan arus komunikasi yang diawali dengan pembentukan Perda No.11 Tahun 2011 tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radoi Suara Madiun. Selain hal tersebut alasan lain dari pemilihan lokasi Penelitian adalah karena Peneliti juga berdomisili di Kota Madiun sehingga penelitian dapat dilakukan secara lebih mudah dan efisien. 3
Objek penelitian ini adalah pegawai pajabat Pemkot Madiun yang terlibat dalam perumusan Perda No. 11 Tahun 2011 tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Suara Madiun yang terdiri dari: - Kepala Dishubkominfo Kota Madiun (leading sector) sekaligus pengelola LPPL Radio Suara Madiun - Kepala bagian hukum Kota Madiun (stakeholder) - Anggota DPRD Kota Madiun selaku pihak yang menetapkan Perda No. 11 Tahun 2011.
F.
Kerangka Pemikiran
F.1
Kebijakan Komunikasi
F.1.1 Pengertian Kebijakan Komunikasi Secara umum kebijakan komunikasi adalah seluruh peraturan yang mengatur proses komunikasi masyarakat, baik yang menggunakan media (mulai dari sosial, media massa, hingga media interaktif) maupun yang tidak menggunakan media.1 Atie Rachmiatie menyebutkan bahwa kebijakan komunikasi merupakan keputusankeputusan yang akan menentukan bagaimana pelaksanaan dalam suatu negara dalam arti mengatur dan menyerasikan komunikasi pribadi dan komunikasi manusia dalam ikatan sebagai warga negara.2 Sementara itu UNESCO (United Nations, Educational, Scientific, and Cultural Organization) seperti yang dikutip oleh Ugboajah, memandang kebijakan komunikasi sebagai kumpulan prinsip-prinsip dan normanorma yang sengaja diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi.3 Dari pandangan Unesco dan pendapat Atie Rachmiatie tersebut dapat disimpulkan bahwa sejatinya kebijakan komunikasi dibuat untuk memperlancar jalannya sistem komunikasi dan itu artinya sistem komunikasi sudah terlebih dahulu 1
Ana Nadhya Abrar. Kebijakan komunikasi: Konsep, Hakekat dan Praktek. Yogyakarta: Gava Media. 2008. hlm. 13. 2 Atie Rachmiatie. Sistem dan Kebijakan Komunikasi Penyiaran di Indonesia. Bandung: Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat (KPID Jabar). 2009. hlm. 2 3 Ana Nadhya Abrar. Op.Cit. hlm.3.
4
ada sebelum kebijakan komunikasi terbentuk. Maka sudah seharusnya kebijakan komunikasi di Indonesia dibuat dengan mengacu pada sistem komunikasi yang sudah ada. Kebijakan komunikasi merupakan penjabaran dan perwujudan yang lebih konkrit dari sebuah sistem komunikasi dalam suatu negara.4 Sebagai sebuah sistem setidaknya sistem komunikasi memiliki 4 unsur yang saling berkaitan, diantaranya adalah:5 1. Sekumpulan unsur (wartawan, karyawan, computer, mesin, barang, buku, kertas, dan fasilitas lain). 2. Tujuan sistem (menyebarkan ibnformasi pada khalayak, membentuk image positif dalam humas, persuasif) 3. Wujud hasil kegiatan atau proses sistem selama jangka waktu tertentu (media cetak, penerbitan intern, press release) 4. Pengolahan data dan/ energy dan/ bahan (bahan berita, apa, dimana, kapan siapa, mengapa, bagaimana diolah menjadi berita straight news atau depth news, kolom, tajuk rencana, artikel, fact finding, dan lain-lain) Paula Chakravartty dan Katharine Sarikakis, menyebutkan bahwa kebijakan komunikasi memiliki 3 aspek penting, diantaranya adalah: konteks, domain dan paradigma. Konteks berarti bahwa kebijakan komunikasi memiliki keterkaitan dengan sesuatu yang melingkupi dirinya, misalnya politik- ekonomi, politik komunikasi dan sebagainya. Domain, kebijakan komunikasi memiliki muatan makna nilai yang dikandung kebijakan komunikasi. Paradigma, berarti bahwa kebijakan komunikasi memiliki kerangka cita-cita yang kepadanya kebijakan komunikasi itu menuju, seperti terbentuknya masyarakat informasi, menguatnya civil society dan sebagainya.6 Sistem kelembagaan komunikasi dan informasi di Indonesia, akan terus berlanjut dan mengalami perubahan mengikuti sistem politik dan negara secara keseluruhan. Secara konseptual kebijakan komunikasi mencakup komponenkomponen yang dapat dianalisis sebagai berikut:7 4
Atie Rachmiatie. Op.Cit. hlm. 2 Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2010. hlm 5. 6 Ana Nadhya Abrar. Op. Cit,. hlm. 4. 7 Atie Rachmiatie. Op. Cit. hlm. 12. 5
5
1) Sistem-sistem media dan lembaga komunikasi,
yakni melakukan
penyelidikan yang mendalam terhadap jaringan komunikasi yang sudah ada dan komponen-komponen utamanya. 2) Kebijakan komunikasi; kebijakan komunikasi nasional sebagai penentu haluan dan batasan peraturan yang berlaku di sebuah negara. Di Indonesia badan / lembaga pusat yang bertanggung jawab atas perencanaan komunikasi saat ini adalah Departemen Komunikasi dan Informatika. Sebagaimana kebijakan publik pada umumnya, kebijakan komunikasi sebagai bagian dari suatu kegiatan memiliki sifat: policy demands, policy decisions, policy statements, policy output, policy outcomes.
8
Policy demands atau permintaan
kebijakan. Policy demands merupakan permintaan/kebutuhan/klaim yang dibuat oleh warga masyarakat secara pribadi/kelompok secara resmi dalam sistem politik oleh karena adanya masalah yang mereka rasakan. Permintaan tersebut dapat berupa desakan secara umum kepada pemerintah dimana pemerintah harus melakukan sesuatu ataupun berupa usulan untuk bertindak dalam masalah tertentu. Policy decisions putusan kebijakan adalah putusan yang dibuat oleh pejabat publik yang memerintahkan untuk memberi arahan pada kegiatan-kegiatan kebijakan. Yang termasuk didalamnya adalah: keputusan untuk mengeluarkan ketetapan, mengeluarkan atau mengumkan perintah eksekutif, mengumkan aturan administratif, atau membuat interpretasi hukum yang penting. Policy statements atau pernyataan kebijakan. Policy statements adalah ungkapan secara formal atau artikulasi dari keputusan politik yang telah ditetapkan. Yang termasuk policy statements atau pernyataan kebijakan adalah: ketetapan legislatif, dekrit dan perintah eksekutif, peraturan administratif, pendapat pengadilan, dan sebagainya. Policy output atau hasil kebijakan adalah ―perwujudan nyata‖ dari kebijakan publik. Atau sesuatu yang sesungguhnya dikerjakan menurut keputusan dan pernyataan kebijakan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa output kebijakan adalah
8
Leo Agustino. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. 2008, hlm. 9-10.
6
apa yang dikerjakan pemerintah. Policy outcomes atau akibat dari kebijakan adalah konsekuensi yang diterima masyarakat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, yang berasal dari apa yang dikerjakan atau yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Selain sifat-sifat tersebut kebijakan komunikasi memiliki 5 kriteria, yaitu: (a) memiliki tujuan tertentu; (b) berisi tindakan pejabat pemerintah; (c) Memperlihatkan apa yang akan dilakukan pemerintah. (d); bersifat positif atau negatif; (e) bersifat memaksa (otoriter). Disamping 5 kriteria yang telah disebutkan, kebijakan komunikasi juga memiliki ciri-ciri konseptual, diantaranya adalah: 1. Kebijakan komunikasi merupakan perangkat norma sosial yang dibentuk untuk memberi arah bagi perilaku sistem komunikasi. 2. Kebijakan komunikasi biasanya dirumuskan oleh para pemimpin politik yang benar-benar
dilaksanakan
melalui
pembatasan-pembatasan
legal
dan
institusional untuk memberi arah bagi perilaku sistem komunikasi. 3. Kebijakan komunikasi nasional meliputi keputusan-keputusan mengenai institusional media komunikasi dan fungsi-fungsinya. 4. Kebijakan
tersebut
juga
mengharuskan
diterapkannya
kontrol
guna
menjaminoperasi institusi-institusitersebut terbawa ke arah kemaslahatan umum.9 Tidak mudah untuk membuat kebijakan komunikasi, dibutuhkan sebuah panduan pembuatan kebijakan komunikasi. Sedikitnya ada empat nilai yang dapat dijadikan panduan oleh para pembuat kebijakan komunikasi.10 Pertama, nilai politik. Dalam hal ini, kepentingan politik menjadi dasar utama pembuatan kebijakan komunikasi. Kedua, nilai organisasi. Yang dimaksud organisasi adalah organisasi yang eksis dalam pemerintahan. Kepentingan dari salah satu organisasi dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan komunikasi.
9
Masduki. Regulasi Penyiaran Dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LKiS. 2007, hlm. 44 Ana Nadhya Abrar. Op.Cit,. hlm. 71.
10
7
Ketiga, nilai ideologis. Yaitu pilihan nilai yang diyakini oleh pembuat kebijakan komunikasi sebagai nilai yang bisa membawa kemaslahatan bagi masyarakat. Keempat, nilai pribadi. Yaitu menjadikan keinginan sendiri sebagai dasar untuk pembuatan kebijakan komunikasi. Kelima, nilai kebijaksanaan. Nilai ini biasanya menyangkut persepsi pembuat kebijakan komunikasi tentang makna kebaikan yang dikandung kebijakan komunikasi. Dengan menggunakan panduan tersebut diharapkan kebijakan komunikasi yang nantinya terbentuk dapat melindungi dan menyelaraskan kehidupan masyarakat luas dalam melakukan kegiatan komunikasi. F.1.2 Tujuan Kebijakan Komunikasi Kebijakan komunikasi setidaknya memiliki 2 tujuan, yaitu:11 1) Kebijakan komunikasi menempatkan proses komunikasi sebagai bagian dari dinamika sosial yang tidak merugikan masyarakat. Masyarakatlah yang seharusnya mengendalikan proses komunikasi yang terjadi di antara mereka. Kebijakan komunikasi harus menjamin bahwa masyarakat bias aktif dan selamat dalam proses komunikasi. Kebijakan komunikasi harus menjamin bahwa masyarakat ikut mengendalikan perkembangan komunikasi yang terjadi pada diri mereka. 2) Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa kebijakan komunikasi bertujuan untuk memperlancar jalannya sistem komunikasi. Sebagai sebuah sistem, maka komunikasi terdiri dari berbagai komponen yang saling barkaitan. Komponen-komponen tersebut tidak selalu dapat berjalan seiring, dalam prakteknya akan selalu ada masalah dan problematika yang terjadi. Itulah sebabnya dibutuhkan sebuah kebijakan untuk memperlancar jalannya sistem komunikasi.
11
Ana Nadhya Abrar. Op. Cit., hlm. 16-17.
8
F.1.3. Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Sejauh ini kebijakan komunikasi yang telah terumuskan secara jelas dan spesifik adalah menyangkut media massa, seperti media penyiaran, pers dan film. Kebijakan komunikasi yang mengatur tentang penyiaran di Indonesia dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Salah satu yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah tentang Lembaga Penyiaran Publik, yang kemudian pelaksanaannya diatur dalam PP No. 11 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Publik. Disebutkan dalam PP No. 11 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Publik bahwa, Lembaga Penyiara Publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.12 Selain Lembaga Penyiaran Publik dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga dijelaskan tentang definisi Lembaga Penyiaran Publik Lokal. Lembaga Penyiaran Publik Lokal adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh pemerintah daerah, menyelenggarakan kegiatan penyiaran radio atau penyiaran televisi, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat yang siarannya berjaringan dengan Radio Republik Indonesia (RRI) untuk radio dan Televisi Republik Indonesia (TVRI) untuk televisi. Lembaga Penyiaran Publik yang terdiri atas RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal, baik secara kelembagaan maupun dalam penyelenggaraan penyiarannya, bersifat independen, netral dan tidak komersial.13 Pada pasal 3 ayat 1 dan 2 PP No. 11 Tahun 2005 disebutkan bahwa: RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, 12
Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Publik Bab I Pasal 1
Ayat 2. 13
Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2005 Tentang Lembaga Penyiaran Publik Bab II pasal
2.
9
kontrol dan perekat sosial, serta pelestari budaya bangsa, dengan senantiasa berorientasi kepada kepentingan seluruh lapisan masyarakat (ayat 1). RRI, TVRI, Lembaga Penyiaran Publik Lokal dalam menjalankan fungsi pelayanannya untuk kepentingan masyarakat melibatkan pertisipasi publik berupa keikutsertaan di dalam siaran, evaluasi, iuran penyiaran, dan sumbangan masyarakat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku (ayat 2). Masih dalam Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2005, bahwa RRI, TVRI, dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal bertujuan menyajikan program siaran yang mendorong terwujudnya sikap mental masyarakat yang beriman dan bertaqwa, cerdas, memperkukuh integrasi nasional dalam rangka membangun masyarakat madani, demokratis, adil dan sejahtera, serta menjaga citra positif bangsa (pasal 4). Eric Barendt mengelaborasi ciri media penyiaran publik (public service broadcasting) sebagai media yang:14 1) Tersedia (available) secara general – geografis. 2) Memiliki concern terhadap identitas dan kultur nasional. 3) Bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun kepentingan komersial. 4) Memiliki imparsialitas program. 5) Memiliki ragam varietas program, dan 6) Pembiayaannya dibebankan kepada pengguna. Lembaga penyiaran publik sejatinya membuka ruang publik (Public sphere) dengan memberikan hak memperoleh informasi yang benar (right to know) dan menyampaikan pendapat atau aspirasi (right to express) bagi masyarakat sehingga menempatkan masyarakat sebagai warga negara. Keberadaan lembaga penyiaran publik sangat diperlukan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai identitas nasional (flag carrier), pemersatu bangsa dan pembentuk citra positif bangsa 14
Ashadi Siregar. Pertimbangan Bagi Kehadiran Lembaga Media Penyiaran Publik. http://ashadisiregar.files.wordpress.com/2008/08/pertimbangan-kehadiran-penyiaran-publik.pdf diakses tanggal 5 Desember 2012
10
di dunia internasional, selain bertugas menyiarkan informasi, pendidikan, budaya dan hiburan. Dalam penjelasan atas PP No. 11 Tahun 2005 Tentang Lembaga penyiaran publik disebutkan bahwa setidaknya lembaga penyiaran publik memiliki prinsip: 1) Siarannya harus menjangkau seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (general geographical availability). 2) Siarannya harus mencerminkan keragaman yang merefleksikan struktur keragaman, realitas sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. 3) Programnya harus mencerminkan identitas dan budaya nasional 4) Penyajian siarannya hendaknya bervariasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hendaknya Lembaga Penyiaran Publik dapat berorientasi pada kebutuhan masyarakat dengan cara memperlakukan masyarakat (publik) sebagai warga negara yang wajib dilindungi haknya dalam memperoleh informasi, bukan sebagai objek sebuah industri media penyiaran semata. Sendjaja menguraikan bahwa media penyiaran publik memiliki fungsi yang cukup signifikan, diantaranya adalah:15 1) Pengawas sosial (social surveillance), yaitu merujuk pada upaya penyebaran informasi dan interpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di dalam dan di luar lingkungan sosial dengan tujuan control sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 2) Korelasi sosial (social correlation), merujuk pada upaya pemberian interpretasi dan informasi yang menghubungkan satu kelompok sosial dengan kelompok sosial lainnya atau antara satu pandangan dengan pandangan lainnya dengan tujuan mencapai konsensus. 3) Sosialisasi (socialization), merujuk pada upaya pewarisan nilai-nilai Dari satu generasi ke generasi lainnya, atau dari satu kelompok ke kelompok lainnya. Keberadaan Lembaga Penyiaran Publik di banyak negara dipercaya mampu menumbuhkan democratic culture. Hal ini dapat diwujudkan jika Lembaga Penyiaran Publik seperti halnya RRI, TVRI dan Lembaga Penyiaran Publik Lokal mampu berperan sebagai ruang publik bagi masyarakat untuk dapat berekpresi, dan menyampaikan pendapatnya. 15
Muhamad Mufid. Komunikasi dan Regulasi Penyiaran. Jakarta: Kencana. 2010, hlm. 79.
11
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Peacock Commission, bagian dari Broadcarting Research Unit di Inggris, dapat digambarkan peran lembaga penyiaran publik sebagai agen demokratisasi. Di mana potensi tersebut dimungkinkan terwujud karena penyelenggaraan penyiaran publik didasarkan pada delapan prinsip yang memuat nilai-nilai democratic culture.16 Prinsip pertama, geographic universal. Prinsip ini menggambarkan bagaimana seharusnya penyelenggaraan penyiaran publik berorientasi pada publik secara luas. Keterjangkauan siaran di seluruh lapisan masyarakat merupakan hal penting yang harus diwujudkan. Prinsip kedua, catering for all interest and taste. Prinsip ini mendorong lembaga penyiaran
publik
memproduksi semua program yang memenuhi kepentingan publik termasuk untuk kelompok minoritas. Dalam hal ini penyelenggaraan program bukannya berorientasi pada minat pasar atau memiliki nilai jual. Prinsip ketiga, catering for minorities. Prinsip ini menopang idealisme lembaga penyiaran publik untuk senantiasa menaruh perhatian pada programprogram acara bagi publik minoritas misalnya menyangkut persoalan anak-anak, rasial atau sexual minorities. Kriteria ini sesuai dengan esensi demokrasi yang membeiikan jaminan kebebasan bagi munculnya pluralitas opini. Prinsip keempat, concern for 'national idntity and community’ Prinsip ini menempatkan lembaga penyiaran publik berfungsi membangun atau memperkuat peraskan identitas nasional dan juga identitas komunitas. Perasaan identitas tersebut membangun kepribadian yang kokoh sehingga publik tidak mudah terombang-arnbing oleh perubahan dan tekanan dari pihak luar yang bersifat global dan membawa kerugian. Prinsip kelima, detachment from vested interest and government. Prinsip ini mengindikasikan
pentingnya kemandirian lembaga penyiaran publik dari pengaruh atau intervensi pihak luar semacam pemerintah, partai politik, pemodal atau kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Kemandirian ini penting artinya untuk menjaga konsistensi lembaga penyiaran publik pada kepentingankepentingan publik. 16
Rahayu, Memotret Resistensi Publik terhadap Penyelenggaraan Penyiaran Publik, Dalam Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik. Volume7, Nomor 2 . November 2003, hlm. 25-27.
12
Prinsip keenam, one broadcasting system to be directly funded by the corpus of user. Berdasarkan prinsip tersebut lembaga penyiaran publik dituntut untuk mencanangkan pendanaan langsung dan pembayaran yang relative universal. Sifat pendanaan demikian akan memberikan ruang independensi yang has bagi lembaga karena tidak perlu bergantung pada pihak-pihak tertentu. Alternatif pendanaan yang dimaksud dapat bersumber dari iuran penyiaran, donasi perorangan, yayasan atau perusahaanperusahaan juga subsidi pemerintah. Prinsip ketujuh, competition in good programming rather than numbers, prinsip ini mengarahkan lembaga penyiaran publik untuk memproduksi dan menayangkan program-program yang baik atau berkualitas dan bukannya berorientasi pada upaya merebut perhatian jumlah penonton atau rating seperti pada lembaga penyiaran swasta. Prinsip kedelapan, guidelines to liberate programming makers and not restrict them. Prinsip ini menunjukkan perlunya memberikan kebebasan dengan menunjukkan arahan bagi para pengelola lembaga penyiaran publik dan bukannya membatasi kreatifitas mereka.
F.2.
Peraturan Daerah (Perda) Sebagai Bagian dari Kebijakan Pemerintah
F.2.1. Pengertian Peraturan Daerah Kewenangan tertingggi suatu daerah yang berwenang mengatur rumah tangganya sendiri adalah kewenangan untuk menetapkan Peraturan Daerah. Dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pasal 1 ayat (7) disebutkan bahwa Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Daerah pada hakekatnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan sistem Peraturan Perundangundangan secara nasional. Oleh sebab itu tidak boleh ada Peraturan Perundangundangan Tingkat Daerah yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau kepentingan umum. Dengan demikian maka,
13
kedudukan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah merupakan subsistem Peraturan Perundang-undangan nasional. 17 Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan
peraturan
perundang-undangan
yang
ada
diatasnya
dengan
memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Bagir Manan berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah.18 Keberadaan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah merupakan akibat diterapkannya prinsip desentralisasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Menurut pasal 1 ayat 7 Undang-Undang no. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai perwujudan desentralisasi, Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah
merupakan
pengejawantahan
beberapa
sendi
ketatanegaraan
yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 yaitu: 1) Sendi negara berdasarkan hukum dan negara berkonstitusi. Salah satu prinsip negara berdasarkan hukum dan berkonstitusi adalah adanya pembagian dan pembatasan atas kekuasaan negara atau pemerintah. Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya,merupakan cara membagi kekusaan dan membatasi kekuasaan pemerintahan tingkat lebih tinggi. Urusan-urusan yang diatur oleh Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah tidak dapat diatur lagi oleh Peraturan Perundang-undangan tingkat 17
Bagir Manan dalam B Hestu Cipto Handoyo. Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. 2008. hlm 120. 18 Mahendra Putra Kurnia, dkk. Pedoman Naskah Akademik Perda Partisipatif. Yogyakarta: Total Media. 2007, hlm 18.
14
lebih atas,kecuali terdapat perubahan mendasar atas sifat dan kepentingan yang terkandung dalam urusan tersebut (menjadi urusan yang menyangkut kepentingan nasional atau lebih luas dari daerah bersangkutan) 2) Sendi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Sendi ini lazim pula disebut sendi kerakyatan, kedaulatan rakyat atau demokrasi. Dalam rangka memperluas pelaksanaan sendi kerakyatan, maka pemerintahan daerah dijalankan atas dasar permusyawaratan dengan membentuk badan-badan perwakilan tingkat daerah. Di manapun, tugas badan perwkilan antara lain adalah membuat Peraturan Perundang-undangan tertentu. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Kepala Daerah membuat Peraturan Daerah. Dengan demikian, pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah seperti Peraturan Daerah, yang mengikutsertakan rakyat (badan perwakilan rakyat)merupakan perluasan pelaksanaan sendi kerakyatan. 3) Sendi kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sifat khas atau karakter penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah fungsi pelayanaan umum (public services). Satuan pemerintah daerah dimanapun dipandang sebagai ujung tombak untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Satuan pemerintah yang lebih dekat dengan kehidupan masyarakat dapat melihat secara lebih nyata kebutuhan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat daerahnya. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah pada umunya adalah Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan kesejahteraan umum untuk mewujudkan keadilan untuk seluruh rakyat. 19 Disamping sendi-sendi tersebut diatas, tidak mungkin untuk dilupakan adalah sendi kebhinnekaan. Sifat pluralistik dari Negara Kesatuan Republik Indonesia ditandai dengan adanya kearifan lokal yang sangat beragam. Kearifan lokal ini tentu
19
Ibid. hlm 121-122.
15
mengandung volkgeist (jiwa bangsa) yang juga beraneka ragam. Volkgeist inilah sumber dari livinng law (hukum yang hidup dalam masyarakat). Oleh sebab itu, keberadaan Peraturan Perundang-undangan tingkat daerah juga merupakan sarana yng tepat untuk menampung keanekaragaman volkgeist
tersebut. Penampungan
volkgeist dalam peraturan perundang-undangan tingkat daerah tentunya tetap dalam bingkai sistem (hukum) perundang-undangan nasional.20 Sedangkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Peraturan Daerah adalah paraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Keberadaan peraturan daerah merupakan condition sine quanon (syarat absolute / syarat mutlak) dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Perda harus dijadikan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan urusan-urusan di daerah. Selain itu Perda juga harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. 21 Peraturan Daerah mempunyai berbagai fungsi yaitu: 1) Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. 2) Merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Peraturan Daerah tunduk pada ketentuan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dengan demikian Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi. 3) Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah serta penyalur aspirasi masyarakat di daerah, namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan 20
B. Hestu Cipto Handoyo. Prinsip-Prinsip Legal Drafting & Desain Naskah Akademik. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya. 2008. hlm. 122. 21 Suko Wiyono., Op. Cit., hlm. 123.
16
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4) Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan daerah.22 Hierarki Peraturan Daerah dalam sistem Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, pada saat ini secara tegas diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa ‖Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan‖ adalah sebagai berikut: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3) Peraturan Pemerintah; 4) Peraturan Presiden; Peraturan Daerah. Ruang lingkup dari Peraturan Daerah, juga disebutkan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004 pasal 7 ayat (2) yaitu meliputi: 1) Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
provinsi bersama dengan gubernur.
2) Peraturan Daerah kabupaten / kota dibuat oleh Dewan Perwkilan Daerah kabupaten / kota bersama bupati / walikota. 3) Peraturan Desa / peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Sementara itu dalam pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis Dan Bentuk Produk Hukum Daerah disebutkan bahwa jenis produk hukum daerah terdiri atas: 1) Peraturan Daerah; 2) Peraturan Kepala Daerah; 3) Peraturan Bersama Kepala Daerah; 22
Tanpa Nama. Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah. Jakarta: CAPPLER Project. 2008, hlm. 7.
17
4) Keputusan Kepala daerah dan; 5) Instruksi Kepala Daerah. F.2.2. Landasan, dan Azas Pembentukan Peraturan Daerah Dalam Pembentukan Peraturan Daerah paling sedikit harus memuat 3 (tiga) landasan yaitu:23 1) Landasan filosofis, adalah landasan yang berkaitan dengan dasar atau ideologi Negara; 2) Landasan sosiologis, adalah landasan yang berkaitan dengan kondisi atau kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat, dapat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan, dan harapan masyarakat; dan 3) Landasan yuridis, adalah landasan yang berkaitan dengan kewenangan untuk membentuk, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, tata cara atau prosedur tertentu, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Selanjutnya pasal 137 berikut penjelasan dari UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Peraturan Daerah menyebutkan bahwa Peraturan Daerah dibuat berdasarkan pada azas pembentukan perundang-undangan yang meliputi: 1) Azas kejelasan tujuan, maksudnya adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. 2) Azas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, maksudnya adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undanngan harus dibuat oleh lembaga / pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada 23
Ibid,.hlm 13.
18
Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Mengenai dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: ”Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah [Pasal 25 huruf c, Pasal 42 ayat (1) huruf a, dan Pasal 136 ayat (1)] yang masing-masing berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 huruf c : ‖Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD‖; Pasal 42 ayat (1) huruf a : ‖ DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama‖; Pasal 136 ayat (1) : ‖Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD‖. 3) Azas Kesesuaian antara jenis dan muatan materi, maksudnya adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya. 4) Azas dapat dilaksanakan, maksudnya adalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungakan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. 5) Azas kedayagunaan dan kehasilgunaan, maksudnya adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 19
6) Azas kejelasan rumusan, maksudnya adalah bahwa dalam membentuk setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sehingga sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. 7) Azas keterbukaan, maksudnya adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. F.2.3. Kedudukan Naskah Akademik dalam Pembentukan Peraturan Daerah Peraturan Daerah akan menjadi lebih operasional lagi jika dilengkapi dengan hasil penelitian yang mendalam terhadap subjek dan objek hukum yang hendak diaturnya, serta diawali dengan pembentukan naskah akademik terlebih dahulu. 24 Naskah akademi adalah bagian tak terpisahkan dari proses pembentukan Peraturan daerah. Untuk itu sebelum pembuatan Peraturan Daerah terlebih dahulu dibuat naskah akademik, naskah akademik harus disusun secara jelas, tepat dan komprehensif mengenai permasalahan yang diangkat untuk kemudian dijadikan perda. Hary Alexander memberikan definisi bahwa naskah akademik adalah naskah awal yang memuat gagasan-gagasan pengaturan dan materi muatan peraturan perundang-undangan di bidang tertentu. 25 Definisi lain dari naskah akademik disampaikan oleh Jazim Hamidi, yaitu naskah atau uraian yang berisi penjelasan tentang: 1) Perlunya sebuah peraturan harus dibuat 2) Tujuan dan kegunaan dari peraturan yang akan dibuat 24 25
Suko Wiyono. Op. Cit., hlm. 127. Mahendra Putra Kurnia. Op. Cit., hlm 30.
20
3) Materi-materi yang harus diatur peraturan tersebut 4) Aspek-aspek teknis penyusunan.26 Sementara dalam pasal 1 ayat (7) Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden menyatakan bahwa naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan rancangan undang-undang. Mengingat pentingnya Naskah Akademik dalam pembentukan Peraturan Daerah maka hubungan Peraturan Daerah dan naskah akademik dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1: Hubungan Peraturan Daerah dengan Naskah Akademik
Peraturan Daerah yang baik
Petaturan daerah yang baik memerlukan naskah akademik
Naskah Akademik yang berkualitas
Naskah akadeik yang berkualitas akan menghasilkan peraturan daerah yang baik
Sumber: Mahendra Putra Kurnia, 2007: 31
Keberadaan naskah akademik menjadi sarana penting untuk membantu para Perancang Peraturan Perundang-undangan dalam ―menterjemahkan” pemahaman ilmiah dari suatu bidang pengetahuan yang akan diatur dalam Peraturan Perundangundangan ke dalam naskah yang bermuatan yuridis. Oleh sebab itu, keberadaan naskah akademik merupakan sebuah keharusan yang tak terelakkan. 27 Naskah akademik merupakan media konkret bagi peran serta masyarakat secara aktif dalam pembentukan peraturan daerah. Argumen yang menunjukkan bahwa naskah
26 27
Mahendra Putra Kurnia,dkk. Op. Cit., hlm. 31. B. Hestu Cipto Handoyo. Op.Cit. hlm. 177.
21
akademik merupakan media konkret bagi peran serta masyarakat secara aktif dalam proses pembentukan peraturan daerah adalah:28 1) Naskah akademik memaparkan alasan-alasan, fakta-fakta atau latar belakang tentang hal-hal yang mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga sangat penting dan mendesak diatur dalam peraturan daerah. Aspek yang dikaji dalam latar belakang ini adalah aspek ideologis, politis, budaya, sosial, ekonomi, ekologi, pertahanan, dan keamanan. Manfaat dan informasi yang ada di dalam latar belakang bagi pembentuk pertauran daerah adalah mereka bisa mengetahui dengan pasti tentang perlunya dibuat sebuah peraturan daerah demi kepentingan daerah secara umum. 2) Naskah akademik menjelaskan tinjauan terhadap sebuah peraturan daerah dari aspek filosofis (cita-cita hukum, recht idea), aspek sosiologis (nilainilai yang hidup dalam masyarakat), aspek yuridis (secara vertical dan horizontal tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya), dan aspek politis (kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan tata laksana pemerintah). Peraturan daerah dimungkinkan menjadi efektif apabila tidak melupakan sejauh mana tingkat kebutuhan, keinginan, dan interaksi masyarakat terhadap peraturan tersebut. 3) Naskah akademik memberikan gambaran mengenai substansi, materi dan ruang lingkup serta peraturan daerah yang akan dibuat. Dalam hal ini dijelaskan mengenai konsepsi, pendekatan dan asas-asas dan materi hukum yang perlu diatur, serta pemikiran-pemikiran normanya. Naskah akademik menggambarkan bahwa materi hukum tidak hanya terikat pada asas-asas yang telah ditentukan dalam pasal 6 UU No. 10/2004 jo. Pasal
28
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera. Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah. Jakarta: Kencana. 2009. hlm . 152-153
22
138 UU No. 32/2004, tetapi juga perlu mencermati nilai-nilai hukum adat di daerah bersangkutan. 4) Naskah akademik memberikan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan bagi pihak eksekutif dan legislatif mengenai pembentukan peraturan daerah tentang permasalahan yang dibahas. Sebuah naskah akademik juga memberikan saran-saran apakah semua materi yang dibahas dalam naskah akademik sebaiknya diatur dalam satu bentuk peraturan daerah atau ada sebagian yang sebaiknya dituangkan dalam peraturan pelaksana atau peraturan lainnya. Selanjutnya, unsur-unsur yang perlu ada dalam suatu naskah akademik adalah
urgensi
disusunnya
pengaturan
baru
suatu
materi
hukum
yang
menggambarkan bahwa:29 1) Hasil inventarisasi hukum positif; 2) Hasil inventarisasi permasalahan hukum yang dihadapi; 3) Gagasan-gagasan tentang materi hukum yang akan dituangkan ke dalam rancangan undang-undang; 4) Konsepsi landasan, alasan hukum, dan prinsip yang akan digunakan; 5) Pemikiran tentang norma-normanya yang telah dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal; 6) Gagasan awal naskah rancangan undang-undang; dan/atau 7) Rancangan produk hukum yang disusun secara sistematik: bab demi bab, serta pasal demi pasal untuk memudahkan dan mempercepat penggarapan undang-undang atau rancangan produk hukum lainnya selanjutnya oleh instansi yang berwenang menyusun
undang-undang
atau
rancangan
produk hukum lainnya tersebut.
29
Ibid. hlm. 149.
23
F.2.4. Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah Riant Nugroho dalam bukunya yang berjudul ― Public Policy‖ menyebutkan bahwa pada dasarnya terdapat tiga belas macam model dalam perumusan / penyusunan kebijakan, salah satunya adalah model demokratis. Model ini berkembang khususnya di negara-negara yang baru saja mengalami transisi ke demokrasi, seperti Indonesia. Gambaran sederhanaya dapat diandaikan dalam sebuah proses pengambilan keputusan demokratis dalam teori politik yang dapat digambarkan sebagai berikut: 30 Gambar 2: Prosedur Pembentukan Produk Hukum Model Demokratis
Isu kebijakan
Civil society
Stakeholders forum
Pembahasan kebijakan
Rumusan kebijakan
Pemerintah
Pengesahan kebijakan
Sumber: Riant Nugroho, 2009: 412
30
Riant Nugroho. Public Policy. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2009. hlm. 411- 412.
24
Sedangkan dalam peraturan pemerintah, Prosedur penyusunan produk hukum daerah telah diatur dalam Permendagri No. 16 Tahun 2006. Prosedur penyusunan produk hukum daerah dimulai sejak dari perencanaan, perancangan, pembahasan, pengundangan, sosialisasi dan evaluasi. 31 Prosedur
pembentukan Perda tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Tahap Perencanaan Tahap
pertama
pembentukan
UU
atau
Perda
(provinsi
maupun
kabupaten/kota), pada dasarnya adalah sama yakni diawali dengan tahap perencanaan yang dituangkan di dalam bentuk program legislasi. Program pembentukan perda disebut program legislasi daerah (Prolegda) provinsi, kabupaten/kota. Program legislasi daereh (Prolegda) adalah instrumen perencanaan pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. 2. Tahap Perancangan a. Perumusan: 1) Perumusan Raperda dilakuakan dengan mengacu pada naskah akademik; 2) Hasil naskah akademik akan menjadi bahan pembahasan di dalam rapat konsultasi;dan 3) Pembahasan di dalam rapat konsultasi adalah untuk memantapkan konsepsi terhadap Raperda yang direncanakan pembentukannya secara menyeluruh (holistis) b. Pembentukan tim asistensi Tim asistensi dibentuk guna membahas/menyusun materi Raperda dan melaporkannya kepada kepala daerah dengan segala permasalahan yang dihadapi c. Konsultasi Raperda dengan pihak-pihak terkait
31
Ibid. hlm 98 – 102.
25
d. Persetujuan Raperda oleh kepala daerah 3. Tahap Pembahasan Pada tahap pembahasan, raperda dibahas oleh DPRD dengan gubernur, bupati/wali kota untuk mendapatkan persetujuan bersama. Sebagaimana diketahui raperda dapat berasal dari DPRD dan dapat pula berasal dari inisiatif kepala daerah. Pembahasan sebuah raperda di DPRD dilakukan didalam rapat paripurna I, II, III, dan IV. Masing-masing dengan agenda tersendiri, sebagai berikut: a. Rapat Paripurna I Apabila raperda berasal dari DPRD, maka pada rapat paripurna I agendanya adalah menyampaikan keterangan/penjelasan DPRD atas raperda. Apabila raperda berasal dari usul atau inisiatif kepala daerah/pemerintah daerah, maka pada rapat paripurna I agendanya adalah menyampaikan keterangan/penjelasan oleh kepala daerah atas raperda yang diusulkan. b. Rapat Paripurna II Pada rapat paripurna II agendanya adalah tanggapan kepala daerah atas raperda yang berasal dari DPRD dan jawaban DPRD atas tanggapan kepala daerah. Atau pandangan umum masing-masing fraksi di DPRD atas raperda usul inisiatif kepala daerah dan jawaban kepala daerah atas pandangan umum fraksi-fraksi di DPRD. c. Rapat Paripurna III Agenda rapat paripurna III mencakup: -
Pembahasan raperda dalam komisi, atau gabungan komisi, atau oleh panitia khusus bersama dengan kepala daerah.
-
Pembahasan raperda secara intern di dalam komisi, atau gabungan komisi, atau panitia khusus (tanpa mengurangi pembahasan bersama kepala daerah)
26
d. Rapat Paripurna IV Agenda rapat paripurna IV mencakup: -
Laporan hasil pembahasan raperda pada rapat paripurna III
-
Pendapat akhir fraksi-fraksi di DPRD
-
Pengambilan keputusan oleh DPRD
-
Sambutan gubernur, bupati/wali kota sebagai kepala daerah
4. Tahap Pengesahan/Penetapan Dijelaskan dalam pasal 144 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi peraturan daerah. Penyampaian raperda tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Kemudian raperda tersebut ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak raperda tersebut disetujui bersama. Jika dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari raperda yang telah disetujui bersama tadi tidak ditanda tangani Kepala Daerah, maka raperda tersebut sah menjadi peraturan daerah dan wajib diundangkan. 5. Tahap Pengundangan Perda
yang
telah
ditetapkan,
selanjutnya
diundangkan
dengan
menempatkannya di dalam lembaran daerah oleh sekretaris daerah, sedangkan penjelasan perda dicatat didalam tambahan lembaran daerah oleh sekretaris daerah atau oleh kepala biro hokum/kepala bagian hokum. Pengundangan perda di dalam lembaran daerah dimaksudkan sebagai syarat hukum agar setiap orang mengetahuinya (pasal 45, pasal 49 UU No. 10 Tahun 2004). 6. Tahap sosialisasi Meskipun perda telah diundangkan di dalam lembaran daerah, namun belum cukup menjadi alasan untuk menganggap bahwa masyarakat telah mengetahui eksistensi perda tersebut. Oleh karena itu perda yang telah disahkan dan diundangkan tersebut harus pula disosialisasikan. Pemerintah daerah wajib 27
menyebarluaskan peraturan daerah yang telah diundangkan di dalam lembaran daerah dan peraturan dibawahnya yang telah diundangkan di dalam berita daerah (pasal 52 UU No. 10 Tahun 2004). Metode sosialisasi dapat dilakukan dengan cara: a. Pengumuman melalui berita daerah (RRI, TV daerah) oleh kepala biro hukum provinsi atau oleh kepala bagian hukum kabupaten/kota. b. Sosialisasi secara langsung oleh kepala biro hukum/kepala bagian hukum atau dapat pula dilakukan oleh unit kerja pemrakarsa perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkompeten. c. Sosialisasi melalui seminar dan lokakarya (semiloka) d. Sosialisasi melalui sarana internet (E-Parliament). Untuk ini Pemda dan DPRD hendaknya memiliki fasilitas website agar masyarakat mudah mengakses segala perkembangan kegiatan kedua lembaga. 7. Tahap evaluasi Untuk dapat mengetahui sejauh mana pengaruh sebuah perda setelah diberlakukan, maka perlu dilakuakan evaluasi. Melalui evaluasi akan dapat diketahui kelemahan dan kelebihan perda yang sedang diberlakukan, yang selanjutnya guna menentukan kebijakan-kebijakan, misalnya apakah perda tetap dipertahankan atau perlu direvisi.
F. 3.
Analisis Kebijakan Model Pluralis Analisis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan
berbagai metode pengkajian multipel dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. Analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam teknik – atau merasionalkan — proses pembuatan kebijakan. Dunn mendefinisikan analisis kebijakan sebagai “the process of, producing knowledge of and in policy proces”. Sedangkan Leslie A. Pal menegaskan bahwa “policy analysis will be defined as the disciplined application of intellect to public problems”. 28
Berdasarkan beberapa pengertian analisis kebijakan tersebut dikemukakan beberapa ciri analisis kebijakan. Pertama, analisis kebijakan sebagai aktivitas kognitif (cognitive activity), yakni aktivitas yang berkaitan dengan learning and thinking. Aktivitas tersebut hanya sebagai salah satu aspek dari proses kebijakan (policy process), artinya masalah kebijakan didefinisikan, ditetapkan, dipecahkan dan ditinjau kembali. Kedua, analisis kebijakan sebagai bagian dari proses kebijakan secara kolektif sehingga merupakan hasil aktifitas kolektif. Ketiga, analisis kebijakan sebagai disiplin intelektual terapan. Hal ini berarti masalah kebijakan yang harus dikaji melalui aktivitas dari sejumlah analisis. Keempat, analisis kebijakan berkaitan dengan masalah-masalah publik (public problems). Tidak semua masalah masuk ranah publik bahkan ketika masalah tersebut melibatkan sejumlah besar orang. Masalah publik memiliki dampak pada masyarakat atau beberapa orang yang berkepentingan sebagai anggota masyarakat.32 Analisis kebijakan diharapkan mampu menghasilkan informasi dan argumenargumen yang masuk akal mengenai tiga pertanyaan, yaitu: a) Nilai yang pencapaiannya merupakan tolak ukur utama untuk menilai apakah suatu masalah sudah teratasi? b) Fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai. c) Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.33 Untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai ketiga hal tersebut di atas, analis kebijkan dapat menggunakan salah satu atau kombinasi dari tiga pendekatan analisis, yaitu:
32
Joko Widodo. Analisis Kebijakan Publik: Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik. Malang: Banyumedia. 2008. hlm 20-22. 33 William N. Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. 2003. hlm. 97
29
Tabel 1: Pendekatan Analisis Kebijakan Pendekatan Empiris
Pertanyaan Utama
Tipe informasi
Adakah dan akankah ada Deskriptif dan perspektif (fakta )? Apa manfaatnya (nilai)? Evaluatif Apakah yang harus Perspektif diperbuat (aksi)?
Valuatif Normatif
Sumber: Dunn, 2003: 98
Pendekatan empiris ditekankan terutama pada penjelsan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Pendekatan valuatif ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa kebijakan. Yang terakhir, pendekatan normatif, ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik. Di lain kesempatan, Michael Hill mengemukakan konsep yang cukup relevan untuk memahami tentang analisis kebijakan. Hill mengemukakan terdapat dua jenis analisis kebijakan yaitu: 34 Tabel 2: Jenis Analisis Kebijakan Menurut Hill Analysis of policy
Analysis for policy
Studies of policy contents
Policy evaluation
Studies of policy outputs
Information for policy making
Studies of policy process
Process advocacy Policy advocacy
Sumber: Hill , 2005: 5 Dengan berdasarkan pemilahan analisis kebijakan Hill, Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy berusaha memberikan pemahaman yang lebih terinci dan tertata sebagai berikut:
34
Michael Hill. The Public Policy Process. England: Pearson. 2005. hlm. 5
30
Tabel 3: Pemilahan Analisis Kebijakan Analisis Kebijakan
Analisis untuk kebijakan
Penelitian tentang isi kebijakan
Analisis untuk merumuskan kebijakan
Penelitian tentang implementasi
Analisis untuk memprediksi impak
kebijakan
kebijakan
Penelitian tentang kinerja kebijakan
Analisis untuk memperbaiki isi kebijakan
Penelitian tentang lingkungan kebijakan
Analisis untukmemperbaiki implementasi kebijakan
Penelitian tentang proses kebijakan
Analisis untuk memperbaiki proses kebijakan
Sumber: Riant Nugroho, 2009: 590
Sementara itu pandangan yang agak berbeda dalam membedakan model dan pendekatan analisis kebijakan diberikan oleh Lester dan Stewart. 35 Menurut Lester dan Stewart ada 2 model dalam analisis kebijakan yang dapat dipakai dalam melakukan studi kebijakan yaitu: model elitis dan model pluralis. Model elitis berasumsi bahwa kebijakan publik merupakan produk elit yang merefleksikan nilainilai kaum elit untuk penguatan kepentingan-kepentingan kaum elit. Model elitis biasanya
diimplementasikan
di
negara-negara
yang
mendasarkan
sistem
pemerintahannya pada sistem otoriter. Sedangkan model pluralis memandang bahwa kebijakan merupakan hasil dari proses kompetisi antarberbagai kelompok yang berbeda-beda. Penganut pandangan ini berasumsi bahwa kekuatan para kelompok dalam mempengaruhi agenda kebijakan tidaklah terkonsentrasi di satu tangan, melainkan
35
Budi Winarno. Kebijakan Publik: Teori, Proses, dan Studi Kasus. Yogyakarta: CAPS. 2012. hlm. 41
31
tersebar.
36
Sekalipun diakui kekuasaan satu kelompok dengan kelompok lain
memang berbeda, timpang, tidak equal, pembuatan kebijakan itu bersifat terbuka bagi kebebasan berbicara dan debat publik. Mereka bersaing secara bebas, tidak ada paksaan ataupun ancaman, untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang seharusnya dibuat oleh pemerintah atau sistem politik mereka. Model pluralis berkebalikan dengan model elitis, dimana model pluralis lebi percaya pada peran subsistem-subsistem yang berada dalam sistem demokrasi. Menurut Robert Dahl dan David Truman pandangan-pandangan pluralis dapat dirangkum sebagai berikut:37 a. Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya individuindividu yang lain dalam proses pembuatan keputusan. b. Hubungan-hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, namun hubungan-hubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. c. Tidak ada pembedaan yang tetap diantara ―elit‖ dan ―massa‖. d. Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi, kekayaan merupakan aset dalam politik, tetapi hanya merupakan salah satu dari sekian banyak aset politik yang ada. e. Terdapat banyak pusat kekuasaan diantara komunitas. Tidak ada kelompok yang tunggal yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan. f. Kompetisi dapat dianggap berada diantara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar-menawar atau kompromi yang dicapai di antara kompetisi pemimpin-pemimpin politik. Berangkat dari uraian diatas maka model pluralis-lah yang akan dijadikan acuan untuk mengetahui proses pembentukan kebijakan komunikasi di Kota Madiun khususnya dalam proses pembentukan Perda tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal di Kota Madiun. Dengan menggunakan model pluralis ini akan terlihat pihak mana yang dominan dalam proses pembentukan Perda LPPL di Kota Madiun.
36
Samodra Wibawa. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2011.
37
Budi Winarno. Op. Cit. hlm. 49 – 50.
hlm. 11.
32
Sedangkan beberapa pendekatan yang digunakan dalam analisis kebijakan adalah pendekatan kelompok; bahwa pembentukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat, pendekatan proses fungsional; dalam kegiatan analisis kebijakan perhatian dipusatkan pada berbagai kegiatan fungsional yang terjadi dalam proses kebijakan, pendekatan kelembagaan; bahwa kegiatan-kegiatan politik secara umum berpusat disekitar lembaga-lembaga pemerintah tetentu seperti kongres, kepresidenan, pengadilan, pemerintah daerah, partai politik dan sebagainya, pendekatan peranserta warga negara, pendekatan psikologis, pendekatan proses, pendekatan substantif, pendekatan logical – positivist, pendekatan ekonometrik, pendekatan fenomologik, pendekatan partisipatori, pendekatan normatif atau preskriptif, pendekatan ideologik dan pendekatan historis.38 Adapun nilai-nilai atau kriteria yang mempengaruhi para pembuat kebijakan telah dikemukakan oleh James Anderson sebagai berikut:39 a) Nilai-nilai politik Pembuat keputusan (decision maker) mungkin menialai alternatif-alternatif kebijakan berdasarkan pada kepentingan partai poltiknya beserta kelompoknya. Keputusan yang dibuat didasarkan pada keuntungan dengan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan partai atau tujuantujuan kelompok kepentingan. b) Nilai-nilai organisasi Para pembuat keputusan, khususnya para birokrat mungkin dipengaruhi pula oleh nilai-nilai organisasi. Organisasi-organisasi, seperti badan-badan administratif menggunakan banyak imbalan (reward) dan sanksi dalam usahanya untuk mempengaruhi anggota-anggotanya menerima dan bertindak atas dasar nilai-nilai organisasi yang telah ditentukan. c) Nilai-nilai pribadi Usaha untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan ekonomi, reputasi atau kedudukan sejarah seseorang mungkin pula merupakan kriteria keputusan. Seorang politisi yang menerima suap untuk membuat suatu keputusan tertentu, seperti pemberian lisensi atau kontrak menjadi contoh
38 39
Budi Winarno. Ibid. Hlm. 51- 69. Budi Winarno. Ibid. Hlm. 137- 138.
33
konkret bagaimana nilai-nilai pribadi berpengruh dalam pembuatan keputusan. d) Nilai-nilai kebijakan Para pembuat keputusan politik tidak hanya dipengaruhi oleh perhitunganperhitungan keuntungan, organisasi-organisasi atua pribadi, namun para pembuat keputusan mungkin bertindak dengan baik atas dasar persepsi mereka tentang kepentingan masyarakat atau kepercayaan-kepercayaan mengenai apa yang merupakan kebijakan publik secara moral benar atau pantas. e) Nilai-nilai ideologi Ideologi merupakan seperangkat nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang berhubungan secara logis yang memberikan gambaran dunia yang disederhanakan dan merupakan pedoman bagi rakyat untuk melakukan tindakan.
34
F.4.
Kerangka Konsep Proses Perumusan Perda No. 11 Tahun 2011 Tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Suara Madiun.
Gambar 3: Kerangka Konsep Proses Perumusan Perda LPPL Radio Suara Madiun Kebijakan Komunikasi
Tujuan Kebijakan Komunikasi
Perda No. 11 Tahun 2011 tentang LPPL Radio Suara Madiun
Perencanaan Pergundangan
UU. No. 10 th 2001 UU. No. 32 th 2004 Permendagri No. 16 Tahun 2006
Perancangan Sosialisasi
Analisis Kebijakan Model Pluralis
Pembahasan Evaluasi
Landasan dan Azas Pembentukan Produk Hukum Daerah
Sumber: Olahan Peneliti
35
Keterangan bagan: Setiap kebijakan publik, termasuk juga kebijakan komunikasi, dalam hal ini adalah Perda No. 11 tahun 2011 Tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Suara Madiun selalu diawali dengan proses panjang yang harus dilalui dalam perumusannya, begitu juga sebaliknya, selalu ada proses yang harus dilalui dalam perumusan kebijakan. Proses perumusan kebijakan (perda) inilah yang ingin dilihat/ diukur, yaitu proses yang meliputi: a) Perencanaan b) Perancangan c) Pembahasan d) Pengundangan e) Sosialisaasi f) Evaluasi Didalam proses perumusan kebijakan selalu melibatkan banyak aktor. Aktor yang dimaksud disisni adalah pihak – pihak yang berkepentingan dalam perumusan perda No. 11 tahun 2011, Pemerintah Kota Madiun dan DPRD Kota Madiun. Untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan Perda No. 11 Tahun 2011 tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio Suara Madiun maka akan dilakukan proses analisis kebijakan dengan model Pluralis. Selain itu, proses perumusan kebijakan (perda) juga harus memperhatikan kebijakan yang lebih tinggi yang terkait dengan perumusan Perda No. 11 tahun 2011 yaitu PP No. 11 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Publik, UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri No. 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah. Dalam Pembentukan Peraturan Daerah paling sedikit harus memuat 3 (tiga) landasan yaitu: landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Selain harus memuat ketiga landasan tersebut, Peraturan Daerah yang dibuat harus berdasarkan pada azas pembentukan perundang-undangan, yang meliputi: 36
1) Azas kejelasan tujuan 2) Azas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat 3) Azas Kesesuaian antara jenis dan muatan materi 4) Azas dapat dilaksanakan 5) Azas kedayagunaan dan kehasilgunaan, 6) Azas kejelasan rumusan 7) Azas keterbukaan
G.
Metodologi Penelitian
G.1
Jenis Penelitian Penelitian ini berjenis deskriptif kualitatif, karena pada akhirnya penelitian ini
akan menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis. Penelitian ini akan menghasilkan gambaran kondisi di lapangan yang sesungguhnya secara menyeluruh dan apa adanya atas fokus yang telah diambil dalam bentuk katakata. G. 2
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Menurut
Agus Salim penelitian dengan metode studi kasus adalah suatu metode untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus (case) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi dari pihak luar. 40 Metode ini digunakan untuk mendapatkan data dan informasi yang mendalam serta menggambarkan kondisi riil yang ada secara menyeluruh dan apa adanya atas fokus masalah yang telah ditetapkan yaitu: Bagaimanakah proses pembentukan Perda Kota Madiun No. 11 Tahun 2011 tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Suara Madiun dan faktor-faktor apa saja yang mendorong terbentuknya Perda No. 11 Tahun 2011?
40
Agus Salim. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001. hlm. 93.
37
G. 3
Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumulan data melalui wawancara.
Wawancara mendalam (in depth interview) dan bersifat terbuka (open Interview) sehingga membuka kesempatan kepada informan untuk dapat menyampaikan pandangan dan pendapatnya tentang fenomena penelitian. Wawancara mendalam dipilih oleh peneliti untuk memperoleh informasi yang mendalam dan terinci dengan mengajukan pertanyaan terkait dengan bagaimanakah proses pembentukan Perda No. 11 Tahun 2011 Tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Suara Madiun dan faktorfaktor yang mendorong terbentuknya Perda No.11 Tahun 2011. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti disini adalah wawancara tidak berstruktur, sehingga pertanyaan yang digunakan dapat berkembang sesuai dengan kondisi dilapangan. Selain wawancara teknik pengumpulan data yang peneliti juga lakukan adalah dengan mengumpulkan dokumen-dokumen / evaluasi dokumentasi untuk melengkapi data-data hasil wawancara. G.4
Analisis Data Dalam penelitian ini setelah data terkumpul peneliti dapat mulai
mengagregasi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi unit-unit yang dapat dikelola. Agregasi merupakan proses mengabstraksi hal-hal khusus menjadi hal-hal umum guna menemukan pola umum data. Data diorganisasi secara kronologis, kategori atau dimasukkan ke dalam tipologi. Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan data dan setelah semua data terkumpul atau setelah selesai dari lapangan. Selanjutnya hasil dari analisis akan disampaikan dalam bentuk narasi. G.5
Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan dibagi menjadi 5 bab, yaitu: BAB I
: PENDAHULUAN
BAB II
: GAMBARAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI KOTA MADIUN
BAB III
: PROFIL RADIO SUARA MADIUN 38
BAB IV
: HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIN
BAB V
: PENUTUP
G.6
Batasan Penelitian Dalam sebuah penelitian diperlukan sebuah batasan penelitian agar penelitian
terfokus pada masalah yang akan diteliti sehingga hasil yang diperoleh juga maksimal. Penelitian tentang Kebijakan Komunikasi di Kota Madiun (Studi kasus Penyusunan Perda Kota Madiun No. 11 Tahun 2011 tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Suara Madiun) ini adalah para aktor stake holder yang terlibat dalam penyusunan Perda No.11 Tahun 2011 tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal Suara Madiun.
39