BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pembahasan mengenai manusia merupakan masalah yang paling rumit di
alam semesta. Karena banyak manusia yang belum mengetahui bahkan belum menemukan kesimpulan secara sempurna mengenai dirinya. Meskipun, mereka mampu mengatasi masalah dalam kehidupan. Oleh karena itu, pembahasan mengenai manusia memerlukan perhatian yang besar. Muthahhari mengatakan, ‘Tidak ada makhluk di dunia ini yang lebih membutuhkan penjelasan dan interpretasi selain manusia’. Sebab hanya manusia saja yang mempunyai kemampuan menjelaskan dan bisa menjelaskan segala sesuatu, justru tentang dirinya tidak mampu dijelaskan dengan sempurna. Manusia selalu mencari tahu dan mempertanyakaan hakikat dirinya. Tidak sedikit usaha yang dilakukan manusia untuk mengetahui hakikat dirinya sepanjang sejarahnya. Pencarian tentang hakikat diri manusia belum mendapat jawaban yang pasti. Jawaban tentang siapakah manusia tidak akan pernah selesai, sampai kehidupan manusia seluruhnya berakhir. Karena ketidaktahuan manusia dan juga rasa ingin tahu akan hakikat pasti dirinya yang menyebabkan ia menjadi makhluk yang selalu bertanya walaupun jawaban yang didapat lahir seiring jumlah pertanyaan yang diajukan, bahkan melebihi pertanyaan-pertanyaannya, namun tetap saja jawaban-jawaban itu belum pernah mencapai kebenaran mutlak. Tanpa mengetahui dirinya, manusia bisa saja mendayagunakan dirinya menjadi apapun yang diinginkannya. Hanya dengan mengetahui dirinya maka ia bisa menghendaki dan menjadi yang seharusnya. Hanya dengan mengetahui hakikat dirinya, maka manusia dapat memberi makna dan nilai pada hidupnya. Jika manusia mengetahui dirinya, maka akan mengetahui selain dirinya. Pengetahuan hakikat dirinya akan memperkenalkannya pada hakikat seluruh 1
realitas. Jika definisi dirinya diketahuinya, manusia menjadi tahu bagaimana membentuk dirinya, bagaimana menjalani kehidupannya, tujuan apa yang harus diraihknya dan bagaimana ia bertindak dalam meraihnya, serta bagaimana ia membangun dunianya. Tanpa mengetahui makna eksistensinya, ia akan terasing dari identitas dan signifikansinya, tidak stabil pandangannya, manusia akan hidup dalam absurditas tanpa makna dan tujuan, dunianya berada di luar keseimbangan. Untuk mengetahui semua itu, manusia harus tahu dirinya dan tidak boleh berhenti bertanya, karena banyak jalan untuk sampai kepada pengetahuan akan hakikat manusia. Ilmu pengetahuan modern cenderung memberikan pembuktian akan pemahamannya tentang hakikat manusia dalam konteks materialistis dan tidak mengindahkan kemungkinan aspek lain dari diri manusia, yaitu aspek spiritualitasnya. Kalaupun aspek spiritual diakui, apa sesungguhnya arti sesuatu yang spiritual itu sendiri telah direduksi menjadi tidak lebih dari sekedar efek material. Akar moralitas manusia dianggapnya, lebih bersifat biologis ketimbang kultural, apalagi spiritual. Dalam pandangan ilmu pengetahuan, organisme manusia beserta seluruh kepribadiannya, tidak lebih dari sekedar susunan unsurunsur material, semua fenomena pada akhirnya dapat dijelaskan dalam kerangka aksi komponen-komponen material yang merupakan satu-satunya sebab efektif alam semesta. Ilmu pengetahuan menganggap mustahil ada sesuatu yang berada di luar materi. Dalam pandangan ilmu pengetahuan, manusia tidak lebih dari makhluk materi yang hidup dan bergerak di alam materi. Untuk itu, metode dan alat yang digunakan dan objek yang diakui untuk sampai pada pengetahuan haruslah sesuatu yang hanya berkaitan dan tidak melampaui dunia materi. Metode dan alat yang digunakan mencegah ilmu pengetahuan menukik lebih dalam agar bisa sampai pada hakikat realitas sebenarnya. Dalam paham ilmu pengetahuan, yang disebut riil adalah sesuatu yang bersifat materi, dan hanya dapat dimaknai dari sudut pandang materialis, sebab hanya materi saja yang dapat dijangkau perangkat fisik, sebagai satu-satunya alat yang sah untuk mencapai pengetahuan. 2
Dalam filsafat ada begitu banyak perspektif dalam memberikan jawabanjawaban tentang hakikat manusia. Usaha filsafat mendapatkan jawaban tentang hakikat manusia lebih mendalam. Filsafat mengkaji persoalan hingga ke akarakarnya, tidak terjebak hanya bentuk luar saja. Filsafat memiliki metode dan mengakui objek yang lebih tajam dibandingkan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, filsafat pun belum bisa memberikan jawaban final tanpa keraguan dalam membahas hakikat manusia. Agama memberikan alternatif jawaban tentang hakikat manusia. Agama memproklamirkan diri sebagai pembawa kebenaran mutlak. Agama mengklaim sebuah supremasi pengetahuan di atas pengetahuanpengetahuan lain serta memposisikan berada di atas gerakan manusia dan dunia, karena bersumber dari pengetahuan Yang Maha Benar, yang dari-Nya manusia dan segala sesuatu berasal. Agama mampu mengajarka manusia untuk mengetahui dirinya, yang sesuatu selainnya tidak mampu mengajarkannya, karena hanya agama sajalah yang mengandung seluruh pertanyaan tentang manusia seutuhnya. Agama menyatakan bisa membetahukan asal-usul manusia dan menunjukkan jalan yang harus dilalui agar terarah gerakannya untuk sampai pada tujuannya, yakni kembali kepada tempat darimana berasal. Islam menempatkan manusia sebagai makhluk paling mulia dalam alam semesta. Salah satu tokoh yang membahas tentang manusia dengan kaitannya alam semesta adalah Muthahhari. Menurutnya, membicarakan mengenai manusia tidak dapat dipisahkan dari masalah tauhid dan ketuhanan.1 Hanya ada dua pilihan, berpegang pada ajaran tauhid, atau terjerumus ke dalam sistem nafsu hewani atau pemujaan terhadap kepentingan. Pemujaan kepentingan mempunyai arti bahwa manusia nyata-nyata telah menjadi budak bagi syahwat dan perutnya. Seseorang yang mengaku dirinya menyandang keutamaan akhlak, ketakwaan, dan kesucian diri, tetapi pada waktu yang sama menolak dan mengingkari Tuhan, maka pengakuannya itu tidak lebih dari sangkaan dan angan-angan dusta.2
1
Murtadha Muthahhari, Jejak-jejak Ruhani, terj. Ahmad Subandi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hal. 9 2 Murtadha Muthahhari, Jejak-jejak Ruhani, terj. Ahmad Subandi, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hal. 9
3
Dengan kata lain, ajaran tauhid bukan saja merupakan pondasi agama, bahkan juga pondasi bagi kemanusiaan. Dengan menggunakan ketauhidan dalam menimbang permasalahan, berarti kita berhadapan dengan symbol-simbol kebesaran dan kemuliaan yang ditempatkan secara keliru dalam masyarakat. Tauhid adalah asas terpenting bagi manusia untuk melihat keberadaan akhlak, di samping keberadaanya sebagai doktrin sosial, ekonomi dan politik. Ayatullah Murtadha Muthahhari yang lebih dikenal dengan panggilan Muthahhari, adalah seorang ulama intelektual dan penulis Iran abad ke-20. Ia lahir pada 2 Februari 1920 di Fariman, sebuah dusun yang terletak 60 km dari Masyhad, pusat belajar dan ziarah di Iran Timur. Ia bisa dianggap sebagai sarjana modern Islam yang memiliki tiga syarat yang banyak diimpikan tetapi jarang bertemu dalam satu pribadi. Ia memiliki akar yang kokoh pada studi Islam tradisional, penguasaan mendalam dan memadai atas ilmu sosial, serta peduli dan karya nyata di bidang sosial.3 Muthahhari adalah salah satu di antara banyak pemikir yang telah mencoba mengkaji persoalan-persoalan manusia dan kemudian menawarkan
jawaban-jawaban
dengan
argument-argumennya.
Muthahhari
mampu memadukan pendekatan teologis, mistis dan filosofis dalam memberikan jawaban pada berbagai persoalan. Muthahhari bukan hanya sekedar seorang filosofis, yang menawarkan pemecahan-pemecahan yang sekedar filosofis sifatnya, namun ia juga seorang yang memiliki dedikasi tinggi terhadap keimanannya sehingga ia pun, selain menawarkan jawaban dari refleksi filosofisnya juga menawarkan jawaban-jawaban mistis-teologis yang lahir dari ketulusan untuk mengabdi pada keyakinan yang dianutnya, yang dianggapnya sebagai keyakinan yang benar, yang keyakinan tersebut diperolehnya dan dapat dibuktikan kebenarannya. Mengenai manusia, Muthahhari mengatakan, bahwa manusia memiliki dua motif, yakni egois dan motif suci.4 Motif egoisnya adalah merupakan dorongandorongan yang membuat manusia menjadikan dirinya sebagai pusat dari semua Haidar Bagir, “Menampilkan Muthahhari”, Pengantar Buku Murtadha Muthahhari Sang Mujahid, Sang Mujtahid, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1998), hal. 9 4 Murtadha Muthahhari, Fitrah, terj. H. Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera, 1998), hal. 48 3
4
perbuatannya dalam kehidupan sehari-hari, seperti makan, minum, dan lain sebagainya. Sedangkan motif suci merupakan kecenderungan-kecenderungan suci yang ada dalam sanubarinya dan dipandang sebagai hal yang mulia. Semakin tinggi tingkat kecenderungan yang dimiliki manusia, maka semakin bertambah tinggi penghormatan orang lain terhadap dirinya. Motif itu tak lain adalah nilainilai insaniyah yang dimilikinya. Kemanusiaan manusia tidak diukur dari konstruksi tubuhnya, tetapi diukur oleh jiwa melalui serangkaian sifat dan etika tertentu yang sebenarnya ia dikatakan manusia. Semua hal yang dapat meninggikan derajat dan kepribadian manusia yang dinamakan nilai-nilai insani.5 Nilai-nilai itu harus dikembangkan secara seimbang dan terarah untuk mencapai kesempurnaan. Allah SWT menciptakan manusia dari tiupan ruh Ilahi dan karenanya mesti kembali kepada-Nya. Manusia harus mengenal dirinya sendiri untuk mengenal Tuhan. Sebab manusia tidak bisa mengenal Tuhan dengan sebenarbenarnya kecuali dia mengenal dirinya sendiri terlebih dahulu, sementara itu hanya dengan mengenal Tuhanlah manusia akan menemukan realitas sejati dirinya.6 Sejalan dengan pemikir Islam pada umumnya, dalam pandangan Muthahhari, manusia harus menyembah Tuhannya untuk bisa mengetahui dari mana dia berasal, serta kemana dia akan pergi. 7 Dalam hal apa pun, bencana terbesar dari umat manusia adalah bahwa di dunia ini mereka tidak memahami realitas!8 Untuk mengenal Tuhannya manusia harus mengkaji alam semesta dan manusia sebagai ayat-ayat fisik dan spiritual, serta harus memperoleh kesadaran
Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, terj. Abdillah Hamid Ba’bud, (Bangil: YAPI, 1995), hal. 54 6 Murtadha Muthahhari, Fitrah, hal. 77 7 Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), hal. 78 8 Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Semoga Allah merahmati orang yang benar-benar mengetahui dari mana dia berasal, di mana dia berada (saat ini), dan ke mana dia akan berangkat. Syekh Nashir Makarim asy Syirazi, Pembenahan Jiwa, terj. Ikramullah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), hal. 110 5
5
mengenai semua dan meyakininya kemudian mengakui Tuhan sebagai awal dan titik beranjak maupun sebagai tujuan akhir setiap makhluk. Karena itu di dalam Islam, ibadah tidak hanya fisik saja seperti shalat dan puasa, atau tidak hanya ibadah finansial saja seperti membayar khumus dan zakat. Ada ibadah lain. Ibadah jenis ini berupaya berpikir dan merenung. Karena ibadah mental ini membuat manusia sadar, maka ibadah ini jauh lebih baik dibandingkan bertahun-tahun melakukan ibadah fisik.9 Rasul SAW bersabda: “Merenung sesaat lebih baik dari pada tujuh puluh tahun ibadah”. Beliau SAW juga bersabda kepada Imâm Alî bin Abi Thâlib: “Wahai Ali, karena manusia mencoba untuk mendekati Penciptanya melalui segala bentuk ketakwaan, bawalah dirimu mendekati-Nya melalui seluruh (aktivitas) intelek, sehingga kau akan tiba di sana sebelum mereka semua”.10 Manusia diciptakan oleh Allah SWT dianugerahi sesuatu yang sangat mulia, yaitu akal. Dan ini juga sebagai pembeda dari makhluk-makhluk yang lain. Akal memungkinkan seseorang untuk menangkap makna penting dari tanda-tanda Tuhan.11 Seperti dalam ayat, ”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian siang dan malam.... ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”.12 Manusia serta alam semesta diciptakan oleh Allah SWT agar saling berhubungan. Sehingga terjalin pola hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam sekitar. Hubungan tersebut harus terjalin secara seimbang dan harmonis.13 Ini merupakan tugas manusia sebagai hamba Allah serta khalifah di muka bumi untuk menciptakan kemaslahatan, yang pada akhirnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. 9
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008), hal. 43 10 Dimitri Mahayana, ”Al-Asfar Al-Arba’ah (Empat Perjalanan): ”Peta” Jalan Menuju Langit, Pengantar dalam buku Menuju Kesempurnaan, Persepsi dalam Pemikiran Mulla Sadra, terj. Mustamin Al-Mandary, (Makassar: Safinah, 2003), hal. xvii 11 Sachiko Murata, The Tao of Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 314-315 12 Qs. Al-Baqarah: 164 13 Sachiko Murata, The Tao of Islam, hal. 39
6
Namun, banyak diakui bahwa manusia modern telah menglami krisis spiritual, kekosongan atau kekeringan makna, dan legitimasi hidup, serta kehilangan visi dan mengalami keterasingan (alienasi) terhadap dirinya. 14 Sayyed Hosein Nasr, perenialis kontemporer, mengungkapkan bahwa manusia modern lebih memperhatikan aspek luar dirinya. Akibatnya, manusia modern hidup di “pinggir lingkaran eksitensi”. Selanjutnya,. 15 Kenapa krisis itu terjadi? Karena manusia modern tidak mengenal manusia secara utuh. Oleh karena itu, manusia merupakan maujud yang tidak dapat selamanya mencintai sesuatu yang terbatas dan fana. Dengan demikian, manusia mencintai dan selalu mencari kesempurnaan yang mutlak, yakni Yang Maha Tinggi dan Sempurna. Mencari kesempurnaan adalah fitrah manusia, hanya saja mereka salah jalan yang tersesat. Jadi, tujuan dan cita-cita yang ditawarkan Islam adalah Allah SWT, sedang segala sesuatu yang lain merupakan persiapan menuju ke arah tersebut.16 Maka kebahagiaan, kesempurnaan, keselamatan, serta kesejahteraan manusia bergantung pada pengenalan terhadap Tuhan, menyembah dan berjalan menuju kepada-Nya, itulah tujuan manusia. Adapun membahas mengenai Manusia Sempurna, manusia harus diperlakukan sebagai standar penilaian bagi umat manusia yang lain. Karena pada hakikatnya, manusia selalu mencari yang namanya manusia sempurna dan barangkali pencarian terhadap dewa-dewa, tokoh legendaris dan mitos, serta tokoh-tokoh terkenal, itulah yang mereka sebut manusia sempurna.17 Dalam pandangan Muthahhari, mengenal manusia sempurna adalah suatu kewajiban, karena ia merupakan contoh, prototipe atau standar dan model bagi setiap muslim. Mempelajari sirah atau sejarah Rasulullah SAW untuk dijadikan
14
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2006), hal. 54 Ruhullah, ”Tauhid dan Gaya Hidup HedonisMaterialistik”,http://ruhullah.wordpress.com/page/4/, 19 September 2008 16 Murtadha Muthahhari, Islam dan Kebahagiaan Manusia, terj. Alawiyah Abdurrahman (Bandung: Rosda, 1987), hal. 60 17 Dr. Seyyed Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna; antara Filsafat Islam dan Hindu, terj. Zubair, (Jakarta: Teraju, 2004), hal. 11 15
7
titik balik kesadaran,18 karena pribadi Rasulullah SAW sendiri merupakan potret utuh manusia sempurna. Kita dapat mengatakan bahwa yang mendasari manusia mencari manusia sempurna adalah keinginan manusia itu sendiri terhadap kesempurnaan, atau untuk menghindarkan diri dari kelemahan dirinya, atau bahkan adanya kesamaan dengan Tuhan. Karena manusia sempurna merupakan manusia teladan dan ideal, bukan hanya sebagai makhluk fisik, tetapi juga makhluk spiritual yang memiliki kedudukan yang istimewa dalam kosmos. Ia terkait secara akrab bukan hanya dengan dunia fisik tetapi juga dunia spiritual yang menyebabkan dirinya berpotensi bukan hanya untuk mengenal dengan baik dunia fisik, tetapi juga memiliki akses ke dunia spiritual. Bukan hanya seonggok benda mati, tetapi merupakan intisari kosmos, karena ia telah dipandang sebagai Mikrokosmos yang telah dijadikan sebagai sebab fundamental atau bahkan tujuan akhir penciptaan alam. Meskipun masalah manusia sempurna memiliki sebutan dan istilah yang berbeda pada masing-masing sistem tersebut, seperti wakil Tuhan, Jivan Mukti, Filosof, Manusia Agung, Maha Guru, Manusia Luar Biasa, Manusia Super, Manusia yang teraktualisasi, dan seterusnya, namun semuanya menyatu pada satu muara.19 Menurut Muthahhari, manusia sempurna adalah manusia yang seluruh nilai kemanusiaannya berkembang secara seimbang dan stabil. Tak satu pun dari nilai-nilai itu yang berkembang tidak selaras dengan nilai-nilai yang lain.20 Muthahhari melanjutkan bahwa manusia sempurna adalah manusia yang merasakan derita menuju Tuhan Dzat Yang Sempurna. Artinya, rindu untuk menyatu kepada Dzat Yang Sempurna, kemudian tidak mementingkan diri 18
Murtadha Muthahhari, Sirah Sang Nabi, terj. Salman Nano, (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal. 1 Dr. Seyyed Mohsen Miri, Sang Manusia Sempurna, hal. 20 20 Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, hal. 33 19
8
sendiri, tapi juga ikut merasakan penderitaan orang lain. Bermasyarakat, melebur kepada lingkungannya bahkan mampu mewarnai, memberikan yang terbaik untuk orang banyak. Yang lebih luar biasa lagi, bahwa manusia sempurna memiliki sifat yang bertentangan, mengutamakan orang lain atas diri sendiri, meskipun berada dalam kesusahan. Jadi, sangat penting dan menarik untuk diteliti lebih jauh tentang manusia sempurna dalam pandangan Muthahhari, yang melihat manusia tidak hanya dari satu aspek yang harus dikembangkan, sebab manusia adalah makhluk multidimensi. Oleh karena itu, tesis ini lebih jauh, akan menyinggung bagaimana hakikat, karakteristik, serta tahapan untuk menjadi Manusia Sempurna. Meneliti lebih dalam lagi mengenai buah pemikiran Sang Martir ini mengenai hakikat manusia, karena yang demikian itu merupakan pintu gerbang untuk mengenali kita kepada Manusia Sempurna.
B.
Batasan dan Rumusan Masalah Penulis dapat membatasi serta merumuskan masalah dalam penulisan tesis
ini dengan memformulakan tiga pertanyaan sebagai berikut: Pertama, bagaimana pandangan Muthahhari tentang hakikat manusia? Pertanyaan tentang manusia menghubungkannya dengan keterikatan manusia pada alam semesta. Apakah yang dimaksud hakikat manusia sebatas sebagai ciptaan Tuhan sebagaimana ciptaan lainnya ataukah ada keistimewaan sehingga manusia menempati posisi sebagai makhluk mulia. Kedua,
bagaimana
pandangan
Muthahhari
tentang
hakikat
dan
karakteristik manusia sempurna? Manusia dalam berinteraksi dengan alam semesta didasari bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk istimewa dan ditetapkan sebagai khalifah oleh Tuhan yang disebut dengan manusia sempurna dengan berbagai karakteristik yang harus dimilikinya. Apakah setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna ataukah hanya terbatas pada sejumlah manusia. Ketika alam semesta dengan sistem sempurna telah dicipta 9
oleh Tuhan Yang Maha Bijak, apakah memerlukan manusia sempurna yang menjadi perwakilan pengaturan Tuhan? Ketiga, kemudian bagaimana tahapan untuk menjadi manusia sempurna, dan relasi manusia sempurna dengan alam semesta. Apakah ada relasi antara manusia dengan alam semesta. Apakah alam semesta berjalan sendiri dengan sistemnya dan manusia berjalan dengan kehendaknya? Dan kenapa alam semesta memerlukan adanya manusia sempurna. Apakah Manusia Sempurna adanya suatu keharusan (keniscayaan) sehingga alam semesta bisa berjalan dengan harmonis dan Tuhan telah menetapkan siapa saja yang mampu dan mempunyai kriteria sebagai manusia sempurna sebagai wakilnya di alam semesta.
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Pengetahuan terhadap konsep manusia dapat dijadikan pijakan berfikir
dalam menentukan arah kehidupan manusia untuk menuju kesempurnaan jiwa dan mengenal dunia luar. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah: 1. Menjelaskan pandangan Muthahhari tentang hakikat manusia. 2. Menjelaskan pandangan Muthahhari tentang hakikat dan karakteristik Manusia Sempurna, menjelaskan tahapan untuk menjadi Manusia Sempurna. 3. Dan menjelaskan relasi manusia sempurna dengan alam semesta. Penulisan tesis ini diharapkan bermanfaat untuk: 1. Memberikan penjelasan mengenai tentang hakikat dan karakteristik serta tahapan untuk menjadi Manusia Sempurna 2. Mengetahui lebih dalam mengenai relasi manusia sempurna dengan alam semesta dalam pemikiran Muthahhari. 3. Dapat menambah perbendaharaan kepustakaan, khusunya pada jurusan Filsafat Islam, ICAS Jakarta.
10
D.
Metode Penelitian Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: Mengumpulkan data dengan teknik penelitian kepustakaan (library
research methode), menyusun yang dijelaskan secara deskriptif-analitis. Adapun data yang dikumpulkan berupa literatur yang berhubungan dengan topik permasalahan penelitian, baik dalam bentuk buku, artikel majalah, ensiklopedia, kamus, dan sebagainya. Data primernya didasarkan pada karya-ka rya Muthahhari, khususnya yang berhubungan dengan kajian tentang manusia, alam semesta, dan pandangannya tentang manusia sempurna. Sedangkan data sekundernya didapatkan dari karya-karya penulis lain yang berhubungan dengan kajian variable yang dikaji, dan dapat membantu penulis untuk bisa memahami pemikiran-pemikiran dan gagasan-gagasan Muthahhari. Pengumpulan bahan kajian didasarkan pada beberapa perspektif, yaitu: Pertama, perspektif universal Islam. Perspektif ini adalah perspektif utama dan terpenting dalam usaha memahami sebuah fenomena dalam Islam. Perspektif ini, mengakui Islam sebagai agama dengan kebenaran universal yang ajaranajarannya dipandang dapat diterapkan pada setiap orang, tanpa batas tempat dan waktu. Karena tulisan ini merupakan kajian pemikiran tokoh, maka perspektif universal yang dikemukakan terkait dengan cara penempatan dan penggunaan tokoh yakni, Murtadha Muthahhari, terhadap perspektif tersebut. Penggunaan perspektif ini, terlihat pada dalil-dalil yang digunakan Muthahhari sebagai dasar pemikirannya dan atau untuk menguatkan serta membenarkan asumsinya, yakni dalil-dalil dari al-Quran, hadist Rasulullah SAW dan pandangan-pandangan Imam Maksum. Kedua,
pemikiran-pemikiran
atau
gagasan-gagasan
Muthahhari,
dikumpulkan kemudian dipelajari, dipilah dan dihubungkan dan ditempatkan sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Ketiga, gagasan-gagasan yang dikemukakan pemikir-pemikir atau tokoh lain yang relevan dengan permasalahan yang dikaji. Ketiga perspektif ini 11
kemudian disatukan dan dikaji dengan menggunakan bebrapa metode filsafat untuk mendapatkan kesimpulan tentang hakikat manusia, hakikat alam semesta dan relasi manusia sempurna dengan alam semesta. Metode filsafat ini dipilih untuk digunakan karena pendekatan kajian yang digunakan adalah pendekatan filosofis sesuai dengan corak dominan pemikiran yang diteliti, yaitu: Pertama, metode hermeneutik, sebagai metode pemahaman, merupakan sebuah aktivitas interpretasi terhadap suatu objek yang mempunyai makna dengan tujuan untuk menghasilkan kemungkinan pemahaman yang objektif. Salah satu syarat yang harus delakukan untuk mencapai objektivitas adalah dengan adanya interpretasi historis. Dalam rangka interpretasi historis, selain dituntut adanya pengetahuan, juga perlu upaya untuk merujuk pada peristiwa dan iklim budaya dimana pengarang hidup. Pendekatan hermeneutic akan digunakan dalam penelitian, ketika menafsirkan pemikiran-pemikiran Muthahhhari sebagai upaya untuk memahami pemikirannya, yang tidak lepas dari arah dan latar belakang dikemukakannya gagasan. Karena tentang satu persoalan saja, pemikiran Muthahhari terpisah atau berserak pada beberapa tulisan-tulisannya, maka metode hermeneutik ini dapat membantu penulis untuk memahami dan selanjutnya memudahkan untuk menyatukan pecahan-pecahan pemikiran Muthahhari. Metode kedua adalah metode komparatif, metode ini digunakan ketika membandingkan pemikiran Muthahhari dengan gagasan-gagasan dari pemikir atau tokoh lain. Metode-metode tersebut digunakan secara bersamaan dalam melakukan kajian permasalahan.
E.
Tinjauan Pustaka Ada beberapa studi penelitian yang membahas pemikiran Muthahhari, di
antaranya: Tesis yang ditulis oleh Ramdansyah: Pandangan Murtadha Muthahhari tentang Kebebasan Manusia (Jakarta, Filsafat Islam ICAS-Paramadina, 2013). Dalam tesis tersebut membahas pandangan Muthahhari tentang kebebasan 12
manusiadalam kaitannya untuk menjawab tantangan zaman dan menjelaskan takdir baik dan takdir buruk. Hasil penelitian dalam tesis ini bahwa Muthahhari menolak bahwa kemajuan zaman terjadi ketika meninggalkan Islam. Kemerosotan Islam tidak bisa dibebankan kepada takdir Tuhan, karena pada abad-abad pertama dunia Islam justru mengalami kemajuan. Kebebasan manusia tetap berada dalam kerangka keadilan Illahi, ada kehendak bebas manusia tetapi Tuhan juga memiliki kuasa. Tesis yang ditulis oleh Nining Pratiwi S. Ag : Manusia dan Agama (Refleksi Murtadha Muthahhari tentang Perbedaan (Yogyakarta, Program Studi Agama dan Filsafat, UIN Sunan Kalijaga, 2005). Dalam tesis ini mengkaji hakikat manusia dan agama, dalam pandangan Muthahhari agama yang paling benar di antara agama-agama yang ada adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang menyatu dengan fitrah manusia. Pada fitrahnya, melekat janji manusia untuk setia pada penghambaannya pada Realitas yang telah memberinya realitas dan patuh terhadap segala kehendak-Nya. Agama Islam adalah satu-satunya agama yang ada sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Tidak ada perbedaan hakikat ajaran di antara nabi-nabi itu, yang ada hanyalah perbedaan karena tingkat kebenaran yang diajarkan pada satu periode tertentu yang disesuaikan dengan tingkatan manusia pada periode tersebut. Muthahhari membuktikan bahwa hanya Islam yang dikehendaki Tuhan sebagai agama manusia, namun pada kenyataannya terjadi penyimpangan manusia dari agama yang diridoi Tuhan. Ahmad Rif’ai Hasan, menulis Manusia Serba Dimensi, dalam buku Insan Kamil oleh Dawam Raharjo (penyunting) 1987. Dalam tulisan ini dibahas tentang manusia serba dimensi menurut Muthahhari. Dijelaskan betapa pentingnya keimanan dalam makna yang luas bagi seorang dalam totalitas pandangannya dunianya serta menuntut pengembangan semua dimensi manusia yang mengambil bentuk dalam latihan-latihan fisik dan spiritual. Iman juga menghendaki penggunaan kebijaksanaan dan pengetahuan untuk mencapai kesejahteraan. Jika manusia dapat mengembangkan kualitas-kualitas tersebut, maka dia dapat mendekati martabat sebagai insan kamil. 13
Dari beberapa penelitian tersebut, ada persamaan topik pembahasan yaitu tentang manusia . Akan tetapi dalam tesis ini, penulis mengambil bahasan yang khusus tentang Manusia Sempurna, akan menyinggung latar belakang konsep Manusia Sempurna muncul, adanya hubungan dalam ajaran Islam dan Buddha dan dibahas pula bagaimana tahapan menuju manusia sempurna dan juga relasi manusia sempurna dengan alam semesta yang tidak disinggung dalam tulisantulisan tersebut.
F.
Sistematika Penulisan Keseluruhan penulisan isi tesis ini disusun dengan membagi ke dalam 5
(lima) bab, yang masing-masing berisikan hal-hal sebagai berikut: Bab satu, bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan serta rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penelitian. Bab dua, bab ini akan membahas secara khusus mengenai biografi Muthahhari. Pembahasan mengenai biografi tokoh ini penting sebagai bahan untuk menganalisis pemikiran-pemikirannya, yang mana pemikiran seorang tokoh umumnya tidak terlepas dari proses pergulatan hidup yang dijalaninya. Bab tiga, sedangkan dalam bagian ini membahas definisi menurut para ahli mengenai definisi serta latar belakang munculnya konsep manusia sempurna. Al-Qurˋan berbicara tentang manusia dan Manusia Sempurna. Dan juga akan menjelaskan bagaimana Manusia Sempurna menurut para tokoh; Ibnu ‘Arabi, Mulla Shadra, dan Imam Khomeini. Selanjutnya pandangan Muthahhari tentang Manusia Sempurna.
14
Bab empat, bab ini merupakan inti dari tesis ini, yaitu relasi manusia sempurna dengan alam semesta dalam pandangan Muthahhari, mengenai hakikat, karakteristik, dan tahapan menjadi manusia sempurna. Bab lima, bab ini penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran
15