BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menjadi pendamping orang nomor satu tentu membuat ibu negara turut menjadi figur publik. Bahkan tak jarang ibu negara dianggap sebagai role model untuk kalangan tertentu. Di luar negeri, Michelle Obama, istri Presiden Amerika, bahkan menjadi trendsetter di bidang fashion (Warner, 2009). Ia yang mampu tampil mewah tanpa pakaian mahal justru membawa gebrakan di industri fashion. Sebagai istri seorang presiden, ibu negara mendapat tuntutan sosial tersendiri. Ia selalu mendampingi presiden dalam menghadiri acara-acara formal kenegaraan, dalam berbagai peran protokoler, maupun sebagai penggerak berbagai kegiatan kelompok perempuan. Meskipun di Indonesia sendiri tugasnya tidak
diatur
dalam
konstitusi,
seorang
ibu
negara
dianggap
penting
keberadaannya. Bahkan di era Orde Baru, Soeharto meminta putri pertamanya, Siti Hardijanti Rukmana, menjadi pelaksana tugas ibu negara setelah istrinya, Tien Soeharto, meninggal dunia. Dijuluki wanita nomor satu atau first lady, ibu negara kemudian tak lepas dari sorot media. Media memegang peranan besar dalam sosialisasi nilai di masyarakat. Tidak hanya media konvensional seperti televisi dan radio, kini media mengalami babak baru dengan munculnya internet. Dengan internet, mencari informasi dapat dilakukan dengan semakin mudah, terlebih saat ini sebagian besar telepon seluler memiliki fitur untuk mengakses internet. Perkembangan pengguna internet di Indonesia pun berlangsung pesat. Hasil riset Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) yang bekerja sama dengan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia menyebutkan bahwa selama tahun 2014, pengguna internet di Indonesia menembus angka 88,1 juta; tumbuh 16,2 juta dari yang sebelumnya 71,9 juta. Dari keseluruhan angka
tersebut, mencari berita masuk dalam empat besar tujuan pengguna internet (Pangerapan, 2015). Dengan tingginya angka tersebut, dapat dikatakan bahwa portal berita online menjadi salah satu situs yang sering dikunjungi. Dengan tuntutan kecepatan arus informasi, portal berita online memberitakan berbagai isu dengan gencar. Terlebih di tahun 2014 yang menjadi tahun Pemilu di Indonesia, tentu banyak terjadi peristiwa nasional, seperti masa kampanye, hingga masa 100 hari Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden Republik Indonesia. Memasuki masa 100 hari pemerintahan Jokowi, media berbondongbondong merekam kebijakan dan berbagai keputusan presiden di awal masa kepemimpinannya. Sering kali periode 100 hari awal pemerintahan dipandang krusial sebagai penanda arah pemerintahan di bawah kepemimpinan baru. Namun demikian, selain isu-isu politik, beberapa media juga berusaha mengangkat topik seputar keluarga Jokowi. Sejak sebelum Jokowi dilantik sebagai presiden Indonesia, keluarga Jokowi telah menarik perhatian media. Dengan Jokowi yang sebelumnya menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, berhadapan dengan media tentu bukan seutuhnya hal baru bagi keluarga Jokowi. Namun setelah Jokowi resmi menjadi calon presiden, pemberitaan yang disampaikan pun semakin mendalam, termasuk mengenai keluarga Jokowi yang bukan berasal dari kalangan elit politik maupun militer, melainkan rakyat biasa. Pemberitaan keluarga Jokowi ini pun tidak dapat terlepas dari sang pendamping presiden, Iriana Widodo. Iriana yang tampak sering mendampingi sang suami pun menjadi perhatian. Pasangan presiden dan ibu negara juga berpengaruh terhadap pandangan mengenai peran gender yang ideal (Edward dan Chen, 2000). Dengan kata lain, presiden dan ibu negara menjadi panutan, termasuk mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam berkeluarga dan menjalin suatu hubungan. Di Amerika, ibu negara memiliki pengaruh di bidang fashion, gaya rumah tangga, dan mempunyai 1
fokus terhadap kepentingan publik dan hal-hal sosial, seperti masalah lingkungan hidup, penyalahgunaan narkoba, kanker payudara, dan lain sebagainya. Julia Suryakusuma (2011) menyebutkan mengenai konsep “ibuisme negara” yang memperlihatkan peribuan sebagai perantara hegemoni negara. Konsep yang mencakup unsur-unsur ekonomi, politik, dan budaya itu diambil dari aspek paling menindas dari budaya “peng-istrian” atau housewifization borjuis dan ibuisme priyayi (Djajadiningrat, 1987). Saat itu, pemerintah Orde Baru menciptakan “pelembagaan istri” melalui berbagai kebijakannya, di antaranya melalui
Panca
Dharma
Wanita
yang
dipromosikan
PKK
(Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga) hingga ke tingkat akar rumput. Organisasi perempuan terbentuk bukan karena pergerakan perempuan, tetapi diciptakan oleh para penguasa politik untuk mencapai tujuan politik tertentu. Pertanda kembalinya ideologi Orde Baru tentang perempuan dan doktrin esensialis mengenai “ibu” tampak semakin jelas. Salah satunya adalah penganugerahan Bintang Mahaputra Adipradana oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada istrinya, Kristiani Herawati Yudhoyono, pada tanggal 12 Agustus 2011 (Hartiningsih, 2011). Ani Yudhoyono dinilai berjasa karena kontribusinya sebagai pendamping Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial budaya. Pada Pasal 28 Ayat 1 dikatakan, syarat seseorang menerima Bintang RI adalah berjasa sangat luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan bangsa dan negara; pengabdian dan pengorbanannya di berbagai bidang yang sangat berguna bagi bangsa dan negara; dan/atau darma bakti dan jasanya diakui secara luas di tingkat nasional dan internasional. Melalui fakta tersebut, istri dipandang sebagai pendamping suami yang mendukung berbagai aktivitas suami. Hal tersebut juga ditekankan melalui keberadaan organisasi para istri dengan kegiatan yang cenderung bergerak di ranah domestik. Demikian pula dengan ibu negara, ibu rumah tangga sekaligus istri presiden, yang dikenal luas dengan penampilan dan aktivitas sosialnya. 2
Media tentu memiliki caranya sendiri untuk mempublikasikan mengenai ibu negara. Beberapa media baik cetak, elektronik, maupun online, mengangkat berita mengenai Iriana sebagai topik utama, terlebih sejak dilantiknya Jokowi sebagai presiden. Dengan tidak diaturnya tugas ibu negara secara formal dan resmi, justru memberikan peluang tersendiri bagi media untuk memberitakan ibu negara. Portal berita yang cukup aktif memberitakan Iriana di antaranya adalah media online Tempo.co dan Republika Online. Tempo.co dan Republika Online adalah dua portal berita nasional dan keduanya merupakan media besar yang juga memiliki versi cetak; Tempo.co memiliki majalah dan koran Tempo, sedangkan Republika Online memiliki Harian Republika. Namun demikian, keduanya memiliki ideologi yang berbeda. Republika Online cenderung lebih islami, sementara Tempo.co tidak membawa ideologi agama apapun. Selain itu, selama masa kampanye, media tak jarang mengambil sikap terhadap calon presiden. Tempo Media Group dan segala turunannya, termasuk Tempo.co sendiri cenderung bersikap positif terhadap Jokowi, sementara Republika Online cenderung bersikap negatif. Menurut alexa.com, situs web yang menyediakan informasi mengenai peringkat lalu-lintas situs online, Tempo.co dan Republika Online termasuk dalam sepuluh besar portal berita yang paling sering diakses. Berkembangnya pemberitaan melalui media online seperti melalui portal berita Tempo.co dan Republika Online merupakan salah satu bukti perkembangan teknologi informasi yang dengan mudah dapat diakses melalui internet. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis akan mengangkat penelitian yang berkenaan dengan pemberitaan mengenai Iriana oleh Tempo.co dan Republika Online dalam masa 100 hari Jokowi, yang menekankan pada konstruksi ibu negara Iriana Widodo di awal masa jabatannya.
3
B. Rumusan Masalah Dengan landasan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana konstruksi ibu negara dalam media online Tempo.co dan Republika Online selama periode 100 hari Jokowi?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana konstruksi ibu negara dalam media online Tempo.co dan Republika Online selama periode 100 hari Jokowi.
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat disumbangkan dari penelitian ini: 1. Secara teoritis, dapat menambah kajian analisis bingkai media online. 2. Secara pragmatis, kajian ini dapat menjadi literatur yang menarik untuk mengetahui bagaimana sebuah media mengkontruksi ibu negara sebagai pendamping presiden, serta bagaimana perannya dalam kehidupan bernegara.
E. Kerangka Pemikiran 1. Konstruksi Gender dalam Media 1.1.
Media dan Berita
Media massa memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat. Pakar Ilmu Komunikasi, Denis McQuail (1994) mengungkapkan bahwa media massa mempunyai kekuatan dalam menginovasi dan membentuk perilaku masyarakat. Media telah menjadi pemegang hegemoni dan kepanjangan tangan dari dominasi kultural suatu lapisan masyarakat. Meminjam istilah yang digunakan oleh 4
McLuhan (dalam Briggs dan Burke, 2004), media telah menjadi “perpanjangan tangan” manusia. Orang yang berada di atas sepeda motor, bukan hanya seorang manusia dan sebuah mesin; ia juga menjadi orang yang lebih cepat. Keberadaan media massa sebagai agen budaya yang mencerminkan kondisi
masyarakat secara umum menyebabkan ketergantungan masyarakat
terhadap media untuk mendapatkan informasi. Pandangan masyarakat terhadap suatu permasalahan di negeri ini pun tidak terlepas dari peran media. Peran media menjadi vital karena bertanggungjawab dalam membentuk opini masyarakat. Opini yang berkembang di masyarakat akan menjadi sikap dan mentalitas dari masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut, media dan berita sebagai produknya kemudian berperan dalam proses sosialisasi nilai-nilai. Isi berita dipengaruhi oleh penggunaan bahasa oleh media. Pemilihan kata, angka, simbol, dan cara penyajiannya tidak hanya menghasilkan realitas, tetapi juga menciptakan realitas itu sendiri (Hamad, 2004). Namun demikian, penulisan berita bukan hanya proses individual. Berita merupakan produk media, sehingga dalam penyajiannya tidak terlepas dari organisasi media, yang meskipun idealnya disebutkan dalam teori pers normatif, yaitu mengutamakan kepentingan khalayak. Menurut Hamad (2004), untuk membentuk opini publik, media massa umumnya melakukan tiga kegiatan. Pertama, menggunakan simbol-simbol politik (language of politics). Kedua, melaksanakan strategi pengemasan pesan (framing strategies). Ketiga, melakukan fungsi agenda media (agenda setting function). Sebagai produk media, berita merupakan pusat dari segala aktivitas jurnalisme (McQuail, 1994). Jurnalisme sendiri berasal dari kata journal, yang berarti catatan harian atau catatan mengenai kejadian sehari-hari. Journal berasal dari kata dalam bahasa Latin, diurnalis, artinya harian atau tiap hari. Dari kata itu, muncul istilah jurnalis, yaitu orang yang melakukan kegiatan jurnalistik. John C. Merril mendefinisikan jurnalistik sebagai suatu bentuk kegiatan yang yang berhubungan dengan proses pengumpulan dan penyajian berita dan informasi, “the gathering am presentation of news and information” (dalam Muhtadi, 1999). 5
Hal senada juga disampaikan oleh Richard Weiner; jurnalisme adalah keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan, dan penyiaran berita (Abrar, 2005). Sumadiria (2006:3) menambahi dengan memberikan definisi jurnalistik sebagai kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dan secepat-cepatnya. Sementara itu, Ashadi Siregar (1997) memberikan definisi yang lebih luas mengenai jurnalisme, yakni sebagai kaidah kerja dalam memungut fakta sosial untuk dijadikan informasi, untuk kemudian disampaikan oleh media massa. Namun demikian, tidak semua peristiwa akan dilaporkan oleh media massa menjadi berita. Itule (2000) memberikan ilustrasi yang menarik untuk mengungkapkan sebuah peristiwa yang layak untuk diangkat menjadi berita. Ia menyatakan yang disebut berita adalah man bites dog, sementara dog bites man bukanlah berita. Ashadi Siregar (1998) mengatakan agar dapat diberitakan, suatu peristiwa harus memiliki kriteria layak berita (news value dan news worthy), yaitu layak tidaknya suatu kejadian dalam masyarakat diberitakan pers, atau bernilainya kejadian tersebut bagi pers. Secara umum, kejadian yang dianggap mempunyai nilai berita atau layak berita adalah yang mengandung unsur atau beberapa unsur berikut: a. Significance (penting), yaitu kejadian yang kemungkinan mempengaruhi kehidupan orang banyak atau kejadian yang mempunyai akibat terhadap pembaca. b. Magnitude (besar), yaitu kejadian yang menyangkut angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak atau kejadian yang berakibat yang bila dijumlahkan menarik bagi pembaca. c. Timeless (waktu), yaitu kejadian yang menyangkut hal-hal yang terjadi atau baru dikemukakan. d. Proximity (kedekatan), yaitu kejadian yang dekat dengan pembaca. Kedekatan ini dapat bersifat geogrfis atau emosional. 6
e. Prominence (tenar), yaitu menyangkut orang-orang terkenal atau sangat dikenal oleh pembaca, seperti orang, benda, atau tempat. f. Human interest (manusiawi), yaitu kejadian yang member sentuhan perasaan bagi pembaca. Sedangkan nilai berita menurut Harris dkk (1981), mengandung delapan unsur, yaitu: a. Konflik, yaitu informasi yang menggambarkan pertentangan antarmanusia. b. Kemajuan, yaitu informasi tentang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. c. Penting, yaitu informasi yang penting bagi khalayak dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari. d. Dekat, yaitu informasi yang mempunyai kedekatan emosi dan jarak geografis dengan khalayak. e. Aktual, yaitu informasi tentang peristiwa yang baru terjadi. f. Unik, yaitu informasi tentang peristiwa yang jarang terjadi. g. Manusiawi, yaitu informasi yang mampu menyentuh emosi khalayak, misalnya yang bisa membuat menangis, tertawai dan sebagainya. h. Berpengaruh, yaitu informasi yang berpengaruh terhadap kehidupan orang banyak. Tidak semua media massa memuat peristiwa yang sama pula. Nilai berita hanya titik awal untuk meliput suatu peristiwa. Perbedaan politik keredaksian menyebabkan tidak semua peristiwa yang dimuat di media yang satu juga diberitakan oleh media yang lain. Peristiwa yang diberitakan tergantung pada siapa yang dipilih sebagai pembaca dan apa tujuan penyampaian. Konsep layak berita yang dianut oleh media tidak lepas dari usaha pengejawantahan ideologi (Abrar, 2005). Menurut Galtung dan Ruge (dalam McQuail,
1994),
nilai-nilai
berita
dan
kelayakan
berita
itu
sendiri
mengimplikasikan muatan ideologis di dalamnya. Peristiwa tertentu akan lebih berpotensi menjadi berita ketika peristiwa tersebut lebih sesuai dengan kriteria organisasional, kultural, dan ideologis. 7
1.2.
Media dan Jurnalisme Online
Dalam perkembangannya, media mengalami perubahan dengan cepat. Dengan semakin majunya teknologi komunikasi, komunikasi massa pun semakin canggih, serta memiliki kekuatan yang lebih dari masa-masa sebelumnya. Lebih dari itu, sebagai entitas budaya, media semakin melengkapi diri ketika teknologi komunikasi sudah menjangkau hampir seluruh dunia. Hal ini ditandai dengan lahirnya media baru. Pengertian media baru (new media) masih terus berkembang seiring dengan ditemukannya sarana atau saluran komunikasi yang baru. Saat ini media baru dipahami sebagai media komunikasi dan informasi yang terkoneksi dengan internet (kependekan dari interconnection-networking). McQuail (1994) membuat pengelompokan media baru menjadi empat kategori. Pertama, media komunikasi interpersonal yang terdiri dari telepon, handphone, e-mail. Kedua, media bermain interaktif, seperti komputer, video game, permainan dalam internet. Ketiga, media pencarian informasi yang berupa portal/search engine. Keempat, media partisipasi kolektif, seperti penggunaan internet untuk berbagi dan bertukar informasi, pendapat, pengalaman, dan menjalin melalui komputer di mana penggunaannya tidak semata-mata untuk alat, namun juga dapat menimbulkan afeksi dan emosional. Keberadaan media baru yang diasosiasikan dengan internet juga berdampak adanya konvergensi media dari cetak ke digital, yang memunculkan istilah
jurnalisme
online.
Istilah
online
dipahami
sebagai
konetivitas
(ketersambungan) dengan komputer/perangkat lain atau jaringan (network). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jurnalisme online adalah kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui jaringan (internet). Jurnalisme online memiliki beberapa kelebihan dalam menyampaikan berita daripada jurnalisme konvensional. Perbedaan jurnalisme online dan konvensional terletak pada keputusan jenis baru yang dihadapi oleh wartawan cyber. Jurnalisme online harus membuat keputusan-keputusan mengenai format 8
media yang paling tepat mengungkapkan sebuah kisah tertentu dan harus mempertimbangkan cara-cara untuk mengungkapkan kisah terebut dengan kisah lainnya, arsip-arsip, sumber-sumber, dan lain-lain melalui hyperlinks (Santana, 2005). Rafaeli dan Newhagen (dalam Santana, 2005) mengidentifikasi lima perbedaan utama antara jurnalisme online dan media massa tradisional, yaitu kemampuan internet untuk mengombinasikan sejumlah media, kurangnya tirani penulis atas pembaca, tidak seorang pun dapat mengalihkan perhatian khalayak, internet dapat membuat proses komunikasi berlangsung sinambung, dan interaktivitas web. Karakteristik lain dari media ini adalah kecepatannya dalam menyampaikan berita. Jurnalisme online memampukan jurnalisnya untuk menyuguhkan berita terbaru sehingga pembaca akan selalu mengetahui hal-hal terbaru lainnya (Craig, 2005). 1.3.
Media dan Konstruksi Realitas
Berita adalah hasil dari konstruksi. Sedangkan berita sendiri merupakan produk jurnalistik yang prosesnya dilakukan oleh wartawan. Dengan demikian, realitas objektif ditangkap oleh wartawan, kemudian diceritakan kembali berdasarkan kognisi yang ia miliki. Berita tidak muncul, kemudian diliput dan dilaporkan begitu saja oleh wartawan, tetapi mengalami proses pendefinisian makna atas realitas di lapangan, untuk kemudian disusun menjadi sebuah wacana berita secara utuh. Oleh karena itu, aspek etika, moral, dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media (Eriyanto, 2002). Dalam
menentukan
hal-hal
yang
diberitakan,
media
mencoba
mengarahkan khalayak pada alur penceritaan tertentu. Dalam pemilihan ini, mungkin ada bagian-bagian yang ditonjolkan dan ada pula bagian-bagian yang dikesampingkan. Proses semacam ini mungkin dilakukan secara sadar oleh media, tetapi bisa juga dilakukan secara tidak sadar.
9
Konstruksi realitas oleh media massa dilakukan melalui bingkai pemberitaan dan bahasa yang dipakai untuk menyampaikan realitas. Bingkai berita menentukan di mana posisi media massa terhadap realitas yang diangkat, pro atau kontra, humanis atau politis, simpati atau antipasti, dan sebagainya. Sementara bahasa, baik verbal (kata-kata) maupun non verbal (simbol gambar, foto, grafik) merepresentasikan realitas sesuai dengan bingkai beritanya, missal: pelabelan, asosiasi, perbandingan, perumpamaan , dan sebagainya. Bannet (dalam Eriyanto, 2002) menyatakan bahwa media massa adalah agen konstruksi yang mendefinisikan realitas. Ia tetap tak bisa lepas dari sifat subjektif yang rawan akan bias, judging, dan keberpihakan. Maka berita pada media pada akhirnya tidak dapat disebut sebagai cermin realitas. Shoemaker dan Reese (dalam Sudibyo, 2001) memaparkan ada beberapa hal yang mempengaruhi kebijakan redaksi dalam memproduksi berita. Faktor pertama adalah faktor individual, yakni hal-hal yang berhubungan dengan latar belakang si pengelola media, termasuk di antaranya adalah wartawan. Selain itu, ada pula sikap, nilai, kepercayaan dan orientasi, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, serta etnisitas, yang menjadikan perbedaan bagi masing-masing individu dalam memotret suatu peristiwa (Hamad, 2004). Faktor berikutnya adalah rutinitas media yang berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Biasanya media yang satu memiliki standar dan kebijakan yang berbeda dengan media yang lain, baik dalam hal penyeleksian fakta, penyusunan, hingga pada proses penyampaian ke khalayak. Level organisasi juga memiliki pengaruh terhadap proses produksi sebuah berita. Sebuah organisasi redaksional media memiliki struktur hirarkis yang harus ditempuh sebuah berita sebelum akhirnya disetujui untuk disiarkan. Mulai dari wartawan, redaktur, redaktur pelaksana, hingga pemimpin redaksi. Setiap tingkat dipegang oleh orang yang berbeda. Selain faktor intramedia, ada pula faktor ekstra media yang mempengaruhi produksi sebuah berita, yang berkaitan dengan lingkungan luar media, yakni 10
sumber media. Di sini, sumber media tidak dipandang sebagai pihak yang netral, tetapi juga memiliki kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan, misalnya memenangkan opini publik atau memberi citra tertentu pada khalayak; sumber penghasilan media, berupa pemasang iklan, penanam saham, dan khalayak media itu sendiri (pasar) yang membuat media harus berkompromi dengan mereka untuk bisa mempertahankan hidupnya; serta pihak eksternal lain seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Sejajar faktor-faktor tersebut, ada level ideologi yang menjadi pengaruh utama bagaimana sebuah media memproduksi berita. Pasalnya ideologi menjadi kerangka berpikir individu dalam menafsirkan dan menyikapi realitas. Media bisa saja muncul dengan konstruksi realitas yang membela kelompok yang sealiran dengan ideologinya, dan penyerangan terhadap kelompok yang bertentangan. 1.4.
Media dan Konstruksi Gender
Dalam memahami gender, media massa memiliki peran yang besar karena pengaruhnya terhadap khalayak. Sebelum menyebarluaskan berita, media juga melakukan konstruksi pesan, yakni mendeskripsikan suatu penekanan pesan dan atau penyeleksian pesan. Konstruksi perempuan tidak hanya ada dalam kehidupan sosial. Di media massa, perempuan juga dikonstruksikan sesuai dengan keinginan masing-masing media. Menurut Armando (2004:29): “Menengok isi media massa, kita akan menemukan gambaran perempuan dalam budaya popular kita adalah objek yang nilai utamanya adalah daya tarik seksual. Perempuan memang tidak lagi digambarkan “hanya” ibu rumah tangga dan istri yang kewajiban utamanya adalah menyenangkan hati suami, anak-anak, dan orang tua. Namun posisi barunya tak bisa dipandang terhormat. Perempuan, sebagaimana tampil di media, adalah pemanis, pelengkap, atau bahkan pemuas fantasi seksual kaum pria.” Burton (2012) berpendapat bahwa media adalah bisnis. Media memediasi, yaitu merekonstruksi materi sumber dengan berbagai cara, untuk berbagai alasan, terutama untuk menjadikannya menarik bagi audiens. Van Zoonen (dalam Strinati, 2007) mengatakan bahwa ada kecenderungan media melanggengkan 11
stereotip-stereotip peranan jenis kelamin karena mereka mencerminkan nilai-nilai sosial yang dominan. Hal tersebut digambarkan dengan penegasan peran istri, ibu, ibu rumah tangga, dan sebagainya yang semakin menggarisbawahi masyarakat patriarkial. Gender dimaknai sebagai perbedaan status dan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya yang berlaku dalam periode waktu tertentu (WHO, 2002). Menurut Vitayala (2010), gender adalah suatu konsep yang menunjuk pada suatu sistem peranan dan hubungannya antara perempuan dan lelaki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi ditentukan oleh lingkungan sosial, politik, dan ekonomi. Fakih (1998) menyebutkan perbedaan antara gender dan jenis kelamin adalah sebagai berikut: JENIS KELAMIN
GENDER
Biologis
Konstruksi Sosial
Dimiliki Sejak Lahir
Tidak Dimiliki Sejak Lahir
Karenanya
Karenanya
Tidak Bisa Diubah
Bisa Diubah
Gender merupakan bentuk pelabelan terhadap laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut, Fakih menjelaskan munculnya pemahaman maskulin dan feminism. Maskulin disandangkan kepada laki-laki yang kemudian sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, serta bergerak di ruang publik dan produktif, sedangkan feminism dilabelkan kepada perempuan, yang kemudian dikonstruksikan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarga, bergerak di ruang domestik dan memerankan reproduktif. Karena merupakan konstruksi sosial, budaya, agama, dan ideologi tertentu, maka pemahaman mengenai gender mengenal batas ruang
12
dan waktu tergantung pada nilai-nilai masyarakat dan berubah menurut situasi dan kondisi.
2. Identitas dan Peran Perempuan Sandra Bem (1974) mengidentifikasikan identitas gender, di antaranya mencakup identitas maskulin, feminin, dan androgini. Identitas gender adalah sejumlah aspek penampilan dan perilaku personal yang secara budaya diatributkan menjadi maskulin dan feminin. Persepsi atas gender individu dipengaruhi oleh sosialisasi identitas jenis kelamin yang dimiliki individu sejak kecil dan peran yang dimainkan orang tua sesuai dengan kebudayaannya, sehingga dapat dikatakan bahwa persepsi identitas gender bisa dipengaruhi oleh jenis kelamin dan sistem kekerabatan di mana keluarga dari setiap individu menjadi anggotanya. Karena berkaitan dengan budaya, maka peran gender belum tentu sama antara satu budaya dengan budaya lain. Moser (1993) mengemukakan adanya tiga kategori peranan gender (triple roles), yakni: 1. Peranan produktif, yakni peranan yang dikerjakan perempuan dan lakilaki untuk memperoleh bayaran/upah secara tunai atau sejenisnya (natura) 2. Peranan reproduktif, yakni peranan yang berhubungan dengan tanggung jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut kelangsungan tenaga 3. Peranan pengelolaan masyarakat dan politik, dibedakan ke dalam dua kategori: a) Peranan pengelolaan masyarakat (kegiatan sosial), yang mencakup semua aktivitas yang dilakukan dalam tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan reproduktif, bersifat sukarela dan tanpa upah, dan b) Peranan pengelolaan politik (kegiatan politik), yakni 13
peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal secara politik, biasanya dibayar (langsung ataupun tidak langsung), dan meningkatkan kekuasaan atau status. Berdasarkan kategori tersebut, kemudian muncul pembagian peran gender, yakni antara laki-laki dan perempuan. Menurut Mattelart (1986) perempuan memainkan peran penting yang disebut invisible work, yaitu peranan support economy yang memungkinkan seluruh aktivitas lainnya terjadi. Seorang perempuan di rumah memainkan peranan ekonomi yang fundamental dalam memulihkan kesiapan tenaga kerja untuk kembali bekerja pada hari berikutnya, sehingga menyembunyikan pentingnya nilai ekonomi pekerjaan rumah tangga yang dilakukan perempuan pada saat itu. Dalam tahap perkembangan zaman yang menuntut perubahan yang terusmenerus, disorientasi identitas menjadi semakin nyata. Meskipun politik identitas perempuan ramai diagendakan oleh berbagai gerakan dan organisasi perempuan, baik di Indonesia maupun dunia, identitas perempuan dari konstruksi patriarki yang telah menjadi bagian dari budaya pun tidak dapat dilepaskan. Secara empiris, perempuan dicitrakan sebagai makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementara itu, laki-laki dianggap sebagai makhluk yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa (Dagun, 1992). Gambaran tersebut pula yang menekankan budaya patriarki mengenai peran perempuan dalam rumah tangga dan tugasnya di ranah domestik.
3. Ibu Negara sebagai Figur Publik Di Indonesia, ibu negara adalah jabatan untuk istri presiden. Gelar ini secara otomatis disandang ketika sang suami resmi dilantik menjadi presiden. Bertugas mendampingi seorang pemimpin negara, ibu negara juga tak luput dari sorotan publik. Dari situ, tak jarang pula ia menuai berbagai komentar dari masyarakat. 14
Dengan bantuan media, masyarakat seolah-olah mengenal sosok ibu negara secara pribadi. Sebagai istri presiden, ibu negara pun turut menjadi figur publik. Media mencari berita mengenai ibu negara, mulai dari kehidupan seharihari, hingga penampilannya di muka umum. Watson (2000) mengungkapkan bahwa meskipun tidak dipilih oleh rakyat layaknya presiden, ibu negara (first lady) memiliki peran yang lebih vital daripada penasehat, tentu saja karena kedekatannya dengan presiden. Ibu negara tidak memiliki wewenang untuk mengatur kabinet, tapi sebagai seorang istri, dapat dikatakan ia memiliki pengaruh tersendiri terhadap presiden. Para pemikir feminis beranggapan bahwa ibu negara harus menunjukkan kemandirian dan individualitas untuk mencapai tujuan karirnya sendiri. Sementara itu, pemikir yang lebih tradisional bertahan dengan argumen bahwa ibu negara harus menyesuaikan dengan standar historis mengenai kehormatan dalam penampilan dan perilaku (Burrell, 1997). Namun demikian, terlepas dari paham yang ia anut, ibu negara dipandang sebagai posisi yang memiliki nilai berita. Ibu negara digambarkan sebagai perempuan yang istimewa karena menjabat sebagai pendamping seorang pemimpin negara. Lebih dari itu, gelar “ibu” yang disandang pun seolah-olah menjadi ibu dan menaungi seluruh rakyat negara Indonesia.
F. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian analisis bingkai Gamson dan Modigliani. Gamson dan Modigliani mendefinisikan bingkai (frame) sebagai organisasi gagasan sentral atau alur cerita yang mengarahkan makna peristiwaperistiwa yang dihubungkan dengan suatu isu. Model ini melihat representasi media berupa realitas sosial, yang terdiri atas sejumlah kemasan (package) yang mengandung makna tertentu. Pada dasarnya, analisis bingkai merupakan versi 15
terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media (Sobur, 2002). Bingkai menentukan bagaimana realitas dikemas dan dihadirkan kepada khalayak. Suatu peristiwa dapat menghasilkan berita yang berbeda apabila wartawan mempunyai frame yang berbeda terhadap peristiwa tersebut. Metode ini digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas (aktor, kelompok, atau apa saja) dikonstruksi oleh media (Eriyanto, 2002). Analisis bingkai memiliki dua konsep, yakni konsep pskiologis dan sosiologis. Konsep psikologis lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi pada dirinya sedangkan konsep sosiologis lebih melihat pada bagaimana konstruksi sosial atas realitas.
Framing Perangkat Framing (Framing Device)
Perangkat Penalaran (Reasoning Device)
1. Methapors
(perumpamaan
atau 1. Root (analisis kausal atau sebab
pengandaian)
akibat)
2. Catchphrases (frase berupa jargon- 2. Appeals to principle (premis kasar, jargon atau slogan)
klaim-klaim moral)
3. Exemplaar (uraian yang mengaitkan 3. Consequences (konsekuensi atau bingkai dengan contoh, bisa berupa
efek yang didapat dari bingkai)
perbandingan untuk memperjelas dan menguatkan perspektif bingkai) 4. Depiction (menggambarkan suatu isu yang bersifat konotatif, berupa kosa kata,
leksikon,
untuk
melabeli
sesuatu) 5. Visual
image
(perangkat
yang 16
mendukung bingkai dalam bentuk gambar, grafis, untuk menekankan pesan yang ingin disampaikan)
Berdasarkan versi Gamson dan Modigliani, perangkat-perangkat retoris teks dianalisis dengan elemen, yaitu core frame dan condensing symbols. Core frame (gagasan sentral) pada dasarnya berisi elemen-elemen inti untuk memberikan pengertian yang relevan terhadap peristiwa dan mengarahkan makna isu yang dibangun condensing symbol. Condensing symbol (simbol yang dimampatkan) adalah hasil pencermatan terhadap interaksi perangkat simbolik, yang terdiri dari framing device dan reasoning devices, sebagai dasar digunakannya perspektif simbol dalam wacana terlihat transparan apabila dalam dirinya terdapat perangkat bermakna yang mampu berperan sebagai panduan untuk menggantikannya sesuatu yang lain. Struktur
dari framing
devices
mencakup
metaphors,
exemplaar,
cathchphrases, depiction, dan visual images. Struktur ini menekankan aspek bagaimana melihat suatu isu. Metaphors diartikan sebagai cara memindahkan makna dengan menghubungkan dua fakta melalui analogi atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, dan sebagainya. Catchphrases adalah istilah, bentukan kata, atau frase khas cerminan fakta tertentu. Exemplaar mengemas fakta tertentu secara mendalam agar satu sisi memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan acuan. Posisinya menjadi pelengkap bingkai inti dalam kesatuan berita untuk membenarkan perspektif. Depiction adalah penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, dan kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu. Visual images seperti pemakaian foto, diagram, grafis, tabel, kartun, dan lainnya yang digunakan untuk mengekspresikan kesan. Sementara itu, struktur reasoning devices menekankan aspek pembenaran terhadap cara melihat isu, yakni dengan roots (analisis kausal) dan appeal to 17
principle (klaim moral). Roots adalah pembenaran isu dengan menghubungkan suatu objek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang lain. Tujuannya adalah membenarkan penyimpulan fakta berdasarkan hubungan sebab akibat yang digambarkan. Appeals to principles adalah pemikiran prinsip yang digunakan sebagai argumentasi pembenaran membangun berita berupa pepatah, cerita rakyat, atau mitos. Tujuannya adalah membuat khalayak tak berdaya menyanggah argumentasi. Sedangkan struktur dari reasoning devices adalah roots, appeals to principles, dan consequences. Dalam tahap ini, analisis framing akan mengidentifikasi perangkat retoris yang terdapat pada artikel media online Tempo.co, kemudian menentukan frame dan mencari tahu kecenderungan dari frame tersebut.
2. Objek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah artikel berita yang menyebutkan nama Iriana dalam media online Tempo.co dan Republika Online periode 20 Oktober 2014-28 Januari 2015. Berita yang dianalisis mencakup kategori berita langsung serta berita ringan. Dalam Tempo.co, terdapat 133 artikel berita, sementara dalam Republika Online terdapat 61 artikel berita.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumenter data primer dengan cara mengumpulkan artikel mengenai Iriana dalam media online Tempo.co dan Republika Online pada tanggal 20 Oktober 2014-28 Januari 2015. Artikel yang diteliti adalah seluruh artikel yang memuat nama Iriana Widodo. Selain itu, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini juga akan melakukan studi kepustakaan untuk melengkapi data-data dan bahan yang dapat dijadikan sebagai referensi.
18
4. Teknik Analisis Data Unit analisis yang diamati berupa kata, kalimat, paragraf, ataupun gambar yang ada pada artikel media online Tempo.co dan Republika Online dalam periode terbit 20 Oktober 2014-28 Januari 2015. Analisis data dilakukan berdasarkan analisis bingkai dari William A. Gamson dan Modigliani. Perangkat framing yang mereka sajikan meneliti media melalui gagasan sentral yang kemudian didukung oleh perangkat-perangkat wacana dalam konstruksi berita. Setelah menyeleksi berita yang ada dalam media online Tempo.co dan Republika Online mengenai Iriana Widodo, dimasukkan datu per satu ke dalam perangkat framing: a. Menganalisis
perangkat
framing,
yakni
berupa
metaphors
(perumpamaan atau pengandaian), catchphrases (frase menarik, kontras, ataupun menonjol), exemplaar (kaitan dengan contoh), depiction (kosakata, leksikon), visual image (gambar); b. Menganalisis perangkat penalaran, yakni berupa roots (analisis sebab akibat),
appeals
to
principles
(klaim
moral),
consequences
(konsekuensi yang didapat dari frame). c. Menganalisis frame, yakni ide suatu peristiwa yang berkaitan dengan objek wacana; Selanjutnya akan dianalisis,
sehingga dapat
diperoleh gambaran
bagaimana media online Tempo.co dan Republika Online membingkai dan mengonstruksi ibu negara melalui sosok Iriana.
5. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah kartu data yang berisi format tabel mengenai perangkat framing Gamson dan Modigliani. Kemudian dideskripsikan bagaimana media mengkonstruksi berita. 19
Identitas: Data: Frame: Perangkat Framing Devices) Methapors: Catchphrases: Exemplaar: Depiction:
No. Data:
(Framing Perangkat Penalaran Devices) Roots: Appeals to Priciples: Consequences:
(Reasoning
20