BAB. I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Isu pangan menjadi penting seiring dengan semakin terbatasnya sumberdaya alam dan bertambahnya jumlah penduduk. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Persoalan pangan selain terkait dengan pemenuhan kebutuhan sendiri, juga menjadi komoditas ekonomi yang cukup penting. Berbagai proses perbaikan telah dilakukan untuk melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas pangan, terutama perbaikan sumber atau bahan dan proses pengolahan. Isu pangan juga terkait dengan industralisasi, terutama pada proses pengolahan makanan untuk keperluan perdagangan. Hasil dari pengolahan makanan, disebut sebagai makanan olahan, yang merupakan hasil dari pengolahan produk primer ataupun produk setengah jadi menjadi produk jadi pada komoditas pertanian, peternakan dan perikanan yang dimanfaatkan sebagai pangan untuk dikonsumsi manusia. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Semakin sempitnya lahan pertanian dan peternakan, karena pertambahan
penduduk,
maka
langkah
pada
upaya
pemenuhan
kebutuhan perlu memanfaatkan sumberdaya yang selama ini kurang dimanfaatkan, yaitu sektor kelautan. Ikan merupakan hasil terpenting dari sektor kelautan dalam bidang pangan. Selama ini, sektor perikanan laut di Jawa Tengah lebih banyak diusahakan secara tradisional, tanpa proses pengolahan dalam skala industri, sehingga nilai yang dihasilkan relatif sedikit. 1
Pada kondisi seperti ini diperlukan solusi bagaimana melakukan perbaikan produk pangan berbahan ikan laut, sehingga secara kualitas maupun kuantitas nilainya menjadi lebih baik. Makanan olahan berbahan baku ikan adalah produk akhir hasil pengolahan produk primer atau setengah jadi pada komoditas ikan yang dimanfaatkan atau dikonsumsi manusia. Industri pengolahan makanan dari bahan baku ikan merupakan aktifitas atau proses memproduksi makanan hasil pengolahan yang bahan bakunya dari ikan dengan modal, sarana, teknologi dan persyaratan tertentu yang diperlukan oleh konsumen. Sebagian besar produk perikanan Jawa Tengah didominasi jenis ikan laut yang sebagian dijual dalam bentuk ikan. Produksi ikan laut Jawa Tengah sebesar 55% dari total produksi perikanan di Jawa Tengah pada tahun 2008. Hanya sebagian kecil ikan laut tersebut diolah menjadi produk makanan seperti ikan asin, pindang, ikan panggang, kerupuk, dan terasi. Jenis makanan ini relatif murah harganya dan banyak dikonsumsi masyarakat. Industri pengolahan makanan dari bahan baku ikan laut ini menjadi salah satu sektor yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi
melalui
peningkatan
peluang
bekerja,
dan
meningkatkan pendapatan. Hasil perikanan dan makanan olahan berbahan baku ikan merupakan komoditas yang memiliki pasar domestik dan ekspor cukup besar nilainya. Persoalannya, kebanyakan ekspor ikan Indonesia masih dalam bentuk bahan mentah dan sedikit yang diolah. Potensi yang besar tersebut saat ini hanya dimanfaatkan secara eksploitatif, ikan yang ditangkap kemudian langsung dijual tanpa pengolahan lebih lanjut sehingga nilai relatif kecil. Sesuai dengan apa yang dijelaskan di atas, maka proses pengolahan ikan laut menjadi berbagai jenis produk makanan merupakan potensi yang cukup menonjol, terutama di wilayah pesisir. Industri Pengolahan Ikan dapat diklasifikasikan menjadi: 1). Industri pengalengan ikan, 2). Industri penggaraman/pengeringan ikan, 3). Industri pengasapan ikan, 4). Industri pembekuan ikan, 5). Industri
2
pemindangan ikan, 6). Industri pengolahan pengawetan lainnya (tepung ikan, tepung udang, rumput laut, trasi, petis dan sejenisnya). Beberapa jenis produk industri makanan berbahan baku ikan di Jawa Tengah antara lain ikan kering asin/tawar, ikan pindang, ikan panggang/asap, terasi, petis, kerupuk dan lainnya. Ikan yang digunakan sebagai bahan baku industri makanan seperti ikan tenggiri untuk bahan campuran pembuatan krupuk. Udang ukuran kecil (rebon) digunakan sebagai bahan baku pembuatan terasi. Ikan layang, ikan kembung dan beberapa jenis ikan pelagis lainnya digunakan sebagai bahan baku ikan pindang. Ikan pari, ikan manyung, ikan tonggkol dan ikan cucut umumnya digunakan sebagai bahan baku untuk ikan panggang/asap. Kemudian ikan tiga waja, ikan kuniran, dan beberapa jenis ikan dasar (demersal) lainnya digunakan sebagai bahan baku ikan asin/tawar kering. Industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di pantai Utara dan Selatan Jawa Tengah. Perkembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan tersebut antara lain dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku ikan laut yang
didaratkan
di
tempat-tempat
pendaratan
ikan
di
setiap
Kabupaten/Kota di pantai utara maupun pantai Selatan Jawa Tengah. Ketersedian bahan baku ikan di suatu lokasi industri makanan umumnya dipengaruhi oleh musim, ketika musim ikan (ikan banyak didaratkan di tempat-tempat pendaratan ikan), ikan sebagai bahan baku industri makanan mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah dibandingkan pada saat tidak musim ikan. Hal ini mencirikan karakteristik industri rumah tangga sebagaimana digambarkan oleh Tambunan (2002; 49) yang tradisional, tergantung musim, tanpa pengorganisasian yang baik, kekurangan modal, sarana dan teknologi. Pada saat ikan sebagai bahan baku industri makanan sukar didapat atau jumlahnya tidak mencukupi untuk keperluan industri di daerah sekitar lokasi industri, umumnya pabrik/industri makanan berbahan baku ikan tersebut mencari ke daerah lain yang terkadang harganya relatif mahal dan sulit didapat dalam jumlah yang diperlukan. Pada kondisi 3
seperti ini umumnya pengelola pabrik/industri tidak melakukan proses produksi. Beberapa perusahaaan/industri makanan menggunakan ikan sebagai
bahan
baku industri diperolah dari import
seperti ikan
layang/kembung di import dari Cina dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan ikan yang didaratkan di wilayah Jawa Tengah. Ketersediaan ikan yang dapat ditangkap sebagai bahan baku industri makanan dipengaruhi oleh jumlah sediaan (stok ikan) dan teknologi alat tangkap yang digunakan. Semakin padat stok ikan dan alat tangkap yang digunakan sesuai maka hasil tangkapan ikan yang dapat didaratkan
ditempat-tempat
pendaratan
ikan
semakin
banyak.
Sumberdaya ikan yang terdapat di laut sekitar Utara dan Selatan Jawa Tengah merupakan bagian dari ikan-ikan yang menjadi stok atau densitas ikan yang berada di perairan laut di seluruh di Indonesia. Untuk mengoptimalkan potensi perikanan tersebut, pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah mengupayakan berbagai cara untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap. Berdasarkan data statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah (2010), total produksi perikanan tangkap mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,27% per tahun, yaitu 192.414,30 ton pada tahun 2008 menjadi 194.861,80 ton pada tahun 2009. Namun demikian, pada sisi nilai pasar dan penjualan, secara umum belum mencapai peningkatan, bahkan cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, diperkirakan volume ekspor hasil perikanan Jawa Tengah mengalami penurunan sebesar 6,73% yaitu 17.794,07 ton pada tahun 2008 turun menjadi 16.596,52 pada tahun 2009. Penurunan tersebut disebabkan oleh pengaruh krisis global yang melanda di beberapa negara maju. Sedangkan konsumsi makan ikan bagi rata-rata penduduk Jawa Tengah mengalami peningkatan sebesar 2,40% dari 15,83 kg/kapita/ tahun (2008) menjadi 16,21 kg/kapita/tahun (2009), walaupun masih rendah jika dibanding tingkat konsumsi nasional 28,67 kg/kapita/tahun dan pola
konsumsi
harapan
dari
UNESCO
30,5
kg/kapita/tahun. 4
Potensi perikanan selain ditingkatkan dalam upaya peningkatan hasil tangkapan maupun budidaya, juga perlu ditingkatkan kualitas, melalui proses pengolahan sehingga nilai jualnya bertambah. Potensi pengolahan perikanan sebagai salah satu jenis industri manufaktur di Jawa Tengah cukup baik, karena selain didukung oleh sumberdaya alam, SDM, sarpras dan teknologi juga cukup tersedia, namun perlu dikembangkan. Pentingnya pengembangan sektor pengolahan perikanan laut karena nilainya yang cukup besar dan memberikan kontribusi penting bagi PDRB Jawa Tengah. Saat ini, dukungan sektor perikanan dan pengolahan ikan masih tergolong kecil dibanding sektor lainnya dalam industri manufaktur. Tabel 1.1 di bawah ini menggambarkan kontribusi sektor perikanan dan industri manufaktur. Tabel 1.1 Peran sektor perikanan dan industri pengolahan secara makro dalam PDRB Jawa Tengah (%) No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Uraian PDRB Perikanan Perkembangan perikanan Pertumbuhan Perikanan PDRB Industri Pengolahan Perkembangan Inds. Pengolahan Pertumbuhan Inds. Pengolahan
2004 1,02 124,51 11,85 32,64 176,91
2005 0,91 134,61 8,12 33,71 221,47
2006 0,88 156,39 16,18 32,85 259,60
2007 0,95 187,27 19,74 32,14 281,40
2008 0,98 225,55 20,44 33,08 336,43
2009 0,94 232.42 3.05 31.45 346.32
12,68
25,18
17,22
8,40
19,56
2.94
Sumber: Jawa Tengah dalam Angka 2009 Dari tabel di atas, nampak peran industri pengolahan dalam PDRB cukup baik, namun sektor perikanan belum dikembangkan dengan baik. Sehingga diperlukan penguatan industri pengolahan di Jawa Tengah. Untuk
itu
ada
beberapa
hal
yang
perlu
diperhatikan,
karena
pengembangan potensi pengolahan ikan laut di Jawa Tengah masih menghadapi permasalahan baik internal maupun
eksternal,
serta
kurangnya dukungan dari berbagai pihak dalam upaya mengembangkan industri pengolahan ikan laut tersebut. Saat ini di Jawa Tengah terdapat 17 daerah penghasil ikan tangkap di laut dengan hasil total sebesar Rp 1,103,715,212,200,- pada tahun 2009. Beberapa daerah di sekitar pantai lebih banyak bergerak pada penangkapan ikan, dengan sedikit industri pengolahan ikan seperti pada tabel 1.2 di bahwa ini. 5
Tabel 1.2 Nilai hasil Ikan laut di Jawa Tengah tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kabupaten / Kota Kabupaten Brebes Kabupaten Tegal Kota Tegal Kabupaten Pemalang Kabupaten Pekalongan Kota Pekalongan Kabupaten Batang Kabupaten Kendal Kota Semarang Kabupaten Demak Kabupaten Jepara Kabupaten Pati Kabupaten Rembang Kabupaten Wonogiri Kabupaten Purworejo Kabupaten Kebumen Kabupaten Cilacap Jumlah
Nilai Ikan Tangkap Laut 8,523,576,600 6,678,750,000 144,343,723,000 60,158,360,000 7,539,613,500 146,523,221,500 94,308,575,000 8,953,392,000 649,994,680 7,329,215,000 31,226,511,000 150,191,818,670 205,461,297,500 230,946,000 1,546,954,000 28,757,321,340 201,291,942,410 1,103,715,212,200
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Tengah Tahun 2010 Dari tabel 1.2 di atas diketahui bahwa Kabupaten Cilacap, Rembang, Pati, Pekalongan dan Kota Tegal merupakan wilayah penangkapan terbesar di Jawa Tengah. Namun tidak semua daerah tersebut mengolah ikan yang ditangkap, sebagian besar dijual dalam bentuk mentah. Sedangkan beberapa daerah selain penangkapan ada juga pengolahan, serta ada daerah yang lebih banyak pengolahan ikan dibanding penangkapan. Hal inilah yang menjadi tantangan, bagaimana memperbanyak pengolahan ikan untuk meningkatkan nilai ikan baik pada pasar nasional maupun ekspor. Jumlah yang cukup besar tersebut, seharusnya bisa menjadi lebih besar lagi dan mampu bersaing di pasar ekspor jika didukung oleh penguasaan teknik pengolahan ikan. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang besar dalam industri pengolahan ikan, namun belum dikembangkan secara serius. Berbagai porgram bantuan dalam upaya penangkapan dan budidaya ikan yang terdiri dari aspek sarana dan prasarana, teknologi dan permodalan telah membantu peningkatan produksi dan nilai produksi Pada tahun 2011, nilai produksi ikan laut dalam skala kecil ,mencapai Rp. 3,5 trilyun, sebagaimana dijelaskan tabel 1.3 di bawah ini.
6
Tabel.1.3 Produksi dan Nilai Produksi Pengolahan Ikan Laut di Jawa Tengah Tahun 2011. BULAN Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah
SKALA BESAR Produk (Kg) 87,602 92,345 83,909 92,097 86,166 66,150 90,405 85,401 93,349 28,759 806,183
SKALA KECIL
Nilai (Rp. 000) 189,349 573,838 906,232 430,411 329,500 222,276 522,768 158,852 21,492 15,435 3,370,153
Produk (Kg) 11,931,079 11,668,685 11,343,212 12,612,295 11,916,150 12,201,694 13,772,433 13,830,293 14,738,249 14,309,522 11,981,920 11,375,022 151,680,554
Nilai (Rp. 000) 289,521,175 289,677,939 293,305,099 297,402,201 294,389,544 295,014,122 296,550,868 296,811,752 306,102,309 302,099,394 283,987,130 263,847,035 3,508,708,568
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah 2012 Selama ini ada beberapa teknik pengolahan yang dominan dilakukan di Jawa Tengah yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi pengolahan ikan dan penambahan nilai ikan. Pengolahan ikan merupakan upaya mengawetkan ikan sebelum dijual, yaitu dengan cara pemindangan, asin atau kering, pengasapan dan sebagainya. Sedangkan penambahan nilai meliputi olahan lanjutan dari ikan seperti daging olahan (nugget, fillet, kaki naga), kerupuk ikan, terasi dan sebagainya. Sebagian besar industri pengolahan ikan tersebut berbentuk industri
rumah
tangga
dan
industri
kecil
yang
sebagian
besar
menggunakan tata cara tradisional, seperti manajemen usaha, teknologi dan proses produksi yang sederhana dan kurang memperhatikan kualitas serta higienitas. Terdapat
berbagai
kendala
baik
dukungan
pemerintah,
permodalan, sarana prasarana, teknologi, pemasaran, serta masalah lingkungan yang menyertainya. Sebagian besar pengrajin olahan ikan masih menggunakan cara-cara dan teknologi tradisional secara turun temurun, sehingga kualitasnya kurang bersaing dan target pasarnya adalah pasar lokal. Persoalan lain yang sangat mempengaruhi industri olehan ikan adalah ketersediaan bahan baku. Hal ini berkaitan dengan musim dan masa panen ikan yang selama ini menjadi bahan baku para pengrajin. Ketika musim ikan jarang, maka sebagian pengrajin akan 7
berusaha mengurangi produksi serta mengambil bahan baku dari ikan impor. Sehingga masalah umum adalah menghadapi persaingan dari sektor industri besar dan barang-barang impor dengan teknologi yang lebih tinggi. Namun demikian, ada potensi di mana sampai saat ini industri tersebut masih bisa bertahan. Menurut Tambunan (2002;2-3), industri makanan dan minuman di Indonesia tetap dapat bertahan dan menikmati pertumbuhan meskipun mendapat saingan dari industri besar dan impor, karena memiliki segmentasi pasar yang berbeda. UKM memiliki keuntungan karena memiliki keuntungan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dan permintaan pasar, sehingga berpotensi bersaing dengan perusahaan besar. Sesuai pengalaman selama ini, survival capability dari UKM sangat tergantung dari tingkat fleksibiltasnya dalam melakukan penyesuaianpenyesuaian di segala bidang yang berkaitan dengan perubahan teknologi, serta penguatan SDM menjadi sangat krusial (Tambunan, 2002 11). Menurut Tambunan (220; 21) UKM di Indonesia sangat penting terutama dalam hal penciptaan kesempatan kerja. argumentasi ini didasarkan pada kenyataan bahwa di satu pihak jumlah angkatan kerja cukup besar sedangkan sektor usaha besar tidak dapat menampung semua pencari kerja. Tantangan yang cukup berat bagi UKM adalah memperbaiki aspek pekerja, organisasi, manajemen, metode atau pola produksi, teknologi dan tenaga kerja, produk, lokasi usaha. Maka, industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah
menghadapi
persoalan
antara
lain:
regulasi
pemerintah,
permodalan, ketersediaan bahan baku, teknologi pengolahan, sarana dan prasarana, tenaga kerja, serta masalah pengembangan pasar. Dalam sisi regulasi, pengaturan kawasan atau lokasi sentra industri makanan, persyaratan mutu bahan baku dan produk makanan olahan, dan tata niaga produk makanan olahan dari bahan baku ikan belum banyak diterapkan.
8
Dalam sisi modal yang diperlukan untuk pengadaan bahan baku, sarana, prasarana seta teknologi yang diperlukan guna menunjang industri makanan relatif terbatas. Dalam hal bahan baku berupa ikan laut yang diperlukan untuk menghasilkan produk makanan tidak tersedia menurut
jumlah
dan
mutu
serta
kontinuitas
yang
diharapkan.
Keterampilan, pengetahuan dan profesionalitas tenaga kerja dalam mendukung industri makanan olahan berbahan baku ikan relatif terbatas. Selain itu, industri makanan berbahan baku ikan juga menghadapi permasalahan
distribusi
dan
penjualan, sehingga
kurang
mampu
memanfaatkan potensi pasar yang besar, di dalam maupun luar negeri. Di sisi lain, menghadapi era globalisasi, persiangan menjadi semakin ketat, sehingga untuk tetap dapat bersaing diperlukan kekuatan dalam hal kualitas produk. Hal ini tentu sulit untuk dilakukan oleh industri olahan ikan yang mayoritas berbentuk UMKM tradisional. Selama ini penjualan ikaan di Jawa tengah 40% masih dalam bentuk ikan segar dan hanya 60% yangd iolah sceara sederhana. Sebesar 90% dari industri olahan ikan di Jawa Tengah adalah UMKM tradisional. Dengan demikian sangat dibutuhkan upaya pengembangan UMKM tersebut menjadi lebih berkualitas dan memiliki daya saing.
Jika langkah tersebut tidak
dilakukan, maka potensi ikan dan olahannya akan semakin memudar karena terkalahkan oleh produk dari negara lain yang lebih bekrualitas. Sehingga Indonesia,, termasuk jawa Tengah ahnya akan menjadi produsen bahan baku saja yang nilainya cukup rendah. Dengan demikian, penelitian ini perlu dilakukan untuk menganalisis aspek-aspek yang berpengaruh dalam pengembangan industri makanan olehan berbahan baku ikan laut tersebut. Berdasarkan
pengamatan
awal
di lapangan
dan data-data
pendukung diperlohe adanya 7 aspek yang sangat mempengaruhi perkembangan industri olahan ikan laut di Jawa Tengah. Pertama, adalah aspek kebijakan. Kebijakan baik peemrintah pusat maupun pemerintah daerah dipandang sebagai kunci pembangunan yang menciptakan iklim yang mendukung pengembangan industri secara startegis. Di sisi lain, jika 9
kebijakan kurang tepat maka akan menjadi hambatan yang berdampak luas dan panjang terhadap kemajuan industri olahan ikan. Kebijakan dalam hal ini meliputi visi-misi, program, kegiatan, anggaran dan kelembagaan serta tsruktur tata kelola industri. Kedua, adalah aspek bahan baku. Bahan baku sangat menentukan kualitas produk olahan. Ketersediaan bahan baku yang cukup secara kuantitas dan kualitas yang memenuhi standar pada saat-saat tertentu menjadi permasalahan. Pada musim badai misalnya, ketersediaan bahan baku sangat kurang sheingga pengolah harus membeli ikan impor. Di sisi lain dalam proses penyimpannan dan perlakuan bahan baku juga kadang merusak kualitas ikan. Ketiga, aspek sarana dan prasarana. Sebagian besar UMKM mengahdapi permasalahan minimnya sarana dan prasarana yang memadai, higienis dan efisien. Keterbatasan sarana ini menjadikan kualitas produk olahan tidak dapat memenuhi standar mutu pangan yang baik sebagaiamna ditetapkan pemerintah. Akibatnya produk tidak dapat bersaing. Keempat,
adalah aspek tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan
pemeran utama dalam menjaga kualitas produk olahan. Per,asalahan yang dihadapi adalah keterbatasan pengetahuan tenaga kerja, budaya kerja yang higinienis dan efisien. Dalam sisi ketersediaan tenaga kerja juga kurang kontiny karena sangat jarang tenaga kerja tetap, kabanyakan adalah tenaga borongan yang juga merupakan tenaga borongan di sektor pertanian. Kelima, adalah aspek teknologi. Teknologi merupakan unsur penting dalam mengasilkan produk berkualitas dan efisiensi dalam proses produksi. Permasalahannya adalah teknologi UMKM sanga tertinggal dan kurang dapat memproduksi olahan dalam jumlah yang besar. Keenam, adalah sapek modal. Dalam beberapa hal permodalan tidak menjadi persoalan karena para pengolah hanya memproduksi sesuai ketersediaan modal mereka. Akan tetapi sebagai upaya pengembangan
10
untuk bersaing dengan industri maju, permodalan menjadi sangat penting untuk ditingkatkan. Ketujuh, adalah aspek pasar. Selama ini para pengolah hanya puas dengan pasar lokal, sehingga nilai pasar ekspor terabaikan. Oleh sebab itu diperlukan upaya penanganan pasar yang lebih luas agar nilai usaha menjadi berkembang. Dengan demikian, industri makanan berbahan baku ikan laut perlu dikembangkan sehingga menjadi pendorong perekonomian yang penting di Jawa Tengah, dengan mnghilangkan berbagai penghambat, mengingat potensi sumberdaya yang begitu besar serta pasar yang cukup luas. Pengolahan ikan laut perlu ditingkatkan baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor. Oleh karena itulah perlu dijawab beberapa persoalan sebagaimana disampaikan di atas. Untuk menjawab hal tersebut diperlukan upaya komprehensif dalam berbagai bidang yang diawali dengan pendalaman melalui penelitian. Oleh karena itulah penelitian ini dilakukan untuk memberikan masukan bagi pengembangan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah. Dengan demikian, urgensi dilakukannya penelitian ini adalah; 1. Sangat dibutuhkan sebagai input untuk menentukan kebijakan, program dan strategi dalam pengembangan usaha industri makanan olahan berbahan baku ikan laut. 2. Sangat
dibutuhkan
sebagai
bahan
informasi
dalam
hal
mengembangkan ekonomi kerakyatan melalui pemberdayaan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut. B. Pokok Permasalahan Industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah kurang berkembang karena menghadapi banyak persoalan maka perlu diselesaikan. Adapun masalah utama yang mendesak untuk segera diselesaikan pada Industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah terseubt, adalah : regulasi pemerintah, permodalan, ketersediaan bahan baku, teknologi pengolahan, sarana dan prasarana, 11
tenaga
kerja,
penjelasan
serta
masalah
tersebut,
maka
pengembangan permasalahan
pasar.
yang
Berdasarkan
dihadapi
dalam
mengembangkan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut : mengapa pengembangan potensi pengolahan ikan laut di Jawa Tengah masih menghadapi permasalahan baik internal maupun eksternal, serta kurangnya dukungan dari berbagai pihak dalam upaya mengembangkan industri pengolahan ikan laut ?
Oleh sebab itu, maka dapat dirumuskan pertanyaan
penelitiannya sebagai berikut: 1. Bagaimana peran regulasi atau kebijakan pemerintah maupun pemerintah
daerah
dalam
mendukung
pengembangan
industri
makanan olahan berbahan baku ikan? 2. Bagaimana ketersediaan ikan bahan penunjang sebagai bahan baku industri makanan ? 3. Bagaimana kondisi sarana dan prasarana dalam mengembangkan industri makanan berbahan baku ikan? 4. Bagaimana kondisi tenaga kerja yang mendukung pengembangan industri makanan berbahan baku ikan? 5. Bagaimana kondisi teknologi yang mendukung pengembangan industri makanan berbahan baku ikan? 6. Bagaimana modal yang diperlukan dalam pengembangan industri makanan berbahan baku ikan ? 7. Bagaimana kondisi pasar hasil industri makanan olahan berbahan baku ikan? C. Maksud dan Tujuan Sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas, maka maksud penelitian ini ialah: 1. Menganalisis regulasi atau kebijakan pemerintah maupun pemerintah daerah dalam mendukung pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan
12
2. Menganalisis ketersediaan ikan bahan penunjang sebagai bahan baku industri makanan 3. Menganalisis kondisi sarana dan prasarana dalam mengembangkan industri makanan berbahan baku ikan 4. Menganalisis tenaga kerja yang mendukung pengembangan industri makanan berbahan baku ikan 5. Menganalisis teknologi yang mendukung pengembangan industri makanan berbahan baku ikan 6. Menganalisis modal yang diperlukan dalam pengembangan industri makanan berbahan baku ikan 7. Menganalisis pasar hasil industri makanan olahan berbahan baku ikan
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah tersusunnya dokumen masukan bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan dan memberikan fasilitasi bagi industri perikanan. Dengan demikian, keluaran yang menjadi tujuan penelitian ini adalah menyediakan hasil berupa: 1. Data dan informasi mengenai kebijakan menyangkut kelembagaan dan tata kelola yang terkait dengan pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut 2. Data dan informasi ketersediaan ikan bahan penunjang sebagai bahan baku industri makanan olahan ikan laut 3. Data
dan
informasi
kondisi
sarana
dan
prasarana
dalam
mengembangkan industri makanan berbahan baku ikan laut 4. Data dan informasi tenaga kerja yang mendukung pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut 5. Data dan informasi teknologi yang mendukung pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut 6. Data dan informasi modal yang diperlukan dalam pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut 7. Data dan informasi pasar hasil industri makanan olahan berbahan baku ikan laut. 13
D. Metodologi Pelaksanaan 1. Tinjauan Pustaka a. Industri Industri merupakan kegiatan ekonomi yang berupa pengolahan bahan mentah, bahan baku, bahan setengah jadi, dan barang jadi menjadi barang dengan nilai yang nilainya lebih tinggi, atau menciptakan nilai tambah dari bahan yang ada menjadi barang baru dengan tujuan memperoleh keuntungan. Industri dapat dibedakan menjadi industri ekstraktif yang mengolah langsung dari bahan alam, industri non-esktraktif dan industri jasa. Industri pengolahan ikan termasuk dalan industri ekstraktif, yaitu pengolahan langsung dari bahan alam. Berdasarkan skala usahanya, ada industri skala rumah tangga (mikro), kecil, menengah dan besar. Industri pengolahan ikan di Jawa Tengah termasuk dalam skala rumah tangga dan kecil. Menurut Tambunan (2002; 49-51), Industri Rumah Tangga (IRT) umumnya adalah usaha tradisional, tidak menerapkan sistem organisasi dan manajemen yang baik, tidak ada pembagian kerja dan pembukuan yang jelas, tidak punya tempat khusus, teknologi sederhana dan tenaga yang tidak dibayar, sebagian besar terdapat di perdesaan, kadang sifatnya musiman karena terkait dengan sektor pertanian, barang diproduksi tidak atas permintaan pasar. Sedangkan industri kecil lebih modern, memproduksi barang untuk permintaan pasar, pekerja dibayar, ada pembagian kerja, penghasilan pekerja relatif tinggi memakai lebh banyak tenaga kerja Kesulitan utama yang dihadapi industri kecil maupun IRT di Indonesia berdasarkan survey BPS adalah masalah kesulitan pemasaran, masalah finansial, SDM, Bahan Baku dan teknologi (Tambunan, 2002; 73-80). Kesulitan pemasaran pada umumnya adalah persaingan dengan usaha besar dan impor di dalam negeri maupun di pasar ekspor, karena tidak mampu menjual pada harga pasar dan kualitas serta pelayanan yang
kurang
baik,
selain
itu,
minimnya
informasi
pasar
juga
mempengaruhi UKM, serta isu-isu global yang harus diperhatikan seperti 14
masalah lingkungan hidup, hak asasi, hak buruh, pekerja anak, dengan standard yang tidak mampu dipoenuhi oleh UKM di Indoensia. Sedangkan dalam masalah finansial, terdapat masalah mobilisasi modal awal serta akses ke modal kerja dan finansial demi pertumbuhan output jangka panjang. Untuk mengakses dana perbankan UKM mengalami kesulitan karena jarak, persyaratan, urusan administrasi, dan kurangnya
informasi
para
pelaku
UKM
terhadap
pembiayaan.
Kebanyakan IRT dan industri kecil menggunakan uang dari modal sendiri atau pinjaman teman dan kerabat dibanding dana pinjaman perbankan, terutama indusri makanan, minuman, dan sebagainya. Keterbatasan SDM dialami UKM dalam aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi, pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data prosesing, teknik pemasaran dan penelitian pasar. Rendahnya pendidikan pekerja menjadi penghambat, di mana lebih dari 50% hanya berpendidikan dasar atu tidak tamat sekolah. Minimnya pelatihan ketrampilan, pendidikan dan kursus juga menjadikan lemahnya kualitas SDM. Masalah bahan baku berupa kelangkaan bahan atau mahalnya harga bahan baku yang tidak terjangkau, kualitas yang rendah serta kurangnya
pemenuhan. Keterbatasan teknologi karena teknologi yang
rendah menyebabkan
produktifitas rendah, kualitas yang rendah,
kuantitas yang rendah, dan kurangnya efisiensi dalam produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Terbatasnya modal investasi, keterbatasan informasi
teknologi serta
rendahnya
kualitas SDM yang
mampu
mengoperasikan teknologi baru, rendahnya inovasi juga menghambat penguasaan teknologi, sehingga sulit bersaing di pasar global. Menurut Tambunan (2002; 29) faktor-faktor keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap perusahaan untuk dapat bersaing di pasar dunia terutama adalah; penguasaan teknologi, SDM dengan kualitas tinggi, etos kerja, kreatifitas dan motivasi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi, kualitas dan mutu barang yang dihasilkan, promosi yang luas dan agresif, sistem manajemen dan struktur organisasi yang baik, 15
pelayanan teknis maupun non teknis yang baik, adanya skala ekonomis dalam proses produksi, modal dan sarana serta prasarana yang cukup, jaringan bisnis dalam dan luar negeri dan proses produksi tepat waktu, serta jiwa entrepreneurship yang tinggi.
b. Makanan Olahan Sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan, dalam Pasal 1 disebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan. Industri rumah tangga pangan adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Pengertian pangan olahan menurut aturan tersebut di atas adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Pangan olahan diwajibkan memenuhi standar keamanan pangan. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Persyaratan keamanan pangan adalah standar yang harus dipenuhi untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Kemanan pangan meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran pangan yang memenuhi persyaratan sanitasi Sanitasi pangan adalah 16
upaya untuk pencegahan terhadap memungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik membusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia.
c. Pengolahan Ikan Laut (bahan Baku) Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Ikan laut dibagi kedalam beberapa kategori utama, yaitu golongan demersal, pelagik kecil, pelagik besar, anadromus, dan katradromus. Golongan demersal merupakan ikan yang hidup di lautan dalam. Pelagik baik besar maupuan kecil merupakan ikan kecil di permukaan atau di lapisan atas. Kemudian golongan anadromus adalah ikan yang hidup di air payau yang berasal dari laut seperti ikan bandeng dan salem. Sedangkan golongan katradromus adalah jenis ikan payau yang berasal dari air tawar. Menurut kajian yang dilakukan oleh Indroyono & Budiman (2003:103) bahwa produk laut Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan menjadi penghasil devisa nyata, karena bahan bakunya lokal, modalnya rupiah namun hasilnya dollar. Persoalan yang lebih penting adalah upaya untuk mengolah, tidak hanya mengekspor dalam bentuk mentah, karena nilainya cenderung rendah. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, di mana luas wilayah daratannya lebih kecil dari pada luas wilayan lautnya. Luas daratannya mencapai 1,9 juta km2, wilayah laut sekitar 5,8 juta km2, jumlah pulaunya sebanyak 17.508 buah dengan panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu 81.000 km (Dahuri, 2005). Dengan kondisi seperti ini, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang sangat besar. Hasil pengkajian stok ikan di Perairan Indonesia yang pernah dilaporkan Badan Riset Kelautan dan Perikanan 17
(BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2001 (dalam Purwanto, 2003) bahwa potensi lestari (MSY) atau jumlah sumber daya ikan laut yang dapat ditangkap dan tidak mengganggu kelestarian di perairan Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah penangkapan yang diperbolehkan 5,1 juta ton per tahun (80 % dari MSY), dengan potensi lestari ikan demersal yakni 1.370.090 ton per tahun. Kondisi tersebut memberikan dukungan penyediaan bahan baku yang cukup bagi industri pengolahan ikan. Pengolahan ikan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.19/Men/2010 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan dalam pasal 1 dijelaskan bahwa pengolahan ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Kemudian dalam Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan
dan
Pemasaran
Hasil
Perikanan
Nomor:
Per.09/Dj-
P2hp/2010 Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, dan Format Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Pasal 1 dijelaskan bahwa Pengolahan Ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku.Pengolahan ikan wajib memenuhi persyaratan umum hyangiene, prosedur yang baik, sarana dan parasarana yang baik, pengemasan dan proses pemasaran yang memenuhi standar higienitas. Secara garis besar, industri pengolahan ikan laut dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok pengolah ikan serta kelompok penambahan nilai ikan. Kelompok pengolah ikan merupakan upaya melakukan pengawetan ikan secara tradisional dengan hasil akhir masih berupa ikan, terdiri dari pemindangan, pengeringan/penggaraman, pengasapan/pemanggangan.
Sedangkan
penambahan
nilai
ikan
merupakan hasil olahan turunan dari ikan baik dari daging, kulit maupun tulang ikan. Kelompok ini terdiri dari surimi (daging ikan giling) dan turunannya seperti bakso ikan, nugget ikan, otak-otak, kaki naga, kerupuk ikan, terasi dan olahan lainnya. 18
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal PPHP melakukan pembinaan terhadap industri pengolahan ikan dengan mengembangkan sentra-sentra pengolahan ikan di seluruh Indonesia. Konsep tersebut merupakan aplikasi dari paradigm baru pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan dengan arahan; 1). lokasi/kawasan tempat pengolahan ikan dengan sebagian besar produk olahan yang sama,
2).
jumlah
pengolah
yang
memenuhi
persyaratan/cukup,
3).pasokan bahan baku yang cukup dan adanya akses pasar/tujuan pemasaran, 4). bersedia dijadikan lokasi/kawasan sentra pengolahan, dan 5). program pengembangan sentra tidak harus bangunan fisik, tapi dapat berupa bantuan bintek, peralatan dan sarana penunjang lainnya, Sampai dengan tahun 2012, di Jawa Tengah telah ditetapkan sebanyak
5
daerah
Kabupaten/Kota
sebagai
penerima
program
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan (PHP).\ Tabel.1.4.Lokasi Program Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan dari Kementerian Kelautan & Perikanan di jawa Tengah sampai Tahun 2012 No Kab/Kota Jenis Olahan Tahun 1
Kota Tegal
Fillet Ikan Laut
2006, 2007
2
Kab. Boyolali
Olahan Lele
2008, 2011
3
Kab. Jepara
Panggang Ikan Laut
2008
4
Kab. Pati
Fillet Ikan Laut
2010, 2011
5 Kab. Demak Panggang Ikan Laut Dan Lele 2010, 2011 Sumber: DInas Kelautan dan Perikanan Prov. Jateng 2012 Namun
demikian,
masih
terdapat
berbagai
kendala
dalam
pengembangan selanjutnya, baik di 5 wilayah tersebut maupun wilayah lainnya. Persoalan utama adalah penyediaan lahan yang sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain persoalan sumberdaya tersebut, hasil evaluasi sementara terhadap sentra-sentra yang ada adalah belum optimalnya penggunaan sarana yang ada karena budaya atau kebiasaan, belum
mampunya
SDM
pengelola
untuk
menerapkan
perilaku
bersih,belum ada jaminan dalam kontinuitas /ketersediaan bahan baku, serta terbatasnya akses pasar untuk produk yang dihasilkan. 19
Dalam era globalisasi ini, tentu peningkatan daya saing industri sangat diperlukan. Selain potensi perikanan yang besar, permintaan dalam negeri maupun luar negeri terhadap produk ikan sebagai sumber nutrisi cukup tinggi. Dengan demikian sangat disayangkan apabila potensi tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Kebutuhan mengembangkan pengolahan ikan berkaitan erat dengan pengembangan perekonomian daerah di Jawa Tengah. Untuk dapat melakukan itu, ada beberapa prasyarat yang cukup penting untuk dipenuhi. Untuk dapat bersaing, ada potensi keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap UKM untuk dapat bersaing di pasar dunia. Penguasaan teknologi, SDM dengan kualitas tinggi, etos kerja, kreatifitas dan motivasi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi, kualitas dan mutu barang yang dihasilkan, promosi yang luas dan agresif, sistem nanajemen dan struktur organisasi yang baik, pelayanan teknis maupun nonteknis yang baik, adanya skala ekonomis dalam proses produksi, modal dan sarana serta prasarana yang cukup, jaringan bisnis dalam dan luar negeri dan proses produksi tepat waktu, serta jiwa entrepreneurship yang tinggi merupakan faktor keunggulan UKM (Tambunan, 2002;29). Untuk menyikapi hal tersebut, UKM terutama pengolahan makanan berbahan baku ikan laut harus mampu menghadapi berbagai persoalan mendasar. Menurut studi yang dilakukan oleh BPS dalam Tambunan (2002; 73-80) bahwa kesulitan utama yang dihadapi industri kecil maupun industri rumah tangga di Indonesia (termasuk makanan olahan berbahan baku ikan laut) adalah masalah kesulitan pemasaran, masalah finansial, SDM, bahan baku dan teknologi. Kesulitan pemasaran yang dihadapi UKM pada umumnya adalah persaingan dengan usaha besar dan impor di dalam negeri maupun di pasar ekspor, karena tidak mampu menjual pada harga pasar dan kualitas serta pelayanan yang kurang baik, selain itu, minimnya informasi pasar juga mempengaruhi UKM, serta isu-isu global yang harus diperhatikan seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi, hak buruh, pekerja anak, dengan standard yang tidak mampu dipenuhi oleh UKM di Indonesia, 20
serta kebijakan dumping dan sebagainya yang merugikan industri dalam negeri. Sedangkan dalam masalah finansial, terdapat masalah mobilisasi modal awal serta akses ke modal kerja dan finansial demi pertumbuhan output jangka panjang. Untuk mengakses dana perbankan UKM mengalami kesulitan karena jarak, persyaratan, urusan administrasi, dan kurangnya
informasi
para
pelaku
UKM
terhadap
pembiayaan.
Kebanyakan industri kecil dan rumah tangga menggunakan uang dari modal sendiri dibanding dana pinjaman perbankan, terutama industri makanan, minuman, dan sebagainya. Keterbatasan SDM dialami UKM dalam
aspek
entrepreneurship,
manajemen,
teknik
produksi,
pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data prosesing, teknik pemasaran dan penelitian pasar. Rendahnya pendidikan pekerja UKM menjadi penghambat di mana lebih dari 50% hanya berpendidikan dasar atau tidak tamat sekolah. Minimnya pelatihan ketrampilan, pendidikan dan kursus juga menjadikan lemahnya kualitas SDM. Masalah bahan baku berupa kelangakaan bahan atau mahalnya harga bahan baku yang tak terjangkau, kualitas yang rendah serta kurangnya pemenuhan. Teknologi yang rendah menyebabkan produktifitas rendah, kualitas yang rendah, kuantitas yang rendah, dan kurangnya efisiensi dalam produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Terbatasnya modal investasi, keterbatasan informasi teknologi serta rendahnya kualitas SDM yang mampu mengoperasikan teknologi baru, rendahnya inovasi juga menghambat penguasaan teknologi, sehingga sulit bersaing di pasar global.
2. Definisi Konseptual Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan definisi konseptual sebagai berikut: 1) Ikan Laut adalah segala jenis ikan yang ditemukan di perairan laut dangkal maupun dalam yang diperoleh dengan proses penangkapan 21
2) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman 3) Makanan olahan, adalah merupakan hasil dari pengolahan produk primer ataupun produk setengah jadi menjadi produk jadi pada komoditas pertanian yang dimanfaatkan sebagai pangan untuk dikonsumsi manusia. 4) Makanan olahan berbahan baku ikan laut adalah merupakan aktifitas atau proses memproduksi makanan hasil pengolahan yang
bahan
bakunya dari ikan laut dengan modal, sarana, teknologi dan persyaratan tertentu yang diperlukan oleh konsumen, meliputi proses penggaraman, pengasapan, pengeringan, pembekuan, pemindangan, pembuatan minyak, kecap atau teping, pembuatan kerupuk, terasi, petis dan jenis-jensi lainnya. 5) Kebijakan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah segala aturan formal/regulasi, kebijakan teknis, fasilitasi maupun pendampingan terhadap industri makanan olahan berbahan baku ikan laut yang dilakukan oleh pemerintan dan pemerintah daerah. 6) Bahan baku industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah segala sesuatu yang dibuuhkan sebagai bahan yang diolah, baik utama maupun pendukung dalam proses pengolahan, yaitu ikan, garam, air, tepung dan sebagainya. 7) Sarana dan prasarana industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah seluruh infrastruktur yang dibutuhkan sebagai pendukung terhadap berjalannya proses produksi pengolahan ikan. 8) Teknologi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut merupakan keseluruhan alat dan cara yang digunakan untuk mengolah ikan menjadi produk lainnya yang lebih baik nilainya.
22
9) Tenaga kerja industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah seluruh pihak yang terlibat secara lagsung dalam proses pengolahan ikan, baik tingkat manajer maupun karyawan biasa. 10) Modal industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut berupa uang (financial) maupun non uang yang digunakan sebagai input atau masukan bagi pengadaan alat dan bahan pengolahan makanan berbahan baku ikan laut 11) Pasar industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah sasaran berupa individu dan organisasi yang membutuhkan untuk konsumsi maupun melakukan penjualan kembali barang dan jasa setelah hasil pengolahan untuk mendapatkan keuntungan. 3. Rancangan (Riset Desain) Sebagaimana dijelaskan di atas, penelitian ini merupakan upaya membangun konsep pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah dengan menganalisis berbagai hal. Penelitian dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pengembangan industri tersebut dalam rangka meningkatkan daya saing di pasar nasional maupun global. Ada beberapa aspek penting yang diperhatikan, mulai dari kebijakan, modal, bahan baku dan sarana sampai pasar, dan menjadi bagian dari sebuah sistem sebagaimana digambarkan di bawah ini.
Gambar 1.1. Alur Pikir Pengembangan Industri Pengolahan Makanan Berbahan Baku Ikan Laut
23
Siklus sebagaimana digambarkan dalam sistem di atas kemudian diterjemahkan ke dalam kerangka pemikiran penelitian yang bertujuan menganalisis setidaknya 7 aspek utama dalam industri pengolahan ikan, yaitu kebijakan, bahan baku, sarana dan prasarana, teknologi, modal, tenaga kerja dan pasar. Masing-masing aspek tersebut akan menjadi variabel dalam memahami bagaimana upaya pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut tersebut dilakukan. Dengan demikian, dapat digambarkan bangunan kerangka variabel penelitian seperti gambar di bawah ini. Kebijakan/Regulasi, Kelembagaan dan Tata Kelola
Bahan Baku & Penunjang
Pasar
Sarana dan Prasarana Teknologi
Proses
Produk
Modal Tenaga Kerja
Gambar 1.2 Kerangka Penelitian Pengembangan Industri Makanan Berbahan Baku Ikan Laut Ketujuh aspek di atas kemudian dianalisis untuk menilai kondisi saat ini, kendala dan prospek pengembangan ke depan. 1) Kebijakan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut Ada dua aspek penting dalam kebijakan, yaitu mengenai bagaimana kelembagaan dalam industri dan bagaimana tata kelola industri diatur. Sedangkan indikator kebijakan meliputi adanya regulasi atau aturan yang ditetapkan secara formal, dukungan dari pemerintah dan
24
pemerintah daerah serta fasilitasi pemerintah dan pemerintah daerah terhadap industri pengolahan ikan. 2) Bahan baku industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut Bahan baku dalam hal ini dikelompokkan menjadi 2, yaitu bahan baku utama, dalam hal ini ikan dan bahan pendukung. Bahan baku ikan, dilihat dari indikator berupa: Jumlah ikan yang didaratkan, jenis ikan, mutu ikan, waktu ikan didaratkan, asal ikan ditangkap, alat tangkap yang digunakan, fasilitas penyimpanan ikan di kapal, dan harga ikan sebagai bahan baku penunjang industri. Sedangkan bahan baku penunjang, dalam hal ini terdiri dari Garam, Es Balok/Curah, air bersih dan beberapa jenis lainnya dilihat dari indkator: Jumlah, Jenis, Harga, Lokasi bahan baku penunjang tersebut tersedia 3) Sarana dan prasarana industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut Sarana produksi makanan olahan berbahan baku ikan laut, dalam hal ini berupa bangunan, peralatan, bahan lain, dan obatāobatan, serta sanitasi lingkungan. Prasarana yang digunakan dalam makanan olahan, yaitu jalan, transportasi,
dan penerangan. Indikator dalam
sarana dan prasarana adalah tingkat pemenuhan bangunan, jalan, energi, air dan sarana penunjang lainnya. 4) Teknologi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut Teknologi/peralatan adalah segala macam peralatan dan metode/cara yang digunakan dalam keseluruhan rangkaian produksi pengolahan ikan
laut.
Teknologi
menjamin
adanya
kontinuitas
produksi,
keseragaman kualitas, packing, labeling, dan lain-lain, Indikator teknologi
adalah
ketersediaan
alat,
dan
cara
sesuai
dengan
permintaan dan kebutuhan produksi memenuhi permintaan pasar. 5) Tenaga kerja industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut Tenaga kerja pada sektor pengolahan ikan adalah seluruh orang, baik karyawan maupun manajer yang terlibat secara langsung dalam proses pengolahan ikan. Mata pencaharian utama mereka adalah pada sektor pengolahan ikan. Indikator tenaga kerja dalam hal ini ialah 25
pekerjaan utama atau lama bekerja pada pengolahan ikan, tingkat pendapatan dan tingkat penyerapan sektor industri pengolahan ikan terhadap tenaga kerja. Sedangkan secara individu meliputi kualitas (tingkat pendidikan, ketrampilan, kompetensi), komitmen, etos kerja dan motivasi. 6) Modal industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis sebagai masukan pada pendirian industri maupun proses pengolahan atau operasional produksi. Indikator adalah bagaimana kondisi permodalan, akses untuk memperoleh modal, sumber modal, kemudahan lembaga keuangan dalam memberikan pinjaman dan lainlain. Aspek finansial sangat penting untuk diperhatikan, karena setiap kegiatan usaha selalu membutuhkan dana untuk menjalankan usaha yang meliputi permodalan, pembiayaan gaji karyawan, operasional lainnya, penerimaan dan analisis finansial. 7) Pasar industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut Aspek
pemasaran
menciptakan
merupakan
kesinambungan
aspek
proses
penting
produksi
dalam
rangka
(sustainability
of
production process). Terdapat 3 pertanyaan mendasar yang timbul dalam memasarkan (menyalurkan) produk dari produsen sampai kekonsumen, yaitu : ļ·
What : Jenis produk apa yang akan disalurkan ?
ļ·
Who : Siapa yang akan menyalurkan produk tersebut ?
ļ·
How : Bagaimana cara menyalurkan jenis produk tersebut ?
Aspek pasar dan pemasaran merupakan salah satu aspek yang sangat penting. Hal ini dikarenakan aspek pasar dan pemasaran sangat menentukan hidup matinya perusahaan atau setiap kegiatan usaha (Kasmir dan Jakfar, 2003). a). Permintaan makanan olahan ikan; untuk menghitung estimasi permintaan makanan olahan ikan,
peneliti menggunakan data
permintaan ikan nasional lima tahun terakhir 26
b). Penawaran makanan olahan ikan; data penawaran makanan olahan ikan digunakan data nasional kondisi terakhir. 4. Lokus Kegiatan Subjek penelitian atau populasi dalam penelitian ini ialah pelaku industri atau pengrajin makanan berbahan dasar ikan laut di Jawa Tengah. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan pertimbangan dengan tujuan tertentu. Pertama, adalah wilayah yang menghasilkan produk ikan tangkap dan olahan terbsar di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Rembang. Kedua, adalah daerah yang disamping menghasilkan ikan tangkap laut juga merupakan sentra budidaya dan olahan ikan budidaya tambak, terutama bandeng, yaitu Kabupaten Pati. Ketiga, adalahd aerah yang memiliki komitmen tinggi (pimpinan daerah) dalam mengembangkan sektor perikanan dengan menyatakan diri sebagai daerah Minapolitan, meskipun pada saat yang sama terjadi penurunan produksi ikan tangkap yaitu Kota Pekalongan. Keempat, adalah daerah dimana potensi perikanan cukup tinggi akan tetapi belum terdapat upaya serius dan komitmen tinggi dari peemrintah daerah, yaitu Kabupaten Brebes. Kelima, adalah wilayah yang mewakili pantai selatan sebagai daerah penghasil ikan terbesar di wilayah selatan Jawa Tengah serta penghasil utama ikan demersal di Jawa Tengah. Selain itu, berdasarkan pertimbangan produk olahan ada 5 daerah penghasil olahan ikan di Jawa Tengah dengan kekhasan olahan unggulan yang berbeda-beda dibanding daerah lain, yaitu seperti tabel 1.5 bawah ini. Tabel 1.5. Daftar Sampel Penelitian dari Sentra Pemasaran Hasil Makanan Berbahan Baku Ikan Laut di Jawa Tengah Tahun 2011 No Kabupaten / Kota Olahan Unggulan 1 Kabupaten Rembang Pindang, Kering/Asin, Terasi, Asap 2 Kabupaten Pati Pindang, Terasi, Asap, Bandeng, Bandeng olahan 3 Kota Pekalongan Ikan Olahan (bakso dll), Ikan Kering 4 Kabupaten Brebes Pindang, Asap, Kering 5 Kabupaten Cilacap Kering, Segar, Kerupuk Sumber: Data Primer, 2012 27
Responden adalah pemerintah daerah dan para pengolah ikan khususnya yang terdapat di Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kota Pekalongan, Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Cilacap. Sampel ditentukan
secara
memperhatikan
purposive,
informan
dan
dalam key
pengumpulan person
di
data
dengan
lapangan
dengan
menggunakan teknik snowball. Jumlah dan latar belakang sampel penelitian ini disesuaikan dengan kondisi lapangan dan kebutuhan penelitian. Secara umum, terkait dengan tema penelitian, maka informan penelitian adalah pihak yang terkait, yaitu instansi pemerintah daerah, pelaku usaha (penyuplai ikan, pengolah ikan, distributor) serta pihak-pihak terkait lainnya.
5. Fokus Kegiatan Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis. Menurut Surachmad (1982), penelitian diskriptif analisis merupakan penelitian yang mencoba mencari serta menemukan hubungan antara data yang diperoleh di lapangan dengan landasan teori yang digunakan, dengan demikian
dapat
memberikan
gambaran-gambaran
yang
konstruktif
mengenai permasalahan yang diteliti. Menurut Arikunto (2002), penelitian deskriptif dilakukan untuk mengetahui keadaan sesuatu mengenai apa dan bagaimana, berapa banyak, sejauh mana dan sebagainya. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah pendekatan deduktif/kualitatif dan pendekatan induktif (Babie, 1993:46). Pendekatan deduktif berdasarkan pada teori-teori disusun hipotesis yang kemudian akan diuji kebenarannya secara empirik berdasarkan data dan observasi yang dilakukan. Menurut Sugiyono (2009), metode penelitian kulitatif adalah penelitian di mana data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif. Menurut Bungin (2008) penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritis ilmiah yaitu seorang peneliti memulai berpikir secara induktif, menangkap berbagai fakta dan fenomena-fenomena sosial melalui pengamatan lapangan, 28
kemudian menganalisis dan melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati. Selanjutnya berdasarkan data dan observasi tersebut disusun suatu model sebagai upaya membuat generalisasi (pendekatan induktif). 6. Bentuk Kegiatan Bentuk kegiatan ini ialah berupa penelitian lapangan yang dilengkapi dengan studi pustaka untuk menganalisis kondisi yang ada dan menemukan
solusi
persoalan
tersebut.
Dengan
demikian,
teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu: a).Teknik observasi, b). Teknik wawancara (interview guide), dam c).Desk study Data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari wawancara mendalam dan isian kuesionar dari para informan yang berisi tentang pendapat dan pemahaman mengenai industri perikanan. Data sekunder berasal dari dokumen terkait obyek penelitian dari berbagai sumber. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah panduan wawancara
dan
daftar
pertanyaan
terbuka.
Informan
tertentu
diwawancarai secara mendalam dan sebagian yang lain diminta mengisi daftar pertanyaan terbuka yang disediakan. Informasi yang didapat dari metode di atas diharapkan akan saling melengkapi. Metode seperti ini dilakukan agar data yang didapat benar-benar valid dan reliabel. Selain data yang didapatkan mendalam, peneliti juga dapat melakukan uji silang terhadap jawaban yang diberikan informan yang satu dengan informan lainnya agar data yang didapatkan valid dan reliabel. Dalam penelitian ini teknik analisis yang digunakan trianggulasi sebagaimana penelitian kualitatif. Data dianalisis secara kualitatif dengan dilakukan analisis induktif seperti gambar dibawah ini .
29
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Sajian Data Emik dan Etik
Verifikasi Data dan Penarikan Kesimpulan
Gambar 1.3. Alur Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman seperti yang dikutip Sugiyono (2009). Analisis model Miles dan Huberman merupakan siklus dalam proses pengambilan data, pengolahan dan analisis yang dilakukan secara simultan sehingga data yang diperoleh semakin mendalam dan mampu menggambarkan kondisi secara lebih baik. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Mei ā Okotber 2012 di Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kota Pekalongan, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap, di Provinsi Jawa Tengah.
30
BAB II PERKEMBANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN
A. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan 1. Perkembangan Kegiatan a. Tahap Awal 1) Persiapan Penyusunan Riset Desain (RD)/ instrumen survey (IS) Rapat persiapan penyusunan Riset Desain (RD) dan Instrumen Survey (IS) bertujuan melakukan penajaman arah dan inventarisasi dalam rangka penyusunan riset desain dan instrumen survey. Penysusunan Riset Desain dan Instrumen Survey dilakukan dengan memperhatikan masukan dan penajaman dalam rapat sebelumnya. Kegiatan ini dilaksanakan selama 25 hari, dimulai tanggal 16 Mei ā 9 Juni 2012 . kegiatan ini dilakukan oleh Tim peneliti. 2) Rapat Pembahasan RD/IS Pembahasan Riset Desain dan Instrumen SUrvei dilakukan dengan tujuan mendapatkan masukan dari stakeholder dan pihak yang memiliki kompetensi agar penelitian yang akan dilakukans sesuai dengan kebutuhan. Kegiatan ini dilakukan tanggal 12 Juni 2012, pukul 13.00
ā
15.00
Wib
di
ruang
siding
badan
Penelitian
dan
Pengembangan Provinsi Jawa Tengah. Peserta yang hadir sebanyak 40 orang terdiri dari tim peneliti, narasumber, tim adminsitrasi, sertra undangan yang memiliki keterkaitan dan kompetensi. 3) Pra Survey Pra survey dilakukan untuk mengetahui kondisi lapangan yang sesungguhnya serta melakukan uji terhadap keandalan instrument penelitian yang telah disusun. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 13 Juni 2012 dengan tujuan Kota Pekalongan. Kegiatan dilakukan oleh tim peneliti. 4) Rapat Persiapan Penyempurnaan RD/IS Kegiatan rapat persiapan penyempurnaan RD/IS dilakukan untuk mempersiapkan fokus penyempurnaan RD/IS yang dilakukan tanggal 31
14 dan 15 Juni 2012 dengan dihadiri oleh Tim Peneliti, Narasumber dan Tim Administrasi. 5) Penyempurnaan RD/IS Penyempurnaan RD/IS dilakukan untuk memperbaiki RD/IS yang telah dibahas sesuai dengan masukan dalam pembahasan serta pra survey sehingga sesuai dengan kondisi lapangan. Kegiatan tersebut dilakukan selama 15 hari dimulai tanggal 16 ā 30 Juni 2012 yang dilakukan oleh Tim Peneliti. 6) Seminar RD/IS Seminar dilakukan sebagai media sosialisasi rencana kegiatan penelitian ini kepada para pemangku kepentingan. Kegiatan ini dilakukan tanggal 2 Juli 2012.
b. Tahap Pelaksanaan 1) Pengambilan Data Lapangan Pengambilan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara dan diskusi bersama pihak-pihak yang merupakan pelaku utama dari isndustri makanan olahan berbahan baku ikan laut, dengan rincian jadwal sebagai berikut; a) Kunjungan ke Kabupaten Rembang tanggal 3 - 4 Juli dan 30 - 31 Juli 2012. b) Kunjungan ke Kabupaten Pati tanggal 5 - 6 Juli dan 3 - 4 Agustus 2012 c) Kunjungan ke Kota Pekalongan tanggal 9,-10 Juli dan
6 - 7
Agustus 2012 d) Kunjungan ke Kabupaten Brebes tanggal 12 Juli dan
9
- 11
Agustus 2012 e) Kunjungan ke Kabupaten Cilacap tanggal 17 Juli dan 12 -14 Agustus 2012
32
2) Pengolahan Data Dilakukan pada bulan Agustus, setelah semua data terkumpul, didahului dengan screening dan input data, kemduian dilanjutkan dengan tabulasi. Kegiatan ini dilakukan oleh tim pengolah data. 3) Persiapan Penyusunan Draft Laporan Akhir Setelah
data
terkumpul,
maka
langkah
selanjutnya
dilakukan
persiapan penyususnan draft laporan akhir pada tanggal 22 dan 23 Agustus 2012 pukul 13.00 ā 15.00 WIB dengan dihadiri oleh Tim Peneliti, Narasumber dan Tim Administrasi. 4) Penyusunan Draft Laporan Akhir Penyusunan draft laporan akhir dilakukan setelah dilakukan input data dan pengolahan, selama 32 hari yang dimulai tanggal 24 Agustus ā 24 September. Kegiatan tersebut dilakukan oleh tim peneliti. 5) Pembahasan Draft Laporan Akhir Pembahasan draft laporan akhir dilakukan untuk mendapatkan koreksi dan masukan dari berbagai pihak terkait yang dilakukan tanggal 2 Oktober 2012 pukul 13.00 ā 15.00 wib di Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah. Peserta yang hadir sebanyak 40 orang terdiri dari tim peneliti, narasumber, tim administrasi, sertra undangan yang memiliki keterkaitan dan kompetensi. 6) Persiapan Penyempurnaan Laporan Akhir Setelah
dilakukan
pembahasan
dan
adanya
masukan,
maka
dipersiapkan penyempurnaan laporan akhir yang dilakukan tanggal 3 dan 4 Oktober 2012. dengan dihadiri oleh Tim Peneliti, Narasumber dan Tim Administrasi. 7) Penyempurnaan Laporan Akhir Penyempurnaan draft laporan akhir yang telah dibahas sebelumnya dilakukan selama 16 hari yang dimulai tanggal 5 - 20 Oktober 2012. kegiatan tersebut dilakukan oleh tim peneliti.
c. Tahap AKhir 1) Sosialisasi Hasil Penelitian Sebagai Masukan Kebijakan 33
Kegiatan ini bertujuan mensosialisasikan hasil penelitian kepada pemerintah daerah sebagai masukan kebijakan. Hasil-hasil penelitian dirumuskan dalam bentuk rekomendasi kebijakan kepada pemerintah daerah. 2) Seminar Laporan Akhir Seminar laporan akhir dilakukan pada tanggal 5 - 7 Nopember 2012, di Jakarta sebagai media sosialisasi di tingkat pusat, sekaligus menjalin koordinasi implementasi kebijakan dari hasil penelitian.
2. Kendala-Hambatan Pelaksanaan Kegiatan Kendala utama yang dihadapi dalam pelaksanaan penelitian ini ialah permasalahan pendanaan. Pendanaan penelitian yang tidak lancer menyebabkan pelaksanaan penelitian di lapangan juga terhambat.
B. Pengelolaan Administrasi Manajerial 1. Perencanaan Anggaran Anggaran penelitian ini sebesar Rp. 250.000.000,-. (Dua ratus lima puluh
juta
rupiah).
Perencanaan
angggaran
dilakukan
dengan
memperhatikan pedoman PKPP 2012 sebagaimana dikeluarkan oleh Kementerian Ristek. Namun ada beberapa penyesuaian sesuai kondisi lapangan dengan rincian dipergunakan untuk honorarium peneliti, tenaga administrasi, narasumber, pembantu lapangan, surveyor dan pengolah data sebesar mendekati angka 60% dan untuk belanja habis pakai, keperluan perjalanan, serta belanja lain sebesar 40%. 2. Mekanisme Pengelolaan Anggaran Pengelolaan anggaran dilaksanakan sesuai dengan pedoman PKPP
2012.
Mekanisme
pengeluaran
anggaran
dan
pertanggungjawabannya menggunakan kaidah anggaran berbasis kinerja dengan memperhatikan kesesuaian antara pengeluaran dan outputnya.
34
3. Rancangan dan Perkembangan Pengelolaan Aset Penelitian ini menghasilkan aset nonfisik berupa rekomendasi kebijakan pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut yang akan disampaikan kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, maupun pemerintah Kabupaten/Kota dimana terdapat industri pengolahan ikan tersebut. Media yang digunakan dalah diseminasi hasil penelitian, dalam bentuk buku dan terbitan di media ilmiah (jurnal) serta berbentuk policy papper. 4. Kendala ā Hambatan Pengelolaan Administrasi Manajerial Kendala manajerial
yang
kegiatan
pertanggungjawaban
dihadapi ini
dalam
ialah
anggaran
yang
pengelolaan
mekanisme cukup
rumit
administrasi
pencairan sehingga
dan sulit
menyesuaikan dengan kondisi lapangan.
35
BAB III METODOLOGI PENCAPAIAN TARGET KINERJA
A. Metode - Proses Pencapaian Target Kinerja 1. Kerangka Metode - Proses Kerangka metode proses industri makanan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah mencakup persyaratan industri makanan olahan sesuai peraturan perundangan yang berlaku di Negri ini. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan, dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Produksi pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan. Industri rumah tangga pangan adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Pengertian pangan olahan menurut aturan tersebut di atas adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Pangan olahan diwajibkan memenuhi standar keamanan pangan. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Persyaratan keamanan pangan adalah standar yang harus dipenuhi untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Kemanan pangan meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran 36
pangan yang memenuhi persyaratan sanitasi Sanitasi pangan adalah upaya untuk pencegahan terhadap memungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik membusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan standar sarana dan prasarana pengolahan yang ditetapkan oleh Dinas Perikanan Provinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut : Persyaratan Sapras Pengolahan Ikan a. Sarana Pengolahan Peralatan yang dipergunakan untuk produksi dibuat
berdasarkan
perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene serta menjamin kelancaran proses penanganan dan pengolahan. b. Prasarana Pengolahan 1) Tersedianya infrastruktur pendukung (jalan, air dan sumber listrik) 2) Lokasi bangunan harus berada ditempat yang bebas pencemaran 3) Konstruksi kuat dan mendukung kelancaran proses pengolahan dan sanitasi Persyaratan teknis a. Sarana Pengolahan 1) Sesuai dengan jenis produk 2) Terbuat dari bahan yang tidak korosif, tidak mencemari produk dan tidak menyerap air 3) Permukaan kontak dengan produk harus halus, tidak bercelah, tidak mengelupas 4) Mudah dibersihkan Tahan lama 5) Tahan lama b. Persyaratan Gedung atau bangunan tempat pengolahan Ikan 1) Dinding. Warna: Terang, Permukaan harus rata dan halus, pertemuan sudut melengkung sehingga mudah dibersihkan. 37
2) Lantai harus tahan terhadap minyak ikan, lemak, air garam/air laut, deterjen dan desinfektan. Warna terang, kedap air, rata tidak berpori dan mudah dibersihkan ļ keramik yang tidak licin, kemiringan 3-5 ke arah saluran pembuangan (drainage) ļ untuk menghindari terjadinya genangan air 3) Atap harus mampu melindungi ikan yang dijual dari sinar matahari, hujan yang akan mengakibatkan kontaminasi, kerusakan fisik dan mutu 4) Ruangan Pasar harus memiliki cahaya penerangan yang cukup melalui cahaya alami dan dilengkapi dengan lampu yang memadai. Lampu harus dilindungi pelindung untuk menghindari pecahan lampu Persyaratan Sanitasi a. Sirkulasi udara cukup/ventilasi minimal 20% luas ruangan b. Air : Tersedia air bersih yang cukup dilengkapi tandon air; c. Kualitas air bersih diperiksa setiap 6 bulan; d. Es: harus tersedia dalam keadaan curah dan yang digunakan harus memenuhi standar. e. Instalasi limbah/saluran pembuangan harus terbuat dari bahan yang kedap air, rata, tidak berpori, halus agar mudah untuk dibersihkan. Konstruksi saluran harus berbentuk āUā agar mudah dibersihkan, mengalirkan limbah/air dengan lancar. f. Saluran harus ditutup dengan jeruji logam dan tidak mudah karat g. Toilet harus tersedia cukup bagi pengunjung dan pedagang yang ada di pasar; harus dilengkapi dengan tempat mencuci tangan dan harus selalu dalam kondisi bersih. h. Fasilitas cuci tangan seharusnya tersedia di dekat meja display, dapat digunakan pembeli baik sebelum maupun sesudah memilih ikan Persyaratan peralatan pemasaran a. Meja: sebaiknya portable, tidak mudah dipindahkan, bahan tahan karat, pada ujung sisi meja sebaiknya dilengkapi dengan tempat 38
saluran air yang terhubung langsung ke saluran pembuangan. Setiap sisi meja seharusnya disediakan kran air bersih untuk pencucian dan tempat sampah yang mudah diangkat dan dipindahkan; b. Talenan dari bahan plastik/polipelin; c. Pisau tajam, tidak berkarat; d. Timbangan: bahan yang tidak mudah korosif dan mengkontaminasi ikan e. Seharusnya dalam kondisi pas dan selalu dilakukan kalibrasi secara rutin. f. Keranjang:
dari
bahan
yang
mudah
dibersihkan,
tidak
mengkontaminasi produk g. Trolly : dari bahan yang tidak mengkontaminasi produk h. Pakaian bersih; i. Memakai celemek, sepatu boot, penutup kepala, sarung tangan; j.
Selalu mencuci tangan setelah bertransaksi;
k. Pemeriksaan kesehatan berkala setiap 6 bulan; l. Tidak membuang sampah sembarangan; m. Berhenti berjualan apabila sedang sakit; Persyaratan pasar ikan Persyaratan pasar ikan yang harus di lakukan seperti singkatan di bawah ini : P : Pergunakan perlengkapan diri seperti celemek, sarung tangan dan sepatu bot A : Aman dari bahan berbahaya seperti formalin dan borax S : Selama menjual ikan hindari merokok, meludah dan bersin A : Apabila sedang sakit yang dapat mencemari ikan
(Flu, Diare,
TBC) jangan berjualan R : Rutin membuang sampah dari los dagangan setiap
hari ke
tempat pembuangan sampah Persyaratan Ikan Persyaratan ikan yang harus di siapkan seperti singkatan di 39
bawah ini : I
: Ingat untuk selalu menggunakan peralatan yang bersih
K : Ketersediaan es dan air yang cukup A : Amankan dari hama / hewan perusak seperti serangga, tikus dan sebagainya N : Nuansa pasar yang bersih dan segar. b. Indikator Keberhasilan Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Ikan laut dibagi kedalam beberapa kategori utama, yaitu golongan demersal, pelagik kecil, pelagik besar, anadromus, dan katradromus. Golongan demersal merupakan ikan yang hidup di lautan dalam. Pelagik baik besar maupuan kecil merupakan ikan kecil di permukaan atau di lapisan atas. Kemudian golongan anadromus adalah ikan yang hidup di air payau yang berasal dari laut seperti ikan bandeng dan salem. Sedangkan golongan katradromus adalah jenis ikan payau yang berasal dari air tawar. Indikator keberhasilan dari usaha pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah yaitu sejauh mana permasalahan pengembangan yang ada sampai dengan saat ini dapat dikurangi sampai dihilangkan. Menurut kajian yang dilakukan oleh Indroyono & Budiman (2003:103) bahwa produk laut Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan menjadi penghasil devisa nyata, karena bahan bakunya lokal, modalnya rupiah namun hasilnya dollar. Persoalan yang lebih penting adalah upaya untuk mengolah, tidak hanya mengekspor dalam bentuk mentah, karena nilainya cenderung rendah. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, di mana luas wilayah daratannya lebih kecil dari pada luas wilayan lautnya. Luas daratannya mencapai 1,9 juta km2, wilayah laut sekitar 5,8 juta km2, 40
jumlah pulaunya sebanyak 17.508 buah dengan panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu 81.000 km (Dahuri, 2005). Dengan kondisi seperti ini, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang
besar yang dapat dijadikan sebagaipasokan dan
cadangan bahan baku indusrti makanan berbahan baku ikan laut. Hasil pengkajian stok ikan di Perairan Indonesia yang pernah dilaporkan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2001 (dalam Purwanto, 2003) bahwa potensi lestari (MSY) atau jumlah sumber daya ikan laut yang dapat ditangkap dan tidak mengganggu kelestarian di perairan Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah penangkapan yang diperbolehkan 5,1 juta ton per tahun (80 % dari MSY), dengan potensi lestari ikan demersal yakni 1.370.090 ton per tahun. Kondisi tersebut memberikan dukungan penyediaan bahan baku yang cukup bagi industri pengolahan ikan. Pengolahan ikan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.19/Men/2010 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan dalam pasal 1 dijelaskan bahwa pengolahan ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Kemudian dalam Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan
dan
Pemasaran
Hasil
Perikanan
Nomor:
Per.09/Dj-
P2hp/2010 Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, dan Format Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Pasal 1 dijelaskan bahwa Pengolahan Ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku.Pengolahan ikan wajib memenuhi persyaratan umum hyangiene, prosedur yang baik, sarana dan parasarana yang baik, pengemasan dan proses pemasaran yang memenuhi standar higienitas. Secara garis besar, industri pengolahan ikan laut dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok pengolah ikan serta kelompok penambahan nilai ikan. Kelompok pengolah ikan merupakan upaya melakukan pengawetan ikan secara tradisional dengan hasil akhir 41
masih berupa ikan, terdiri dari pemindangan, pengeringan/penggaraman, pengasapan/pemanggangan.
Sedangkan
penambahan
nilai
ikan
merupakan hasil olahan turunan dari ikan baik dari daging, kulit maupun tulang ikan. Kelompok ini terdiri dari surimi (daging ikan giling) dan turunannya seperti bakso ikan, nugget ikan, otak-otak, kaki naga, kerupuk ikan, terasi dan olahan lainnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal PPHP melakukan pembinaan terhadap industri pengolahan ikan dengan mengembangkan sentra-sentra pengolahan ikan di seluruh Indonesia. Konsep tersebut merupakan aplikasi dari paradigma baru pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan dengan arahan; 1). lokasi/kawasan tempat pengolahan ikan dengan sebagian besar produk olahan yang sama,
2).
jumlah
pengolah
yang
memenuhi
persyaratan/cukup,
3).pasokan bahan baku yang cukup dan adanya akses pasar/tujuan pemasaran, 4). bersedia dijadikan lokasi/kawasan sentra pengolahan, dan 5). program pengembangan sentra tidak harus bangunan fisik, tapi dapat berupa bantuan bintek, peralatan dan sarana penunjang lainnya, Sampai dengan tahun 2012, di Jawa Tengah telah ditetapkan sebanyak
5
daerah
Kabupaten/Kota
sebagai
penerima
program
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan (PHP). Tabel.3.1. Lokasi Program Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan dari Kementerian Kelautan & Perikanan di jawa Tengah sampai Tahun 2012 No Kab/Kota Jenis Olahan Tahun 1
Kota Tegal
Fillet Ikan Laut
2006, 2007
2
Kab. Boyolali
Olahan Lele
2008, 2011
3
Kab. Jepara
Panggang Ikan Laut
2008
4
Kab. Pati
Fillet Ikan Laut
2010, 2011
5 Kab. Demak Panggang Ikan Laut Dan Lele 2010, 2011 Sumber: DInas Kelautan dan Perikanan Prov. Jateng 2012 Namun
demikian,
masih
terdapat
berbagai
kendala
dalam
pengembangan selanjutnya, baik di 5 wilayah tersebut maupun wilayah lainnya. Persoalan utama adalah penyediaan lahan yang sulit dilakukan 42
oleh pemerintah daerah. Selain persoalan sumberdaya tersebut, hasil evaluasi sementara terhadap sentra-sentra yang ada adalah belum optimalnya penggunaan sarana yang ada karena budaya atau kebiasaan, belum mampunya SDM pengelola untuk menerapkan perilaku bersih, belum ada jaminan dalam kontinuitas /ketersediaan bahan baku, serta terbatasnya akses pasar untuk produk yang dihasilkan. Dalam era globalisasi ini, tentu peningkatan daya saing industri sangat diperlukan. Selain potensi perikanan yang besar, permintaan dalam negeri maupun luar negeri terhadap produk ikan sebagai sumber nutrisi cukup tinggi. Dengan demikian sangat disayangkan apabila potensi tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Kebutuhan mengembangkan pengolahan ikan berkaitan erat dengan pengembangan perekonomian daerah di Jawa Tengah. Untuk dapat melakukan itu, ada beberapa prasyarat yang cukup penting untuk dipenuhi. Untuk dapat bersaing, ada potensi keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap UKM untuk dapat bersaing di pasar dunia. Penguasaan teknologi, SDM dengan kualitas tinggi, etos kerja, kreatifitas dan motivasi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi, kualitas dan mutu barang yang dihasilkan, promosi yang luas dan agresif, sistem nanajemen dan struktur organisasi yang baik, pelayanan teknis maupun nonteknis yang baik, adanya skala ekonomis dalam proses produksi, modal dan sarana serta prasarana yang cukup, jaringan bisnis dalam dan luar negeri dan proses produksi tepat waktu, serta jiwa entrepreneurship yang tinggi merupakan faktor keunggulan UKM (Tambunan, 2002;29). Untuk menyikapi hal tersebut, UKM terutama pengolahan makanan berbahan baku ikan laut harus mampu menghadapi berbagai persoalan mendasar. Menurut studi yang dilakukan oleh BPS dalam Tambunan (2002; 73-80) bahwa kesulitan utama yang dihadapi industri kecil maupun industri rumah tangga di Indonesia (termasuk makanan olahan berbahan baku ikan laut) adalah masalah kesulitan pemasaran, masalah finansial, SDM, bahan baku dan teknologi.
43
Kesulitan pemasaran yang dihadapi UKM pada umumnya adalah persaingan dengan usaha besar dan impor di dalam negeri maupun di pasar ekspor, karena tidak mampu menjual pada harga pasar dan kualitas serta pelayanan yang kurang baik, selain itu, minimnya informasi pasar juga mempengaruhi UKM, serta isu-isu global yang harus diperhatikan seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi, hak buruh, pekerja anak, dengan standard yang tidak mampu dipenuhi oleh UKM di Indonesia, serta kebijakan dumping dan sebagainya yang merugikan industri dalam negeri. Sedangkan dalam masalah finansial, terdapat masalah mobilisasi modal awal serta akses ke modal kerja dan finansial demi pertumbuhan output jangka panjang. Untuk mengakses dana perbankan UKM mengalami kesulitan karena jarak, persyaratan, urusan administrasi, dan kurangnya
informasi
para
pelaku
UKM
terhadap
pembiayaan.
Kebanyakan industri kecil dan rumah tangga menggunakan uang dari modal sendiri dibanding dana pinjaman perbankan, terutama industri makanan, minuman, dan sebagainya. Keterbatasan SDM dialami UKM dalam
aspek
entrepreneurship,
manajemen,
teknik
produksi,
pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data prosesing, teknik pemasaran dan penelitian pasar. Rendahnya pendidikan pekerja UKM menjadi penghambat di mana lebih dari 50% hanya berpendidikan dasar atau tidak tamat sekolah. Minimnya pelatihan ketrampilan, pendidikan dan kursus juga menjadikan lemahnya kualitas SDM. Masalah bahan baku berupa kelangakaan bahan atau mahalnya harga bahan baku yang tak terjangkau, kualitas yang rendah serta kurangnya pemenuhan. Teknologi yang rendah menyebabkan produktifitas rendah, kualitas yang rendah, kuantitas yang rendah, dan kurangnya efisiensi dalam produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Terbatasnya modal investasi, keterbatasan informasi teknologi serta rendahnya kualitas SDM yang mampu mengoperasikan teknologi baru, rendahnya inovasi juga
44
menghambat penguasaan teknologi, sehingga sulit bersaing di pasar global. Selain persoalan-persoalan di atas, ada beberapa isu strategis yang menjadi sorotan Dinas Perikanan Provinsi Jawa Tengah saat ini, yaitu masalah dalam hal : 1. Jaminan Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Lemah a. Kapasitas Otoritas Kompeten (Pusat dan Daerah) b. Regulasi tidak mutakhir dan tidak komprehensif c. Tidak semua pelaku āsadarā mutu dan keamanan pangan d. Nelayan/pembudidaya/UMKM pengolahan kesulitan menerapkan standar 2. Susut Hasil Masih Tinggi (27,8 %) a. Rendahnya apresiasi terhadap mutu b. Kurangnya
pengetahuan
pelaku
(termasuk
petugas)
akan
penerapan sistem rantai dingin c. Terbatasnya sarana prasarana (terutama pabrik es, air bersih) sistem rantai dingin 3. Utilitas Industri Rendah (<50%) a. Kuantitas (IUU, BBM, lokasi kurang tepat) b. Kualitas (85% produksi oleh nelayan skala kecil ā kurang memenuhi standar bahan baku) c. Kurang kerjasama antara industri penangkapan/budidaya dengan industri pengolahan 4. Penggunaan Bahan Ilegal Marak a. Penggunaan formalin b. Penggunaan air keras 5. Pola Dan Jenis Produksi Hasil Perikanan Tidak Berubah a. Tradisional (selalu kering, pindang, fermentasi, dll) b. Modern (selalu beku dan kaleng) c. Investasi dalam pengembangan produk terbatas d. Iptek pengembangan produk kurang dikuasai 6. Pola Konsumsi Ikan Tidak Berubah 45
Perhitungan angka konsumsi belum tepat ā konsumsi sebenarnya tidak diketahui a. Rendah dan tidak merata b. Intensitas promosi rendah Disampng kendala internal di atas, terdapat faktor ektsernal yang sangat berpengaruh, yaitu: 1. Meningkatnya persyaratan dan standar internasional; 2. Persaingan ketat (ancaman negara pesaing: Vietnam, Thailand dan Malaysia); 3. Pasar cenderung tetap (UE, Jepang, USA), pasar baru kurang dijajaki; 4. Hambatan tarif dan kecenderungan FTA. Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan definisi konseptual sebagai landasan untuk menentukn indikator keberhasilan yang
menjadi
target
point
yang
harus
dipenuhi
dalam
upaya
mengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut, definisi konseptual sebagai berikut: 1. Ikan Laut adalah segala jenis ikan yang ditemukan di perairan laut dangkal
maupun
dalam
yang
diperoleh
dengan
proses
penangkapan 2. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman 3. Makanan olahan, adalah merupakan hasil dari pengolahan produk primer ataupun produk setengah jadi menjadi produk jadi pada komoditas pertanian yang dimanfaatkan sebagai pangan untuk dikonsumsi manusia. 4. Makanan olahan berbahan baku ikan laut adalah merupakan aktifitas atau proses memproduksi makanan hasil pengolahan yang bahan bakunya dari ikan laut dengan modal, sarana, teknologi dan 46
persyaratan tertentu yang diperlukan oleh konsumen, meliputi proses penggaraman, pengasapan, pengeringan, pembekuan, pemindangan, pembuatan minyak, kecap atau teping, pembuatan kerupuk, terasi, petis dan jenis-jensi lainnya. 5. Kebijakan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah segala aturan formal/regulasi, kebijakan teknis, fasilitasi maupun
pendampingan
terhadap
industri
makanan
olahan
berbahan baku ikan laut yang dilakukan oleh pemerintan dan pemerintah daerah. 6. Bahan baku industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah segala sesuatu yang dibuuhkan sebagai bahan yang diolah, baik utama maupun pendukung dalam proses pengolahan, yaitu ikan, garam, air, tepung dan sebagainya. 7. Sarana dan prasarana industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah seluruh infrastruktur yang dibutuhkan sebagai pendukung terhadap berjalannya proses produksi pengolahan ikan. 8. Teknologi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut merupakan keseluruhan alat dan cara yang digunakan untuk mengolah ikan menjadi produk lainnya yang lebih baik nilainya. 9. Tenaga kerja industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah seluruh pihak yang terlibat secara lagsung dalam proses pengolahan ikan, baik tingkat manajer maupun karyawan biasa. 10. Modal industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut berupa uang (financial) maupun non uang yang digunakan sebagai input atau masukan bagi pengadaan alat dan bahan pengolahan makanan berbahan baku ikan laut 11. Pasar industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut adalah sasaran berupa individu dan organisasi yang membutuhkan untuk konsumsi maupun melakukan penjualan kembali barang dan jasa setelah hasil pengolahan untuk mendapatkan keuntungan.
47
c. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Litbangyasa 1) Profil Industri Pengolahan Ikan di Jawa Tengah Jawa Tengah memiliki garis pantai 791,76 Km yang tediri dari panjang pantai utara 502,69 Km dan pantai selatan 289,07 Km. Di pantai utara Jawa Tengah dengan potensi perikanan di Laut Jawa, terdapat Kabupaten Rembang, Pati, Jepara, Demak, Kota Semarang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, dan Kabupaten Brebes sebagai wilayah penangkapan dan pengolahan ikan. Sedangkan di selatan, dengan potensi Samudera Indonesia beserta ZEE yang dimilikinya,
terdapat
Kabupaten
Wonogiri,
Kabupaten
Purworejo,
Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Cilacap yang berpotensi namun kurang dikambangkan. Sesuai data Profil Perikanan Tangkap Jawa Tengah, potensi perikanan laut di sekitar wilayah Jawa Tengah sekitar 1.873.530 ton/tahun yang berasal dari Laut Jawa sekitar 796.640 ton/tahun dan Samudera Indonesia sekitar 1.076.890 ton/tahun (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, 2006). Dari potensi tersebut sesuai hasil penelitian Triarso (2004), bahwa potensi ikan demersal di Jawa yaitu Samudera Indonesia sekitar 135.000 ton pertahun dengan tingkat eksploitasi 84% dan Laut Jawa potensinya 431.000 ton per tahun dengan tingkat eksploitasi 56%. Sedangkan potensi pelagis kecil di Jawa yaitu Samudera Indonesia potensinya 430.000 ton per tahun dengan tingkat eksploitasi 41% dan Laut Jawa potensinya 340.000 ton per tahun dengan tingkat eksploitasi 130%. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka usaha perikanan tangkap khususnya ikan pelagis kecil sudah mengalami overfishing khususnya Laut Jawa (130%) sedangkan ikan demersal masih dapat dikembangkan baik di Samudera Indonesia (84%) dan Laut Jawa (56%) terutama untuk menunjang pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan demersal. Dari potensi tersebut maka produksi dan
48
nilai produksi perikanan tangkap yang didaratkan di wilayah Jawa Tengah dari tahun 2000-2005 dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel.3.2. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut di Jawa Tengah Tahun 2000 ā 2005. No Tahun Produksi (ton) Nilai Produksi (000) 1 2000 261.269,8 1.071.494.608 2 2001 274.809,1 1.035.984.852 3 2002 281.267 1.122.530.171 4 2003 236.235 773.621.116 5 2004 244.389,50 836.661.634 6 2005 190.937 780.525.819 Sumber : Profil Perikanan Tangkap Jawa Tengah, DKP Jateng 2006. Dari tabel 3.2 di atas dapat dilihat bahwa produksi perikanan tangkap yang didaratkan di wilayah Jawa Tengah mencapai produksi tertinggi pada tahun 2002 yaitu 281.267 ton per tahun dan mengalami penurunan produksi pada tahun 2005 dengan produksi 190.937 ton per tahun (turun 32,11 %). Dengan harga rerata berdasarkan jenis ikan dan waktu, maka dapat diperoleh nilai produksi ikan. Nilai produksi tertinggi dicapai pada tahun 2002 yaitu Rp.1.122.530.171 dan nilai produksi terendah pada tahun 2003 yaitu Rp.773.621.116. Data ini menunjukan bahwa produksi dan nilai produksi perikanan tangkap di Jawa Tengah mengalami fluktuasi yang dipengaruhi oleh tingginya harga BBM dan terkait dengan
penurunan sumberdaya perikanan. Hal ini juga
dipengaruhi jumlah nelayan yang melakukan usaha penangkapan ikan di Jawa Tengah, pada tahun 2005 jumlah nelayan 168.133 orang, tahun 2004 jumlah nelayan 174.418 orang, sehingga mengalami penurunan sekitar 3,6 % (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah, 2006). Persoalan yang kini dihadapi dalam perikanan terutama di Jawa adalah gejala overfishing. Saat ini telah terjadi gejala overfishing di Pantai Utara Jawa yang tak dapat dihindari, oleh karena itu diperlukan perubahan pola pikir, kalau dulu hanya berburu menangkap ikan kini harus mulai dipikirkan budidayanya. Hal inilah yang menjadi potensi keunggulan perikanan masa depan di Indonesia. Akan tetapi ada persoalan penting
49
yang perlu dihadapi, yaitu kendala teknologi, yang selama ini kurang ditangani secara baik (Indroyono & Budiman, 2003; 113). Dengan demikian, selain potensi perikanan tangkap sebagaimana digambarkan di atas, perlu dipikirkan secara serius potensi budidaya ikan yang selama ini dilakukan pada beberapa daerah di Jawa Tengah, terutama di sekitar pantai utara juga berkembang usaha perikanan tambak dengan potensi yang juga cukup besar. Perikanan tambak juga menjadi bahan baku penting pada industri pengolahan ikan di Jawa Tengah, seperti bandeng duri lunak dan terasi. Peran penting perikanan tambak juga tidak dapat diabaikan.meskipun jumlahnya relatif kecil, namun nilainya cukup besar dibandingkan dengan perikanan tangkap. Bahkan potensi perikanan tangkap cenderung menurun dan perikanan tambak cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana ditunjukkan pada tabel 3.3 di bawah ini. Tabel.3.3 Produksi dan Nilai Produksi Ikan Laut dan Tambak di Jawa Tengah Tahun 2004 ā 2008. Hasil ikan Nilai ikan Hasil Ikan Nilai Ikan laut No Tahun Tambak Tambak Laut (ton) (000) (ton) (000) 1. 2004 244 389,5 836 664 635,0 57 293,9 694 097 429 2. 2005 190 935,3 780 525 818,8 52 381,2 671 977 425 3. 2006 181 533,2 774 094 647,0 58 935,4 836 362 435 4. 2007 153 698,6 764 646 109,0 67 819,2 884 643 608 5 2008 174 587,9 884 111 955,0 68 395,8 718 417 682 2009 198,569.5 1,105,922,214.0 73,033.0 873,901,887 6. Sumber: Jawa Tengah Dalam Angka 2009 Pada tahun 2009, tercatat bahwa terdapat kenaikan nilai ikan tangkap dari Rp. 884.111.955.000,- menjadi Rp. 1.105.922.214.000,-. Berdasarkan data pada tabel 4.2 di atas, walaupun jumlah hasil ikan tambak lebih sedikit tetapi nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan perikanan tangkap. Hal tersebut disebabkan oleh proses pengolahan yang meningkatkan nilai jual hasil ikan. Kebanyakan perikanan tambak diolah menjadi beberapa produk, sampai pada produk turunan dengan baik sehingga nilainya menjadi berlipat. Sedangkan kebanyakan ikan tangkap
50
masih dijual langsung atau sekedar pengawetan sederhana sehingga nilainya kurang baik. Menurut
data
Dinas
Perikanan
Provinsi
Jawa
Tengah
(http://diskanlut-jateng.go.id), potensi sumberdaya ikan laut Jawa Tengah sekitar 1.873.530 ton/tahun meliputi Laut Jawa sekitar 796.640 ton/tahun dan Samudera Indonesia sekitar 1.076.890 ton/tahun. Beberapa jenis ikan yang paling banyak meliputi ikan pelagis besar (tuna, hiu), pelagis kecil, demersal, ikan hias, ikan karang, udang, kepiting, kerang-kerangan, teripang, dan lain-lain.
Gambar 3.1. Peta Tempat Pendaratan ikan Laut di Jawa Tengah Kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian daerah di Jawa Tengah cukup penting. Pada tahun 2009, tercatat bahwa sektor perikanan memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) hampir mencapai 6 trilyun rupiah (Rp. 15.971.525.067.000,-). Pada tahun 2012, nilai ekspor yang dihasilkan dari perikanan di Jawa Tengah mencapai 46,7 miliar rupiah (Rp. 45.692.111.460,-). Tentunya potensi tersebut masih perlu dikembangkan dalam hal pengolahan ikan lebih baik agar nilai jual dari produk perikanan menjadi meningkat. Disinilah peran industri
51
pengolahan ikan dalam rangka menjaga mutu ikan dan memberikan nilai tambah pada produk perikanan dan turunannya. Tabel 3.4 Potensi Perikanan di Jawa Tengah Tahun 2005 - 2010 URAIAN
TAHUN 2005
Perikanan Tangkap 208.763,40 Produk 922.177.539,00 Nilai Perikanan Budidaya 101.080,90 Produk 1.190.388.736,00 Nilai Perikanan Total 300.196,20 Produk 2.080.862.551,30 Nilai Ekspor 17.064.736,82 Produk 70.614.933,33 Nilai Konsumsi Ikan 9,47 Kg/Kapita/Th) PAD 13.296.539,921 (Rp. 1.000,-)
2006
2007
2008
2009
2010
199.115,30 890.473.815,30
169.690,40 885.915.493,60
192.124,70 1.009.627.448,30
213,296.30 1,264,397,039.00
156,709.26 1,129,799,475.00
91.473,89 988.651.632,25
114.007,80 1.305.231.253,00
128.705,80 1.325.903.853,00
145,015.10 1,632,343,058.20
124,620.33 1,477,093,761.00
305.549,18 1.940.833.454,58
283.698,20 2.191.146.746,60
301.215,29 2.355.531.301,30
358,311.40 2,896,740,097.20
281,329.59 2,606,893,236.00
17.064.736,82 70.614.933,33
19.938.399,15 74.643.244,22
17.794.068,77 71.762.355,41
16,596,516.84 60,124,572.18
11,597,192.93
13,76
13,32
15,05
15.57
12.611.926,258
13.731.076,23
16.938.108.109
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2012 Ada sebanyak 17 Kabupaten/Kota yang memiliki garis pantai baik di utara maupun selatan dengan panjang garis pantai mencapai 791,76 Km. Di Pantau Utara (Pantura) terdapat sebanyak 13 Kabupaten/Kota dengan garis pantai sepanjang 502,69 km dan di selatan terdapat 4 Kabupaten dengan garis pantai sepanjang 289,07 km. Kabupaten Rembang merupakan daerah penghasil ikan tangkap terbesar di Jawa Tengah dengan total produksi tahun 2009 sebesar 40.449.06 ton. Hal tersebut juga diimbangi dengan besarnya potensi industri pengolahan skala kecil dan menengah yang ada di Kabupaten Rembang, terutama dalam pengawetan ikan seperti pindang, asin/garam dan asap. Sedangkan di wilayah pantai selatan, Kabupaten Cilacap merupakan daerah penghasil ikan tangkap laut terbesar dengan total produksi tahun 2009 mencapai 14.667,43 ton. Sebagian besar ikan yang ditangkap di wilayah selatan merupakan ikan demersal dan cara pengolahan
dilakukan
dengan
pengeringan.
Kabupaten
Wonogiri
merupakan wilayah yang paling sedikit menghasilkan ikan tangkap laut, yaitu hanya sekitar 24,30 ton pada tahun 2009.
52
Tabel 3.5 Produksi ikan laut di laut di Jawa Tengah Tahun 2005- 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
KABUPATEN/KOTA Kabupaten Brebes Kabupaten Tegal Kota Tegal Kabupaten Pemalang Kabupaten Pekalongan Kota Pekalongan Kabupaten Batang Kabupaten Kendal Kota Semarang Kabupaten Demak Kabupaten Jepara Kabupaten Pati Kabupaten Rembang Kabupaten Wonogiri Kabupaten Purworejo Kabupaten Kebumen Kabupaten Cilacap TOTAL
TAHUN 2005 4,376.0 341.1 23,519.0 12,821.0 1,751.7 47,695.2 12,048.9 1,569.4 36.8 1,918.1 5,813.1 34,895.1 37,228.9 19.3 19.0 918.0 7,616.0 192,586.6
2006 1,774.4 493.9 20,816.1 14,471.8 1,842.7 34,641.9 20,293.4 1,064.3 67.8 1,091.3 5,740.8 22,479.8 40,575.5 20.0 30.6 1,397.6 11,180.1 177,982.0
2007 1,334.6 388.5 20,783.1 10,058.2 1,550.5 31,476.5 18,455.1 1,185.6 58.2 986.2 5,858.0 24,119.8 27,057.0 19.0 40.6 1,973.9 8,353.8 153,698.6
2008 2,386.3 434.7 20,961.5 10,791.5 1,714.6 31,675.3 22,853.6 1,312.0 164.1 1,809.7 5,940.0 31,067.2 32,372.1 21.2 53.7 2,244.3 9,028.9 174,830.70
2009 2,503.78 588.10 25,231.30 11,014.41 1,764.10 33,045.30 23,296.20 1,530.76 175.14 1,903.90 5,992.60 31,132.45 40,449.06 24.30 67.40 2,249.44 14,667.43 195,635.67
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2012 Sejalan dengan besaran produksi yang dihasilkan di atas, maka nilai yang dihasilkan dari perikanan terbesar adalah Kabupaten Rembang yaitu sebesar
Rp.
205.461.298.000,-
sedangkan
nilai
terendah
adalah
Kabupaten Wonogiri dengan hasil hanya sebesar Rp. 230.946.000,-. Tabel 3.6 di bawah ini menunjukkan besaran nilai produk perikanan tangkap laut di Jawa Tengah. Tabel. 3.6 Nilai Produksi Ikan Tangkap Laut di Jawa Tengah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kabupaten/ Kota Kabupaten Brebes Kabupaten Tegal Kota Tegal Kabupaten Pemalang Kabupaten Pekalongan Kota Pekalongan Kabupaten Batang Kabupaten Kendal Kota Semarang Kabupaten Demak Kabupaten Jepara Kabupaten Pati Kabupaten Rembang Kabupaten Wonogiri Kabupaten Purworejo Kabupaten Kebumen Kabupaten Cilacap Jumlah
Nilai Produksi Perikanan Tangkap Laut (dalam ribuan rupiah) 2005 2006 2007 2008 2009 14,135,530 5,644,545 4,938,294 7,594,194 8,523,577 2,979,592 3,711,324 3,096,070 2,937,823 6,678,750 93,333,550 94,798,749 99,405,200 130,368,240 144,343,723 46,203,812 54,395,320 43,380,370 54,264,522 60,158,360 6,813,940 8,628,195 8,975,569 12,225,350 7,539,614 211,256,452 168,609,442 148,388,816 137,340,967 146,523,222 36,293,122 59,854,112 65,565,393 80,210,441 94,308,575 5,978,751 5,228,506 4,237,718 7,232,465 8,953,392 9,307,300 405,645 185,270 463,732 649,995 6,849,060 5,763,110 4,024,980 6,923,600 7,329,215 24,766,253 30,644,292 30,222,270 25,504,961 31,226,812 130,749,185 80,649,065 91,081,874 144,455,318 150,190,819 139,176,786 152,957,650 143,165,949 161,615,105 205,461,298 230,100 244,300 223,850 239,556 230,946 90,980 258,933 474,184 838,550 1,546,954 11,356,688 20,057,202 21,492,076 30,967,225 28,757,321 78,929,726 59,150,643 95,788,205 108,142,151 201,291,942 818,450,827 751,001,033 764,646,088 911,324,200 1,103,714,513
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2012
53
Karakter eksploitasi di pantai utara dan selatan cenderung berbeda. Dengan karakter laut yang tenang, eksploitasi di pantai utara lebih banyak pada ikan-ikan pelagis, sedangkan di pantai selatan lebih banyak ikanikan demersal. Ekpsloitasi ikan pelagis di pantai utara sudah mencapai 130 %. Dan untuk ikan demersal hanya sebesar 56%. Sedangkan di pantai selatan dimana berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, eksploitasi lebih banyak pada ikan-ikan demersal dengan tingkat eksploitasi mencapai 84% sedangkan ikan pelagis hanya 41% (Triarso, 2004). Dengan demikian dalam konteks eksploitasi, maka diperlukan upaya penyeimbangan baik antara pantai utara maupun selatan dan antara ikan pelagis dan demersal sehingga potensi yang ada dapat dimanfaatkan dengan optimal. Selain ikan tangkap, juga terdapat potensi ikan budidaya yang sangat mendukung ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan. Meskipun didominasi oleh perikanan air tawar, namun Jawa Tengah juga memiliki potensi budidaya ikan laut yang memiliki kemungkinan pengembangan kedepan. Saat ini hanya terdapat sekitar 4.000 m2 lahan budidaya ikan laut, sebagaimana ditampilkan tabel 3.7 di bawah ini. Tabel 3.7 Potensi Ikan Budidaya di Jawa Tengah Potensi Potensi diusahakan Dikembangkan (ha) (ha) 1 Per pedalaman 9.000 66,18 8.933,82 2 Kolam 50.000 3.286,60 46.713,40 3 Sawah 190.000 4.654,20 185.345,80 4 Tambak 40.000 37.600,30 2.399,70 5 Laut 4.000 4.000,00 4.000,00 Jumlah 293.000 45.607,28 247.392,72 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2012 No
Kawasan Budidaya
Potensi (ha)
Dari potensi lahan di atas, memang total produksi dan nilai produksi dari budidaya perikanan di laut masih tergolong kecil. Total produksi perikanan budidaya di laut pada tahun 2010 hanya sebesar 7.132,5 ton sebagaimana ditampilkan dalam tabel 3.8 di bawah ini.
54
Tabel 3.8 Produksi Budidaya Laut di Jawa Tengah No
Kabupaten/ Kota
1 2 3 4
KOTA SEMARANG KABUPATEN DEMAK KABUPATEN JEPARA KABUPATEN PATI Jumlah
2006
2007
2008
2009
2010
0,0 0,0 0,0 2.531,8 2.531,8
0,0 0,0 0,0 1.852,6 1.854,0
0,0 0,0 2249,0 0,0 2.249,0
4,0 0,0 2929,8 0,0 2.933,8
0,0 0,0 6674,9 0,0 7.132,9
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2012 Dari jumlah produksi di atas, hanya dihasilkan nilai sebesar Rp. 7.970.500.000,- pada tahun 2010. Kabupaten Jepara merupakan daerah yang menghasilkan nilai tambah tertinggi dalam budidaya ikan laut di Jawa Tengah, sebagaimana tabel 3.9 di bawah ini. Tabel 3.9 Nilai Budidaya Laut di Jawa Tengah No 1 2 3 4 5 6
Kabupaten/ Kota KABUPATEN BREBES KOTA SEMARANG KABUPATEN JEPARA KABUPATEN PATI KABUPATEN REMBANG KABUPATEN KEBUMEN Jumlah
2006
2007
0,0 0,0 1.265.875,0 0,0 0,0 0,0 1.265.875,0
2008
0,0 0,0 1.233.850,0 0,0 650,0 60,0 1.234.560,0
2009
0,0 0,0 1.271.525,0 0,0 0,0 0,0 1.271.525,0
2010
0,0 6.000,0 2.201.000,0 0,0 0,0 0,0 2.207.000,0
1.832.000,0 0,0 6.138.500,0 0,0 0,0 0,0 7.970.500
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2012 Pemerintah
pusat
dan
pemerintah
daerah
terus
berupaya
mengembangkan produksi dan nilai produksi ikan melalui berbagai program fasilitasi. Baik perikanan budidaya maupun perikanan tangkap mengalami peningkatan produktifitas dan nilai jual dari tahun 2010 sampai tahun 2011, dan pada tahun 2012 ditargetkan terus mengalami peningkatan cukup tinggi. Hasil olahan ikan ditargetkan mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai 5 kali lipat dari kondisi tahun 2011, sebagaimana ditampilkan tabel 3.10 di bawah ini. Tabel 3.10 Capaian dan Target Hasil Perikanan di Jawa Tengah No 1 2 3
Indikator Volume Produksi Perikanan Budidaya Volume Produksi Perikanan Tangkap Volume Produksi Ikan Hasil Olahan
Capaian Target Tahun 2010 189.000
Volume ( Ton ) Capaian Target Tahun 2011 244.545
Target Tahun 2012 348.901
212.635,1
249.592,4
270.039
134.891
171.290
607.260
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2012 Sentra pengolahan ikan tidak terdapat di semua daerah penghasil ikan, hanya sebagian yang menghasilkan dan mengolah. Untuk pengolahan ikan terdapat sekitar 7.854 industri kecil dan menengah yang 55
bergerak dalam bidang pengolahan ikan laut yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Kabupaten Jepara dan Rembang merupakan wilayah yang memiliki jumlah industri pengolahan ikan terbesar di Jawa Tengah. Industri pengolahan ikan di Jawa Tengah didominasi oleh industri skala UMKM yang memiliki jangkauan pasar lokal serta beberapa kota lainnya di pulau Jawa. Di Jawa Tengah terdapat beberapa industri besar yang telah memilki pangsa pasar mapan di luar negeri. Kualitas produk olahan tersebut telah memenuhi semua standar mutu keamanan pangan, namun selama ini belum terjalin kerjasama dengan UKM/IKM untuk lebih berkembang. Tabel 3.11. Perusahaan Pengolah Ikan Ekspor di Jawa Tengah No 1 2
Nama
Alamat
Produk
Pasar
PT. Aorta PT. Aquafarm Nusantara PT. Blue Sea Industry PT. Cassanatama Naturindo PT. Indosigma Surya C PT.Jui Fa International Food PT. Kusuma Sui San Jaya PT. Maya Food Industri
Semarang Semarang
Udnag Beku Fillet, kulit ikan, ikan beku
Pekalongan Semarang
Surimi Beku Kerupuk Udang
Semarang Cilacap
Belanda Thailand, USA
Cilacap
Kerupuk Udang Tuna Kaleng, Tuna Pouch, Frozen Ubur-ubur kering
Pekalongan
Ikan Kaleng, Sardine
PT. Misaja Mitra PT. Nam Kyung Korea Indonesia PT. Philips Seafood Indonesia
Pati Pekalongan
Udang Beku Surimi Beku
Malaysia, Hongkong, Ghana, Kamboja, Singapura, Kinshasa, Chile, Haiti, Togo, Jepang, Nigeria Taiwan, Korea Taiwan, Korea
Pemalang
Rajungan kaleng
12
PT. Seafer General Foods
Kendal
13
PT. Sinar Bahari Agung
Kendal
Udang Beku, Paha Katak Beku, Lele, Beku, Bandeng Beku, Fillet Nila Surimi Beku
14 15
PT. Telaga Godeli PT. Tongatiur Putra
Semarang Rembang
16
PT. Toxindo Prima
Cilacap
17 18
PT. Wako PT. Windika Utama
Semarang Semarang
3 4 5 6 7 8
9 10 11
Ikan Segar Rajungan Kaleng, Ikan Kering, Crab Cake, Daging Kerang, Himega, Kepiting Beku, Teri Nasi, Udang Beku, Fillet Tilapia, Cumicumi, Ikan Selar Kuning Udang Beku, Bawal Beku, Lobster Beku, Layur Beku Teri Nasi Rajungan kaleng, Crab Cake
Jepang USA, Jerman, Belanda, Perancis Taiwan, Korea Belanda, Inggris, Belgia
China , Malaysia, Taiwan
Malaysia, Thailand, India, Australia, Dubai, Inggris, kanada Belanda, Inggris, Belgia
Singapura, Malaysia, Taiwan Singapura USA, Singapura, Jepang, Korea, Rusia, Inggris, Autralia, China, Taiwan, Thailand
Jepang Jepang USA, Singapura, Jepang, Rusia, Inggris, Australia, Korea, China, Taiwan, Thailand
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah 56
Di sisi lain, ada ribuan industri menengah, kecil dan mikro dengan berbagai kesulitan yang mereka hadapi. Mayoritas hanya memenuhi pasar lokal di dalam daerah, ada beberapa yang menjual di luar daerah dan pulau-pulau lain. Potensi industri ini sangat besar dengan melibatkan pekerja cukup banyak, namun daya saing mereka sangat lemah. Pengolahan ikan memungkinkan bertambahnya nilai jual ikan beberapa kali lipat dibanding dengan penjualan segar atau pengawetan sederhana. Pengolahan ikan terdapat di hampir semua daerah di Jawa Tengah, sebagaimana ditampilkan tabel 3.12 di bawah ini. Tabel 3.12 Industri Makanan Berbahan Baku Ikan Laut di Jawa Tengah Tahun 2011 No
Kab/ Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Wonosobo Kab. Temanggung Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Magelang Kota Magelang Kab. Sragen Kota Surakarta Kab. Karanganyar Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Klaten Kab. Boyolali Kota Salatiga Kab. Semarang Kab. Brebes Kab. Tegal Kota Tegal Kab. Pemalang Kab. Pekalongan Kota Pekalongan Kab. Batang Kab. Kendal Kota Semarang Kab. Demak Kab. Jepara Kab. Kudus Kab. Pati Kab. Rembang Kab. Blora Kab. Grobogan JUMLAH
2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Garam/ kering 250 2 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 2
Pin dang 27 150 7 0 5 0 2 26 5 5 2 10 4 21
0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 1 1 0 0 9
0 6 0 19 131 67 109 129 53 49 120 105 6 74 175 0 43 155 0 3 1507
14 1 4 20 47 222 5 180 114 27 170 65 82 20 184 30 150 240 0 4 1843
kaleng
beku
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 3
Asap
ragi
ekstrak
8 0 0 0 0 0 13 1 0 0 0 0 0 0
14 1 2 4 0 0 2 0 0 0 0 1 0 0
5 16 8 1 2 3 2 0 6 0 0 3 5 0
Surimi & jelly 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 4 113 262 24 125 127 15 215 86 187 257 372 36 404 188 26 16 2479
0 0 0 0 69 58 41 39 11 35 34 43 33 12 5 1 40 31 0 1 477
1 11 0 4 16 12 5 2 1 0 3 1 17 5 0 2 2 3 0 4 140
0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 5
segar
Lain2
Jumlah
9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
11 17 12 29 8 13 12 15 108 3 14 13 6 23
326 186 29 34 18 16 40 42 119 8 16 27 15 46
0 0 0 35 85 2 60 30 12 0 14 7 3 19 1 0 55 68 0 0 400
128 5 0 92 2 40 26 17 16 7 16 70 65 49 64 13 33 72 0 15 1014
143 24 4 175 464 665 270 522 334 133 572 379 395 436 801 82 728 762 0 43 7854
Sumber: Dinas Kelautan & Perikanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 Ada beberapa daerah yang lebih banyak menghasilkan ikan tangkap dibanding pengolahan, seperti Kota Tegal dan Kabupaten Pati. Di 57
sisi lain juga terdapat daerah yang lebih banyak mengolah ikan, seperti Kota Pekalongan. Sementara sebagian daerah baik penangkapan maupun pengolahan cukup besar, seperti Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Rembang. Para pengolah telah memiliki strategi dalam melihat kondisi kelangkaan bahan maupun peluang pasar. Setiap pengolah memiliki pasar tersendiri dan tidak terdapat standar harga yang sama antar daerah dan antar pengusaha seperti ditunjukkan dalam tabel 3.13 dibawah ini. Tabel 3.13 Sentra Pemasaran Hasil Makanan Berbahan Baku Ikan Laut di Jawa Tengah Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Kab/Kota Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Wonosobo Kab. Temanggung Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Magelang Kota Magelang Kab. Sragen Kota Surakarta Kab. Karanganyar Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Klaten Kab. Boyolali Kota Salatiga Kab. Semarang Kab. Brebes Kab. Tegal Kota Tegal Kab. Pemalang Kab. Pekalongan Kota Pekalongan Kab. Batang Kab. Kendal Kota Semarang Kab. Demak Kab. Jepara Kab. Kudus Kab. Pati Kab. Rembang Kab. Blora Kab. Grobogan JUMLAH
Pengumpul
Pedagang Besar
Pengecer
Rumah Makan
Catering
Hotel
Jumlah
12 0 6 43 1 8 122 0 2 2 0 0 0 1
50 2 3 65 3 3 4 1 5 18 3 6 1 3
1363 862 417 1322 696 318 641 427 695 89 235 542 359 348
482 772 574 251 16 15 94 56 293 25 59 239 601 112
36 67 11 27 0 2 37 45 85 8 8 182 71 102
7 5 0 0 0 0 0 0 0 1 0 14 7 1
1950 1708 1011 1708 716 346 898 529 1082 143 305 983 1039 567
16 12 0 0 0 0 2 6 0 0 13 0 2 8 0 0 41 0 0 11 308
4 0 1 11 66 53 12 3 7 4 10 23 137 21 36 4 5 20 2 17 603
543 447 189 354 1806 882 757 1550 672 441 486 833 1736 2716 2830 870 2884 1588 419 780 3.1097
117 698 11 375 69 993 226 194 62 177 70 50 911 507 234 168 187 86 279 1148 10.151
2 60 9 97 0 74 49 1 44 61 43 50 426 39 61 61 13 40 67 32 1.910
0 1 2 2 0 2 7 0 0 4 2 0 26 0 2 3 2 0 2 2 92
682 1218 212 839 1941 2004 1053 1754 785 687 624 956 3238 3291 3163 1106 3132 1734 769 1990 44.163
Sumber: Dinas Kelautan & Perikanan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012 2) Pengolahan Ikan di Kabupaten Rembang Kabupaten Rembang terletak di ujung timur pesisir utara Jawa Tengah, berbatasan dengan Tuban Jawa Timur dan Kabupaten Pati. 58
Kabupaten Rembang merupakan penghasil ikan tangkap dan pengolah ikan terbesar di Jawa Tengah. Potensi perikanan tangkap mencapai 32,370.00 ton per tahun. Terdapat dua daerah sentra perikanan, yaitu di wilayah kecamatan Rembang dan Lasem. Ada sebanyak 16.100 nelayan dengan armada penangkapan sebanyak 2.015 unit, serta 13 tempat pelelangan ikan (TPI) yang tersebar pada 5 Kecamatan. Pemasaran hasil pengolahan ikan tersebar hampir di berbagai wilayah Indonesia, yaitu meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Bali, Kalimantan. Pemasaran ekspor ke China, Korea, Malaysia, Singapura, Colombo (Srilangka), Spanyol dan beberapa negara lainnya. Dengan besarnya potensi perikanan, maka pengolahan ikan juga besar potensinya. Pengolahan ikan merupakan aktifitas yang sudah turun temurun dijalankan oleh masyarakat Kabupaten Rembang. Sistem pengolahan yang digunakan sampai saat ini mayoritas menggunakan cara lama seperti menggunakanbahan bakar kayu, dengan sedikit perubahan peralatan yang digunakan. Sentra-sentra pengolahan ikan terdapat di Kecamatan Rembang, Lasem dan Bonang. Jenis-jenis pengolahan ikan yang banyak terdapat di wilayah ini adalah pengeringan (asin), pemindangan, pengasapan, peragian (terasi) dan produk ikan segar. Seluruhnya terdapat sekitar 767 unit usaha pengolahan dengan omset per tahun mencapai Rp. 166.566.700.000,- dengan total asset sebesar Rp. 38.301.000.000,- dan melibatkan sebanyak 6.579 tenaga kerja. Sebagian besar pengolah tersebut memiliki skala usaha mikro atau rumah tangga, yaitu sebanyak 664 unit usaha yang bergerak dibidang pengolahan penggaraman (pengeringan), pemindangan, pengasapan, peragian (terasi), pereduksian, surimi (daging ikan giling), penjualan ikan segar, pembekuan dan jenis lainnya seperti pengolahan rajungan, sebagaimana ditampilkan dalam tabel 3.14 di bawah ini.
59
Tabel 3.14. Profil Pengolahan Ikan di Kabupaten Rembang No
Jenis Olahan
Omset/ tahun (Rp. Juta)
Aset (Rp. Juta)
Tenaga Kerja
Jumlah Pengolah
A 1 2 3 4
Skala Menengah Pengeringan 7,690 1,030 322 4 pemindangan 3,210 449 128 2 Surimi 22,000 0 465 4 pengalengan 10,000 355 200 1 Jumlah 42,900 1,834 1,115 11 B Skala Kecil 1 pengeringan 38,764 10,846 1,757 44 2 pemindangan 24,497 7,158 1,159 29 3 pengasapan 4,610 6 5 4 4 peragian 260 200 26 1 5 Ikan segar 8,900 1,144 219 8 6 Lainnya 7,261 305 194 6 Jumlah 84,292 19,658 3,360 92 C Skala Mikro 1 penggaraman 6,338 2,812 518 108 2 pemindangan 11,845 2,690 494 209 3 pengasapan 9,492 2,924 368 184 4 peragian 1,576 129 129 30 5 pereduksian 142 29 17 3 6 Surimi 810 995 13 3 7 Ikan segar 7,160 7,023 342 60 8 pembekuan 162 12 8 1 9 Lainnya 1,851 196 215 66 Jumlah 39,375 16,809 2,104 664 Total 166,566.7 38,301.0 6,579.0 767.0 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang tahun 2012 Setiap jenis pengolahan memiliki persoalan masing-masing, baik dari persoalan bahan baku, teknis pengolahan, sarana prasarana, tenaga kerja, permodalan, serta pemasaran. Selain itu, dari skala usaha yang berbeda juga memiliki persoalan yang berbeda-beda. Kebanyakan yang memiliki persoalan lebih banyak adalah skala usaha kecil dan mikro, dimana biasanya terdapat persoalan permodalan, higienitas, bahan baku, dan sistem pemasaran yang memberikan beban tambahan bagi pengolah. Kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah juga memberikan pengaruh dalam keberlangsungan usaha mereka. 60
Pemerintah Kabupaten Rembang belum mengeluarkan kebijakan secara khusus dalam upaya peningkatan industri pengolahan ikan. Namun, untuk pengelolaan perikanan dan pasar ikan telah ditetapkan Peraturan Daerah mengenai tata niaga, khususnya melalui Tempat Pelelangan Ikan. Kebijakan pemerintah daerah adalah mengharuskan setiap nelayan melakukan transaksi atau menjual ikannya di TPI. Sedangkan kebijakan untuk pengolahan ikan saat ini berupa program dan kegiatan di beberapa Satuan Kerja secara terpisah dalam hal pembinaan, fasilitasi dan pelatihan serta bantuan sarana dan prasarana. Selama ini para pengusaha / pengolah ikan lebih banyak bertahan karena usaha sendiri dan mereka telah memiliki jaringan tersendiri baik dalam penyediaan bahan baku, teknologi maupun pasar. Di sisi lain, setiap jenis pengolahan ikan memiliki permasalahan tersendiri baik dalam pemenuhan bahan baku, proses produksi maupun pasarnya. Penggaraman / Pengeringan Pada jenis usaha pengeringan atau penggaraman ikan di Kabupaten Rembang, bahan baku yang digunakan sebagian besar merupakan ikan pelagis kecil. Ada dua jenis ikan kering yaitu yang masih utuh dan tanpa kepala, tergantung permintaan pasar. Skala usaha sebagian besar merupakan usaha kecil dan mikro, dengan jumlah tenaga kerja di bawah 20 orang, kebanyakan hanya memiliki 5 orang tenaga kerja. Para pekerja adalah para ibu rumah tangga dengan sistem borongan, yaitu per kilogram ikan. Tenaga kerja ini sifatnya tidak tetap, mereka bekerja jika sedang musim ikan, pada saat musim tanam sebagian dari mereka menjadi buruh tani. Pekerja ini tidak membutuhkan banyak ketrampilan khusus, hanya kebiasaan yang diturunkan dari pendahulu, karena mereka hanya merendam ikan, membersihkan dan menjemur di atas keranjang bamboo. Proses produksi terbilang sangat sederhana dengan peralatan seadanya. Ikan direndam dalam box plastic dengan air larutan garam, dan beberapa diantara pengusaha mencampurkannya dengan hydrogen peroksida dnegan tujuan menambah daya tahan ikan dan memperbaiki 61
penampilan ikan. Banguinan yang digunakan berlantai plester atau kramik, namun proses pencucian dan perendaman kurang higienis. Air yang dgunakan juga kurang terjamun kebersiahnya. Pemberishan dilakukan di atas lantaiyang jurang terajga kebersihannya. Ikan-ikan yang dikeringkan merupakan ikan-ikan kecil yang biasanya tidak layak untuk diolah dalam bentuk lain. Para pengolah mengambil dari TPI dengan sistem pembayaran selama 1 hari, atau cash. Dalam hal jumlah pembelian mereka menyesuaikan dengan permodalan yang dimiliki. Selama ini para pengolah tidak terlalu banyak menggunakan perbankan, tetapi menggunakan jaringan kekerabatan atau pertemanan untuk mencukupi modal mereka. Pasar hasil olahan kebanyakan adalah pasar lokal dan regional. Ikan kering selain di jual di dalam daerah juga dijual ke beberapa kota lain di Jawa. Penjualan degan jaringan pertemanan atau kepercayaan dengan para pedagang. Pengolah tidak langsung mendapatkan pembayaran dari pedagang ketika mereka megirimkan brang, namun pada pengiriman barang selanjutnya, pedagang memnbayar dagangan sebelumnya. Seorang pengolah biasanya memiliki sekitar 10 jaringan pedagang, sehingga mereka harus menanggung biaya produksi 10 kali lipat setiap proses karena hasil mereka tidak langsung dibayar oleh pedagang. Pemindangan Pemindangan merupakan jenis olahan terbesar di Kabupaten Rembang, atau menjadi produk unggulan, namun demikian persebaran pasar masih di sekitar Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sebagian besar merupakan industri kecil dan mikro dengan tenaga kerja 10 sampai 15 orang dan jumlah asset yang kecil. Rata-rata jenis usaha ini sudah lama dan warisan dari pendahulunya. Seperti disampaikan oleh Bapak Mulyanto selaku pengusaha ikan pindang dan ketua kelompok pengolah ikan Rukun Bahari yang berada di Kelurahan Tasiuk Agung Kecamatan Rembang. Usaha miliknya adalah merupakan usaha warisan orang tuanya yang didirikan pada tahun 1985 dan perkembangannya mengikuti usaha keluarga. Saat ini kelompok 62
Rukun Bahari ada sebanyak 50 orang anggota, terdiri dari pemindang, ikan segar, pemanggang. Ada 20 anggota pemindang yang aktif dalam kelompok. Dari aspek bahan baku, ada kesulitan kelangkaan dan harga jual. Bahan baku ikan diperolah dari TPI dengan sistem pembayaran 1 x 24 jam lunas, dan ketika paceklik akan membeli ikan impor yang sudah disiapkan di Juwana tentunya dengan harga lebih tinggi. Ketika bahan baku langka, kebanyakan pengusaha
akan menurunkan jumlah
produksinya guna meminimalisir kerugian atau pembengkakan modal. Pengusaha juga mengeluhkan harga ikan segar, tidak ada standar baku mutu harga ikan di pasaran, sehingga sangat diperlukan bantuan pemerintah. Saat ini bantuan pemerintah masih dirasa sangat kurang. Selain tidak adanya kepastian harga ikan segar, pengusaha juga disulitkan dengan sistem tata niaga. Mereka membeli bahan baku dari TPI, diambil pengusaha kemudian harus dilunasi 24 jam kemudian, sedangkan dari pengusaha kepada pedagang sistemnya pembayaran di belakang, bisa beberapa hari, bahkan dalam satu tahun pedagang kadang masih menunggak banyak. Sehingga pengusaha harus memiliki modal cukup banyak beberapa kali lipat biaya produksi (minimal 10 kali). Bahan lainnya yang cukup menyita modal adalah keranjang, atau pembungkus ikan. Pengusaha sangat tergantung pada suplay keranjang, sehingga jika keranjang terbatas maka produksi terhambat. Biaya keranjang saat ini mencapai 40 ā 50% dari biaya produksi, dimana harga ikan Rp 300 per keranjang, harga keranjang Rp 150 ā Rp 200,Sarana dan prasarana masih sangat terbatas, baik dari segi kapasitas maupun higienitas. Peralatan usaha pemindang ikan yang sangat diperlukan adalah bangunan, Kompor gas, tungku pemasak, mobil, besek, kotak pendingin, garam. Kualitas air yang digunakan kurang higienis, selain itu perilaku pekerja dalam bekerja juga kurang higienis. Pengusaha tidak bisa menjamin higienitas karena para pekerja atau karyawannya cukup enggan bekerja dengan higienis karena cukup repot. Untuk air perebusan misalnya, seharusnya diganti setiap 2 kali, 63
namun pekerja enggan mengganti sehingga mereka seharian tidak mengganti air perebusan, hanya menambah. Kurag higinersi dialam pengolahan juga karena ada kondisi pasar penjualan yang kurang higiensi serta adanya permintaan konsumen adalah pindang yang memang diolah sederhana sehingga harga murah. Teknologi yang digunakan terbilang masih sederhana. Dari aspek penanganan produksi ditemukan penggunaan H2O2 untuk memperbaiki tampilan ikan dari peralatan yang digunakan mereka menggunakan tungku minyak dan bak perebusan dari stainless steel. Mereka menggunakan bahan bakar adalah minyak solar yang saat ini bisa diterima pekerja, sedangkan gas kurang diterima. Biaya produksi minyak solar 2 x dari kayu, namun nyala api yang besar disukai oleh pekerja. Saat ini bagi pelaku usaha pindang belum ada teknologi kompor gas yang sesuai, karena belum ada yang berhasil mencobanya, ada yang pernah menggunakan gas namun hasilnya tidak maksimal. Untuk pembungkus ikan mereka menggunakan keranjang bambu yang dianyam. Hal tersebut terkendala cuaca dimana pembunkus belum bisa menghadapi cuaca yang lemban dimana akan mempengaruhi kelembaban ikan Tenaga kerja yang digunakan bukankah tenaga kerja terampil, karena ketrampilan yang digunakan diperoleh secara turun temurun. Tenaga kerja ada yang membersihkan, memasak dan angkut, biasanya perempuan merupakan tenaga pembersihan dan laki-laki memasak dan angkutan, jumlah tenaga kerja perempuan lebih banyak, Bapak Mulyono memiliki 10 orang pekerja pemindang, 2 pemasak, dan 1 orang pembantu lain-lain. Sedangkan UD Alvian memiliki 70 orang pekerja. Kebanyakan pekerja tidak tetap, mereka bekerja jika sedang musim, di lain waktu mereka bekerja di sekitar laon. Masalah tenaga kerja berbenturan
dengan
sektor
pertanian,
jika
musim
tanam
terjadi
kelangkaan pekerja Karena mereka juga digunakan di sektor pertanian. Para pekerja kebanyakan adalah masyarakat sekitar. Pekerja dibayar dngen upah yang standar antar pengusaha, yaitu Rp 250 per ikat untuk 64
perempuan dan Rp 300 per ikat untuk laki-laki, ditambah dengan tenaga angkut bongkar muat. Modal yang diperolah sebagian dari rekan dan sebagian pinjam dari berbagai perbankan. Semakin besar modal, semakin besar kekuatan terhadap pembelian bahan baku. Selama ini majamemen pasar dan produksi hanya berdasarkan feeling atau kebiasaan pelaku usaha. Kondisi pasar sangat berpengaruh pada produksi. Bapak Mulyono memproduksi rata-rata 1 -2 ton per hari, pengusaha lain ada yang sampai 10 ton per hari. Lokasi pemasaran ikan pindang disekitar pasar tradisional di daerah sekitar, Demak, Kudus dan Cepu. Pasar pindang adalah kelas menengah bawah. Harga ikan pindang setiap pengusaha bisa berbeda sesuai dengan pasarnya di daerah berbeda harganya akan berbeda. Harga jual kepada konsumen tergantung dari pasarnya, terdapat perbedaan jenis ikan untuk pasar berbeda, pasar Jateng dengan ikan besar-besar, 2 ikan per keranjang, untuk Jawa Timur ikan kecil-kecil, 4-5 ikan per keranjang. Selain itu, pasar juga mempengaruhi teknik penjualan, sebelumya pemindang di wilayah Rembang menggunakan sistem lama yaitu pemindangan dengan kendil, yang dalam satu kendil berisi cukup banyak ikan, sehingga pembelian harus dalam jumlah banyak antara 15 ā 20 ikan. Tahun 1990 an, setelah kedatangan pengusaha dari Jawa Timur menggunakan keranjang bamboo, mereka mulai menggunakan keranjang bambu karena kemasan kecil sehingga penjualan bisa diecer, karena dalam satu keranjang hanya berisi 2 ā 5 ikan. Selama ini pasar masih menghendaki pengemasan dengan keranjang bamboo, belum ada perubahan karena pasar masih menginginkan dan belum ada alternatif lain selain bambu. Peragian Pengolahan peragian berbentuk terasi. Produk trasi berbahan udang rebon dan ikan kecil yang digiling dan dibentuk benjadi kotak kecilkecil dari ukuran seperempat kg, setengah kg. dengan seri kualitas produk kelas biasa, median dan kelas super. Tempat pemasaran trasi dari daerah 65
sekitar dan provinsi Jawa Timur. Harga tujuh ribu rupiah kelas biasa, sepuluh ribu rupiah kelas sedang dan dua belas ribu rupiah kelas super setiap seperempat kilogram. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan diantaranya tempat penggilingan, mesin penggiling, lantai jemur, daun pisang dan plastik serta kertas. Tenaga kerja ibu rumah tangga, pengupahan borongan. Ada tiga macam jenis terasi, yaitu terasi supar terbuat dari udang rebon, terasi kelas dua udang rebon dicampur ikan dan terasi kelas tiga terbuat dari ikan segar. Pengolahan dengan mesin sederhana,. penjemuran secara alami serta adanya penambahan pewarna dalam proses pembuatan. Surimi Olahan udang sedang mendapat perhatian adalah dari bahan surimi atau daging ikan giling yang bisa menjadi produk turunan lainnya seperti bakso ikan, nugget, kaki naga dan sebagainya. Produk ini berbahan baku ikan giling yang diolah menjadi produk:Bakso, Nugget, Kaki Naga, Krupuk. Usahanya masih bersifat home industry dilakukan oleh ibu rumah tangga. Pemasarannya lewat jaringan keluarga dan orang kenalannya. Produksi didasarkan dengan peluang pesan dari pedagang. 3) Pengolahan Ikan di Kabupaten Pati Kabupaten Pati berada di sebelah barat Kabupaten Rembang dengan potensi perikanan yang tidak kalah besarnya. Sentra perikanan terbesar Kabupaten Pati berada di Juwana, baik untuk perikanan tangkap maupun tambak. Terdapat sebanyak 8 TPI di seluruh Kabuoaten pati. Produksi ikan segar di Kabupaten Pati berasal dari perikanan laut dan perikanan budidaya. Produksi perikanan budidaya berupa tambak paling besar terdapat pada 8 kecamatan yaitu : Kecamatan Kayen, Kecamatan Batangan,
Juwana, Wedarijaksa,
Trangkil,
Margoyoso,
Tayu
dan
Dukuhseti. Potensi tambak terbesar berada di Kecamatan Juwana.
66
Tabel 3.15. Data Produksi Perikanan Kabupaten Pati Perairan Umum (Kg) 1. 2009 35.377.479 17.365.726 1.357.092 107.920 2. 2010 35.358.718 20.996.320 2.612.747 110.541 3. 2011 39.638.987 26.961.200 1.878.710 111.825 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati tahun 2012 No
Tahun
TPI (Kg)
Budidaya (Kg)
Kolam
Kabupaten Pati memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang terdiri dari sumberdaya perairan pantai sepanjang Ā± 60 Km dengan lebar 4 mil yang diukur dari garis pantai ke arah laut, sumberdaya perikanan air payau berupa tambak seluas Ā± 10.604 Ha yang terdapat di sepanjang pesisir dan sumberdaya perikanan air tawar yang semakin berkembang. Di Kabupaten Pati memiliki tujuh tempat pelelangan ikan yaitu TPI Banyutowo, TPI Puncel, TPI Pecangaan, TPI Sambiroto, TPI Margomulyo, TPI Bajomulyo I dan Bajomulyo II. Salah satu potensi yang sangat menonjol adalah produksi ikan yang dihasilkan di PPI Bajomulyo Juwana yang mana produksi dan pendapatan hasil lelang (raman) menunjukkan hasil yang cukup baik. Untuk melihat perkembangan produksi dan nilai perikanan laut di Kabupaten Pati dapat dilihat pada tabel di bawah : Tabel 3.16. Produksi dan Nilai / Raman Perikanan Laut Kabupaten Pati No 1 2 3 4 5 6 7 8
Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi (Kg) 53.002.752 34.893.900 20.893.900 33.405.047 31.472.000 35.377.479 34.846.244 39.638.987
Nilai/ Raman (Rp.) 161.251.465.500 130.746.707.300 71.447.951.600 115.665.147.000 164.414.750.000 150.044.003.700 177.797.924.770 210.524.761.500
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati tahun 2012 Produksi ikan segar (70%) dipasarkan keluar daerah dan sebagian di ekspor. Ikan segar tersebut dipasarkan ke wilayah DKI Jakarta (Muara Angke), Jabar (Bandung), Jawa Tengah (Semarang & Pekalongan) dan Jawa Timur (Surabaya).
Negara tujuan ekspor ikan segar adalah :
Singapura, Hongkong dan Malaysia.
67
Disamping itu telah ada pedagang lokal yang melaksanakan ekspor ke Hongkong dan Afrika. Produksi ikan olahan (30 %) seperti : Pindang dipasarkan ke kotaākota di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat (Tasikmalaya) dan DKI Jakarta. Ikan Asin dipasarkan ke kotaākota di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat (Tasikmalaya), DKI Jakarta dan Palembang. Panggang dipasarkan ke sekitar wilayah Kabupaten Pati, Kudus, Purwodadi, dan lain-lain. Sebagian besar hasil budidaya ikan di Kabupaten Pati dipasarkan dalam keadaan segar : Produksi Udang dipasarkan ke Perusahaan Pembekuan Udang (Cold Storage) di PT. Misaja Mitra (Margoyoso Pati), Semarang, Surabaya dan Bandung untuk di ekspor ke luar negeri. Bandeng dijual dalam keadan segar dan diolah. Tabel 3.17. Data TPI, Jumlah Kapal, Jumlah Kapal Mendarat, Nelayan, Produksi Ikan, KUD, RAMAN Kabupaten Pati Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7
TPI/PPI/PPP/ PPN/PPS PPP.Bajumulyo PPI. Banyutowo PPI.Pecangaan TPI.Sambiroto TPI.Margomulyo TPI.Puncel TPI. Alasdowo Jumlah
JML KAPAL
297 648 107 82 208 411 165 1.918
NELA YAN
15.756
15.756
KAPAL MENDARAT
8.740 18.720 3.098 2.374 5.985 11.839 4.685 55.441
PRODUKSI (kg)
RAMAN (Rp.)
29.771.114 1.381.311 22.824 33.269 8.445 172.853 3.733 31.393.549
110.043.639.000 4.573.078.000 254.380.000 430.858.500 443.905.600 1.627.503.800 233.938.000 7.563.661.900
Sumber: KUD Sarono Mini - Dinas Kelautan & Perikanan Kab Pati, 2012 Pada tahun 2009 jumlah nelayan di Kabupaten Pati 15.756 orang yang tersebar diberbagai daerah sekitar tempat pelelangan ikan yang ada di Kabupaten Pati, sedangkan jumlah tempat pelelangan ikan yang digunakan 7 lokasi meliputi : Pelabuhan Perikanan Pantai Bajomulyo, Pangkalan Pendaratan Ikan Banyutowo, Pecangaan, Tempat Pendaratan Ikan Sambiroto, Margomulyo, Puncel, dan Tempat Pelelangan Ikan Alasdowo. Jumlah kapal yang ada disekitar tempat pelelangan ikan 1.918 kapal. Sedangkan jumlah kapal yang mendarat sekitar tempat pelelangan ikan untuk bongkar muatan ikan 55.441 kapal. Jumlah produksi ikan yang dijual melalui tempat pelelangan ikan 31.393.549 kg. Dengan raman sebesar Rp. 7.563.661.900,-
Hasil tangkapan ikan di Kabupaten Pati 68
dikonsumsi segar sebanyak 70 % sedangkan yang diolah sebanyak 30%. Produksi yang diolah (30%) berupa : Pindang : 35 %, Ikan asin
:
46
%, dan Panggang : 19 %. Pengolah pengolahan
Ikan
di
tradisional
Kabupaten berupa
Pati
terbilang
pengeringan,
cukup
besar,
pemindangan
dan
pengasapan merupakan yang terbesar. Selain itu, pengolahan Bandeng juga cukup besar karena terdapatnya potensi tambak yang sangat besar, terutama di Kecamatan Juwana, sebagaimaan tabel 3.18 di bawah ini. Tabel 3.18. Data Pengolah Ikan Kabupaten Pati Kecamatan Juwana 2011
1.
Ds. Bendar Kec. Juwana
Asin
Peng Olah Ikan 4
2.
Ds.Bajomulyo Kec. Juwana Ds. Dukutalit Kec. Juwana
Asin
3
12 ton/hr
30 juta
60 orang
Pindang
8
18 ton/hr
60 juta
520 orang
No
Alamat
Jenis Olahan
Kapasitas Produksi /Hr 5.5.000 kg/hr
Modal
Tenaga Kerja
40 juta
95 orang
Pasar
4.
Ds.Bajomulyo Kec. Juwono
Pindang
5
14 ton/hr
51.juta
330 org
5.
Ds. Langenharjo Kec.Juwono Ds.Bendar Kec.Juwono Ds. Doropayung Kec.Juwono
Trasi
2
600 kg/hr
15 juta
30 org
Ponorogo, Madi un, Magetan Jateng, Jatim, Jabar Solo, Yogya, Wonogiri, Klaten Solo, Yogya, Sra gen Jawa Tengah
Panggang
7
900 kg/hr
8 juta
16 org
Juwono, Pati
Pindang kendil Panggang
5
125 kg/hr
1 juta
10 org
Juwono
19
385 kg/hr
920 ribu/ 915 ribu/ hr 3.025/hr
38 org
Jowono
8 org
3
6. 7. 8.
Ds. Doropayung Kec.Juwono
9.
Ds. Doropayung Kec. Juwono
Presto
3
90 kg/hr
10.
Ds. Dukutalit Kec. Juwono
Presto
9
275 kg/hr
11
Ds. Bakaran Ku lon Kec. Juwono Ds. Bendar Kec. Juwono
Presto
1
25 kg/hr
200 ribu/hr
2 org
Pati, Kudus, Purwodadi Pati, Kudus, Purwodadi Juwono
Kerupuk ikan
21
345 kg/hr
21.600/ hr
30 org
Juwono
12.
Jumlah
89
18 org
1.157 orang
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati, 2011 Di Kabupaten Pati terdapat 587 orang pengolah ikan, yang terdiri dari pengolah ikan asin = 18 UKM, pindang = 28 UKM, trasi = 24 UKM, panggang = 495 UKM, dan presto = 22 UKM.dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan setiap hari rata-rata 3 orang, dengan demikian tenaga kerja yang dibutuhkan 1.095 orang. 69
Di wilayah Kabupten Pati jumlah pengolah ikan 334 , dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan rata-rata setiap harinya 3 - 5 orang, kecuali untuk pembuatan pengolah ikan pindang, dan pengolah ikan filet yang membutuhkan tenaga kerja lebih banyak rata-rata 10 -15 orang pekerja mulai dari pembersihan ikan, penggaraman, penataan ikan dalam keranjang, dan kemudian pemasakan , dengan demikian tenaga kerja yang ada di Kabupaten Pati untuk pengolahan ikan 2.249 orang. Tenaga kerja yang dipakai biasanya buruh dari warga sekitar dan ada yang diambil dari keluarga sendiri. Dari pengolahan ikan tersebut juga dihasilkan produk sampingan berupa petis ikan, kerupuk catak (kerupuk dari laberin ikan manyung) yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dan limbah pengasapan yaitu arang tempurung kelapa juga mempunyai nilai jual sebagi bahan arang karbon. Di Kecamatan Juwana terdapat home industry pengolahan ikan yang jumlahnya 89 usaha dengan kegiatan yang berupa pembuatan ikan asin, pindang, trasi, panggang, presto, dan kerupuk ikan, yang terdapat di berbagai Desa seperti Desa Bendar, Bajomulyo, Dukutalit, Langenharjo, Doropayung, dan Bakaran Kulon. Kegiatan ini dapat menyerap tenaga kerja 1.157 orang. Pengeringan / Asin Ikan Asin sebagaimana disampaikan oleh pengusaha pengolahan ikan asing Bapak Muri usaha ini termasuk usaha kecil dengan tenaga kerja 10 sampai 15 orang, tenaga kerjanya sebagian besar ibu rumah tangga, pengupahan dengan borongan, jenis ketrampilan sederhana. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan air bersih untuk pencucian, garam, bedeng dari bamboo tempat penjemuran, lantai jemur untuk pengeringan dari sinar mata hari. Pemindangan Proses pengolahan ikan pindang cukup sederhana pertama-tama ikan dicuci dengan air laut dibersihkan dimasukan ke besek, dilumuri garam dapur selanjutnya di olah ke dalam dandang pengolahan selama kurang lebih satu jam diatas kompor gas. Tenaga kerjanya bapak-bapak 70
serta ibu rumah tangga dengan upah borongan. Pemasaran dilakukan di pasar tradisional sekitarnya serta antar daerah. Sarana prasarana yang dibutuhkan kompor gas, dandang pemasak, garam dapur, besek bamboo, air pencucian, saluran pembuang limbah. Pengasapan Jenis ikan yang diolah adalah jenis ikan mayung Jawa dan mayung Cina, proses pengolah cukup sederhana pertama-tama ikan di potong kepala dan ekornya sehingga badan ikan dibelah dibuang kotoran ikan, lalu di iris-iris menjadi daging ikan setebal 5 sampai 10 cm selanjutnya dibakar ditungku pembakaran dengan menggunakan tempurung kelapa atau bonggol jagung. Pemasarannya
dilakukan dipasar tradisional sekitarnya dan
bekerja sama dengan agen pemilik modal. Sarana prasarana yang dibutuhkan diantaranya meliputi tungku pengasapan, bahan bakar tempurung
kelapa,
bonggol
jagung.
Adapun
tenaga
kerja
yang
diguanakan bersasal dari anggota keluarga. Lokasi pengasapan berada di pinggir sungai yang keruh, di sekelilingnya tambak. air untuk mencuci ikan diambil dari sungai tersebut. Terdapat gubuk-gubuk sebagai tempat pengolahan, untuk mencuci, memotong dan memanggang. Bahan bakar pemanggangan adalah batok kelapa, di atas bara api dipasang bilah-bilah besi tempat meletakkan ikan yang sudah ditopong, kemudian asap dialirkan ke tunggu Harga ikan per kg 13.000 ā 17.000, setiap pembelian terdiri dari karung-karung berisi 30 kg. Sisa pengolahan berupa organ dalam dibuang ke sungai, kepala ikan dijual di pasar sebagai bahan masakan. Persoalan pengasapan di Kabupaten Pati adalah higientias, sanitasi yang baik, peralatan yang bersih dan tata cara pengolahan yang efisien, sehingga pemerintah perlu memfasilitasi sarana dan prasarana yang higienis. Banyaknya usaha pengolahan pengasapan/ pemanggangan ikan di Desa Wonosari yang di lakukan berdampingan dengan pemukiman penduduk, menimbulkan polusi udara, yang berdampak mengganggu
71
kesehatan yaitu banyaknya warga dari anak ā anak sampai orang dewasa banyak yang teserang penyakit ISPA (Inpeksi Saluran Pernapasan). \ Pengolahan
yang
dilakukan
oleh
Masyarakat
kebanyakan
dilakukan secara sederhana dengan tempat pengolahan seadanya dan kurang higienis, sehingga mempengaruhi Kualitas/ Mutu hasil, maka dipandang perlu adanya pembinaan dan peningkatan sarana dan prasarana pengolahan yang lebih baik , tersentral dan terpisah dari pemukiman penduduk, mengingat usaha pengolahan semakin bertambah setiap tahunnya. Dengan bertambahnya pengusaha pengasapan di dalam pemukiman penduduk, dapat dibayangkan kondisi kesehatan masyarakat dikemudian hari. Pengolahan Daging Ikan (Surimi) Potensi pengolah ikan di Juwana sangat besar. Ada tambak seluas 10.600 Ha, dengan masa panen 6-7 bulan. Petani melakukan pola pembenihan dan panen secara berkala, sehingga setiap saat bisa panen, tidak serempak. Mayoritas petambak tidak memiliki lahan, mereka menyeewa lahan dari orang lain. Produk unggulan Juwana adalah Bandeng yang diolah menjadi berbagai macam jenis olahan turunan. Sebagaimana disampaikan oleh pengusaha olahan berbahan surimi Bapak Sugito selaku ketua kelompok dan koperasi Kelumpuk Usaha bersama (KUB) Mina Barokah di Juwana serta sebagai motivator pelatihan pengolahan ikan berbahan surimi, produk yang dihasilkan diantaranya Naged, Bandeng cabut duri, Bandeng krispi, Krupuk, Kaki Naga, Bakso. Tanaga kerjanya dari ibu rumah tangga jenis usahanya home industri. Pemasaran di pulau Jawa dengan system pesanan lewat biro travel. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan antara lain, freseer, Colk Box, timbangan, pengemasan. Di Juwana terdapat sentra pengolahan Pindang, Asap, Kerupuk, Prresto dan Ikan segar lainnya. Pengolahan ikan di Juwana tanpa limbah; daging untuk fillet, bakso, dll, tulang digunakan untuk kerupuk, kepala ikan digunakan untuk petis. Pak gito dengan 9 karyawan melakukan usaha pengolahan Bandeng menjadi fillet, kerupuk tulang, bandengtanpa duri, 72
banding krispi, bakso, nugget, kaki naga. Bahan baku utama yang digunakan adalah ikan banding diperoleh dari petambak dan TPI, jika langka baru membeli ikan impor. Pasar penjualan Jakarta, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali dan pulau-pulau lain dengan jaringan kekerabatan dan pertemanan. Persoalan dalam pemasaran surimi dan turunannya adalah rantai dingin Kendala kebijakan; masih terkesan top down, kurang memahami persoalan di lapangan sehingga pelaksanaan kegiatan di lapangan kurang efektif. Banyak program dan kegiatan terkesan proyekl semata kurang memahami kebutuhan pelaku usaha. Kebijakan lebih banyak tidak tepat sasaran. Saat ini kebijakan terhadap pengembangan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut dalam hal bahan baku adalah pengembangan bahan baku ikan dengan nilai nan ekonomis yaitu swangi kurisi, mata besar, kuniran, dsb ubtuyk di fillet dan pengembangan produk berbahan baku serba bandeng. Dalam bidangs arana dan prasarana adalah pengembangan sarana prasarana berupa gedung pemfilletan ikan, peraltan fillet, gedung pendinginan, cold storage, dan alat-alat untuk melaksanakan pengolahan ikan. Untuk tenaga kerja dengan pengadaan sarana dan prasarana baru dan dukungan modal, maka semakin banyak menyerap tenaga kerja untuk pemanfaatan gedung pemifilletan, pinbdang, cold storage, dsb. Dalam aspek teknologi ada pengembangan teknologi pembekuan dengan pengadaan cold storage dan pengembangan teknologi sarana dan prasarana penbgolahan ikan kecil untuk dibuat kerupuk, abon ikan laut, dsb. Untuk permodalan adalah pengembangan modal untuk pelaqku usaha dilaksanakan dengan dana APBD maupun APBN dalam bentuk kredit pengembalian bunga rendah dan bantuan modal Cuma-Cuma dalam hal pasar mengembangkan pasar ikan (los pasar ikan) dengan sarana dan prasarana yang lebih memadai berupa meja, tempat display dan alat-alat penyimpanan untuk mendukung sarana rantai dingin serta sanitasi yang higienis. 73
Program yang telah dilaksanakan untuk pengembangan industry makanan olahan berbahan baku ikan laut, dalam hal: a). Bahan Baku 1) Sosialisasi pengembangan produk olahan berbahan baku ikan laut untuk surimi 2) Pengembangan produk olahan berbahan baku nan ekonomis untuk pe,filletan b). Sarana dan Prasarana 1) Pembangunan ruang berpendingin (cold storage) tahun 2006 dan 2007 . rehabilitasi ruang berpendingin ikan tahun 2010, 2011, 2012 2) Memabngun gedung sentra pengolahan ikan (gedung pemfilletan) 2010, 2012 3) Membangun gedung pemindangan ikan tahun 2012 4) Pemanfaatan sarana dan prasarana pengolahan ikan mulai tahun 1998 s/d 2012 c). Tenaga Kerja 1) Pelatihan untuk tenaga kerja pengolahan maupun pengusaha pengolahan ikan diafakan oleh pemda kab pati, DKP Provisni dan DKP RI 2) Monitoring dan pembinaan kepada tenaga kerja secara rutin maupun pembinaan untuk motivasi kerja dan usaha d). Teknologi 1) Program pengadaan sarana teknologi rantai dingin (cold storage) 2) Pengadaan teknologi pmasak minyak dan daging ikan (Spinner) 3) Teknologi pengolahan yang lebih efektif, efisien dan higienis berupa fish ball machine, presti cooper, pengemas produk, cool box, freezer e). Modal 1) KUR kerjasama dengan Bank Swasta Nasional (BNI + BRI) 2) Kredit dana bergulir dengan dana APBD Kab Pati 3) PUMP P2 HP dari Kementerian Kelautamn RI f). Pasar 74
1) Pengembangan sarana prasarana di pasar ikan tradisional berupa meja display (los ikan) untuk 3 pasar dengan dana TP APBN 2011 2) Pengembangan sarana-prasarana SRD di pasar berupa freezer, cool box, dan bleng berinsulasi untuk 3 kelompok pengecer ikan di 3 los pasar ikan Berdasarkan evaluasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabuoatebn Pati, maka kendala yang dialami pengusaha pengolahan makanan berbahan baku ikan laut dalam hal : a). Bahan Baku 1) Ketersediaan bahan baku ikan fillet semakin tergantung dengan alam 2) Ketersediaan bahan baku ikan pindang masih belum mencukupu b). Sarana dan Prasarana 1) Sarana dan prasarana yang digunakan masih sederhana 2) Masih
kurangnya
pengadaan
sarana
dan
prasarana
untuk
pengolah maupun pengecer ikan di pasar dan pedagang ikan keliling c). Tenaga Kerja : Tenaga kerja belum memperhatikan dan belum sadar akan sanitasi dan higienitas d). Teknologi 1) Teknologi masih tradisional 2) IPAL belum dikembangkan e). Modal : Modal bantuan dari APBD dan APBN belum memenuhi f). Pasar 1) Sanitasi dan higienitas masih kurang, diperlukan pembinaan\ 2) Sarana dan prasarana di pasar dan pedagang ikan keliling masih belum memadai Sehingga, hal-hal yang dibutuhkan untuk pengembangan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut dalam hal : a). Bahan Baku; Kontinuitas ketersediaan bahan baku pindang b). Sarana dan Prasarana 1) Pengembangan sarana dan prasarana pengolahan ditingkatkan 75
2) Pengadaan lahan untuk pengembangan sarana-prasarana c). Tenaga Kerja; Pembinaan dan pelatihan untuk tata cara pengolahan ikan yang baik, tata cara pemasaran ikan yang lebih baik dan sanitasi higienis dikembangkan lebih lanjut d). Teknologi; Pengembangan teknologi pengolahan dan teknologi lain ditingkatkan e). Modal; Pengembangan bantuan modal kepada pengusaha pengolahan ditingkatkan jumlah dan variasinya f). Pasar 1) Pengadaan sarana dan prasarana pasar dan pedagang ikan 2) Pengembangan modal untuk pemasar (bakul pengecer keliling ikan di pasar) 3) Pelatihan sanitasi dan higienis Berdasarkan observasi di lapangan serta keterangan beberapa nara sumber, maka terdapat permasalahan pengolahan ikan di Kabupaten Pati berupa : a). Sarana prasarana pembuangan sampah belum tersedia. (depo sampah dan alat angkut sampah) b). Suply Bahan Baku masih dipermainkan oleh tengkulak c). Pemasaran ke Pasar Modern masih skala kecil (Mall, Indomaret, alfamart, dan lain-lain) masih terkendala kemasan dan kualitas produk dan sistem pembayaran terlalu lama.
4) Pengolahan Ikan di Kota Pekalongan Kota Pekalongan Berada di pantai Utara Jawa Tengah, terletak di bagian Tengah. Kota Peklaongan telah menyatakan diri sebagai kota ikan dan mengembangkan Minapolitin. Akan tetapi pada dekade 2000 an terjadi fenomena menurunnya perikanan tangkap berdampak pada menurunnya industri pengolah ikan, penurunan industri pengolahan ikan smeenjak krissi 1998 mencapai 75%. Kebijakan pemerintah Kota Pekalongan adalah mengembnagkan konseo minapolitin, sehingga perlunya komitmen pemerintah provinsi 76
dalam mendukung konsep minapolitin beserta sumberdayanya. Di sisi lain tidak ada kebijakan secara spesifik dari pemerintah daerah terkait dengan pengembangan industri ikan. Pelaku usaha membutuhkan bantuan multisektor. Saat ini para pengolah ikan bekerja dengan konsep āfactory by orderā produksi berdasrakan pesanan serta ketersediaan bahan baku Tabel 3.19. Data Pengolah Ikan Kota Pekalongan Tahun 2009 (kg) 2010 (kg) 2011 (Kg) 1 Pengasinan 6.514.000 6.640.000 6.972.000 2 Pemindangan 984.600 787.680 520.000 3 Pengasapan 2.400 3.400 4.100 4 Ikan Segar 4.955.900 5.451.490 5.724.060 5 Kaki Naga 150 100 88 6 Baso Ikan 50 300 605 7 Nugget 1.200 1.350 1.500 8 Abon Ikan 150 155 335 9 Bandeng Presto 600 650 755 10 Kerupuk Ikan 1.200 2.100 3.570 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pekalongan, 2012 No
Jenis Olahan
Sebagaimana diungkapkan di atas, belum ada kebijakan khusus tentang pengembangan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut baik dalam bahan baku, sarana prasarana, tenaga kerja, dan lain-lain. Dalam hal bahan baku, upaya pemerintah Kota Pekalongan adalah membuka kerjasama dengan pemasok ikan dan bahan baku dari daerah lain.
Dalam peningkatan sarana dan prasarana dilakukan berbagai
program seperti Program PUMP dan KKP RI Ditjen P2HP yang bertujuan memebrikan bantuan peralatan pada pengolah ikan. Dalam hal tenaga kerja dilakukan Program pelatihan bagi masyarakat pesisisr dan anggota KUB/ Poklahsar untuk standar UMKM. Peningkatan teknologi dengan pelatihan teknologi diversifikasi olahan ikan untuk jenis olahan ikan bernilai tambah / added value, misal; pembuatan bakso ikan, nugget ikan, kaki naga ekkado, pangsit ikan, otakotak, banding cabut duri, dan lain-lain. Untuk meningkatkan permodalan. Ada program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ditjen P2HP bagi KUB pengolah dan pemasar ikan serta Kredit Ketahanan Pangan yang dikelola oleh Bank 77
Pasar Kota Pekalongan. Untuk pemasaran mencari kerjasama dengan pemasar ikan yang telah mempunyai cakupan pasar yang luas agar dapat membantu pengolah lainnya. Berbagai kendala yang dihadapi pengolah ikan sampai saat ini masih kurang penanganan. Kendala bahan baku adalah kelangkaan, jika tidak musim ikan maka bahan ikan sulit didapat kalaupun ada maka harga akan melonjak naik. Dalam hal sarana dan prasarana tidak banyak mengalami kendala karena sudah ada program PUMP yang dapat untuk pemenuhan sarana prasarana untuk pengolah skala UMKM. Sedangkan untuk tenaga kerja Saat musim ikan kekurangan tenaga kerja karena tenaga yang digunakan tidak tetap dan mereka bekerja di sektor lain. Dalam hal teknologi pengolahan ikan yang berkembang maka pengusaha perlu mengikuti trend yang ada agar produk tetap lancar. Untuk permodalan ada kekurangan modal karena setiap pengiriman produk perikanan tidak / belum tentu dibayar tunai. Sedangkan untuk pasar sangat tergantung permintaan dan kurang memiliki pangsa yang luas. Sehingga yang dibutuhkan untuk pengembangan pengolahan ikan di Kota Pekalongan adalah meliputi: a. Bahan Baku; Ketersediaan bahan baku yang konstan dengan cara pengembangan budidaya ikan laut pada daerah yang memungkinkan atau bentuk kerjasama dengan daerah lain sebagai pemasok bahan baku b. Sarana dan Prasarana; Adaya peralatan pengolahan yang memadai dalam pengolahan ikan seperti mesin-mesin pengolahan ikan untuk skala UMKM c. Tenaga Kerja; Keperluan pelatihan ketrampilan dalam hal pengolahan ikan sehingga dapat tercipta diversifikadsi pengolahan ikan d. Teknologi; Perlu teknologi tepat guna bagi UMKM sesuai dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing e. Modal; Perlu adanya penambahan modal kerja dengan kredit usaha yang prosedurnya mudah dan bunga rendah serta jangka waktu panjang 78
f. Pasar;
Perlu
kerjasama
dengan
pihak
lain
untuk
kelancaran
pemasaran produk berbahan baku ikan 5) Pengolahan Ikan di Kabupaten Brebes Kabupaten Brebes terletak di Pantura ujung Barat Jawa Tengah, dengan potensi perikanan yang cukup. Selain itu Kabupaten Brebes juga memiliki potensi rumput lat yang besar. Pengolahan ikan di Kabupaten Brebes tergolong variatif, baik ikan tangkap maupun budidaya. Industri pengolahan ikan juga ada yang bersakal besar sedang dan kecil. Tabel 3.20. Data Skala Usaha Pengolah Ikan di Kabupaten Brebes No Skala Usaha Jumlah 1 skala besar 35 2 skala sedang 12 3 skala kecil 235 Jumlah 282 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes, 2012 Jenis olahan di Kabupaten Brebes sangat bervariasi. Terdapat indsutri pengolahan ikan dan peningkatan nilai tambah. Selain itu terdapat pengolahan ikan budidaya seperti bandeng. Tabel 3.21. Jenis Pengolah Ikan di Kabupaten Brebes Jumlah Kapasitas / No Jenis Olahan pngolah Hari 1 Pengeringan / Asin 79 677,939 2 Pemanggangan 103 3,496 3 Terasi 36 4,918 4 Bandeng presto 8 325 5 Bandeng duri lunak 31 1,210 6 Pembekuan 1 350 7 Kerupuk 6 6,600 8 Fillet 1 2,000 9 Pemindangan 4 60 10 Ebi dan Petis 13 1,095 Jumlah 282 697,993 Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes, 2012 Sebagian besar hasil olahan dijual di pasar lokal dan beberapa daerah sekitarnya. Beberapa bahkan menembus pasar nasional di kotakota besar di Jawa.
79
Tabel 3.22. Persebaran Pasar Olahan Ikan di Kabupaten Brebes No Pasar Jumlah Keterangan 1 Lokal 249 Pasar tradisional di Kabupaten Brebes 2 Luar Daerah 33 Bandung, Cirebon, Jakarta, Cilacap, Banyumas, Tegal, Kebumen Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes, 2012 Saat
ini
saja
kebijakan
terhadap
pengembangan
industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan laut dalam hal bahan baku adalah menghasilkan produk olahan yang bermutu dan aman dikonsumsi, untuk bahan baku produk olahan harus menggunakan bahan baku yang layak dikonsumsi. Sedangkan dalam sarana dan prasarana adalah penggunaan sarana dan prasarana yang telah kami lakukan agar dapat dimanfaatkan. Untuk tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja memanfaatkan tenaga kerja yang siap untuk dibimbing. Di sektor teknologi penggunaan peralatan
yang
menghasilkan
dapat
produk
mendukung yang
upaya
maksimal.
proses
Dalam
produksi
hal
modal
agar adalah
permodalan diarahkan kepada pihak-pihak yang terkait perbankan, sedangkan
untuk
pasar,
pemasaran
produk
hasil
perikanan
dikembangkan dengan mengikuti pameran-pameran produk unggulan di daerah maupun luar daerah. Beberapa program utama yang telah dilaksanakan adalah pelatihan dalam hal mengenai pengolah maupun penanganan mulai dari bahan baku sampai menjadi produk, bersama dengan pemerintah pusat memberikan teknologi peralatan yang semi modern kepada pengolah untuk mengembangkan produknya. Bekerjasama dengan perbankan untuk memperlancar program permodalan bagi pengusaha perikanan dalam hal permodalan. Kendala yang dihadapi oleh industri pengolahan ikan di Kabupaten Brebes adalah sarana seperti : coolbox, permodalan di perbankan dan pengembangan sentra usaha. Hal tersebut perlu dukungan serius dari pemerintah pusat dan daerah.
80
6) Pengolahan Ikan di Kabupaten Cilacap Kabupaten Cilacap berada di Ujung barat Pantai Selatan Jawa Tengah. Wilayah ini merupakan daerah poenghasil produk perikanan terbesar di Jawa bagian Selatan, dengan potensi perikanan mencapai 72.000
ton
per
tahun.
Akan
tetapi
masih
banyak
dibutuhkan
pengembangan area baru hanya 14.982,2 ton atau 21% yang sudah dimanfaatkan. Kabupaten Cilacap juga menerapkan konsep minapolitan. Secara kuantitas produk ikan laut di Cilacap memang menurun, akan tetapi justru nilainya meningkat. Hal ini terkait dengan upaya pengolahan lanjutan yang dilakukan oleh para pengrajin terutama ikan demersal seperti pari dan hiu cucut. Selama tahun 2007 ā 2010 jumlah produk menurun separuhnya, akan tetapi nilai produk mengalami peningkatan sampai lebih dari 2,5 kali lipat sebagaiamna tabel 3.23 di bawah ini. Tabel 3.23 Produksi dan nilai produk ikan laut di Kabupaten Cilacap No Tahun Produksi (Kg) Nilai (Rp.000) 1 2007 5,519,661.89 29,799,720.21 2 2008 5,830,294.58 40,942,336.15 3 2009 3,878,247.43 47,632,655.80 4 2010 2,778,994.27 70,216,701.86 Sumber; Cilacap Dalam Angka 2010 Kecamatan Cilacap Selatan merupakan penghasil ikan tangkap terbesar di Kabupaten Cilacap. Jumlah ikan tangkap mencapai 76,3% dari seluruh Kabupaten Cilacap dan nilainya hampir mencapai 92% dari nilai keseluruhan di Kabupaten Cilacap sebagaimana tabel 3.24 di bawah ini. Tabel. 3.24 Produksi Ikan Laut dan Nilai Ikan Laut Menurut Kecamatan di Kabuoaten Cilacap. No Kecamatan Produksi (Kg) Nilai (Rp.000) 1 Kesugihan 378,915.59 3,471,863.99 2 Adipala 14,395.00 187,135.00 3 Nusawungu 267,453.10 2,203,786.48 4 Cilacap Selatan 2,118,230.58 64,353,916.39 Jumlah 2,778,994.27 70,216,701.86 Sumber; Cilacap Dalam Angka 2010 Menurut data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap, potensi perikanan laut diperkirakan mencapai 72.000 ton/tahun, di sisi lain pemanfaatan oleh nelayan baru mencapai 14.982,2 ton atau 21%. 81
Pemanfaatan potensi yang dimanfaatkan adalah ikan pelagis besar sebesar 7.131,5 ton/tahun meliputi Tuna, Cakalang, Tongkol, Tengiri, Marline, Layaran, Lemadang, Cucut. Sedangkan ikan pelagis kecil meliputi Lemuru, Layang/Selar, Kembung, Teri, Tetengkek, Kuwe, Uburubur, Cumi-cumi sebesar 2.232,8 ton/tahun. Untuk ikan demersal adalah Udang, Kakap, Pari, Kerapu, Layur, Tigawaja, Petek, Bawal, Tembang, Lidah, sebelah, Bloso, Remang, Manyung, Keong, udang, rajungan, dan kepiting sebesar 5.618,3 ton/tahun. Kabupaten Cilcap memiliki keunggulan dalam produksi ikan pelagis besar dan ikan demersal dengan pasaran eksport. Kebanyakan ikan-ikan tersebut diolah menjadi bahan makanan untuk pasar luar negeri, baik Asia Timur maupun Eropa. Kebijakan pemerintah pusat yang mengutamakan jenis ikan Tuna, Tongkol dan Cakalang sesuai dengan potensi yang ada di Kabupaten Cilacap sebagaimana tabel di bawah ini. Tabel
3.25.. Potensi Perikanan Tangkap dan Budidaya di Kabupaten Cilacap. No Sumber Ikan Jenis Ikan Pasar 1 Perikanan Tuna Yellofine, Tuna Albacore, Pasar Eksport tangkap di laut Tuna Big Eye, Tuna Blue fine, Bawal, Kerapu, Ubur-ubur, Udang ,Lobster, Udang Windu, Udang Banana/Jerbung, Udang Rebon besar, Layur besar, Ubur-ubur Cakalang, Tongkol, Tengiri, Pasar dalam Layang, Lemuru, Bawal negeri hitam, Kakap, Pari, Udang, Cucut, Marline, Meka, Udang rebon, Udang krosok, Udang Barat, Udang Jerbung 2 Perikanan Udang Windu, Udang Vanamei Pasar Eksport budidaya dan domestik Sumber; Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap Mayoritas produk ikan di Kabupaten Cilacap adalah ikan tangkap
laut yang berkarakter ikan demersal atau di laut dalam. Dengan samudera yang luas maka potensi ikan demersal juga sangat besar. Cilacap juga tercaptat memiliki pelabuhan samudera yang cukup besar. Pelabuhan
82
Perikanan Samudera (PPS) Cilacap adalah pelabuhan yang terletak di teluk Cilacap. Industri pengolah Ikan di Kabupaten Cilacap terdiri dari beragam jenis, baik ikan tangkap laut maupun budidaya. Pengolahan tradisional kebanyakan berbentuk pindang, kering/asin, terasi serta kerupuk. Sementara di sisi lain bahan baku ikan demersal yang besar dijual dalam bentuk segar dan olahan kering, seperti hiu cucut dan pari. Pengolahan pengeringan melalui penjemuran dan penggaraman menghasilkan berbagia bentuk olahan seperti kerupuk, ikan kering dan keripik. Pengolahan pindang dan pengasapan dilakukan dengan metode tradisional namun unsur higienitas sudah sedikit diperhatikan. Pemasaran hasil pengolahan kering pinsang, terasi dan kerupuk adalah pasar lokal dan regional, sedangkan ikan segar dari ikan hiu dan pari dipasarkan untuk tujuan ekspor. Selain itu, ikan hiu diolah untuk menghasilkan minyak ikan. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap telah memiliki beberapa agenda peningkatan pengolah ikan di Kabupaten Cilacap. Ada beberapa kelompok yang mendapat perhatian terkait dengan produk unggulan yang mereka hasilkan. Di bawah ini adalah data kelompok yang difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten Cilacap. Tabel 3.26. Data Kelompok Pengolah Ikan di Kabupaten Cilacap No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama POKLAHSAR
Mugi Laras Mekar Sari Karya Mina Indomina Mekarsari Mina Berkah Mina Bhakti Asri Usaha Mandiri Mina Rasa Mapan Jaya Mina Kencana Mina Tawangsari Mina Bander Jaya Mina Kerang Mina Pamrih rahayu
Jenis Usaha Pengolahan
Keripik Belut Keripik Kerang Brownies ikan Abon Ikan Pindang Ikan Asin Ikan Asin Ikan Teri Krispi Kerang Krispi Terasi Bandeng Presto Bandeng Presto Ikan dan Udang krispi Kerajinan Kerang Sirip Ikan Hiu, Minyak Ikan, Kulit Ikan Pari
Kecamatan
Jumlah Anggota
Tanggal Pendirian
Maos Maos Maos Nusawungu Adipala Cilacap Selatan Cilacap Tengah Cilacap Tengah Jeruklegi Dayeuhluhur Adipala Cilacap Selatan Kroya Cilacap Selatan Kesugihan
10 10 12 20 10 16 15 8 10 12 19 11 10 16 65
5-Mar-09 4-Apr-10 20-Feb-10 1-Jan-08 17-Sep-09 9-Jan-11 20-Mar-02 1-Sep-11 16-Okct-10 30-Mar-09 17 -Des-06 14-Feb-11 01-Juli-2011 17-Jan-11
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap, 2012 83
Industri pengolahan ikan di Kabupaten Cilacap dalam beberapa hal memiliki perbedaan dengan daerah lain di Pantura, baik dari segi jenis ikan maupun cara pengolahan dan pasarnya. Pengolahan ikan di Kabupaten Cilacap sebagian besar berupa pengolahan ikan-ikan besar dalam bentuk segar maupun bahan makanan siap jadi untuk pasar ekspor maupun dalam negeri. Pengolahan ikan yang cukup banyak adalah pendinginan,
pengalengan,
pemindangan,
terasi
dan
kerupuk
sebagaimana tabel di bawah ini. Tabel 3.27. Unit-unit Usaha Penanganan dan Pengolahan Hasil Perikanan di Kabupaten Cilacap Kapasita No. Jenis Usaha Jml Jenis Olahan Ket (Pasar) s 1 Pengepul 99 2000Tuna,cakalang; Cilcap,Jogja, Ikan 15000kg/ cucut,pari Uda Jawa Barat, Solo hr ng,Tongkol,(Je Semarang nisi kan Pelagasis dan demersal) 2 Pendinginan 3 Tuna,Udang Uni Eropa,Jepang Ikan Hongkong 3 Pengalengan 1 440000kg Tuna Uni Eropa, Ikan /bln Amerika 4 Pengolahan 32 10425kg/ Pindang Bandung,Cilacap Pindang bln Tongkl, Bande Purwokerto ng,Kembung 5 Pengolahan 150 300Pari,Cucut,Man Jawa Tengah Ikan 20000kg/ yung, Cumi, Jawa Barat bln Tigawaja,Teri A sin ,Tembang, Udang Lidah, Bloso, dll 6 Pengolahan 13 50Udang Rebon Cilacap, Terasi 1500kg/ Purwokerto bln 7 Pengolahan 62 3883kg/hr Cucut,Pari,Marl Lokal Cilacap, Ikan ine, Panggang/ Banyumas Asap , Lemada ng 8 Pengolahan 10 57567kg Udang,Tengiri Cilacap,Jakarta, Krupuk /bln Bogor,Bandung, Jawa Tengah Sumber; Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap
84
B. Potensi Pengembangan Ke Depan Potensi pengembangan ke depan industri makanan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah mempunyai prospek besar dalam menunjang perekonomian daerah. Penelitian ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah
daerah,
pengusaha
pengolah
ikan
maupun
jaringan
pemasaran, sehingga pengembangannya ke depan diharapkan dapat senergi dengan pengembangan sektor lain dan diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Sebagaimaa
dikemukakan
sebelumnya,
bahwa
penelitian
ini
dilakukan di 5 daerah penghasil olahan ikan di Jawa Tengah dengan kekhasan olahan unggulan yang berbeda-beda, seperti tabel 3.28. Tabel 3.28. Sentra Pemasaran Hasil Makanan Berbahan Baku Ikan Laut di Jawa Tengah Tahun 2011 No Kabupaten / Kota Olahan Unggulan 1 Kabupaten Rembang Pindang, Kering/Asin, Terasi, Asap 2 Kabupaten Pati Pindang, Terasi, Asap, Bandeng, Bandeng olahan 3 Kota Pekalongan Ikan Olahan (bakso dll), Ikan Kering 4 Kabupaten Brebes Pindang, Asap, Kering 5 Kabupaten Cilacap Kering, Segar, Kerupuk Sumber: Data Primer Dapat dilihat dari tabel di 3.28 atas, bahwa sebagian besar pengolahan ikan di Jawa Tengah berbentuk olahan sederhana seperti ikan kering/asin, pemindangan, asap/panggang, terasi dan ikan olahan. Maka sampel dalam penelitian ini juga memcerminkan hal tersebut. Tabel 3.29. Jenis Olahan Makanan Berbahan Baku Ikan Laut di Jawa Tengah Tahun 2012 No Jenis Olahan Jumlah Persentase 1 Pengeringan / Garam 38 29,23 2 Pindang 31 23,85 3 Panggang 8 6,15 4 Terasi 9 6,92 5 Kerupuk 5 3,85 6 Bandeng 4 3,08 7 Daging Olahan 11 8,46 8 Beku 2 1,54 9 Campuran / Lainnya 22 16,92 Jumlah 130 100 Sumber: Data Primer, 2012. 85
Penelitian ini melibatkan pengusaha pengolah ikan dalam skala mikro, kecil dan menengah dari berbagai jenis olahan sesuai dengan komposisi yang ada. Sebagaimana dikemukakan di atas, sebagian besar jenis olahan adalah pengeringan, pindang, panggang dan olahan ikan. Dalam penelitian ini ada sebanyak 130 unit usaha pengolahan ikan yang terlibat sebagai sumber informasi dan unit analisis. Pengolah ikan terdiri dari beragam jenis sesuai dengan komposisi yang ada di Jawa Tengah, sebagaimana data tabel 3.30 di atas. Tabel 3.30. Umur Usaha Pengolahan Ikan No Umur Usaha 1 1 - 5 Tahun 2 6-10 Tahun 3 11-15 Tahun 4 16-20 Tahun 5 21-25 Tahun 6 26-30 Tahun 7 31-35 Tahun 8 36-40 Tahun 9 40 Tahun 10 Tdk Menjawab JUMLAH Sumber: Data Primer, 2012
Frekuensi 38 29 13 13 6 6 2 1 2 20 130
Persentase 29.23 22.31 10 10 4.61 4.61 1.54 0.77 1.54 15.384 100
Mayoritas usaha pengolahan ikan yang menjadi sampel penelitian ini adalah usaha berusia muda, yaitu kurang dari 15 tahun. Sebagian besar pelaku usaha tersebut merupakan kelompok muda yang juga mewarisi jenis usaha serupa dari orang tua mereka. Hanya beberapa pelaku usaha kelompok tua yang masih beroperasi sampai saat ini. Tabel 3.31. Skala Usaha Pengolahan Ikan No Skala Usaha 1 Mikro 2 Kecil 3 Menengah 4 Besar 5 Tdk Menjawab Jumlah Sumber: Data Primer, 2012
Frekuensi 72 28 10 1 19 130
Persentase 55.38 21.54 7.694 0.77 14.61 100
86
Seperti halnya kondisi pengolahan ikan di Jawa Tengah yang didominasi oleh kelompok mikro dan kecil, maka sampel penelitian ini sebagian besar juga berasal dari skala usaha mikro dan kecil. Tabel 3.32. Status Badan Hukum usaha Pengolahan Ikan No Status Usaha Frekuensi 1 Berbadan Hukum 6 2 Tdk Berbadan Hukum 78 3 Tdk Menjawab 46 Jumlah 130 Sumber: Data Primer, 2012
Persentase 4.62 60 35.39 100
Dengan skala usaha mikro dan kecil, serta produktifitas yang tidak kontinyu, maka sangat sedikit diantara mereka yang status usahanya berbadan hukum. Sebagian besar adalah industri rumah tangga yang tidak memiliki sistem manajemen sebagaimana layaknya industri skala menengah dan besar. Tabel 3.33. Jumlah Tenaga Kerja Pengolahan Ikan No Jumlah Tenaga Kerja (Org) Frekuensi 1 1-10 81 2 11-20 21 3 21-30 15 4 31-40 3 5 41-50 4 6 51-60 2 7 Tdk Menjawab 4 JUMLAH 130 Sumber: Data Primer, 2012
Persentase 62.31 16.15 11.54 2.31 3.08 1.58 3.08 100
Dalam hal penyerapan lapangan pekerjaan, sebagian besar industri tersebut juga berkapasitas kecil. Sebagian besar pelaku usaha hanya memiliki pekerja di bawah 20 orang. Jumlah tersebut juga tidak selalu sama, karena sangat jarang pengusaha yang memiliki karyawan tetap, kebanyakan adalah karyawan borongan, yang bertambah banyak ketika musim panen ikan, di lain waktu, mereka menjadi buruh tani. 1. Kerangka Pengembangan Ke Depan a. Aspek Kebijakan/Regulasi Sesuai ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Nomor : Per.09/Dj-P2hp/2010 Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, Dan Format 87
Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), disebutkan bahwa pengolahan Ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Unit Pengolahan Ikan (UPI) adalah tempat yang digunakan untuk mengolah ikan, baik yang dimiliki oleh perorangan, kelompok maupun badan usah. Industri pengolahan ikan khususnya yang berskala menengah, kecil dan mikro merupakan wilayah urusan yang menjadi kewenangan berbagai pihak
sekaligus,
yaitu
kewenangan
perikanan,
perindustrian
dan
perdagangan serta UMKM. Tidak jarang berbagai program dan kegitan dari beberapa sdatuan kerja pemerintah pusat maupun daerah saling bersinggungan namun tidak terintegrasi dan sangat parsial. Menurut kewenagan perikanan, induk pengaturan terdapat pada Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dalam Pasal 25C ayat (1) ditegaskan bahwa āPemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri perikanan nasional dengan mengutamakan penggunaan bahan baku dan sumber daya manusia dalam negeriā. Kemudian dalam ayat (2) ditegaskan pula bahwa āPemerintah membina terselenggaranya kebersamaan dan kemitraan yang sehat antara industri perikanan, nelayan dan/atau koperasi perikanan. Dalam penjelasan disebutkan bahwa industri perikanan diantaranya meliputi industri yang bergerak di bidang penyediaan sarana dan prasarana penangkapan serta industri pengolahan perikanan. Sampai saat ini, upaya pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengembangan industri pengolahan ikan telah dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan peralatan dan pelatihan. Namun demikian upaya tersebut baru menyentuh sebagian kecil perusahaan yang parsial, serta sasarannya juga masih terbatas. Dalam skala yang lebih makro, belum terdapat sebuah skema kebijakan yang memberikan dukungan secara komprehensif pada industri perikanan dalam negeri, baik dalam penyediaan bahan baku, peningkatan sarana dan prasarana, peningkatan teknologi, kemudahan permodalan, serta pemasaran yang luas. 88
Pada
aspek mutu
produk,
pemerintah telah
mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan. Disebutkan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Sedangkan Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Sesuai aturan tersebut, industri pengolahan makanan harus memenuhi persyaratan tata cara produksi yang baik. Cara produksi pangan olahan yang baik adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara : 1) mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran biologis, kimia dan
benda
lain
yang
dapat
mengganggu,
merugikan
dan
membahayakan kesehatan; 2) mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen, serta mengurangi jumlah jasad renik lainnya; 3) mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan. Selain
tata
cara
pengolahan,
industri
pangan
juga
harus
memperhatikan distribusi yang baik, yaitu; 1) melakukan cara bongkar muat pangan yang tidak menyebabkan kerusakan pada pangan. 2) mengendalikan kondisi lingkungan, distribusi dan penyimpanan pangan khususnya yang berkaitan dengan suhu, kelembaban, dan tekanan udara, mengendalikan sistem pencatatan yang menjamin penelusuran kembali pangan yang didistribusikan. Selain itu juga terdapat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.19/Men/2010 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu 89
dan Keamanan Hasil Perikanan yang mengatur bahwa
setiap pelaku
usaha turut bertanggung jawab di dalam memberikan jaminan. Aturan tersebut menetapkan adanya verifikasi dan evaluasi mutu olahan ikan untuk memastikan bahwa rencana Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan telah dilaksanakan sesuai dengan standar nasional dan internasional yang berlaku. Sesuai ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran
Hasil
Perikanan
(P2HP)
Nomor:
Per.09/Dj-P2hp/2010
Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, Dan Format Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), disebutkan bahwa
Sertifikat
Kelayakan Pengolahan (SKP) adalah sertifikat yang diberikan kepada UPI yang telah menerapkan Cara Pengolahan Yang Baik (Good Manufacturing Practices/GMP) dan memenuhi persyaratan Prosedur Operasi Sanitasi Standar (Standard Sanitation Operating Procedure/SSOP). Setiap Unit Pengolahan Ikan (UPI) baik yang dimiliki oleh perorangan maupun badan usaha wajib memiliki Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP). Agenda pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam peningkatan sektor
perikanan
di
daerah
adalah
melaksanakan
Program
Pengembangan Sumber Daya Perikanan dengan beberapa kegiatan utama yaitu: a. Pembinaan dan Pengembangan Sistem Usaha Perikanan melalui Pengembangan Pola Permodalan dan Investasi Dalam Negeri dan Asing, b. Pengembangan Data dan Statistik Perikanan, c.
Penguatan dan Pengembangan Pemasaran Dalam Negeri dan Ekspor Hasi Perikanan melalui Peningkatan Konsumsi Ikan Melalui Program Nasional Gemarikan dan Promosi Produk, Fasilitasi Pembangunan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pemasaran Dalam Negeri dan Pembinaan Ekspor Produk Perikanan,
d. Peningkatan Mutu dan Pengembangan Pengolahan Hasil Perikanan melalui Pengembangan Sistem Rantai Dingin (Cool Chain System), 90
Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Pengawasan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan, Peningkatan Kompetensi Lembaga Sertifikasi, Penguatan Kompetensi Laboratorium Penguji a. Penyelenggaraan Revitalisasi Perikanan Dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, Pemerintah porovinsi Jawa Tengah mengagendakan kebijakan berupa: a. Peningkatan daya saing melalui penciptaan iklim yang kondusif, melalui regulasi atau deregulasi serta peningkatan mutu dan keamanan produk b. Pemantapan struktur melalui peningkatan kerjasama kemitraan nelayan dengan industri hasil perikanan dan industri terkait serta akademisi c. Membangun kelembagaan agribisnis perikanan (Akuabisnis) melalui penataan kelembagaan dan ekonomi yang baik, keterpaduan antara pemasok bahan baku, industri pengolahan, serta pemasaran dan upaya terwujudnya produk akhir yang berkualitas dan berdaya saing. Setiap Kabupaten/Kota juga memiliki kebijakan turunan tersendiri, baik yang bersinergi dengan pemerintah pusat maupun provinsi. Namun demikian, berdasarkan temuan lapangan tidak ditemukan adanya kebijakan dan regulasi khusus dari pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya pengembangan industri pengolahan ikan. Sebagian besar regulasi perikanan hanya mengatur mengenai mekanisme tata niaga ikan melalui TPI, sedangkan dalam aspek pengembangan industri makanan olahan tidak terdapat regulasi khusus. Pemerintah Kabupaten/Kota hanya bertugas sebagai fasilitator dan melengkapi kebijakan pemerintah pusat dan provinsi, terutama dalam memberikan bantuan sarana dan prasarana serta pelatihan kepada sebagian kecil pengolah. Sebagian besar program dan kegiatan merupakan implementasi dan duplikasi dari program Kementerian yang berupa pembinaan melalui kelompok-kelompok terbatas. Beberapa kebutuhan utama lainnya seperti permodalan, jaringan pasar, jaringan antar pengolah dan aspek teknologi belum begitu banyak mendapatkan 91
kemajuan dari bantuan pemerintah daerah. Dengan demikian masih diperlukan adanya peningkatan dalam regulasi dan kebijakan serta program-program yang relevan dalam upaya pengembangan kemampuan pengolah. Sebagian pelaku usaha menganggap selama ini sudah ada evaluasi terhadap kebijakan pemerintah, namun disis lain banyak yang menyatakan belum ada evaluasi. Sementara sebagian lagi merasa acuh dengan kebijakan pemerintah, sebagaimana ditampilkan dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.34. Pendapat Responden Tentang Evaluasi Kebijakan Pemerintah No Evaluasi Program Frekuensi Persentase 1 Pernah 37 28.46 2 Tidak Pernah 8 6.15 3 Tidak Tahu 24 18.46 4 Tidak Menjawab 61 46.92 Jumlah 130 99.99 Sumber: Data Primer, 2012 Seperti halnya dengan evaluasi kebijakan, responden juga sebagian besar tidak mengetahui dan tidak peduli dengan besarnya anggaran yang dialokasikan pemerintah. Tabel 3.35. Pengetahuan Responden Tentang Anggaran Pemerintah No Mengetahui Alokasi Anggaran Frekuensi Persentase 1 Ya 12 9.23 2 Tidak 54 41.54 3 Tidak Menjawab 64 49.23 Jumlah 130 100 Sumber: Data Primer, 2012 Selama ini pemerintah telah memberikan berbagai bantuan kepada pengelola, namun hanya sebagian kecil yang menerima manfaat. Mayoritas tidak memperdulikan adanya agenda tersebut. Tabel 3.36. Prosedur Bantuan Pemerintah Kepada Pengolah ikan No Keterangan Frekuensi Persentase 1 Gratis/Cuma-Cuma 47 36.15 2 Membayar/Membeli 1 0.77 3 Tidak Menjawab 82 63.08 Jumlah 130 100 Sumber: Data Primer, 2012
92
Untuk bantuan permodalan, sebagian besar resonden menyatakan bahwa sebagian bantuan permodalan diberikan melalui perbankan, koperasi dan melalui kelompok. Sebagian besar juga tidak memperdulikan adanya bantuan tersebut, sebagaimana dalam tabel di bawah ini/ Tabel 3.37. Skema Bantuan Permodalan dari Pemerintah No Keterangan Frekuensi Persentase 1 Koperasi 5 3.85 2 Bank 27 20.77 3 Lainnya 15 11.54 4 Tidak Menjawab 83 63.85 Jumlah 130 100 Sumber: Data Primer, 2012 Untuk mengembangkan industri makanan berbahan baku ikan, pemerintah telah membantu pengusaha membuka jaringan kemitraan ke super market/hiper market/swalayan yang ada, namun hanya sebgaian, sebagaimana dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.38. Menerima Dukungan dari Pemerintah dalam Pengembangan Pasar di Pasar Modern No Keterangan Frekuensi Persentase 1 Ya 32 24.62 2 Tidak 34 26.15 3 Tidak Menjawab 64 49.23 Jumlah 130 100 Sumber: Data Primer, 2012 Dalam aspek pengembangan sentra, pemerintah telah melakukan beberapa kegiatan dalam menciptakan sentra-sentra dengan sarana dan prasarana yang memadai. Tabel 3.39. Pengembangan Sentra Pengolahan Ikan Oleh Pemerintah Daerah No Keterangan Frekuensi Persentase 1 Ya 22 16.92 2 Tidak 44 33.85 3 Tidak Menjawab 64 49.23 Jumlah 130 100 Sumber: Data Primer Berdasarkan jawaban-jawaban responden di atas, nampak bahwa respon pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah dapat dikatakan kurang antusias. Kebijakan-kebijakan yang ada tidak memberikan dukungan secara langsung, di sisi lain kadang pengusaha merasa 93
dihambat karena kebijakan tersebut. Sehingga mereka merasa tersingkir atau tidak mampu berkembang dibanding usaha skala besar. Contohnya peraturan mengenai higienitas, standar keamanan pangan dan aturan mengenai badan usaha tentu sulit untuk dipenuhi olah skala industri rumah tangga, namun d i sisi lain tidak adanya upaya konkret pemerintah agar pelaku usaha mampu memenuhi standar tersebut di atas. Sehingga kebijakan pemerintah dirasa justru memberikan ruang bagi usaha skala besar dan importir, bukan memberikan ruang berkembang bagi usaha skala mikro dan kecil. Oleh karena itu, perumusan kebijakan sebaiknya memperhatikan kondisi nyata dari pelaku usaha di lapangan. 3) Aspek Bahan Baku Selama ini salah satu kendala utama para pengolah ikan tradisional adalah ketersediaan bahan baku utama yaitu ikan yang konsisten dengan kualitas yang terjamin dan harga terjangkau. Ketersedian bahan baku penunjang seperti garam, es, dan lainnya juga menjadi faktor pembatas tidak akan disoroti dalam penelitian ini. Ketersediaan bahan baku utama sangat
tergantung
pada
musim,
karena
perkembangan
teknologi
penangkapan yang ada sampai saat ini umumnya belum dapat mengantisipasi masalah musim. Ketika musim ikan langka, maka para pengolah akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan bahan baku. Ketika menghadapi kesulitan maka pengolah akan menurunkan produksinya. Di sisi lain untuk menutupi kekurangan pasokan bahan baku, Para pengusaha pengolah ikan akan mengganti bahan baku dengan jenis ikan lain, misalnya pemindang akan menggunakan ikan tongkol kecil jika bahan baku ikan kembung/layang berkurang. Sebagian besar pengusaha lainnya akan mencari bahan baku di luar daerah, tetapi harga ikan menjadi lebih mahal karena tambahan untuk transportasi dan pengawetan. Sebagian pengolah akan mengambil bahan baku dari ikan yang didatangkan dari luar negri seperti dari Cina (ikan import) yang biasanya mereka dapatkan dari daerah Juwana Kabupaten 94
Pati dan Jakarta. Para pengolah ikan di kelima daerah pengamatan umumnya mengalami kesulitan untuk melakukan penyimpanan sementara sebelum dilakukan pengolahan. Umumnya para pengolah tidak/belum memiliki gudang-gudang penyimpanan untuk stok ikan ketika musm panen (cool storage) dan penyumpanan produk olahan sebelum dipasarkan. Di sisi lain, pemenuhan bahan baku melalui gudang-gudang impor terkendala peraturan pemerintah menegnai jenis-jenis ikan yang boleh diimpor. Sebagian pengolah merasa kesulitan dengan jenis ikan yang boleh diimpor tersebut, karena bukan merupakan bahan baku terbaik untuk industri mereka. Sesuai paturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor : Kep.025/Dj-P2hp/2012 Tentang Penetapan Jenis-Jenis Hasil Perikanan Yang Dapat Dimasukkan Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia ditetapkan bahwa Bahan Baku Industri Pengolahan Hasil Perikanan yang Menghasilkan Ikan Kaleng hanya boleh mengimpor berupa ikan Sarden (Sardinella spp.), sednagkan untuk industri Ikan Tradisional Berupa Pemindangan hanya boleh memasukkan ikan Salem (Scomber japonicus).
Selama ini kebanyakan pengolah mendapatkan bahan baku dari TPI terdekat melalui proses lelang. Mereka biasanya diharuskan membayar dalam jangka waktu sehari semalam, sebagaiaman tabel di bawah ini. Tabel 3.40. Cara Pengolah ikan memperoleh bahan baku No Keterangan Frekuensi Persentase 1 Membeli di TPI setempat dgn cara lelang 75 57.69 2 Membeli di pasar ikan setempat 12 9.23 3 Membeli di agen ā depot di luar daerah 24 18.46 4 Membeli di TPI & pasar ikan di luar daerah 7 5.38 5 Tidak menjawab 12 9.23 Jumlah 130 100 Sumber: Data Primer, 2012 Bahan baku yang diperoleh dari TPI, sebagian mencukupi namun ketika musim paceklik mereka akan mendatangkan bahan baku dari luar 95
daerah. Dengan demikian terkadang bahan baku tercukupi tetapi terkadang tidak, sebagaimana dalam tabel di bawah ini. Tabel 3.41. Ketercukupan bahan baku No Keterangan 1 Ya 2 Tidak 3 Gabungan (terkadang ya, terkadang tidak ) 4 Tidak menjawab Jumlah Sumber: Data Primer, 2012
Frekuensi Persentase 66 50.77 21 16.15 33 25.38 10 7.69 130 100
Bahan baku yang diperoleh dari dalam daerah dekat sentra pengolahan umumya tingkat kesegarannya masih cukup baik. Sebagian bahan baku yang diperoleh dari TPI di luar daerah sentra pengolahan umumnya tingkat kesegarannya kurang segar, seperti tampak pada tabel di bawah ini. Tabel 3.42. Mutu Bahan Baku No Keterangan 1 Segar 2 Kurang segar 3 Rusak 4 Tidak menjawab Jumlah Sumber: Data Primer, 2012
Frekuensi 111 6 0 13 130
Persentase 85.38 4.62 0 10 100
Dalam pengelolaan pengadaan bahan baku, sebagian pengolah umumya telah mengikuti prosedur rantai dingin dan sebagian lagi tidak mengikutinya seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 3.43. Bahan Baku Mengikuti Rantai Dingin No Keterangan Frekuensi 1 Ya 86 2 Tidak 20 3 Kadang-kadang 9 4 Tidak menjawab 15 Jumlah 130 Sumber: Data Primer, 2012
Persentase 66.15 15.38 6.92 11.54 100
Dengan kondisi sistem rantai dingin yang cukup baik, maka bahan baku yang diperoleh masih memenuhi standar bahan baku yang baik, sebagaimana tabel di bawah ini.
96
Tabel 3.44. Kondisi bahan baku Ikan harus baik No Keterangan Frekuensi 1 Ya 106 2 Tidak 4 3 Kadang-kadang 4 4 Tidak menjawab 16 Jumlah 130 Sumber: Data Primer, 2012
Persentase 81.54 3.08 3.08 12.30 100
Cara pengangkutan bahan baku mulai dari TPI sampai ke tempat pengolahan,
sebagian
pengolah
menggunakan
kendaraan
sendiri,
transportasi umum atau lainnya sebagaimana tabel di bawah ini. Tabel 3.45. Pengangkutan Bahan Baku No Keterangan 1 Transportasi sendiri 2 Transportasi umum 3 Gabungan 4 Tidak menjawab Jumlah Sumber: Data Primer, 2012
Frekuensi 51 26 39 14 130
Persentase 39.23 20 30 10.77 100
Sebelum bahan baku tersebut digunakan sebagai bahan baku pengolahan, sebagian pengusaha melakukan perlakuan/penanganan terhadap bahan baku lainnya agar kualitas dapat dipertahankan baik, sebagaimana tabel di bawah ini. Tabel 3.46. Penanganan Bahan Baku Sebelum Diolah No Keterangan Frekuensi Persentase 1 Ya 79 60.77 2 Tidak 22 16.92 3 Kadang-kadang 8 6.15 4 Tidak menjawab 21 16.15 Jumlah 130 100 Sumber: Data Primer, 2012 Sebagian pengolah melakukan stocking bahan baku sesuai kapasitasnya, sedangkan sebagian pengolah lagi tidak melakukannya, sebagaimana tabel di bawah ini. Pengolah ikan yang melakukan stocking karena mereka memiliki fasilitas tempat penyimpanan seperti coolbox. Sebagian besar pengolah tidak melakukan stocking (43,85%) karena umumnya tidak memiliki tempat penyimpanan bahan baku.
97
Tabel 3.47. Stocking Bahan Baku No Keterangan 1 Ya 2 Tidak 3 Kadang-kadang 4 Tidak menjawab Jumlah Sumber: Data Primer, 2012
Frekuensi
Persentase 33.85 43.85 12.31 10 100
44 57 16 13 130
Beberapa macam cara perlakukan terhadap bahan baku sebelum digunakan
untuk
bahan
baku
ikan
olahan,
yaitu
penyimpanan,
pengawetan dan perlakuan penyimpanan dan pengawetan. Perlakuan bahan baku dengan penyimpanan saja umumnya ditaruh dalam tempat seperti drum lastik yang diberi es, sedangkan bahan baku ikan yang diawetkan umumnya diperlakukan dengan es dan garam. Responden pengolah
yang
tidak
menjawab
yaitu
pengolah
yang
langsung
menggunakan bahan baku sebagai produk olahan ikan. Tabel 3.48. Jenis Perlakuan Bahan Baku No Keterangan 1 Penyimpanan dengan es 2 Pengawetan dengan garam 3 Penyimpanan & pengawetan dengan es & garam 4 Tidak menjawab Jumlah Sumber: Data Primer, 2012
Frekuensi 36 18 7
Persentase 27.69 13.85 5.38
69 130
53.08 100
Tingkat keberlanjutan usaha pengolahan sangat bergantung pada penyediaan bahan baku ikan setiap harinya. Pengadaan bahan baku oleh pengolah ikan sagat bervariasi, hal ini tergantung dari kapasitas modal yang dimiliki setiap pengusaha untuk pengadaan bahan baku ikan dan tempat penyimpanan & bahan pengawet ikan, seperti tampak pada tabel di bawah ini. Tabel 3.49. Tingkat Ketersediaan bahan baku No Keterangan Frekuensi Persentase 1 Selalu ada 37 28.46 2 Tidak tentu 63 48.46 3 Tidak menjawab 30 23.08 Jumlah 130 100 Sumber: Data Primer, 2012 98
Dari
tabel
tersebut
sebagian
besar
pengolah
tidak
tentu
mengadakan bahan baku. Untuk pengolah ikan pindang, ikan kering, ikan asap umumnya disebabkan didak memiliki tempat dan modal untuk melakukan pengadaan bahan baku terutama pada saat tidak musim ikan. Pola kerjasama antar pengolah dalam pengadaan haban baku tampaknya belum dilakukan. Oleh karena itu permasalahan pengadaan bahan baku salah satu pemecahannya adalah dengan membentuk kerjasama antar anggota kelompok pengolah ikan pindang/asin/asap. Bagi pengolah ikan yang menjawab selalu menjawab mengadakan bahan baku umumnya dilakukan oleh pengolah bakso, nugget, sosis dan beberapa pengolah kerupuk ikan dan terasi, karena umumnya mereka memiliki sarana penyimpanan bahan baku dan modal.
4) Aspek Sarana dan Prasarana Kondisi sarana dan prasarana pengolah ikan yang ada di daerah penelitian menggambarkan kondisi secara umum industry pengolahan ikan di Jawa Tengah yang masih sangat sederhana dan jauh dari memenuhi standar higienitas. Namun demikian, para pelaku usaha tidak merasa kesulitan memproduksi olahan ikan sesuai keinginan konsumen yang mayoritas kelas menengah kebawah.
99
Tabel 3.50. Profil Sarana dan Prasarana Pengolah Ikan (%) No Keterangan Ya Tidak 1 Bangunan Milik Pribadi 70.77 12.31 2 Bangunan Sudah mencukung 60.00 21.54 3 Mendapat dukungan masyarakat 79.23 0.77 setempat 4 Memenuhi unsur sanitasi dan 46.15 30.77 higienitas 5 Menginginkan memenuhi standar 39.23 3.08 sanitasi & higienitas 6 Limbah mengganggu lingkungan 26.92 10.00 7 Peralatan milik Sendiri 81.54 2.31 8 Peralatan sudah memadai 52.31 27.69 9 Perlu pembaharuan (modernisasi) 69.23 10.77 peralatan 10 Perlu ada yang menawarkan 60.77 10.00 peralatan modern 11 Alat-alat modern snagat membantu 66.92 1.54 12 Memanfaatkan bantuan alat yang 76.92 1.54 diberikan kepada kelompok 13 Memiliki peralatan penyimpan 63.08 23.08 frozen, cold storage 14 Memiliki peralatan packing yang baik 36.92 45.38 15 Air untuk mengolah ikan sumbernya 78.46 3.85 jauh 16 Tergantung dgn banyaknya air 45.38 34.62 17 Air yang ada sudah mencukupi 82.31 3.08 18 Ada kesulitan didalam sarana 72.31 3.85 19 Prasarana jalan sudah memadai 63.85 16.92 20 Peralatan sering rusak , terlalu lama 44.62 26.92 digunakan 21 Ada kesulitan dalam transportasi 4.62 73.08 pengiriman 22 Ada kesulitan dalam penerangan 1.54 70.77 23 Proses transportasi dapat 10.77 53.85 menyebabkan penurunan kualitas bahan baku ikan 24 Kendaraan transportasi bisa 35.38 28.46 menjaga kualitas bahan baku 25 Kendaraan transportasi milik sendiri 30.77 18.46 Sumber : Data primer diolah, 2012
Lainnya 16.92 18.46 20.00 23.08 57.69 63.08 16.15 20.00 20.00 29.23 31.54 21.54 13.85 17.69 17.69 20.00 14.62 23.85 19.23 28.46 22.31 27.69 35.38
36.15 50.77
Dari data di atas, dijelaskan bahwa profil sarana dan prasarana pengolahan ikan di Provinsi Jawa Tengah yang sudah dimiliki antara lain meliputi: Bangunan milik pribadi, Bangunan pendukung, Mendapat 100
dukungan masyarakat, peralatan milik sendiri, peralatan sudah memadahi, pembaruan,
alat-alat
moderen,
memanfaatkan
bantuan
peralatan,
mempunyai peralatan penyimpang frozen, cold storage, air sudah mencukupi, prasarana jalan sudah memadahi. Sebagian besar bangunan pengolahan ikan milik pribadi, sebesar 70 % letak bangunan ini menyatu dengan bangunan induk rumah tingggal dan pemukiman penduduk. Letak bangunan pengolahan ikan sudah mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar dikarenakan sebagian warga masyarakat mempunyai aktifitas pengolah ikan jadi soal poplusi udara yang berbau ikan anggota masyarakat sudah terbiasa. Sanitasi air bersih cukup tersedia dari sumber PDAM dan air tanah dari sumur 60 %, sedangkan pembuangan limbah kotoran ikan dari pengolahan dibuang di saluran pembuangan
air setempat belum ada
treatment pengolah limbah terpadu, sehingga menimbulkan bau yang kurang sedap. Kondisi peralatan pengolahan ikan yang dipergunakan untuk ikan pindang dan ikan asap antara lain berupa kompor gas, air bersih, dandang, besek bambu, garam, frozen, cooll storage, packing sebesar 80% peralatan ini merupakan milik sendiri.. Peralatan tersebut dibuat dan di desain sendiri oleh pengrajin kerjasama bengkel dengan menggunakan teknologi tepat guna. Bantuan dari pemerintah yang berupa peralatan bertehnologi modern sebesar 69 % sangat dibutuhkan oleh pengrajin pengolahan ikan agar tujuan pengolahan ikan berkualitas dan efisien. Sarana jalan dari tempat pengolahan ikan menuju pasar 63 % dalam kondisi baik. Sedang jenis alat transportasi yang dimiliki dan digunakan antara lain: sepeda motor roda dua, viar roda tiga dan mobil box roda empat, dari jenis alat transpotasi sudah mencukupi akan tetapi dikarena kepadatan arus lalu lintas antar kota besar hal ini menyebabkan terjadi keterlambatan pengiriman ikan sampai di pasar sehingga menyebabkan menurunkan kualitas ikan sampai di pasar 10 %.
101
Tabel 3.51. Asal Peralatan Pengolah No Keterangan 1 Buatan sendiri 2 Membeli 3 Dipinjami 4 Membeli & dipinjami 5 Membeli & buatan sendiri 6 Bantuan 7 Membeli & bantuan 8 Tidak menjawab / 0 Jumlah Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Frekuensi 18 70 1 1 1 1 1 37 130
Persentase 13.85 53.85 0.77 0.77 0.77 0.77 0.77 28.46 100.00
Dari data tabel di atas dapat diketahui bahwa frekuensi asal peralatan pengolahan ikan berasal buatan sendiri 18 orang, peralatan berasal membeli di pasar sebanyak 80 orang. Selebihnya peralatan pengolahan ikan berasal dari bantuan dan warisan dan pinjaman dari orang lain sebanyak 37 orang lebih. Tabel 3.52. Sumber Biaya Pembelian Peralatan Pengolah Ikan No Keterangan Frekuensi 1 Biaya sendiri 58 2 Bantuan pemerintah 19 3 Biaya sendiri & bantuan pemerintah 18 4 Pinjaman 6 5 Tidak menjawab / lainnya 29 Jumlah 130 Sumber: Data Primer Diolah
Persentase 44.62 14.62 13.85 4.62 22.31 100.00
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sumber biaya untuk membeli peralatan pengolahan ikan berasal dari: tabungan pribadi 58 orang, bantuan dari pemerintah 19 orang, berasal dari keduanya 18 orang, pinjaman 6 buah, sedangkan yang tidak menjawab 37 orang, sedangkan yang tidak menjawab 29 orang.
102
Tabel 3.53. Sumber Air Pembersih Ikan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan Air sumber Air ledeng Air laut Air sumber & air ledeng Air sumber & air sungai Air ledeng & air sungai Sungai Sumur Tidak menjawab Jumlah Sumber: Data Primer Diolah
Frekuensi 84 22 1 1 1 1 2 1 17 130
Persentase 64.62 16.92 0.77 0.77 0.77 0.77 1.54 0.77 13.08 100.00
Dari tabel di atas sumber air yang digunakan dalam pencucian ikan berasal dari sumber air tanah 84 orang, berasal dari air ledeng (PDAM) 22 orang, sedangkan yang tidak menjawab 17 orang. Tabel 3.54. Pihak Penanggungjawab Pemelihara prasarana jalan No Keterangan Frekuensi Persentase 1 Masyarakat 6 4.62 2 Murni pemerintah 59 45.38 3 Masyarakat & Pemerintah 41 31.54 4 Tidak menjawab / lainnya 24 18.46 Jumlah 130 100.00 Sumber: Data Primer Diolah, 2012 Dari
tabel
bertanggungjawab
di
atas
dalam
dapat
diketahui
pemeliharaan
bahwa
prasarana
pihak jalan
yang adalah
Pemerintah 59 orang, Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat 41 orang, sedangkan yang tidak menjawab 24 orang. Tabel 3.55. Jenis Penerangan Dalam Memproduksii ikan olahan No Keterangan Frekuensi Persentase 1 PLN 100 76.92 2 Genzet 3 PLN & genzet 1 0.77 4 Tidak menjawab / lainnya 29 22.31 Jumlah 130 100.00 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
103
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jenis penerangan yang digunakan dalam proses pengolahan ikan dari PLN 100 orang , PLN & Genzet 1 orang, sedangkan yang tidak menjawab 29 orang. Tabel 3.56. Bahan Bakar Pengolah Ikan No Keterangan Frekuensi 1 Kayu bakar 25 2 Kompor gas 26 3 Kayu bakar dan Kompor gas 13 4 Tidak menjawab / lainnya 66 Jumlah 130 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Persentase 19.23 20.00 10.00 50.77 100.00
Dari tabel di atas dapat diketahui bahan bakar yang digunakan dalam proses pengolahan ikan berasal dari kayu bakar sebanyak 25 orang, dari kompor gas 26 orang, kayu bakar dan kompor gas (gabungan) 13 orang, selebihnya yang tidak menjawab 66 orang. Persoalan sarana dan prasarana memang menjadi hambatan paling besar dalam meningkatkan mutu hasil perikanan. Hampir semua pengolah ikan tradisional belum memiliki sarana prasarana yang memadai sebagai standar keamanan pangan yang baik. Persoalan sanitasi dan higienitas belum bisa diwujudkan dengan sarana dan prasarana yang dimiliki pengusaha. Persoalan lain adalah dalam pengemasan dan pengiriman hasil olahan. Sebagain besar mengalami kesulitan dalam menjaga kualitas produk, baik berupa kelembaban maupun perlindungan dari bakteri. Persoalan pokok sarana dan prasarana pengolahan ikan meliputi rendahnya sanitasi air bersih, rendahnya kualitas bahan baku, pengolahan belum masuk ke sentra pemasaran, pengolahan belum masuk bahan baku dan pemasaran, Di Kabupaten Rembang sebagai penghasil pengolahan ikan pindang mengalami kekurangan tentang sarana dan prasarana, antara lain: bangunan, kompor, dandang, besek, garam, Es sanitasi, alat timbang, kotak pendingin, alat transportasi. Di Kabupaten Pati potensi terbesarnya adalah pengolahan ikan pindang dan ikan asap kondisi 104
sarana dimana menggunakan sanitasi yang kotor, pembuangan limbah dan peralatan pengolahan yang terbilang kotor. Di Kota Pekalongan sebagai sentra penghasil ikan asin dan olahan ikan kondisi sarana dan prasarananya berupa bangunan, garam, rak bambu, kotak pendingin, penggilingan ikan, pencucian, alat rebus, alat penggorengan, pengemasan alat transportasi.). Kabupaten Brebes sebagai sentra penghasil ikan asap dan ikan asin kondisi sarana prasarananya
berupa bangunan, kompor, dandang, besek, garam, Es
sanitasi, alat timbang, kotak pendingin,
Garam, rak bambu, alat
transportasi. Kabupaten Cilacap sebagai sentra penghasil ikan segar dan ikan asap kondisi sarana prasarana berupa bangunan, pisau, alat timbang,
sanitasi, garam dan
kotak pendingin,
alat
transportasi.
Ringkasan kebutuhan sarana dan prasarana di lokasi penelitian seperti pada tabel di bawah ini. Tabel 3.57. Kebutuhan Sarana Dan Prasarana Pada Industri Makanan Berbahan Baku Ikan Laut di derah penelitian Kabupaten / Kebutuhan Sarana dan prasarana No Produk olahan Kota 1 Kab. Pindang, Cool box , Cold stroge, Cerobong Rembang Kering/Asin, pengasapan, Treatmen Terasi, Asap pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. 2 Kab. Pati Pindang, Blung berinsulasi, Cool box , Cold Terasi, Asap, stroge, Cerobong pengasapan, Bandeng, Treatmen pembungan limbah, Bandeng Tempat pejemuran ikan, PDAM olahan atau air bersih. 3 Kota Ikan Olahan. Trays, Troley, Ice crusher, Chest Pekalongan Ikan Kering frezeer, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih 4 Kab. Brebes Pindang, Troley, Cerobong pengasapan, Asap, Kering Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. 5 Kab. Cilacap Kering, Segar, Ice crusher , Chest frezeer, Kerupuk Peralatan pengolahan, Mesin pembuat sosis, Meat bone sparator, Cold storage Sumber: Data Primer 105
Dari data di atas, di jelaskan bahwa secara umum kebutuhan pengembangan sentra pengolahan makanan olahan berbahan ikan di lima Kabupaten, Kota membutuhkan intitusi baik berupa Koperasi yang menyediakan kebutuhan: Permodalan, Stok bahan baku ikan segar dan sejumlah peralatan pengolahan secara terperincian sebagai berikut: Kabupaten Rembang sebagai sentra Pindang, Ikan kering/asin, terasi dan ikan asap membutuhkan: Cool box , Cold stroge, Cerobong pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Kabupaten Pati sebagai sentra Ikan Pindang, terasi, ikan asap, Pindang bandeng lunak, dan bandeng olahan membutuhkan: Blung berinsulasi, Cool box , Cold stroge, Cerobong pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Kota Pekalongan sebagai sentra Ikan Olahan. Ikan Kering membutukan: Trays, Troley, Ice crusher, Chest
frezeer, Treatmen
pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Kabupaten Brebes sebagai sentra Ikan Pindang, Ikan Asap dan Ikan kering membutuhkan: Troley, Cerobong pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih.
5) Aspek Teknologi Teknologi menjadi persoalan yang sering diabaikan namun sebenarnya memberikan dampak yang cukup luas. Pada industri pengolahan tradisional, teknologi yang digunakan kadang memberikan beban tambahan cukup besar bagi biaya produksi. Untuk pemindangan misalnya, selama ini di Kabupaten Rembang menggunakan bahan bakar minyak solar dengan konsumsi yang cukup tinggi, jika dibandingkan dengan bahan bakar kayu mencapai 2 kali lipatnya. Minyak solar digunakan akibat kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah. Selama ini pengrajin sudah merasa cocok dengan nyala api yang dihasilkan oleh minyak solar yang diberi tekanan udara. Sebaliknya, mereka enggan 106
menggunakan gas karena tekanan api kurang tinggi, terutama jika isi tangki sudah mendekati separuhnya. Dalam aspek pengemasan pindang menggunakan keranjang dengan isi ikan antara 2 ā 5 ekor. Hal tersebut menyesuaikan dengan keinginan pembeli dimana mereka bisa membeli eceran dengan kuantitas rendah sehingga harganya murah. Akan tetapi bagi pengusaha itu merupakan ongkos tambahan karena selama ini biaya keranjang mencapai Rp 200,- dari harga ikan tiap keranjang sekitar Rp 1.500,Aspek lainnya adalah pengemasan dan pengiriman. Kebanyakan pengemasan belum bisa memenuhi unsur higienitas dan daya tahan produk. Dalam pengiriman, terutama untuk produk daging olahan (surimi) seperti : bakso, nugget dan sebagainya yang memerlukan teknologi rantai dingin yang sangat diperlukan untuk menjaga kualitas produk. Rantai dingin juga menjadi persoalan pada saat panen ikan dari laut, ikan didaratkan di TPI dan ketika ikan masuk di tempat pengolahan. Seringkali kekurangan teknologi menjadikan kualitas bahan baku ikan rendah. Dalam hal pengawetan, juga masih ditemukan banyaknya nelayan maupun pengolah yang menggunakan hidrogen peroksida (H2O2) dan formalin untuk penampilan ikan bersih/putih dan mempertahankan kesegaran ikan. Aspek teknologi pengolahan inilah yang menjadikan kualitas olahan ikan belum bisa menembus pasar ekspor karena rendahnya mutu dan kualitas produk. Beberapa program telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan teknologi, akan tetapi orientasi program hanya sekedar proyek sehingga bantuan yang diberikan kadang kurang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas pengolah. Tingginya ongkos produksi, biaya untuk bahan bakar dan daya listrik yang terlalu tinggi menjadikan bebebrapa peralatan teknologi pengolahan yang lebih canggih belum bisa digunakan seperti mixer besar, vacum fraying dan lainnya. Selain itu, perilaku para pengolah juga kadang menghambat peningkatan kualtas produk. Perilaku yang higines belum terbiasa ketika para bekerja memproduksi ikan olahan. Sarana dan prasarana pendukung 107
lainnya juga turut mendukung perilaku para pekerja untuk bekerja secara higines. Dari daftar pertanyaan tentang profil teknologi pengolahan yang saat ini digunakan oleh para pengolah ikan dalam mengembangkan usahanya, diperoleh jawaban seperti tampak pada tabel di bawah ini Tabel 3.58. Profil Teknologi Pengolah Ikan (%) No Keterangan Ya 1 Teknologi berpengaruh pada jumlah 55.38 produksi 2 Apakah memiliki kekuatan dalam 23.08 pengadaaan teknologi 3 Bersedia meneriman teknologi baru 39.23 4 Teknologi baru memberikan nilai 46.15 hasil produksi 5 Utk keberlanjutan usaha perlu 29.23 pemanfaatan teknologi baru 6 Siap menerima inovasi teknologi baru 51.54 7 Diversifikasi produk baru 30.77 Sumber: Data Primer, 2012
Tidak 10
Lainnya 34.61
20
56.92
6.92 6.15
53.85 47.69
14.61
56.15
5.38 27.69
43.07 41.54
Dari tabel di atas tampak teknologi sangat menentukan kuantitas dan kualitas produk olahan berbahan baku ikan. Ketika ditanya kemampuan pengusaha
pengolah ikan untuk mengadakan teknologi,
ketersediaan menerima teknologi baru, keberlanjutan usaha yang harus ditunjang dengan teknologi dan melakukan diversifikasi produk dengan teknologi ternyata sebagian besar
menyatakan tidak tahu (menjawab
lainya). Hal ini menggambarkan sampel umumnya
bahwa para pengolah ikan di daerah
tidak terlalu memikirkan tentang teknologi dalam
kegiatan usahanya. Mereka umumnya melakukan kegiatan pengolahan berdasarkan informasi/teknolgi yang diturunkan oleh para orang tua mereka, karena sebagian besar mereka adalah pengusaha pengolah ikan yang secara turun temurun.
108
Tabel 3.59. Asal Ketersediaan Teknologi Pengolahan No Keterangan Frekuensi 1 Buatan Sendiri 34 2 Membeli 21 3 Dipinjami 4 4 Diberi 3 5 Membeli& Dipinjami 2 7 Tidak Menjawab (turun temurun) 66 Jumlah 130 Sumber: Data Primer, 2012
Persentase 26.15 16.15 3.07 2.31 1.54 50.77 100
Kondisi seperti pertanyaan tentang asal muasal teknologi yang digunakan umumnya menjawab tidak tahu seperti pada tabel di atas umumnya tidak
menjawab
(50,77%). Hal ini menggambarkan bahwa
teknologi yang mereka gunakan sudah ada sejak mereka belum malakukan usaha pengolahan ikan, teknologi yanng digunakan diwariskan oleh para orang tua mereka. Namun demikian mereka umumnya siap menerima bimbingan dan penyuluhan dari para petugas pembina terutama pengolah yang 26,15% (pada tabel di atas) mampu melakukan inovasi teknologi untuk mengembangkan usahanya. 6) Aspek Tenaga Kerja Aspek
ketenagakerjaan
dalam
melakukan
kegiatan
usaha
memproduksi mananan berbahan baku ikan seperti tampak pada tabel di bawah Tabel 3.60. Profil tenaga kerja pengolahan (%) No Keterangan Ya Tidak Lainnya 1 Dibutuhkan tenaga ahli 12.31 65.38 22.31 2 Dibutuhkan keahlian khusus 13.08 51.54 35.38 3 Pergantian tenaga kerja dalam 3.08 67.69 29.23 bekerja 4 Tenaga kerja diberikan insentif 29.23 52.31 18.46 5 Tenaga kerja diberikan jaminan 0.77 80.00 19.23 berupa asuransi kerja 6 Tenaga kerja diberi cuti kerja 35.38 45.38 19.23 7 Tenaga kerja diberi 13.85 66.15 20.00 pendidikan/latihan 8 Pekerja perlu diberikan pelatihan 46.15 24.62 29.23 sesuai perkembangan teknologi Sumber: Data Primer Diolah, 2012. 109
Dari tabel di atas, potensi tenaga kerja yang ada di lingkungan pengolah ikan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan disekitar perumahan nelayan, khususnya di lokasi penelitian dalam pengelolaan pengolahan ikan telah memanfaatkan potensi tenaga kerja yang ada disekitar lingkungan perumahan nelayan seperti tenaga kerja. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengolahan ikan tergantung kepada bahan baku yang diperoleh berupa ikan, makin banyak bahan baku yang diperoleh makin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah ikan, mulai dari pembersihan ikan sampai dengan pemasakan ikan, minimal tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah rata-rata 5 orang, kecuali untuk mengolah ikan pindang. Untuk pengolahan filet dibutuhkan tenaga kerja rata-rata 10 orang. Kendala yang dihadapi untuk mencari tenaga kerja adalah pada waktu musim ikan semua pengolah ikan membutuhkan tenaga kerja, sehingga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk pengolah ikan. Jenis kelamin dan usia tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah ikan sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga yang usianya diatas 40 tahun. Kegiatan ini dilakukan untuk menambah penghasilan keluarga serta untuk menghindari kejenuhan ditinggal suami pergi melaut mencari ikan. Pengusaha pengolah ikan lebih cocok untuk memilih tenaga perempuan disamping rajin juga upahnya lebih murah yaitu Rp.25.000,mulai pukul 08.00 ā 16.00 WIB. dan tidak ada perjanjian yang mengikat antar kedua belah. Komposisi tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pengolahan ikan, ternyata tenaga perempuan lebih banyak ketimbang tenaga kerja laki-laki. Hal ini disebabkan tenaga kerja perempuan dianggap lebih teliti dibandingkan tenaga laki-laki, banyak tenaga perempuan yang usianya diatas 40 tahun waktunya banyak lebih luang karena menunggu suaminya pergi melaut mencari ikan, waktu luangnya digunakan untuk bekerja mengolah penghasilan
ikan
untuk
buruh
menambah
nelayan
penghasilan
bertambah
maka
keluarga. akan
Dengan berakibat
kesejahteraan nelayan akan meningkat. 110
Pendidikan yang dibutuhkan untuk mengolah ikan tidak sangat dibutuhkan karena pekerjaan mengolah ikan tidak memerlukan pendidikan khusus tetapi yang dibutuhkan adalah kemauan untuk bekerja, dimana jumlah pekerja yang demikian banyak berada
dilingkungan sekitar
perumahan nelayan dan dengan upah yang tidak begitu mahal. Namun ada kendala untuk tenaga kerja yaitu pada waktu musim ikan para pengolah ikan banyak yang membutuhkan tenaga kerja. Dan, akhirnya para Usaha Kecil dan Menengah pengolah ikan mencari bahan baku berupa ikan disesuaikan dengan jumlah tenaga kerja yang ada. Para pengusaha Usaha Kecil dan Menengah pengolah ikan tidak perlu membutuhkan tenaga ahli untuk memproses bahan baku berupa ikan menjadi hasil ikan olahan, yang dibutuhkan hanya tenaga yang biasa mengolah ikan, dimana tenaga kerja yang biasa mengerjakan mengolah ikan banyak ditemukan dilingkungan sekitar perumahan nelayan atau tetangga. Rata-rata pengalaman tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproses makanan berbahan baku ikan menjadi ikan olahan yang berupa ikan pindang, ikan panggang, ikan asin, ikan vilet, trasi, dan krupuk, adalah tenaga kerja yang sudah ada, dan rata-rata sudah bekerja minimal tiga tahun lebih. Daerah asal tenaga kerja yang sudah ada tersebut untuk mengerjakan pengolahan ikan dari lingkungan disekitar perumahan nelayan yang tidak jauh dari lokasi pengolahan ikan, dengan demikian tidak perlu transportasi tetapi cukup jalan kaki saja seperti pada tabel di bawah. Tabel 3.61. Daerah Asal Tenaga Kerja Pengolahan Ikan No Keterangan Frekuensi 1 Dalam Kota/Kab 102 2 Luar Kota/Kab 3 Dalam & Luar Kota/Kab 5 4 Lainnya 2 5 Tidak Menjawab 21 Jumlah 130 Sumber: Data Primer, 2012
Persentase 78.46 3.85 1.54 16.15 100.00
111
Sesuai dengan pendalaman di lapangan, kendala yang dihadapi oleh pengusaha pengolah ikan meliputi : 1. Pada waktu musim ikan dimana ikan dalam kondisi banyak pengusaha pengolah ikan
berlomba untuk mengolah ikan dengan
jumlah yang lebih banyak dari pada pada waktu tidak musim ikan, sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak sedangkan tenaga kerja yang mau bekerja sebagai pengolah ikan terbatas, sedangkan pengolah ikan yang membutuhkan tenaga kerja sangat banyak dari pada hari-hari tidak musim ikan, akhirnya tenaga kerja memilih lokasi pengolah ikan yang tidak jauh dari lokasi rumahnya, dan pengusaha pengolah ikan tidak dapat menambah produksi pengolahan ikan pada waktu musim ikan, pengusaha pengolah ikan yang mendapatkan ikan banyak melebihi dari biasanya hanya disimpan dalam boks pendingin penyimpan ikan dimanfaatkan apabila pada waktu tidak musim ikan yaitu pada waktu musim ombak besar dan angin kencang sehingga nelayan tidak dapat pergi melaut mencari ikan dilaut. 2. Pengusaha pengolah ikan mengalami kendala dalam pembuangan limbah ikan, terutama air kotor dari pencucian ikan. 3. Udara yang tidak sehat dari limbah pengolahan ikan. 4. Pencemaran
udara
dari
hasil
pengasapan
ikan
dilingkungan
perumahan. 5. Permodalan dimana setiap pembelian melalui Tempat Pelelangan Ikan harus dibayar secara tunai, sedangkan hasil produki pengolahan ikan dipasarkan dibayar tidak dengan tunai tetapi dibayar dengan secara bertahap itupun harus menyetorkan lagi dagangan berupa ikan olahan begitu seterusnya, sehingga permodalan yang diperlukan para pengusaha pengolah ikan secara berlipat agar dagangan laku dipasaran. Peluang pengusaha pengolah didalam memanfaatkan tenaga kerja yang ada selama ini meliputi : a. Jumlah tenaga kerja didalam lingkungan perumahan nelayan sangat banyak dan mudah didapat. 112
b. Upah tenaga kerja selama ini bisa dikatakan sangat murah c. Tenaga kerja yang digunakan untuk mengolah ikan tidak diperlukan tenaga ahli d. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah ikan tidak diperlukan pendidikan yang tinggi cukup yang penting mau bekerja dengan upah yang telah ditentukan sebelumnya. Ancaman bagi pengusaha pengolahan ikan didalam memanfaatkan tenaga kerja yang ada : a. Pada waktu musim ikan banyak kesulitan untuk menambah tenaga yang ada hal ini disebabkan pengusaha pengolah ikan juga membutuhkan tenaga kerja yang sama banyaknya, sehingga ikan yang melimpah sementara disimpan pada boks pendingin ikan agar ikan dapat bertahan lama. b. Tenaga kerja muda yang ada dilingkungan perumahan nelayan tidak mau bekerja sebagai pengolah ikan karena upahnya dirasakan terlalu sedikit dan sekarang ini masih didominasi dengan tenaga kerja yang usianya diatas 40 tahun sehingga lama kelaman mereka sudah tidak bisa kerja lagi karena sudah lanjut usia. c. Upah yang dibayarkan oleh pengusaha pengolah ikan selama ini dirasakan masih murah dan tidak didasarkan pada peraturan tenaga kerja yang berlaku seperti halnya pada
upah minimum (UMK atau
UMR) tenaga kerja.
7) Aspek Modal Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa sebagian besar pengusaha ikan olahan bekerja dengan menggunakan modal sendiri tanpa menggunakan pinjaman. Pengusaha yang termasuk dalam kelompok ini merupakan pengusaha kecil dan menengah. Adapun jumlah pengusaha yang terbiasa dengan mengandalkan modal sendiri sebanyak 49 pengusaha atau 37,69%, dan biasanya pasar/konsumen yang mereka layani relatif kecil dan sudah tertentu.
113
Tabel 3.62. Sumber Permodalan Pengolah Ikan No Keterangan Frekuensi 1 Modal Sendiri 49 2 Pinjaman 15 3 Gabungan 38 4 Tidak menjawab 28 Jumlah 130 Sumber: Data Primer Diolah
Prosentase 37.69 11.54 29.23 21.54 100
Pengusaha yang mengandalkan dana pinjaman sebanyak 15 pengusaha atau 11, 54 %, pengusaha jenis ini adalah pengusaha skala menengah dan besar karena mereka mempunyai aset yang dijaminkan, mempunyai
jaringan dengan pemerintah, perbankan dan
memperoleh informasi serta berbagai fasilitas dari pemerintah, sedangkan pengusaha yang menggunakan kombinasi modal sendiri dan modal pinjaman sebanyak 38 pengusaha atau 29,23 %. Para pengusaha ini didalam menjalankan usahanya sudah tertata rapi
manajemennya
sehingga
mereka
fleksibel
untuk
melakukan
kombinasi dalam menggunakan modal, mereka punya asset, punya informasi, punya fasilitas dan punya akses untuk mendapatkan modal, yang lebih penting mereka sudah biasa melakukan analisis kebutuhan modal dan mampu untuk mengkombinasikan kebutuhan modal untuk menjalankan usahanya. Responden yang tidak berpendapat/ tidak mau menjawab sebanyak 21,54 %, pengusaha ini biasanya masih sangat merahasiakan masalah keuangan perusahaan,
sehingga agak tertutup
untuk memberikan informasi. Dari hasil interview, sebagian besar pengusaha mengatakan bahwa masalah modal bukan menjadi halangan pengusaha pengolah ikan, namun demikian para pengusaha selalu ingin meningkatkan skala usahanya dari mikro menjadi skala kecil, kemudian meningkat menjadi pengusaha skala menengah dan meningkat lagi menjadi pengusaha skala sedang dan besar, sehingga modal yang dibutuhkan selalu meningkat sesuai dengan peningkatan skala usaha. Namun pada skala usaha sekarang pengusaha ikan olahan relatif tidak mengalami kendala permodalan, bahkan mereka memiliki modal yang lebih dari cukup 114
mengingat pemasaran hasil olahanya kadang-kadang dibayar dengan tenggang waktu yang cukup lama. 8) Aspek Pasar Kondisi pasar produk olahan ikan yang diproduksi para pengolah di daerah sampel saat ini seperti tampak pada tabel di bawah ini. Tabel 3.63. Perbandingan Kualitas produk dengan perusahaan lain No Keterangan Frekuensi Prosentase 1 Sama 55 42.31 2 Berbeda 16 12.31 3 Kadang Sama & Kadang Berbeda 35 26.92 4 Tdk Menjawab / 0 24 18.46 Jumlah 130 100 Sumber: Data Primer Diolah, 2012 Dari tabel tersebut jumlah responden sebanyak 130 pengusaha ternyata sebagian besar pengusaha mengatakan bahwa kualitas produk yang dihasilkan oleh perusahaannya tidak berbeda dengan yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Jumlah yang mengatakan kualitas produk yang dihasilkan sama sebanyak 55 pengusaha atau 42,31%, sedangkan yang mengatakan bahwa produk yang dihasilkan berbeda dengan yang dihasilkan pengusaha lain sebanyak 16 pengusaha atau 12,31%. Para pengolah merasa bahwa produk yang dihasilkan kualitasnya berbeda dengan yang dihasilkan oleh perusahaan lain walaupun jenis barang yang dihasilkan sama. Sedangkan 35 responden atau 26,92% mengatakan bahwa produk yang dihasilakan oleh perusahaannya kualitasnya kadang sama kadang berbeda, ini bisa dipahami bahwa untuk perusahaan kecil bisanya usahanya turun temurun maka para pengolah mengatakan sama tetapi barang kali sudah ada perlakuan yang lain walaupun produk yang dihasilkan sama, itulah yang membedakan dengan produk yang sama. Oleh karena itu sebanyak 24 pengusaha tidak menjawab terhadap pertanyaan ini atau 18,46%. Responden yang memasarkan produknya dalam kecamatan sebanyak 12 pengusaha atau 9,23%. Produk ini biasanya adalah produk 115
ikan asap yang umumnya dipasarkan untuk pasar lokal, atau tengkulak datang untuk membeli dan membawanya ke pasar regional yang jaraknya tidak jauh dari lokasi produk dihasilkan. Pasar yang dijangkau yang paling besar adalah gabungan antara pasar dalam kecamatan dan luar kecamatan yaitu
sebanyak 55 responden atau 42,31%. Pasar
yang
dijangkau umumnya pasar lokal, regional dan nasional. Produk yang dipasarkan ke pasar
lokal, regional dan nasional umumnya seperti :
produk ikan pindang, ikan kering, trasi, dan surimi serta ikan asap. Upaya meningkatkan kualitas harapannya ada pengembangan dan inovasi alat produksi, namun kadang ada bantuan alat produksi dari pemerintah yang tidak digunakan karena bantuan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pengusaha ikan olahan yang tradisional kadang juga susah untuk diajak melakukan inovasi karena tidak sesuai tradisi dan budaya. Tabel 3.64. Pasar Produksi Ikan Olahan No Keterangan 1 Dalam Kecamatan 2 Luar Kecamatan 3 Dalam dan Luar Kecamatan 4 Tidak Menjawab Jumlah Sumber: Data Primer Diolah, 2012 Jumlah
responden
yang
Frekuensi 12 31 55 32 130
memasarkan
Prosentase 9.23 23.85 42.31 24.61 100
produknya
ke
luar
kecamatan sebanyak 31 pengusaha atau 23,85%, jangkauan pasar ini biasanya pasar regional Jawa Tengah, produk yang dipasarkan kebanyakan ikan pindang, ikan asap, ikan asin dan ikan bandeng yang pasarnya sudah tertentu. Tabel 3.65. Profil Produk hasil olahan ikan (%) No Keterangan Ya 1 Tampilan (produk & kemasan) 36.15 dirasa sudah menarik 2 Produk yang dihasilkan sudah 53.08 memenuhi standar higienitas 3 Produk sudah terdaftar pada 30 Kemenkes & BPOM 4 Produk sudah diekspor 0.8 Sumber: Data Primer Diolah, 2012
Tidak 43.85
Lainnya 20
24.61
22.31
52.31
17.69
5
25.38 116
Selain faktor pemasaran menjadi kunci sukses sebuah usaha tidak kalah pentingnya adalah kondisi produk, sesuai dengan tabel 4.59 maka tampilan hasil olahan belum baik sebanyak 43,85 %,
dan yang
mengatakan sudah baik 36,15%. Dari segi kesehatan produk yang sesuai standar sebesar 53,08%, dan yang belum memenuhi standar 24,61%. Dari sisi legalitas perusahaan yang sudah terdaftar di kemenkes 30% dan yang belum terdaftar 52,31%, dan perusahaan yang sudah melakukan ekspor baru 0,8%. 2. Strategi Pengembangan Ke Depan a. Kebijakan/Regulasi Ada beberapa faktor kunci yang dapat menjadi penentu kebijakan dalam peningkatan industri pengolahan ikan. Memahami kebutuhan di tingkat bawah dan sinergi antar pelaku adalah kunci utama dalam memahami kebutuhan dan arah kebijakan. Dalam teori kebijakan, ada proses awal dimana sebuah kebijakan harus menjadi isu bersama, setelah menjadi isu maka akan dirumuskan menjadi sebuah agenda seting kebijakan yang melibatkan segenap unsur. Setelah itu ditetapkan model kebijakan dan secara teknis mengatur pelaksanaannya. Selama ini kebijakan pengembangan pengolahan ikan sifatnya sangat top down, kurang memperhatikan kebutuhan dan kapasitas para pengolah ikan atau masyarakat bawah. Sehingga bentuk-bentuk kebijakan dan hasilnya kurang memberikan dampak yang berarti. Seringkali ada salah sasaran, salah objek, kapasitas yang tidak sesuai dan bantuan yang tidak berdasarkan kebutuhan. Selain tidak berdasarkan pada kondisi dan kebutuhan kebijakan dan program yang dijalankan masih sangat sektoral,. Oleh karena itu perlunya sinergi antar sektor terutama dalam lembaga pemerintahan agar bisa memberikan dampak yang nyata, perlakuan yang lebih komprehensif dan sasaran kebijakan dapat tertata dengan baik.
117
b. Bahan Baku Dari hasil pengamatan lapangan dan interview dengan para petugas dan
pelaku yang
terkait
dengan
pengembangan
usaha
pengolahan ikan, ketersediaan bahan baku menjadi salah satu aspek kendala pengembangan yang harus dicari pemecahannya. Dari analisis faktor-faktor yang berpengaruh pada pengembangan usaha pengolahan ikan dapat dikelompokan menjadi faktor internal dan ekternal.
Faktor
yang menjadi potensi atau kekuatan yang berhubungnan dengan bahan baku adalah ketersediaan ikan sebagai bahan baku pada saat musim ikan sebenarnya banyak didaratkan di Tempat tempat Pendaratan Ikan (TPI) di kota Pekalongan dan sekitarnya yang harganya relatif lebih murah dibanding ketika tidak musim ikan. Sebagai kekuatan lain dalam mengembangkan industri pengolahan ikan yaitu berbagai macam/banyak ragak jenis ikan baik kelompok ikan demersal (ikan petek, ekor kuning, kakap, pari, cucut , dan lain-lain), kelompok ikan pelagis (layang kembung, tenggiri, tongkol, dan lain-lain), Crustaceae/udang-udangan (udang windu, udang krosok, udang rebon, kepiting, udang karang, dan lain-lain), moloska/kekerangan (kerang, simping, siput, dan lain-lain), rumput laut (glasilaria, euchema, see gras, dan lain-lain). Disamping itu produksi ikan air payau (seperti ikan bandeng, nila, udang tambak, dan lain-lain), ikan air tawar (seperti ikan lele, nila, patin, dan lain-lain) sudah banyak diproduksi di beberapa daerah di perairan pesisir. Faktor kendala atau kelemahan terkait dengan bahan baku yaitu bahan baku yang bisa di adakan akan disimpan dimana, tempat menyimpanan sementara (gudang/cool box) umumnya tidak dimiliki oleh pengusaha
pengolah
ikan
pada
umumnya.
Kemudian
keterampilan/keahlian serta peralatan untuk mengolah bahan baku lain juga tidak dimiliki. Kemudian faktor ekternal yang mempengaruhi industri pengolahan ikan terkait dengan pengadaan bahan baku adalah faktor peluang. Faktor peluang yaitu permintaan pasar tradisional (pasar desa) maupun pasar 118
moderen (pasar swalayan di kota) untuk produk pengolahan setengah jadi maupun produk akhir siap konsumsi yang memenuhi standarisasi keamanan pangan masih cukup banyak dan umumnya belum terpenuhi. Permintaan akan produk olahan ikan yang cederung meningkat ini seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan kenaikan tingkat kesejahtraan masyarakat. Peluang untuk mengembangkan industri pengolahan dari aspek bahan baku yaitu potensi ikan laut maupun ikan air tawar yang dapat diproduksi di tempat-tempat pendaratan ikan (TPI) yang agak jauh dari pusat industri pengolahan ikan. Kemudian bahan baku impor dalam bentuk bahan mentah maupun bahan setengah jadi dengan kualitas yang lebih baik, produk tersebut dapat dengan mudah dipesan dan dengan harga relatif lebih murah. Jaringan komunikasi antar pasar produk olahan ikan maupun bahan baku telah ada di setiap wilayah. Selanjutnya
yang
menjadi ancaman dalam mengembangkan produk olahan makanan dari bahan baku ikan adalah produk makanan yang berbahan baku ikan banyak membanjiri pasar di dalam negri terutama di pasar swalayan. Oleh karena itu, pengadaan bahan baku yang diharapkan dalam upaya mengembangkan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan adalah : 1) Pengadaan tempat penyimpanan sementara
bahan baku ketika
musim ikan dengan cara sewa atau membeli, atau mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi ketika musin ikan. 2) Pada saat tidak musim ikan mengembangkan jaringan komunikasi untuk pengadaan bahan baku diluar TPI/pasar ikan terdekat. 3) Membuat kontrak/kerjasama pengadaan bahan baku ikan laut/ikan hasil budidaya dengan para pedagang ikan/nelayan/petani ikan di daerah terdetekat maupun yang jauh dengan sentra produksi pengolahan. 4) Diversifikasi pengadaan bahan baku lokal dan impor guna melakukan mengembangkan penganekaragaman produk olahan berbahan baku ikan seperti produk olahan import. 119
c. Sarana dan Prasarana Kabupaten Cilacap sebagai sentra Ikan Kering, Ikan segar, Kerupuk membutuhkan:
Ice crusher, Chest
frezeer, Peralatan
pengolahan, Mesin pembuat sosis, Meat bone sparator, Cold storage. Kebijakan dari Pemerintah Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Provinsi Jawa Tengah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menaruh perhatian besar pada : Mengembangkan menyalurkan bantuan secara simbolis bernilai kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah/pemasar hasil perikanan seperti yang telah dilakukan
di
Kabupaten Brebes Dalam upaya
mendorong
pengembangan
berbahan baku ikan laut di Kabupaten Brebes,
industri
makanan
KKP berencana
membangun sistem rantai dingin dan ketersediaan cold storage dalam menjamin ketersediaan pasokan bahan baku bagi industri pengolahan ikan. Di beberapa Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan sentra-sentra pengolahan telah dipasilitasi dengan Sarpras agar dapat mampu menunjang Sistem Logisitik Ikan Nasional. Di beberapa daerah telah di bangun dan akan di bangun cold storage sebagai tempat penyimpanan ikan
di
sentra-sentra
pengolahan ikan
agar
dapat
menunjang
pengemangan industri pengolahan ikan KKP juga mengembangkan program revitalisasi sarana dan prasarana lain untuk penunjang pelabuhan perikanan yang memadai, dapat meningkatkan efektivitas rantai suplai ikan sehingga dapat meningkatkan daya saing produk perikanan di pasar domestik maupun ekspor. Revitalisasi pelabuhan perikanan yang dapat menjamin pasokan ikan serta peningkatan kapasitas industri pengolahan hasil perikanan. Selanjutnya KKP juga mengembangkan pengawasan sistem jaminan mutu dan traceability (ketelusuran) produk hasil perikanan dan jaminan akan ketersediaan bahan baku industri 120
d. Teknologi Faktor internal dan ekternal terkait dengan pengembangan teknologi industri makanan berbahan baku ikan laut yaitu perilaku/budaya yang higinies, peralatan yang dimiliki, permintaan pasar, dan kebijakan pengawasan sanitasi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut. Jenis teknologi yang diperlukan dalam pengembangan indusrti makanan berbahan baku ikan yaitu teknologi pengemasan dan penanganan limbah.
proses pengolahan,
Pengembangan penerapan
teknolgi dalam industri makanan berbahan baku ikan laut tentu untuk waktu sementara akan meningkatkan biaya produksi yang menyebabkan industri pengolahan menjadi tidak efisien. Oleh
karena
itu,
dalam
mengembangkan
usaha
industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan, para pengolah harus selalu berusaha berorientasi pada IPTEK agar produk yang dihasilkan dapat bersaing dengan produk yang dihasilkan pengusaha dalam maupun luar daerah.
Pemerintah
selaku
fasilitator
dan
dinamisator
dalam
mengembangkan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan sekala kecil menengah harus melakukan upaya meningkatkan budaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) antara lain dengan memberikan pelatihan dan bimbingan teknis (bintek) kepada masyarakat pengolah sehingga tumbuh perilaku berbudaya IPTEK. Kemudian pemerintah juga
harus
mengembangkan sistem
fasilitasi/insentif kepada para pengusaha pengolahan ikan yang memiliki potensi/kemampuan mengembangkan teknologi. Selanjutnya melakukan pendampingan
dan
evaluasi
pengembangan
industri
pengolahan
makanan berbahan baku ikan untuk dikembangkan lebih lanjut. Sebelum masyarakat pengolah melek dan berperilaku budaya teknologi, program pendampingan/penguatan tersebut
sebaiknya tidak
diberhentikan. Bersamaan dengan upaya peningkatan berbudaya IPTEK kepada
para
pengolah
ikan,
pemerintah
juga
harus
melakukan
pengembangan sosialisasi kepada para konsumen akan manfaat produk 121
makanan berbahan baku ikan bagi kesehatan dan kesejahtraan manusia, sehingga akan meningkatkan permintaan produk makanan berbahan baku ikan. Jika masyarakat sudah gemar dan berbudaya makan ikan (mananan berbahan baku ikan) diharapkan akan meningkatkan permintaan produk industi makanan berbahan baku ikan.
e. Tenaga Kerja Untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan selama ini dibutuhkan permodalan dengan bunga yang ringan hal ini disebabkan Usaha Kecil dan Menengah yang ada membutuhkan modal kerja rangkap tiga dimana hasil olahan ikan yang dipasarkan pada umumnya tidak semuanya dibayar secara lunas, tetapi beberapa hari kemudian baru dibayarkan itupun harus disetori lagi dan begitu seterusnya, sehingga modal yang dibutuhkan harus berlipat ganda., Kondisi yang demikian ini sudah berlangsung lama hingga sekarang. Untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan tidak diperlukan tenaga ahli, tetapi permodalan yang cukup, dimana untuk pembelian ikan segar melalui Tempat Pelelangan Ikan harus dibayar secara kontan, tetapi hasil produksi pengolahan apabila dijual dipasar tidak dibayar secara kontan, tetapi dibayarkan secara bertahap, itupun harus dikirim barang lagi baru dibayarkan sebagian, untuk pengusaha pengolah membutuhkan permodalan yang besar untuk itu diperlukan adanya campur tangan pemerintah untuk membuka jaringan dengan lembaga keuangan seperti Bank sehingga bunganya yang lebih murah. Waktu yang dibutuhkan para pengusaha pengolah ikan untuk memproses ikan menjadi ikan olahan mulai dari pembersihan ikan, pemotongan, penggaraman ikan, pemasakan ikan, pengepakan ikan, hingga dinaikan diatas kendaraan waktu yang dibutuhkan selama 8 jam setiap hari untuk mengolah ikan,. dimana upah yang diberikan kepada pekerja rata-rata Rp. 25.000. setiap harinya. Semuanya pekerjaan sifatnya borongan sehingga kalau bekerjanya secara cepat dapat selesai maka akan mendapatkan upah lebih banyak lagi. 122
Tenaga kerja untuk mengolah ikan bekerja tidaknya sangat tergantung ada tidak ikan. Jika tidak ada ikan maka tidak bekerja. Disamping cara bekerjanya dilakukan secara borongan dimana ikan dihitung secara beratnya, adapula yang dilakukan secara per keranjang diluar itu tidak ada insentif yang diberikan oleh pengusaha pengolah ikan. Dengan demikian, tenaga kerja sebagai pengolah ikan tidak memikirkan peraturan tenaga kerja tetapi yang penting mereka bisa bekerja dan mendapatkan upah setiap harinya, karena kalau tidak bekerja tidak dibayar. Tenaga kerja yang ada selama ini mempunyai prinsip dari pada dirumah menganggur hanya menunggu suaminya pergi melaut mencari ikan maka lebih baik sang isteri nelayan memanfaatkan waktu yang luang untuk bisa bekerja, sehingga dapat menambah penghasilan keluarga. Yang mendapatkan pelatihan untuk pengolahan ikan adalah para anggota kelompok pengolah ikan dimana hasil pelataihannya dapat digunakan untuk mengembangkan usahanya sebagai pengolah ikan. Mengingat kesibukan para pengusaha pengolah ikan setiap harinya maka untuk itu yang dikirimkan untuk mengikuti pelatihan pengolahan ikan hanya perwakilan saja sesuai dengan hasil musyawarah para anggota kelompok pengolah ikan dan tergantung dari jenis pelatihannya dalam bidang pengolahan ikan apa yang dibutuhkan. Yang dibutuhkan untuk pelatihan pengolahan ikan adalah pelatihan cara mengolah ikan yang memenuhi persyaratan kesehatan mulai dari pembersihan ikan, pemotongan ikan, penggaraman ikan yng benar, pengepakan ikan yang benar, pemasakan ikan yang benar, dan penyimpanan ikan agar tidak cepat busuk, serta dihindari dengan pemakaian formalin sehingga hasil pengolahan ikan dapat dikumsumsi oleh konsumen dengan sehat . f. Modal Masalah permodalan bagi pengusaha ikan bukan merupakan kendala bagi seluruh pengusaha ikan olahan, besar kecilnya modal sangat tergantung pada skala usaha ,pasar yang dijangkau, ketersediaan 123
bahan baku, dan rantai pemasaran, sistem penjualan. Perputaran modal pengusaha ikan olahan bervariasi ada yang cepat ada pula yang lama, ini sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku, ketika bahan baku sulit didapat maka modal banyak tertanam pada persediaan bahan baku ikan sebaliknya jika bahan baku mudah diperoleh maka modal yang dibutuhkan untuk membeli bahan baku relative tidak besar, panjang pendeknya rantai pemasaran juga menentukan besar kecilnya modal. Ketika rantai pasarnya panjang modal yang ditanam relative besar karena jangka waktu pemabyaran memakan waktu yang lama, sebaliknya jika rantai pemasarannya pendek maka modal yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Untuk ikan kering modal yang dibutuhkan adalah modal tempat usaha dan modal kerja, modal kerja yang dibutuhkan relatif tidak terkendala mengingat sistem penjualannya tunai, pasar yang dijangkau local dan regional, bahan bakunya relatif mudah di peroleh. Ikan asap, modal yang dibutuhkan relatif kecil mengingat bahan baku mudah diperoleh, sebagian besar berbahan baku ikan segar, proses produksi relatif singkat, skala usaha kecil, pasar yang dijangkau adalah pasar lokal Ikan Pindang, bahan baku yang dibutuhkan relatif banyak, skala usaha sedang, pasarnya regional, sistem pembayaran menggunakan tenggang waktu mengingat penjualan dari pengusaha tidak langsung pada konsumen tetapi kepada pedagang pengepul. Surimi, merupakan olahan ikan yang merupakan bahan baku antara (sebagai bahan baku filet, bakso, nugget dsb), membutuhkan peralatan yang relatif mahal, bahan baku bisa ikan segar bisa ikan dingin, pemasarannya bersifat nasional, sehingga pengusaha membutuhkan modal tempat usaha dan modal kerja relative besar. Terasi merupakan produk ikan/udang/rebon yang difermentasi, proses produksinya memakan waktu yang agak lama, produk dibuat sesuai pesanan, pasarnya nasional, namun demikian modal yang dibutuhkan tidak begitu besar. 124
Para pengusaha pengolah ikan kering, ikan asap, ikan pindang, surimi dan terasi merupakan usaha skala mikro, kecil dan menengah merupakan
usaha
keluarga
yang
turun
temurun
dan
umumnya
mengandalakan pada modal sendiri. Namun rata-rata kurang tertib administrasi mengingat usaha keluarga susah untuk memisahkan kekayaan pribadi dan kekayaan perusahaan, kualitas SDM rendahm dana banyak diinvestasikan ke dalam kebutuhan pribadi bukan inve pada keperluan perusahaan. Pemerintah melalui lembaga perbankan dan non perbankan serta melalui anggaran pemerintah pusat maupun daerah memfasilitasi bantuan permodalan kepada pengusaha makanan ikan olahan, namun para pengusaha skala mikro, kecil, dan menengah perlu mewaspadai kehadiran pengusaha ikan bermodal besar, dan arus global mengingat pemerintah susah membatasi impor ikan segar maupun ikan olahan. g. Pasar Pengusaha ikan olahan masih banyak terkendala pada bahan baku(bahan baku impor ataupun penyimpanan bahan baku masih lemah), sehingga sering mengganggu pengusaha ikan olahan. Pengusaha ikan olahan dalam skala mikro dan kecil masih menggantungkan pasar local dan
regional,
sehingga
ketika
pasar
tradisional
tidak
dijaga
kelangsungannya maka bukan tidak mungkin pengusaha ikan olahan menjadi gulung tikar. Oleh karena itu disamping dilakukan inovasi dan peningkatan ketrampilan memproduk ikan olahan maka perlu adanya inovasi pengolahan dan peningkatan produk serta pemasaran. Pada pemasaran ikan kering
disamping kualitas produk juga
diperlukan inovasi kemasan produk, saluran distribusi, sesuai dengan bentuk produk yang tahan lama maka perlu dikembangkan saluran distribusi mulai dari produsen, pedagang besar, pedagang kecil,sampai pada konsumen. Pasar ikan kering bisa dikembangkan menjadi skala nasional bahkan ekspor.
125
Pada pemasaran hasil Ikan asap yang perlu diperhatikan adalah proses produksi, kemasan dan kualitas produk. Hasil olahan jenis ini ratarata hanya memiliki pasar tradisional lokal. Hasil olahan dari produsen biasanya dipasarkan sendiri ke pasar-pasar tradisional yang jaraknya relatif tidak jauh dari tempat produsen, namun dengan kemudahan transportasi bisa dikembangkan pada skala regional. Jenis produk Ikan Pindang banyak diminati oleh masyarakat, namun demikian kemasan dan tampilan produk dari waktu kewaktu relatif tidak mengalami perubahan, produk tidak tahan lama tetapi pasarnya berskala regional, oleh karena itu dalam pengembangan produk ini diperlukan pedagang besar, pedagang kecil dan pengecer. Mengingat produk tidak tahan lama maka yang dibutuhkan adalah ketersediaan transportasi yang memadai sehingga produk sampai dengan konsumen tidak mengalami kerusakan. Produk Surimi merupakan produk olahan generasi baru, pasarnya sangat luas, peralatan yang dibutuhkan semi modern, kualitas dan kemasan produk sudah dirancang dan diciptakan secara baik, sehingga lembaga pemasarannyapun sudah tertata rapi, kebanyakan produk ini masuk pada pasar modern. Produk terasi merupakan produk hasil fermentasi , kemasan produk dari yang bersifat tradisional sampai pada kemasan modern sudah ada, pasarnya berskala nasional karena sifat produk ini tahan lama, sehingga pasarnya bisa dirancang mulai dari produsen, pedagang besar, pedagang kecil samapai pada konsumen. Pasarnya pun bisa melalui pasar tradisional maupun pasar modern.
126
BAB IV SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN A. Sinergi Koordinasi Kelembagaan Program 1. Kerangka Sinergi Koordinasi Penelitian
ini
merupakan
upaya
membangun
konsep
pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah dengan menganalisis berbagai hal. Penelitian ini sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya pengembangan industri tersebut dalam rangka meningkatkan daya saing di pasar nasional maupun global. Ada beberapa pemangku kepentingan
yang perlu diperhatikan dalam mencapai
keberhasilan pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut, mulai
dari
instansi/lembaga
pemerintah
maupun
swasta
yang
mengeluarkan kebijakan pengembangan industri makanan, lembaga permodalan, lembaga penyediaan bahan baku, lembaga/instansi penyedia sarana dan prasarana usaha, lembaga penyedia tenaga kerja, lembaga penghasil teknologi sampai lembaga pemasaran. Dalam analisis kelembagaan, masing-masing lembaga yang terkait dengan pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut tersebut harus menjadi variabel dalam upaya pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut tersebut dilakukan. Ketujuh lembaga/instansi/bidang/sub bidang terkait pengembangan industri pengolahan berbahan baku ikan di atas melakukan penilaian sendiri untuk melakukan sinergi koordinasi kelembagaan berdasarkan kendala dan prospek pengembangan. Institusi terkait dengan kebijakan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut. Terdapat dua aspek penting dalam kebijakan, yaitu mengenai bagaimana kelembagaan dalam industri dan bagaimana tata kelola industri diatur. Sedangkan indikator kebijakan meliputi adanya regulasi atau aturan yang ditetapkan secara formal, dukungan dari pemerintah dan pemerintah daerah serta fasilitasi pemerintah dan pemerintah daerah terhadap industri pengolahan ikan.
127
Instansi
yang
berhubungan
dengan
bahan
baku
industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan laut, dikelompokkan menjadi 2, yaitu lembaga penyedia bahan baku utama, dalam hal ini ikan dan bahan pendukung. Bahan baku ikan, dilihat dari indikator berupa: Jumlah ikan yang didaratkan, jenis ikan, mutu ikan, waktu ikan didaratkan, asal ikan ditangkap, alat tangkap yang digunakan, fasilitas penyimpanan ikan di kapal, dan harga ikan sebagai bahan baku penunjang industri. Sedangkan lembaga penyedia bahan baku penunjang, dalam hal ini terdiri dari Garam, Es Balok/Curah, air bersih dan beberapa jenis lainnya dilihat dari indkator: Jumlah, Jenis, Harga, Lokasi bahan baku penunjang tersebut tersedia. Kelembagaan terkait dengan penyediaan sarana dan prasarana industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut. Sarana produksi makanan olahan berbahan baku ikan laut, dalam hal ini berupa bangunan, peralatan, bahan Prasarana transportasi,
yang
lain, dan obatāobatan, serta sanitasi lingkungan. digunakan
dalam makanan
olahan,
yaitu
jalan,
dan penerangan. Indikator dalam sarana dan prasarana
adalah tingkat pemenuhan bangunan, jalan, energi, air dan sarana penunjang lainnya. Pemangku kepentingan yang berhubungan dengan lembaga penyedia dan penghasil teknologi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut. Teknologi adalah segala macam peralatan dan metode/cara yang digunakan dalam keseluruhan rangkaian produksi pengolahan ikan laut. Teknologi menjamin adanya kontinuitas produksi, keseragaman kualitas, packing, labeling, dan lain-lain, Indikator teknologi adalah ketersediaan alat, dan cara sesuai dengan permintaan dan kebutuhan produksi memenuhi permintaan pasar. Lembaga penyedia tenaga kerja industri pengolahan makanan berbahan
baku
ikan
laut
bertangung
jawab
terhadap
aspek
ketenagakerjaan. Tenaga kerja pada sektor pengolahan ikan adalah seluruh orang, baik karyawan maupun manajer yang terlibat secara langsung dalam proses pengolahan ikan. Mata pencaharian utama 128
mereka adalah pada sektor pengolahan ikan. Indikator tenaga kerja dalam hal ini ialah pekerjaan utama atau lama bekerja pada pengolahan ikan, tingkat pendapatan dan tingkat penyerapan sektor industri pengolahan ikan terhadap tenaga kerja. Sedangkan secara individu meliputi kualitas (tingkat pendidikan, ketrampilan, kompetensi), komitmen, etos kerja dan motivasi. Lembaga permodalan bertugas untuk mendukung kegiatan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut yang terdiri dari Bank pemerintan maupun swasta. Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis sebagai masukan pada pendirian industri maupun
proses
permodalan
pengolahan
adalah
atau
bagaimana
operasional
kondisi
produksi.
permodalan,
Indikator
akses
untuk
memperoleh modal, sumber modal, kemudahan lembaga keuangan dalam memberikan pinjaman dan lain-lain. Aspek finansial sangat penting untuk diperhatikan, karena setiap kegiatan usaha selalu membutuhkan dana untuk menjalankan usaha yang meliputi permodalan, pembiayaan gaji karyawan, operasional lainnya, penerimaan dan analisis finansial. Organisasi lain yang tekait dengan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut yaitu lembaga pemasaran, lembaga ini merupakan aspek penting dalam rangka menciptakan kesinambungan proses produksi (sustainability of production process). Terdapat 3 pertanyaan mendasar yang timbul dalam memasarkan (menyalurkan) produk dari produsen sampai kekonsumen, yaitu : ļ·
What : Jenis produk apa yang akan disalurkan ?
ļ·
Who : Siapa yang akan menyalurkan produk tersebut ?
ļ·
How : Bagaimana cara menyalurkan jenis produk tersebut ? Aspek pasar dan pemasaran merupakan salah satu aspek yang
sangat penting. Hal ini dikarenakan aspek pasar dan pemasaran sangat menentukan hidup matinya perusahaan atau setiap kegiatan usaha (Kasmir dan Jakfar, 2003).
129
Ketujuh lebaga tersebut pada taham awal melakukan analisis status
dan
posisi
masing-masing,
kemudian
mengidentifikasi
permasalahan pengembangan industri makanan berbahan baku ikan, selanjutnya menentukan tahapan rencana kerja, dan dilanjutkan dengan melakuka aksi dan evaluasi untuk engembngan lebih lanjut. Hal ini harus dilakukan setiap saat ketika terjadi perubahan permintaan akan produk industri makanan berbahan baku ikan yang diinginkan konsumen. 2. Indikator Keberhasilan Sinergi Industri makanan berbahan baku ikan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.19/Men/2010 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan dalam pasal 1 dijelaskan bahwa pengolahan ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Kemudian dalam Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor: Per.09/Dj-P2hp/2010 Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, dan Format Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Pasal 1 dijelaskan bahwa Pengolahan Ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku. Pengolahan ikan wajib memenuhi persyaratan umum hyangiene, prosedur yang baik, sarana dan parasarana yang baik, pengemasan dan proses pemasaran yang memenuhi standar higienitas. Secara garis besar, industri pengolahan ikan laut dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok pengolah ikan serta kelompok penambahan nilai ikan. Kelompok pengolah ikan merupakan upaya melakukan pengawetan ikan secara tradisional dengan hasil akhir masih berupa ikan, terdiri dari pemindangan, pengeringan/penggaraman, pengasapan/pemanggangan.
Sedangkan
penambahan
nilai
ikan
merupakan hasil olahan turunan dari ikan baik dari daging, kulit maupun tulang ikan. Kelompok ini terdiri dari surimi (daging ikan giling) dan
130
turunannya seperti bakso ikan, nugget ikan, otak-otak, kaki naga, kerupuk ikan, terasi dan olahan lainnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal PPHP melakukan pembinaan terhadap industri pengolahan ikan dengan mengembangkan sentra-sentra pengolahan ikan di seluruh Indonesia. Konsep tersebut merupakan aplikasi dari paradigma baru pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan dengan arahan; 1). lokasi/kawasan tempat pengolahan ikan dengan sebagian besar produk olahan yang sama,
2).
jumlah
pengolah
yang
memenuhi
persyaratan/cukup,
3).pasokan bahan baku yang cukup dan adanya akses pasar/tujuan pemasaran, 4). bersedia dijadikan lokasi/kawasan sentra pengolahan, dan 5). program pengembangan sentra tidak harus bangunan fisik, tapi dapat berupa bantuan bintek, peralatan dan sarana penunjang lainnya, Sampai dengan tahun 2012, di Jawa Tengah telah ditetapkan sebanyak
5
daerah
Kabupaten/Kota
sebagai
penerima
program
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan (PHP). Tabel.4.1 Lokasi Program Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan dari Kementerian Kelautan & Perikanan di jawa Tengah sampai Tahun 2012 No Kab/Kota Jenis Olahan Tahun 1
Kota Tegal
Fillet Ikan Laut
2006, 2007
2
Kab. Boyolali
Olahan Lele
2008, 2011
3
Kab. Jepara
Panggang Ikan Laut
2008
4
Kab. Pati
Fillet Ikan Laut
2010, 2011
5 Kab. Demak Panggang Ikan Laut Dan Lele 2010, 2011 Sumber: DInas Kelautan dan Perikanan Prov. Jateng 2012 Namun demikian, dalam pelaksanaannya untuk dapat mewujudkan target dan sasaran pengembangan masih terdapat berbagai kendala, baik di 5 wilayah tersebut maupun wilayah lainnya. Persoalan utama adalah penyediaan lahan yang sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain persoalan sumberdaya tersebut, hasil evaluasi sementara terhadap sentra-sentra yang ada adalah belum optimalnya penggunaan sarana yang ada karena budaya atau kebiasaan, belum mampunya SDM 131
pengelola untuk menerapkan perilaku bersih, belum ada jaminan dalam kontinuitas /ketersediaan bahan baku, serta terbatasnya akses pasar untuk produk yang dihasilkan. Dalam era globalisasi ini, tentu peningkatan daya saing industri sangat diperlukan. Selain potensi perikanan yang besar, permintaan dalam negeri maupun luar negeri terhadap produk ikan sebagai sumber nutrisi cukup tinggi. Dengan demikian sangat disayangkan apabila potensi tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Kebutuhan mengembangkan pengolahan ikan berkaitan erat dengan pengembangan perekonomian daerah di Jawa Tengah. Untuk dapat melakukan itu, ada beberapa prasyarat yang cukup penting untuk dipenuhi. Untuk dapat bersaing, ada potensi keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap UKM untuk dapat bersaing di pasar dunia. Penguasaan teknologi, SDM dengan kualitas tinggi, etos kerja, kreatifitas dan motivasi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi, kualitas dan mutu barang yang dihasilkan, promosi yang luas dan agresif, sistem nanajemen dan struktur organisasi yang baik, pelayanan teknis maupun nonteknis yang baik, adanya skala ekonomis dalam proses produksi, modal dan sarana serta prasarana yang cukup, jaringan bisnis dalam dan luar negeri dan proses produksi tepat waktu, serta jiwa entrepreneurship yang tinggi merupakan faktor keunggulan UKM (Tambunan, 2002;29). Untuk menyikapi hal tersebut, UKM terutama pengolahan makanan berbahan baku ikan laut harus mampu menghadapi berbagai persoalan mendasar. Menurut studi yang dilakukan oleh BPS dalam Tambunan (2002; 73-80) bahwa kesulitan utama yang dihadapi industri kecil maupun industri rumah tangga di Indonesia (termasuk makanan olahan berbahan baku ikan laut) adalah masalah kesulitan pemasaran, masalah finansial, SDM, bahan baku dan teknologi. Kesulitan pemasaran yang dihadapi UKM pada umumnya adalah persaingan dengan usaha besar dan impor di dalam negeri maupun di pasar ekspor, karena tidak mampu menjual pada harga pasar dan kualitas serta pelayanan yang kurang baik, selain itu, minimnya informasi pasar 132
juga mempengaruhi UKM, serta isu-isu global yang harus diperhatikan seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi, hak buruh, pekerja anak, dengan standard yang tidak mampu dipenuhi oleh UKM di Indonesia, serta kebijakan dumping dan sebagainya yang merugikan industri dalam negeri. Sedangkan dalam masalah finansial, terdapat masalah mobilisasi modal awal serta akses ke modal kerja dan finansial demi pertumbuhan output jangka panjang. Untuk mengakses dana perbankan UKM mengalami kesulitan karena jarak, persyaratan, urusan administrasi, dan kurangnya
informasi
para
pelaku
UKM
terhadap
pembiayaan.
Kebanyakan industri kecil dan rumah tangga menggunakan uang dari modal sendiri dibanding dana pinjaman perbankan, terutama industri makanan, minuman, dan sebagainya. Keterbatasan SDM dialami UKM dalam
aspek
entrepreneurship,
manajemen,
teknik
produksi,
pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data prosesing, teknik pemasaran dan penelitian pasar. Rendahnya pendidikan pekerja UKM menjadi penghambat di mana lebih dari 50% hanya berpendidikan dasar atau tidak tamat sekolah. Minimnya pelatihan ketrampilan, pendidikan dan kursus juga menjadikan lemahnya kualitas SDM. Masalah bahan baku berupa kelangakaan bahan atau mahalnya harga bahan baku yang tak terjangkau, kualitas yang rendah serta kurangnya pemenuhan. Teknologi yang rendah menyebabkan produktifitas rendah, kualitas yang rendah, kuantitas yang rendah, dan kurangnya efisiensi dalam produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Terbatasnya modal investasi, keterbatasan informasi teknologi serta rendahnya kualitas SDM yang mampu mengoperasikan teknologi baru, rendahnya inovasi juga menghambat penguasaan teknologi, sehingga sulit bersaing di pasar global. Selain persoalan-persoalan di atas, ada beberapa isu strategis yang menjadi sorotan Dinas Perikanan Provinsi Jawa Tengah saat ini, yaitu :
1) Jaminan Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Lemah, 133
mencakup; Kapasitas Otoritas Kompeten (Pusat dan Daerah) yang belum jelas; Regulasi tidak mutakhir dan tidak komprehensif; Tidak semua pelaku āsadarā mutu dan keamanan pangan;
Nelayan/ pembudidaya/
UMKM pengolahan kesulitan menerapkan standar mutu yang ditetapkan; 2) nilai susut Hasil tangkapan ikan masih tinggi (27,8 %), hal ini terkait dengan: apresiasi terhadap mutu hasil masih rendah; Kurangnya pengetahuan pelaku (termasuk petugas) akan penerapan sistem rantai dingin Terbatasnya sarana prasarana (terutama pabrik es, air bersih) sistem rantai dingin; 3) Tingkat Utilitas Industri masih Rendah (<50%), hal ini behuhungan dengan : Kuantitas (IUU, BBM, lokasi kurang tepat); Kualitas (85% produksi oleh nelayan skala kecil dan produk tersebut kurang memenuhi standar bahan baku); Kurang kerjasama antara industri penangkapan/budidaya dengan industri pengolahan;
4) Penggunaan
Bahan Ilegal Marak yang erat dengan masalah : Penggunaan formalin dan Penggunaan air keras; 5) Pola Dan Jenis Produksi Hasil Perikanan Tidak Berubah, hal ini terkait dengan : sifat usaha masih tradisional (selalu kering, pindang, fermentasi, dll); industri modern (selalu beku dan kaleng); Investasi dalam pengembangan produk terbatas; Iptek pengembangan produk kurang dikuasai; dan 6) Pola Konsumsi Ikan Tidak Berubah, hal ini berhubungan dengan : perhitungan angka konsumsi belum tepat sehingga konsumsi sebenarnya tidak diketahui; pola konsumsi yang rendah dan tidak merata; Intensitas promosi rendah. Disampng kendala internal di atas, terdapat faktor ektsernal yang sangat berpengaruh, yaitu: Meningkatnya persyaratan dan standar mutu di tingkat internasional; Persaingan produk ketat (ancaman negara pesaing: Vietnam, Thailand dan Malaysia); Pasar cenderung tetap (UE, Jepang, USA), pasar baru kurang dijajaki; dan Hambatan tarif dan kecenderungan FTA. Keberhasilan pengembangan industri pengolahan berbahan baku ikan laut di Tawa Tengan akan sebanding dengan seberapa banyak (tingkat perkembangan) dalam memecahkan kendala dan hambatan pengembangan tersebut. 134
3. Perkembangan Sinergi Koordinasi Pemerintah
pusat
dan
pemerintah
daerah
terus
berupaya
mengembangkan produksi dan nilai produksi ikan melalui berbagai program fasilitasi. Baik perikanan budidaya maupun perikanan tangkap mengalami peningkatan produktifitas dan nilai jual dari tahun 2010 sampai tahun 2011, dan pada tahun 2012 ditargetkan terus mengalami peningkatan cukup tinggi. Hasil olahan ikan ditargetkan mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu mencapai 5 kali lipat dari kondisi tahun 2011, sebagaimana ditampilkan tabel 4.2 di bawah ini. Tabel 4.2 Capaian dan Target Hasil Perikanan di Jawa Tengah No 1 2 3
Indikator Volume Produksi Perikanan Budidaya Volume Produksi Perikanan Tangkap Volume Produksi Ikan Hasil Olahan
Capaian Target Tahun 2010 189.000
Volume ( Ton ) Capaian Target Tahun 2011 244.545
Target Tahun 2012 348.901
212.635,1
249.592,4
270.039
134.891
171.290
607.260
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2012 Sentra pengolahan ikan tidak terdapat di semua daerah penghasil ikan, hanya sebagian yang menghasilkan dan mengolah. Untuk pengolahan ikan terdapat sekitar 7.854 industri kecil dan menengah yang bergerak dalam bidang pengolahan ikan laut yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Kabupaten Jepara dan Rembang merupakan wilayah yang memiliki jumlah industri pengolahan ikan terbesar di Jawa Tengah. Industri pengolahan ikan di Jawa Tengah didominasi oleh industri skala UMKM yang memiliki jangkauan pasar lokal serta beberapa kota lainnya di pulau Jawa. Di Jawa Tengah terdapat beberapa industri besar yang telah memilki pangsa pasar mapan di luar negeri. Kualitas produk olahan tersebut telah memenuhi semua standar mutu keamanan pangan, namun selama ini belum terjalin kerjasama dengan UKM/IKM untuk lebih berkembang.
135
Tabel 4.3. Perusahaan Pengolah Ikan Ekspor di Jawa Tengah No 1 2
Nama
Alamat
Produk
Pasar
PT. Aorta PT. Aquafarm Nusantara PT. Blue Sea Industry PT. Cassanatama Naturindo PT. Indosigma Surya C PT.Jui Fa International Food PT. Kusuma Sui San Jaya PT. Maya Food Industri
Semarang Semarang
Udnag Beku Fillet, kulit ikan, ikan beku
Pekalongan Semarang
Surimi Beku Kerupuk Udang
Semarang Cilacap
Belanda Thailand, USA
Cilacap
Kerupuk Udang Tuna Kaleng, Tuna Pouch, Frozen Ubur-ubur kering
Pekalongan
Ikan Kaleng, Sardine
PT. Misaja Mitra PT. Nam Kyung Korea Indonesia PT. Philips Seafood Indonesia
Pati Pekalongan
Udang Beku Surimi Beku
Malaysia, Hongkong, Ghana, Kamboja, Singapura, Kinshasa, Chile, Haiti, Togo, Jepang, Nigeria Taiwan, Korea Taiwan, Korea
Pemalang
Rajungan kaleng
12
PT. Seafer General Foods
Kendal
13
PT. Sinar Bahari Agung
Kendal
Udang Beku, Paha Katak Beku, Lele, Beku, Bandeng Beku, Fillet Nila Surimi Beku
14 15
PT. Telaga Godeli PT. Tongatiur Putra
Semarang Rembang
16
PT. Toxindo Prima
Cilacap
17 18
PT. Wako PT. Windika Utama
Semarang Semarang
3 4 5 6 7 8
9 10 11
Ikan Segar Rajungan Kaleng, Ikan Kering, Crab Cake, Daging Kerang, Himega, Kepiting Beku, Teri Nasi, Udang Beku, Fillet Tilapia, Cumicumi, Ikan Selar Kuning Udang Beku, Bawal Beku, Lobster Beku, Layur Beku Teri Nasi Rajungan kaleng, Crab Cake
Jepang USA, Jerman, Belanda, Perancis Taiwan, Korea Belanda, Inggris, Belgia
China , Malaysia, Taiwan
Malaysia, Thailand, India, Australia, Dubai, Inggris, kanada Belanda, Inggris, Belgia
Singapura, Malaysia, Taiwan Singapura USA, Singapura, Jepang, Korea, Rusia, Inggris, Autralia, China, Taiwan, Thailand
Jepang Jepang USA, Singapura, Jepang, Rusia, Inggris, Australia, Korea, China, Taiwan, Thailand
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah Di sisi lain, ada ribuan industri menengah, kecil dan mikro dengan berbagai kesulitan yang mereka hadapi. Mayoritas hanya memenuhi pasar lokal di dalam daerah, ada beberapa yang menjual di luar daerah dan pulau-pulau lain. Potensi industri ini sangat besar dengan melibatkan pekerja cukup banyak, namun daya saing mereka sangat lemah. Pengolahan ikan memungkinkan bertambahnya nilai jual ikan beberapa kali lipat dibanding dengan penjualan segar atau pengawetan sederhana. Pengolahan ikan terdapat di hampir semua daerah kabupaten kota di Jawa Tengah. Di beberapa daerah yang banyak menghasilkan ikan tangkap tetapi sedikit menghasilkan produk ikan olahannya, seperti Kota Tegal dan Kabupaten Pati, di daerah lain seperti Kota Pekalongan 136
lebih
banyak memproduksi
hasil
pengolahan
ikan.
Kemudian
di
Kabupaten Brebes, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Rembang menunjukan jumlah hasil penangkapan maupun produk pengolahan ikannya cukup besar. Para pengolah telah memiliki strategi dalam melihat kondisi kelangkaan bahan maupun peluang pasar. Setiap pengolah memiliki pasar tersendiri dan tidak terdapat standar harga yang sama antar daerah dan antar pengusaha. Perkembangan
sinergi
koordinasi
lembaga/instansi
terkait
pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut ditunjukan dengan dikembangkannya KUD mina dan pendirian ruang pendingin tempat penyimpanan ikan di beberapa daerah seperti di Kota Pekalongan. Pengadaan bahan baku secara bersama antar pengolah dan antar pengelola
tempat pendaratan ikan di Jawa Tengah diperlukan dalam
menghadapi masalah dan tantangan pengembangan usaha pengolahan ikan. B. Pemanfatan Hasil Litbangyasa 1. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan Hasil Kebijakan/Regulasi Pemerintah Agenda pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam peningkatan sektor
perikanan
di
daerah
adalah
melaksanakan
Program
Pengembangan Sumber Daya Perikanan dengan beberapa kegiatan utama yaitu: a. Pembinaan dan Pengembangan Sistem Usaha Perikanan melalui Pengembangan Pola Permodalan dan Investasi Dalam Negeri dan Asing, b. Pengembangan Data dan Statistik Perikanan, c. Penguatan dan Pengembangan Pemasaran Dalam Negeri dan Ekspor Hasi Perikanan melalui Peningkatan Konsumsi Ikan Melalui Program Nasional Gemarikan dan Promosi Produk, Fasilitasi Pembangunan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pemasaran Dalam Negeri dan Pembinaan Ekspor Produk Perikanan, 137
d. Peningkatan Mutu dan Pengembangan Pengolahan Hasil Perikanan melalui Pengembangan Sistem Rantai Dingin (Cool Chain System), Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Pengawasan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan, Peningkatan Kompetensi Lembaga Sertifikasi, Penguatan Kompetensi Laboratorium Penguji e. Penyelenggaraan Revitalisasi Perikanan Dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, Pemerintah porovinsi Jawa Tengah mengagendakan kebijakan berupa: a. Peningkatan daya saing melalui penciptaan iklim yang kondusif, melalui regulasi atau deregulasi serta peningkatan mutu dan keamanan produk b. Pemantapan struktur melalui peningkatan kerjasama kemitraan nelayan dengan industri hasil perikanan dan industri terkait serta akademisi c. Membangun kelembagaan agribisnis perikanan (Akuabisnis) melalui penataan kelembagaan dan ekonomi yang baik, keterpaduan antara pemasok bahan baku, industri pengolahan, serta pemasaran dan upaya terwujudnya produk akhir yang berkualitas dan berdaya saing. Setiap Kabupaten/Kota juga memiliki kebijakan turunan tersendiri, baik yang bersinergi dengan pemerintah pusat maupun provinsi. Namun demikian, berdasarkan temuan lapangan tidak ditemukan adanya kebijakan dan regulasi khusus dari pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya pengembangan industri pengolahan ikan. Sebagian besar regulasi perikanan hanya mengatur mengenai mekanisme tata niaga ikan melalui TPI, sedangkan dalam aspek pengembangan industri makanan olahan tidak terdapat regulasi khusus. Pemerintah Kabupaten/Kota hanya bertugas sebagai fasilitator dan melengkapi kebijakan pemerintah pusat dan provinsi, terutama dalam memberikan bantuan sarana dan prasarana serta pelatihan kepada sebagian kecil pengolah. Sebagian besar program dan kegiatan merupakan implementasi dan duplikasi dari program Kementerian yang berupa pembinaan melalui kelompok-kelompok terbatas. Beberapa 138
kebutuhan utama lainnya seperti permodalan, jaringan pasar, jaringan antar pengolah dan aspek teknologi belum begitu banyak mendapatkan kemajuan dari bantuan pemerintah daerah. Dengan demikian masih diperlukan adanya peningkatan dalam regulasi dan kebijakan serta program-program yang relevan dalam upaya pengembangan kemampuan pengolah. Berdasarkan jawaban pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah dapat menyatakan kurang antusias. Kebijakan-kebijakan yang ada tidak memberikan dukungan secara langsung, di sisi lain kadang pengusaha merasa dihambat karena kebijakan tersebut. Sehingga mereka merasa tersingkir atau tidak mampu berkembang dibanding usaha skala besar. Contohnya peraturan mengenai higienitas, standar keamanan pangan dan aturan mengenai badan usaha tentu sulit untuk dipenuhi olah skala industri rumah tangga, namun di sisi lain tidak adanya upaya konkret pemerintah agar pelaku usaha mampu memenuhi standar tersebut di atas. Sehingga kebijakan pemerintah dirasa justru memberikan ruang bagi usaha skala besar dan importir, bukan memberikan ruang berkembang bagi usaha skala mikro dan kecil. Oleh karena itu, perumusan kebijakan sebaiknya memperhatikan kondisi nyata dari pelaku usaha di lapangan. Beberapa faktor kunci yang dapat menjadi penentu kebijakan dalam peningkatan industri pengolahan ikan. Memahami kebutuhan di tingkat bawah dan sinergi antar pelaku adalah kunci utama dalam memahami kebutuhan dan arah kebijakan. Dalam teori kebijakan, ada proses awal dimana sebuah kebijakan harus menjadi isu bersama, setelah menjadi isu maka akan dirumuskan menjadi sebuah agenda seting kebijakan yang melibatkan segenap unsur. Setelah itu ditetapkan model kebijakan dan secara teknis mengatur pelaksanaannya. Selama ini kebijakan pengembangan pengolahan ikan sifatnya sangat top down, kurang memperhatikan kebutuhan dan kapasitas para pengolah ikan atau masyarakat bawah. Sehingga bentuk-bentuk kebijakan 139
dan hasilnya kurang memberikan dampak yang berarti. Seringkali ada salah sasaran, salah objek, kapasitas yang tidak sesuai dan bantuan yang tidak berdasarkan kebutuhan. Selain tidak berdasarkan pada kondisi dan kebutuhan kebijakan dan program yang dijalankan masih sangat sektoral,. Oleh karena itu perlunya sinergi antar sektor terutama dalam lembaga pemerintahan agar bisa memberikan dampak yang nyata, perlakuan yang lebih komprehensif dan sasaran kebijakan dapat tertata dengan baik.
Penyediaan Bahan Baku Sesuai paturan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Nomor : Kep.025/Dj-P2hp/2012 Tentang Penetapan Jenis-Jenis Hasil Perikanan Yang Dapat Dimasukkan Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia ditetapkan bahwa Bahan Baku Industri Pengolahan Hasil Perikanan yang Menghasilkan Ikan Kaleng hanya boleh mengimpor berupa ikan Sarden (Sardinella spp.), sednagkan untuk industri Ikan Tradisional Berupa Pemindangan hanya boleh memasukkan ikan Salem (Scomber japonicus). Tingkat keberlanjutan usaha pengolahan sangat bergantung pada penyediaan bahan baku ikan setiap harinya. Pengadaan bahan baku oleh pengolah ikan sagat bervariasi, hal ini tergantung dari kapasitas modal yang dimiliki setiap pengusaha untuk pengadaan bahan baku ikan dan tempat penyimpanan & bahan pengawet ikan. Sebagian besar pengolah tidak tentu mengadakan bahan baku. Untuk pengolah ikan pindang, ikan kering, ikan asap umumnya disebabkan didak memiliki tempat dan modal untuk melakukan pengadaan bahan baku terutama pada saat tidak musim ikan. Pola kerjasama antar pengolah dalam pengadaan haban baku tampaknya belum dilakukan. Oleh karena itu permasalahan pengadaan bahan baku salah satu pemecahannya adalah dengan membentuk kerjasama antar anggota kelompok pengolah ikan pindang/asin/asap. Bagi pengolah ikan yang menjawab selalu menjawab mengadakan bahan baku umumnya dilakukan 140
oleh pengolah bakso, nugget, sosis dan beberapa pengolah kerupuk ikan dan terasi, karena umumnya mereka memiliki sarana penyimpanan bahan baku dan modal. Dari
hasil
analisis
faktor-faktor
yang
berpengaruh
pada
pengembangan usaha pengolahan ikan dapat dikelompokan menjadi faktor internal dan ekternal. Faktor yang menjadi potensi atau kekuatan yang berhubungnan dengan
bahan baku adalah ketersediaan ikan
sebagai bahan baku pada saat musim ikan sebenarnya
banyak
didaratkan di Tempat tempat Pendaratan Ikan (TPI) di kota Pekalongan dan sekitarnya yang harganya relatif lebih murah dibanding ketika tidak musim ikan. Sebagai kekuatan lain dalam mengembangkan industri pengolahan ikan yaitu berbagai macam/banyak ragak jenis ikan baik kelompok ikan demersal (ikan petek, ekor kuning, kakap, pari, cucut , dan lain-lain), kelompok ikan pelagis (layang kembung, tenggiri, tongkol, dan lain-lain), Crustaceae/udang-udangan (udang windu, udang krosok, udang rebon, kepiting, udang karang, dan lain-lain), moloska/kekerangan (kerang, simping, siput, dan lain-lain), rumput laut (glasilaria, euchema, see gras, dan lain-lain). Disamping itu produksi ikan air payau (seperti ikan bandeng, nila, udang tambak, dan lain-lain), ikan air tawar (seperti ikan lele, nila, patin, dan lain-lain) sudah banyak diproduksi di beberapa daerah di perairan pesisir. Faktor kendala atau kelemahan terkait dengan bahan baku yaitu bahan baku yang bisa di adakan akan disimpan dimana, tempat menyimpanan sementara (gudang/cool box) umumnya tidak dimiliki oleh pengusaha
pengolah
ikan
pada
umumnya.
Kemudian
keterampilan/keahlian serta peralatan untuk mengolah bahan baku lain juga tidak dimiliki. Kemudian faktor ekternal yang mempengaruhi industri pengolahan ikan terkait dengan pengadaan bahan baku adalah faktor peluang. Faktor peluang yaitu permintaan pasar tradisional (pasar desa) maupun pasar moderen (pasar swalayan di kota) untuk produk pengolahan setengah jadi 141
maupun produk akhir siap konsumsi yang memenuhi standarisasi keamanan pangan masih cukup banyak dan umumnya belum terpenuhi. Permintaan akan produk olahan ikan yang cederung meningkat ini seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan kenaikan tingkat kesejahtraan masyarakat. Peluang untuk mengembangkan industri pengolahan dari aspek bahan baku yaitu potensi ikan laut maupun ikan air tawar yang dapat diproduksi di tempat-tempat pendaratan ikan (TPI) yang agak jauh dari pusat industri pengolahan ikan. Kemudian bahan baku impor dalam bentuk bahan mentah maupun bahan setengah jadi dengan kualitas yang lebih baik, produk tersebut dapat dengan mudah dipesan dan dengan harga relatif lebih murah. Jaringan komunikasi antar pasar produk olahan ikan maupun bahan baku telah ada di setiap wilayah. Selanjutnya
yang
menjadi ancaman dalam mengembangkan produk olahan makanan dari bahan baku ikan adalah produk makanan yang berbahan baku ikan banyak membanjiri pasar di dalam negri terutama di pasar swalayan. Oleh karena itu, pengadaan bahan baku yang diharapkan dalam upaya mengembangkan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan adalah : 1) Pengadaan tempat penyimpanan sementara
bahan baku ketika
musim ikan dengan cara sewa atau membeli, atau mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi ketika musin ikan. 2) Pada saat tidak musim ikan mengembangkan jaringan komunikasi untuk pengadaan bahan baku diluar TPI/pasar ikan terdekat. 3) Membuat kontrak/kerjasama pengadaan bahan baku ikan laut/ikan hasil budidaya dengan para pedagang ikan/nelayan/petani ikan di daerah terdetekat maupun yang jauh dengan sentra produksi pengolahan. 4) Diversifikasi pengadaan bahan baku lokal dan impor guna melakukan mengembangkan penganekaragaman produk olahan berbahan baku ikan seperti produk olahan import.
142
Sarana dan Prasarana Kondisi sarana dan prasarana pengolah ikan yang ada di daerah penelitian menggambarkan kondisi secara umum industry pengolahan ikan di Jawa Tengah yang masih sangat sederhana dan jauh dari memenuhi standar higienitas. Namun demikian, para pelaku usaha tidak merasa kesulitan memproduksi olahan ikan sesuai keinginan konsumen yang mayoritas kelas menengah kebawah. Dari hasil penelitian ini bahwa profil sarana dan prasarana pengolahan ikan di Provinsi Jawa Tengah yang sudah dimiliki antara lain meliputi: Bangunan milik pribadi, Bangunan pendukung, Mendapat dukungan masyarakat, peralatan milik sendiri, peralatan sudah memadahi, pembaruan,
alat-alat
moderen,
memanfaatkan
bantuan
peralatan,
mempunyai peralatan penyimpang frozen, cold storage, air sudah mencukupi, prasarana jalan sudah memadahi. Sebagian besar bangunan pengolahan ikan milik pribadi, sebesar 70 % letak bangunan ini menyatu dengan bangunan induk rumah tingggal dan pemukiman penduduk. Letak bangunan pengolahan ikan sudah mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar dikarenakan sebagian warga masyarakat mempunyai aktifitas pengolah ikan jadi soal poplusi udara yang berbau ikan anggota masyarakat sudah terbiasa. Sanitasi air bersih cukup tersedia dari sumber PDAM dan air tanah dari sumur 60 %, sedangkan pembuangan limbah kotoran ikan dari pengolahan dibuang di saluran pembuangan
air setempat belum ada
treatment pengolah limbah terpadu, sehingga menimbulkan bau yang kurang sedap. Kondisi peralatan pengolahan ikan yang dipergunakan untuk ikan pindang dan ikan asap antara lain berupa kompor gas, air bersih, dandang, besek bambu, garam, frozen, cooll storage, packing sebesar 80% peralatan ini merupakan milik sendiri.. Peralatan tersebut dibuat dan di desain sendiri oleh pengrajin kerjasama bengkel dengan menggunakan teknologi tepat guna. Bantuan dari pemerintah yang berupa peralatan
143
bertehnologi modern sebesar 69 % sangat dibutuhkan oleh pengrajin pengolahan ikan agar tujuan pengolahan ikan berkualitas dan efisien. Sarana jalan dari tempat pengolahan ikan menuju pasar 63 % dalam kondisi baik. Sedang jenis alat transportasi yang dimiliki dan digunakan antara lain: sepeda motor roda dua, viar roda tiga dan mobil box roda empat, dari jenis alat transpotasi sudah mencukupi akan tetapi dikarena kepadatan arus lalu lintas antar kota besar hal ini menyebabkan terjadi keterlambatan pengiriman ikan sampai di pasar sehingga menyebabkan menurunkan kualitas ikan sampai di pasar 10 %. Persoalan sarana dan prasarana memang menjadi hambatan paling besar dalam meningkatkan mutu hasil perikanan. Hampir semua pengolah ikan tradisional belum memiliki sarana prasarana yang memadai sebagai standar keamanan pangan yang baik. Persoalan sanitasi dan higienitas belum bisa diwujudkan dengan sarana dan prasarana yang dimiliki pengusaha. Persoalan lain adalah dalam pengemasan dan pengiriman hasil olahan. Sebagain besar mengalami kesulitan dalam menjaga kualitas produk, baik berupa kelembaban maupun perlindungan dari bakteri. Persoalan pokok sarana dan prasarana pengolahan ikan meliputi rendahnya sanitasi air bersih, rendahnya kualitas bahan baku, pengolahan belum masuk ke sentra pemasaran, pengolahan belum masuk bahan baku dan pemasaran, Di Kabupaten Rembang sebagai penghasil pengolahan ikan pindang mengalami kekurangan tentang sarana dan prasarana, antara lain: bangunan, kompor, dandang, besek, garam, Es sanitasi, alat timbang, kotak pendingin, alat transportasi. Di Kabupaten Pati potensi terbesarnya adalah pengolahan ikan pindang dan ikan asap kondisi sarana dimana menggunakan sanitasi yang kotor, pembuangan limbah dan peralatan pengolahan yang terbilang kotor. Di Kota Pekalongan sebagai sentra penghasil ikan asin dan olahan ikan kondisi sarana dan prasarananya berupa bangunan, garam, rak bambu, kotak pendingin, penggilingan ikan, pencucian, alat rebus, alat penggorengan, pengemasan alat transportasi.). Kabupaten Brebes 144
sebagai sentra penghasil ikan asap dan ikan asin kondisi sarana prasarananya
berupa bangunan, kompor, dandang, besek, garam, Es
sanitasi, alat timbang, kotak pendingin,
Garam, rak bambu, alat
transportasi. Kabupaten Cilacap sebagai sentra penghasil ikan segar dan ikan asap kondisi sarana prasarana berupa bangunan, pisau, alat timbang, sanitasi, garam dan kotak pendingin, alat transportasi. Secara umum kebutuhan pengembangan sentra pengolahan makanan olahan berbahan ikan di lima Kabupaten - Kota sebagai daerah peneliltian membutuhkan intitusi baik berupa Koperasi yang menyediakan kebutuhan: Permodalan, Stok bahan baku ikan segar dan sejumlah peralatan pengolahan secara terperincian sebagai berikut : Kabupaten Rembang sebagai sentra Pindang, Ikan kering/asin, terasi dan ikan asap membutuhkan: Cool box , Cold stroge, Cerobong pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Kabupaten Pati sebagai sentra Ikan Pindang, terasi, ikan asap, Pindang bandeng lunak, dan bandeng olahan membutuhkan: Blung berinsulasi, Cool box , Cold stroge, Cerobong pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Kota Pekalongan sebagai sentra Ikan Olahan. Ikan Kering membutukan: Trays, Troley, Ice crusher, Chest frezeer, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Kabupaten Brebes sebagai sentra Ikan Pindang, Ikan Asap dan Ikan kering membutuhkan: Troley, Cerobong pengasapan, Treatmen pembungan limbah, Tempat pejemuran ikan, PDAM atau air bersih. Oleh karena itu dari hasil penelitian tersebut maka kabupaten kota dimana terdapat pengusaha/industri makanan berbahan baku ikan laut perlu melakukan upaya-upaya pengembangan Kabupaten Cilacap sebagai sentra Ikan Kering, Ikan segar, Kerupuk membutuhkan:
Ice crusher, Chest
frezeer, Peralatan
pengolahan, Mesin pembuat sosis, Meat bone sparator, Cold storage. Kebijakan dari Pemerintah Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Provinsi Jawa Tengah dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) 145
menaruh perhatian besar pada : Mengembangkan menyalurkan bantuan secara simbolis bernilai kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah/pemasar hasil perikanan seperti yang telah dilakukan
di
Kabupaten Brebes Dalam upaya
mendorong
pengembangan
berbahan baku ikan laut di Kabupaten Brebes,
industri
makanan
KKP berencana
membangun sistem rantai dingin dan ketersediaan cold storage dalam menjamin ketersediaan pasokan bahan baku bagi industri pengolahan ikan. Di beberapa Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan sentra-sentra pengolahan telah dipasilitasi dengan Sarpras agar dapat mampu menunjang Sistem Logisitik Ikan Nasional. Di beberapa daerah telah di bangun dan akan di bangun cold storage sebagai tempat penyimpanan ikan
di
sentra-sentra
pengolahan ikan
agar
dapat
menunjang
pengemangan industri pengolahan ikan KKP juga mengembangkan program revitalisasi sarana dan prasarana lain untuk penunjang pelabuhan perikanan yang memadai, dapat meningkatkan efektivitas rantai suplai ikan sehingga dapat meningkatkan daya saing produk perikanan di pasar domestik maupun ekspor. Revitalisasi pelabuhan perikanan yang dapat menjamin pasokan ikan serta peningkatan kapasitas industri pengolahan hasil perikanan. Selanjutnya KKP juga mengembangkan pengawasan sistem jaminan mutu dan traceability (ketelusuran) produk hasil perikanan dan jaminan akan ketersediaan bahan baku industri
Ketersediaan Pengembangan Teknologi Teknologi menjadi persoalan yang sering diabaikan namun sebenarnya memberikan dampak yang cukup luas. Pada industri pengolahan tradisional, teknologi yang digunakan kadang memberikan beban tambahan cukup besar bagi biaya produksi. Untuk pemindangan misalnya, selama ini di Kabupaten Rembang menggunakan bahan bakar 146
minyak solar dengan konsumsi yang cukup tinggi, jika dibandingkan dengan bahan bakar kayu mencapai 2 kali lipatnya. Minyak solar digunakan akibat kelangkaan dan mahalnya harga minyak tanah. Selama ini pengrajin sudah merasa cocok dengan nyala api yang dihasilkan oleh minyak solar yang diberi tekanan udara. Sebaliknya, mereka enggan menggunakan gas karena tekanan api kurang tinggi, terutama jika isi tangki sudah mendekati separuhnya. Dalam aspek pengemasan pindang menggunakan keranjang dengan isi ikan antara 2 ā 5 ekor. Hal tersebut menyesuaikan dengan keinginan pembeli dimana mereka bisa membeli eceran dengan kuantitas rendah sehingga harganya murah. Akan tetapi bagi pengusaha itu merupakan ongkos tambahan karena selama ini biaya keranjang mencapai Rp 200,- dari harga ikan tiap keranjang sekitar Rp 1.500,Aspek lainnya adalah pengemasan dan pengiriman. Kebanyakan pengemasan belum bisa memenuhi unsur higienitas dan daya tahan produk. Dalam pengiriman, terutama untuk produk daging olahan (surimi) seperti : bakso, nugget dan sebagainya yang memerlukan teknologi rantai dingin yang sangat diperlukan untuk menjaga kualitas produk. Rantai dingin juga menjadi persoalan pada saat panen ikan dari laut, ikan didaratkan di TPI dan ketika ikan masuk di tempat pengolahan. Seringkali kekurangan teknologi menjadikan kualitas bahan baku ikan rendah. Dalam hal pengawetan, juga masih ditemukan banyaknya nelayan maupun pengolah yang menggunakan hidrogen peroksida (H2O2) dan formalin untuk penampilan ikan bersih/putih dan mempertahankan kesegaran ikan. Aspek teknologi pengolahan inilah yang menjadikan kualitas olahan ikan belum bisa menembus pasar ekspor karena rendahnya mutu dan kualitas produk. Beberapa program telah dilaksanakan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan teknologi, akan tetapi orientasi program hanya sekedar proyek sehingga bantuan yang diberikan kadang kurang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas pengolah. Tingginya ongkos produksi, biaya untuk bahan bakar dan daya listrik yang terlalu tinggi menjadikan 147
bebebrapa peralatan teknologi pengolahan yang lebih canggih belum bisa digunakan seperti mixer besar, vacum fraying dan lainnya. Selain itu, perilaku para pengolah juga kadang menghambat peningkatan kualtas produk. Perilaku yang higines belum terbiasa ketika para bekerja memproduksi ikan olahan. Sarana dan prasarana pendukung lainnya juga turut mendukung perilaku para pekerja untuk bekerja secara higines. Faktor internal dan ekternal terkait dengan pengembangan teknologi industri makanan berbahan baku ikan laut yaitu perilaku/budaya yang higinies, peralatan yang dimiliki, permintaan pasar, dan kebijakan pengawasan sanitasi industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut. Jenis teknologi yang diperlukan dalam pengembangan indusrti makanan berbahan baku ikan yaitu teknologi pengemasan dan penanganan limbah.
proses pengolahan,
Pengembangan penerapan
teknolgi dalam industri makanan berbahan baku ikan laut tentu untuk waktu sementara akan meningkatkan biaya produksi yang menyebabkan industri pengolahan menjadi tidak efisien. Oleh
karena
itu,
dalam
mengembangkan
usaha
industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan, para pengolah harus selalu berusaha berorientasi pada IPTEK agar produk yang dihasilkan dapat bersaing dengan produk yang dihasilkan pengusaha dalam maupun luar daerah.
Pemerintah
selaku
fasilitator
dan
dinamisator
dalam
mengembangkan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan sekala kecil menengah harus melakukan upaya meningkatkan budaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) antara lain dengan memberikan pelatihan dan bimbingan teknis (bintek) kepada masyarakat pengolah sehingga tumbuh perilaku berbudaya IPTEK. Kemudian pemerintah juga
harus
mengembangkan sistem
fasilitasi/insentif kepada para pengusaha pengolahan ikan yang memiliki potensi/kemampuan mengembangkan teknologi. Selanjutnya melakukan pendampingan
dan
evaluasi
pengembangan
industri
pengolahan
makanan berbahan baku ikan untuk dikembangkan lebih lanjut. 148
Sebelum masyarakat pengolah melek dan berperilaku budaya teknologi, program pendampingan/penguatan tersebut
sebaiknya tidak
diberhentikan. Bersamaan dengan upaya peningkatan berbudaya IPTEK kepada
para
pengolah
ikan,
pemerintah
juga
harus
melakukan
pengembangan sosialisasi kepada para konsumen akan manfaat produk makanan berbahan baku ikan bagi kesehatan dan kesejahtraan manusia, sehingga akan meningkatkan permintaan produk makanan berbahan baku ikan. Jika masyarakat sudah gemar dan berbudaya makan ikan (mananan berbahan baku ikan) diharapkan akan meningkatkan permintaan produk industi makanan berbahan baku ikan. Ketersediaan Tenaga Kerja Dari hasil peneltian pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah, bahwa kendala yang dihadapi oleh pengusaha pengolah ikan meliputi : a. Pada waktu musim ikan dimana ikan dalam kondisi banyak pengusaha pengolah ikan
berlomba untuk mengolah ikan dengan
jumlah yang lebih banyak dari pada pada waktu tidak musim ikan, sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak sedangkan tenaga kerja yang mau bekerja sebagai pengolah ikan terbatas, sedangkan pengolah ikan yang membutuhkan tenaga kerja sangat banyak dari pada hari-hari tidak musim ikan, akhirnya tenaga kerja memilih lokasi pengolah ikan yang tidak jauh dari lokasi rumahnya, dan pengusaha pengolah ikan tidak dapat menambah produksi pengolahan ikan pada waktu musim ikan, pengusaha pengolah ikan yang mendapatkan ikan banyak melebihi dari biasanya hanya disimpan dalam boks pendingin penyimpan ikan dimanfaatkan apabila pada waktu tidak musim ikan yaitu pada waktu musim ombak besar dan angin kencang sehingga nelayan tidak dapat pergi melaut mencari ikan dilaut. b. Pengusaha pengolah ikan mengalami kendala dalam pembuangan limbah ikan, terutama air kotor dari pencucian ikan. c. Udara yang tidak sehat dari limbah pengolahan ikan. 149
d. Pencemaran
udara
dari
hasil
pengasapan
ikan
dilingkungan
perumahan. e. Permodalan dimana setiap pembelian melalui Tempat Pelelangan Ikan harus dibayar secara tunai, sedangkan hasil produki pengolahan ikan dipasarkan dibayar tidak dengan tunai tetapi dibayar dengan secara bertahap itupun harus menyetorkan lagi dagangan berupa ikan olahan begitu seterusnya, sehingga permodalan yang diperlukan para pengusaha pengolah ikan secara berlipat agar dagangan laku dipasaran. Peluang pengusaha pengolah didalam memanfaatkan tenaga kerja yang ada selama ini meliputi : a. Jumlah tenaga kerja didalam lingkungan perumahan nelayan sangat banyak dan mudah didapat. b. Upah tenaga kerja selama ini bisa dikatakan sangat murah c. Tenaga kerja yang digunakan untuk mengolah ikan tidak diperlukan tenaga ahli. d. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah ikan tidak diperlukan pendidikan yang tinggi cukup yang penting mau bekerja dengan upah yang telah ditentukan sebelumnya. Ancaman bagi pengusaha pengolahan ikan didalam memanfaatkan tenaga kerja yang ada : a. Pada waktu musim ikan banyak kesulitan untuk menambah tenaga yang ada hal ini disebabkan pengusaha pengolah ikan juga membutuhkan tenaga kerja yang sama banyaknya, sehingga ikan yang melimpah sementara disimpan pada boks pendingin ikan agar ikan dapat bertahan lama. b. Tenaga kerja muda yang ada dilingkungan perumahan nelayan tidak mau bekerja sebagai pengolah ikan karena upahnya dirasakan terlalu sedikit dan sekarang ini masih didominasi dengan tenaga kerja yang usianya diatas 40 tahun sehingga lama kelaman mereka sudah tidak bisa kerja lagi karena sudah lanjut usia.
150
c. Upah yang dibayarkan oleh pengusaha pengolah ikan selama ini dirasakan masih murah dan tidak didasarkan pada peraturan tenaga kerja yang berlaku seperti halnya pada
upah minimum (UMK atau
UMR) tenaga kerja. Untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan selama ini dibutuhkan permodalan dengan bunga yang ringan hal ini disebabkan Usaha Kecil dan Menengah yang ada membutuhkan modal kerja rangkap tiga dimana hasil olahan ikan yang dipasarkan pada umumnya tidak semuanya dibayar secara lunas, tetapi beberapa hari kemudian baru dibayarkan itupun harus disetori lagi dan begitu seterusnya, sehingga modal yang dibutuhkan harus berlipat ganda., Kondisi yang demikian ini sudah berlangsung lama hingga sekarang. Untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan tidak diperlukan tenaga ahli, tetapi permodalan yang cukup, dimana untuk pembelian ikan segar melalui Tempat Pelelangan Ikan harus dibayar secara kontan, tetapi hasil produksi pengolahan apabila dijual dipasar tidak dibayar secara kontan, tetapi dibayarkan secara bertahap, itupun harus dikirim barang lagi baru dibayarkan sebagian, untuk pengusaha pengolah membutuhkan permodalan yang besar untuk itu diperlukan adanya campur tangan pemerintah untuk membuka jaringan dengan lembaga keuangan seperti Bank sehingga bunganya yang lebih murah. Waktu yang dibutuhkan para pengusaha pengolah ikan untuk memproses ikan menjadi ikan olahan mulai dari pembersihan ikan, pemotongan, penggaraman ikan, pemasakan ikan, pengepakan ikan, hingga dinaikan diatas kendaraan waktu yang dibutuhkan selama 8 jam setiap hari untuk mengolah ikan,. dimana upah yang diberikan kepada pekerja rata-rata Rp. 25.000. setiap harinya. Semuanya pekerjaan sifatnya borongan sehingga kalau bekerjanya secara cepat dapat selesai maka akan mendapatkan upah lebih banyak lagi. Tenaga kerja untuk mengolah ikan bekerja tidaknya sangat tergantung ada tidak ikan. Jika tidak ada ikan maka tidak bekerja. Disamping cara bekerjanya dilakukan secara borongan dimana ikan 151
dihitung secara beratnya, adapula yang dilakukan secara per keranjang diluar itu tidak ada insentif yang diberikan oleh pengusaha pengolah ikan. Dengan demikian, tenaga kerja sebagai pengolah ikan tidak memikirkan peraturan tenaga kerja tetapi yang penting mereka bisa bekerja dan mendapatkan upah setiap harinya, karena kalau tidak bekerja tidak dibayar. Tenaga kerja yang ada selama ini mempunyai prinsip dari pada dirumah menganggur hanya menunggu suaminya pergi melaut mencari ikan maka lebih baik sang isteri nelayan memanfaatkan waktu yang luang untuk bisa bekerja, sehingga dapat menambah penghasilan keluarga. Yang mendapatkan pelatihan untuk pengolahan ikan adalah para anggota kelompok pengolah ikan dimana hasil pelataihannya dapat digunakan untuk mengembangkan usahanya sebagai pengolah ikan. Mengingat kesibukan para pengusaha pengolah ikan setiap harinya maka untuk itu yang dikirimkan untuk mengikuti pelatihan pengolahan ikan hanya perwakilan saja sesuai dengan hasil musyawarah para anggota kelompok pengolah ikan dan tergantung dari jenis pelatihannya dalam bidang pengolahan ikan apa yang dibutuhkan. Yang dibutuhkan untuk pelatihan pengolahan ikan adalah pelatihan cara mengolah ikan yang memenuhi persyaratan kesehatan mulai dari pembersihan ikan, pemotongan ikan, penggaraman ikan yng benar, pengepakan ikan yang benar, pemasakan ikan yang benar, dan penyimpanan ikan agar tidak cepat busuk, serta dihindari dengan pemakaian formalin sehingga hasil pengolahan ikan dapat dikumsumsi oleh konsumen dengan sehat . Permodal Pengembangan Usaha Dari hasil penelitian diperoleh informasi bahwa sebagian besar pengusaha ikan olahan bekerja dengan menggunakan modal sendiri tanpa menggunakan pinjaman. Pengusaha yang termasuk dalam kelompok ini merupakan pengusaha kecil dan menengah. Adapun jumlah pengusaha yang terbiasa dengan mengandalkan modal sendiri sebanyak 49 pengusaha atau 37,69%, dan biasanya pasar/konsumen yang mereka. 152
Pengusaha yang mengandalkan dana pinjaman sebanyak 15 pengusaha atau 11, 54 %, pengusaha jenis ini adalah pengusaha skala menengah dan besar karena mereka mempunyai aset yang dijaminkan, mempunyai jaringan dengan pemerintah, perbankan dan memperoleh informasi serta berbagai
fasilitas
dari
pemerintah,
sedangkan
pengusaha
yang
menggunakan kombinasi modal sendiri dan modal pinjaman sebanyak 38 pengusaha atau 29,23 %. Para pengusaha ini didalam menjalankan usahanya sudah tertata rapi
manajemennya
sehingga
mereka
fleksibel
untuk
melakukan
kombinasi dalam menggunakan modal, mereka punya asset, punya informasi, punya fasilitas dan punya akses untuk mendapatkan modal, yang lebih penting mereka sudah biasa melakukan analisis kebutuhan modal dan mampu untuk mengkombinasikan kebutuhan modal untuk menjalankan usahanya. Responden yang tidak berpendapat/ tidak mau menjawab sebanyak 21,54 %, pengusaha ini biasanya masih sangat merahasiakan masalah keuangan perusahaan,
sehingga agak tertutup
untuk memberikan informasi. Dari hasil interview, sebagian besar pengusaha mengatakan bahwa masalah modal bukan menjadi halangan pengusaha pengolah ikan, namun demikian para pengusaha selalu ingin meningkatkan skala usahanya dari mikro menjadi skala kecil, kemudian meningkat menjadi pengusaha skala menengah dan meningkat lagi menjadi pengusaha skala sedang dan besar, sehingga modal yang dibutuhkan selalu meningkat sesuai dengan peningkatan skala usaha. Namun pada skala usaha sekarang pengusaha ikan olahan relatif tidak mengalami kendala permodalan, bahkan mereka memiliki modal yang lebih dari cukup mengingat pemasaran hasil olahanya kadang-kadang dibayar dengan tenggang waktu yang cukup lama. Masalah permodalan bagi pengusaha ikan bukan merupakan kendala bagi seluruh pengusaha ikan olahan, besar kecilnya modal sangat tergantung pada skala usaha ,pasar yang dijangkau, ketersediaan bahan baku, dan rantai pemasaran, sistem penjualan. Perputaran modal 153
pengusaha ikan olahan bervariasi ada yang cepat ada pula yang lama, ini sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku, ketika bahan baku sulit didapat maka modal banyak tertanam pada persediaan bahan baku ikan sebaliknya jika bahan baku mudah diperoleh maka modal yang dibutuhkan untuk membeli bahan baku relative tidak besar, panjang pendeknya rantai pemasaran juga menentukan besar kecilnya modal. Ketika rantai pasarnya panjang modal yang ditanam relative besar karena jangka waktu pemabyaran memakan waktu yang lama, sebaliknya jika rantai pemasarannya pendek maka modal yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Untuk ikan kering modal yang dibutuhkan adalah modal tempat usaha dan modal kerja, modal kerja yang dibutuhkan relatif tidak terkendala mengingat sistem penjualannya tunai, pasar yang dijangkau local dan regional, bahan bakunya relatif mudah di peroleh. Ikan asap, modal yang dibutuhkan relatif kecil mengingat bahan baku mudah diperoleh, sebagian besar berbahan baku ikan segar, proses produksi relatif singkat, skala usaha kecil, pasar yang dijangkau adalah pasar lokal Ikan Pindang, bahan baku yang dibutuhkan relatif banyak, skala usaha sedang, pasarnya regional, sistem pembayaran menggunakan tenggang waktu mengingat penjualan dari pengusaha tidak langsung pada konsumen tetapi kepada pedagang pengepul. Surimi, merupakan olahan ikan yang merupakan bahan baku antara (sebagai bahan baku filet, bakso, nugget dsb), membutuhkan peralatan yang relatif mahal, bahan baku bisa ikan segar bisa ikan dingin, pemasarannya bersifat nasional, sehingga pengusaha membutuhkan modal tempat usaha dan modal kerja relative besar. Terasi merupakan produk ikan/udang/rebon yang difermentasi, proses produksinya memakan waktu yang agak lama, produk dibuat sesuai pesanan, pasarnya nasional, namun demikian modal yang dibutuhkan tidak begitu besar.
154
Para pengusaha pengolah ikan kering, ikan asap, ikan pindang, surimi dan terasi merupakan usaha skala mikro, kecil dan menengah merupakan
usaha
keluarga
yang
turun
temurun
dan
umumnya
mengandalakan pada modal sendiri. Namun rata-rata kurang tertib administrasi mengingat usaha keluarga susah untuk memisahkan kekayaan pribadi dan kekayaan perusahaan, kualitas SDM rendahm dana banyak diinvestasikan ke dalam kebutuhan pribadi bukan inve pada keperluan perusahaan. Pemerintah melalui lembaga perbankan dan non perbankan serta melalui anggaran pemerintah pusat maupun daerah memfasilitasi bantuan permodalan kepada pengusaha makanan ikan olahan, namun para pengusaha skala mikro, kecil, dan menengah perlu mewaspadai kehadiran pengusaha ikan bermodal besar, dan arus global mengingat pemerintah susah membatasi impor ikan segar maupun ikan olahan. Aspek Pemasaran Kondisi pasar produk olahan ikan yang diproduksi para pengolah di daerah penelitian sebanyak 130 pengusaha ternyata sebagian besar pengusaha mengatakan bahwa kualitas produk yang dihasilkan oleh perusahaannya tidak berbeda dengan yang dihasilkan oleh perusahaan lain. Jumlah yang mengatakan kualitas produk yang dihasilkan sama sebanyak 55 pengusaha atau 42,31%, sedangkan yang mengatakan bahwa produk yang dihasilkan berbeda dengan yang dihasilkan pengusaha lain sebanyak 16 pengusaha atau 12,31%. Para pengolah merasa bahwa produk yang dihasilkan kualitasnya berbeda dengan yang dihasilkan oleh perusahaan lain walaupun jenis barang yang dihasilkan sama. Sedangkan 35 responden atau 26,92% mengatakan bahwa produk yang dihasilakan oleh perusahaannya kualitasnya kadang sama kadang berbeda, ini bisa dipahami bahwa untuk perusahaan kecil bisanya usahanya turun temurun maka para pengolah mengatakan sama tetapi barang kali sudah ada perlakuan yang lain walaupun produk yang 155
dihasilkan sama, itulah yang membedakan dengan produk yang sama. Oleh karena itu sebanyak 24 pengusaha tidak menjawab terhadap pertanyaan ini atau 18,46%. Responden yang memasarkan produknya dalam kecamatan sebanyak 12 pengusaha atau 9,23%. Produk ini biasanya adalah produk ikan asap yang umumnya dipasarkan untuk pasar lokal, atau tengkulak datang untuk membeli dan membawanya ke pasar regional yang jaraknya tidak jauh dari lokasi produk dihasilkan. Pasar yang dijangkau yang paling besar adalah gabungan antara pasar dalam kecamatan dan luar kecamatan yaitu
sebanyak 55 responden atau 42,31%. Pasar
yang
dijangkau umumnya pasar lokal, regional dan nasional. Produk yang dipasarkan ke pasar
lokal, regional dan nasional umumnya seperti :
produk ikan pindang, ikan kering, trasi, dan surimi serta ikan asap. Upaya meningkatkan kualitas harapannya ada pengembangan dan inovasi alat produksi, namun kadang ada bantuan alat produksi dari pemerintah yang tidak digunakan karena bantuan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pengusaha ikan olahan yang tradisional kadang juga susah untuk diajak melakukan inovasi karena tidak sesuai tradisi dan budaya. Jumlah
responden
yang
memasarkan
produknya
ke
luar
kecamatan sebanyak 31 pengusaha atau 23,85%, jangkauan pasar ini biasanya pasar regional Jawa Tengah, produk yang dipasarkan kebanyakan ikan pindang, ikan asap, ikan asin dan ikan bandeng yang pasarnya sudah tertentu. Selain faktor pemasaran menjadi kunci sukses sebuah usaha tidak kalah pentingnya adalah kondisi produk, sesuai dengan tabel 4.59 maka tampilan hasil olahan belum baik sebanyak 43,85 %,
dan yang
mengatakan sudah baik 36,15%. Dari segi kesehatan produk yang sesuai standar sebesar 53,08%, dan yang belum memenuhi standar 24,61%. Dari sisi legalitas perusahaan yang sudah terdaftar di kemenkes 30% dan yang belum terdaftar 52,31%, dan perusahaan yang sudah melakukan ekspor baru 0,8%. 156
Pengusaha ikan olahan masih banyak terkendala pada bahan baku(bahan baku impor ataupun penyimpanan bahan baku masih lemah), sehingga sering mengganggu pengusaha ikan olahan. Pengusaha ikan olahan dalam skala mikro dan kecil masih menggantungkan pasar local dan
regional,
sehingga
ketika
pasar
tradisional
tidak
dijaga
kelangsungannya maka bukan tidak mungkin pengusaha ikan olahan menjadi gulung tikar. Oleh karena itu disamping dilakukan inovasi dan peningkatan ketrampilan memproduk ikan olahan maka perlu adanya inovasi pengolahan dan peningkatan produk serta pemasaran. Pada pemasaran ikan kering
disamping kualitas produk juga
diperlukan inovasi kemasan produk, saluran distribusi, sesuai dengan bentuk produk yang tahan lama maka perlu dikembangkan saluran distribusi mulai dari produsen, pedagang besar, pedagang kecil,sampai pada konsumen. Pasar ikan kering bisa dikembangkan menjadi skala nasional bahkan ekspor. Pada pemasaran hasil Ikan asap yang perlu diperhatikan adalah proses produksi, kemasan dan kualitas produk. Hasil olahan jenis ini ratarata hanya memiliki pasar tradisional lokal. Hasil olahan dari produsen biasanya dipasarkan sendiri ke pasar-pasar tradisional yang jaraknya relatif tidak jauh dari tempat produsen, namun dengan kemudahan transportasi bisa dikembangkan pada skala regional. Jenis produk Ikan Pindang banyak diminati oleh masyarakat, namun demikian kemasan dan tampilan produk dari waktu kewaktu relatif tidak mengalami perubahan, produk tidak tahan lama tetapi pasarnya berskala regional, oleh karena itu dalam pengembangan produk ini diperlukan pedagang besar, pedagang kecil dan pengecer. Mengingat produk tidak tahan lama maka yang dibutuhkan adalah ketersediaan transportasi yang memadai sehingga produk sampai dengan konsumen tidak mengalami kerusakan. Produk Surimi merupakan produk olahan generasi baru, pasarnya sangat luas, peralatan yang dibutuhkan semi modern, kualitas dan kemasan produk sudah dirancang dan diciptakan secara baik, sehingga 157
lembaga pemasarannyapun sudah tertata rapi, kebanyakan produk ini masuk pada pasar modern. Produk terasi merupakan produk hasil fermentasi , kemasan produk dari yang bersifat tradisional sampai pada kemasan modern sudah ada, pasarnya berskala nasional karena sifat produk ini tahan lama, sehingga pasarnya bisa dirancang mulai dari produsen, pedagang besar, pedagang kecil samapai pada konsumen. Pasarnya pun bisa melalui pasar tradisional maupun pasar modern.
2. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan Indikator keberhasilan pemanfaatan hasil litbangyasa ini
sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan, antara lain dijabarkan dan dirumuskan pada standar sarana dan prasarana pengolahan yang ditetapkan oleh Dinas Perikanan Provinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut : a. Persyaratan Sapras Pengolahan Ikan. Sarana Pengolahan berupa peralatan yang dipergunakan untuk produksi dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene serta menjamin kelancaran proses penanganan dan pengolahan. b. Prasarana Pengolahan. Dalam prasarana pengolahan, harus tersedia
infrastruktur pendukung (seperti jalan, air dan sumber
listrik). Lokasi bangunan harus berada ditempat yang bebas pencemaran. Konstruksi bangunan harus kuat dan mendukung kelancaran proses pengolahan dan sanitasi. c. Persyaratan teknis sarana Pengolahan harus sesuai dengan jenis produk; harus terbuat dari bahan yang tidak korosif; tidak mencemari produk dan tidak menyerap air;
permukaan kontak
dengan produk harus halus, tidak bercelah, tidak mengelupas; peralatan tersebut harus mudah dibersihkan dan tahan lama. d. Persyaratan Gedung atau bangunan tempat pengolahan Ikan: Dinding harus berwarna Terang;
Permukaan dinding harus rata 158
dan halus; pertemuan sudut dinding melengkung sehingga mudah dibersihkan. e. Lantai harus tahan terhadap minyak ikan, lemak, air garam/air laut, deterjen dan desinfektan. Warna terang, kedap air, rata tidak berpori dan mudah dibersihkan,
keramik yang tidak licin,
kemiringan 3-5 ke arah saluran pembuangan (drainage) hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya genangan air. f. Atap bangunan harus mampu melindungi ikan yang dijual dari sinar matahari, hujan yang akan mengakibatkan kontaminasi, kerusakan fisik dan mutu. g. Ruangan Pasar harus memiliki cahaya penerangan yang cukup melalui cahaya alami dan dilengkapi dengan lampu yang memadai. Lampu harus dilindungi pelindung untuk menghindari pecahan lampu. h. Persyaratan Sanitasi : Sirkulasi udara cukup/ventilasi minimal 20% luas ruangan. Air : Tersedia air bersih yang cukup dilengkapi tandon air, Kualitas air bersih diperiksa setiap 6 bulan, Es: harus tersedia dalam keadaan curah dan yang digunakan harus memenuhi standar. i. Instalasi limbah/saluran pembuangan harus terbuat dari bahan yang kedap air, rata, tidak berpori, halus agar mudah untuk dibersihkan. Konstruksi saluran harus berbentuk āUā agar mudah dibersihkan, mengalirkan limbah/air dengan lancar. Saluran harus ditutup dengan jeruji logam dan tidak mudah karat. j.
Toilet harus tersedia cukup bagi pengunjung dan pedagang yang ada di pasar; harus dilengkapi dengan tempat mencuci tangan dan harus selalu dalam kondisi bersih.
k. Fasilitas cuci tangan seharusnya tersedia di dekat meja display, dapat digunakan pembeli baik sebelum maupun sesudah memilih ikan. l. Persyaratan peralatan pemasaran. Meja: sebaiknya portable, tidak mudah dipindahkan, bahan tahan karat, pada ujung sisi meja 159
sebaiknya dilengkapi dengan tempat saluran air yang terhubung langsung ke saluran pembuangan. Setiap sisi meja seharusnya disediakan kran air bersih untuk pencucian dan tempat sampah yang mudah diangkat dan dipindahkan; Talenan dari bahan plastik/polipelin; Pisau tajam, tidak berkarat; Timbangan: bahan yang tidak mudah korosif dan mengkontaminasi ikan. Seharusnya dalam kondisi pas dan selalu dilakukan kalibrasi secara rutin. Keranjang:
dari
bahan
yang
mudah
mengkontaminasi
produk.
Trolly
:
dari
dibersihkan, bahan
tidak
yang
tidak
mengkontaminasi produk. Pakaian bersih; Memakai celemek, sepatu boot, penutup kepala, sarung tangan; Selalu mencuci tangan setelah bertransaksi; Pemeriksaan kesehatan berkala setiap 6 bulan; Tidak membuang sampah sembarangan; Berhenti berjualan apabila sedang sakit. Persyaratan pasar ikan. Persyaratan pasar ikan yang harus di lakukan seperti singkatan di bawah ini : P : Pergunakan perlengkapan diri seperti celemek, sarung tangan dan sepatu bot A : Aman dari bahan berbahaya seperti formalin dan borax S : Selama menjual ikan hindari merokok, meludah dan bersin A : Apabila sedang sakit yang dapat mencemari ikan
(Flu, Diare,
TBC) jangan berjualan R : Rutin membuang sampah dari los dagangan setiap
hari ke
tempat pembuangan sampah. Persyaratan Ikan. Persyaratan ikan yang harus di siapkan seperti singkatan di bawah ini : I
: Ingat untuk selalu menggunakan peralatan yang bersih
K : Ketersediaan es dan air yang cukup A : Amankan dari hama / hewan perusak seperti serangga, tikus dan sebagainya N : Nuansa pasar yang bersih dan segar.
160
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dalam pasal 1 dijelaskan bahwa Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Ikan laut dibagi kedalam beberapa kategori utama, yaitu golongan demersal, pelagik kecil, pelagik besar, anadromus, dan katradromus. Golongan demersal merupakan ikan yang hidup di lautan dalam. Pelagik baik besar maupuan kecil merupakan ikan kecil di permukaan atau di lapisan atas. Kemudian golongan anadromus adalah ikan yang hidup di air payau yang berasal dari laut seperti ikan bandeng dan salem. Sedangkan golongan katradromus adalah jenis ikan payau yang berasal dari air tawar. Indikator keberhasilan dari usaha pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah yaitu sejauh mana permasalahan pengembangan yang ada sampai dengan saat ini dapat dikurangi sampai dihilangkan. Menurut kajian yang dilakukan oleh Indroyono & Budiman (2003:103) bahwa produk laut Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan menjadi penghasil devisa nyata, karena bahan bakunya lokal, modalnya rupiah namun hasilnya dollar. Persoalan yang lebih penting adalah upaya untuk mengolah, tidak hanya mengekspor dalam bentuk mentah, karena nilainya cenderung rendah. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, di mana luas wilayah daratannya lebih kecil dari pada luas wilayan lautnya. Luas daratannya mencapai 1,9 juta km2, wilayah laut sekitar 5,8 juta km2, jumlah pulaunya sebanyak 17.508 buah dengan panjang garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu 81.000 km (Dahuri, 2005). Dengan kondisi seperti ini, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang
besar yang dapat dijadikan sebagaipasokan dan
cadangan bahan baku indusrti makanan berbahan baku ikan laut. Hasil pengkajian stok ikan di Perairan Indonesia yang pernah dilaporkan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 161
2001 (dalam Purwanto, 2003) bahwa potensi lestari (MSY) atau jumlah sumber daya ikan laut yang dapat ditangkap dan tidak mengganggu kelestarian di perairan Indonesia mencapai 6,4 juta ton per tahun dengan jumlah penangkapan yang diperbolehkan 5,1 juta ton per tahun (80 % dari MSY), dengan potensi lestari ikan demersal yakni 1.370.090 ton per tahun. Kondisi tersebut memberikan dukungan penyediaan bahan baku yang cukup bagi industri pengolahan ikan. Pengolahan ikan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.19/Men/2010 Tentang Pengendalian Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan dalam pasal 1 dijelaskan bahwa pengolahan ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia. Kemudian dalam Peraturan Direktur Jenderal Pengolahan
dan
Pemasaran
Hasil
Perikanan
Nomor:
Per.09/Dj-
P2hp/2010 Tentang Persyaratan, Tata Cara Penerbitan, Bentuk, dan Format Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), Pasal 1 dijelaskan bahwa Pengolahan Ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku.Pengolahan ikan wajib memenuhi persyaratan umum hyangiene, prosedur yang baik, sarana dan parasarana yang baik, pengemasan dan proses pemasaran yang memenuhi standar higienitas. Secara garis besar, industri pengolahan ikan laut dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu kelompok pengolah ikan serta kelompok penambahan nilai ikan. Kelompok pengolah ikan merupakan upaya melakukan pengawetan ikan secara tradisional dengan hasil akhir masih berupa ikan, terdiri dari pemindangan, pengeringan/penggaraman, pengasapan/pemanggangan.
Sedangkan
penambahan
nilai
ikan
merupakan hasil olahan turunan dari ikan baik dari daging, kulit maupun tulang ikan. Kelompok ini terdiri dari surimi (daging ikan giling) dan turunannya seperti bakso ikan, nugget ikan, otak-otak, kaki naga, kerupuk ikan, terasi dan olahan lainnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal PPHP melakukan pembinaan terhadap industri pengolahan ikan dengan 162
mengembangkan sentra-sentra pengolahan ikan di seluruh Indonesia. Konsep tersebut merupakan aplikasi dari paradigma baru pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan dengan arahan; 1). lokasi/kawasan tempat pengolahan ikan dengan sebagian besar produk olahan yang sama,
2).
jumlah
pengolah
yang
memenuhi
persyaratan/cukup,
3).pasokan bahan baku yang cukup dan adanya akses pasar/tujuan pemasaran, 4). bersedia dijadikan lokasi/kawasan sentra pengolahan, dan 5). program pengembangan sentra tidak harus bangunan fisik, tapi dapat berupa bantuan bintek, peralatan dan sarana penunjang lainnya, Sampai dengan tahun 2012, di Jawa Tengah telah ditetapkan sebanyak
5
daerah
Kabupaten/Kota
sebagai
penerima
program
pengembangan sentra pengolahan hasil perikanan (PHP). Tabel.4.4
No
Lokasi Program Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan dari Kementerian Kelautan & Perikanan di jawa Tengah sampai Tahun 2012 Kab/Kota Jenis Olahan Tahun
1
Kota Tegal
Fillet Ikan Laut
2006, 2007
2
Kab. Boyolali
Olahan Lele
2008, 2011
3
Kab. Jepara
Panggang Ikan Laut
2008
4
Kab. Pati
Fillet Ikan Laut
2010, 2011
5 Kab. Demak Panggang Ikan Laut Dan Lele 2010, 2011 Sumber: DInas Kelautan dan Perikanan Prov. Jateng 2012 Namun
demikian,
masih
terdapat
berbagai
kendala
dalam
pengembangan selanjutnya, baik di 5 wilayah tersebut maupun wilayah lainnya. Persoalan utama adalah penyediaan lahan yang sulit dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain persoalan sumberdaya tersebut, hasil evaluasi sementara terhadap sentra-sentra yang ada adalah belum optimalnya penggunaan sarana yang ada karena budaya atau kebiasaan, belum mampunya SDM pengelola untuk menerapkan perilaku bersih, belum ada jaminan dalam kontinuitas /ketersediaan bahan baku, serta terbatasnya akses pasar untuk produk yang dihasilkan. Dalam era globalisasi ini, tentu peningkatan daya saing industri sangat diperlukan. Selain potensi perikanan yang besar, permintaan 163
dalam negeri maupun luar negeri terhadap produk ikan sebagai sumber nutrisi cukup tinggi. Dengan demikian sangat disayangkan apabila potensi tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Kebutuhan mengembangkan pengolahan ikan berkaitan erat dengan pengembangan perekonomian daerah di Jawa Tengah. Untuk dapat melakukan itu, ada beberapa prasyarat yang cukup penting untuk dipenuhi. Untuk dapat bersaing, ada potensi keunggulan kompetitif yang harus dimiliki oleh setiap UKM untuk dapat bersaing di pasar dunia. Penguasaan teknologi, SDM dengan kualitas tinggi, etos kerja, kreatifitas dan motivasi, tingkat efisiensi dan produktifitas yang tinggi, kualitas dan mutu barang yang dihasilkan, promosi yang luas dan agresif, sistem nanajemen dan struktur organisasi yang baik, pelayanan teknis maupun nonteknis yang baik, adanya skala ekonomis dalam proses produksi, modal dan sarana serta prasarana yang cukup, jaringan bisnis dalam dan luar negeri dan proses produksi tepat waktu, serta jiwa entrepreneurship yang tinggi merupakan faktor keunggulan UKM (Tambunan, 2002;29). Untuk menyikapi hal tersebut, UKM terutama pengolahan makanan berbahan baku ikan laut harus mampu menghadapi berbagai persoalan mendasar. Menurut studi yang dilakukan oleh BPS dalam Tambunan (2002; 73-80) bahwa kesulitan utama yang dihadapi industri kecil maupun industri rumah tangga di Indonesia (termasuk makanan olahan berbahan baku ikan laut) adalah masalah kesulitan pemasaran, masalah finansial, SDM, bahan baku dan teknologi. Kesulitan pemasaran yang dihadapi UKM pada umumnya adalah persaingan dengan usaha besar dan impor di dalam negeri maupun di pasar ekspor, karena tidak mampu menjual pada harga pasar dan kualitas serta pelayanan yang kurang baik, selain itu, minimnya informasi pasar juga mempengaruhi UKM, serta isu-isu global yang harus diperhatikan seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi, hak buruh, pekerja anak, dengan standard yang tidak mampu dipenuhi oleh UKM di Indonesia, serta kebijakan dumping dan sebagainya yang merugikan industri dalam negeri. 164
Sedangkan dalam masalah finansial, terdapat masalah mobilisasi modal awal serta akses ke modal kerja dan finansial demi pertumbuhan output jangka panjang. Untuk mengakses dana perbankan UKM mengalami kesulitan karena jarak, persyaratan, urusan administrasi, dan kurangnya
informasi
para
pelaku
UKM
terhadap
pembiayaan.
Kebanyakan industri kecil dan rumah tangga menggunakan uang dari modal sendiri dibanding dana pinjaman perbankan, terutama industri makanan, minuman, dan sebagainya. Keterbatasan SDM dialami UKM dalam
aspek
entrepreneurship,
manajemen,
teknik
produksi,
pengembangan produk, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data prosesing, teknik pemasaran dan penelitian pasar. Rendahnya pendidikan pekerja UKM menjadi penghambat di mana lebih dari 50% hanya berpendidikan dasar atau tidak tamat sekolah. Minimnya pelatihan ketrampilan, pendidikan dan kursus juga menjadikan lemahnya kualitas SDM. Masalah bahan baku berupa kelangakaan bahan atau mahalnya harga bahan baku yang tak terjangkau, kualitas yang rendah serta kurangnya pemenuhan. Teknologi yang rendah menyebabkan produktifitas rendah, kualitas yang rendah, kuantitas yang rendah, dan kurangnya efisiensi dalam produksi sehingga meningkatkan biaya produksi. Terbatasnya modal investasi, keterbatasan informasi teknologi serta rendahnya kualitas SDM yang mampu mengoperasikan teknologi baru, rendahnya inovasi juga menghambat penguasaan teknologi, sehingga sulit bersaing di pasar global. 3. Perkembangan Pemanfaatan Hasil Sentra pengolahan ikan tidak terdapat di semua daerah penghasil ikan di Jawa Tengah, hanya sebagian yang menghasilkan dan mengolah. Untuk pengolahan ikan terdapat sekitar 7.854 industri kecil dan menengah yang bergerak dalam bidang pengolahan ikan laut yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Kabupaten Jepara dan Rembang
165
merupakan wilayah yang memiliki jumlah industri pengolahan ikan terbesar di Jawa Tengah. Industri pengolahan ikan di Jawa Tengah didominasi oleh industri skala UMKM yang memiliki jangkauan pasar lokal serta beberapa kota lainnya di pulau Jawa. Di Jawa Tengah terdapat beberapa industri besar yang telah memilki pangsa pasar mapan di luar negeri. Kualitas produk olahan tersebut telah memenuhi semua standar mutu keamanan pangan, namun selama ini belum terjalin kerjasama dengan UKM/IKM untuk lebih berkembang. Di Jawa Tenah terdapat ribuan industri menengah, kecil dan mikro dengan berbagai kesulitan yang mereka hadapi. Mayoritas hanya memenuhi pasar lokal di dalam daerah, ada beberapa yang menjual di luar daerah dan pulau-pulau lain. Potensi industri ini sangat besar dengan melibatkan pekerja cukup banyak, namun daya saing mereka sangat lemah. Pengolahan ikan memungkinkan bertambahnya nilai jual ikan beberapa kali lipat dibanding dengan penjualan segar atau pengawetan sederhana. Pengolahan ikan terdapat di hampir semua daerah di Jawa Tengah. Pemanfaatan hasil litbangyasa sampai saat ini, telah dilakukan sejak
dilakukan
pengumpulan
data,
penyusunan
laporan
dan
mendiseminasikan hasil litbangyasa di lima kabupaten-kota daerah pengamatan. Dengan metoda FGD yang melibatkan para pengolah ikan, petugas penyuluh lapang, pengelola/pembina pengolah ikan (DKP), perbankan, instansi koperasi, perdagangan, perindustrian, kesehatan, dan Pemda setempat serta dari perguruan tinggi . Hasil litbangyasa ini sedikit banyak telah direspon para perserta FGD untuk perencanan pengembangan usaha yang sedang dilakukan, perencanaan
pembinaan
dan
Bintek
oleh
SKPD
terkait,
serta
pengembangan penelitian lebih lanjut oleh para peneliti dan perekayasa di lembaga Litbang dan Universitas.
166
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah sebagai berikut : Kebijakan pemerintah : Pelaku
usaha
menganggap
kebijakan
pemerintah
tidak
memberikan dukungan secara langsung, di sisi lain kadang pengusaha merasa dihambat karena kebijakan tersebut. Kebijakan pengembangan pengolahan ikan sifatnya sangat top down, kurang memperhatikan kebutuhan dan kapasitas para pengolah ikan atau masyarakat bawah. Selain tidak berdasarkan pada kondisi dan kebutuhan kebijakan dan program yang dijalankan masih sangat sektoral,. Oleh karena itu perlunya sinergi antar sektor (perikanan, industri, perdagangan, tenaga kerja, UMKM) terutama dalam lembaga pemerintahan agar bisa memberikan dampak yang nyata, perlakuan yang lebih komprehensif dan sasaran kebijakan dapat tertata dengan baik. Selain kebijakan itu sendiri bermasalah, persoalan lain yang terjadi adalah minimnya sumberdaya dalam implementasi kebijakan, misalnya kebijakan
membangun
sentra
terkendala tersedianya lahan
yang
seharusnya disediakan Pemda. Dengan demikian, implementasi kebijakan memerlukan partisipasi dari pelaku usaha. Pada tingkat penerimaan kebijakan juga terkendala oleh perilaku pengusaha dan pekerja. Misalnya kebijakan higienitas terkendala perilaku kurang sehat dan minimalisir biaya produksi dari pengusaha agar harga pasar bisa lebih murah. Masalah lain adalah perilaku manajemen usaha dari para pengusaha yang masih mengandalkan metode tradisional, serta sulit untuk melakukan perubahan secara mendasar. Dengan demikian ada beberapa faktor budaya dan perilaku dalam pengolahan ikan yang dapat 167
menghambat
implementasi
kebijakan
pemerintah
jika
paradigma
implementasinya top down, namun jika melibatkan masyarakat dan memahami nila-nilai yang ada, akan lebih mudah.. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut telah ada antara lain tentang pernyaratan bahan baku, proses produksi, kualitas hasil produksi, permodalan, dan pemasaran, sarana dan prasarana
penunjang,
ketenagakerjaan
yang
terampil,
serta
pengembangan teknologi. Namun demikian kebijakan pemerintah tersebut belum dapat dilaksanakan dengan baik, disebabkan rendahnya kapasitas SDM di daerah serta anggaran yang terbatas. Hal ini terkait dengan penyusunan kebijakan makro, penjabaran kebijakan pada tingkat mikro, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat pengolah.
Bahan Baku : Kesimpulan
terkait
dengan
bahan
baku
utama
dalam
mengembangkan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut, yaitu: a. Ketersediaan bahan baku utama dalam mengembangkan industri olahan makanan berbahan baku ikan yaitu berbagai jenis ikan pelagis, ikan demersal, binatang lunak, dan krustasea. b. Pada saat musim ikan, kertesediaan ikan tidak menjadi masalah, tetapi sarana/tempat penyimpanan sementara menjadi masalah pengembangan usaha. Pada saat tidak musim ikan, sulit diperoleh ikan dan harganya relatif lebih mahal serta sebagian besar produsen mengambil bahan dari ikan impor. c. Pengadaan bahan baku industri makanan berbahan baku ikan laut oleh para pengolah ikan dipengaruhi oleh kemampuan kerjasama pengadaan dengan berbagai pihak, kualitas dan kuantitas ikan, serta keberadaan bahan baku tersebut. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana utama kegiatan industri pengolahan ikan berbahan baku ikan laut masih relatif sederhana, jumlah dan kualitasnya 168
belum
sesuai
yang
diharuskan
dalam
mengembangkan
industri
pengolahan makanan berbahan baku ikan. Kerersediaan sarana dan prasarana penunjang industri makanan berbahan baku ikan laut yang difasilitasi pemerintah maupun swasta belum memadai. Kondisi sarana dan prasarana industri makanan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah memang menjadi hambatan paling besar dalam meningkatkan mutu hasil perikanan, karena kondisi secara umum sebagai berikut: a. Hampir semua pengrajin pengolah ikan masih bersifat tradisional belum memiliki sarana prasarana yang memadai sebagai standar keamanan pangan yang baik. Persoalan sanitasi dan higienitasi belum bisa diwujudkan dengan sarana dan prasarana yang memenuhi standar baku mutu. b. Persoalan lain adalah dalam pengemasan dan pengiriman hasil olahan sebagain besar masih mengalami kesulitan dalam menjaga kualitas produk, baik berupa kelembaban maupun pelrindungan dari bakteri. c. Persoalan pokok sarana dan prasarana pengolahan ikan meliputi rendahnya sanitasi air bersih, rendahnya kualitas penyimpanan bahan baku, peralatan pengolahan belum memenuhi standar kualitas.
Sedangkan kondisi khusus di lima lokasi penelitian di Jawa Tengah sebagai berikut: a. Di Kabupaten Rembang sebagai penghasil pengolahan ikan pindang, kering, terasi dan asap mengalami kekurangan tentang sapras antara lain: bangunan, kompor, dandang, es, sanitasi, kotak pendingin, alat transportasi. b. Di Kabupaten Pati potensi terbesarnya adalah pengolahan ikan pindang, ikan asap dan bandeng olahan, kondisi sarana dimana menggunakan sanitasi yang kotor, pembuangan limbah dan peralatan pengolahan yang terbilang kotor. 169
c. Di Kota Pekalongan sebagai sentra penghasil Ikan asin dan olahan ikan kondisi sarana dan prasarana kekurangan dalam kualitas bangunan, garam, rak bambu, kotak pendingin, penggilingan ikan, pencucian, alat rebus, alat penggorengan, pengemasan alat transportasi. d. Kabupaten Brebes sebagai sentra penghasil ikan asap dan ikan asin kondisi sarana prasarananya menghadapi persoalan dalam hal bangunan, kompor, dandang, garam, kotak pendingin, alat transportasi. e. Kabupaten Cilacap sebagai sentra penghasil ikan segar, kering dan ikan asap kondisi sarana prasarana kekurangan dalam hal bangunan, sanitasi dan kotak pendingin, alat transportasi.
Tenaga Kerja Kegiatan industri pengolahan makanan berbahan baku ikan laut banyak memerperlukan
sejumlah
tenaga kerja
yang
memerlukan
keterampilan khusus. Ketersediaan jumlah dan keterampilan tenaga kerja pengolah ikan di pengaruhi oleh kegiatan usaha lain, pada saat musim panen pertanian-perikanan ketersediaan tenaga kerja kurang, sehingga kegiatan industri pengolahan menurun sampai menutup kegiatan usaha. Untuk mengembangkan usaha pengolahan ikan tidak diperlukan tenaga ahli, cukup tenaga kerja yang terampil dan tekun. dimana upah yang diberikan kepada pekerja rata-rata Rp. 25.000. setiap harinya. Semuanya pekerjaan sifatnya borongan sehingga kalau bekerjanya secara cepat dapat selesai maka akan mendapatkan upah lebih banyak lagi.Tenaga kerja untuk mengolah ikan bekerja sangat tergantung ada tidak ikan. Jika tidak ada ikan maka tidak bekerja. Disamping cara bekerjanya dilakukan secara borongan dimana ikan dihitung secara beratnya, adapula yang dilakukan secara per keranjang diluar itu tidak ada insentif yang diberikan oleh pengusaha pengolah ikan. Dengan demikian, tenaga kerja sebagai pengolah ikan tidak memikirkan peraturan tenaga
170
kerja tetapi yang penting mereka bisa bekerja dan mendapatkan upah setiap harinya, karena kalau tidak bekerja tidak dibayar. Kendala yang dihadapi oleh pengusaha pengolah ikan meliputi. Pada waktu musim ikan dimana ikan dalam kondisi banyak pengusaha pengolah ikan berlomba untuk mengolah ikan dengan jumlah yang lebih banyak dari pada pada waktu tidak musim ikan, sehingga membutuhkan tenaga kerja lebih banyak sedangkan tenaga kerja yang mau bekerja sebagai pengolah ikan terbatas Peluang pengusaha pengolah didalam memanfaatkan tenaga kerja yang ada selama ini meliputi :a. Jumlah tenaga kerja didalam lingkungan perumahan nelayan sangat banyak dan mudah didapat, b. Upah tenaga kerja selama ini bisa dikatakan sangat murah, c. Tenaga kerja yang digunakan untuk mengolah ikan tidak diperlukan tenaga ahli, d. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah ikan tidak diperlukan pendidikan yang tinggi cukup yang penting mau bekerja dengan upah yang telah ditentukan sebelumnya. Ancaman bagi pengusaha pengolahan ikan didalam memanfaatkan tenaga kerja yang ada : a. Pada waktu musim ikan banyak kesulitan untuk menambah tenaga yang ada hal ini disebabkan pengusaha pengolah ikan juga membutuhkan tenaga kerja yang sama banyaknya, b. Tenaga kerja muda yang ada dilingkungan perumahan nelayan tidak mau bekerja sebagai pengolah ikan karena upahnya dirasakan terlalu sedikit.
Teknologi Kesimpulan terkait dengan teknologi dalam mengembangkan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut, yaitu; a. Teknologi yang telah dikembangkan umumnya teknologi sederhana yang sebagian besar berasal dari teknologi yang diwariskan oleh orang tua para pengolah. b. Teknolgi yang digunakan dalam industri makanan berbahan baku ikan laut yaitu taknologi perlakuan bahan baku, teknologi prosesing/proses pengolahan (awal proses pengolahan, selama 171
proses pengolahan, dan akhir proses pengolahan), dan teknologi pengemasan, serta teknologi pemasaran. c. Pengembangan teknologi pengolahan ikan yang dihadapi para pengolah ikan yaitu : kebiasaan/budaya/perilaku para pengolah terhadap teknologi, lokasi/sumber dan kemudahan teknologi tersebut diperoleh, banyak dan mutunya teknologi. Modal a. Modal yang dimiliki oleh para pengolah hasil produksi perikanan umumnya modal sendiri dan pengelolaan modal yang dimiliki belum optimal. b. Ketersediaan modal di lembaga permodalan (pemerintah dan swasta) cukup banyak dengan skema pinjaman yang belum seluruhnya berorientasi pada pengembangan UMKM. Pasar a. Pasar produk makanan olahan berbahan baku ikan sebagaian besar untuk memenuhi permintaan pasar lokal, sebagian kecil produk olahan makanan berbahan baku ikan laut yang dipasarkan di pasar swalayan. b. Pemasaran produk hasil olahan ikan dipengaruhi oleh jumlah produksi dan mutu produkai, pengemasan, trasportasi, dan harga produk.
Setelah diambil kesimpulan sebagaimana penjelasan di atas, maka langkah selanjutnya adalah sebagai berikut; 1. Tahapan Pelaksanaaan Kegiatan a. Penelitian
diawali
dengan
survey
pendahuluan
ke
lokasi
pengembangan industri pengolahan berbahan baku ikan laut di Pantai Utara Jawa Tengah, kemudian konsultasi dengan instansi pembina (DKP, Disperindag, Disyankop dan UKM, Dinkes Provinsi Jawa Tengah) dan perusahaan besar industri makanan berbahan 172
baku ikan laut di Semarang. Kemdian konsultasi metodologi ke UNES dan UNDIP untuk menyusun proposal penelitian. b. Penyusunan dan pembahasan proposal penelitian disesuaikan batasan/aturan
lembaga
donor
dana
penelitian
(PKPP
Kemenristek 2012) melalui BPP Kemendagri. c. Setelah
proposal
disetujui
kemudian
mengirimkan
daftar
pertanyaan mix (terbuka & tertutup) kepada 150 an responden pengolah, pemasar, dan petugas pembina di ke 5 lokasi sampel penelitian. d. Setelah daftar pertanyaan kembali, kemudian dilakukan tabulasi selanjutnya melakukan kros cek dan indept interview. Hasil sementara terkait data dan informasi penngembangan industri makanan berbahan baku ikan laut di sampaikan dalam FGD yang dihadiri para wakil kelompok
pengolah ikan, tokoh masyarakat,
LSM, petugas dari lembaga/instansi pemerintah dan swasta dalam acara tersebut untuk melakukan klarifikasi dan pendalaman konsep pemecahan masalah pengembangan industri pengolahan. e. Kemudian penyusun laporan awal dan menyeminarkan hasil penelitian di berbagai kesempatan, mempubilkasikan di berbagai media, sosialisasi hasil penelitian di 5 lokasi penelitian dan menyusun laporan akhir penelitian.
2. Metode Pencapaian Target Kinerja Metode pencapain target kinerja ialah melalui kegiatan penelitian lapangan yang bersifat deskriptif analitis. Pendekatan yang digunakan untuk mencapai target kinerja penelitian ini, adalah dengan pendekatan deduktif/kualitatif dan pendekatan induktif. Subjek penelitian atau populasi dalam penelitian ini ialah pelaku industri atau pengrajin makanan berbahan dasar ikan laut di Jawa Tengah. Responden adalah pemerintah daerah dan para pengolah ikan khususnya yang terdapat di Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, Kota Pekalongan, Kabupaten Brebes, dan Kabupaten Cilacap. Sampel 173
ditentukan
secara
memperhatikan
purposive,
informan
dalam
dan
key
pengumpulan person
di
data
dengan
lapangan
dengan
menggunakan teknik snowball. Jumlah dan latar belakang sampel penelitian ini disesuaikan dengan kondisi lapangan dan kebutuhan penelitian. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu: a) Teknik observasi; b) Teknik wawancara (interview guide), c) FGD dan d) Desk study.
Teknik
analisis
yang
digunakan
trianggulasi
sebagaimana
penelitian kualitatif. Data dianalisis secara kualitatif dengan dilakukan analisis induktif.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang
dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Hasil dari penelitian ini kemudian disosialisasikan kepada pihakpihak terkait sebagai bahan rekomendasi kebijakan. Selain itu, sosialisasi dilakukan dalam rangka membangun sinergi kebijakan.
3. Potensi Pengembangan Ke Depan Ada beberapa faktor kunci yang dapat menjadi penentu kebijakan dalam peningkatan industri pengolahan ikan. Memahami kebutuhan di tingkat bawah dan sinergi antar pelaku adalah kunci utama dalam memahami kebutuhan dan arah kebijakan. 4. Sinergi Koordinasi kelembagaan - Program Masing-masing lembaga yang terkait dengan pengembangan industri makanan berbahan baku ikan laut tersebut harus menjadi variabel dalam upaya pengembangan industri makanan olahan berbahan baku ikan laut dimana terjadi saling koordinasi dan sinkronisasi program antar sektor.
5. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa a. Kebijakan : Penjabaran sesuai pelaku/penguna dengan sosialisasi dan koordinasi implementasi b. Bahan Baku : Kerjasama kelompok secara efektif & efissien c. Tenaga Kerja : Sistim Diklat Pengolah Ikan dan Permodalan d. Sarana & Prasarana : Diklat Sarpras dan Permodalan 174
e. Teknologi : Bintek dan skema permodalan f. Modal : diklat managemen dan perbankan berorientasi UMKM g. Pasar : Pemasyarakatan makan ikan, diklat packaging, dan sistim permodalan UMKM
B. Saran 1. Keberlanjutan Pemanfaatan Hasil Kegiatan Agenda pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam peningkatan sektor
perikanan
di
daerah
adalah
melaksanakan
Program
Pengembangan Sumber Daya Perikanan dengan beberapa kegiatan utama yaitu: a. Pembinaan dan Pengembangan Sistem Usaha Perikanan melalui Pengembangan Pola Permodalan dan Investasi Dalam Negeri dan Asing, b. Pengembangan Data dan Statistik Perikanan, c. Penguatan dan Pengembangan Pemasaran Dalam Negeri dan Ekspor Hasi Perikanan melalui Peningkatan Konsumsi Ikan Melalui Program Nasional Gemarikan dan Promosi Produk, Fasilitasi Pembangunan dan Pengembangan Sarana dan Prasarana Pemasaran Dalam Negeri dan Pembinaan Ekspor Produk Perikanan, d. Peningkatan Mutu dan Pengembangan Pengolahan Hasil Perikanan melalui Pengembangan Sistem Rantai Dingin (Cool Chain System), Pengembangan Sentra Pengolahan Hasil Perikanan, Pengawasan Mutu dan Keamanan Produk Perikanan, Peningkatan Kompetensi Lembaga Sertifikasi, Penguatan Kompetensi Laboratorium Penguji e. Penyelenggaraan Revitalisasi Perikanan Dalam hal pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, Pemerintah porovinsi Jawa Tengah mengagendakan kebijakan berupa: a. Peningkatan daya saing melalui penciptaan iklim yang kondusif, melalui regulasi atau deregulasi serta peningkatan mutu dan keamanan produk
175
b. Pemantapan struktur melalui peningkatan kerjasama kemitraan nelayan dengan industri hasil perikanan dan industri terkait serta akademisi c. Membangun kelembagaan agribisnis perikanan (Akuabisnis) melalui penataan kelembagaan dan ekonomi yang baik, keterpaduan antara pemasok bahan baku, industri pengolahan, serta pemasaran dan upaya terwujudnya produk akhir yang berkualitas dan berdaya saing. Setiap Kabupaten/Kota juga memiliki kebijakan turunan tersendiri, baik yang bersinergi dengan pemerintah pusat maupun provinsi. Namun demikian, berdasarkan temuan lapangan tidak ditemukan adanya kebijakan dan regulasi khusus dari pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya pengembangan industri pengolahan ikan. Sebagian besar regulasi perikanan hanya mengatur mengenai mekanisme tata niaga ikan melalui TPI, sedangkan dalam aspek pengembangan industri makanan olahan tidak terdapat regulasi khusus. Pemerintah Kabupaten/Kota hanya bertugas sebagai fasilitator dan melengkapi kebijakan pemerintah pusat dan provinsi, terutama dalam memberikan bantuan sarana dan prasarana serta pelatihan kepada sebagian kecil pengolah. Sebagian besar program dan kegiatan merupakan implementasi dan duplikasi dari program Kementerian yang berupa pembinaan melalui kelompok-kelompok terbatas. Beberapa kebutuhan utama lainnya seperti permodalan, jaringan pasar, jaringan antar pengolah dan aspek teknologi belum begitu banyak mendapatkan kemajuan dari bantuan pemerintah daerah. Dengan demikian masih diperlukan adanya peningkatan dalam regulasi dan kebijakan serta program-program yang relevan dalam upaya pengembangan kemampuan pengolah. Berdasarkan jawaban pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah dapat menyatakan kurang antusias. Kebijakan-kebijakan yang ada tidak memberikan dukungan secara langsung, di sisi lain kadang pengusaha merasa dihambat karena kebijakan tersebut. Sehingga mereka merasa tersingkir atau tidak mampu berkembang dibanding usaha skala besar. 176
Contohnya peraturan mengenai higienitas, standar keamanan pangan dan aturan mengenai badan usaha tentu sulit untuk dipenuhi olah skala industri rumah tangga, namun di sisi lain tidak adanya upaya konkret pemerintah agar pelaku usaha mampu memenuhi standar tersebut di atas. Sehingga kebijakan pemerintah dirasa justru memberikan ruang bagi usaha skala besar dan importir, bukan memberikan ruang berkembang bagi usaha skala mikro dan kecil. Oleh karena itu, perumusan kebijakan sebaiknya memperhatikan kondisi nyata dari pelaku usaha di lapangan. Beberapa faktor kunci yang dapat menjadi penentu kebijakan dalam peningkatan industri pengolahan ikan. Memahami kebutuhan di tingkat bawah dan sinergi antar pelaku adalah kunci utama dalam memahami kebutuhan dan arah kebijakan. Dalam teori kebijakan, ada proses awal dimana sebuah kebijakan harus menjadi isu bersama, setelah menjadi isu maka akan dirumuskan menjadi sebuah agenda seting kebijakan yang melibatkan segenap unsur. Setelah itu ditetapkan model kebijakan dan secara teknis mengatur pelaksanaannya. Selama ini kebijakan pengembangan pengolahan ikan sifatnya sangat top down, kurang memperhatikan kebutuhan dan kapasitas para pengolah ikan atau masyarakat bawah. Sehingga bentuk-bentuk kebijakan dan hasilnya kurang memberikan dampak yang berarti. Seringkali ada salah sasaran, salah objek, kapasitas yang tidak sesuai dan bantuan yang tidak berdasarkan kebutuhan. Selain tidak berdasarkan pada kondisi dan kebutuhan kebijakan dan program yang dijalankan masih sangat sektoral,. Oleh karena itu perlunya sinergi antar sektor terutama dalam lembaga pemerintahan agar bisa memberikan dampak yang nyata, perlakuan yang lebih komprehensif dan sasaran kebijakan dapat tertata dengan baik.
177
2. Keberlanjutan Dukungan Program Ristek Dukungan Kementerian terkait seperti KKP, Kemenrtian koperasi UKM,
Indag
dan
lainnya
khususnya
dari
Kemenristek
untuk
mengembangkan industri makanan berbahan baku ikan laut di Jawa Tengah. Aspek yang memerlukan dukungan dana dan sarana untuk dikembangkan yaitu Inovasi IPTEK pengolahan ikan, peningkatan kapasitas SDM pengolah ikan, mengembangan Sarpras penunjang pengolahan ikan, dukungan modal yang pro UMKM dan pemasaran hasip produksi pengolahan ikan, dan dukungan kebijakan teknis yang sesuai kondisi keadaan sosial masyarakat pengolah. Pola dukungan insentif LITBANG melalui sistim inkubasi yang saat ini telah dikembangkan Kemenristek perlu ditingkatkembangkan terutama di 5 daerah penelitian (Kota Pekalongan, kabupaten Cilacap, Brebes, Pati dan Kabupaten Rembang).
178
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini, 2000, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Rineka Cipta, Jakarta Aritonang, I. 2000. Krisis Ekonomi : Akar Masalah Gizi. Cetakan I. Penerbit Media Pressindo, Yogyakarta. Buchari, Alma, 1998. Manajemen Pemasaaran dan Pemasaran Jasa. Penerbit CV. Alfabeta, Bandung. Bungin, Burhan, 2008, Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Prenada Media Group, Jakarta Direktorat Gizi- Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Aksara, Jakarta. Djakapermana, RD., 2003. Pengembangan kawasan agropolitan dalam rangka pengembangan wilayah berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah RI. Jakarta. Husainie Syahrani, H.A. 2001. Penerapan agropolitan dan agribisnis dalam pembangunan ekonomi daerah. FRONTIR Nomor 33, Maret 2001. UGM Yogyakarta Kotler, P. 1987. Dasar-Dasar Pemasaran. Penerbit Intermedia. Cetakan I, Jakarta. Mowen J.C. dan Minor M., 2002. Perilaku Konsumen. Penerbit Erlangga, Jakarta. Pasaribu, M., 1999. Kebijakan dan Dukungan PSD-PU dalam Pengembangan Agropolitan. Makalah pada Seminar Sehari Pengembangan Agropolitan dan Agribisnis serta Dukungan Prasarana dan Sarana, Jakarta, 3 Agustus 1999. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah. 2005. RPPK Jawa Tengah. Peter J.P. dan Olson J.C., 2000. Consumer Behavior. Penerbit Erlangga,Jakarta Suratman. 2001. Studi Kelayakan Proyek, Teknik dan Prosedur Penyusunan Laporan Edisi I. J & J Learning. Yogyakarta. Soekartawi. 1993. Manajemen Pemasaran Dalam Bisnis Modern. Cetakan Pertama. Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. __________, 2001. Pengantar Agroindustri. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 179
___________,, 2003. Agribisnis (Teori dan Aplikasinya). Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Soesilo, Indroyono & Budiman, 2003, Laut Indonesia; Teknologi dan Pemanfaatannya, Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LISPI), Jakarta Sudiyono, A. 2002. Pemasaran Pertanian. Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang. Edisi ke -2, Cetakan ke-2, Malang. Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta Bandung Surachmad, Wiratno, 1982, Dasar dan Teknik Penelitian Researh Pengantar, Alumni, Bandung Sutrisno Hadi, 1986. Metodologi Research. Yayasan Penerbitan Fak. Psikologi UGM Yogyakarta. Swasta B. dan Sukotjo. 1997. Pengantar Bisnis Modern. Liberti. Yogyakarta. Swastha, B. 1990. Azaz-azaz Marketing. Penerbit Liberty, Yogyakarta. Tambunan, Tulus TH, 2002, Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia; Beberapa Isu Penting, Salemba Empat, Jakarta Triarso, I. 2004. Final Report : Study On Total Allowable Catch Determination. PT.Garda Mandiri Tunggal, Semarang.
Dokumen tanpa penerbit Bappeda Provinsi Jawa Tengah & BPS Provinsi Jawa Tengah, 2009, Jawa Tengah Dalam Angka 2009 Permenkes 1096 th 2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan no 15 th 2011 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2006, Profil Perikanan Tangkap Jawa Tengah Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2007, Profil Perikanan Tangkap di Perairan Umum Jawa Tengah Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2010, Profil Perikanan Tangkap di Perairan Umum Jawa Tengah Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah, Potensi Industri Makanan Jawa Tengah Tahun 2011 180
UU no 32 th 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup UU no 40 th 2009 tentang Perseroan Terbatas UU no 25 th 2007 tentang Penanaman Modal
Website http://diskanlut-jateng.go.id
181