BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Campak yang dikenal sebagai Morbili atau Measles, merupakan penyakit yang sangat menular (infeksius) yang disebabkan oleh virus, 90% anak yang tidak kebal akan terserang penyakit campak (Depkes RI, 2010)a. Campak merupakan salah satu Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) dan merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita adalah akibat PD3I. Salah satu upaya efektif yang dapat dilakukan untuk menekan angka kesakitan dan kematian bayi dan balita adalah dengan imunisasi, sedangkan upaya imunisasi akan efektif bila cakupan dan kualitasnya sudah optimal. Terlepas dari progress yang telah dicapai dalam upaya mengontrol penyakit campak sejak tahun 2000, penyakit campak tetap endemis di beberapa negara dan lebih dari 164.000 anak diseluruh dunia meninggal karena penyakit campak. Kematian juga muncul selama berlangsungnya kejadian luar biasa (KLB) di area dimana penyakit campak tidak lagi endemis (Sartorius et al. 2013). Diperkirakan 30.000 anak Indonesia meninggal tiap tahunnya disebabkan komplikasi campak, artinya 1 anak meninggal tiap 20 menit karena setiap tahunnya lebih dari 1 juta anak Indonesia belum mendapatkan imunisasi campak (Depkes RI 2010)a. Pada tahun 2010 WHO telah menetapkan 3 target yang harus dipenuhi pada tahun 2015 untuk mencapai eradikasi campak secara global. Namun target yang telah ditetapkan oleh WHO sepertinya sulit untuk dapat dipenuhi pada tahun 2015, melihat kondisi saat ini dimana kasus campak secara global pada tahun 2013 dilaporkan sebanyak 282.431 dengan incidence rate 41/1.000.000 masih jauh dari target 5/1.000.000 penduduk yang diharapkan dapat dipenuhi (Perry et al. 2014)
1
Target lain yang diharapakan dapat tercapai pada akhir tahun 2015 adalah menurunkan 95% angka kematian akibat campak dibandingkan dengan angka kematian akibat campak pada tahun 2000. Namun hal ini juga sulit dipenuhi karena berdasarkan data WHO (2013), sampai dengan tahun 2012 masih tercatat sebanyak 122.000 kasus kematian akibat campak di seluruh dunia. Artinya bahwa sampai pada tahun 2012 kita baru mencapai 78% penurunan kematian akibat campak sehingga diperlukan usaha yang tidak sedikit untuk bisa mencapai target 95%. Untuk mencapai program eliminasi campak di Indonesia, terdapat berbagai macam tantangan yang harus dihadapi, diantarannya adalah incidence kejadian campak di Indonesia masih relatif tinggi dan cakupan imunisasi yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Tantangan lain yang harus dihadapi adalah masih dilaporkan terjadinya KLB campak di berbagai Provinsi serta masih banyak kasus-kasus yang tidak terlaporkan akibat dari lemahnya sistem pencatatan dan pelaporan, hal ini juga terlihat dari inkonsistensi data yang ada disetiap level. Imunisasi adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penyakit campak. Diharapkan dengan cakupan imunisasi campak yang mencapai 80% atau lebih dapat menurunkan jumlah kasus campak karena terbentuknya kekebalan kelompok masyarakat. Penanggulangan campak saat ini telah berada pada tahap Reduksi Campak (Recam), oleh karena itu setiap Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dapat dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan program imunisasi di suatu daerah. Target yang telah ditetapkan WHO terkait dengan cakupan imunisasi adalah meningkatkan cakupan imunisasi campak dosis pertama untuk anak berusia 1 tahun ≥ 90% secara nasional dan ≥ 80% disetiap kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2012). Salah satu strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan pengendalian penyakit campak adalah dengan melakukan penguatan sistem surveilans campak, agar lebih sensitif dalam memastikan diagnosis melalui pemeriksaan serologi setiap kasus campak. Program ini dikenal dengan
Case
Based
Measles
Surveillance (CBMS) atau program Surveilans Campak Berbasis Kasus. Inti kegiatan ini adalah dimana setiap kasus klinis campak didata, dilakukan
2
penyelidikan
epidemiologi
dan
dilakukan
pemeriksaan
serologi
untuk
membuktikan kasus tersebut benar-benar disebabkan oleh virus campak atau bukan (Asdar, 2012). Pada tahun 2008, pemeriksaan spesimen dilakukan terhadap semua terjangkit campak di dua provinsi (Yogyakarta dan Bali) kemudian pada tahun 2010 dikembangkan ke empat provinsi lainnya (Papua, Malut, Maluku dan NTT). Pada tahun 2011 sebanyak 33 provinsi di Indonesia menerapkan CBMS dengan 6 provinsi yang menerapkan pengambilan spesimen untuk semua suspek campak dan 27 provinsi sisanya melakukan pengambilan spesimen paling sedikit 20% dari suspek kasus campak. Selanjutnya untuk tahun 2012 pada 27 provinsi tersebut jumlah spesimen untuk pemeriksaan IgM ditingkatkan menjadi minimal 50% dari suspek campak (Sandra, 2014). Berdasarkan data performa surveilans campak pada tahun 2013, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada pada urutan pertama, dengan incidence rate sebesar 18/100.000 penduduk. Penyakit campak sendiri di DI Yogyakarta masuk ke dalam 10 penyakit teratas di Puskesmas dan Rumah Sakit berdasarkan data STP tahun 2012 (Dinas Kesehatan Provinsi DIY, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit campak masih menjadi salah satu masalah kesehatan di provinsi DIY. Pada tahun 2013, di Kabupaten Bantul dilaporkan terjadi 1 kali kejadian luar biasa campak. Namun pada tahun 2014 terjadi peningkatan kasus dimana telah terjadi 6 kejadian luar biasa campak di 3 Kecamatan yang berbeda dengan jumlah kasus paling banyak pada wilayah kerja Puskesmas Banguntapan II dengan jumlah kasus pada KLB campak mencapai 285 kasus. Dari hasil kegiatan CBMS pada tahun 2014 diketahui bahwa sebanyak 492 terjangkit campak dilaksanakan pemeriksaan serologis dimana hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 186 kasus positif campak. Penelitian yang telah dilakukan oleh Goodson et al. (2010) menemukan bahwa tidak mendapatkan imunisasi campak dan pendidikan ibu yang rendah menjadi faktor risiko kejadian penyakit campak. Selain tingkat pendidikan ibu, penelitian yang dilakukan oleh Rammohan et al. (2012) hasilnya menunjukkan
3
bahwa bahkan bila ibu tidak berpendidikan, memiliki ayah dengan pendidikan minimal sekolah menengah, signifikan secara statistik dan secara positif berkorelasi dengan status imunisasi seorang anak di 6 negara yang dianalisis termasuk Indonesia. Risiko terkena penyakit campak pada bayi menunjukkan hubungan yang positif dengan proporsi bayi yang tidak diimunisasi dan yang tidak imun pada tahun sebelumnya. Sebagai tambahan risiko infeksi campak meningkat pada wilayah metropolitan dimana wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah dengan kedapatan penduduk yang sangat padat (Sartorius et al., 2013). Penelitian lain yang dilakukan di Toli-toli oleh Suardiyasa pada tahun 2008 menunjukkan hasil bahwa tidak mendapatkan imunisasi campak menjadi faktor risiko kejadian campak. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Casaeri (2002) di Kabupaten Kendal diketahui bahwa tidak diimunisasi campak, tingkat pendidikan ibu yang rendah, status ekonomi, kepadatan hunian, dan status gizi menjadi faktor risiko kejadian campak di Kabupaten Kendal. Pada penelitian yang akan dilaksanakan, faktor yang dilihat adalah status imunisasi campak yang dinilai berdasarkan cakupan imunisasi di kelurahan/desa, status gizi, tingkat pendidikan, kepadatan penduduk, dan status ekonomi. Analisis spasial dilakukan untuk memudahkan dalam melihat gambaran penyakit campak berdasarkan wilayah sebaran di Kabupaten Bantul, melihat wilayah berisiko terjadinya penyakit campak dan melihat ada tidaknya kasus yang mengelompok, serta kemungkinan adanya kasus yang tidak terlaporkan. Selain itu penelitian mengenai distribusi spasial terkait penyakit campak masih sangat kurang, oleh karena itu penelitian ini dirasa perlu untuk dilakukan di Kabupaten Bantul. Pemilihan Kabupaten Bantul sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan bahwa Kabupaten Bantul merupakan salah satu wilayah di D.I Yogyakarta, dimana sejak tahun 2008 D.I.Y merupakan salah satu dari dua provinsi yang menerapkan sistem CBMS di Indonesia sehingga diharapkan data campak dari kegiatan CBMS di Kabupaten Bantul memberikan informasi yang cukup kuat dan valid. Dengan informasi yang didapat dari penelitian ini dimungkinkan untuk membangun strategi rencana pencegahan dan pengendalian
4
yang efektif untuk penyakit campak di Kabupaten Bantul. Selain itu dengan adanya informasi secara spasial diharapkan mampu mendukung kemudahan intervensi kebijakan secara lokal spesifik pada wilayah yang dianggap memiliki risiko yang lebih besar dari wilayah yang lain. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah cakupan imunisasi campak secara spasial berhubungan dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Bantul? 2. Apakah status gizi secara spasial berhubungan dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Bantul? 3. Apakah tingkat pendidikan secara spasial berhubungan dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Bantul? 4. Apakah kepadatan penduduk secara spasial berhubungan dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Bantul? 5. Apakah status ekonomi secara spasial berhubungan dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Bantul? 6. Apakah ada pengolompokan (cluster) kasus campak yang terjadi di Kabupaten Bantul? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Melakukan analisis distribusi spasial kasus campak berdasarkan data Case Based Measles Surveillance (CBMS) Tahun 2014, untuk mengetahui wilayah berisiko penyakit campak di Kabupaten Bantul. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan spasial cakupan imunisasi campak dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Bantul. b. Untuk mengetahui hubungan spasial status gizi dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Bantul.
5
c. Untuk mengetahui hubungan spasial tingkat pendidikan dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Bantul. d. Untuk mengetahui hubungan spasial kepadatan penduduk dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Bantul. e. Untuk mengetahui hubungan spasial status ekonomi dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Bantul. f. Untuk mengetahui ada tidaknya pengelompokan (cluster) kasus campak di Kabupaten Bantul. D. Manfaat Penelitian 1. Untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, penelitian ini dapat memberikan masukan
dalam
menyusun
langkah
dan
strategi
pencegahan
dan
pemberantasan penyakit campak. 2. Untuk peneliti, dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit campak. 3. Untuk akademik, diharapakan penelitian ini dapat menjadi acuan dan rujukan untuk penelitian lain guna pengembangan lebih lanjut tentang penyakit campak. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai penyakit campak dan analisis spasial telah dilakukan di beberapa daerah, oleh beberapa peneliti namun khusus untuk di wilayah Kabupaten Bantul belum pernah ada penelitian serupa. Adapun penelitian terkait penyakit campak yang dilakukan sebelumnya diuraikan dibawah ini: 1. Suardiyasa (2008) melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor risiko kejadian penyakit campak pada anak balita di Kabupaten Toli-toli propinsi Sulawesi Tengah” Persamaan penelitian terletak pada tema penelitian dan variabel status imunisasi dan status gizi yang di teliti. Perbedaan terletak pada desain penelitian dimana penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional, meggunakan analisis spasial serta perbedaan lokasi penelitian, selain itu unit populasi dan sampel yang digunakan pada
6
penelitian tersebut adalah individu sedangkan pada penelitian ini subjek penelitian adalah wilayah administrasi kelurahan/desa. 2. Asdar (2012) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Spasial Kejadian Penyakit campak di Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo” Persamaanya terletak pada tema penelitian, desain penelitian yang digunakan, pemilihan variabel, status imunisasi, status gizi selain itu subjek penelitian yang sama yaitu wilayah administrasi wilayah sebagai subjek penelitian. Perbedaannya terletak pada wilayah penelitian dan definisi kasus campak yang digunakan (definisi kasus yang digunakan adalah campak klinis sedangkan pada penelitian ini definisi kasus yang digunakan adalah campak konfirmasi laboratorium). 3. Castillo et al. (2011)dengan judul penelitian “Application of Spatial to The Examination of Dengue Fever in Guayaquil, Ecuador” Persamaannya terletak pada desain studi serta subjek penelitian, yaitu wilayah administrasi. Perbedaannya terletak pada tema penelitian dan lokasi penelitian yaitu penelitian yang dilakukan oleh Castillo dengan tema DBD sementara penelitian yang akan dilaksanakan dengan tema penyakit campak yang berlokasi di Kabupaten Bantul. 4. Casaeri (2002) melakukan penelitian dengan judul “Faktor-faktor Kejadian Penyakit Campak di Kabupaten Kendal Tahuun 2002” Persamaannya terletak pada tema penelitian dan variabel terkait status imunisasi, status gizi dan status ekonomi yang diteliti. Perbedaan terletak pada desain penelitian dimana penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional, menggunakan analisis spasial serta perbedaan lokasi penelitian, selain itu unit populasi dan sampel yang digunakan pada penelitian tersebut adalah individu sedangkan pada penelitian yang akan dilaksanakan subjek penelitiannya adalah wilayah administrasi kelurahan/desa.
7
5. Sartorius et al. (2013) melakukan penelitian dengan judul “Identifying highrisk areas for sporadic measles outbreaks: lesson from South Africa” Persamaan terletak pada tema penelitian, variabel kepadatan penduduk serta variabel cakupan imunisasi. Perbedaan terletak pada tempat penelitian serta sumber data yang digunakan, dimana penelitian yang dilakukan oleh Sartorius et al. data yang digunakan merupakan data KLB campak sedangkan untuk penelitian yang dilakukan data yang digunakan bersumber dari data rutin surveilans campak.
8