BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pariwisata merupakan sektor menjanjikan bagi pendapatan devisa negara. Melalui pariwisata keragaman potensi di setiap daerah dapat disorot untuk dipromosikan baik bagi wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Pariwisata banyak diakui mulai dari pemerintah, pelaku pariwisata dan masyarakat sebagai dunia bisnis yang mendatangkan keuntungan untuk saat ini maupun untuk masa akan datang. Sebagai sektor strategis nasional, pariwisata mempunyai efek menyediakan lapangan pekerjaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk pengembangan produk dan atraksi wisata, peningkatan taraf ekonomi, serta pelestarian sumber daya alam dan budaya. Diera otonomi daerah seperti ini, setiap kabupaten atau kota mempunyai kebebasan
menggali
setiap
potensi
daerahnya
masing-masing
untuk
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Dengan adanya otonomi daerah seperti ini maka potensi kawasan wisata di setiap daerah dapat dikembangkan dan dikelola sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hal ini dapat terlihat dari geliat pariwisata masing-masing pulau seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Maluku, Irian Jaya yang lebih menonjolkan pariwisata daerah. Dari setiap daerah di Indonesia karena berada pada dimensi dan aspek yang berbeda, maka masing-masing masyarakat yang menetap di suatu kawasan memiliki kebudayaan berbeda dengan daerah lain. Perbedaaan ini membuat keunikan yang merupakan representasi dari daerahnya. Pariwisata Indonesia menempatkan budaya-budaya daerah sebagai salah satu produk andalannya. Keragaman budaya diyakini menjadi salah satu modal dasar untuk menunjukkan kekayaan Indonesia sebagai negara multikultural dan menguatkan citra sebagai negara dan bangsa yang layak menjadi destinasi pariwisata. Dalam konteks 1
pembangunan wisata budaya, potensi dari setiap daerah perlu dikemas sehingga memberikan manfaat baik secara ekonomi maupun secara kultural dalam bentuk penguatan kebangsaan dan identitas nasional (Damanik, 2013:98). Dampak positif adanya kegiatan pariwisata yang terkait dengan kebudayaan adalah dengan semakin dibutuhkannya penampilan dan pelestarian budaya tradisional. Kebudayaan yang sifatnya tradisional dan semula hampir terlupakan diaktifkan kembali untuk dikemas dan disajikan kepada wisatawan sebagai salah satu atraksi budaya (Karyono, 1997:13). Disisi lain, pariwisata juga memberikan akibat terhadap komodifikasi yang berdampak besar pada kehilangan potensi ekonomi hingga ancaman hilangnya kebudayaan. Wisata budaya terus berkembang sehingga mengakibatkan efek pada berbagai bidang salah satunya adalah aktivitas ekonomi bagi host community (tuan rumah). Kehadiran orang asing telah memberikan dampak terhadap pemenuhan kebutuhan termasuk kesediaan membayar atraksi yang diinginkan, seperti upacara atau ritual. Melalui pengelolaan sumber daya, pihak pengelola berusaha untuk mengkomersilkan budaya sebagai daya tarik wisata. Beragam perubahan terus diupayakan dalam bisnis pariwisata budaya untuk melakukan penyesuaian atau rekayasa terhadap atraksi guna pemenuhan ekspektasi wisatawan (Nurdiyansah, 2014:6). Surakarta atau lebih dikenal kota Solo dengan pencitraan pariwisata yaitu Home of Java Man (RIPPARNAS, 2011) memiliki banyak obyek wisata terutama wisata budaya. Di Kota Solo terdapat Keraton Surakarta dan Istana Mangkunegaran. Selain dua bangunan bersejarah tersebut Kota Solo juga memiliki THR Sriwedari, Museum Radya Pustaka, Museum Danar Hadi, Pasar Antik Triwindu, Kampung Batik Laweyan, Monumen Pers, Taman Balekambang, Taman Binatang Satwataru Jurug yang semuanya digiatkan Pemerintah Daerah Surakarta untuk mendorong laju perekonomian daerah melalui obyek wisata. Disamping bangunan cagar budaya, kota Solo memiliki Pasar Klewer sebagai sentra perdagangan batik terbesar di Jawa Tengah, Beteng Trade Center dan 2
Pusat Grosir Solo dengan perdagangan tekstil. Wisata kuliner tidak kalah menarik perhatian wisatawan dengan makanan khas Solo seperti timlo, tengkleng, sate buntel, nasi liwet, serabi, selat Solo, dan lain-lain yang menandakan roda kehidupan dan aktivitas terus berputar dan membuat kota Solo menjadi kota yang tidak pernah tidur. Lingkungan kota Solo dikenal dengan kota yang ramah dan didukung dengan lokasi strategis, membuat atraksi wisata budaya selalu hidup seperti sekaten di Alun-alun Lor, kirab pusaka Keraton, Festival Suro dan lain-lain. Dengan julukan Solo Kota Budaya menjadi representasi yang sesungguhnya dari potensi budaya dan layak menjadi tujuan destinasi wisata budaya. Wisata kota Solo didukung pula dengan akses transportasi, akomodasi seperti hotel dan rumah makan yang mudah ditemui. Seiring
dengan
dinamika
perkembangan
pariwisata,
sektor
kepariwisataan berupaya menjamin agar wisata dapat dikembangkan di seluruh Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) dan merupakan sektor penting dalam memberikan kontribusi pendapatan daerah. Tetapi pemerintah daerah ada kalanya tidak memahami realitas kondisi pariwisatanya. (Demartoto dkk, 2014:4). Pada perkembangan wisata budaya, permintaan pasar bergeser dari perburuan plesiran berbasis tiga S (sea, sun, sand) didominasi motif yang bersifat pibadi seperti aktualisasi diri, pencarian pengalaman dan kontak sosial. Fokus atraksi yang banyak dicari adalah destinasi yang menonjolkan keaslian dan keunikan (Damanik, 2013:104). Realitas tersebut dapat terlihat di Keraton Surakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa. Pengembangan pariwisata yang digagas oleh Pemerintah Kota Solo yaitu “Solo Masa Lalu adalah Solo Masa Depan” dengan maksud wisatawan yang berkunjung ke Solo akan melihat Keraton Surakarta sebagai identitas dan bukti sejarah yang tetap disajikan keorisinalitasnya kepada masyarakat modern saat ini. Dengan dukungan berbagai aspek penawaran wisata seperti fasilitas, transportasi dan akomodasi membuat wisatawan lebih leluasa menjelajahi setiap 3
daya tarik Solo. Potensi budaya kota Solo lainnya seperti pembuatan batik tulis, tarian dan gamelan harus tetap dilestarikan dan dikemas dengan sekreatif mungkin sehingga menjadi daya tarik wisata yang berkesinambungan dengan keberadaan Keraton Surakarta. Akan tetapi jika daya tarik wisata budaya dan segala fasilitas tidak dipacu perkembangannya, maka tidak menjamin kunjungan wisatawan ke obyek-obyek wisata mengalami peningkatan. Keraton Surakarta saat ini masih menjadi tujuan wisata di Solo. Namun faktanya adalah Keraton Surakarta tidak seramai dengan Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta terjaga perawatan dan pemeliharaannya. Dapat terlihat dari koleksi benda-benda sejarah yang lebih banyak dan lebih utuh. Kondisi fisik keraton juga terjaga kebersihan dan kondisi bangunannya. Berbeda dengan Keraton Surakarta yang kurang terjaga kebersihannya, perawatan, pemeliharaan pada benda-benda koleksi dan bangunan keraton. Dikhawatirkan jika hal tersebut tidak segera ditangani oleh pihak terkait, dapat berdampak pada penurunan jumlah wisatawan dan penurunan kualitas obyek wisata. Dengan kondisi seperti ini maka tata kelola wisata keraton harus diutamakan. Pengelolaan dan pengemasan produk wisata budaya yang baik akan menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke keraton. Sama halnya dengan City Palace Complex dan Udaipur and the Qutub Minar Complex sebuah kompleks bangunan sejarah di New Delhi, India. Berdasarkan kebutuhan wisatawan dilihat dari segi aksesibilitas, ketersediaan makanan dan minuman, kualitas servis pada pengunjung, mendapatkan penilaian yang baik, namun dari segi harga makanan yang ditawarkan, komunikasi dengan wisatawan, serta ketersediaan tempat istirahat untuk pengunjung masih perlu ditingkatkan oleh pengelola wisata. Daya tarik wisata budaya menuntut penerapan manajemen yang jelas. Kebijakan pengembangan daya tarik wisata budaya harus menegaskan bahwa atraksi budaya adalah produk yang akan dipasarkan (Damanik, 2013:113). Manajemen obyek dan daya tarik wisata bertujuan untuk menjaga daya saing
4
seluruh sumber daya wisata budaya sebagai suatu kesatuan yang utuh untuk memberikan hasil optimal bagi pemangku kepentingan (Damanik, 2013:127) Keraton Surakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Keraton Surakarta merupakan institusi yang mempertahankan dan menyajikan atraksi budaya berupa kegiatan budaya dan upacara adat, museum dengan koleksi peninggalan sejarah, nilai-nilai sejarah dan perjuangan, serta keunikan arsitektur bangunannya yang masih asli. Keraton menjadi citra wisata budaya di Kota Solo yang sudah dikenal dengan Kota Budaya, sehingga sudah sepatutnya Keraton menjadi perhatian utama untuk menarik minat wisatawan. Identitas budaya melekat pada Keraton Surakarta dan melekat pada persepsi masyarakat bahwa jika ingin berwisata budaya maka harus mengunjungi Keraton. Keraton
Surakarta
yang
menjadi
daya
tarik
wisata
budaya
merepresentasikan kebudayaan luhur dengan hal-hal yang dianggap unik dan khas. Seperti halnya dengan Keraton Alwatzikhoebillah di Sambas, Kalimantan Barat, bahwa potensi mendasar yang menjadi sumber daya budaya Keraton Alwatzikhoebillah Sambas sebagai daya tarik wisata berupa arsitektur fisik, nilainilai sejarah dan perjuangan, perkembangan dan pembangunan sosial budaya, warisan budaya Melayu dan benda cagar budaya serta nilai sakral/spiritual masyarakat Sambas. Perawatan, pemeliharaan bangunan, pengemasan atraksi seharusnya menjadi perhatian utama dari pengelolaan keraton karena akan disajikan kepada pengunjung dan wisatawan. Tuntutan wisatawan pada saat ini pun mengalami perubahan dimana menginginkan atraksi yang lebih unik dan bervariasi. Kenyataan ini dilihat dari Keraton Alwatzikhoebillah Sambas bahwa faktor yang mendorong wisatawan mengunjungi keraton tersebut baik intrinsik maupun ekstrinsik didorong oleh motif refreshing/liburan, pendidikan, ingin tahu dan memperluas wawasan, sosial/interpersonal, budaya dan sakral/spiritual.
5
Selain dari segi atraksi, potensi wisata dapat dikembangkan lebih optimal seperti Kampung Baluwarti dapat dijadikan sebagai kampung heritage, penyajian makanan tradisional, dan iklim zaman kerajaan yang kental. Apa yang disajikan oleh pengelola keraton baik dari lingkungan di dalam keraton dan lingkungan di luar keraton dapat mengoptimalkan obyek dan daya tarik keraton sehingga kunjungan
wisatawan
semakin
bertambah.
Wisatawan
akan
bertambah
pemahamannya tentang sejarah keraton serta kehidupan sosial budaya di dalam keraton. Disisi lain pengaruh konflik Keraton Surakarta dapat menjadi kendala utama dalam perkembangan daya tarik wisata budaya tersebut. Konflik tersebut berawal dari meninggalnya Raja Pakubuwono XII pada 2004 yang tidak memiliki permaisuri, sementara adat dan tradisi keraton menyebutkan yang berhak menjadi raja adalah anak laki-laki tertua dari permaisuri. Hal ini menyebabkan perseteruan anak dari mendiang Raja, Hangabehi dan Tedjowulan, yang menobatkan diri sebagai Pakubuwono XIII. Dampak dari perseteruan tersebut ternyata cukup besar yaitu pada tahun 2013 terjadi ditutupnya akses wisatawan ke keraton dalam sementara waktu (www.m.voaindonesia.com). Dikhawatirkan konflik tersebut akan berakibat pada menurunnya kunjungan wisatawan yang berjumlah sekitar 50 orang setiap harinya. Perkembangan Keraton Surakarta saat ini sedang dalam tahap renovasi, namun renovasi dilakukan di pendapa yang tidak boleh dikunjungi oleh pengunjung. Meskipun renovasi dilakukan pada tempat yang tidak boleh dikunjungi oleh pengunjung, tetapi hal ini menambah keindahan bangunan keraton dapat dilihat oleh pengunjung ketika berada di pelataran keraton. Obyek dan daya tarik wisata yang disajikan oleh pengunjung adalah museum keraton yang berisi benda-benda peninggalan sejarah seperti kereta kencana, kursi, artefak, baju tradisional, tombak, perhiasan raja dan permaisuri, kerajinan tradisional jaman kejayaan Keraton, foto Paku Buwono terdahulu dan masih banyak lagi, serta arsitektur bangunan keraton yang masih terjaga keasliannya. 6
Dari segi atraksi wisata budaya seperti sekaten dan kirab pusaka dan upacara adat seperti gerebeg dan wiyosan jumenengandalam atau peringatan ulang tahun Raja yang bertahta tidak mengalami modifikasi karena keraton tetap menjaga keaslian dan kesakralan atraksi budaya tersebut. Keraton menyajikan seperti yang sudah dilakukan secara turun temurun tanpa ada perubahan dalam atraksi budaya. Meskipun tanpa adanya perubahan atau inovasi dari segi atraksi budaya, atraksi wisata budaya keraton tetap menjadi daya tarik terbukti dengan diundangnya pihak perwakilan keraton dalam festival budaya di Jepang dan festival budaya di Kendari dengan menampilkan tari bedaya kethawang, hal ini membuktikan bahwa tanpa adanya perubahan dalam kegiatan budaya, upacara adat dan tarian tradisional wisatawan dan masyarakat di daerah lain tetap tertarik untuk menikmati kebudayaan tradisional Jawa. Keraton Surakarta yang merupakan keraton tertua dibandingkan dengan Keraton Yogyakarta dan Keraton Cirebon selalu menjaga nilai kesakralan yang juga tidak lepas dari hal-hal mistis. Sehingga bangunan keraton hanya dibuka sebagian untuk pengunjung, benda-benda peninggalan sejarah pun hanya sedikit yang disajikan dan tidak boleh dipegang. Namun kondisi museum keraton dan benda-benda koleksi yang kurang terawat, berdebu, dan ruangan museum yang gelap yang berarti hal ini terkait dengan biaya pemeliharaan. Untuk itu ada rencana renovasi pada museum ditahun 2016 sehingga ada wacana peningkatan tarif pengunjung demi kepentingan pemeliharaan dan pelestarian. Dengan kondisi yang kurang baik, keraton tetap mendapat kunjungan wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara sekitar 100 orang pada hari Sabtu dan Minggu serta kunjungan dari pihak akademisi seperti study tour dari SD, SMP, atau SMA dari luar Kota Solo. Antusiasme wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara memberi bukti bahwa keraton masih menjadi obyek dan daya tarik wisata. Selera wisatawan masih cukup tinggi terhadap wisata budaya yang berkaitan dengan kehidupan sosial, budaya, sejarah, nilai dan norma, filosofi kehidupan masyarakat Jawa, serta kehidupan masa lalu suatu masyarakat. 7
Renovasi terhadap museum keraton beserta benda-benda sejarahnya diharapkan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara sehingga Keraton Surakarta tetap menjadi simbol kejayaan sejarah masa lampau yang menjadi obyek dan daya tarik wisata budaya. Menarik untuk dicermati ketika simbol sejarah dengan kekuasaan raja dan kondisi yang apa adanya masih menarik minat wisatawan dalam negeri dan luar negeri. Hal tersebut kemudian penulis tuangkan dalam pembahasan penelitian yang berkaitan dengan perkembangan tata kelola obyek dan daya tarik wisata budaya Keraton Surakarta dari sudut pandang pengelola dan wisatawan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apa keunggulan wisata Keraton Surakarta menurut pengelola dan wisatawan? 2. Bagaimana perkembangan tata kelola Keraton Surakarta sebagai obyek dan daya tarik wisata budaya? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai, yaitu: 1. Untuk mengetahui unggulan dan daya tarik wisata Keraton Surakarta menurut pengelola dan wisatawan. 2. Untuk mengetahui perkembangan tata kelola Keraton Surakarta sebagai obyek dan daya tarik wisata budaya. D. Manfaat Penelitian Terdapat beberapa manfaat dalam penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat Teoritis a. Secara teoritis ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan atau acuan untuk penelitian sejenis maupun penyempurnaan pada penelitian serupa yang telah ada sebelumnya dalam lingkup yang lebih luas.
8
2. Manfaat Praktis a. Memberikan gambaran mengenai obyek wisata dan daya tarik wisata Keraton Surakarta serta perkembangan tata tata kelola obyek dan daya tarik wisata. b. Sebagai sarana edukasi bagi masyarakat terutama pengelola dan wisatawan untuk selalu peduli dan melestarikan obyek dan daya tarik wisata Keraton Surakarta supaya tetap eksis sebagai destinasi wisata budaya. c. Sebagai referensi maupun pertimbangan bagi pemerintah maupun instansi dalam melakukan kajian terkait perkembangan tata kelola obyek dan daya tarik wisata yang akan meningkatkan aspek pariwisata di daerah setempat.
9