BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama bagi anak, dalam keluarga terjadi proses pendidikan orang tua pada anak yang dapat membantu perkembangan anak. Salah satu bentuk pendidikan orang tua kepada anak yaitu melalui dukungan dan keterlibatan. Dukungan yang diberikan terbukti berpengaruh terhadap harga diri anak (Felson & Zghielinski, 1989 ; Lestari, 2012 : 60) dan kepuasan hidup anak (Young dkk, 1995 : Lestari, 2012 : 20). Perubahan globalisasi dan modernisasi yang saat ini terjadi memberikan pengaruh terhadap kehidupan berkeluarga (Hawari, 2004 : 741). Mudahnya akses informasi melalui berbagai media turut membiaskan budaya dan aturan hidup yang diyakini bangsa Indonesia. Misalnya, melalui tayangan film yang banyak menampilkan perilaku menyimpang, seperti pergaulan bebas, minum-minuman keras, perilaku anarkis, dan konsumtif. Efek-efek perubahan global ini seolah menjadi lingkaran kesesatan karena melalui informasi negatif yang pesat beredar, nilai-nilai kehidupan keluarga menjadi memudar, individu menjadi permisif terhadap arus informasi yang diterima dan mengakibatkan terganggunya sosialisasi nilai-nilai kehidupan yang perlu diwariskan kepada generasi sebagai identitas bangsa dan negara. Hambatan yang terjadi dalam kehidupan keluarga akan sangat dirasakan oleh anak-anak terutama dalam keluarga terjadi perubahan baik yang sifatnya fungsional maupun struktural. Pada saat ini, fenomena perceraian, perselingkuhan, penyimpangan perilaku seks, dan perpisahan dalam keluarga tidak begitu sulit ditemukan pada masyarakat. Fenomena-fenomena tersebut terjadi didasari oleh faktor keharmonisan keluarga, ekonomi, penghargaan, gaya hidup, kebebasan, dan kekerasan (Akbar, 2013 : m.sindoweekly-magz.com). Akhirnya, banyak pasangan
1 Senja Wijaya Rahmat, 2014 Profil Resiliensi Siswa Yang Berlatar Belakang Orangtua Tunggal (Studi Deskriptif Pada Siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya TA 2013/ 2014) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
2
suami istri yang lebih memilih atau terpaksa menjadi orang tua tunggal dalam mendidik anak-anaknya. Orang tua tunggal adalah seorang ayah atau ibu yang bertanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendirian (Edwards, 2009 : www.scoe.org). Jenis-jenis orang tua tunggal, diantaranya, orang tua tunggal karena perceraian, orang tua tungal karena kematian salah satu pasangan, orang tua tunggal karena perpisahan tempat tinggal (separated), dan orang tua tunggal karena tidak menikah (Ooms & Preister, 1988 : www.familyimpactseminar.org). Menurut Ketteringham (2007 : voices.yahoo.com) pada 22 juta anak di Amerika sekitar 38% anak-anak hidup dalam kondisi orang tua yang bercerai, 35% dengan kondisi orang tua yang tidak menikah, 19% dengan kondisi terpisah dari kedua orang tua, 4% dengan kondisi orang tua yang merupakan janda atau duda, dan 4% dengan kondisi orang tua yang memiliki pasangan tinggal di tempat lain akibat bisnis atau alasan lainnya. Data profil kependudukan jawa barat tahun 2011 (jabarprov.go.id) mengungkap bahwa penduduk Jawa Barat yang berstatus cerai mati (7,99%) lebih besar daripada cerai hidup (3,89%) dari jumlah penduduk sebanyak 13.452.082 jiwa. Jumlah persentase cerai mati berbanding lurus dengan jumlah usia seseorang artinya semakin bertambah usia maka kemungkinan mengalami cerai mati semakin besar. Peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan yang mengganggu struktur dan fungsi dalam keluarga merupakan adversitas (kemalangan) bagi anak. Anak-anak akan cenderung menampilkan emosi atau perilaku negatif sebagai respon terhadap kemalangan. Yusuf dan Nurihsan (2008 : 28) mengatakan bahwa : Anak yang dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang broken home, kurang harmonis, orang tua bersikap keras kepada anak, atau tidak memperhatikan nilai-nilai agama, maka perkembangan kepribadiannya cenderung mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam penyesuaian dirinya (maladjustment). Hawari (2004 : 741) anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi mempunyai resiko yang lebih besar untuk bergantung tumbuh kembang jiwanya (misalnya, berkepribadian anti sosial), daripada anak yang dibesarkan Senja Wijaya Rahmat, 2014 Profil Resiliensi Siswa Yang Berlatar Belakang Orangtua Tunggal (Studi Deskriptif Pada Siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya TA 2013/ 2014) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3
dalam keluarga yang harmonis dan utuh (sakinah). Schoon (2006 : Mashudi, 2012 : 2) mengemukakan bahwa adversitas dapat membawa pada resiko, remaja beresiko (at-risk adolesence) biasanya menjadi remaja yang rentan (vulnerable adolesence) dan remaja yang rentan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadi remaja bermasalah (troubled adolesence). Menurut penelitian Nisfiannoor dan Yulianti (2005) pada remaja usia 13-18 tahun di Jakarta utara yang mengalami perceraian orang tua menyebutkan bahwa sebesar 53,75% remaja mengaku bahwa perceraian kedua orang tua membuat kehidupannya menjadi semakin hancur, 32,14% mengaku bahwa perceraian membuatnya semakin baik, dan 14,28% menanggapi perceraian orang tua dengan biasa saja. Namun, 82,28% atau hampir seluruh subjek memiliki perilaku agresif. Penelitian ini membuktikan bahwa perceraian memberikan dampak buruk bagi anak. Dampak negatif akibat orang tua tunggal pada anak lebih sering diungkapkan daripada fenomena anak-anak yang mampu bertahan bahkan menjadi lebih baik karena pengasuhan orang tua tunggal. Padahal tidak semua anak yang diasuh oleh orang tua tunggal akan menampilkan masalah kejiwaan dan perilaku menyimpang. Beberapa justru sukses dalam kehidupan pribadi sosial, sekolah, dan karir. Hasil penelitian Ningrum (2013) pada anak yang mengalami perceraian orang tua menyebutkan tiga dari empat subjek menampilkan sikap menerima kenyataan yang terjadi, dapat mengatasi masalah, dan memiliki kontrol emosi yang baik serta menjalin hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain, dan mengubah pandangan terhadap realitas untuk memiliki tujuan hidup kedepan. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak semua individu yang mengalami perceraian orang tua akan menampilkan perilaku resah, kehilangan, tidak dapat mengontrol emosi, anti sosial, dan cenderung putus asa. Sebuah lembaga pelayanan remaja di New Jersey, Middle Earth (2010 : www.middleearthnj.wordpress.com) anak-anak yang mengalami perceraian orang tua dan memiliki kemampuan resiliensi rendah lebih mungkin mengalami
Senja Wijaya Rahmat, 2014 Profil Resiliensi Siswa Yang Berlatar Belakang Orangtua Tunggal (Studi Deskriptif Pada Siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya TA 2013/ 2014) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4
kesulitan akademik dan perilaku di sekolah, memiliki tingkat putus sekolah lebih tinggi, memulai aktivitas seksual pada usia lebih dini, melakukan lebih banyak kejahatan, memiliki tingkat kecanduan narkoba dan alkohol lebih tinggi, dan mereka memiliki harga diri lebih rendah dan kesulitan dalam menjalin hubungan interpersonal daripada anak yang berasal dari keluarga utuh.
Berdasarkan studi pendahuluan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Tasikmalaya, diketahui bahwa banyak siswa mengalami masalah perceraian dan pengabaian orang tua yang bekerja di luar kota/negeri. Hasil studi pendahuluan pada bulan januari dan Agustus 2013, dari 657 siswa sebanyak 63 siswa mengalami peristiwa kematian salah satu orang tua (9,6%), 44 siswa mengalami keterpisahan baik dengan salah satu orang tua maupun keduanya (6,7%), dan 60 siswa mengalami perceraian orang tua (8,6%). Beberapa kasus yang ditemukan oleh guru BK pada anak-anak yang melakukan pelanggaran sekolah, diantaranya akibat kurangnya perhatian yang diberikan orang tua terutama karena orang tua mereka sudah berpisah atau tidak tinggal serumah dengan orang tua. Namun, persentase pelanggaran yang dilakukan oleh anak yang berasal dari keluarga yang berlatar belakang orang tua tunggal pun tidak terlalu tinggi sampai sejauh yang diketahui. Fenomena-fenomena ini menunjukan bahwa melalui peristiwa negatif dan tidak menyenangkan akibat perceraian, perpisahan, dan kematian orang tua, individu mengalami seleksi antara yang mampu bertahan, yang tidak mampu bertahan, dan yang mampu menjadi lebih baik. Tentu saja yang paling baik adalah seorang individu diharapkan untuk menjadi lebih baik melalui serangkaian peristiwa menyakitkan. Istilah yang menunjukan hal itu dalam psikologi disebut dengan resiliensi. Norman (2000 : 3) menyebutkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bangkit atau beradaptasi dengan sukses dalam merespon atau menghadapi kondisi-kondisi yang menekan (adversitas). Desmita (2011 : 8) menyatakan resiliensi merupakan sebuah konsep yang relatif baru
Senja Wijaya Rahmat, 2014 Profil Resiliensi Siswa Yang Berlatar Belakang Orangtua Tunggal (Studi Deskriptif Pada Siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya TA 2013/ 2014) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5
dalam khasanah psikologi. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer tentang bagaimana anak, siswa, dan orang dewasa dapat bangkit kembali dan bertahan dari kondisi stress, trauma, dan resiko kehidupan mereka. Resiliensi sebagai salah satu kapasitas kemampuan untuk menghadapi tantangan dengan positif perlu dikembangkan pada diri individu, terutama remaja, yang pada fasenya pun disebutkan Hurlock (1980 : 212) sebagai masa badai dan tekanan. Sekolah sebagai bagian dari tempat penyelenggaraan kegiatan pendidikan dalam arti seluas-luasnya perlu turut mengambil bagian untuk mencegah siswanya dari perilaku-perilaku negatif sekalipun sumber-sumber permasalahan siswa banyak yang terletak di luar sekolah. Menurut Prayitno & Amti (2004 : 29) permasalahan-permasalahan siswa meskipun sumber permasalahan terletak di luar sekolah tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sekolah diharapkan mampu mengembangkan resiliensi pada siswanya agar mereka dapat mandiri menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah berat yang menekan. Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti bermaksud untuk mengungkap profil resiliensi siswa sekolah menengah pertama yang berlatar belakang orang tua tunggal.
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Pasangan suami istri yang menjadi orang tua tunggal dilatar belakangi dua alasan yaitu pilihan dan bukan pilihan. Seringnya, menjadi orang tua tunggal karena perceraian, terpisah, dan tidak menikah lebih disebabkan berdasarkan pilihan. Sementara, menjadi orang tua tunggal karena kematian salah sau pasangan berdasarkan bukan pilihan. Dalam praktik pengasuhan anak, banyak perbedaan antara pengasuhan oleh orang tua tunggal dan pengasuhan oleh orang tua utuh. Adanya perubahan struktur dan fungsi keluarga pada orang tua tunggal tidak hanya memberi dampak yang signifikan pada pasangan suami istri tetapi juga kepada anak-anak. Beberapa fenomena di masyarakat ditemukan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang mengalami broken home lebih
Senja Wijaya Rahmat, 2014 Profil Resiliensi Siswa Yang Berlatar Belakang Orangtua Tunggal (Studi Deskriptif Pada Siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya TA 2013/ 2014) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
6
beresiko mengalami masalah kejiwaan dan perilaku menyimpang daripada anakanak yang berasal dari keluarga utuh. Menurut guru BK hampir setengah jumlah siswa di SMP Negeri 18 Tasikmalaya tahun ajaran 2013/2014 berasal dari keluarga yang mengalami perceraian dan pengabaian orang tua. Masalah-masalah yang dialami oleh orang tua tunggal seperti merasa kesepian, kesulitan ekonomi, tidak memiliki pasangan seksual, tidak memiliki dukungan emosional, tidak ada tempat untuk bercerita ketika ada kondisi darurat, dan kehidupan sosial yang dibatasi tidak dapat selesai hanya dengan keberadaan anak-anak. Kondisi yang dialami oleh orang tua tunggal akan berdampak pada anak-anak. Perhatian yang bersumber dari salah satu orang tua atau bahkan tidak dirasakan oleh anak dapat memicu anak menarik perhatian dengan cara yang salah, beberapa perilaku yang sering muncul pada siswa SMP Negeri 18 Tasikmalya yaitu membolos, merokok, melanggar peraturan sekolah, dan konflik dengan teman. Adanya paradigma mengenai resiliensi memberikan pandangan baru terhadap anak-anak yang berlatar belakang orang tua tunggal bahwa anak-anak tersebut memiliki kemampuan mengadaptasi kondisi sulit yang berasal dari keluarga dan tidak mengalihkannya pada perilaku menyimpang. Adanya kondisi adversitas berupa kondisi orang tua tunggal merupakan faktor resiko pada siswa di SMP Negeri 18 Tasikmalaya. Namun begitu, dapat diketahui resiliensi yang dimiliki siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya dalam mengadaptasi kondisi keluarga yang merupakan orang tua tunggal. Selain itu, menurut Turner (Norman, 2000 : 3) menyebutkan
bahwa
anak
laki-laki
dan
perempuan
memiliki
lintasan
perkembangan yang berbeda, oleh karena itu, besar kemungkinan bahwa ada faktor protektif yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan serta berbeda tingkat resiliensinya. Adanya atribut psikologis pun yang merupakan aspek resiliensi merupakan faktor-faktor protektif internal yang meyokong resiliensi. Oleh karena itu, dengan mengetahui gambaran setiap aspeknya dapat melihat hubungan antara setiap aspek dengan tingkat resiliensi itu sendiri. Beberapa
Senja Wijaya Rahmat, 2014 Profil Resiliensi Siswa Yang Berlatar Belakang Orangtua Tunggal (Studi Deskriptif Pada Siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya TA 2013/ 2014) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
7
pertanyaan penelitian berdasarkan paparan identifikasi dituangkan dalam rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana gambaran umum tingkat resiliensi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Tasikmalaya Tahun Ajaran 2013/2014 yang berlatar belakang orang tua tunggal? 2. Bagaimana gambaran tingkat resiliensi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Tasikmalaya Tahun Ajaran 2013/2014 yang berlatar belakang orang tua tunggal berdasarkan siswa laki-laki dan siswa perempuan? 3. Bagaimana gambaran tingkat resiliensi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Tasikmalaya Tahun Ajaran 2013/2014 yang berlatar belakang orang tua tunggal berdasarkan setiap aspeknya? 4. Bagaimana rancangan layanan hipotetik bimbingan dan konseling yang diduga tepat untuk mengembangkan resiliensi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Tasikmalaya Tahun Ajaran 2013/2014 yang berlatar belakang orang tua tunggal? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam skripsi ini sebagai berikut : 1. Menyajikan data kuantitatif dalam memberikan gambaran umum tingkat resiliensi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Tasikmalaya Tahun Ajaran 2013/2014 yang berlatar belakang orang tua tunggal. 2. Menyajikan data kuantitatif dalam memberikan gambaran tingkat resiliensi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Tasikmalaya Tahun Ajaran 2013/2014 yang berlatar belakang orang tua tunggal berdasarkan gender. 3. Menyajikan data kuantitatif dalam memberikan gambaran tingkat resiliensi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Tasikmalaya Tahun Ajaran 2013/2014 berdasarkan setiap aspeknya. 4. Memperoleh rumusan rancangan layanan hipotetik bimbingan dan konseling yang diduga efektif untuk mengembangkan resiliensi siswa
Senja Wijaya Rahmat, 2014 Profil Resiliensi Siswa Yang Berlatar Belakang Orangtua Tunggal (Studi Deskriptif Pada Siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya TA 2013/ 2014) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
8
Sekolah Menengah Pertama Negeri 18 Tasikmalaya Tahun Ajaran 2013/2014 yang berlatar belakang orang tua tunggal.
D. Manfaat Penelitian Manfaat teoritis penelitian adalah menjadi bagian dari referensi penelitian dan pengembangan layanan bimbingan dan konseling baik ditinjau dari segi materi mengenai orang tua tunggal maupun resiliensi. Sejauh pencarian referensi yang dilakukan peneliti, kajian mengenai resiliensi pada siswa berlatar belakang orang tua tunggal masih minim. Dalam tataran praktis, diharapkan hasil penelitian (skripsi) menjadi rujukan bagi mahasiswa dan guru BK dalam penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan konseling bagi siswa yang berlatar belakang orang tua tunggal.
E. Struktur Organisasi Skripsi Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian resiliensi siswa yang mengalami perceraian orang tua, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi. Bab II merupakan kajian pustaka, kerangka pemikiran, dan konsep-konsep mengenai resiliensi siswa yang mengalami perceraian orang tua, konsep bimbingan dan konseling serta penelitian-penelitian terdahulu yang terkait dengan resiliensi. Bab III menyajikan mengenai metode penelitian yang menjabarkan secara rinci mengenai lokasi dan subjek penelitian,pendekatan penelitian, metode penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, proses pengembangan instrument, teknik pengumpulan data, dan analisis data. Bab IV menguraikan hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri dari dua hal utama yaitu analisis data untuk menghasilkan temuan berkaitan dengan masalah
Senja Wijaya Rahmat, 2014 Profil Resiliensi Siswa Yang Berlatar Belakang Orangtua Tunggal (Studi Deskriptif Pada Siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya TA 2013/ 2014) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
9
penelitian, pertanyaan penelitian, dan tujuan penelitian serta menguraikan pembahasan, dan analisis temuan. Bab V merupakan kesimpulan dan saran atau rekomendasi penelitian.
Senja Wijaya Rahmat, 2014 Profil Resiliensi Siswa Yang Berlatar Belakang Orangtua Tunggal (Studi Deskriptif Pada Siswa SMP Negeri 18 Tasikmalaya TA 2013/ 2014) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu