BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Dalam politik internasional, pertanyaan mengenai Tibet umumnya dilihat dengan konteks sejarah dan status politik Tibet vis-à-vis Cina. Konsep-konsep seperti kedaulatan, kemerdekaan, otonomi, protektorial, kepemilikan wilayah dan penjajahan, sering dipakai untuk membahas pertanyaan atau isu Tibet. Pada satu sisi pemerintah Cina berargumen bahwa berdasarkan sejarah, Cina memiliki kedaulatan atas Tibet. Pada sisi lainnya pemerintah diaspora Tibet yang dibentuk Dalai Lama dan para pendukungnya, membalas argumen pemerintah Cina tersebut dan menyatakan bahwa Tibet berdasarkan segala sisi praktikalnya adalah merdeka atau lepas dari Cina. Posisi pemerintah Cina terhadap kedaulatan Tibet tercermin dalam pernyataan resmi pemerintah Cina, “For more than seven hundred years the cemtral government of China has continuously excersied sovereignty over Tibet, and Tibet has never been an independent state. There was no such word as ‘independence’ in the Tibetan vocabulary at the beginning of 20th century”. (Information Office 1992)1 Pemerintah diaspora Tibet juga turut menyatakan posisinya dengan pernyataan, “From a legal standpoint, Tibet has not lost its statehood. It is an independent state under ilegal occupation. Neither China’s military invasion nor the continuing occupation by the PLA has transferred the sovereignty of Tibet to China”. (Government of Tibet in exile 1996)2 Pertanyaan atau isu mengenai Tibet ini juga ‘dibesarkan’ oleh media internasional dengan konteks bahwa Cina telah bertahun-tahun mengokupasi Tibet dan telah melakukan pelanggaran HAM terhadap etnis Tibet. Internasionalisasi pertanyaan atau isu Tibet tersebut tidak terlepas dari persepsi negara Barat yang ‘kurang bersahabat’ dengan Cina, sehingga dapat dikatakan bahwa pemberitaan isu Tibet ini sengaja terus
1
Dibyesh Anand. (2006). “The Tibet Question and the West: Issues of
Sovereignty, Identity, and
Representation”, dalam Contemporary Tibet. M.E.Sharp 2
Ibid
1
dipropagandakan oleh Barat melalui media internasional sebagai strategi politik mereka terharap Cina. Hal tersebut dapat dilihat dari perbendaharaan kata yang dipakai oleh media internasional, yakni didominasi terminologi hegemoni ide-ide Barat seperti kedaulatan negara, otonomi, dan lain sebagainya. Pemerintah Cina merasa bahwa negara Barat telah mencampuri urusan dalam negeri Cina dan mengganggu integritas nasionalisme Cina terkait isu Tibet ini. Sementara pemerintah diaspora Tibet di Daramshala merasa mendapat dukungan dari negara Barat dan media internasional terkait klaim kedaulatan Tibet yang mereka ajukan kepada pemerintah Cina, namun selalu ditolak oleh pemerintah Cina. Pemerintah Cina memandang sikap pemerintah diaspora Tibet yang dipimpin Dalai Lama sebagai suatu bentuk separatisme yang mengkhianati kesatuan nasional Cina. Namun dalam perkembangannya Dalai Lama ‘menurunkan tuntutannya’ agar pemerintah Cina cukup memberikan otonomi penuh kepada Tibet. Tetapi pemerintah Cina tidak juga memberikan otoritas otonomi Tibet ini dikarenakan pemerintah Cina curiga bahwa ‘tawaran’ otonomi tersebut hanyalah kedok Dalai Lama untuk memuluskan upaya separatismenya. Isu Tibet yang masih ‘hangat’ hingga saat ini membuat pemerintah Cina seringkali dipandang pada posisi antagonis terhadap etnis Tibet, yang tentunya tidak menguntungkan bagi Cina yang tengah mengkampanyekan “peacefull development” di dunia internasional bagi kepentingan “gaining the soft power”. Oleh sebab itu pemerintah Cina merasa perlu untuk melakukan suatu strategi agar dirinya mendapat dukungan internasional terkait penanganan isu Tibet. Pemerintah Cina mencoba untuk menggunakan pembangunan dan pariwisata yang tengah dilakukannya di Tibet sebagai gambaran bahwa Cina tidaklah antagonis pada Tibet. Pembangunan dan pariwisata yang dimaksud penulis untuk tujuan penulisan skripsi ini yakni pembangunan yang terletak pada rentang waktu sesudah masa komunis beserta program revolusi kebudayaan di bawah pemerintahan Mao datang ke Tibet tahun 1950-1970-an. Hal ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana pembangunan dan pariwisata Tibet tersebut menggambarkan upaya positif Cina terhadap Tibet. Memperlihatkan pada dunia internasional rekonsiliasi pemerintah Cina dengan masyarakat Tibet setelah pemberontakan Tibet yang dipimpin Dalai Lama tahun 1959. Pemberontakan yang dilanjutkan dengan perginya Dalai Lama ke 2
Daramshala dan membentuk pemerintahan diaspora Tibet di sana, lalu melancarkan protes-protesnya kepada pemerintah Cina dari sana hingga saat ini. Tetapi walau pemerintah Cina sudah berupaya keras mengupayakan gambaran bahwa pemerintah Cina telah melakukan kinerja yang baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Tibet dengan pembangunan dan pariwisata, masyarakat internasional yang mengamati geliat Cina di politik internasional dan yang memiliki perhatian pada isu Tibet tidak yakin dengan upaya pemerintah Cina melakukan pembangunan dan pariwisata Tibet ini. Sehingga kesan atau citra Cina yang positif terkait Tibet tidak terbentuk di masyarakat internasional. Penulis juga melihat adanya kepesimisan upaya pencitraan Cina dalam isu Tibet ini, dan menilai penggambaran pembangunan dan pariwisata Tibet tidak cukup berhasil untuk membangun citra positif Cina terhadap Tibet di dunia internasional. Skripsi ini dibuat untuk melihat mengapa pemerintah Cina gagal dalam mengelola propaganda penggambaran pembangunan dan pariwisata Tibet yang dilakukannya sehingga belum menghasilkan dampak signifikan pada citra positif Cina terhadap Tibet dalam pandangan masyarakat internasional. Pembangunan dan pariwisata Tibet yang akan dibahas dalam skripsi ini dengan konteks hanya sebagai bentuk penggambaran untuk pencitraan diri pemerintah Cina. Mengenai analisis detail dari kacamata ekonomi tentang dampak atau perubahan apa yang terjadi pada masyarakat Tibet setelah adanya pembangunan dan pariwisata tidak banyak dibahas, namun akan dijelaskan secara umum saja. Hal ini bertujuan agar penulisan skripsi ini tetap fokus pada pencarian sebab mengapa pemerintah Cina gagal dan memang layak disebut gagal, dalam mengelola propaganda publikasi pembangunan dan pariwisata Tibet, yang seharusnya diharapkan dapat menciptakan kesan atau citra positif Cina terhadap Tibet dalam pandangan masyarakat internasional. B.
Rumusan Masalah Mengapa propaganda publikasi pembangunan dan pariwisata Tibet yang dilakukan pemerintah Cina dikatakan gagal membentuk citra positif Cina terhadap Tibet dalam pandangan masyarakat internasional?
3
C.
Apa sajakah yang menjadi penyebab kegagalan propaganda Cina tersebut?
Kerangka Konseptual C.1.
Pencitraan dan propaganda sebagai alat pencitraan Dalam ilmu hubungan internasional yang dijejali berbagai kompleksitas
politik internasional, atau politik yang dimainkan setiap negara dengan kaitannya pada politik negara lain dan berdampak pada kepentingan negara tersebut secara domestik, pencitraan adalah salah satu cara yang digunakan negara dalam permainan politik internasional untuk mendapatkan kepentingannya. Bagi negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Rusia dan kini Cina yang terus merangkak ke arah status negara besar, kepentingan mereka utamanya adalah mempertahakan atau mendapat pengakuan atau keseganan atas kekuatan mereka di dunia internasional. Cara berpikir yang amat realis ini dalam praktek pencapaian kepentingannya tidak lagi hanya mengandalkan cara konvensional seperti penguasaan kapasitas militer, ancaman militer, dan sebagainya yang dikategorikan sebagai “hard power”. Tetapi kini sudah mulai memaksimalkan cara-cara halus (soft power), salah satunya dengan pencitraan. Pencitraan pada umumnya dipahami sebagai upaya menanamkan gambar diri yang diciptakan si pencitra, ke dalam benak audiens atau penerima pesan citra, yang sudah ditargetkan sebelumnya oleh pencitra. Harapannya kelak gambar diri si pencitra yang ada di benak target audiens sesuai dengan gambar diri yang diinginkan si pencitra. Pencitraan memerlukan sosialisasi atau publikasi agar pesan gambaran citra ini bisa sampai pada target audiens yang dituju. Publikasi propaganda, dapat didefinisikan sebagai pemberian informasi-informasi melalui berbagai media yang dipilih si pencitra secara terus menerus dan konsisten, agar informasi-informasi itu nantinya mempengaruhi cara pandang target audiens agar sejalan dengan kehendak si pencitra. Definisi publikasi propaganda di atas merupakan penyesuaian dari definisi kampanye, yang menurut penulis ia berada dalam satu lingkup definisi yang sama dengan publikasi dalam hal sosialisasi. Hanya saja kampanye biasa diidentikkan dengan sosialisasi pada saat pemilihan umum untuk menentukan presiden beserta wakilnya maupun anggota-anggota legislatif di negara-negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Selain itu propaganda publikasi sifatnya satu arah saja, yakni informasi diberikan oleh informan (dalam hal ini si pencitra) kepada target audiens, tanpa adanya feedback langsung dari audiens untuk si pencitra. Sedangkan dalam kampanye ada yang memungkinkan menggunakan komunikasi dua arah. 4
Contohnya di dalam kampanye pemilu ada kampanye yang sifatnya dialog langsung, acara debat antara kandidat pemilu dengan para pemilih. C.2.
Periklanan pariwisata internasional (international tourism advertising) Periklanan pariwisata internasional adalah pemasaran terkait pariwisata yang
dikerjakan oleh entitas swasta maupun publik, yang diarahkan pada audiens internasional yang dapat dianggap sebagai target turis potensial maupun yang tidak potensial. Semua perusahaan swasta seperti agensi perjalanan, hotel, pesiar, lembaga swadaya masyarakat, seringkali melakukan kampanye iklan untuk memasarkan eksistensi, misi atau penawaran jasa mereka pada konsumen, dan iklan-iklan tersebut sangat jarang membawa pesan yang berintensi politik. Pada sisi lain iklan yang didistribusikan oleh pemerintah, seperti kementrian pariwisata atau badan usaha milik negara, sewaktu-waktu berintensi untuk menyampaikan lebih dari sekedar nilai dari produk, jasa, atau pengalaman pariwisata. Pemerintah dapat menggunakan iklan pariwisata sebagai saluran untuk berkomunikasi langsung dengan publik atau masyarakat dari negara lain karena pariwisata adalah hal umum dan secara internasional merupakan industri yang digiatkan; serta iklan pariwisata sangat sedikit berisikan tentang regulasi. Sejak pasar perjalanan wisata global (global travel market) terus berkembang dengan peningkatan perjalanan tujuan internasional setiap tahunnya, upaya periklanan oleh aktor-aktor yang bermain di pasar ini juga semakin meningkat. Kampanye iklan untuk mempromosikan tujuan wisata internasional pada umumnya diutamakan untuk calon wisatawan dari negara-negara Barat, dimana pengeluaran masyarakat secara garis besar untuk wisata cenderung tinggi dan konsisten walaupun diterpa resesi ekonomi. Banyak pengiklan baik swasta maupun badan pemerintah, mempopulerkan penawaran jasa mereka (seperti jasa transportasi, hotel, dan sebagainya) atau daerah tujuan wisata untuk memperbanyak pendapatan mereka dari para wisatawan. Namun beberapa kampanye iklan perjalanan juga mempunyai tujuan tambahan atau alternatif seperti mempromosikan itikad baik atau keramahan masyarakat daerah setempat tujuan wisata, untuk meningkatkan eksistensi agensi yang satu atau daerah tujuan wisata yang satu dengan yang lainnya dalam pandangan audiens. Terkadang, negara dapat menggunakan pemasaran produk atau jasa, dengan maksud menyampaikan pesan yang spesifik tanpa secara eksplisit menyatakan pesan 5
tersebut. Taktik ini seringkali dipergunakan untuk memperhalus pesan itu sendiri, sehingga si pengiklan dapat meminimalisir kontroversi atau perselisihan. Iklan yang mempromosikan negara-negara diproduksi dan didistribusikan oleh kementrian pariwisata negara-negara tersebut, sehingga iklan-iklan tersebut dapat dipergunakan sebagai kendaraan untuk pernyataan-pernyataan politik dan atau penggambaran suatu negara yang menjadi tujuan yang diinginkan masyarakat internasional. . C.3.
Propaganda dan penerapan strategi kreatif dalam tahapan produksinya
Untuk menghasilkan sebuah propaganda yang baik dan diharapkan mendapat hasil yang efektif, perlu adanya penetapan strategi. Penetapan strategi yang baik akan memantapkan proses pencitraan pada langkah-langkah selanjutnya. Strategi kreatif merupakan strategi yang memfokuskan pada apa yang akan disampaikan pada target audiens, yang adalah pengembangan dari proposisi brief menjadi bentuk publikasi. Sebenarnya propaganda dalam lingkup politik itu dapat berwujud berita, baik tertulis, audio saja maupun audio visual, bahkan berwujud iklan. Namun pencitraan yang dilakukan oleh negara, propaganda seringkali dilakukan dalam wujud berita tertulis. Kembali pada konsep strategi kreatif, pada dasarnya konsep ini dipakai dalam pembahasan mengenai penciptaan iklan yang sifatnya komersil. Tetapi strategi ini kemudian dapat diterapkan dalam periklanan politik untuk mengevaluasi cara-cara pemenangan kandidat dalam kampanye pemilu. Penulis memiliki argumen bahwa kemenangan yang nantinya diperoleh salah satu kandidat disebabkan karena kemenangan citra yang mereka bangun selama program kampanye, sehingga para pemilih memilih sang kandidat terpilih tersebut. Oleh karena itu, penulis juga berargumen bahwa strategi kreatif ini dapat dipakai dalam mengevaluasi cara-cara pembuatan publikasi propaganda yang dimaksudkan untuk pencitraan suatu negara, dengan beberapa penyesuaian. M. Faried Ismunandar mengawinkan pemikiran Sandra Mortarty dan Maurice Drake tentang isi atau pernyataan-pernyataan tentang strategi kreatif, kemudian menganalogikannya untuk strategi kreatif periklanan politik, yang sebagai berikut: 1. advertising objectives Tujuan yang diharapkan dicapai setelah pesan dikomunikasikan. Dalam periklanan politik ini bisa berarti pemberian dukungan kepada suatu kandidat, isu, 6
maupun partai politik. Sedangkan dalam konteks publikasi untuk pencitraan negara, ini bisa berarti popularitas citra positif negara tersebut di dunia internasional. 2. advertising problem Yaitu masalah yang bisa dipecahkan oleh periklanan atau publikasi. Misalnya Ismunandar memberikan contoh pada pemilu 1990 di Indonesia yang diikuti banyak sekali partai politik baru yang belum dikenal masyarakat secara luas. Dalam studi kasus negara, ia menggunakan publikasi sebagai solusi untuk mendapat pengakuan atau keseganan atas kekuatannya di dunia internasional, atau bisa juga untuk menutupi kasus domestik negara tersebut agar tidak banyak mendapat intervensi pihak lain. Juga untuk menangkal pemberitaan-pemberitaan negaatif tentang dirinya yang berpotensi menjatuhkan reputasi negara itu. Advertising problem mencakup bagaimana karakteristik produk (dalam skripsi ini yang dimaksudkan produk ialah negara), siklus hidup negara – apakah ada pada fase perkenalan, pertumbuhan, kedewasaan, kejenuhan, atau penurunan, tentang reputasi serta brand image dari negara tersebut. 3. target audiens Yaitu suatu kelompok orang dimana pesan iklan atau publikasi diarahkan. Dalam periklanan politik, Ismunandar menggambarkannya sebagai publik yang menjadi kelompok masyarakat yang dituju oleh partai politik. Sementara dalam publikasi untuk pencitraan negara, pesan publikasi itu diarahkan pada masyarakat internasional ataupun global. Analisa target audiens melingkupi bagaimana prospek audiens yang menjadi sasaran publikasi untuk pencitraan, ditinjau dari hal-hal: a) demografis – bagaimana situasi atau “peta” kependudukan masyarakat global yang jadi target audiensnya; di wilayah atau negara mana yang penduduknya banyak dapat mengakses pesan publikasi tersebut; b) psikografis – yaitu gaya hidup audiens. Reaksi audiens terhadap suatu keadaan atau isu tergantung dari bagaimana gaya atau pola hidupnya; c) motif pemilihan – apakah motif audiens dalam memberikan respon terhadap pesan publikasi itu rasional atau emosional. 4. positioning Yakni persepsi khalayak mengenai suatu produk di antara para pesaing lainnya. Kaitannya dengan pencitraan negara ialah bagaimana bargaining position negara 7
tersebut di antara negara-negara lain atau elemen masyarakat global yang menjadi “pesaing” negara tersebut. C.4. Nation branding (pencitraan negara) dan efektivitas Simon Anholt, seorang penasihat politik independen yang sudah lama dan banyak melakukan kajian dalam bidang nation branding
mengatakan bahwa
pencitraan negara bukanlah sesuatu hal yang instan yang dapat digunakan dalam hubungan
internasional.
Seperti
halnya
dalam
corporate
branding
(pencitraan/pemasaran perusahaan), sebuah iklan pemasaran dapat bermanfaat secara efektif apabila kualitas dari produk yang dipasarkan sesuai atau setara dengan apa yang ada pada iklan pemasarannya. Jikalau tidak memenuhi, tak ada hal banyak yang dapat dilakukan oleh iklan untuk meningkatkan daya beli produk tersebut. Begitu pula bagi negara yang tidak dapat memenuhi gambaran (citra) yang ia ciptakan melalui publikasi propagandanya, maka hal tersebut hanyalah sia-sia saja.(Anholt, 2002)3 Siasia karena masyarakat internasional atau audiens target negara tersebut akan merasa sulit untuk mempercayai propaganda dari suatu negara, dan menghindari propaganda negara tersebut untuk dijadikan sumber referensi informasi bagi dirinya. Ying Fan, seorang yang menulis jurnal mengenai nation branding, mengutip dalam jurnalnya makna dari nation branding menurut Jaffe dan Nebenzahl: “the aim is to create a clear, simple, differentiating idea built around emotional qualities which can be symbolised both verbally and visually and understood by diverse audiences in a variety of situations. To work effectively, nation branding must embrace political, cultural, business and sport activities” (Jaffee & Nebenzahl, 2001)4. Menggaris bawahi makna dari kalimat terakhir kutipan di atas yakni agar pencitraan negara bekerja secara efektif, maka seluruh aspek baik itu politik, budaya, bisnis dan aktivitas olahraga harus dimaksimalkan kinerjanya. Jikalau tema yang dipakai dalam propaganda adalah pembangunan pariwisata, maka aspek politik, budaya, bisnis dan olahraga yang adalah investasi yang tentunya ramah lingkungan, berperan penting bagi pembangunan pariwisata berkelanjutan. Jadi misalkan, pencitraan negara dengan 3
Cocomma B. (2012) Understanding Nation Branding: A “New Nationalism” in Germany, Tesis Master pada
Faculty of the Graduate School of Arts and Sciences Brandeis University 4
Ying Fan. (2006). “Branding The Nation: What is Being Branded?”, Journal of Vacation Marketing Brunel
Bussiness School, Brunel University, UK. 12:1. 5-14
8
tema pariwisata tidaklah hanya untuk mengundang para wisatawan berkunjung ke negaranya, tetapi juga mengambil peran sabagai investor bagi pembangunan pariwisata berkelanjutan di negara tersebut. Dengan begitu, pencitraan negara yang dilakukan dapat dikatakan efektif karena negara tersebut telah berhasil “menjual” dan mendapatkan “pembeli”, yakni para investor dari berbagai macam asal negara. D.
Argumen Utama Propaganda pembangunan dan pariwisata Tibet yang dilakukan Cina menemui kegagalan. Hal tersebut dikarenakan masyarakat internasional tidak percaya kepada pemerintah Cina, sehingga selalu menimbulkan rasa curiga bahkan hingga waspada, dan akhirnya citra baik atau positif itu pun tidak terbentuk. Berdasar pada tujuan propaganda Cina5, citra positif yang diinginkan pemerintah Cina secara implisit yaitu Cina ingin dianggap sebagai pihak yang benar, yang memiliki daulat atas Tibet, dan Dalai Lama serta Barat adalah pihak yang salah/buruk, yang menginginkan terpecahnya Cina. Selain itu pemerintah Cina juga ingin dilihat sebagai pihak yang sangat memperhatikan Tibet dengan menunjukkan progres pembangunan Tibet kepada dunia internasional. Dengan hal tersebut prestise Cina di dunia internasional dengan politik luar negeri “harmonious world, harmonious society” dapat terlihat nyata dan dunia internasional tidak perlu ragu lagi atas keinginan Cina untuk melakukan kerja sama dengan mereka. Citra positif Cina yang tidak terbentuk, yang tertuang dalam bentuk ketidakpercayaan masyarakat internasional kepada pemerintah Cina, ditimbulkan oleh beberapa hal. Pertama, karena faktor media Cina. Perihal ini media Cina yang secara langsung pelaksanaannya dipegang dan dikontrol penuh oleh pemerintah, mengambil peranan penting sebagai pendongkrak popularitas Cina. Cina memiliki kelemahan dalam hal mengelola media propagandanya dibandingkan dengan media propaganda yang dimiliki Barat, mulai dari banyaknya saluran media yang dimiliki, cakupan media
itu
sendiri,
hingga
bahasa
yang
digunakan
dalam
propaganda.
Pengidentifikasian karakter audiens propaganda pun belum mengena sehingga korelasinya dengan propaganda pembangunan pariwisata Tibet adalah konten propaganda tidak berhasil meyakinkan masyarakat internasional terhadap kebenaran 5
Lihat halaman 33
9
dari pelaksanaan pembangunan pariwisata Tibet tersebut. Akibatnya citra Cina tidak menjadi semakin positif dalam pandangan masyarakat internasional. Kedua, citra publikasi pembangunan pariwisata Tibet yang hebat belumlah terlihat bukti atau hasilnya. Propaganda pembangunan pariwisata Tibet belum relevan dengan bukti di lapangan. Pemerintah Cina masih nampak ragu mengambil langkah besar dalam melakukan pembangunan pariwisata Tibet. Yang penulis maksudkan ialah belum ada suatu pencapaian dalam pembangunan pariwisata Tibet yang dapat sangat menarik perhatian masyarakat internasional pada Cina dan Tibet. Tentunya jika hal tersebut terlaksanakan, dapat menjadi momentum yang baik untuk menaikkan citra Cina itu sendiri.
Sementara Tibet juga dapat merasakan manfaat dari
pembangunan pariwisata yang signifikan tersebut. Ketiga, yakni beberapa elemen yang melekat pada Cina, yang dapat membuat masyarakat internasional ragu terhadap elektabilitas Cina. Seperti Cina yang dikenal dengan kadar polusi yang cukup tinggi, atau tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Hal-hal tersebut berdampak pada
keraguan
masyarakat
internasional
terhadap
Cina
dalam
mengelola
pembangunan pariwisata Tibet, sehingga propaganda pembangunan pariwisata Tibet dianggap hanya sebatas wacana pencitraan semata. Keempat, Dalai Lama sebagai figur internasional yang disukai banyak orang sebarkan lebih meyakinkan masyarakat internasional bahwa Tibet akan menjadi lebih baik apabila dipimpin oleh Dalai Lama. Publikasi propaganda yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina banyak yang menyebutkan bahwa Dalai Lama adalah aktor yang menginginkan separatisme Tibet dan merusak kesatuan Cina. Isi dari propaganda Cina tersebut tentunya bertentangan dengan keyakinan mereka atas figur idola mereka yakni Dalai Lama. Ditambah dengan kemampuan propaganda Dalai Lama yang amat baik dalam mempengaruhi masyarakat internasional seperti tertuang dalam pidatonya, tulisan, dan sebagainya, membuat propaganda Cina mendapat tantangan berat. Kelima, INGO, ia dapat menjadi suatu sumber informasi bagi masyarakat internasional. Baik dengan publikasi langsung oleh INGO tersebut maupun dari media massa. INGO yang dalam aktivitasnya selalu bersentuhan dengan Tibet dianggap tahu mengenai seluk beluk dan detail dari kondisi Tibet. Masyarakat internasional pun juga dapat berpartisipasi langsung dalam aktivitas INGO tersebut, tidak hanya sebagai audiens pasif seperti audiens propaganda Cina.
Dampaknya adalah propaganda 10
pembangunan pariwisata Tibet menjadi sumber informasi yang kurang kuat kebenarannya dibandingkan dengan publikasi-publikasi INGO dalam benak masyarakat internasional. Hal ini membuat citra positif Cina gagal terbentuk. E.
Metode Penelitian E.1.
Jenis penelitian Dalam penulisan skripsi ini, jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah
deskriptif, yaitu membuat gambaran dan analisa berbagai situasi yang menjadi bagian dari permasalahan yang diteliti. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode kualitatif untuk menunjang fakta yang terjadi, dan dengan landasan konseptual untuk menganalisa fenomena tersebut. E.2.
Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis yakni melalui studi literatur
dengan melakukan kajian kepustakaan terhadap sumber-sumber bahan bacaan dan data-data tertulis baik melalui buku, jurnal, majalah maupun situs internet yang memuat informasi tentang publikasi-publikasi yang dilakukan pemerintah Cina, kebijakan dan praktek pembangunan dan pariwisata di Tibet, konsep-konsep mengenai pencitraan dan publikasi, dan lain-lain.
F.
Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman terhadap penelitian ini, penulis membaginya berdasarkan sistematika berikut ini: BAB I Pendahuluan Memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka konseptual, hipotesa, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Diharapkan bab ini dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan yang akan dibahas. BAB II Isu Tibet dan Urgensi Propaganda Publikasi Cina untuk Mengatasi Isu Tibet BAB III Analisis Kegagalan Publikasi Pembangunan dan Pariwisata Tibet untuk Membangun Citra Positif Cina dalam Pandangan Masyarakat Internasional BAB IV Kesimpulan
11