BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan RRI sebagai sebuah media, telah melalui proses peralihan kelembagaan yang panjang. Di mulai dari media yang dibentuk untuk membantu perjuangan kemerdekaan, kemudian pada masa orde baru menjadi media yang digunakan pemerintahan dalam medoktrinkan ideologi pemerintah kepada masyarakat. Peralihan selanjutnya, RRI sempat menjadi perusahaan jawatan yang harus berebut ceruk pasar dengan radio-radio lainnya, hingga akhirnya RRI ditetapkan sebagai lembaga penyiaran publik melalui undang-undang No. 32 tahun 2002. Melihat latar belakang dari keberedaan radio publik di Indonesia. Kenangan kelam pada masa orde baru, dimana pada saat itu RRI yang menjadi corong pemerintah berkuasa bukan tidak mungkin membuat RRI masih dipertanyakan kenetralannya, bahkan setelah peralihan statusnya sebagai media publik. Apalagi pada masa pemilu, godaan-godaan politik dapat dipastikan lebih besar dibandingkan pada kurun waktu lainnya, karena dengan kuatnya kepentingan-kepentingan politik, dapat memungkin terjadi proses titip-menitip kepentingan dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkan RRI sebagai sarana kampanye politik. Belum siapnya RRI di awal masa-masa peralihan sebagai lembaga penyiaran yang membawa prinsip-prinsip lembaga penyiaran publik, Nampak pada beberapa momen misalnya, pada pemilu tahun 1999 keberpihakan RRI dengan pemberitaan yang lebih banyak tentang partai Golkar dan pemeritah, serta dalam gambaran yang positif. Rata-rata RRI mengudarakan berita-berita tentang Golkar dan pemerintah hingga 15 kali sehari. Jika kemudian diperbandingkan maka pemberitaan RRI terhadap pemerintah dan Golkar berbanding 4:1 di antara pemberitaan tentang partai-partai yang lain. Kesan keberpihakan RRI pada masa
1
pemilu 1999 lalu terlihat pada masa kampanye. Dalam 2 hari pertama, kampanye RRI cenderung mendiskreditkan posisi PDI-P, serta sebaliknya cenderung bersimpati kepada Golkar. (Sudibyo, 2004 :342-343). RRI seharusnya menangkap hal ini sebagai suatu hal yang penting, agar seterusnya dapat dipandang sebagai sumber informasi yang membawa nilai-nilai kepublikan dan tentunya “dapat dipercaya”. Menjadi sumber yang dipercaya karena kenetralan tentunya merupakan salah satu hal yang mengindikasikan bahwa RRI menjadi lembaga penyiaran publik yang sehat. Selain ada beberapa hal lain yang menjadi indikator. Setidaknya dengan keberhasilan meliput peristiwa pada masa-masa seperti pemilu, akan membawa RRI sebagai media publik mampu membawa publik untuk melihat sudut pandang terhadap perbaikan kehidupan di masa yang akan datang. Pada pemilu 2014, RRI mendeklarasikan diri sebagai radio pemilu dengan menggunakan tagline “independen dan netral”. Sebagai radio yang berstatus sebagai radio publik, RRI tentunya mesti bersikap waspada dan berhati-hati dengan memagari diri terhadap berbagai kepentingan politik pihak tertentu. Hal ini akan semakin menarik, jika dilihat seperti apa RRI sebagai media penyiaran publik memposisikan dirinya dalam siaran pada masa pemilu. Hal lain yaitu dari segi keredaksian, dengan melihat bagaimana kebijakan-kebijakan yang berlaku di RRI pada masa pemilu. Apakah kebijakan tersebut memiliki kategori-kategori yang berbeda dengan lembaga penyiaran swasta ?. Idealnya pengkategorian peliputan pada lembaga penyiaran publik akan diikuti dengan mengutamakan kepentingan publik akan berbeda dalam format dan konten program yang disiarkan. Pada masa pemilu, RRI sebagai salah satu lembaga penyiaran publik sudah seharusnya memiliki posisi tersendiri. Seperti halnya yang terjadi pada media-media publik lainnya yang ada di Negara lain. RRI bukan seperti pihak media swasta yang dapat memberi atau menjual air time nya kepada yang sanggup membayar atau kepada yang memiliki pengaruh pada media tersebut.
2
RRI juga bukan seperti media swasta yang agenda editorialnya dapat dipengaruhi oleh kepentingan politik kelompok tertentu, sehingga bergerak mendukung calon atau partai tertentu. RRI sebagai media publik haruslah memberikan informasi yang mendorong pemberdayakan masyarakat dalam berbagai hal, termasuk politik. Setidaknya, ada dua point besar yang harus dan sering diperhatikan dalam pelaksananaan siaran pemilu. point pertama, yaitu mengenai keredaksian, dimana terkait kebijakan atau ketentuan yang berlaku dalam pelaksananaan siaran pemilu. Lembaga penyiaran publik di Jerman sebagai contoh, dimana mereka telah membuat satu aturan khusus dalam siaran liputan pemilunya, atau lembaga penyiaran publik di Inggris yang berinduk pada satuan panduan produksi. Point ke-dua, yaitu mengenai program siaran yang ditayangkan. Di beberapa negara besar seperti yang ada di beberapa negara eropa, seperti Inggris, Jerman, Belanda, dan beberapa negara lainnya, kecenderungan media publik disana menjadikan pemilu sebagai agenda siaran khusus sudah terjadi sejak lama. DI BBC Inggris misalnya, acara berita pukul 9 ditambah durasinya sebanyak 20 menit setiap kali penayangan, agar dapat merangkum informasi terkait pemilu. Ada lagi program election call yang didesain dengan format dialog interaktif. Di Belanda dengan Nos Journaal-nya mendesain program dialog yang bersifat analitik, pada masa pemilu. Oleh karena itu, kedua point tersebut menjadi hal yang akan dilihat dalam penelitian ini. Sudah seharusnya harus ada sebuah peraturan yang dalam hal ini bisa disebut dengan sebuah kebijakan yang melingkari RRI untuk tetap menjadi lembaga penyiaran publik dengan nilai-nilai kepublikannya di masa pemilu. Sebuah kebijakan yang bisa membawa RRI daerah untuk menghindari intervensi, dan tetap menjaga independensi. Menjaga nilai pluralitas, dimana siaran di masa pemilu tersebut tidak hanya menjangkau dalam hal jangkauan sinyal tapi juga konten yang di dapat melayani sebanyak-banyaknya publik, serta memagari diri dari kepentingan-kepentingan agar tetap berdiri netral. Setidaknya dinamika
3
peliputan pada masa kampanye dan pemilu oleh RRI di daerah menjadi salah satu sisi yang perlu dilihat dalam perkembangan lembaga penyiaran pubik di Indonesia pasca orde baru. Seiring dengan keberadaan lembaga penyiaran publik yang sudah ada dalam dua dekade terakhir, terutama untuk RRI yang kini terus bergiat menambahkan stasiunnya di daerah-daerah dan wilayah perbatasan. RRI sebagai media publik, yang dimana kelembagaannya dibentuk dengan sistem siaran berjaringan di daerah-daerah, sudah pasti memiliki gambaran yang unik. Setiap daerah yang memiliki stasiun RRI pasti memiliki tersendiri, baik itu dari latar belakang masyarakat maupun budaya tempat mereka bersiaran. Sudah barang tentu hal ini menadakan bahwa setiap stasiun RRI di daerah memiliki kebutuhan yang berberda-beda. RRI stasiun Yogyakarta menjadi contoh stasiun RRI di daerah yang memiliki keunikan, termasuk dalam masa pemilu. Latar belakang masyarakat dan budaya, membuat publik yang harus dilayani stasiun Yogyakarta menjadi begitu dinamis. Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, dimana setiap tahunnya kedatangan puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu pendatang baru sebagai mahasiswa. Mahasiswa tersebut, rata-rata berada dikisaran umur 17-25 tahun, dan bisa dikategorikan sabagai pemilih pemula. Hal ini jika dilihat dari sudut politik tentunya menjadikan mahasiswa sebagai wilayah yang potensial. Dalam salah satu tujuan program siaran yang tercantum dalam petunjuk teknis pelaksanaan siaran pemilu 2014 LPP RRI, pemilih pemula menjadi salah satu kriteria yang menjadi perhatian. Hal ini kemudian membuat RRI stasiun Yogyakarta menjadi satu dari sekian banyak stasiun RRI di daerah yang menarik untuk dilihat seperti apa mereka memberikan siaran yang menjangkau pemilih pemula ini. Selain julukan sebagai kota pelajar, Yogyakarta juga disematkan julukan lain, yaitu sebagai kota budaya. RRI stasiun Yogyakarta sendiri bertipe B yang memiliki 4 programa, dimana salah satu programanya berfokus kepada kebudayaan. Dengan kondisi konteks daerah siaran yang seperti ini, RRI stasiun
4
Yogyakarta setidaknya memiliki nilai atau kesempatan lebih untuk menampilkan identitas budaya dalam siaran pemilunya. Kreatifitas dalam menempatkan pesanpesan kebudayaan yang mendorong partisipasi publik pada pemilu dalam program-program siaran pemilu akan menjadikan siaran tersebut memberikan warna tersendiri dalam rangkaian siaran pemilu. Di Indonesia sebagai negara yang menganut azas demokrasi keberhasilan melaksanakan pemilu dianggap sebagai salah satu tolak ukur keberhasilan berjalannya sebuah proses demokrasi itu sendiri. Jika saja kebijakan-kebijakan peliputan yang ada di RRI Stasiun Yogyakarta dapat membantu keberhasilan pelaksaaan pemilu di daerah, tentunya akan menjadi kabar baik bagi perkembangan lembaga penyiaran publik di Indonesia dan tentunya dapat menjadi proyek percontohan bagi stasiun RRI yang ada di daerah lain. Namun jika tidak, hal tersebut sepatutnya menjadi perhatian untuk membantu RRI stasiun Yogyakarta dalam memperbaiki posisinya sebagai radio publik yang ada di daerah pada masa pemilu. Pemilihan RRI Stasiun Yogyakarta sebagai objek dalam penelitian ini dikarenakan oleh bebereapa hal. Seperti yang dikatakan oleh Joseph R Dominick (2011: 248) yaitu “PBS Station may be the only locally owned stations in the community and the better suited to responding locally needs”. Oleh karena itu penting untuk melihat penyiaran publik dari yang lokal terlebih dahulu. Apalagi RRI Yogyakarta merupakan salah satu dari sekian banyak stasiun jaringan RRI yang berstatus B, yaitu stasiun yang memiliki empat programa. Apalagi daerah Yogyakarta memiliki segmentasi pemilih yang beragam akan membuat tantangan pelaksanaan siaran pemilu tersebut akan semakin berat. Dalam hal pemilu, Yogyakarta walaupun dikenal sebagai kota pelajar, namun bukan berarti hanya dihuni oleh pemilih dengan kategori rasional tapi juga tradisional. RRI Yogyakarta dengan statusnya sebagai radio pemilu dituntut menjawab kebutuhan informasi publik secara keseluruhan.
5
B. Rumusan Masalah Adapun Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana dinamika liputan pemilu 2014 oleh RRI Stasiun Yogyakarta ?” Dari rumusan masalah yang dituliskan di atas, maka peneliti dapat menarik beberapa pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini. Pertanyaanpertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kebijakan redaksi RRI Stasiun Yogyakarta dalam melakukan liputan pemilu 2014 ? 2. Bagaimana isu-isu pemilu 2014 dikemas oleh RRI Stasiun Yogyakarta ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan, sebagai berikut : 1. Dapat mengetahui upaya RRI stasiun Yogyakarta sebagai radio pemilu pada pemilu 2014 di daerah. 2. Dapat mendeskripsikan secara komprehensif kebijakan redaksi yang berlaku dalam peliputan pemilu 2014 oleh RRI di tingkat daerah. 3. Dapat mendeskripsikan secara komprehensif pengemasan programprogram siaran pemilu 2014 oleh RRI di tingkat daerah.
D. Manfaat Penelitian Peneliti berharap penelitian ini nantinya dapat memberikan beberapa manfaat terhadap beberapa tataran, diantaranya yaitu : 1. Manfaat Akademis Dalam tataran akademis, diharapkan penelitian ini nantinya
dapat
memberikan manfaat dalam memperkaya pembahasan keilmuan mengenai liputan pemilu radio publik di tingkat daerah, sehingga penelitian ini nantinya dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya dalam melakukan penelitian terkait peran radio atau media publik dalam melakukan peliputan pemilu.
6
2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak pengelola RRI, baik itu ditingkat daerah maupun nasional dalam melakukan liputan pemilu, sehingga diharapkan menjadi rujukan dan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan liputan pemilu oleh RRI di masa yang akan datang. 3. Manfaat Sosial Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam perkembangan pemikiran masyarakat untuk memaknai fungsi radio publik khususnya radio publik yang berada di daerah. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan meningkatkan sikap kritis masyarakat dalam mengawasi dan ikut terlibat dalam isu-isu di liputan yang disiarkan RRI, khususnya pada masa pemilu.
E. Kerangka Pemikiran 1. Kriteria Media Penyiaran Publik Penyiaran publik adalah penyiaran yang dimiliki publik, yakni negara, pemerintah, atau organisasi publik sebagai tandingan dari kepemilikan swasta. Penyiaran ini di dalamnya mengandung “layanan publik” berupa penyebarluasan program kepentingan dan minat publik, seperti pendidikan, budaya, atau informasi yang membantu masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Asia-Pacific Broadcasting Union,1999). Konsep yang digunakan adalah media audience as public bukan sebagai konsumen. Dalam tujuan kerjanya khalayak sebagai warga negara harus di-reform, dididik, diberitahu, dan tentu dihibur. Pendeknya “dilayani”, dan kiranya memungkinkan mereka untuk menampilkan hak dan tugasnya secara demokratis. Dalam konteks ini, penyiaran publik tidak berkepentingan terhadap hedonisme konsumen (penyiaran komersial). Berbeda dengan penyiaran swasta yang berangkat dari konsep yang memandang khalayak dalam bentuk audience as market. Media komersial mentransfer informasi yang bermakna kepada warga negara
7
hanya sebagai kepentingan pendukung. Tujuan utamanya membuat konsumen sadar tentang produk dan jasa dan mengikat perhatian mereka dengan program hiburan. Komunikasi ini efektif selama audiens memberi perhatian kepadanya tanpa menghiraukan pengaruhnya sebagai warga negara. Pembedaan antara audiens as public (citizen) dan audiens as market (consumers) penting untuk penyiaran yang akan maupun telah berkiprah di pelayanan publik. Hanretty (2011:4), menyebutkan bahwa definisi lembaga penyiaran publik kadang diartikan secara implisit hanya sebagai penyiaran yang kebetulan menawarkan konten layanan publik. Pandangan ini, tentu saja, merupakan kriteria yang diperlukan untuk mengidentifikasikan penyiaran publik, namun hal ini tidaklah cukup. Lembaga penyiaran swasta dapat juga menawarkan program untuk publik, karena merasa ada kewajiban untuk untuk melakukannya. Oleh karena itu, Hanretty menawarkan definisi penyiaran publik dalam beberapa ciri khas, yaitu: (1) memiliki tujuan yang dinyatakan untuk menyediakan konten luas yang berguna secara sosial, (2) didanai oleh negara melalui pendapatan pajak umum atau melalui pajak tertentu (pajak siaran)., (3) utamanya menyiarakan ke masyarakat di negara yang mendanainya, dan (4)
berada di pos tertinggi dari penyiaran yang
ditunjuk oleh badan negara. McQuail (2011: 196) menyatakan bahwa penyiaran publik merujuk pada sistem yang dibentuk oleh hukum dan umumnya dibiayai oleh dana publik (seringkali berupa iuran yang wajib dibayar oleh warga) dan diberikan keluasaan editorial dan kinerja yang mandiri. Alasan umum sistem semacam ini adalah mereka harus melayani kepentingan publik dengan memenuhi kebutuhan komunikasi yang penting bagi masyarakat dan warganya, sebagaimana ditentukan dan dinilaidengan cara sistem politik demokratis. Ada sejumlah prinsip yang menjadi penanda atau karakteristik lembaga penyiaran publik, yaitu: (1) kebebasan untuk berpendapat; (2)
8
terjaminnya pluralitas kepemilikan (plurality of ownership), (3) ada keragaman informasi yang ditujukan kepada khalayak (diversity of information available to public), (4) adanya keberagaman selera, kepentingan, dan kebutuhan; (5) akses pada berbagai kelompok sosial, dan budaya untuk menyatakan pendapatnya termasuk di dalamnya kelompok minoritas, (6) kemampuan media untuk menjangkau seluruh wilayah negeri; (7) jaminan kualitas isi media yang disampaikan kepada publik; (8) mendorong terciptanya sistem politik yang demokratis dengan mengutamakan prinsip berimbang, imparsial, dan independen; (9) penghormatan terhadap privasi dan hak asasi secara umum; dan (10) terbukanya aksesibilitas publik dalam penyusunan dan supervise programa siaran. Graham Murdock (1992) merujuk pada empat peran kunci yang dimainkan oleh penyiaran publik dalam bentuknya yang klasik : a. Menyediakan suatu forum publik bagi partai politik dan kelompok kepentingan yang sah. b. Bertindak sebagai sumber pengawasaan dan umpan balik (feedback) bagi mereka yang berkuasa, berkenaan dengan dugaan publik. c. Membantu
memperertat
ikatan
antara
gagasan
tentang
kewarganegaraan dan definisi dominan tentang bangsa dan budaya. d. Menarik kembali garis antara ruang publik dan ruang privat, yang membawa partisipasi dan peristiwa–peristiwa publik ke dalam rumah. (Burton, 2011 : 70) Sebagai konsekuensi dari sebuah LPP karena berbeda dengan lembaga penyiaran swasta atau komunitas, didalamnya terdapat indikator yang khas, diantaranva: a. Akses publik: didirikan tidak hanya berdasarkan potensi ekonomi, namun dengan pertimbangan pemerataan informasi: misalkan daerah terpencil/ blank spot. b. Dana publik: menggunakan dana pemerintah dalam bentuk APBN (tingkat nasional) dan APBD (tingkat daerah).
9
c. Akuntabilitas
publik:
mempertanggung
jawabkan
program
dengan ukuran moral dan tata nilai publik (moral accountability); mempertanggungjawabkan keuangan (financial accountability) d. Keterlibatan publik: ada kerjasama seluas-luasnya dengan berbagai kelompok di masyarakat, mengundang serta menyambut keterlibatan publik. Pendapat lain yang kemukakan oleh Eric Barendt (dalam Mendel, 2000) terkait kehadiran lembaga penyiaran publik atau public service broadcasting sebagaimana dapat dilihat dari sejumlah hal, yaitu: a. general geographical availability; b. concern for national identity and culture; c. independence from both the state and commercials interest; d. impartiality of programmes; e. range and variety of programmes; and f. substantials financing by general charge on users. Secara idealnya memang azas dan tujuan ini tidak hanya berlaku untuk radio dan televisi publik, namun berlaku juga untuk semua bentuk penyiaran, termasuk radio dan televisi swasta. Di sisi lain, azas dan tujuan di atas memang perlu penjabaran untuk bisa diaplikasikan, karena dianggap merupakan konsep yang bersifat abstrak. Untuk itu diperlukan suatu pemahaman, kesepakatan dan komitmen dari setiap pelaku penyiaran untuk bisa mewujudkannya. Michael P McCauley (2003) optimis bahwa peran media radio dan televisi cukup tinggi untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam sistem politik yang demokratis. Ada tiga peran radio dan televisi untuk mendekatkan gap yang bisa menguntungkan atau tidak yang dilakukan oleh politik ekonomi bangsa, yaitu : a. Usaha untuk menjamin informasi tentang agenda politik dalam tingkat dan bentuk yang tepat dan merefleksikan secara akurat dalam
10
bentuk pengetahuan yang baik, mudah dan universal diterima semua warga negara. b. Usaha untuk menolong warga negara untuk berpartisipasi dengan cara yang tepat dalam diskusi politik. c. Usaha untuk menjamin warga negara mempengaruhi selektifitas subjek informasi yang tersedia. Jika kemudian merujuk pada Public Service Broadcasting di Inggris yang menekankan pada empat area yang harus dimiliki oleh sebuah lembaga penyiaran publik, diantaranya yaitu: a. kualitas program, b. nilai-nilai sosial, c. keragaman program, d. kisaran dan keseimbangan program. Oleh karena itu, kunci program pelayanan informasi publik untuk radio dan televisi publik areanya adalah: pendidikan, peliputan politik, berita, seni, keagamaan, dan representasi dan berbagai kelompok sosial (Bignell & Onlebar. 2005 :14).
2. Media Publik dan Pemilu Beberapa studi terdahulu mengenai hubungan antara media publik dan pemilu, diantaranya menyatakan bahwa penyiaran publik di Eropa bersikap secara hati-hati, dengan rasa menghargai terhadap politisi dan reaktif terhadap agenda partai politik (de Vreese, 2001:155). Pada pemilu tahun 1997 menunjukan bahwa terdapat korelasi yang rendah antara agenda penyiaran publik dan agenda partai politik. Pada saat yang sama terdapat korelasi yang tinggi antara penyiaran di BBC dan ITN. Hal ini ditunjukan dengan agenda penyiaran berita dua lembaga penyiaran tersebut pada saat pemilu tersebut nampak sama, namun sangat berbeda dengan agenda partai politik (Norris et al., 1999). Penelitian pada tahun 1999 di inggris juga misalnya menunjukan bahwa berita pemilu masih menjadi prioritas yang tinggi
11
oleh siaran umum. BBC misalnya, selama kampanye pada pemilihan umum tahun 1997, program acara berita pukul sembilan ditambah durasinya sebanyak 20 menit setiap tayang perharinya. Hal ini ditujukan untuk memberikan ruang yang lebih panjang tentang isu pemilihan umum dalam siaran berita tersebut, namun pada saat yang bersamaan fokus terhadap partai politik tetap terjaga dengan cara berpusat kepada peristiwa pemilu itu sendiri (Norris et al, 1999). Pada bab 33 dan 2 dari “The BBC’s Producer Guidelines” tahun 2002 tertuang petunjuk yang harus diikuti BBC pada saat pemilu. Tata cara tersebut berdasarkan pada “The BBC’s Royal Charter and Aggrement” yang menghendaki BBC untuk menyediakan peliputan berita secara luas dan tidak memihak, didukung dengan laporan yang informatif, dan adil. Kesepakatan tersebut juga secara tegas melarang BBC untuk menyampaikan opini korporasi sendiri. Koresponden memang dibebaskan untuk menyampaikan pendapat tapi kemudian mereka ditahan untuk berkata langsung terkait pandangan personal dari penyiar tersebut tidak akan disiarkan, sesuai dengan bagian 5.1 dari the royal charter and aggrement (McNicholas dan Ward dalam Lange dan Ward, 2003: 150). Contoh lain yaitu penyiaran publik di Jerman yang merupakan salah satu penyiaran publik yang memiliki sistem keuangan yang kuat. Pada saat pemilu, penyiaran publik di Jerman diharapkan untuk mencakup seluruh jangkauan termasuk partai-partai kecil, dengan ikatan yang kritis, bersikap objektif secara keseluruhan, tanpa menghancurkan atau memfavoritkan salah satu kandidat. Mereka juga diharuskan menjaga jarak sebagai professional dan mengindari sikap partisan. Oleh karena itu mereka memiliki aturan pada saat pemilu yaitu: pertama, tidak menghadirkan politisi pada program-program variety show, dan kedua tidak menghadirkan jurnalis yang menjadi kandidat atau berkampanye untuk partai atau secara umum diketahui menjadi pasangan suami atau
12
istri dari anggota terkenal dari partai tertentu, atau memiliki kedekatan dengan kandidat (Druck dalam Lange dan Ward, 2003: 66) Penelitian lainnya yaitu yang terjadi pada lembaga penyiaran publik di Belanda yaitu NOS Journaal. Penelitian yang dilakukan Van Praag dan Van der Eijk (1998) ini menunjukan bahwa NOS Journaal pada masa pemilu sebelum 1998 begitu respectful dan cenderung mengikuti agenda partai daripada mengatur agendanya sendiri. Perbaikan kemudian dilakukan oleh NOS Journaal pada pemilu 1998 melalui beberapa kebijakan yang dikeluarkan NOS dalam menentukan agenda berita pemilu. Mereka kemudian dalam peliputan pemilu tidak lagi berfokus pada agenda partai namun pada peran analisis dan komentar politik pada peristiwa kampanye. Hal ini kemudian menjadi ciri utama dari NOS Journaal selama pemilihan umum nasional tahun 1998. Kemudian dibuktikan dengan data yang menunjukan bahwa waktu yang diberikan untuk para politisi mengudara telah berkurang sebanyak 40 persen pada pemilu 1998 dibandingkan pada pemilu 1994 (Van Praag dan Brants, 1999 dalam de Vreese). Trend penurunan waktu siar untuk para politisi ini juga ditemukan pada BBC pada pemilihan umum tahun 1992 dan 1997 di Inggris (Blumber dan Gurevitch, 1998 dalam de Vreese 2001). Sebelumnya, pada tahap persiapan pemilihan umum tahun 1998 di Belanda, NOS Journaal telah menyiapkan sebuah database berupa lembar tema dalam sistem internal NOS Journal. Hal tersebut yang kemudian yang menjadi bank data tentang sejumlah tema yang dirancang untuk disiarkan kepada publik pada masa kampanye. Dalam lembaran ini memuat tentang ide tentang sudut pandang, orang-orang yang akan dihubungi, bahan penelitian wawancara yang relevan jika masuk kedalam sebuah perdebatan politik.
13
3. Radio dan Keredaksian Kebijakan redaksional (Editorial Policy) berarti ketentuan yang disepakati oleh redaksi media massa tentang kriteria berita atau tulisan yang boleh dimuat atau disiarkan, juga kata, istilah, atau ungkapan yang tidak boleh dan boleh dipublikasikan, sesuai dengan visi dan misi media. Dengan kebijakan redaksional ini, sebuah media dapat menentukan arah pemberitaan medianya akan dibawa kemana (Antasari, 2010). Pendapat lain dari Sudirman Tebba (2005), dalam bukunya, Jurnalistik Baru mengatakan bahwa, “Kebijakan redaksi dapat diartikan sebagai dasar pertimbangan suatu lembaga media massa untuk memberikan atau menyiarkan suatu berita. Kebijakan redaksional juga merupakan sikap redaksi suatu lembaga media massa. Sudirman Tebba kemudian menambahkan bahwa ada beberapa dasar pertimbangan media untuk menyiarkan atau tidaknya suatu peristiwa seperti: Ideologis, Politik, Bisnis Pamela J. Shoemaker dan Stepen D. Reese (1996) dalam Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content, mengatakan ada lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam mementukan isi media, yaitu : 1. Faktor Individual, yaitu yang berkaitan dengan latar belakang professional dari pengelolaan media. 2. Rutinitas media, aspek ini berhubungan dengan mekanisme dan proses pembuatan berita. 3. Organisasi.
Level
organisasi
berhubungan
dengan
struktur
organisasi yang secara sistematis mempengaruhi pemberitaan. 4. Ekstra media, yaitu yang berkaitan dengan faktor lingkungan di luar media. Ada beberapa hal yang menjadi bagian dari faktor atau level ini, yaitu; sumber berita, sumber penghasilan media, media harus survive, dan pihak eksternal.
14
5. Ideologi, yaitu sebagai kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu (dalam hal ini media sebagai institusi)
untuk
melihat
realitas
dan
bagaimana
mereka
menghadapinya. Sedangkan menurut Claes H. de Vresse (2001: 159), kajian mengenai produksi berita pemilu dapat dikelola melalui beberapa konsep pusat. Variable-variabel yang dapat mempengaruhi konten berita dapat ditemukan di dalam dan di luar berita. Secara ekternal dipengaruhi oleh : karakter pasar, undang-undang penyiaran, dan iklim politik. Sedangkan secara internal dapat dipengaruhi oleh: rutinitas organisasi, pengambilan keputusan editorial, dan peran persepsi wartawan dan eksekutif berita. Dalam penelitian ini, akan melihat keredaksian RRI stasiun Yogyakarta pada masa pemilu dengan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam menentukan isi media. Hanya saja akan diambil beberapa faktor yang mewakili kelembagaan bukan dari faktor individual. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah: pertama, struktur redaksi, didalamnya memuat rutinitas media (alur kerja), dan organisasi (tim kerja). Kedua, panduan liputan (ekstra media), didalamnya memuat tentang peraturan, undang-undang atau ketentuan yang menjadi dasar siaran. Ketiga, prinsip-prinsip liputan (ideologi), didalamnya memuat kesepakatan tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip media tersebut. Pada dimensi lain, seharusnya perlu dilihat pula penerapan kebijakan keredaksian tersebut pada program-program siaran yang dihasilkan. Beberapa hal yang dapat ditangkap adalah melalui bentuk dan konteks program, dan konstruksi isu (dapat diilihat melalui pemilihan narasumber, isu dan nilai berita)
15
F. Model Penelitian Dari latar belakang, serta rumusan masalah seperti yang dijabarkan diatas maka peneliti kemudian dapat merumuskan penelitian ini dalam sebuah model penelitian. Model penelitian ini digunakan untuk mempermudah peneliti dalam pengambilan, pemilahan, dan penganalisaan data selama penelitian. Berikut Model penelitian dalam penelitian ini :
RRI Stasiun Yogyakarta
Peliputan pemilu 2014 di RRI Stasiun Yogyakarta
Keredaksian o Struktur keredaksian o Panduan liputan
Program pemilu: o Bentuk dan konteks -
Bentuk program
-
Konteks daerah
o Konstruksi isu pemilu
o Prinsip- prinsip
-
peliputan Refleksi pelaksanaan
Pemilihan narasumber
-
Isu dan nilai berita
Gambar 1. Model Penelitian
G. Defisinisi Konsep dan Operasional Definisi operasional merupakan penjelasan dari konsep-konsep yang ada pada model penelitian. Definisi operasional ini digunakan untuk mempermudah peneliti dalam membatasi unit-unit analisis yang akan dilakukan pada penelitian nantinya. 1. Peliputan Pemilu: dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan peliputan pemilu adalah rangkaian peliputan yang memuat isu-isu pemilu 2014 dalam berbagai bentuk, baik program berita maupun
16
program non berita. Peneliti akan mengeksplorasi potret peliputan pemilu 2014 melalui bentuk program berita dan program non berita. Yang dimaksud program berita adalah program dengan durasi singkat dan memuat informasi yang terjadi di masyarakat pada masa pemilu. sedangkan program non berita adalah program dengan durasi relatif panjang dan telah dirancang sebelumnya oleh pihak redaksi. 2. Keredaksian: Dalam penelitian ini yang dimaksud keredaksian adalah tim yang memproduksi program baik itu dengan format berita maupun non berita. Dalam penelitian ini akan dibagi lagi kedalam beberapa bagian: -
Struktur keredaksian: dalam penelitian ini adalah potret redaksi RRI dalam pemilu 2014. Dideskripsikan dalam pembentukan tim kerja, dan alur kerja dari peliputan pemilu di RRI Stasiun Yogyakarta dalam melakukan liputan pemilu 2014.
-
Panduan liputan: dalam penelitian ini adalah panduan yang memberikan arahan bagi peliputan pemilu 2014. Panduan liputan ini bisa dalam bentuk kebijakan yang dikeluarkan RRI atau peraturan lain yang menjadi dasar dalam siaran pemilu 2014
-
Prinsip-Prinsip peliputan: dalam penelitian ini ketentuanketentuan yang disepakati pihak RRI Stasiun Yogyakarta dalam melakukan peliputan pemilu 2014. Pada bagian ini akan dieksplorasi dengan ketentuan terkait hal-hal yang boleh atau tidak untuk diliput atau ditampilkan dalam program pemilu yang disiarkan RRI stasiun yogyakarta
3. Program : Dalam penelitian ini yang dimaksud program adalah acara yang disiarkan RRI stasiun Yogyakarta yang di dalamnya memuat isu-isu pemilu 2014. Dalam penelitian ini akan dibagi ke dalam dua bagian, yaitu :
17
-
Bentuk dan Konteks : dalam penelitian ini adalah jenis-jenis format program siaran pemilu baik itu program berita maupun program non berita.
-
Konstruksi Isu Pemilu : dalam penelitian ini adalah pemilihan isu, nilai-nilai berita, dan pemilihan narasumber dalam setiap program pemilu 2014 yang disiarkan pihak RRI stasiun Yogyakarta.
4. Refleksi pelaksanaan : dalam penelitian ini, yang dimaksud refleksi pelaksanaan adalah respon yang diterima oleh pihak RRI stasiun Yogyakarta terkait siaran pemilu 2014. Respon dari publik ini di dalamnya akan dibagi kedalam tiga kelompok sumber, yaitu respon yang berasal dari masyarakat, penyelenggara pemilu, dan kelompok peserta pemilu.
H. Metodologi Penelitian Guna menjawab pertanyaan dalam penelitian tentunya dibutuhkan rancangan penelitian. Adapun rincian metodologi penelitian pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Metode Penelitian Penelitian ini berada dalam jenis penelitian kualitatif. Metode dari penelitian ini adalah metode studi kasus, dengan peliputan pemilu 2014 di RRI Stasiun Yogyakarta sebagai kasusnya. Sedangkan tipe dari penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif, dimana peneliti menggali data dari hasil wawancara dan temuan peneliti di lapangan untuk menjawab pertanyaan dari penelitian.
2. Objek Penelitian Lokasi Penelitian dilakukan di Yogyakarta. Kota Yogyakarta dipilih karena bukan hanya karena di kota ini berdiri salah satu cabang dari stasiun RRI, namun tentunya tidak terlepas dari aspek
18
demografi, dan sosio-kultural di dalamnya. Sedangkan objek dari penelitian ini adalah dinamika siaran RRI stasiun Yogyakarta pada masa pemilu 2014. Hal ini dikarenakan kondisi publik dari RRI Stasiun Yogyakarta yang memiliki keberagaman kategori pemilih pemilu, serta aspek kebudayaan yang ada di kota Yogyakarta membuat RRI Stasiun Yogyakarta. Beberapa hal ini di atas membuat RRI stasiun yogyakarta memiliki nilai tambah dalam menyiarkan isu-isu pemilu melalui program-program pemilu baik itu berita maupun non berita, serta beberapa alasan lain yang menjadi pertimbangan dari pemilihan objek penelitian di RRI Stasiun Yogyakarta.
3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer Data primer pada penelitian ini didapatkan dengan teknik wawancara lapangan, yaitu dengan face to face interview. Dalam penelitian ini, tipe wawancara yang akan peneliti gunakan adalah informant interviews. Lindlof dan Taylor (1995 : 176) mengatakan bahwa: “These people are called informant because they inform the researcher about key feature and process of the scene”. Orang–orang yang disebut informan karena mereka memberitahukan kepada peneliti tentang fitur kunci dan proses dari sebuah suasana. Wawancara disini dilakukan dengan orang-orang yang memiliki kewenangan di dalam RRI stasiun Yogyakarta, yaitu pada jajaran direksi RRI Yogyakarta sebagai key informant. Adapun orang-orang yang akan menjadi dalam key informant dalam penelitian ini adalah
19
a. Kepala RRI Yogyakarta b. Kepala Bidang Pemberitaan c. Kepala Seksi Liputan Berita dan Dokumentasi d. Kepala Seksi Pengembangan Berita Teknik wawancara dipilih karena peneliti ingin melihat pemaparan mengenai kebijakan yang berlaku dan programprogram pemilu yang disiarkan RRI stasiun Yogyakarta. Wawancara pada penelitian ini menggunakan pertanyaanpertanyaan yang secara umum tidak terstruktur (unstructured) dan bersifat terbuka (open-ended) yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari para partisan (Creswell, 2010:267). Penggunaan teknik wawancara ini dalam penelitian ini dipilih dengan tujuan agar dalam pelaksanaan penelitian ini, peniliti mendapatkan data-data yang lebih mendalam dan beragam.
b. Data Sekunder Teknik atau metode dokumentasi dipilih sebagai data sekunder. Dalam pelaksanaan metode dokumentasi peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan, catatan harian, dan sebagainya. Teknik ini dipilih karena peneliti ingin melihat bukti-bukti tertulis dari kebijakan peliputan pemilu oleh pengelola RRI stasiun. Selain itu, dengan teknik ini peneliti akan melihat beberapa data dokumentasi penyelenggaraan program siaran pemilu 2014 yang terekam pada laporan pelaksanaan siaran pemilu 2014 oleh RRI stasiun Yogyakarta. Alasan lain dari penggunaan teknik ini adalah beberapa kelebihannya. Kelebihan dari teknik ini adalah memungkinkan peneliti memperoleh bahasa dan kata-kata tekstual dari partisipan, dapat diakses kapan saja, menyajikan
20
data yang berbobot, dan dapat dijadikan sebagai bukti yang tertulis (Creswell, 2010: 269)
Tabel. 1. Jenis data dan Teknik pengumpulannya NO
Jenis Data
Teknik Pengumpulan
1
Keredaksian peliputan pemilu 2014 di RRI Stasiun Yogyakarta
2
Program-program siaran pemilu 2014 di RRI Stasiun Yogyakarta
-
Wawancara (pengelola RRI Stasiun Yogyakarta) - Dokumentasi (Arsip data RRI Stasiun Yogyakarta) - Wawancara (pengelola RRI Stasiun Yogyakarta) - Dokumentasi (Arsip data RRI Stasiun Yogyakarta)
c. Teknik Analisis Data Seperti lazimnya penelitian kualitatif termasuk dengan pendekatan studi kasus, dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa langkah dalam melakukan analisis data beberapa tahapan proses. Penelitian ini akan melewati tahapan-tahapan analisa data. Pada tahapan awal setelah melakukan penelitian di lapangan, selanjutnya peneliti akan melakukan membuat transkrip terhadap hasil wawancara dan beberapa dokumentasi yang didapatkan di lapangan. Data transkrip wawancara dan dokumentasi dari lapangan tersebut kemudian akan diolah dengan cara melakukan penyesuaian terhadap bahasa untuk kemudian memudahkan dalam proses analisa. Tahapan selanjutnya data hasil olahan yang telah dilihat secara keseluruhan tersebut kemudian dimasukan dalam proses coding untuk memudahkan peneliti dalam memilah-milah data dalam bagian-bagian tema penelitian yang telah disusun sebelumnya. Setelah itu, tahapan yang dilakukan adalah dengan menghubungkan tema-tema dan deskripsi-deskripsi yang didapat peneliti di lapangan. Dan tahapan terakhir yaitu dengan
21
menginterpretasikan tema-tema dan deskripsi hasil penelitian dengan teori-teori yang diterkait dengan penelitian ini.
Menginterpretasi tematema/deskripsi-deskripsi
Menghubungkan tematema/deskripsi-deskripsi
Tematema Menvalidasi keakuratan Informasi
Deskripsi
Men-coding data
Membaca data secara keseluruhan
Mengolah dan Mempersiapkan data untuk dianalisis
Data mentah (Transkrip, data lapangan, gambar, dan sebagainya)
Gambar 2. Analisis data dalam penelitian kualitatif (sumber : Creswell, 2010 : 277) d. Kualitas Data Untuk mendapatkan kualitas data penelitian maka perlu dilakukan pengecekan terhadap validitas dan reliabilitas data. Validitas akan dilakukan dengan menggunakan teknik reduksi data
22
data. Dalam proses validitas data dalam penelitian ini nantinya akan dilakukan dengan pembandingan data-data yang didapat dari wawancara dan dokumentasi dari RRI stasiun Yogyakarta. Sedangkan untuk pengecekan terhadap reliabilitas seperti yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif maka peneliti akan melakukan beberapa tahap pengecekan seperti yang disebutkan Creswell (2010: 285)., yaitu: 1. Mengecek hasil transkripsi untuk memastikan tidak adanya kesalahan yang dibuat selama proses transkripsi. Pengecekan data transkrip dalam penelitian ini dengan mendengarkan hasil wawancara dan melakukan pencatatan dalam bentuk transkrip terhadap
seluruh
wawancara
dengan
pihak-pihak
yang
diwawancarai. 2. Memastikan tidak ada definisi dan makna yang mengambang mengenai kode-kode selama proses coding. Tahapan ini dilakukan dengan melakukan pengecekan dan pengoreksian terhadap bahasa dari hasil pencatatan dari wawancara dan menyesuaikan dalam bahasa-bahasa yang sesuai dengan penelitian ini. 3. Melakukan cross-check dan membandingkan kode-kode yang dibuat oleh peneliti lain dengan kode-kode yang telah dibuat sendiri. Pada tahapan ini kode-kode berupa bahasa-bahasa dari data yang telah diolah peneliti akan dibandingkan dengan kodekode yang ada pada penelitian-penelitian lain yang digunakan peneliti dalam tinjauan pustaka.
23