BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Soekarno (1964: 16) dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) menyatakan sebuah negara membutuhkan sebuah dasar untuk berdiri, contohnya Rusia dengan Marxistische, Jerman dengan National-sozialistiche Weltanschauung, Thiongkok dengan Mintsu, Minchuan, Ming Sheng (Nasionalisme, demokrasi, sosialisme). Dasar negara ini juga diperlukan oleh Indonesia agar jelas visi dan misi dari berdirinya sebuah negara. Kemudian secara berurutan, Soekarno (1964: 19-31) menyebutkan: (1) Prinsip Kebangsaan Indonesia. (2) Prinsip Internasionalisme atau Perikemanusiaan. (3) Prinsip Mufakat atau Demokrasi. (4) Prinsip Kesejahteraan Sosial. (5) Prinsip Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kelima prinsip ini dibacakan pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai dasar dari berdirinya Indonesia, yang diperkenalkan dengan nama Panca Sila. Perdebatan tentang isi dari Pancasila berlangsung secara sengit, usulan isi dari pendapat anggota BPUK yang lain bermunculan, hingga akhirnya perdebatan dilanjutkan dalam panitia kecil yang menghasilkan rumusan: (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab. (3) Persatuan Indonesia. (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Notosusanto, 1983: 20-21). Bung Hatta (1980: 9) berpendapat dengan urutan itu dasar Ketuhanan menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita untuk melaksanakan segala yang baik bagi rakyat dan masyarakat, sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dengan perbuatan dalam praktek hidup daripada dasar yang memimpin tadi. Dasar persatuan Indonesia menegaskan sifat negara Indonesia sebagai negara nasional, berdasarkan ideologi sendiri dengan
1
2
bersendi kepada Bhinneka Tunggal Ika, sedangkan dasar kerakyatan menciptakan pemerintahan yang adil, yang dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab, agar terlaksana keadilan sosial yang tercantum sebagai sila kelima. Dasar keadilan sosial adalah pedoman dan tujuan kedua-duanya. Rumusan Pancasila diatas mendapat respon yang tajam dari Latuharhary, khususnya pada kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (kemudian dikenal dengan istilah “tujuh kata”). Tanggapan ini kemudian merangsang perdebatan pro-kontra antara golongan kebangsaan dan golongan Islam. Hingga pada akhirnya dengan alasan untuk menjaga persatuan bangsa, “tujuh kata” tersebut diganti dengan kata “Yang Maha Esa” sehingga kalimat utuh dari sila pertama menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Yudi Latif, 2011: 24-36). Rumusan final Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara disahkan pada 18 Agustus 1945 di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan isi sila: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Kemanusian yang adil dan beradab. (3) Persatuan Indonesia. (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Yudi Latif, 2011: 40). Konstitusi Indonesia beberapa kali mengalami perubahan, bermula dari UUD 1945 yang berlaku sejak 18 Agustus 1945, berganti menjadi konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1945, lalu berganti menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) pada tanggal 17 Agustus 1950, kemudian melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali di Indonesia, setelah itu pada tanggal 19 Oktober 1999 hingga 10 Agustus 2002 telah empat kali UUD 1945 diamandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), meskipun telah beberapa kali terjadi perubahan terhadap konstitusi Indonesia, tetapi jiwa dari konstitusi kita tetaplah sama yaitu Pancasila (Jimly Assiddiqie, 2011: 32-51).
3
Perdebatan diatas menjadi bukti, saat negara ini didirikan, para pendiri bangsa Indonesia sudah memikirkan dengan sangat matang tentang perlunya negara ini didirikan di atas fondasi sistem hukum yang kuat. Intinya, negara yang didirikan itu haruslah merupakan negara hukum (Rechtsstaat) yakni negara yang menjadikan hukum sebagai pedoman bersama di dalam bersikap dan berperilaku. Untuk dapat dijadikan pedoman, hukum wajib dirumuskan dan disusun dalam suatu tatanan yang runtut dan logis, yang lazim disebut sebagai sistem hukum (Darji Darmodiharjo, 2010: 91-92). Darji Darmodiharjo (2010: 92) menambahkan, hukum dalam konteks pengertian di atas dapat berbentuk nilai dan norma. Diantara nilai dan norma ini biasanya diletakkan asas-asas hukum. Nilai adalah kualitas dari sesuatu yang berguna baik lahir maupun batin bagi kehidupan manusia bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar nilai tersebut dapat dipahami oleh segenap lapisan masyarakat, maka ia harus dirumuskan dan diberlakukan oleh pemegang kekuasaan publik yang diakui wewenangnya. Rumusan demikian disebut sebagai norma hukum. Kesepakatan untuk menjadikan Pancasila yang terdapat dalam pokokpokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 itu sebagai cita, asas, dan norma tertinggi negara demikian kokoh sehingga ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No. XX/MPRS/1966 menegaskan, bahwa pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah, karena mengubah isi pembukaan berarti membubarkan negara (Attamimi, 1990: 305). Melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 pertama kali Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum, yang artinya seluruh peraturan yang ada di Indonesia harus berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Kemudian disempurnaan melalui TAP MPR No.III/MPR/2000, hingga lahirnya Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 2004
yang kembali disempurnakan menjadi UU No. 12 Tahun 2011
4
tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, yang kembali meneguhkan posisi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia. Hakikat Pancasila adalah nilai-nilai. Karena baru berada di wilayah (tataran) nilai, ia tidak cukup konkret untuk mengatur langsung kehidupan bermasyarat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai itu harus dijabarkan lagi ke dalam bentuk yang lebih konkret. Bentuk konkret yang dimaksud adalah normanorma. Disinilah sebenarnya letak persoalan yang banyak digugat itu. Dalam kenyataannya kita melihat sangat banyak norma yang berlaku atau diperlakukan sama sekali tidak konsisten (taat asas) lagi dengan nilai-nilai pancasila. Nilai-nilai itu diterjemahkan ke dalam norma-norma menurut kepentingan perorangan atau kelompok tertentu, sehingga membuat banyak orang salah alamat dengan menuding Pancasila sebagai penyebab kekeliruan itu semua (Darji Darmodiharjo, 2010: 21-22). Tafsir terhadap Pancasila pernah menjadi sangat tertutup, salah satunya dalam sejarah kelam bangsa Indonesia yaitu pada saat Orde Baru, dimana untuk kepentingan kekuasaan, para penguasa memonopoli penafsiran dan pemaknaan Pancasila sesuai kehendak dan kepentingannya dalam membuat peraturan (Jimly Assiddiqie, 2008: 154). Mirisnya aturan-aturan yang dibuat ternyata bertentangan dengan jiwa Pancasila yang diharapkan oleh founding father (bapak bangsa) Indonesia. Bahkan setelah reformasi bergulir, dari sekitar 400 pengaduan gugatan UU yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK), periode Agustus 2003 hingga Mei 2012, sekitar 27 persen di antaranya dibatalkan. Pembatalan dilakukan karena sebagian
besar
UU
tersebut
melanggar
nilai-nilai
Pancasila
(http://nasional.kompas.com/read/2012/06/01/00191155/Banyak.Pelanggaran.terh adap.Nilai-nilai.Pancasila diakses 21 Mei 2014 Pukul 15.15 WIB). Sementara itu data yang ada pada Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gajah Mada (UGM) menunjukkan pascareformasi, pemerintah bersama DPR telah memproduksi 426 UU, dari jumlah tersebut, setidaknya 102 UU diperkarakan di MK, dari jumlah
5
tersebut, 5 UU dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, bahkan keluar dari falsafah Pancasila (Suara Pembaharuan, 01/06/2012: 1). Senada dengan keadaan diatas Ketua Tim Ahli PSP UGM, Sutaryo, menuturkan permasalahan bidang hukum yang terjadi saat ini disebabkan oleh banyak produk hukum yang lahir tidak berlandaskan pada Pancasila (http://ugm.ac.id /id/post/page?id=4106 diakses 22 September 2014 Pukul 12.38 WIB). Lebih lanjut Otong Rosadi (2010: 282-283) berpendapat, masalah pembentukan hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia salah satunya adalah mengenai masalah asas dan materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan. Jimly (2010: 143) berpendapat, memang masih terdapat kekurangan dalam asas materiil undang-undang dan peraturan perundang-undangan. Salah satu prinsip yang paling pokok yang seharusnya menjadi paradigma pokok setiap peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah dasar negara Pancasila. sudah seharusnya, kelima sila Pancasila tercermin dalam setiap materi peraturan perundang-undangan. Karena menurut Notonagoro (1987: 204-205), terbentuknya perundang-undangan dan penyelenggaraan negara yang mengandung penjelmaan Pancasila merupakan pendorong serta penjurus hidup, dan karena itu mempunyai peranan yang sangat penting, peranan pedagogis dalam proses, dalam perkembangan mendidik rakyat Indonesia untuk hidup ber-Pancasila. Lebih lanjut Satya Arinanto (2000:58) berpendapat “This philosophy is meant to encourage individual commitment to the precepts, because only with this commitment can Indonesia continue to function as a unified nation”. Jika pada kenyataannya nilai-nilai Pancasila tidak selalu sukses merasuk menjiwai aturan hukum, bukan Pancasila-nya yang tidak relevan melainkan implementasinya (M. Mahfud, 2012: 9). Maka permasalahan ini menjadi menarik untuk
dikaji
lebih
lanjut
dalam
penulisan
hukum
dengan
judul
“IMPLEMENTASI PANCASILA SEBAGAI DASAR PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI UNDANG-UNDANG
6
NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulisan hukum ini akan membahas permasalahan sebagai berikut: Bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai asas materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?
C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaannya. Terdapat dua jenis tujuan dalam pelaksanan suatu penelitian, yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif. Tujuan objektif merupakan tujuan yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri, sedangkan tujuan subjektif berasal dari penulis. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan objektif dan subjektif dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif Untuk mengetahui bagaimana implementasi Pancasila sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. 2. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, menambah pengetahuan dan pemahaman penulis dalam bidang ilmu hukum pada umumnya dan bidang hukum tata negara pada khususnya, dan mengembangkan proses penalaran yang dinamis serta cara berfikir yang kritis bagi penulis berdasarkan ilmu
7
pengetahuan dalam bidang hukum yang diperoleh dan dipelajari selama masa perkuliahan.
D. Manfaat Penelitian Dalam suatu penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat yang diperoleh, terutama bagi bidang ilmu yang sedang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya, serta bidang hukum tata negara pada khususnya, serta dapat memperkaya referensi dan literatur dalam penelitian sejenis untuk tahap selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti, dapat meningkatkan daya penalaran, daya kritis, dan menerapkan ilmu pengetahuan hukum yang dipelajari penulis dalam perkuliahan, dapat menambah pemikiran dan wawasan pengetahuan di bidang hukum bagi masyarakat terkait dengan implementasi Pancasila sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat agar menyadari pentingnya implementasi Pancasila sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, dapat memberikan sumbangan referensi bagi penelitian dalam bidang implementasi Pancasila sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undangan.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum (Legal research) adalah suatu proses untuk menentukan kebenaran koherensi, yaitu menentukan apakah aturan hukum yang ada sudah
8
sesuai dengan norma hukum, apakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 47). Penelitian hukum merupakan suatu penelitian dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 60). Metode yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Jenis penelitian Ditinjau dari sudut penelitian hukum maka pada penelitian ini penulis menggunakan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum: primer dan sekunder. Sehingga dalam penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 55-56). 2. Sifat Penelitian Dalam penulisan hukum ini, sifat penelitian yang digunakan oleh penulis adalah preskriptif. Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Dalam hal ini, objek ilmu hukum adalah koherensi antara norma hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum, serta koheresi antara tingkah laku (act)-bukan perilaku (behavior)-individu dengan norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 4142). 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
menggunakan
pendekatan
undang-undang
(statute
approach),
pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 133). Dalam pendekatan
undang-undang,
peneliti
mencoba
menganalisis
peraturan
9
perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang ditangani,
sedangkan
dengan
pendekatan
historis,
peneliti
mencoba
menganalisis historis Pancasila sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan pendekatan konseptual dilakukan dengan menelaah konsep-konsep yang berkaitan dengan implementasi Pancasila sebagai dasar pembentukan peraturan perundang-undangan. 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini bahan hukum yang dipakai adalah bahan hukum primer dan sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim Sedangkan bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Meliputi, buku-buku teks, kamus hukum, jurnal, dan komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 181). a. Sumber Bahan Hukum Primer 1. TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia. 2. TAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. 3. TAP MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. 4. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 5. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. b. Sumber Bahan Hukum Sekunder
10
Sumber hukum sekunder berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 181) 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau studi kepustakaan (literature research) yaitu pengumpulan dan identifikasi bahan hukum yang didapat melalui buku referensi, karangan ilmiah, dokumen resmi, makalah, jurnal, media massa seperti koran, internet, serta bahanbahan yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dibuat. Kemudian bahan hukum disusun serta dikonstruksikan dengan sistematis. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum yang digunakan peneliti adalah menggunakan metode deduksi. Penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor yang merupakan aturan hukum. Kemudian diajukan premis minor yang merupakan fakta hukum. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2013: 89-90).
F. Sistematika Penelitian Sistematika penulisan hukum adalah untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai isi penulisan hukum. Penulisan hukum ini dibagi dalam 4 (empat) bab, yaitu BAB I : PENDAHULUAN Dalam penulisan ini penulis menguraikan mengenai: A. Latar Belakang Masalah
11
B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka teori dan kerangka pemikiran yang berkaitan dengan judul dan permasalahan yang akan diteliti, yaitu: A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang asas dan norma hukum 2. Tinjauan tentang hierarki norma hukum 3. Tinjauan tentang Pancasila sebagai norma fundamental negara 4. Tinjauan tentang peraturan perundang-undangan Indonesia B. Kerangka Pemikiran Memaparkan mengenai kerangka pemikiran penulis yang dituangkan dalam bentuk bagan. Hal ini dimaksudkan agar mudah memberikan pemahaman yang rasional terhadap masalah dan out put akhir dalam penelitian ini. BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis akan menguraikan hasil yang diperoleh dari analisis yaitu berupa hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya yaitu:
12
A. Implementasi Pancasila sebagai Asas Materi Muatan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 1. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila, pada poin ini penulis akan menjabarkan nilai-nilai masing-masing sila Pancasila. 2. Implementasi Pancasila dalam Asas Materi Muatan Pembentukan Undang-Undang, pada poin ini penulis akan menguji asas materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada di dalam pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 dengan nilai-nilai yang menjiwai Pancasila. BAB IV: PENUTUP Pada bab ini penulis memberikan simpulan serta saran dari penulisan hukum ini yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dengan sistematika sebagai berikut: A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA