BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pemanasan global merupakan isu lingkungan utama yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini. Pemanasan global berdampak buruk bagi lingkungan maupun manusia. Kementerian Riset Tekonologi dan Perguruan Tinggi Republik Indonesia (2012) menyebutkan bahwa dampak buruk bagi lingkungan diantaranya adalah menipisnya lapisan ozon, peningkatan suhu rata-rata di bumi, gangguan ekologi dan ekosistem, kebakaran hutan, mencairnya es di kutub utara, hingga meningkatnya volume air laut yang semakin tinggi. Dampak terhadap lingkungan berupa perubahan suhu maupun cuaca ekstrem memiliki dampak langsung pada manusia. Hal tersebut mendorong kesadaran masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Munculnya isu pemanasan global direspon positif oleh perusahaan dengan adanya konsep green branding. Implementasi dari green branding mampu menjadi pilihan alternatif bagi konsumen untuk memberikan manfaat bagi lingkungan. Konsumen memiliki ekspektasi untuk dapat memberikan kontribusi nyata untuk lingkungan melalui produk-produk yang mereka gunakan (Schleicher, 1989:257-281). Konsumen juga mengharapkan perusahaan hadir sebagai jalan untuk mencegah dampak lebih buruk dari pemanasan global. Perusahaan yang mampu menjadi bagian dari solusi atas permasalahan lingkungan akan membuat brand image atau citra dari perusahaan menjadi lebih positif. Isu pemanasan global berimplikasi pada berkembangnya responsible tourism. Akibatnya terdapat perubahan pola konsumsi bagi wisatawan, termasuk diantaranya dalam hal pemilihan hotel. Dewasa ini wisatawan semakin selektif untuk memilih hotel yang benar-benar menerapkan praktik ramah lingkungan (green hotel) dengan memanfaatkan sumber daya hemat energi dan berbasis produk lokal atau yang
15
tergabung dalam green industry (ecogreen hotel, eco suites, green hotel association). Dengan kesadaran dan preferensi konsumen tentang pentingnya menjaga lingkungan, perusahaan dipaksa untuk menyesuaikan diri dalam banyak hal seperti segi produksi, desain produk, kualitas, minimalisasi dampak produk terhadap lingkungan, hingga strategi komunikasi yang tepat untuk menerapkan green branding. Kenyataan menunjukkan bahwa tumbuh pesatnya jumlah hotel di Yogyakarta1 memiliki dampak serius bagi lingkungan, namun uniknya sejumlah hotel hadir dan justru melabeli diri sebagai hotel yang green dan ramah lingkungan. Menurut peneliti, tumbuhnya hotel di Yogyakarta juga diiringi dengan kerusakan lingkungan seperti kelangkaan air bersih. Di Yogyakarta, telah ada beberapa Hotel yang mulai memperhatikan aspek green, dua diantaranya adalah Hotel Santika Premiere Yogyakarta dan Greenhost Hotel. Pada Oktober 2015 Hotel Santika Premiere berhasil mendapatkan penghargaan 10 besar dengan urutan ke-3 dalam “Gebyar Green Hotel Award 2015”, sebuah acara yang diselenggarakan oleh Kemeterian Pariwisata Republik Indonesia. Acara penghargaan bagi hotel bintang empat dan lima ini telah berlangsung setiap dua tahun sekali sejak tahun 2009. Pada tahun 2013 lalu, Hotel Santika juga berhasil mendapatkan nominasi 20 Green Hotel terbaik di Indonesia. Menurut Siti Adiningsih Adiwoso, Ketua Tim Penyelenggara Gebyar Green Hotel 2015, penghargaan ini ditujukan untuk memberikan apresiasi terhadap hotel di Indonesia yang memiliki kebijakan, pengembangan, pengelolaan, dan kerja sama yang maksimal dalam penghijauan dan keramahan lingkungan di unit hotel mereka2. Sepuluh nominator terbaik akan mewakili Indonesia pada ajang ASEAN Green Hotel Award di Manila, Filipina. Hotel Santika Premiere Yogyakarta yang telah berdiri sejak tahun 1991 ini mengutamakan keasrian sebagai daya tarik utamanya. Tidak hanya itu, Hotel Santika Premiere Yogyakarta juga aktif melakukan kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk warga sekitar, seperti penanaman 700 pohon di Desa Kerug Munggang, 1
Perhimpunan Hotel dan restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta mencatat hingga akhir tahun 2013 terdapat 1.160 Hotel. Pada tahun 2015 hingga 2016 sebanyak 110 hotel baru siap dibangun di Yogyakarta. (Kompas.com, 2013) 2
TribunNews.com. (2015, Oktober 6). Green Hotel Award 2015, santika Premiere Jogjakarta Peringkat 3. http://www.tribunnews.com/regional/2015/10/06/green-hotel-award-2015-santikapremiere-jogjakarta-peringkat-3-nasional. Diakses tanggal 20 Januari 2016
16
Majaksingi, dan Borobudur, Magelang. Selain kegiatan penanaman, Hotel Santika Premiere juga melakukan CSR berupa pemberian sumbangan air bersih ke desa-desa di Gunungkidul dan Dlingo, Bantul. Segala aktivitas tersebut merupakan bagian dari green branding. Berbeda dengan Hotel Santika Premiere Yogyakarta, sebuah hotel yang berlokasi di Prawirotaman, Yogyakarta hadir dengan konsep hotel butik eco-green pertama di Indonesia yaitu Greenhost Hotel. Menurut asisant HR Manager, Dasa July Prasaja konsep perhotelan ini bertemakan kasual dan diharapkan memberikan pengalaman kreatif dalam bidang desain, seni, kerajinan, dan konsep pertanian kota3. Greenhost Boutique Hotel menawarkan pelayanan unik melalui art kitchen. Dengan membawa ide dapur terbuka, tamu tidak hanya dimanjakan dengan rasa makanan yang enak namun juga seni dalam penyajian4. Uniknya lagi, hotel ini dibangun menggunakan bahan bangunan ramah lingkungan termasuk beton yang terbuat dari fly ash, material daur ulang, dan penggunaan kembali (re-use) bahan-bahan seperti kayu, baja, serta besi5. Salah satu praktik bangunan lainnya yang ramah lingkungan yaitu dengan mengalihkan puing-puing yang digunakan selama konstruksi untuk didaur ulang pada proses manufaktur. Dasa menambahkan bahwa dalam masa pembangunan, hotel ini dibangun dengan meminimalkan penggunakan menggunakan cat dan bahan kimia. Selama masa pembangunan yang memakan waktu hingga satu tahun, Greenhost lebih banyak memberdayakan
masyarakat
sekitar
sehingga
mampu
memberikan
dampak
keberlanjutan yang lebih baik untuk lingkungan daripada menambah kuantitas alat berat.
3
Dasa July Prasaja. (2016, January 13). Personal Interview.
4
Mediani Dyah Natalia. (2014, November 21). Greenhost Rilis Art Kitchen. http://www.solopos.com/2014/11/21/greenhost-rilis-art-kitchen-553759, diakses tanggal 20 Januari 2016
5
Duncan Graham. (2015, January 13) Art and Design: How Green is my valet. http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/13/how-green-my-valet.html, diakses tanggal 20 Januari 2016
17
Terdapat 4 gagasan utama tentang urgensi mengenai penelitian ini. Pertama, penelitian dengan konteks green branding di Indonesia belum banyak diminati. Pendapat ini juga diperkuat oleh Patrick Hartmann (2005), meskipun green marketing telah menjadi topik penelitian penting lebih dari tiga dekade, namun hampir tidak ada penelitian yang telah dilakukan berfokus pada green branding. Berdasar hasil observasi peneliti belum ditemukan penelitian mengenai bagaimana cara perusahaan atau organisasi berkomunikasi kepada publik hingga akhirnya mencapai brand image positif melalui green branding.
Penelitian sebelumnya lebih banyak memotret tentang
pengaruh green brand terhadap keputusan pembelian dan kepuasan konsumen. Padahal menurut peneliti untuk mencapai keputusan pembelian maupun kepuasan konsumen, dibutuhkan strategi komunikasi yang tepat pada target audiens melalui green branding. Kedua, pemahaman tentang konsep green branding di Indonesia perlu ditingkatkan karena masih terdapat indikasi bahwa penerapan dari green branding masih bersifat parsial dengan sekadar melakukan greenwash atau praktik klaim tentang lingkungan yang dibuat untuk menunjukkan tanggung jawab lingkungan yang tidak didukung dengan bukti-bukti. Green branding bukan hanya menyoal tentang branding produk atau tempat yang “hijau.” Roper (2010: 1) menambahkan bahwa dalam konteks kompleks keprihatinan tentang kerusakan lingkungan, terutama perubahan iklim, tanpa integritas penuh, green branding adalah strategi bisnis dengan risiko tinggi. Ketiga, ada banyak temuan menarik dari objek penelitian, yaitu pada Hotel Santika Premiere Yogyakarta dan Greenhost Hotel. Pada Hotel Santika Premiere, brand ini telah berhasil mendapatkan nominasi Green Hotel Award pada tahun 2013 dan 2015. Usia perusahaan yang dapat dibilang matang dapat menjadi keunggulan tersendiri. Hotel ini mampu beradaptasi pada tuntutan lingkungan masyarakat global untuk menjadi green hotel. Sedangkan pada Greenhost Hotel, sejak awal pembangunannya memang ingin menerapkan kebaikan pada lingkungan. Hotel yang dibangun selama satu tahun
ini
mengedepankan
prinsip
pemberdayaan
masyarakat
sekitar
untuk
pembangunan hotel, selain itu nilai tambah dari Greenhost merupakan konsep butik eco-green hotel pertama di Indonesia. Secara umur, Greenhost baru satu tahun berdiri, namun perusahaan ini mampu mencapai awareness cukup tinggi dari masyarakat.
18
Keempat, pentingnya melakukan studi komparasi dalam penelitian ini adalah untuk mencari jawaban secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu dengan cara membandingkan
(Nazir, 2005:58).
Penelitian ini mencoba membandingkan
bagaimana strategi komunikasi yang dilakukan oleh Greenhost Hotel dan Santika Premiere Yogyakarta pada tahun 2015. Pada tataran awareness keduanya berada pada level yang sama untuk dikenal sebagai green hotel di mata media meskipun secara umur keduanya jelas berbeda6. Strategi green branding diekspektasikan dapat memperkuat brand image dan menjadikan brand image perusahaan dimata konsumen menjadi lebih positif (Prasetyo, 2015:13-15).
Konsumen
cenderung
melakukan
keputusan
pembelian
pada
perusahaan/produk yang mempunyai brand image positif (Pawitra, 2001:83). Mereka membeli produk dengan merek yang lebih dikenal, hal ini dikarenakan adanya dukungan persepsi konsumen yang mengatakan bahwa merek terkenal mempunyai kualitas yang baik dan dapat diandalkan dibanding dengan merek yang tidak terkenal (Aaker, 1991). Penelitian yang dilakukan oleh Narjono (2012) dan Musay (2013) dalam (Romadon, 2014:3) mendapatkan hasil bahwa brand image mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian barang atau jasa. Maka jika disimpulkan, green branding berpengaruh untuk memperkuat brand image dan image yang kuat berpengaruh signifikan pada keputusan pembelian. Namun, untuk membangun image yang kuat di benak konsumen dibutuhkan strategi komunikasi green branding yang tepat. Berdasar pada permasalahan tersebut, maka peneliti ingin melihat lebih jauh bagaimana perbandingan strategi komunikasi green branding yang digunakan untuk membangun brand image dari Hotel Santika Premiere maupun Greenhost Hotel.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari latar belakang masalah diatas, maka peneliti memberikan rumusan masalah sebagai berikut, yaitu bagaimana perbandingan strategi komunikasi green
6
Hotel Santika Premiere Yogyakarta dan Greenhost Hotel telah diliput oleh beberapa media lokal maupun nasional seperti Tribun Jogja, Kedaulatan Rakyat, dan Kompas.
19
branding dari Hotel Santika Premiere Yogyakarta dan Greenhost Hotel dalam membangun brand image-nya?
C.
BATASAN MASALAH
Dalam penelitian ini peneliti membatasi masalah pada strategi green branding yang dilakukan oleh Hotel Santika Premiere Yogyakarta dan Greenhost Hotel dalam membangun brand image-nya dalam kurun waktu (Januari-Desember) 2015. Sehingga untuk mengetahui dampak atau effect dari strategi yang telah dilakukan butuh penelitian lebih lanjut dan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai referensi.
D. TUJUAN PENELITIAN Berdasar pada identifikasi masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1.
Mengetahui strategi komunikasi green branding yang digunakan untuk meningkatkan brand image dari Greenhost Hotel
2.
Mengetahui strategi komunikasi green branding yang digunakan untuk meningkatkan brand image dari Hotel Santika Premiere Yogyakarta
3.
Membandingkan strategi komunikasi green branding yang digunakan untuk meningkatkan brand image dari Greenhost Hotel dan Hotel Santika Premiere Yogyakarta
E.
MANFAAT PENELITAN Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan secara
akademik bagi pengembangan Ilmu Komunikasi secara umum, dan komunikasi pemasaran khususnya mengenai brand management dan green branding. Secara praktis, penelitian studi kasus ini diharapkan memberikan pemahaman yang mendalam bagi perusahaan yang akan melakukan green branding mengenai pentingnya membangun value atau nilai untuk keperluan green branding. Selain itu
20
penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran pada khalayak tentang strategi komunikasi yang dapat dijalankan untuk membangun sebuah green branding.
F.
KERANGKA PEMIKIRAN Untuk memberikan landasan yang jelas mengenai struktur berfikir dalam
penelitian ini, maka disususunlah kerangka pemikiran sebagai berikut, meliputi industri perhotelan dan green tourism, brand, branding, green marketing, green branding, strategi komunikasi dalam sustainable development, dan brand image atau citra merek. Sub-bab tersebut merupakan pokok-pokok pikiran yang menunjukkan sudut pandang yang akan digunakan peneliti untuk memberikan gambaran yang jelas tentang masalah. Kerangka pemikiran merupakan dasar dalam menjelaskan fenomena yang akan diteliti, oleh sebab itu pemaparan akan diberikan dalam bentuk deduktif, yakni dimulai dari teori makro ke mikro yang sesuai dengan konteks penelitian.
I.
Industri Perhotelan dan Green Tourism Industri perhotelan termasuk dalam industri yang menawarkan jasa pelayanan kamar, penyediaan makanan dan minuman, laundry, serta jasa lainnya bagi masyarakat umum yang dikelola secara komersial. Menurut Kotler (2014: 9) industri perhotelan terdiri atas bisnis yang menawarkan satu atau lebih dari pilihan pilihan seperti akomodasi, makanan dan minuman, dan atau hiburan. Hotel merupakan salah satu sarana pendukung utama yang menunjang dalam bisnis pariwisata. Hotel juga merupakan industri potensial yang apabila dikembangkan dapat menggerakan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bagi masyarakat. Kehadiran hotel di suatu daerah dapat dipandang melalui dua sisi. Dari sisi positif, kehadiran hotel menunjukkan tingkat pembangunan daerah yang mulai tumbuh, masyarakat yang semakin dinamis, serta perbaikan ekonomi masyarakat sekitar. Industri perhotelan dari sisi ekonomi dapat dilihat sebagai mesin penambah devisa bagi negara ataupun daerah melalui pajak dan retribusinya. Namun disisi lain potensi kerusakan lingkungan seperti kelangkaan air, pengurangan lahan hijau, dan risiko pembuangan limbah jelas mengancam.
21
Tumbuhnya industri perhotelan juga diiringi dengan tumbuhnya travel industry (Kotler,2014:10). Keduanya merupakan bagian dari tourism. Tourism atau lebih familiar disebut sebagai pariwisata adalah salah satu sektor pertumbuhan unggulan dalam ekonomi global. Pertumbuhan tourism industry tahun demi tahun telah menciptakan peningkatan jumlah stres pada lingkungan hidup. Misalnya, sebagai akibat dari meningkatnya pariwisata di Goa, India, hotel dapat menghisap hingga 66.000 galon air per hari dari sumur dan lainnya (Alexander, 2002:2). Oleh karena itu, konsep green tourism mulai dilirik oleh masyarakat dunia. Hari ini green tourism lebih berorientasi pada alam dan lingkungan. Di Amerika Serikat, 43 juta turis menganggap dirinya sebagai bagian dari green-tourism. Ini merupakan pasar potensial yang berkembang untuk pilihan ramah lingkungan dalam industri pariwisata. Banyak industri hotel telah mengakui dampak negatif kegiatan bisnis mereka terhadap lingkungan dan telah mengambil tindakan untuk mengurangi dampak tersebut, salah satunya melalui CSR. Lingkungan praktik bisnis yang bertanggung jawab dengan baik sebanding dengan popularitas yang didapatkan dari ekowisata. Mereka mampu menyelaraskan pariwisata dan kelestarian lingkungan. Istilah "green hotel" menggambarkan hotel yang berusaha untuk menjadi lebih ramah lingkungan melalui efisiensi penggunaan energi, air, dan bahan serta memberikan layanan yang berkualitas. Hotel hijau berkontribusi untuk melestarikan lingkungan dengan menghemat air, mengurangi penggunaan energi, dan mengurangi limbah padat. Mereka telah melihat manfaat seperti pengurangan biaya dan kewajiban, return yang tinggi, investasi berisiko rendah, keuntungan meningkat, dan arus kas positif. Hotel secara konsisten menjadi lebih hijau. Penggunaan yang paling mahal dan boros sumber daya di hotel biasanya pada konsumsi energi tak terbarukan, penggunaan air yang berlebihan, dan pembuangan limbah. Green hotel menjadi alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah internal, selain itu konsep ini merupakan salah satu komponen dalam sustainability tourism, yang didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan untuk mewujudkan keberlajutan
22
dengan melestarikan sumber daya alam, serta memberikan sumbangan pada sektor ekonomi Graci & Dodds, 2008 dalam (Sinangjoyo, 2013:84).
II.
Brand, Branding, dan Brand Image (Citra Merek) Brand telah didefinisikan oleh banyak ahli melalui tiga jenis pendekatan yakni secara verbal, visual, dan perilaku. Beberapa ahli yang termasuk dalam kategori visual adalah (Kotler,2013:253) serta (Fantanariu, 2012: 1); dalam kategori verbal terdapat Clow and Baack (2007); dan dalam kategori perilaku terdapat (Wheeler, 2009:2) serta (Kotler, 2013:267). Pandangan visual menyatakan bahwa brand merupakan sebuah nama, istilah, tanda, desain, ataupun sebuah kombinasi elemen-elemen tersebut yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan barang atau jasa seseorang atau beberapa penjual dan untuk membedakannya dari barang atau jasa yang dimiliki pesaing (Kotler,2013:255). Sedangkan pandangan verbal menyatakan bahwa brand merupakan sebuah nama yang umumnya diberikan kepada sebuah barang dan jasa atau sebuah kumpulan barang pelengkap (Clow and Baack, 2007:55). Serta pandangan berbasis perilaku yang mengatakan bahwa brand merupakan sebuah perasaan mendalam yang dimiliki seseorang terhadap sebuah produk, jasa, atau perusahaan (Wheeler, 2009:2); brand dikatakan lebih dari sekadar nama dan simbol sebagai elemen kunci dalam hubungan perusahaan dengan pelanggan, brand mewakili persepsi dan perasaan konsumen tentang produk dan segala kinerjanya yaitu produk atau layanan yang berarti untuk konsumen, dan brand ada di dalam benak konsumen (Kotler, 2013:267). Produk dan brand memiliki perbedaan yang signifikan. Menurut Batey dikutip dari
(Yananda & Salamah, 2014: 52) sebuah produk dibeli karena
kegunaannya, sedangkan brand dibeli karena ada tambahan makna atau value yang terkandung di dalamnya. Produk berada di rak atau etalase penjual serta sifatnya yang mudah ketinggalan jaman, sedangkan brand berada di benak pembeli dan tidak terikat oleh waktu. Selain itu, sebuah produk dapat ditiru oleh pesaing sedangkan brand lebih bersifat unik. Menurut Keller dikutip dari
23
(Yananda & Salamah, 2014: 52) perbedaan antara produk dan brand dapat dibandingkan secara rasional maupun simbolik, emosional, dan tidak kasat mata. Branding dan positioning merupakan konsep kunci dalam marketing. Meskipun berhubungan satu sama lain, keduanya berbeda. Tujuan dari positioning adalah tentang identifikasi target khalayak dan membuat diferensiasi diantara kompetitor, sedangkan branding menyoal tentang identitas produk dan klaim atas posisi brand dalam benak konsumen. Secara definitif Kotler (2014) menyebutkan branding sebagai proses penyematan produk dan layanan dengan kekuatan merek. Ini semua tentang menciptakan perbedaan diantara produk. Proses ini harus hati-hati dikembangkan dan dikelola. Branding telah menjadi salah satu aspek yang paling penting dari strategi bisnis. Namun juga salah satu komponen yang masih sering terdapat kesalahpahaman karena dianggap sebatas kepanjangan dari fungsi iklan. Ada pula yang beranggapan bahwa branding sebatas tentang pengelolaan image produk. Holt (2012:1-2) memberikan pandangan bahwa branding adalah tentang cara pandang strategis, dan bukan seperangkat pilihan kegiatan. Branding juga berorientasi pada penciptaan value, bukan hanya image. Strategi branding yang efektif harus mengatasi empat komponen yang berbeda dari nilai merek. Untuk dapat dikatakan efektif, strategi branding harus "direkayasa" ke dalam bauran pemasaran. Strategi branding adalah bagian penting dari strategi pemasaran secara keseluruhan. Strategi branding memberikan tujuan dalam fungsi komunikasi. Karena brand, konteks bisnis, dan tujuan perusahaan bervariasi sehingga tidak ada aturan universal untuk merancang strategi brand (Holt, 2012: 6). Branding sebagaimana disinggung di awal tulisan merupakan komponen penting bagi perusahaan. Branding juga merupakan bentuk investasi jangka panjang. Untuk itu fungsi ini tidak boleh disepelekan begitu saja. Tujuan yang hendak di capai dari branding ini pada akhirnya adalah citra. Citra yang baik akan memberikan manfaat kepada sales serta marketing secara tidak langsung. Altuna (2010) menyatakan bahwa merek adalah hal yang paling penting dan juga dapat menjadi aset yang paling berharga bagi pemilik perusahaan. Citra
24
merupakan tujuan pokok dari sebuah perusahaan atau institusi. Terciptanya suatu citra perusahaan (corporate image) yang baik dimata khalayak atau publiknya akan banyak menguntungkan. Menurut Kotler dalam (Prasetyo, 2015: 13-17) citra merek adalah persepsi dan kepercayaan yang dianut oleh pelanggan, seperti yang tercermin dalam asosiasi pelanggan di benaknya. Citra merek adalah bagian dari merek itu sendiri yang dapat dikenali, namun sulit untuk dijelaskan secara lisan. Bagi perusahaan, citra juga dapat diartikan sebagai persepsi masyarakat terhadap jati diri pada perusahaan. Mengembangkan citra yang kuat membutuhkan kreativitas dan kerja keras. Image tidak dapat ditanamkan di benak publik dalam semalam atau disebarluaskan acak melalui media saja. Sebagai gantinya, image harus disampaikan melalui komunikasi strategis dan digunakan terus menerus. Untuk membangun citra, setidaknya ada beberapa konsep tentang brand image yang perlu dipahami (Patrik, 2007). Konsep dalam brand image tersebut adalah:
Perceived image, yaitu interpretasi umum atas sebuah citra, dan merupakan bayangan citra yang dimiliki oleh kelompok sasaran tentang brand. Hal ini merupakan tipe paling penting dalam pemasaran. Desired image, yaitu citra yang diinginkan perusahaan dalam positioning di pasar. Hal ini merupakan bagian dari strategi untuk mengarahkan perceived image dari konsumen agar sesuai dengan citra yang perusahaan inginkan. Presumed image, yaitu citra yang dibayangkan perusahaan ada pada konsumen. Bisa jadi terdapat perbedaan antara apa yang konsumen bayangkan dengan apa yang perusahaan pikirkan. Untuk itu perusahaan perlu melakukan investigasi lebih lanjut untuk dapat membuktikannya. Sebagai sebuah strategi, perusahaan dapat bermain di ranah desired image, atau image yang diharapkan oleh perusahaan. Namun, berkonsentrasi di bagian
25
itu saja tidaklah cukup karena perceived image tetap menjadi ukuran utama untuk menentukan citra yang ada pada konsumen.
III.
Green Marketing dan Green Branding Menurut Kotler (2014:17) marketing dan penjualan adalah dua hal yang berbeda. Input yang dibutuhkan dalam penjualan yaitu pabrik sedangkan dalam marketing yaitu pasar. Fokus dari penjualan adalah produk yang dihasilkan sedangkan dalam marketing berupa kebutuhan konsumen. Kemudian bila dilihat dari tujuan akhirnya, marketing berorientasi untuk memperoleh keuntungan melalui
kepuasan
konsumen
sedangkan
penjualan
berorientasi
pada
keuntungan melalui jumlah penjualan. Green marketing menurut Peattie dalam Sinangjoyo (2013: 86) merupakan proses manajemen holistik dan bertanggung jawab untuk memuaskan kebutuhan pelanggan, masyarakat, pemangku kepentingan, beserta lingkungan alam. Sedangkan istilah green tourism marketing atau environmental marketing juga dikenal sebagai bagian dari responsible tourism marketing (Coddington, 1993: 87). Dalam industri pariwisata istilah tersebut merupakan penjabaran dari konsep besar pengembangan kepariwisataan berkelanjutan (sustainable tourism and development). Perbedaan signifikan yang perlu dipahami antara green marketing dan green branding terletak pada tujuan. Dalam green marketing tujuan yang ingin dicapai adalah keuntungan yang didapat melalui kepuasan konsumen. Sedangkan dalam green branding tujuan akhirnya adalah value dan image yang dicapai oleh brand itu sendiri. Definisi dari green brand dijelaskan sebagai identifier dan differentiator yakni sebuah konstruksi yang dipilih oleh pemiliknya berupa logo, nama, simbol, karakter dan lainnya yang dapat diidentifikasi dan dibedakan dari produk dan jasa lain yang sejenis berdasarkan komitmennya terhadap pelestarian lingkungan, Hartmann, 2005: 10; Lamb, Hair dan McDaniel, 2001:421; Tjiptono, 2005:19 dalam (Ayu Almaulidta, 2015).
26
Menurut Insch (dalam Kaefer, 2014) green branding adalah proses pemerekan di mana nilai-nilai lingkungan mensubstitusi esensi dari brand. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan masalah lingkungan, penekanan pada aspek kelestarian lingkungan pada produk mulai diperhatikan. Permintaan pasar global yang besar pada produk-produk yang ramah lingkungan membuat perusahaan melihat hal ini sebagai ceruk pasar yang dapat dimaksimalkan. Perusahaan mencoba membuat hubungan antara lingkungan hijau dan gaya hidup. Berdasar pada Patrick Hartmann (2005) pada dasarnya terdapat dua pendekatan untuk green brand positioning: fungsional dan emosional. Dimana pendekatan fungsional lebih mengedepankan pikiran rasional pada rincian informasi
tentang
manfaat
lingkungan,
sedangkan
untuk
emosional
menekankan manfaat merek yang terkait dengan kebutuhan emosional masyarakat, seperti perlindungan lingkungan, atau dengan menunjukkan kesadaran lingkungan pada orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hartmann menunjukkan atribut fungsional saja tidak cukup untuk meyakinkan konsumen potensial tentang manfaat suatu produk. Sebaliknya dibutuhkan kombinasi posisi fungsional dan emosional sehingga dapat membentuk persepsi brand yang kuat. Strategi green branding paling efektif akan mengejar penciptaan manfaat emosional ditopang oleh informasi pada atribut fungsional ramah lingkungan. Pendapat ini juga dikuatkan oleh UK think tank Forum Future (2008), yang menyebutkan bahwa kepercayaan brand mengacu pada pentingnya memberikan informasi produk secara terperinci. Popularnya green branding dan positioning dari produk berdasar pada kelestarian lingkungan dipahami sebagai reaksi atas tuntutan kesadaran masyarakat. Pada dasarnya, dalam masyarakat risiko saat ini, warga dan konsumen yang peduli telah menjadi semakin waspada pada isu lingkungan dan sadar akan kebutuhan keberlajutan. Anholt (dalam Kaefer, 2014) menekankan banyak masyarakat dunia menghardik dan tidak menaruh hormat pada negara atau pemerintahan yang berkontribusi untuk membuat polusi pada planet ini, melakukan tindakan korupsi, dan menginjak-injak hak asasi manusia. Dalam
27
konteks ini, kemanusiaan menjadi poin utama yang akan sangat mendukung prospek baik tentang green branding. Berdasar pada pengertian dari para pakar diatas, green branding dapat diartikan sebagai proses atau usaha membentuk merek dari perusahaan dengan mensubsitusi nilai kebaikan terhadap lingkungan untuk mempermudah perusahaan dalam mengomunikasikan produknya kepada pasar target dengan menggunakan kalimat positioning, slogan, logo, eksebisi, event, dan berbagai media lainnya, disertai dengan persepsi yang baik secara emotional dan fungsional. Selain itu berfungsi sebagai identitas dan pembeda antara merek satu dengan merek lainnya. Sebagai sebuah strategi komunikasi, green branding memiliki tujuan untuk mencapai awareness yang tinggi dari masyarakat serta mendapatkan persepsi yang baik tentang esensi nilai lingkungan sehingga dapat meningkatkan nilai investasi dan keuntungan bagi perusahaan.
IV.
Strategi Komunikasi dalam Sustainable Development Pemikiran tentang strategi komunikasi telah banyak dijelaskan oleh para pakar. Strategi pada dasarnya merupakan perencanaan dan manajemen dalam mencapai sebuah tujuan. Mintzberg (1991:23) berpendapat bahwa strategi berkaitan dengan empat hal, yaitu: a. Strategy as a plan, strategi merupakan suatu rencana yang menjadi pedoman bagi organisasi untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. b. Strategy as a pattern, strategi merupakan pola tindakan konsisten yang dijalankan organisasi dalam jangka waktu yang lama. c. Strategy as a position, strategi merupakan cara organisasi dalam menempatkan produk atau jasa dalam pasar spesifik. d. Strategy as a perspective, strategi merupakan cara pandang organisasi dalam menjalankan kebijakan. Cara pandang ini berkaitan dengan visi misi organisasi. Berbeda dengan Minzberg, sebuah pemikiran tentang strategi komunikasi dalam bingkai sustainable development mulai dikembangkan. Sejak Konferensi Rio pada tahun 1992, GTZ konsen pada isu-isu komunikasi dalam
28
kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. GTZ adalah pelopor dalam bidang pendidikan lingkungan dan komunikasi pada pertengahan tahun 1990, dan dibangun dengan kemitraan strategis bersama IUCN’s Commission for Education and Communication (CEC), OECD’s Development Assistance Committee (DAC) dan lainnya. Tahun 2006, GTZ merilis sebuah handbook yang fokus pada 10 strategi komunikasi dalam sustainable development yang meliputi siklus analisis, perencanaan, produksi, dan refleksi. Menurut GTZ Setidaknya terdapat lima cabang pendekatan dalam komunikasi strategis untuk sustainable development. Dengan pengalaman bertahun-tahun dalam komunikasi dari sektor lain seperti pedesaan, kesehatan, keluarga berencana serta AIDS, tim peneliti mencoba menambahkan pendekatan seperti pemasaran sosial, non-formal, hiburan dan edukasi, manajemen konflik, mobilisasi, dan kepemilikan dalam spektrum ini. Berikut merupakan 5 cabang dari strategi komunikasi untuk sustainable development: 1. Development and environmental communication 2. Social marketing 3. Non formal and environmental education 4. Civil society mobilization 5. Conflict management and negotiation Dari kelima cabang tersebut, untuk cabang ekologi atau lingkungan yang menjadi salah satu fokus dalam penelitian ini, maka direkomendasikan untuk menggunakan pendekatan pada nomor 1, 3, dan 5. Berdasar pada pendekatan tersebut, Oopen (2006) membuat kerangka berupa
10
tahapan
dalam
strategi
komunikasi
development: 1. Situation and problem analysis 2. Audience Analysis 3. Communication objectives 4. Communication strategy formulation
29
berbasis
sustainable
5. Involvement of strategic groups 6. Media selection and mix 7. Message design 8. Media pre-testing and production 9. Media use 10. Process documentation and impact assessment. Melalui serangkaian proses tersebut, tujuan yang hendak dicapai dari strategi komunikasi dalam sustainable development adalah citra merek yang baik bagi perusahaan di mata konsumen.
G. KERANGKA KONSEP Di bagian kerangka pemikiran peneliti telah memberikan gambaran tentang industri perhotelan dan green tourism serta konsep-konsep kunci seperti brand, branding, green branding dan perbedaannya dengan green marketing, serta brand image atau citra. Sedangkan untuk kerangka konsep peneliti akan memaparkan narasi logika penelitian, termasuk di dalamnya memuat konsep yang akan digunakan sebagai dasar analisis. Pembahasan dalam kerangka konsep berikut akan lebih mengerucut pada konteks industri perhotelan di Yogyakarta, strategi komunikasi green branding, dan proses komunikasi dalam pembentukan citra. Sedangkan secara teori, penelitian ini akan memuat tentang tiga konsep pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1 Kerangka Konsep Penelitian
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan wisata utama di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (2013) jumlah wisatawan asing dan domestik pengguna hotel terus mengalami peningkatan hingga 3,8 juta orang. Jumlah ini terus meningkat jika dibandingkan dengan jumlah wisatawan sebanyak 3,5 juta orang pada tahun sebelumnya. Jumlah wisatawan yang terus meningkat membawa pengaruh
30
terhadap meningkatnya kebutuhan akan berbagai fasilitas wisata terutama penggunaan hotel sebagai tempat menginap wisatawan yang datang di Yogyakarta. Adanya peningkatan tersebut menjadi peluang bagi investor-investor untuk masuk kedalam industri perhotelan dengan melakukan pembangunan hotel-hotel baru di Yogyakarta. Berdasar data BPS jumlah hotel yang ada di Yogyakarta hingga tahun 2013 mencapai 1.160 hotel. Kemudian pada tahun 2015 hingga 2016 sebanyak 110 hotel baru siap dibangun. D.I
Yogyakarta
awalnya
merupakan
daerah
pertanian
yang
dalam
perkembangannya mengalami perubahan menjadi kota yang didominasi oleh kegiatan perdagangan, hotel, dan restoran. Hal tersebut dapat dilihat dari sumber utama pertumbuhan ekonomi D.I. Yogyakarta tahun 2013 bersumber dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan andil 1,31% dan diikuti sektor jasa-jasa serta sektor industri pengolahan lain sebesar 0,98% (Badan Pusat Statistik, 2013). Tumbuhnya hotel-hotel di Yogyakarta berbanding terbalik dengan lahan pertanian serta pemukiman yang tersedia. Akibatnya, sejumlah daerah resapan air berubah menjadi beton bertingkat. Belum lagi masalah lingkungan lainnya yang ditimbulkan setelah hotel beroperasi seperti kelangkaan air. Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (WALHI DIY), Chalik Candra mengatakan bahwa, "bertambahnya hotel di sepadan sungai mengakibatkan penurunan debit air tanah7." Kenyataan menunjukkan bahwa tumbuh pesatnya jumlah hotel di Yogyakarta memiliki dampak serius bagi lingkungan, namun sejumlah hotel justru hadir dan memposisikan diri sebagai hotel yang green dan ramah lingkungan dengan menggunakan green branding. Ottman dalam (Kaefer, 2014) berpendapat bahwa pada kasus bisnis sosial dan lingkungan, nilai sustainable development adalah kuncinya. Pernyataan tersebut bukan didasarkan karena sesuatu yang bersifat "hijau" mulai mainstream dan dipandang keren, namun karena pendekatan siklus hidup dan strategi bisnis yang berkelanjutan lainnya dapat menyebabkan inovasi produk dan jasa yang 7
Novi Arisa. (2014, August 7). Pengelola Hotel DIY Harus Perhatikan Dampak Lingkungan. http://www.rri.co.id/yogyakarta/post/berita/95581/lingkungan/pengelola_hotel_di_diy_harus_pe rhatikan_dampak_lingkungan.html, diakses tanggal 20 Januari 2016
31
mengarah pada nilai konsumen lebih baik, peningkatan merek, dan perusahaan yang kuat. Green branding bukan lagi dipandang sebagai sekadar market positioning. Produk harus benar-benar menjadi lebih hijau dalam realitasnya dan brand harus memiliki tanggung jawab kepada sosial secara periodik. Konsumen tidak mengharapkan kesempurnaan, mereka mengambil pandangan kritis pada logo daur ulang serta klaim hijau perusahaan. Brand dipandang sebagai alternatif jalan keluar atas kebuntuan selama ini. Keaslian dan kredibilitas menjadi kata kunci selanjutnya untuk mendapatkan hati konsumen. Oopen (2006) memberikan 10 konsep yang dapat digunakan dalam mengukur strategi komunikasi. Dalam penelitian ini, konsep tersebut akan digunakan sebagai parameter untuk menganalisis perbandingan strategi komunikasi yang digunakan oleh Hotel Santika Premiere dan Greenhost Hotel Yogyakarta. Berikut merupakan penjabaran 10 konsep dalam strategi komunikasi menurut Oopen: 1. Situation analysis. Ada banyak metode yang dapat digunakan untuk melihat analisis situasi salah satunya adalah dengan menggunakan Participatory Rapid Appraisal (PRA). 2. Audience analysis. Segmentasi audiens sangat penting untuk strategi komunikasi secara keseluruhan. Ada banyak cara untuk menentukan segementasi audiens. Penentuan target audiens juga merupakan bagian dari strategi itu sendiri. 3. Communication objectives. Melalui pesan yang muncul, tujuan komunikasi dapat dianalisis dan dirancang untuk sesuai dengan segmentasi audiens. 4. Strategy design. Efektifitas dari strategi komunikasi berbasis lingkungan tergantung pada tahap perencanaan yang spesifik dan sistematis. Perencanaan strategis mencerminkan masalah yang di identifikasi dan pengumpulan informasi. Rencana tersebut harus menguraikan tindakan manajemen yang akan diambil dalam menerapkan strategi. Strategi perencanaan dapat didefinisikan sebagai kemungkinan penggunaan terbaik dari sumber daya yang tersedia seperti, waktu, dana, dan staf, untuk mencapai dampak yang diinginkan. 5. Participation of strategic groups. Partisipasi adalah proses memotivasi dan memobilisasi orang untuk menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk
32
menyelesaikan sebuah tujuan. Pentingya membidik kelompok strategis untuk memberikan pengaruh lebih besar pada lingkungan sekitar. 6. Media selection and mix. Tidak ada media yang efektif untuk semua tujuan komunikasi atau menargetkan semua target audiens. Media dan saluran komunikasi yang berbeda melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Masingmasing media memiliki karakteristik yang unik untuk dikombinasikan. 7. Message design. Merancang pesan dapat melalui dua aturan dasar, yaitu dengan AIDA (Awareness-Interest-Desire-Action) atau KISS (Keep It Short Simple). 8. Media production and pretesting. Media atau material yang telah terpilih sebaiknya tidak langsung diproduksi dalam jumlah besar. Butuh koordinasi dan peluncuran waktu yang tepat agar tujuan dapat tercapai. Untuk itu dibutuhkan uji coba pesan pada sebagian kecil target audiens. 9. Media use. Pemilihan media adalah komponen penting dalam strategi komunikasi. Pemilihan media yang tepat akan berdampak pada keberhasilan pesan disampaikan. Untuk itu, manajemen media berupa ruang penempatan, waktu, material yang digunakan, budget, serta perencanaan haruslah diperhatikan. 10. Monitoring & evaluation and process documentation. Melalui keterangan kronologis untuk memonitor dan analisis keputusan kritis, sukses tidaknya strategi komunikasi ditentukan selama perencanaan, pelaksanaan, hingga manajemen generalisasi. Sehingga proses evaluasi harus dimulai sejak awal. Tidak lupa pentingnya dokumentasi untuk menjadi arsip yang berguna dikemudian hari. Secara keseluruhan, konsep yang disajikan oleh Oopen (2006) tersebut berada dalam bingkai strategi komunikasi sustainble development, dimana green branding merupakan bagian di dalamnya. Green branding sebagai sebuah strategi komunikasi akan dibedah menggunakan pemikiran Patrick Hartmann. Menurutnya terdapat dua pendekatan untuk strategi green brand, yaitu fungsional dan emosional. 1. Pendekatan fungsional lebih mengedepankan pikiran rasional pada informasi tentang manfaat lingkungan. Strategi ini bertujuan untuk
33
membangun asosiasi merek dengan memberikan informasi produk yang ramah lingkungan secara rinci. Strategi mencoba memperlihatkan keunggulan produk hijau dibandingkan dengan produk konvensional, serta keunggulan pada proses produksi maupun penggunaan produk. 2. Pendekatan emosional menekankan manfaat merek yang terkait dengan kebutuhan emosional masyarakat, seperti perlindungan lingkungan, atau dengan menunjukkan kesadaran lingkungan pada orang lain. Strategi ini bertujuan untuk membangun kepuasan personal konsumen karena telah menggunakan produk maupun jasa yang baik untuk lingkungan. Dibutuhkan kombinasi strategi fungsional dan emosional sehingga dapat membentuk persepsi brand yang kuat. Strategi green branding yang efektif akan mengejar penciptaan manfaat emosional ditopang oleh informasi pada atribut fungsional ramah lingkungan. Dengan menggunakan pemikiran para pakar sebagai parameter, penelitian ini nantinya akan membandingkan dan menganalisis temuan yang ada pada Hotel Santika Premiere dan Greenhost Hotel dalam membangun citra merek. Citra berkontribusi banyak pada brand, hal ini didukung penuh oleh fungsi komunikasi dan marketing dalam perusahaan. Pada kenyataannya, citra lebih banyak membantu manajemen puncak perusahaan untuk mengambil keputusan strategis tentang masa depan perusahaan. Citra merek juga membantu konsumen untuk memproses informasi sebagai gambar abstrak dari semua tayangan. Ini adalah prosedur menyederhanakan
yang
meningkatkan
pengakuan
merek,
pembelian,
dan
pengembangan loyalitas merek. Mikhail Kavaratzis dalam (Yananda & Salamah, 2014: 76) memberikan gambaran bagaimana brand berkomunikasi untuk membentuk citra melalui pilihan dan perlakuan yang sesuai, baik itu fungsional maupun bermakna simbolik. Identitas yang dikomunikasikan terdiri dari komunikasi primer (pengalaman langsung konsumen terhadap barang atau jasa); komunikasi sekunder (iklan dan kegiatan promosi lainnya); dan komunikasi tersier (word of mouth atau getok tular). Kerangka kerja dari Kavaritzis ini juga nantinya akan menjadi salah satu dasar dalam melakukan analisis. Komunikasi primer menggarisbawahi tentang potensi pengaruh dari tindakan yang dilakukan oleh perusahaan atau organisasi. Termasuk dalam komunikasi primer
34
adalah arsitektur dan tempat, sebagai konsep fisik, layanan, serta visi dari perusahaan. Komunikasi sekunder terkait dengan segala aktivitas pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan secara terencana seperti event, iklan, public relations, penggunaan slogan, serta logo. Komunikasi yang berlangsung di tingkat sekunder ini bersifat formal dan terencana. Sedangkan komunikasi tersier adalah pertukaran pesan yang tidak terkontrol yang berasal dari laporan media dan perbincangan personal yang tersebar melalui word of mouth.
H. METODOLOGI PENELITIAN I.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan kualitatif dipergunakan untuk menganalisis pokok permasalahan yang ada dan tidak untuk menguji suatu hipotesis. Daripada menguji sebuah hipotesis, penelitian kualitatif cenderung untuk terlibat lebih dalam proses dialektika antara pertanyaan yang diajukan dan data yang diamati. Penelitian kualitatif dapat memberikan peneliti tentang rincian perilaku manusia, emosi, dan karakteristik kepribadian yang tidak bisa dilakukan oleh studi kuantitatif. Karena strategi komunikasi green branding yang dilakukan oleh perusahaan merupakan bagian dari perilaku manusia, maka dalam hal ini peneliti lebih memilih kualitatif sebagai metode yang digunakan untuk mendapatkan data. Penelitian kualitatif ini lebih diarahkan pada penggunaan metode studi kasus. Sebagaimana pendapat Creswell (1998: 37-38) fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya, ataupun suatu potret kehidupan. Penelitian dengan jenis studi kasus juga bertujuan untuk mengetahui tentang sesuatu hal secara mendalam. Studi kasus dipilih dalam penelitian ini karena menurut Yin (2014: 1) metode ini tepat untuk mengupas pertanyaan dasar “bagaimana” dan “mengapa”, hal ini tentunya sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Selain itu, menurut Yin, studi kasus lebih sesuai untuk melacak peristiwaperistiwa kontemporer yang tidak tidak dapat dimanipulasi. Untuk itu studi kasus mendasarkan diri pada teknik yang ada pada kelaziman historis dan dua sumber bukti yaitu observasi dan wawancara. Maka dalam penelitian ini,
35
peneliti akan menggunakan metode studi kasus untuk menganalisis bagaimana strategi komunikasi dalam green branding secara mendalam melalui unit analisis dalam kerangka konsep yang dilakukan oleh Greenhost Hotel dan Hotel Santika Premiere Yogyakarta serta melakukan komparasi diantara keduanya. Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat komparatif. Kata komparasi atau dalam bahasa inggris yaitu comparation dapat didefinisikan sebagai perbandingan. Makna dari kata tersebut menunjukan bahwa dalam penelitian ini peneliti bermaksud mengadakan perbandingan kondisi yang berbeda yang ada di suatu tempat, apakah kondisi di tempat tersebut sama atau ada perbedaan, dan jika terdapat perbedaan, kondisi mana yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang di teliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu. Menurut Nazir (2005: 58) penelitian komparatif adalah sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari jawaban secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun
munculnya
suatu
fenomena
tertentu.
Penelitian
ini
ingin
membandingkan persamaan maupun perbedaan strategi komunikasi yang digunakan oleh Greenhost Hotel dan Hotel Santika Premiere pada tahun 2015. Dengan membandingkan dua objek yang berbeda, temuan yang ada nantinya akan menguatkan organisasi apabila terdapat temuan yang dianggap lebih baik bagi organisasi. Menurut (Silalahi, 2009: 35) menyatakan bahwa penelitian komparatif adalah penelitian yang membandingkan dua gejala atau lebih. Penelitian komparatif dapat berupa komparatif deskriptif (descriptive-comparative) maupun
komparatif
korelasional
(correlation-comparative).
Komparatif
deskriptif membandingkan variable yang sama untuk sampel yang berbeda. Komparatif deskriptif juga dapat digunakan untuk membandingkan variable yang berbeda untuk sampel yang sama. Perbandingan korelasional juga bisa dengan variabel yang berbeda dalam hubungan dengan variabel yang sama. Selain itu, perbandingan korasional pun bisa dengan membandingkan korelasi variabel yang sama untuk sampel yang berbeda. Dan dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan deskriptif komparatif.
36
Prosedur penelitian komparatif dalam penelitian ini akan dilakukan melalui lima tahapan. Pertama, penentuan masalah penelitian. Dalam rumusan masalah penelitian atau pertanyaan penelitian. Dalam hal ini strategi komunikasi green branding akan menjadi fokus dari masalah penelitian yang akan diteliti. Kedua, penentuan kelompok yang memiliki karakteristik yang ingin diteliti. Dalam hal ini Greenhost Hotel menjadi objek pertama yang akan dibandingkan.
Ketiga,
mempertimbangkan
pemilihan
karakteristik
atau
kelompok
pembanding,
pengalaman
yang
dengan
membedakan
kelompok dan didefinisikan secara operasional. Serta mengontrol variabel ekstra untuk membantu menjamin kesamaan kedua kelompok. Untuk variabel pembanding, peneliti memilih Hotel Santika Premiere Yogyakarta. Keempat yaitu pengumpulan data. Dilakukan dengan menggunakan instrumen penelitian yang memenuhi persyaratan. Dan kelima analisis data hingga penarikan kesimpulan. Greenhost Hotel dan Hotel Santika Premiere Yogyakarta dipilih untuk dibandingkan karena beberapa hal. Pertama, pada tataran awareness keduanya berada pada level yang sama untuk dikenal sebagai green hotel di mata media, namun pada sisi yang lain keduanya memiliki umur yang jauh berbeda. Kedua, Hotel Santika Premiere Yogyakarta hadir sebagai green hotel atas bentuk penyesuaian dari tuntutan masyarakat dunia yang mulai sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Sedangkan Greenhost Hotel dari awal berdiri memang ingin memberikan value kebaikan pada lingkungan. Berdasar pada argumen tersebut, dimensi komparatif akan mengacu pada umur organisasi atau perusahaan sebagai tambahan dalam bahan untuk menganalisis permasalahan.
II.
Teknik Pengumpulan Data Data kualitatif yang akan dikumpulkan didalam penelitian ini dibagi menjadi dua jenis yaitu :
a. Data Primer Data primer merupakan data utama yang akan digunakan untuk menjelaskan fenomena penelitian. Data tersebut akan dikumpulkan peneliti
37
dengan cara wawancara. Wawancara dilakukan kepada narasumber yang memiliki kapasitas untuk memaparkan data yang sesuai dengan penelitian. Narasumber yang diwawancara dari Hotel Santika Premiere adalah Setiyana selaku Head of Engineering dan Dono Prasetyo selaku Manager Marketing Communication. Pemilihan Setiyana sebagai narasumber didasarkan pada kemampuan informan dalam memberikan informasi seputar aspek teknis tentang penyelenggaraan aspek green dari Hotel Santika Premiere. Selain itu dari aspek komunikasi dan konseptual lebih banyak diorganisasi oleh Dono Prasetyo. Sedangkan untuk Greenhost Hotel adalah Gatot Susilo selaku Head of Marketing Communication dari Greenhost Hotel dan Dasa July Prasaja selaku Assitant HR Manager Greenhost Hotel. Gatot Susilo lebih banyak merencanakan strategi komunikasi dari Greenhost Hotel, sedangkan Dasa July Prasaja lebih bayak turun lapangan baik dalam brand activation atau event. Data primer yang berupa wawancara ini nantinya akan ditranskrip dan akan menjadi sumber data untuk dianalisis.
b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data pendukung yang turut digunakan peneliti untuk menjelaskan fenomena penelitian. Data sekunder ini dapat diperoleh peneliti dari studi literatur, majalah, internet, aplikasi, buku dan lainnya mengenai informasi-informasi yang terkait dengan penelitian ini. Penggunaan data sekunder ini diperlukan untuk memperluas sudut pandang peneliti yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dan referensi tambahan terhadap berbagai fakta yang terjadi selama penelitian berlangsung. Dalam penelitian ini, data sekunder dari Hotel Santika Premiere Yogyakarta yang didapatkan berupa guideline brand value dari, data mengenai sertifikasi dan proper yang telah diperoleh, profile cetak, liputan media online, serta data sosial media. Sedangkan untuk Greenhost Hotel data sekunder yang didapatkan berupa liputan media online, aplikasi, fact sheet, website, serta sosial media. Selain itu secara umum, data sekunder
38
lainnya lebih banyak didapatkan dari jurnal internasional, penelitian berupa skripsi terdahulu, serta buku-buku penunjang lainnya.
III.
Teknik Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif, yang terbagi dalam tiga langkah, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan. Proses reduksi data sendiri terdiri atas serangkaian proses seperti pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang didapatkan dari lapangan. Data yang dimaksud adalah data hasil wawancara serta catatan lapangan peneliti, aplikasi, studi literatur, website, foto, dan lain sebagainya. Penyajian data merupakan deskripsi kumpulan informasi yang tersusun memungkinkan untuk penarikan kesimpulan. Penyajian data kualitatif yang digunakan dalam bentuk teks naratif sederhana. Dalam konteks sederhana diartikan sebagai bentuk menampilkan sebagian teks kutipan hasil wawancara. Selain itu, penyajian data dalam studi komparatif dapat berupa penggolongan data yang telah direduksi dalam bentuk naratif maupun bentuk tabel. Untuk memudahkan pemahaman, proses analisis dapat dimulai dari transkrip wawancara yang memuat jawaban atas pertanyaan penelitian yang ditambahkan pula dengan data-data sekunder lainnya. Data yang terkumpul kemudian ditarik kesimpulan secara induktif, mencatat pola yang terjadi dan melihat hubungan kausal sebab akibat yang mungkin terjadi. Strategi yang dapat digunakan adalah dengan perjodohan pola (Yin, 2014: 140). Dengan strategi tersebut, pola yang terjadi secara empiris dapat dijodohkan dengan prediksi pola yang telah ada, sehingga hasilnya akan menguatkan validitas atas sebuah teori.
39