BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat
ini
konsumsi
energi
cenderung
meningkat
seiring
bertambahnya jumlah penduduk, kegiatan, dan luasnya kawasan perkotaan. Dengan tingginya harga minyak dunia, keperluan energi sebagian besar penduduk perkotaan semakin sulit dipenuhi, terutama bagi mereka yang berpendapat rendah. Saat ini kita disuguhi dengan pemandangan semakin tingginya antrian warga kota untuk mendapatkan minyak tanah untuk keperluan sehari-hari. Semakin menurunnya produksi minyak dalam negeri dan tingginya harga minyak dunia, kota-kota di Indonesia mengalami kondisi yang disebut sebagai “krisis energi”. Sayangnya, kota-kota kita tidak siap dengan kondisi krisis ini. Untuk itu dalam penulisan karya ilmiah ini terdapat beberapa hal yang melatar belakangi penullis memilih judul KRISIS ENERGI DI INDONESIA antara lain; 1. Semakin banyaknya konsumsi energi dalam kehidupan masyarakat menyebabkan semakin sedikit cadangan energi di Indonesia. 2. Semakin
banyaknya
eksploitasi
terhadap
energi
nasioanal
menyebabkan kondisi ketahanan energi nasional rapuh. 3. Banyaknya
bahan
bakar
alami
yang
belum
dimanfaatkan
masyarakat sebagai bahan bakar pengganti bensin. Demikian beberapa alasan yang melatar belakangi penulis dalam menyusun karya ilmiah ini.
1
B. Ruanglingkup Permasalahan Banyaknya masalah yang melatar belakangi penulis dalam menyusun karya ilmiah ini, maka penulis membuat batasan–batasan masalah untuk mempermudah dalam penyusunan karya ilmiah ini, yang kemudian akan dibahas pada bab ke-2. Batasan-batasan tersebut antara lain; 1.
Berbagai faktor penyebab kerapuhan energi nasional.
2.
Berbagai macam bahan bakar alami sebagai pengganti bahan bakar minyak.
C. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut; 1.
Untuk mengetahui berbagai macam penyebab kerapuhan energi nasional.
2.
Untuk mencari solusi yang tepat dalam mengatasi keterbatasan energi nasional.
3.
Untuk memperluas wawasan tentang perkembangan energi nasional.
2
BAB II ENERGI NASIONAL
A. Ketahanan Energi Nasional Rapuh Indonesia
yang
pada
kebangkitan
perekonomiannya
mengandalkan minyak dan gas, pernah begitu diperhitungkan dalam percaturan politik ekonomi energi internasional lawat peranannya di OPEC. Sepanjang lebih dari tiga dasawarsa, Indonesia mengelolah tiga perempat cadangan minyaknya yang terus menyusut, serta seperenam dari cadangan gas alamnya yang luar biasa. Laju produksi minyak bumi Indonesia terus menurun teratur sejak 1995, dan cadangan tersisa akan habis pada 10 – 20 tahun mendatang. Hanya dua wacana yang secara konsisiten dan terus diangkat pemerintah dalam menaikan harga BBM selama ini yaitu, beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kian berat karena naiknya harga minyak dunia serta tingginya konsumsi BBM dan pernyataan yang menjamin subsidi akan dipastikan sesuai sasaran. Publik tidak pernah memperoleh penjelasan lengkap bahwa salah urus pengelolaan energi telah menimbulkan dampak berganda (multiplier effect) yang memperjelas potret rapuhnya ketahanan dan kedaulatan energi di negara ini. Contoh dari kerapuhan ketahanan energi nasional adalah kasus tiga industri besar di Aceh Utara tiga tahun lalu yang kembali menghangat, yakni rencana penutupan kembali Pupuk Iskandar Muda (PIM) I, merupakan ilustrasi terbaik yang dapat menggambarkan perilaku penyelenggaraaan negara, terutama dalam mengurus sumber daya energi. Pada Desember 2003, sebulan lebih pabrik pupuk ASEAN Aceh
3
Fertilizer (AAF), PIM I, dan pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA) berhenti beroperasi karena kehabisan bahan baku utama, yakni pasokan gas dari Exxon Mobil Indonesia (EMOI). Eksploitasi berlebihan sejak 1978 menguras cadangan gas Nanggroe Aceh Darussalam. Saai cadangan mulai menipis, EMOI lebih memprioritaskan produksinya guna memenuhi kontrak dengan pembeli luar negeri, terutama Korea dan Jepang. Contoh kasus ini merupakan potret rapuhnya ketahanan energi Negara ini. Eksploitasi sekala besar sumber – sumber energi tak terbarukan untuk memasok
pasar
luar
negeri
sepanjang
lebih
tiga
dasawarsa,
menghancurkan tata produksi dan konsumsi energi dalam negeri. Sudah sejak lama dunia mengetahui harga BBM akan terus naik seiring
meningkatnya
konsumsi
minyak
dunia
dan
berkurangnya
cadangan minyak akibat eksploitasi tak terkendali. Bagi Indonesia yang 90% konsumsi energinya bergantung kepada BBM, keadaan seperti ini berarti masalh serius , karena seluruh detak kehidupan bergantung pada BBM. Naiknya harga minyak dunia diperlakukan sebagai bencana yang mendadak datang. Di mata publik, kebijakan pemerintah dilihat hanya sebagai siasat serta tindakan reaktif, tambal sulam, dan sama sekali tidak menyentuh inti masalah, yakni ketahanan energi nasional. Kenaikkan harga BBM awal Oktober 2005 akan memuluskan dampak berganda mulai dari naiknya transportasi, ongkos produksi barang
dan jasa, hingga harga barang – barang kebutuhan pokok.
Kenaikkan ini akan menaikkan harga produk energi lain, seperti listrik. Kenaikkan harga BBM biasanya diikuti dengan krisis BBM. Krisi BBM merupakan gerbang bagi kesusahan berkepanjangan yang dihadapi rakyat. Surat kabar nasional memberikan beberapa dampak jika harga BBM kembali naik bulan Oktober. Kenaikan solar akan mengakibatkan 3,4 juta nelayan di Pulau Jawa, Bali, NTT, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku tidak melaut. Ledakkan kemiskinan diperkirakan mencapai 70 juta – 80 juta rakyat Indonesia dari sebelumnya 36 juta orang berdasarkan
4
data BPS. Kenaikan harga BBM Oktober jelas akan kembali memukul rakyat. Krisis energi membuka pintu bagi reaksi berantai terhadap semua sektor
pembangunan.
Kebangkrutan
Indonesia
akibat
salah
urus
pengelolaan sumber daya alam, khususnya energi, bukan lagi sekedar ancaman, tetapi sudah berdiri tegak di ambang pintu. Karena harga minyak dunia akan terus membumbung naik. B. Kondisi Energi Nasional Indonesia tidak dapat memanfaatkan secara maksimal kenaikan harga minyak bumi tersebut karena cadangan minyak bumi yang cenderung mengalami penurunan sehingga Indonesia menjadi negara net importer minyak bumi sejak tahun 2004. Oleh karena itu pada tahun 2006 Pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan energi nasional melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006. 1. Cadangan dan Produksi Energi Fosil Pada periode tahun 2004 – 2008 produksi energi fosil cenderung menurun, kecuali batubara. Mulai dari minyak bumi, produksi gas bumi, dll. Sedangkan produksi batubara meningkat dari 1.315 menjadi 2.551 barel ekivalen per hari. Berdasarkan data cadangan dan produksi tahun 2007, maka diperkirakan cadangan minyak akan habis dalam waktu 66 tahun, dan cadangan batubara akan habis dalam waktu 86 tahun.
5
Tabel Cadangan dan Produksi Energi Fosil 2007 Jenis
Rasio
Energi
Cadangan
Produksi
Fosil
Cadangan/ Produksi
Minyak
8.400.000.000 barel
348.300.000 barel
24 tahun
Gas
185 TSCF
2.8 TSCF
66 tahun
Batubara
18.700.000.000 ton
217.400.000 ton
86 tahun
2. Bauran Energi Nasional Menurut data bauran energi nasional di tahun 2007 , persentase minyak bumi, batubara dan biomassa mencapai 82% . kontribusi gas bumi, tenaga air, dan panas bumi mencapai 18%. Konversi minyak bumi menjadi batubara terutama terjadi pada sektor industri dan kelistrikan. Peningkatan penggunaan batubara ini dikhawatirkan akan meningkatkan hujan asam di Indonesia. 3. Kelistrikan Penggunaan batubara untuk sektor kelistrikan dari tahun ketahun cenderung meningkat. Pada tahun 2007 konsumsi batubara untuk pembangkit tenaga listrik mencapai 21 juta ton atau meningkat sebesar 8 juta ton dibandingkan tahun 2000. Kapasitas terpasang pembangkit listrik saat ini adalah sebesar 29.705 MW yang berasal dari pembangkit PLN, pembangkit swasta (IPP), dan pembangkit terintegrasi (PPU). Sedangkan berdasarkan jenis pembangkitnya maka jenis pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pembangkkit listrik tenaga gas (PLTG) mempunyai kontribusi terbesar dalam pengadaan listrik nasional.
6
4. Tekanan Pada Energi Berdasarkan
data
dari
Departemen
ESDM,
sektor
industri
merupakan konsumen terbesar energi komersial sepanjang tahun 1990 – 2007, kemudian sektor transportasi, rumah tangga, dan komersial. Sumber energi primer yang digunakan berupa batubara, miniyak bumi dan BBM, gas bumi ( LPG), panas bumi, serta tenaga air (hydro power). Indonesia telah menerapkan program diversivikasi energi, namun masih terbatas pada energi fosil. BBM dan gas alam masih merupakan energi yang masih menjadi primadona penggerak perekonomian Indonesia. Namun kenaiakan harga minyak bumi berdampak pada kenaikan harga energi
secara
pararel
sehingga
pemerintah
mengambil
langkah
memaksimalkan penggunaan batubara sejak tahun 2004 sebagai energi yang dipakai untuk pembangkit listrik. Besarnya pemakaian BBM juga disebabkan oleh pemakaian di sektor transportasi. Di tahun 2007, pemakain BBM untuk transportasi sebesar 179.136 juta SBM. Dari jumlah tersebut, jenis bahan bakar yang banyak digunakan disektor transportasi adalah premium, kemudian solar. Peningkatan konsumsi BBM disebabkan karena semakin banyaknya pemilik kendaraan bermotor. Pemakaian BBM untuk pembangkit listrik mengalami stuck pada suatu level tertentu. Hal ini dipengaruhi oleh semakin banyaknya permintaan akan listrik sementara selama 1997– 2007 belum ada pembangkit baru yang dikembangkan. Kondisi ini berdampak pada penurunan kemampuan PLN untuk menyalurkan listrik ke beberapa daerah di Indonesia, termasuk di daerah yang kaya akan sumber energi. 5. Respon Permasalahan Energi a. Hemat Energi
7
Beberapa langkah pemerintah dalam upaya hemat energi meliputi: pengeluaran Instruksi Presiden RI No. 2 Tahun 2008 tentang Hemat Energi dan Air, pembagian lampu hemat energi oleh PLN, dan pelaksanaan kembali program pengadaan 51 juta lampu hemat energi (LHE) secara cuma-cuma. Pemerintah melanjutkan program tersebut karena penghematan konsumsi listrik nasional dinilai cukup signifikan. Namun, program tersebut tidak akan dilakukan oleh PLN, melainkan oleh Departemen Perindustrian (Depperin) atau departemen teknis lainnya. b. Bahan Bakar Nabati Untuk meningkatkan pengembangan bahan bakar nabati, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 32/2008 tentang Penyediaan Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. Dengan adanya Permen tersebut, Pertamina mendapat kepastian standarisasi kualitas bahan bakar nabati dan kelancaran pasokan bahan biofuel. Pertamina juga dapat memfokuskan perannya dalam meningkatkan pelayanan kepada konsumen. Dengan memasarkan produk BBN, PT. Pertamina memberi kontribusi dalam pelestarian lingkungan dan ketersediaan energi serta memberi dampak pada pengembangan masyarakat terutama petani penghasil bahan BBN. Beberapa contoh dari BBN yaitu; biosolar, bio premium dan Bio Pertamax. Biosolar adalah campuran solar dan FAME ( Fatty Acid Methyl Ester). Bio premium merupakan campuran premium dan ethanol unhydrous terdenaturasi 99.5%. sedangkan bio pertamax merupakan
campuran
pertamax
dan
ethanol
unhydrous
terdenaturasi (kemurnian 99.5%) ditanbah dengan aditif. Untuk
8
kendaraan yang menggunakan bahan bakar bio, tidak diperlukan modifikasi mesin. Bahan bakar bio memiliki keunggulan berupa emisi gas buang lebih baik atau ramah lingkungan, mempunyai sifat detergensi (membersihkan mesin) dan memperpanjang umur mesin. c. Penjualan Produk BBN di Beberapa SPBU PT. Pertamina menargetkan produk BBN tersebar di SPBU seluruh
Indonesia.
Sampai
saat
ini
PT.
Pertamina
telah
memasarkan Biosolar di 411 SPBU di Jakarta, Denpasar dan Surabay, Bio Premium di 14 SPBU di Jakarta dan Malang, dan Bio Pertamax di 46 SPBU di Jakarta, Surabaya, Malang dan Denpasar. d. Desa Mandiri Energi Desa Mandiri Energi (DME) merupakan desa yang memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri yang berasal dari sumber energi baru dan terbarukan, seperti biofuel terutama yang berasal dari minyak jarak pagar, energi bayu, energi surya maupun mikrohidro.
Program
ini
selain
bertujuan
mengurangi
ketergantungan pada energi fosil, juga bertujuan menciptakan lapangan pekerjaan serta mengurangi kemiskinan. Program DME melibatkan berbagai instansi seperti Departemen Pertanian, Departemen
Kehutanan,
Kementrian
Koperasi
dan
UKM,
Departemen Perindustrian. Progran tersebut melibatkan sedikitnya 4,2 juta petani dan lahan seluas sekitar 6 juta hektar, serta jutaan bibit tanaman jarak pagar dan kebutuhan sarana produksi tanaman lainnya. Basis energi DME terbagi dua, yaitu BBN (berbais jarak pagar, kelapa sawit, singkong, tebu) dan non BBN dan 138 DME berbasis BBN. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2007.
9
Tabel Desa Mandiri Energi Program
2007
2008
Berbasis energi setempat non BBN (unit)
103
286
Berbasis BBN (unit)
127
135
C. Keamanan Energi dan Pangan Harus diakui, konstelasi ekonomi global cenderung berpotensi mengguncang ekonomi Indonesia pada 2008. Tingginya harga minyak dunia hingga menembus US$ 100/barel diiukuti kenaikan harga komoditas pangan, membayang – bayangi kinerja perekonomian Indonesia di tahun tikus ini. Hal yang juga perlu diwaspadai adalah negara – negara produsen pangan cenderung menahan stok untuk kebutuhan domestiknya dan tidak secara gegabah melempar pasar global. AS, contohnya, menahan stok jagung karena tingginya permintaan untuk etanol dalam rangka program biofuel. Kenaikan harga minyak berkolerasi positif dengan kenaikan harga komoditas pangan. Di sektor pertanian pun kondisinya hampir sama, harga komoditas pertanian naik 2,5% per November 2007 karena harga minyak nabati dan berlemak lainnya naik 8%. Cara yang tepat untuk menghadapi penurunan kinerja ekonomi adalah
meningkatkan
pengeluaran
APBN
(bukan
dengan
APBN
berimbang) dan menciptakan likuiditas untuk menutup investasi swasta yang menurun. Tantangan terbesar pemerintah adalah salah dalam menetapkan prioritas kebijakan. Kebijakan energi nasional sampai saat ini belum terarah. Berkurangnya cadangan minyak bumi, tersedianya sumber energi yang dapat dimanfaatkan, serta munculnya kesadaran akan lingkungan, menuntut adanya kebijakan yang berlandaskan paradigma baru
(kebijakan
yang
dapat
mendukung
pembangunan
yang
berkelanjutan).
10
Dalam konteks inilah rekomendasi kadin, khususnya tentang energi and
food
security
amat
relevan
untuk
diperhatikan.
Pertama,
mengimplementasikan program revitalisasi pertanian dan perdesaan secara sungguh – sungguh agar kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani dapat diwujudkan. Kedua, mengintegrasi kebijakan pertanian, industri, dan energi nasional, sehingga tercipta suatu sinergi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki. Ketiga, target lifting minyak mentah perlu diamankan agar tekanan defisit APBN bisa diminimalisasi,
seraya
mendorong
diversivikasi
energi,
terutama
meningkatkan penggunaan energi yang terbarukan. Faktanya, Pertamina bukan lagi pemain utama dalam industri migas Indonesia. Chevron Pacific Indonesia merupakan perusahaan asing dengan produksi minyak paling dominan, 44% dari total produksi minyak Indonesia. Dan produksi minyak PT. Pertamina sebagai BUMN menempati urutan kedua dengan produksi 136,12 ribu bph dengan pangsa produksi hanya 12%. Sekanng ini dibutuhkan tidak hanya policy mix mikro, namun koordinasi kebijakan pada lingkungan metaekonomi. Lingkungan meta ini mencakup antisipasi terhadap natural disruption, sektoral, dan daerah. Kebijakan pertanian, industri, dan enrgi nasional perlu diintegrasikan dan dipertajam agar tercipta suatu energi dalam mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki, guna menjamin terwujudnya food and energy security. D. Kebun Penghasil Bensin Setahun terakhir popularitas bioetanol alias etanol yang diproses dari tumbuhan dan biodiesel atau minyak untuk mesin diesel dari tanaman memang meningkat. Keduanya-bioetanol dan biodiesel-merupakan bahan bakar nabati. Bersamaan dengan tren itu, bermunculan produsen bioetanol skala rumahan. Soekaeni mengolah umbi singkong menjadi 2.100 liter bioetanol setiap bulan. Dari jumlah itu 300 liter dijual ke
11
pengecer premium dan 800 liter ke pengepul industri kimia. Harga jual untuk kedua konsumen itu sama: Rp10.000 per liter. Biaya untuk memproduksi seliter bioetanol berbahan baku singkong berkisar Rp3.400Rp4.000. Satu liter bioetanol terbuat dari 6,5 kg singkong. Selain singkong, sekarang ia juga memanfaatkan molase alias limbah tetes tebu sebagai bahan baku. Selain Soekaeni di Cicurug, Sukabumi, masih ada Sugimin Sumoatmojo. Warga Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu mengolah 1.500 molase alias limbah pabrik gula menjadi 500 liter bioetanol per hari. Untuk menghasilkan 1 liter bioetanol memerlukan 3 liter molase. Selama sebulan, mesin bekerja rata-rata 30 hari. Dengan demikian total jenderal volume produksi mencapai 15.000 liter yang memberikan untung bersih Rp37,5 juta per bulan. Menurut Dr. Arif Yudiarto, periset bioetanol di Balai Besar Teknologi Pati, ada 3 kelompok tanaman sumber bioetanol. Ketiganya adalah tanaman mengandung pati, bergula, dan serat selulosa. Beberapa tanaman yang sohor sebagai penghasil bioetanol adalah aren dengan potensi produksi 40.000 liter per ha per tahun, jagung (6.000 liter), singkong (2.000 liter), biji sorgum (4.000 liter), jerami padi, dan ubijalar (7.800 liter). Pada prinsipnya pembuatan bioetanol melalui fermentasi untuk memecah protein dan destilasi alias penyulingan yang relatif mudah sehingga gampang diterapkan. Berbeda dengan proses produksi biodiesel yang harus melampaui teknologi esterifikasi dan transesterifikasi. Apalagi sebetulnya bioetanol bukan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Pada zaman kerajaan Singosari700 tahun silam-masyarakat Jawa sudah mengenal ciu alias bioetanol dari tetes tebu. Sebagai substitusi bahan bakar premium, permintaan bioetanol sangat tinggi. Seperti diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 5/2006 dalam kurun 2007-2010, pemerintah menargetkan mengganti 1,48-miliar liter bensin dengan bioetanol lantaran kian menipisnya cadangan minyak bumi.
12
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar juga berdampak positif. Banyak riset sahih yang membuktikannya. Dr Prawoto kepala Balai Termodinamika, Motor, dan Propulsi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, misalnya, membuktikan kinerja mesin kian bagus setelah diberi campuran bioetanol. Riset serupa ditempuh oleh Prof. Dr. Ir. H. Djoko Sungkono dari Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Hasil penelitian Prawoto menunjukkan, dengan campuran bioetanol konsumsi bahan bakar semakin efisien. Pembakaran makin efisien karena etanol lebih cepat terbakar ketimbang bensin murni. Pembakaran sempurna itu gara-gara bilangan oktan bioetanol lebih tinggi dari pada bensin. Nilai oktan bensin cuma 87-88; bioetanol 117. Bila kedua
bahan
itu
bercampur,
meningkatkan
nilai
oktan.
Contoh
penambahan 3% bioetanol mendongkrak nilai oktan 0,87. ‘Kadar 5% etanol meningkatkan 92 oktan menjadi 94 oktan,’ ujar Sungkono, alumnus University of New South Wales Sydney. Makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kestabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Meski banyak keistimewaan, bisnis bioetanol bukannya tanpa hambatan. Salah satu aral penghadang bisnis itu adalah terbatasnya pasokan bahan baku. Saat ini sebagian besar produsen mengandalkan molase sebagai bahan baku. Padahal, limbah pengolahan gula itu juga dibutuhkan industri lain seperti pabrik kecap dan penyedap rasa. Bahkan, sebagian lagi di antaranya diekspor. Indra Winarno mengatakan molase menjadi emas hitam belakangan ini. Dampaknya, hukum ekonomi pun bicara. Begitu banyak permintaan, harga beli bahan baku pun membubung sehingga margin produsen bioetanol menyusut. Beberapa produsen
melirik
singkong
sebagai
alternatif.
Banyak
yang
membenamkan investasi di Lampung karena provinsi itu penghasil singkong terbesar di tanahair.
13
Dengan segala kelebihan di atas, penggunaan bioetanol agaknya kian mendesak. Bukan hanya karena industri itu menjadi lokomotif pengembangan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, juga lantaran harga minyak bumi yang diperkirakan melambung hingga US$100 per barel (1 barel = 117,35 liter) pada tahun mendatang.
14