BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional tidak hanya dapat diukur atau dilihat dari adanya kebijakan pemerintah di tingkat pusat, akan tetapi diperlukan dukungan kebijakan setiap pemerintah kabupaten dan kota. Salah satu indikator penting yang harus diperhatikan pemerintah dalam mewujudkan keberhasilan pembangunan nasional ini adalah perubahan pola pikir dan peningkatan kualitas hidup masyarakat pada berbagai aspek kehidupan. Misalnya, meningkatnya akses dan partisipasi di bidang pendidikan, meningkatnya kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi, akses dan layanan kesehatan bagi masyarakat, kesadaran masyarakat dalam bidang hukum dan HAM, sehingga dalam pelaksanaannya mampu menurunkan angka kriminalitas dan mewujudkan penegakkan HAM, serta praktik demokrasi yang sehat hingga di kalangan grassroot. Kondisi demikian ini akan menciptakan stabilitas sosial dan politik, sehingga berdampak pada stabilisasi berbangsa dan bernegara dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Akan tetapi dalam pelaksanaannya gambaran tolok ukur keberhasilan pembangunan di atas masih jauh dari harapan kita semua, khususnya terkait dengan pelaksanaan Instruksi Presiden (INPRES) No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender. Dalam Inpres tersebut, didefinisikan bahwa Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Dengan menggunakan dasar INPRES ini setiap lembaga dan satuan kerja dari tingkat pusat sampai daerah mampu membuat perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional yang responsif gender. Inpres No. 9/2000 diperkuat oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor
15
Tahun
2008
Tentang
Pedoman
Umum
Pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender di Daerah. Permendagri ini sebagai landasan operasional pelaksanaan pengarusutamaan gender pada setiap daerah, di mana integrasi kesetaraan gender dalam setiap satuan kerja (Satker) di seluruh pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia. 1
1. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender (RAD-PUG) Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 2014 2. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 27 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur. Dalam Perda Gubernur tersebut mencantumkan bahwa kesetaraan gender secara eksplisit telah terintegrasi dalam RAD-PUG yang dengan argumrntasi bahwa kendala dalam penanganan pelaksanaan Pengarusutamaan Gender selama ini adalah : 1. Kurangnya komitmen pada SKPD dalam pelaksanaan Peraturan Menteri 2. Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah; 3. Belum adanya persamaan persepsi, kesamaan tujuan, kesamaan rencana tindak (action plant) dalam pelaksanaan Pengarusutamaan Gender; 4. Masih banyaknya peraturan perundangan-undangan yang masih bias gender dan kurang mendukung Pemerintah dalam Pengarusutamaan Gender.
Untuk mendukung keberlangsungan dan kesuksesan berbagai kebijakan diatas RAD ini difokuskan pada isu-isu di masyarakat yang meliputi: 1. Pengentasan Kemiskinan Perempuan ; 2. Tingginya Angka Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak; 3. Pekerja Luar Daerah/ Migran ; 4. Penanganan Bencana yang Perspektif Gender; 5. Harmonisasi Hukum; 6. Layanan Kesehatan yang Responsif Gender; 7. Hak Berpolitik Responsif Gender; 8. Pembangunan yang Perspektif Gender. Dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 27 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Provinsi Jawa Timur, sebagaimana pasal 2 ayat 3 adalah bertujuan untuk memberikan pedoman bagi aparatur
Pemerintah
Provinsi,
Kabupaten/Kota
dalam
menyusun
strategi
pengintegrasian gender dalam kegiatan pembangunan daerah. Dalam konteks ini, setiap satuan kerja (Satker) diwajibkan untuk mengintegrasikan kesetaraan gender dalam perencanaan, pelaksanaan dan motnitoring serta evaluasi berdasarkan tugas pokok dan 2
fungsinya masing-masing sehingga PUG menjadi ruh dalam pembangunan di segala bidang Untuk melihat hasil pembangunan yang berkesetaraan dan berkeadilan gender, maka perlu menganalisis terlebih dahulu melalui data kuantitatif dan kualitatif tentang kesenjangan gender di setiap satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) agar dapat dilakukan reformulasi kebijakan responsif gender malalui perencanaa pembanguan yang responsif gender. Pembangunan yang responsif gender adalah pembangunan yang mengintegrasikan secara riil tentang pengalaman, aspirasi, dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan daerah. Pemikiran tentang pentingnya kesetaran dan keadilan gender „gender aquality and equity‟ ini telah menjadi kesepakatan internasional pada Konferensi Perempuan Dunia ke IV di Beijing tahun 1995 yang menghasilkan Beijing Platform for Action (BPFA) yang difokuskan pada konsep kebijakan Gender Mainstreaming dalam pembangunan untuk negara-negara yang bergabung dalam forum tersebut. Dalam BPFA tersebut melahirkan 12 kerangka aksi yang terkait dengan isu-isu strategis perempuan. Indonesia telah meratifikasi dalam bentuk Inpres sebagaimana di atas. Dalam komitmen internasional di bawah PBB tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan kesepakatan internasional yakni menjadi salah satu indicator capaian Millenium Development Goals/MDGs) point kedua. Komitmen ini mengikat dan wajib dijalankan oleh negara‐negara di dunia serta melahirkan konsep Pembangunan Berprespektif Gender „Engendering Development‟. United Nation Development Program (UNDP) kemudian menyusun tolok ukur keberhasilan pembangunan melalui formula Human Development Index/HDI, yaitu indikator komposit/gabungan yang terdiri dari tiga ukuran: kesehatan (sebagai ukuran longevity), pendidikan (sebagai ukuran knowledge), dan tingkatan pendapatan riil (sebagai ukuran living standards). Karena adanya isu kesetaraan gender kemudian menyusun formula baru yang mengakomodasi perspektif gender, yaitu Genderrelated development
Index/GDI
(indikatornya
sama
dengan
HDI,
namun
dengan
memperhitungkan kesenjangan pencapaian antara perempuan dan laki‐laki: selisih yang semakin kecil antara GDI dan HDI menyatakan semakin rendahnya kesenjangan gender) dan Gender Empowerment Measurement/GEM yang menitikberatkan pada partisipasi, dengan cara mengukur kesenjangan gender di bidang ekonomi (perempuan 3
dalam angkatan kerja dan rata‐rata upah di sektor non‐pertanian), politik (perempuan di parlemen), dan pengambilan keputusan (perempuan pekerja profesional, pejabat eselon, dan manajer). Tahapan dan perkembangan Pembangunan gender dalam RPJPN tahun 20052025 menyebutkan bahwa pembangunan yang ingin diwujudkan adalah terwujudnya kesejahteraan rakyat yang berkesetaraan gender. Secara spesifik, kondisi yang ingin dicapai dalam RPJMN 2010-2014 adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat yang ditunjukkan oleh membaiknya berbagai indicator pembangunan Sumber Daya manusia (SDM) yang mencakup peningkatan tingkat pendidikan masyarakat yang didukung dengan pelaksanaan system pendidikan nasional yang mantap dan peningkatan kesetaraan gender. Untuk arah kebijakan atau isu nasional terkait dengan pengarusutamaan gender sendiri, RPJMN memfokuskan tiga isu strategis yaitu; Pertama, Peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, melalui harmonisasi peraturan perundangan dan pelaksananya disemua tingkat pemerintahan dengan melibatkan pemangku kepentingan; Kedua, peningkatan perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, melaui upaya-upaya pencegahan, layanan dan pemberdayaan; Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan. Hingga tahun 2012 ini isu-isu strategis kesenjangan gender di Kab. Malang masih meprihatinkan. Di bidang Hukum dan HAM masih tingginya kasus gugat cerai yang masuk ke Pengadilan Agama, meningkatnya jumlah perempuan korban kriminalitas, tingginya jumlah kasus KDRT. Bidang Pendidikan masih menunjukan rendahnya angka partisipasi sekolah perempuan pada jenjang pendidikan menengah pertama dan atas, disamping itu juga terlihat tingginya angka putus sekolah di Kab. Malang. Bidang Kesehatan menunjukan rendahnya kesadaran Ibu untuk memberikan ASI pada Anak, rendahnya kesadaran orang tua untuk meng-imunisasikan bayi mereka, lebih dari itu angka kematian ibu juga relative masing tinggi. Di bidang Politik keterlibatan perempuan dalam partlemen masih kurang memenuhi kuota, disamping itu keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan juga sangat rendah. Bidang social menunjukan masih banyaknya anak jalanan yang belum tertangani dengan baik, disamping juga minimnya sarana pendidikan khusus bagi para difable juga menjadi masalah tersendiri. Bidang Ketenagakerjaan masih meninggalkan catatan dimana sektor formal masih didominasi oleh laki-laki, meskipun pada angkatan kerja antar Negara 4
perempuan lebih banyak dibanding laki-laki namun mayoritas perempuan masih bekerja di bidang informal baik sebagai pembantu maupun pekerja lepas. Di bidang ekonomi pertumbuhan koperasi dan pembiayaan untuk permodalan relative stagnan dari tahun ketahun. Dari berbagai catatan tersebut terdapat beberapa sebab yang melatar belakanginya diantaranya adalah: 1. Belum dipahaminya konsep kesetaraan dan keadilan gender di kalangan para pengambil kebijakan dan pelaksana program. 2. Belum kuatnya kepedulian dan komitmen berbagai pihak dalam upaya PUG. 3. PUG belum menjadi prioritas dalam pembangunan daerah karena dalam perspektif jangka pendek kurang berperan secara langsung dalam peningkatan pendapatan daerah. Kabupaten Malang telah memiliki kebijakan pengarusutamaan gender dalam pembangunan sesuai dengan visi Pemerintah Kabupaten Malang yaitu Terwujudnya Masyarakat Kabupaten Malang yang Mandiri, Agamis, Demokratis, Produktif, Maju, Aman, Tertib dan Berdaya Saing (MADEP MANTEP), yang dijabarkan dalam misi sebagai berikut: 1. Mewujudkan pemahaman dan pengamalan nilai nilai agama, adat istiadat dan budaya. 2. Mewujudkan pemerintahan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), clean goverment (pemerintah yang bersih) berkeadilan dan demokratis. 3. Mewujudkan supremasi hukum dan HAM. 4. Mewujudkan kondisi lingkungan yang aman, tertib dan damai. 5. Mewujudkan peningkatan ketersediaan dan kualitas infrastruktur. 6. Mewujudkan sumber daya manusia yang produktif dan berdaya saing. 7. Mewujudkan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berbasis pertanian dan pem berdayaan masyarakat per desaan. 8. Mewujudkan peningkatan kualitas dan fungsi lingkungan hidup serta pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Mengacu pada visi dan misi Kabupaten Malang diatas, maka diperlukan suprastruktur pelaku pembangunan yang berkesetaraan dan berkeadilan gender. Untuk mempersiapkan sumber daya manusia dalam pembangunan di Kab. Malang diperlukan tidak hanya SDM yang memiliki profesionalitas tetapi juga memiliki sensitivitas 5
terhadap isu-isu gender yang berkembang di masyarakat. SDM yang telah sensitive gender akan melahirkan kebijakan responsive gender untuk menggerakkan roda pembangunan untuk mendukung visi misi dimaksud. Implementasi PUG diperlukan kebijakan dalam bentuk produk hukum sebagai landasan yuridis. Kab. Malang telah memiliki produk hukum pada leading sector pengarusutamaan gender pada Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak sebanyak 11 produk hukum, yaitu: 1. Peraturan Daerah Kabupaten Malang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. 2. Peraturan Bupati Malang Nomor 19 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. 3. Peraturan Bupati Malang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Malang. 4. Peraturan Bupati Malang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Daerah Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak di Kabupaten Malang Tahun 2011-2016. 5. Peraturan Bupati Malang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Kabupaten Layak Anak tahun 2012. 6. Lampiran Rencana Aksi Daerah Kabupaten Layak Anak tahun 2012. 7. Peraturan Bupati Malang Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Daerah di Kabupaten Malang. 8. Peraturan Bupati Malang Nomor 34 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG). 9. Surat Keputusan Bupati Malang Nomor : 180/489/KEP/421.013/2011 tentang Gugus Tugas Kabupaten Layak Anak di Kabupaten Malang. 10. Surat Keputusan Bupati Malang Nomor : 180/291/KEP/421.013/2009 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kabupaten Malang. 11. Surat Keputusan Bupati Malang Nomor : 180/327/KEP/421.013/2010 tentang Komisi Penanggulangan AIDS. 6
Produk hukum terkait PUG dalam pembangunan Kab. Malang ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam mengimplementasikan PUG dalam berbagai bidang pembangunan sesuai dengan visi misi. Untuk itu diperlukan instrument pendukung dalam bentuk data base tentang situasi pembangunan gender di Kab. Malang sebagai pijakan para pengambil kebijakan dalam merencanakan program/proyek/kegiatan untuk tahun anggaran berikutnya yang dijamin reponsif gender. Data base dimaksud adalah hasil penelitian yang dibukukan dengan judul Profil Gender Kabupaten Malang Tahun 2012.
B. Tujuan Penulisan Dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Malang yang diarahkan pada terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender untuk meningkatkan kualitas hidup laki-laki dan perempuan, maka kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Malang dilakukan secara integrative pada semua SKPD Kabupaten Malang. Oleh karena itu penulisan buku profil gender ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara umum mengenai kesenjangan gender yang terjadi berdasarkan aspek disparitas dan indek paritas gender baik pada bidang Hukum dan HAM, Pendidikan, Kesehatan, Politik, Sosial, Ketenagakerjaan dan Ekonomi serta permasalahanpermasalahan lain yang dihadapi perempuan dan laki-laki khususnya di Kabupaten Malang.
C. Kegunaan Buku Profil Gender 1. Secara teoritis, buku ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk melihat secara jelas gambaran kondisi kesetaraan gender yang dilihat dari aspek disparitas pada tiap kecamatan di Kabupaten Malang. 2. Secara praktis, buku ini dapat digunakan sebagai bahan acuhan bagi pengambil kebijakan dan pihak-pihak terkait dalam upaya pelaksanaan pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak anak dalam pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Malang.
7
D. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data dan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan buku Profil Gender Kabupaten Malang Tahun 2012 ini adalah : 1. Data primer : data yang dikumpulkan dari Kepala Seksi Ekonomi dan Pembangunan (Kasi Ekobang) dan Penyuluh Keluarga Berencana (PLKB) dari tiap kecamatan dan data dari Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Polres, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2), Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi dan Sosial, Pengadilan Agama, Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Komisi Pemilihan Umum
Daerah
(KPUD),
Badan
Perencanaan
Daerah
Kabupaten
Malang,Pengadilan Negeri Kepanjen,Pengadilan Agama Kepanjen,Kejaksaan Kepanjen. 2. Data sekunder : data/informasi yang diperoleh melalui wawancara pada sejumlah pejabat instansi tingkat kecamatan dan kabupaten untuk melengkapi kekurangan data primer dan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, lengkap dan spesifik tentang data pilah menurut jenis kelamin yang tersedia pada tiap SKPD terkait serta faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender di Kabupaten Malang.
E. Metode Analisis Data Metode analisis data dalam penyusunan buku Profil Gender Kabupaten Malang Tahun 2012 menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif berdasarkan aspek disparitas dan indek paritas gender di Kabupaten Malang. Disparitas gender (DG) merupakan selisih kinerja yang dilakukan perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan untuk mengukur kinerja tersebut secara statistik biasanya digunakan indeks paritas gender (IP). IP merupakan rasio capaian kinerja perempuan terhadap laki-laki. adapun rumus yang digunakan dalam menentukan angka disparitas dan indeks paritas tersebut. Secara matematis untuk menganalisis data profil gender Kabupaten Malang ini adalah sebagai berikut : 1. Analisis Prosentase dengan rumus
: F : N x 100
2. Analisis Disparitas dengan rumus
: Kinerja perempuan – Kinerja laki-laki
3. Analisis Indekparitas dengan rumus
: (Kinerja perempuan : Kinerja laki-laki) x
100% 8
Kriteria Indeks Paritas dalam mengukur rasio capaian kinerja antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut : IP = 1 : tidak terdapat perbedaan kinerja/kesenjangan antara perempuan dan lakilaki IP < 1 : terdapat kesenjangan gender dengan kinerja perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. IP > 1 : terdapat kesenjangan gender dengan kinerja perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Pada penyusunan buku Profil Gender ini analisis lebih banyak dilakukan pada disparitas gender pada masing-masing sektor pada tiap kecamatan. Penyusunan buku Profil Gender tidak mempergunakan hipotesis sebagai pijakan, sehingga model analisis kuantitatif statistik maupun tidak digunakan untuk membahas data.
9
BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Gender Istilah gender difahami secara berbeda-beda oleh masyarakat. Pada dasarnya, gender adalah salah satu konsep sosial
yang dikonstruksi seiring dengan
berkembangnya persoalan sosial yang terkait dengan relasi laki-laki dan perempuan dalam ruang lingkup suatu budaya, tradisi, norma dan pemahaman dari suatu agama (sumber-sumber ajaran agama yang bersifat normatif doktrin ). Istilah ini merujuk pada peran laki-laki dan perempuan dalam bentukan budaya dan bukan jenis kelamin. Gender merupakan istilah yang dianggap baru karena istilah tersebut muncul seiring dengan berkembangnya ilmu-ilmu sosial walaupun pada dasarnya fakta atau kejadian yang terkait dengan isu-isu gender sudah terjadi di masyarakat jauh sebelum gender diteorikan secara baku dan formal bahkan menjadi suatu displin ilmu secara mandiri. Gender sebagai istilah yang diangap baru pada prinsipnya adalah proses membahasakan, melakukan penamaan atau memberi simbol terhadap perilaku dan sikap tertentu serta fenomena yang sesungguhnya telah lama ada dan berlaku ditengah kehidupan manusia. Gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang seringkali tumpang tindih dengan konsep sex (faktor biologis) sebagai kodrat Tuhan yang secara permanen memang berbeda. Sementara gender merupakan suatu produk pemahaman dan ekspektasi secara cultural yang bersifat “changeable”terhadap jenis kelamin tertentu. Istilah gender dan sex seringkali digunakan secara bergantian meskipun pada dasarnya makna keduanya berbeda. Menurut Umar (2001, h.34) istilah gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah sosio-kultural, sementara istilah seks digunakan untuk mengidentifikasi anatomi tubuh manusia secara biologis. Hal ini diperkuat oleh Errington (2001,h 329) dalam “ The Social Science Encyclopedia” yang menyatakan bahwa istilah seks merujuk pada bentuk fisik asli dari tubuh manusia, sementara istilah gender bagi Errington adalah apa yang didefinisikan sebagai seks oleh budaya yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa pemaknaan istilah gender dan seks seringkali tumpang tindih dan peran budaya suatu masyarakat sangat berpengaruh untuk memahami kedua istilah tersebut. Pembedaan yang dikonstruk secara sosial tesebut secara tidak langsung berdampak pada konstruk diri laki-laki dan perempuan terhadap peran dan identitas sosial masing-masing. 10
Konstruk tersebut kemudian disosialisasikan dan diperkuat oleh budaya, pemahaman agama dan Negara dalam bentuk aturan dan undang-undang (Faqih, 1996). Allan G. Johnson mendefinisikan peran gender sebagai “ ide-ide kultural yang mendefinisikan harapan-harapan bagi laki-laki dan perempuan bagaimana mereka saling berinteraksi dengan orang lain”. Lebih lanjut, Umar (2001,h. 75) menegaskan bahwa peran gender tidak muncul sendiri akan tetapi peran tersebut muncul dari asumsi terhadap identitas dan karakter yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan oleh masyarakat. Dengan demikian, atribut-atribut tersebut mengakibatkan pada status yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan sebagai akibat dari intervensi peran sosio-kultural seseorang. Pada dasarnya Pada dasarnya, pembedaan laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender adalah sesuatu yang tidak harus ditolak selama hal tersebut tidak berdampak pada ketidak adilan gender. Namun, identitas dan peran gender tersebut dapat menyebabkan dampak yang tidak diinginkan terhadap perempuan seperti subordinasi, peran ganda dan stereotip tertentu tentang perempuan. Gender tidak hanya berbicara tentang individu dengan satu individu yang lain.akan tetapi gender juga berbicara individu secara makro. Dengan kata lain, aspekaspek yang melingkupi relasi individu dengan individu lain seperti pemahaman agama, budaya, ekonomi dan sosial juga menjadi aspek yang terkait dengan gender. Dalam hal ini, gender tidak dilihat hanya sebatas istilah, namun sebagai disiplin ilmu mandiri yang berfungsi sebagai pisau analisa terhadap masalah dan akar masalah yang terjadi dalam masyarakat yang berdampak pada pembangunan masyarakat tersebut. Inilah yang kemudian menjadi landasan bagi isu-isu gender untuk menjadi bagian dari masyarakat terutama yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat karena ketika isu-isu gender dipandang tidak penting, maka tidak menutup kemungkinan terdapat persoalanpersoalan sosial yang muncul dari relasi laki-laki dan perempuan yang tidak berperspektif gender. Akan tetapi, kita tidak dapat mengeneralisasi bahwa masyarakat yang tidak mengindahkan isu-isu gender akan selalu mengalami persoalan–persoalan sosial karena masing-masing wilayah memiliki pemahaman dan nilai budaya yang berbeda satu sama lain dalam menilai sesuatu (local wisdom).
B.
Strategi Pemberdayaan masyarakat berperspektif gender Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu isu penting pada negara yang
sedang berkembang termasuk Indonesia. Berbagai strategi juga didesain dan 11
dikembangkan oleh pemerintah dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Indonesia merupakan salah satu Negara yang juga mencanangkan strategi dan fokus pemberdayaan beragam serta dilaksanakan melalui berbagai program pembangunan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat atau stakeholders yang terkait dengan fokus pemberdayaan. Hal yang harus diperhatikan adalah isu penting dalam pemberdayaan (selain fokus program) adalah objek atau kelompok sasaran dari program pemberdayaan tersebut. Sejak ditetapkan dan dikeluarkannya Inpres No 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) di Indonesia. Berdasarkan Inpres tersebut, kelompok perempuan menjadi salah satu objek pemberdayaan yang tidak hanya bersifat informal dan sekedar random sampling saja yaitu sebagai objek bersifat prosedural dan formalitas saja. Perempuan Indonesia, pada satu sisi, menjadi kelompok utama dari pemberdayaan masyarakat dalam berbagai bidang dan aspek kehidupan seperti pendidikan dan ekonomi. Hal ini berpijak pada kondisi lapangan yang menunjukkan bahwa kondisi perempuan Indonesia masih dalam tingkat yang rendah dalam berbagai aspek disebabkan oleh berbagai faktor seperti lokasi tempat tinggal (potensi alam), budaya bias gender, politik dan berbagai kebijakan pemerintah yang masih dalam proses netral gender. Oleh karena itu pemerintah mencoba berbagai program , strategi dan pendekatan yang berbeda-beda (berubah dengan menyesuaikan isu yang dikaji atau di analisa) pemberdayaan dalam bentuk kebijakan. Akan tetapi, objek program atau kegiatan pembangunan tersebut dapat berubah sesuai dengan kondisi dilapangan. Dengan kata lain, kelompok laki-laki dapat menjadi sasaran dari program bahwa data lapangan menyatakan bahwa kelompok yang perlu diberdayakan atau dilibatkan secara penuh adalah kelompok laki-laki. Kondisi lapangan terkait kedudukan dan peran perempuan Indonesia walaupun sudah diupayakan dengan berbagai strategi dan pendekatan belum menunjukkan hasil yang memadai
karena pendekatan pembangunan yang dikembangkan belum
mempertimbangkan manfaat yang merata dan adil bagi laki-laki dan perempuan sehingga mengakibatkan terciptanya ketidaksetaraan dan ketidak adilan gender yang lebih dikenal dengan kesenjangan gender (gender gap) yang akan mengakibatkan pula pada berbagai permasalahan gender dalam berbabagi aspek kehidupan masyarakat. Indikator yang digunakan untuk melihat dan mengukur kesenjangan tersebut adalah Gender Empowerment Measurement (GEM) dan Gender Related Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Development Index (HDI). 12
Fakta ketidakadilan gender dalam masyarakat Indonesia diperkuat dengan adanya Human Development Index report tahun 2011 yang menunjukkan posisi Indonesia masih menempati urutan 124 dari 173 negara dan HDI Indonesia tersebut masih berada pada posisi medium dibawah standar capaian yang digariskan oleh UNDP.Oleh karena itulah berbagai strategi yang dapat meningkatkan pemberdayaan perempuan terus dikembangkan seperti strategi terakhir yaitu strategi pengarusutamaan gender ( Gender Mainstreaming). Pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming) adalah suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui perencanaan dan penerapan kebijakan yang berperspektif gender pada organisasi dan institusi. Pengarusutamaan gender merupakan strategi alternatif bagi usaha pencepatan tercapainya kesetaraan gender karena nuansa kepekaan gender menjadi salah satu landasan dalam penyusunan dan perumusan strategi, struktur, dan sistem dari suatu organisasi atau institusi, serta menjadi bagian dari nafas budaya di dalamnya. Strategi ini merupakan strategi integrasi kesamaan gender secara sistemik ke dalam seluruh sistem dan struktur, termasuk kebijakan, program, proses dan proyek, budaya, organisasi atau sebuah agenda pandangan dan tindakan yang memprioritaskan kesamaan gender berdasarkan Inpres No 9 Tahun 2000 yaitu Presiden menginstruksikan untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing . Strategi pemberdayaan ini dirancang sebagai strategi alternatif untuk melengkapi dua strategi terdahulu yaitu strategi Women in Development (WID) dan Gender and Development (GAD) dan dideklarasikan semenjak tahun 1995 pada Forth World Conference on Women di Beijing. WID sebagai strategi pemberdayaan pertama mulai dikenal antara tahun 1975-1985. Rentang tahun tersebut dideklarasikan oleh PBB sebagai “Dasawarsa PBB untuk Perempuan”. Sejak dideklarasikan, hampir semua negara atau pemerintahan dunia ketiga mulai mengembangkan Kementerian Peranan Wanita, termasuk didalam Indonesia, dengan fokus utama meningkatkan peran wanita dalam pembangunan. Strategi peningkatan peran wanita dalam pembangunan ini berdasarkan analisis yang lebih memfokuskan strategi pada kelompok perempuan. Strategi ini dibangun dengan berlandaskan asumsi bahwa permasalahan kaum perempuan berakar pada rendahnya kualitas sumber daya perempuan itu sendiri yang 13
berdampak pada tingkat kemampuan bersaing perempuan terhadap laki-laki yang cenderung rendah dalam masyarakat termasuk dalam proses pembangunan. Analisis ini menuntut adanya usaha untuk menghilangkan diskriminasi yang menghalangi upaya mendidik dan memberdayakan kelompok perempuan. Akan tetapi, strategi ini menuai banyak kritik terutama dari kelompok feminis dengan mengasumsikan bahwa strategi tersebut merupakan agenda dunia pertama terhadap dunia ketiga dengan bias kepentingan feminis liberal (diwakili oleh perempuan kulit putih) serta berorientasi pada pemberdayaan yang kontraproduktif terhadap pemberdayaan perempuan. Kritik lain yang muncul terhadap strategi ini yaitu pengabaian terhadap hubungan dan relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Sehingga strategi ini dipandang belum mampu menjamin perempuan memperoleh manfaat pembangunan. Strategi kedua kemudian muncul dengan dengan fokus berbeda yaitu sistem, struktur, ideologi, dan budaya hidup masyarakat yang memungkinkan untuk menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk ketidakadilan yang bersumber pada keyakinan gender. Menurut
strategi ini, inti dari persoalannya bukan
kaum perempuan
sebagaimana yang pada awalnya diasumsikan , akan tetapi pada upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender. Strategi kedua ini menitikberatkan pada pemberdayaan (empowerment) dan perubahan struktur gender dalam masyarakat. strategi ini dikenal sebagai pendekatan Gender and Development (GAD) yang sebelumnya berubah menjadi strategi WAD (Women and Development) setelah kegagalan strategi WID. Berbeda dari strategi WID yang berorientasi dan diukur keberhasilannya melalui kegiatan-kegiatan peningkatan peran perempuan seperti kegiatan peningkatan penghasilan perempuan dan didirikannya kementerian peranan wanita, tolok ukur dari keberhasilan strategi kedua ini adalah dengan merumuskan kebijakan global yang menjadi landasan bagi perjuangan kaum perempuan yang kemudian kebijakan tersebut diterima secara global yaitu konvensi anti segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan yang disingkat menjadi konvensi CEDAW (Convention on the Elemination of all Form of Discrimination Againts Women) tersebut. Strategi GAD pada dasarnya adalah salah satu pendekatan yang mempertimbangkan aspek-aspek kehidupan yang melingkupi perempuan dalam pembangunan termasuk semua pekerjaan yang dilakukan perempuan seperti kerja produktif dan reproduktif serta pekerjaan di ruang publik maupun domestik. Lebih jauh lagi, pendekatan GAD juga menghapus berbagai asumsi dan penilaian rendah terhadap 14
semua pekerjaan perempuan. selain aspek positif yang dimiliki GAD, pendekatan ini memiliki aspek kelemahan yang membuat pendekatan ini dikembangkan lagi kearah pendekatan lainnya. Selanjutnya dalam konferensi Nairobi tahun 1985 dibicarakan kemungkinan memasukkan perspektif gender dalam semua kebijakan negara dan pembangunan serta diperkuat konferensi Beijing 1995 dengan lahirnya platform action strategi gender mainstreaming. Dalam konferensi tersebut dibicarakan upaya mengurangi praktek diskriminasi terhadap perempuan yang kemudian melahirkan strategi ketiga yang dikenal dengan istilah Strategi Gender Mainstreaming. Strategi tersebut merupakan pematangan dari GAD yang tujuan dasarnya menjadikan gender sebagai arus utama dalam pembangunan. Sasaran utama kebijakan ini adalah kebijakan (negara), aksi (masyarakat), institusi (organisasi dan masyarakat). Strategi ini menjadi landasan hukum
untuk implementasi pengarusutamaan gender dalam rangka pencapaian
kesetaraan dan keadilan gender di masyarakat. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa Indonesia telah merespon konvensi tentang pemberdayaan perempuan secara partisipatoris yang telah disepakati melalui konferensi Nairobi dan Beijing melalui diterbitkannya InPres No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan gender, maka dalam implementasinya InPres tersebut didukung dan dikawal oleh berbagai produk kebijakan pemerintah lainnya yang bresifat lebih detail dan teknis dalam rangka pencapaian yang maksimal. Adapun beberapa produk kebijakan pemerintah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2011 tentang Strategi Nasional Sosial Budaya untuk Mewujudkan Kesetaraan Gender 2. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2011 tentang Kebijakan Partisipasi Anak Dalam Pembangunan 3. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kebijakan Partisipasi Anak Dalam Pembangunan 4. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Anak 15
5. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran
yang
Responsif
Gender
Bidang
Ketenagakerjaan
dan
Ketransmigrasian 6. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran
yang
Responsif
Gender
Bidang
Ketenagakerjaan
dan
Ketransmigrasian 7. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2010 tentang Pedoman Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 8. Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Penelitian
Pengarusutamaan
Gender,
Pemberdayaan
Perempuan
dan
Perlindungan Anak 9. Kesepahaman Bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik tentang Penyediaan Data dan Informasi Gender dan Anak 10. Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dalam bentuk pedoman pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak bagi pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota 11. Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dalam bentuk pedoman pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak bagi pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dalam hal Penyelenggaraan Data Gender dan Anak 12. Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dalam bentuk pedoman pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak bagi pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dalam hal Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan
Beberapa produk hukum tersebut pada dasarnya hanya sebagian kecil dari beberapa produk hukum yang telah diterbitkan pemerintah sebagai salah satu indikator upaya dari 16
pemerintah untuk menerapkan kesepakatan internasional terkait dengan pemberdayaan manusia Indonesia seutuhnya terutama perempuan dan anak. Diharapkan dengan adanya beberapa produk hukum tersebut, pengarusutamaan gender tidak hanya bersifat cultural dan non-obligasi bagi semua pihak, namun menjadi nilai dan tujuan yang larut dalam semua kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat yang bersifat institutional.
C. Model Analisis Pemberdayaan Masyarakat Berperspektif Gender Dalam konteks pembangunan berperspektif gender melalui penerapan gender mainstreaming, maka dibutuhkan alat atau model analisis gender untuk menyusun program yang tepat sehingga program atau kebijakan yang disusun bersifat responsive gender yang akan menjawab kebutuhan gender suatu wilayah. Kebijakan atau program yang bersifat responsive gender tersebut artinya adalah program yang memperhatikan aspek akses, partisipasi dan manfaat dari subjek maupun objek pemberdayaan (kelompok sasaran baik laki-laki maupun perempuan). Aspek akses adalah aspek kunci yang menjadi indicator apakah kelopok sasaran pemberdayaan memiliki akses terhadap suatu program atau kebijakan yang kemudian harus menjadi pertimbangan untuk menjamin akses yang setara dengan tidak membedakan jenis kelamin. Aspek partisipasi adalah aspek lanjutan dari akses yang memantau apakah semua kelompok dengan akses yang setara dapat terukur partisipasinya dalam suatu program. Kedua aspek tersebut yang kemudian juga diukur melalui aspek manfaat yang menganalisa kelompok mana yang menikmati manfaat progam dan kelompok mana yang tidak. Masing-masing aspek tersebut akan membantu menjawab akar masalah dari suatu program apak program tersebut bersifat responsive gender. Ada lima jenis model analisis gender yang biasa digunakan di Indonesia, yaitu: 1.
Model Harvard Model ini adalah suatu kerangka analisis gender yang paling awal
dikembangkan dengan pendekatan efisiensi WID untuk melihat profil gender secara mikro dan peran gender dalam proyek pembangunan serta dalam perencanaan berbagai program kegiatan. Kerangka analisis ini dikenal dengan kerangka analisis Harvard. Dikembangkan pada mulanya oleh Harvard Institute For International Development yang bekerjasama dengan kantor Women In Development (WID) USAID. Perspektif yang digunakan model Harvard ini lebih tepat digunakan untuk perencanaan proyek yang lebih bersifat
ekonomis dan lebih tepat untuk perencanaan proyek daripada 17
kebijakan karena model ini bisa menunjukkan bagian-bagian proyek yang perlu disesuaikan dengan tujuan proyek. Analisis model Harvard ini meninjau dari 4 (empat) komponen dasar antara lain; profil kegiatan, profil akses dan kontrol, analisis faktorfaktor yang menentukan pembagian kerja berdasarkan gender dan analisis siklus proyeku dengan melihat kegiatan-kegiatan yang sudah terlaksana yang bisa dipengaruhi oleh proyek yang akan dilaksanakan. 2.
Model Moser Model analisa ini lebih mengasumsikan bahwa perencanaan gender bersifat teknis
dan politis sehingga dalam proses perencanaan dan transformasi terdapat konflik. Ada 6 (enam) alat yang digunakan dalam perencanaan semua tingkatan dari perencanaan proyek dari level pusat sampai level daerah melalui; pertama, identifikasi peranan gender
yang mencakup penyusunan pembagian kerja gender dalam rumah tangga
selama 24 jam. Kedua, Penilaian kebutuhan gender yang memetakan kebutuhan yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan yang berbeda berdasarkan minat yang bersifat praktis dan strategis. Ketiga, Pemisahan kontrol atas sumberdaya dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga Penyeimbangan peran (alat 4). Alat ini menganalisa peran perempuan dalam mengelola keseimbangan antara tugas-tugas produktif, reproduktif dan publik (sosial kemasyarakatan). Keempat, Pelibatan perempuan dan organisasi perempuan sadar gender dalam perencanaan pembangunan 3.
Model SWOT Model analisa gender ini merupakan suatu analisa manajemen melalui identifikasi
secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara eksternal mengenai peluang dan tantangan. Kedua aspek (eksternal dan internal) dipertimbangkan dalam kaitannya dengan konsep strategis dalam penyusunan program aksi, langkah-langkah atau kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan kegiatan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang disamping meminimalkan kelemahan dan tantangan sehingga mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari pelaksanaan program/kegiatan. Ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam analisa model ini, antara lain sebagai berikut; Pertama, proses identifikasi kekuatan dan kelemahan dari masalah-masalah internal kondisi yang ada saat itu serta pemberian bobot pada kondisi yang diinginkan. Kedua,
proses identifikasi peluang ancaman dan tantangan dari masalah-masalah
eksternal dengan pemberian bobot pada kondisi yang dinginkan dan keadaan yang ada pada saat itu. Ketiga,
proses analisa korelasi kunci internal dan eksternal dengan 18
pemberian kuadran –kuadran. Keempat, menyusun rencana aksi yang meliputi kegiatan yang responsif gender . Kelima, penjadwalan atau penyusunan sketsa yang mennujukkan rangkaian kegiataan khusus dari aspek pelaksanaan dan rencana kegiatan. 4.
Model PROBA (problem based approach) Model analisa gender ini adalah suatu teknik untuk menganalisa kesenjangan
gender (gender gap). Dengan demikian analisa gender dimulai dengan melihat kesenjangan gender yang selanjutnya dibentuk GFP (gender focal point) dan POKJA PUG dalam tataran pelaksanaan, monitoring dan evaluasi kegiatan pengarusutamaan gender. Model analisa ini juga dilengkapi dengan indikator-indikator seperti input, output, outcome dan proses. 5.
Model analisa GAP (gender analysis pathway) Model atau kerangka analisa gender GAP merupakan suatu alat analisis gender yang
dapat digunakan untuk membantu perencanaan dan pelaksanaan dari kegiatan pengarusutamaan gender melalui perencanaan kebijakan/program/proyek dari kegiatan pembangunan. Model analisis ini menekankan pada empat aspek penting yang meliputi akses, peran, kontrol dan manfaat. Model ini memiliki kekuatan untuk menghasilkan program atau kegiatan yang responsif gender dengan metodologi yang sederhana dan penggunaan data kualitatif dan kuantitatif secara bersamaan serta adanya peluang untuk memonitor dan mengevaluasi setiap langkah. Sedangkan kelemahan model ini adalah adanya ketergantungan pada data terpilah menurut jenis kelamin, dan biasanya hanya digunakan pada kebijakan atau proyek formal yang biasanya didanai oleh pemerintah dan dibatasi pada aspek perencanaannya. Dalam penyusunan profil gender kabupaten Malang ini, model analisa yang digunakan adalah model kelima yaitu model analisa GAP (Gender Analysis Pathway) dengan asumsi bahwa paparan data statistik yang bersumber dari data riil lapangan dalam berbagai aspek berdasarkan jenis kelamin serta analisa kualitatif yang memunculkan indikator akses, peran,kontrol dan manfaat ( kelompok yang menerima manfaat) dalam setiap topik kajian.model ini digunakan juga dalam rangka untuk memberikan kesimpulan dari data lapangan yang mengarah pada rekomendasirekomendasi yang memperhatikan aspek responsif gender baik dalam bentuk kegiatan atau program bagi Pemerintah kabupten malang dalam setiap sub bahasan dari profil gender ini.
19
Kelima model analisis gender yang telah dipaparkan diatas digunakan untuk menela'ah berbagai kegiatan/proyek/kebijakan yang menyebabkan terjadinya berbagai kesenjangan gender yang terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itulah, kerjasama antara perencana kebijakan, organisasi yang concern terhadap isu-isu perempuan dan gender dan terutama antar perempuan akan membantu percepatan dari perwujudan kesetaraan dan keadilan gender. Akan tetapi harus diperhatikan juga bahwa relasi sosial antara laki-laki juga penting dalam menyusun semua kebijakan. Dengan kata lain, keterlibatan perempuan dalam pembangunan menjadi penting karena pengalaman telah menunjukkan bahwa pembangunan yang bersifat dikotomis dengan lebih menekankan pada salah satu jenis kelamin kurang menunjukkan hasil yang signifikan.
20
BAB III HUKUM DAN HAM
Secara sosiologis, hukum merupakan refeksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu prantara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acauan dalam mengatasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik di masa mendatang. Pemikiran ini menunjukkan bahwa hukum bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya. Hukum adalah sistem aturan yang mengandung substansi yang terpenting dalam pelaksanaan rangkaian kekuasaan kelembagaan negara. Esensi hukum memberikan konstribusi besar dalam menstabilkan program-program yang dijalankan oleh pemerintahan. Bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oknum-oknum tertentu baik dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak. Maka dengan adanya hukum serta aturan yang jelas oknum-oknum yang melakukan tindakan hukum baik dalam bidang politik, ekonomi maupun hubungan dengan masyarakat akan diselesaikan melalui jalur hukum, baik hukum yang diatur dalam hubungan sesama manusia (perdata) maupun hokum yang berhubungan dengan tindak pidana. Hukum sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana,maka eksistensi hokum sesungguhnya menjadi sebuah keniscayaan bagi Negara untuk melindungi bangsa dari perlakuan yang tidak manusiawi, perlindungan hak asasi manusia. Dalam bab ini akan dibahas terkait dengan aspek hukum dan gender, yaitu (1) tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), (2) tindak pelecehan, (3) perkosaan, (4) perdagangan manusia (trafficking), (5) perkara yang masuk pengadilan Agama, (6) cerai talak dan cerai gugat, (7) perkara perceraian menurut factor penyebabnya, (8) perkara yang diputus di pengadilan Agama, (9) tindak kejahatan, (10) tindak kejahatan menurut jenis kejahatan, (11) surat ijin mengemudi yang diterbitkan, (12) surat ijin mengemudi yang diterbitkan menurut kepemilikan, (13) jenis SIM dan jenis kelamin, (14) pelanggaran lalu lintas menurut jenis pelanggaran, (15) pelaku pelanggaran lalu lintas 21
menurut jenis pekerjaan, (16) banyaknya pelaku pelanggaran lalu lintas menurut status pendidikan, , (17) keberadaan sumberdaya meliputi Sumberdaya Manusia (SDM) dan sumberdaya Buatan (SDB) terkait dengan aspek Hukum di Kabupaten Malang.
A. Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) termasuk tindak kekerasan yang bertentangan dengan Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Kekerasan bisa terjadi pada siapapun, baik perempuan maupun laki-laki, anak-anak maupun orang dewasa. Tindak kekerasan merupakan tindakan yang melanggar hukum. Data Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendapatkan pengaduan dan unit layanan dari P2TP2A Kabupaten Malang sebanyak 30 kasus, UPPA Kabupaten Malang sebanyak 153 kasus, dan RSUD Kanjuruhan Kabupaten Malang sebanak 178 kasus, dan semuanya dapat terperinci berdasarkan ciri-ciri korban (yang meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan status perkawinan), termasuk juga ciri-ciri pelaku (yang meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan pekerjaan, hubungan dengan korban, dan kebangsaan). Adapun bentuk-bentuk kekerasan bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran ekonomi. Jumlah Kasus, Korban dan Pelaku Tindak Kekerasan (Termasuk Kekerasan dalam Rumah tangga/KDRT) di Kabupaten Malang tahun 2010, 2011, dan 2012 tampak pada grafik berikut ini :
Gambar 3.1 Jumlah Kasus, Korban dan Pelaku Tindak Kekerasan (Termasuk Kekerasan dalam Rumah tangga/KDRT) di Kab. Malang tahun 2010, 2011, dan 2012
22
Sumber : KP3A dan P2TP2A Kab Malang
Pada grafik diatas mendeskripsikan bahwa eskalasi jumlah kasus, korban tindak kekerasan, termasuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada tahun 2010 jumlahnya sangat tinggi yaitu mencapai 42% atau 222 kasus, sedangkan pada tahun 2011 menurun menjadi 26% atau 141 kasus, selanjutnya pada tahun 2012 meningkat lagi menjadi 32% atau 168%. Ini menunjukkan bahwa masih banyaknya masyarakat atau keluarga rumah tangga yang melakukan kekerasan baik terhadap suami-isteri maupun anak-anak, termasuk juga kekerasan yang terjadi diluar rumah, seperti adanya kekerasan seksual dan lain-lain, baik dilakakukan oleh laki-laki maupun oleh perempuan. Untuk melihat data jenis kelamin korban kekerasan dan pelaku kekerasan sebagaimana pada grafik dibawah ini : Gambar 3.2 Jumlah Kasus, Korban dan Pelaku Tindak Kekerasan (Termasuk Kekerasan dalam Rumah tangga/KDRT) di Kab. Malang tahun 2010, 2011, dan 2012
23
Sumber : Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab Malang
Terlihat pada grafik 3.2 bahwa dari sisi korban kekerasan terbanyak perempuan, sedangkan dari sisi pelaku terbanyak laki-laki. Ini berlaku tahun 2012. Berdasarkan grafik 8.24 juga dapat disimpulkan bahwa kasus tindak kekerasan di wilayah Kabupaten Malang baik pada perempuan maupun pada anak-anak masih sering terjadi. Apabila dilihat dari pelaku kekerasan pada tahun 2010 menunjukkan angka 98% dilakukan oleh laki-laki, dan 2% dilakukan oleh perempuan. Pada tahun 2011 menunjukkan angka 90% dilakukan oleh laki-laki, dan 10% dilakukan oleh perempuan. Kemudian pada tahun 2012
menunjukkan angka 93% dilakukan oleh laki-laki, dan 7% dilakukan oleh
perempuan. Sedangkan korban kekerasan pada tahun 2010 menunjukkan angka 98% korban kekerasan adalah perempuan, dan 2% adalah laki-laki. Pada tahun 2011 korban kekerasan menunjukkan angka 92% adalah perempuan, dan 8% adalah laki-laki. Sedangkan pada tahun 2012 menunjukkan angka 93% korban kekerasan adalah perempuan, sedangkan angka 7% korban kekerasan adalah laki-laki. Terlihat pada gambar 8.24 bahwa lagi-lagi korban kekerasan terbanyak perempuan, dan pelaku kekerasan terbanyak laki-laki. Demi kenyamanan masyarakat Kabupaten Malang dan Indonesia pada umumnya, kasus tindak kekerasan dan pelecehan ini baik laki-laki maupun perempuan baik sebagai korban maupun pelaku perlu mendapatkan pembinaan agar kasus kekerasan dan pelecehan dapat dihilangkan minimal dikurangi. Sedangkan perbandingan kasus tindak pelecehan maupun tindak pemerkosan pada tahun 2010, 2011 dan 2012 dapat terliha pada grafik berikut : 24
Gambar 3.3 Jumlah Kasus Pelecehan dan Pemerkosaan termasuk Kekerasan dalam Rumah tangga (KDRT) di Kab. Malang tahun 2010, 2011, dan 2012
Sumber : Data Kriminal Polres Malang
Data kasus pelecehan di Kabupaten Malang jika melihat dari tingkat grafik diatas adalah adanya menurunan. Pada tahun 2010 kasus pelecehan dalam prosentase adalah 65% atau 22 kasus, dan pemerkosaan ada 35% atau 12 kasus. Pada tahun 2011 jumlah pelecehan dalam prosentase adalah 71% atau 24 kasus, dan pemerkosaan 29% atau 10 kasus. Sedangkan pada tahun 2012 jumlah pelecehan dalam prosentase adalah 65% atau 9 kasus, dan kasus pemerkosaan 44% atau 7 kasus. Ini menunjukkan bahwa adanya kesadaran bagi masyarakat bahwa pelaku pelecehan dan pemerkosaan baik terhadap perempuan maupun anak-anak merupakan tindakan yang tidak terhormat, dan bisa berakibat ancaman pidana bagi pelaku yang melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa kasus pemerkosaan di Kabupaten Malang masih sering terjadi. Namun demikian data tindak kekerasan terhadap perempuan di Kabupaten Malang yang diperoleh dari Polres Malang tidak merinci jumlah kasus per kecamatan dan penjelasan kasus kekerasan secara lebih spesifik, apakah termasuk kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, perkosaan, maupun traficking. Data yang diperoleh adalah akumulasi kasus tindak kekerasan selama satu tahun di Kabupaten Malang. Pada tahun 2010 data jumlah
25
kasus pelecehan terhadap perempuan jumlahnya menurun dibandingkan dengan tahun 2011, dan menurun pada tahun 2012. Sedangkan kasus pemerkosaan setiap tahunnya menurun. Data yang diolah oleh Polres Kabupaten Malang merupakan jumlah total pemerkosaan dan pelecehan terhadap perempuan di Kabupaten Malang, bukan per Kecamatan. 1. Bentuk Kekerasan Tindak kekerasan merupakan tindakan yang melanggar hukum dan patut dikenai sanksi hukum. Baik kekerasan dalam rumah tanggah, kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan tersebuat berdampak pada fisik dan kejiwaan, jika hal itu dibiarkan pada KDRT akan semakin meningkat di Kabupaten Malang. Adapun bentuk-bentuk kekerasan tersebut yang terjadi di Kabupaten Malang selama tahun 2012, dapat dilihat pada grafik berikut : Gambar 3.4 Jumlah Kasus Pelecehan dan Pemerkosaan termasuk Kekerasan dalam Rumah tangga (KDRT) di Kab. Malang Tahun 2010, 2011, dan 2012
Sumber : Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab Malang
Berdasarkan pada di atas menunjukkan bahwa bentuk kekerasan yang terjadi di Kabupaten Malang (4) empat tahun terakhir. Kekerasan fisik pada tahun 2010 ada 79 kasus (54%), tahun 2011 turun menjadi 31 kasus (18%), kemudian tahun 2012 meningkat menjadi 64 kasus (37%). Kekerasan psikis pada tahun 2010 ada 15 kasus 26
(22%), tahun 2011 meningkat menjadi 18 kasus (26%), dan pada tahun 2012 meningkat lagi menjadi 36 kasus (52%). Kekerasan seksual pada tahun 2010 terdapat 93 kasus (41%), kemudian menurun pada tahun 2011 dengan 60 kasus (27%), dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 73 kasus (32%). Kasus penelantaran pada tahun 2010 terdapat 18 kasus (60%), pada tahun 2011 menurun menjadi 7 kasus (23%), kemudian pada tahun 2012 juga menurun dengan 5 kasus (17%). Kasus lainnya pada tahun 2010 terdapat 17 kasus (29%), pada tahun 2011 meningkat menjadi 25 kasus (43%), dan pada tahun 2012 menurun menjadi 16 kasus (28%). Kasus kekerasan yang paling tinggi adalah kekerasan seksual pada tahun 2010 sebanyak 93 kasus atau 41% dibandingkan dengan tahun 2011 sejumlah 60 kasus (27%), dan tahun 2012 ada 73 kasus (32%). Sedangkan kasus paling rendah adalah eksploitasi yang terjadi pada tahun 2012 yaitu ada 5 kasus atau 17%, pada tahun 2011 ada 7 kasus atau 23%, dan tahun 2012 ada 18 kasus atau 60%. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan baik isteri pelaku maupun kasus pemerkosan menunjukkan bahwa Kabupaten Malang masih rawan dengan kasus-kasus pelecehan dan kekerasan, baik kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga, tempat kerja, maupun tempat lainnya. Berdasarkan pada tempat kejadiannya, maka grafik berikut akan menunjukkan tempat-tempat mana yang paling banyak terjadinya kasus kekerasan dan pelecehan tersebut, sebagaimana berikut : Gambar 3.5. Jumlah Kasus Pelecehan dan Pemerkosaan termasuk Kekerasan dalam Rumah tangga (KDRT) di Kab. Malang, Tahun 2010, 2011, dan 2012
27
Sumber : Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab Malang
Grafik diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2010 tempat terjadi kekerasan terbanyak terjadi pada rumah tangga dengan 45 kasus (50%), kemudian tempat kerja dengan 14 kasus (16%), dan tempat lainnya ada 30 kasus (34%). Pada tahun 2011 kejadian kekerasan paling banyak dilakukan juga di rumah tanggal dengan jumlah kasus 90 kasus (64%), tempat kerja dengan 2 kasus (1%), kemudian tempat lainnya dengan 49 kasus (35%). Selanjutnya pada tahun 2012 tempat kejadian terbanyak ditempati adalah pada rumah tangga dengan jumlah 102 kasus (56%), tempat kerja ada 8 kasus (4%), kemudian tempat lainnya sejumlah 72 kasus dengan prosentase 40%. Deskripsi tempat terjadi kekerasan pada tiga tahun terakhir adalah terjadi dalam rumah tangga dengan nilai rata-rata dalam setiap tahunnya adalah 79 kasus dalam setiap tahun. Sedangkan nilai rata-rata tempat kejadian terendah adalah terjadi di tempat kerja dengan nilai ratarata adalah 8 kasus dalam setiap tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa rumah tangga yang paling dominan menjadi tempat terjadi tindakan kekerasan atau pelecehan baik kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan, anak-anak, dan tidak menutup kemungkinan juga bagi laki-laki. Indikasi ini menunjukkan bahwa ketidak harmonisan dalam keluarga sebagai pemicu muncul kekerasan dan pelecehan tersebut. Oleh karena itu setidaknya penyuluh keluarga sakinah atau organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pembinaan keluarga sakinah mempunyai peran penting untuk selalu mengadakan sosialisasi dan pembinaan kepada keluarga yang rentan akan terjadi 28
kekerasan, bukan hanya yang rentan saja tetapi peran pemerintah sangat penting dalam membina kedamaian dan keharmonisan keluarga. Sebab ketidak harmonisan keluarga yang berujung pada perceraian factor ekonomi yang menjadi pemicu paling dominan, maka pemerintah harus memberikan program pemberdayaan ekonomi keluarga melalui pinjaman lunak atau hibah dengan tujuan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi keluarga pra sejahtera di Kabupaten Malang. 2. Pelayanan Bagi Korban Korban kekerasan merupakan salah satu obyek yang harus diperhatikan oleh pemerintah, khusus Kabupeten Malang, karena korban kekerasan fisik maupun seksual yang dirujak ke Rumah Sakit Kanjuran pada tahun 2010 – 2012 ada 360 korban. Sedangkan korban yang tidak dirujuk ke Rumah Sakit sekitar 186 korban. Hal ini menunjukkan bahwa jika pemerintah tidak memperhatikan para pelaku korban kekerasan ini, maka setiap tahun akan terus meningkat, baik perhatian kepada korban yang mengalami kekerasan, maupun kepada pelaku kekerasan. Adapun data korban yang mendapatkan jenis pelayanan oleh Pemerintah Kabupaten Malang melalui Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah sebagaimana grafik berikut : Gambar 3.6. Jenis Pelayanan Korban Pelecehan dan Pemerkosaan termasuk Kekerasan dalam Rumah tangga (KDRT) di Kab. Malang, 2010, 2011, dan 2012
Sumber : Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kab Malang
29
Data diatas mendeskripsikan bahwa pelayanan melalui penegakkan dan bantuan hukum bagi korban kekerasan yang paling tinggi diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Malang dengan prosentase 57%, selanjutnya pelayanan kesehatan 40%, kemudian rehabilitasi social 2%, dan terkahir adalah pemulangan dan reintegrasi dengan 1 %. Data tersebut diatas juga mengindikasikan bahwa sikap tanggap penegakan hukum khususnya kepolisian Kabupaten Malang cukup mendapatkan apresiasi atas pelayanan yang diberikannya kepada para korban kekerasan, termasuk juga pelayanan kesehatan bagi masyarakat korban kekerasan yang dirujuk ke Rumah Sakit atau Puskesmas.
B. Perdagangan terhadap Perempuan dan Anak (Trafficking) Berdasarkan data PPGK dan KPPA Kabupaten Malang 2010, disebutkan bahwa perdagangan manusia atau dikenal dengan istilah human trafficking adalah tindakan pidana yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Seringkali korban diperdagangkan untuk dipekerjakan secara tidak layak dan tidak mendapatkan yang menjadi haknya. Kasus perdagangan khususnya yang menimpa perempuan dan anak di Kabupaten Malang dilaporkan beberapa kasus. Jumlah kasus selama 3 tahun terakhir pada kecamatan tertentu. Pada tahun 2006 terdapat 6 kasus trafficking di 3 Kecamatan, yaitu Dampit, Pakisaji dan Pakis dengan kasus terbanyak di Kecamatan Pakis sebanyak 3 kasus. Korbannya adalah 5 orang perempuan dan 2 orang laki-laki. Pelakunya terdiri dari 3 orang perempuan dan 3 orang laki-laki. Pada tahun 2007 terdapat 4 kasus trafficking di 2 Kecamatan, yaitu Ampelgading dan Pakisaji dengan kasus terbanyak di Kecamatan Pakisaji sebanyak 3 kasus. Korbannya adalah 4 orang perempuan. Pelakunya terdiri dari 1 orang perempuan dan 4 orang laki-laki. Pada tahun 2008 terdapat 1 kasus trafficking di Pakisaji. Korbannya adalah 1 orang laki-laki. Pelakunya adalah seorang perempuan.
Gambar 3.7. Jumlah Korban dan Pelaku Trafficking di Kabupaten Malang berdasarkan Jenis Kelamin dan Tahun
30
Sumber : KPPA, 2011, P2TPA2A Kab. Malang
Grafik diatas menggambarkan jumlah korban dan pelaku trafficking selama 3 tahun terakhir. Jumlah kasus trafficking di Kabupaten Malang selama 3 tahun terakhir dimana kasus trafficking semakin menurun setiap tahunnya. Korban terbanyak adalah perempuan yaitu 10 orang pada tahun 2009, 2010 nihil, 2011 juga nihil dan pada tahun 2012 ada 1 oranng. Semua korbannya adalah perempuan, dan pelakunya adalah lakilaki.
C. Perkara Yang Masuk Pengadilan Agama Perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama Kabupeten Malang pada tahun 2010-2011 berdasarkan jenisnya meliputi antara lain ijin poligami, cerai talak, cerai gugat, itsbath nikah dan lainya. Dilihat dari aspek jenis perkara, bulan apa jenis perkara nya tertinggi. Dilihat dari sisi waktu (bulan), bagaimana kondisi jumlah dari setiap perkara per bulannya. Data perkara dalam setiap bulan yang diajukan ke Pengadilan Agama Kab. Malang dapat dilihat pada grafik dibawah ini, termasuk jumlah tertinggi dalam setiap bulan.
31
Sumber : Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kab.Malang, 2011 Gambar 3.8. Jumlah Setiap Perkara Dalam Satu Tahun
Berdasarkan pada grafik diatas maka jumlah jenis perkara tertinggi yang diajukan dalam setiap bulannya adalah cerai gugat, sedangkan jenis perkara yang terendah adalah izin poligami, selanjutnya disusul istbat nikah, lalu lainnya, dan selanjutnya yang mendekati pada angka tertinggi adalah jenis perkara cerai talak. Ini menunjukkan bahwa jumlah perkara yang meminta cerai dalam setiap bulannya pada Pengadilan Agama Kab. Malang paling banyak dan mayoritas cerai gugat dari isteri.
D. Cerai Talak dan Gugat tahun 2010 dan 2011 Jumlah cerai talak dan cerai gugat tahun 2011 lebih banyak dibandingkan tahun 2010. Masing-masing tahun, jumlah cerai talak dan gugat semakin meningkat, seperti tampak pada grafik 3.9 berikut ini :
32
Sumber : Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kab.Malang, 2011 Gambar 3.9. Banyaknya Cerai Talak dan Cerai Gugat Tahun 2010 dan 2011
Terlihat pada grafik 3.9, jumlah cerai talak dan gugat tahun 2010 dan 2011 masingmasing mengalami peningkatan. Hal ini jika dilihat dari faktor penyebab terjadi perceraian, maka yang tertinggi adalah karena tidak harmonis dan kurangya tanggung jawab baik tanggung jawab sebagai isteri maupun tanggung jawab sebagai suami. Tetapi tampaknya faktor ekonomi yang dominan mempunyai keterkaitan dengan tidak tanggung jawabnya seorang suami atau istri terhadap pasangannya. Adapaun factor penyebab kasus perceraian (cerai talak maupun cerai gugat) dapat dilihat pada sub bab berikut ini:
E. Perkara Perceraian Menurut Factor Penyebabnya Factor penyebab kasus perceraian antara lain karena poligami tidak sehat, krisis akhlaq, cemburu, kawin paksa, ekonomi, dan tidak tanggung jawab. Pada kasus perceraian yang ada di Kabupaten Malang, penyebab mana yang terbanyak dapat dilihat pada grafik 3.10 berikut :
33
Sumber : Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kab.Malang, 2011 Faktor Penyebab Perceraian
Terlihat dari gambar 3.10, bahwa penyebab terbanyak kasus perceraian di Kabupaten Malang adalah karena tidak harmonis lagi dan tidak tanggung jawab. Ketidak harmonisan keluarga akan berdampak pada terjadi perceraian, maka grafik diatas memberikan diskripsi bahwa ketidak harmonisan keluarga menjadi nilai tertinggi dalam kasus perceraian di Kab. Malang, termasuk pula tidak tanggung jawab. Umumnya yang dikatakan tidak bertanggung jawab itu adalah dari pihak laki-laki yaitu tidak memberikan nafkah lahir, batin atau keduanya. Namun tidak menutup kemungkinan yang tidak bertanggung jawab adalah dari pihak perempuan, misalnya dengan meninggalkan suami untuk tinggal bersama orang tuanya. Penyebab perceraian karena tidak tanggung jawab bisa dikaitkan dengan penyebab ekonomi. Tinggi rendahnya pendapatan keluarga ditentukan oleh jumlah yang bekerja dan jenis pekerjaan. Karena laki-laki dan perempuan semua berhak terjun ke dunia public, maka jika perempuan juga bekerja kemungkinan terjadi perceraian akibat tidak bertanggung jawab mengenai nafkah lahir dapat diminimalkan. Semua indikasi-indikasi penyebab perceraian itu akan berdampak pada ketidak harmonisan keluarga, baik berupa kurang tanggung jawab suami isteri, factor ekonomi dan sebagainya, jika hal itu dibiarkan 34
maka tidak menutup kemungkinan setiap tahun angka perceraian di Kab. Malang akan semakin meningkat setiap tahunnya sebagaimana pada grafik diatas.
F. Perkara Yang Diputus Di Pengadilan Agama Tidak semua perkara yang masuk di pengadilan Agama pada tahun 2011 itu diputuskan di pengadilan Agama. Berapa banyak yang diputuskan di pengadilan Agama dan perkara mana yang terbanyak akan digambarkan pada grafik berikut : Gambar.3.11
Sumber : Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kab.Malang, 2011
Banyaknya masing-masing perkara yang diputuskan di Pengadilan Agama, untuk perkara ijin poligami karena jumlahnya sangat rendah, setiap bulannya tidak nampak bulan apa terbanyak jumlahnya. Kasus cerai gugat, tertinggi jumlah yang diputuskan pada setia bulan, dan tertinggi pada bulan September dan Oktober. Sementera Cerai talak, terbanyak kedua dan setiap bulan juga mengalahkan jumlah angka penyebab perceraian kecuali cerai gugat, puncaknya pada bulan September dan Oktober juga. Sedangkan alasan lainnya perceraian berada pada urutan ketiga, puncaknya pada bulan Januari dan Maret. Itsbath nikah terbanyak ada pada bulan Januari dan April. Sedangkan banyaknya total perkara dengan perkara yang diputuskan di Pengadilan Agama terjadi kesenjangan yang cukup tinggi pada masing-masing bulannya. Berdasarkan data dari Pengadilan Agama, jumlah perkara yang masuk ke 35
Pengadilan Agama lebih tinggi daripada yang diputuskan. seharusnya jumlah perkara yang masuk berimbang dengan jumlah perkara yg di putus lebih tinggi.
G. Tindak Kejahatan Jumlah tindak kejahatan di Kabupaten Malang tahun 2011 lebih banyak dari pada tahun 2012. Artinya terjadi penurunan tindak kejahatan. Dilihat dari sisi yang dilaporkan dan yang diselesaikan, tampak jumlah kasus kejahatan yang dilaporkan lebih banyak dari yang dapat diselesaikan. Artinya pihak aparat hukum harus lebih keras lagi bekerja untuk menuntaskan kasus-kasus tepat pada waktunya. Grafik kejahatan tahun 2011 dan 2012 serta berapa yang dilaporkan dan diselesaikan dapat dilihat pada Grafik 3.12 berikut :
Sumber : Data Kriminal Polres Malang Tahun 2011-2012
Terlihat dari gambar 3.12, bahwa baik jumlah kejahatan yang dilaporan dan yang diselesaikan mengalami penurunan. Dilihat dari sisi yang dilaporkan menurun berarti ada peningkatan keamanan. Namun dilihat dari aspek yang diselesaikan menurun berarti kinerja aparat hukum juga menurun.
H. Tindak Kejahatan Menurut Jenis Kejahatan Jenis kejahatan yang ada di Kabupaten Malang ada 49 seperti tampak pada Tabel 3.1.
36
Table 3.1. Jumlah Kriminalitas Di Kabupaten Malang Menurut Jenis Kriminal No
Jenis Kriminal
Dilaporkan
Diselesaikan
2011
2012
2011
2012
1
Pengeroyokan
33
42
32
34
2
Pembakaran
3
3
1
3
3
Kebakaran
20
11
20
11
4
Pemerkosaan
10
7
4
6
5
Penganiayaan Ringan
86
54
66
43
6
Penganiayaan Berat
111
51
77
34
7
Pembunuhan
6
9
5
10
8
Pencuriaan
8
1
6
0
9
Pencurian Biasa
89
41
51
43
10
Pencurian dengan Pemberatan
414
299
193
197
11
Pencurian Kendaraan Motor
204
193
26
46
12
Pencurian Kawat Telpon &
48
16
2
0
Listrik 13
Pencurian Hewan Ternak
31
4
10
3
14
Pencurian Kayu
33
23
33
19
15
Pencurian dengan Kekerasan
54
37
20
18
16
Perampasan
48
32
9
11
17
Perjudian
195
137
195
137
18
Pemerasan
12
8
1
5
19
Pengancaman
3
5
-
4
20
Penggelapan
83
50
36
18
21
Penipuan
175
104
66
35
22
Perusakan
45
15
13
7
23
Penadahan
3
4
14
19
24
Kejahatan Senjata Tajam
30
11
31
11
25
Petasan/Handak
8
12
8
11
26
Kejahatan Senjata Api
-
-
-
-
27
Sengketa Tanah
22
22
10
3 37
28
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
84
54
44
31
29
Persetubuhan
38
17
22
13
30
Perzinahan
10
11
5
6
31
Pencabulan
24
9
36
10
32
Penculikan Anak
1
-
-
-
33
Prld. Anak
9
56
4
38
34
Membawa Lari Anak
23
14
5
3
35
Surat Palsu
20
10
8
3
36
Tanda Tangan Palsu
1
1
-
-
37
Keterangan Palsu
1
5
-
-
38
Penghinaan
4
1
2
1
39
Penistaan
-
1
-
-
40
Aborsi
1
1
-
1
42
VCD
-
3
1
-
43
Traficking
1
-
-
-
44
Korupsi
2
2
1
-
45
Penemuan Mayat
23
19
23
19
46
Bunuh Diri
17
8
17
8
47
Alkes Ilegal
53
-
48
-
48
Lain-lain
53
39
48
37
Sumber : Data Polres Malang, Tahun 2011-2012 Jumlah kasus kejahatan yang dilaporkan tahun 2011 dan 2012 setiap jenisnya bervariasi, ada yang mengalami peningkatan ada yang mengalami penurunan. Seperti misalnya kasus persetubuhan mengalami peningkatan dengan tajam setiap tahunnya. Sedangkan perkosaan, perjudian dan pencurian kawat listrik dan telepon mengalami penurunan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik dibawah ini : Jumlah tertinggi kasus di Kabupaten Malang adalah pencurian dengan pemberatan. Solusi dari penurunan kasus kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi, kesejahteraan, kemiskinan, rendahnya upah tenaga kerja, dan lain-lain dapat melalui pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat yang tidak mampu. Program usaha mandiri yang diprogramkan oleh pemerintah mampu untuk menekan jumlah kriminal pada tahun 2012, apabila dibandingkan dengan tahun 2011. Ini menunjukkan bahwa
38
kesadaran masyarakat terhadap tindakan kriminal pada tahun 2012 mengalami menurunan, kecuali pada kriminal pengeroyokan. Tapi sejauhmana jumlah kriminal yang dilaporkan oleh masyarakat mendapat penanganan yang serius dari pihak kepolisian, maka data grafik dibawah ini akan menunjukkan tingkat penyelesaian dari jenis kriminal yang dilaporkan. Adapun grafik tersebut sebagai berikut : Setiap jenis kejahatan, dengan jumlah kasus kejahatan yang dapat diselesaikan menurun berarti kinerja aparat dalam menyelesaikan kasus menurun. Hal ini dapat menjadi bahan evaluasi di tubuh lembaga yang menangani kasus hukum. Tahun 2011, banyak kasus kejahatan yang dilaporkan tidak dapat/belum diselesaikan. Sebagai contoh kasus kejahatan pencurian dengan pemberatan dan pencurian kendaraan bermotor, terjadi kesejangan yang tajam antara jumlah kejahatan yang dilaporkan dengan yang dapat diselesaikan. Pada umumnya, kondisi setiap kasus juga mengalami penurunan antara yang dilaporkan dan yang dapat diselesaikan. Ini artinya kinerja aparat hukum di Kabupaten Malang menurun dibandingkan tahun 2009. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut ini :
I.
Surat Ijin Mengemudi Yang Diterbitkan Salah satu syarat untuk seseorang boleh mengendarai kendaraan bermotor di
jalan raya yaitu dengan memilik surat ijin mengemudi (SIM). Jika seseorang tidak memiliki SIM pada saat mengendarai kendaraan di jalan raya dapat dikatakan suatu pelanggaran. Pengadaan terbanyak SIM di Kabupaten Malang tahun 2011 pada bulan Januari. Sedangkan perpanjangan SIM terbanyak pada bulan September dan Desember. Sedangkan pengajuan baru SIM paling sedikit bulan Juni dan Januari. Sedangkan pengajuan baru paling sedikit pada bulan Juni dan Februari, kemudian pengajuan perpanjangan paling sedikit pada bulan Agustus dan Juni.
Gambar.3.13
39
Sumber : Polres Malang, 2011
Kesadaran hukum bagi masyarakat perlu ditingkat, terutama kesadaran hukum saat mengendarai motor/mobil. Salah satu upaya taat hukum bagi pengendara adalah dengan memperhatikan rambu-rambu lalu lintas dan yang terpenting lagi adalah kesadaran untuk memiliki SIM dalam mengendarai kendaraan bermotor merupakan hal yang patut ditingkatkan karena masih banyak juga masyarakat yang melanggar lalu lintas karena tidak mempunyai dokumen yaitu SIM. Pihak kepolisian berupaya memotivasi masyarakat agar kesadarannya meningkat dengan gerakan “500 kesalahan per hari”. Upaya ini boleh juga karena setiap hari diadakan rasia. Program razia rutin yang dilakukan oleh kepolisian merupakan bentuk dari upaya untuk meminimalisir adanya pelanggaran saat berkendaraan, bukan hanya pada sisi administrasi saja tetapi juga kesiapan kendaraan perlu mendapatkan perhatian dari pengendara sehingga tidak terjadi kecelakaan sepihak. Dengan demikian menuntut masyarakat disiplin, taat aturan, sadar terhadap peraturan lalu laintas dengan memiliki surat kendaraan, memiliki SIM, perpanjangan dan mengurus kembali jika rusak. Oleh karena itu pada grafik dibawah ini akan melihat kesenjangan tingkat kepemilikan SIM bagi laki-laki dan perempuan yang memiliki SIM , sebagaimana pada grafik dibawah ini :
40
Gambar 3.14. Kesenjangan Kepemilikan SIM A berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber : Polres Malang Tahun 2011
Grafik diatas menunjukkan bahwa tingkat kesadaran untuk memliki SIM bagi masyarakat berdasarkan jenis kelamin mayoritas adalah laki-laki perbandingan angka kepemilikan SIM baru pada tahun 2011 adalah laki-laki berjumlah 44.525 dan perempuan 6.022. untuk perpanjangan SIM mayoritas juga adalah laki-laki dengan perbandingan angka 38.995 dan perempuan 5.816. sama halnya juga dengan penggantian SIM karena rusak dan hilang dengan perbandingan laki-laki 1.909, dan perempuan 355. Ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat hukum bagi masyarakat pengendara menunjukkan angka yang signifikan. Perbandingan laki-laki dan perempuan dalam mengurus SIM ditujukkan pada minoritas perempuan tidak bisa untuk mengendarai kendaraan. Kepemilikan SIM dalam aturan lalu lintas itu bermacam-macam, tergantung pada kendaraan apa yang digunakan. Oleh karena itu grafik dibawah ini menujukkan jumlah angkat yang menggunakan SIM A, SIM A Umum, SIM B1, SIM B1 Umum, SIM B2, SIM B2 Umum dan SIM C. sebagai berikut :
41
Gambar 3.15. Kesenjangan Jumlah Perempuan dan Laki-laki dalam kepemilikan SIM A
Sumber:Polres Malang Tahun 2011
Grafik diatas menunjukkan bahwa kepemilikan SIM A digunakan untuk syarat pengemudi mobil roda empat. Jumlah masyarakat Kabupaten Malang yang memiliki atau mengurus kepemilikan SIM A untuk laki-laki jauh lebih tinggi atau banyak dari pada perempuan. Hal ini disebabkan masih banyaknya perempuan yang tidak dapat mengendarai mobil roda empat. Pelabelan atau stereotype bahwa perempuan tidak pantas menyetir mobil roda empat merupakan salah satu penyebab mengapa banyak perempuan yang tidak dapat menyetir mobil. SIM A ini untuk dokumen menyetir mobil pribadi. Kepemilikan SIM A umum antara laki-laki dan perempuan juga terjadi kesenjangan. SIM A umum ini untuk syarat bagi pengemudi mobil kendaraan umum seperti mikrolet, taksi, mobil box, dan lain-lain. Terjadinya kesenjangan ini karena memang budaya di Indonesia, pengemudi mobil umum hampir 100 persen adalah lakilaki. Tingkat kesenjangan tersebut digambarkan pada grafik 8.14 dibawah ini :
Gambar 3.16. Kesenjangan Jumlah Perempuan dan Laki-laki dalam kepemilikan SIM A Umum
42
Sumber: Polres Malang Tingkat kesenjangan juga terjadi pada kepemilikan SIM B1 dan B1 umum, untuk laki-laki jauh lebih tinggi dari pada perempuan. Hal ini disebabkan karena SIM B1 untuk pengemudi kendaraan berat seperti truk bis. Di Indonesia, pengemudi kendaraan berat seperti Truk dan Bis mayoritas bahkan hampir 100 % laki-laki seperti tampak pada gambar grafik berikut tingkat kesenjangan kepemilikan SIM B1:
Sumber:Polres Malang Tahun 2012
43
Gambar 3.17. Kesenjangan Jumlah Perempuan dan Laki-laki dalam kepemilikan SIM B1
Sumber: Polres Malang Tahun 2012
Kondisi kesenjangan juga dialami untuk kepemilikan SIM B2 yaitu bagi pengemudi kendaraan lebih berat lagi yaitu truk gandeng, traler dan lain-lain. Kondisi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada grafik dibawah ini :
Gambar 3.18. Kesenjangan Jumlah Perempuan dan Laki-laki dalam kepemilikan SIM B2
Sumber:Polres Malang Tahun 2012 44
Gambar 3.19. Kesenjangan Jumlah Perempuan dan Laki-laki dalam kepemilikan SIM B2 Umum
Sumber:Polres Malang Tahun 2012 Lain halnya dengan kepemilikan SIM C yaitu surat ijin mengemudi untuk kendaraan roda dua yaitu sepeda motor. Tampak jumlah perempuan masih banyak yang memiliki, walaupun juga sama dengan jenis SIM yang lain masih terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Kondisi tersebut dapat dilihat pada grafik 19 berikut :
Gambar 3.20. Kesenjangan Jumlah Perempuan dan Laki-laki dalam kepemilikan SIM C
Sumber:Polres Malang Tahun 2012
45
Jumlah perempuan masyarakat Kabupaten Malang, sekitar sepertiga dari lakilaki yang dapat mengendarai motor. Faktor stereotype dan pelabelan bahwa perempuan tidak perlu bisa naik kendaraan karena kemana mana diantar oleh suami atau sopir. Namun bagi yang tidak punya sopir dan suami sibuk umumnya perempuan menggunakan kendaraan umum.
J.
Pelanggaran Lalu Lintas Menurut Jenis Pelanggaran Pelanggaran di jalan raya kerap kali terjadi, itu bisa disebabkan beberapa factor.
Hasil analisis Polres Kabupaten Malang bahwa factor pemicu terjadinya kecelakaan di jalan raya adalah kelebihan muatan, kecepatan dibatas maksimal, pelanggaran ramburambu lalu lintas, surat-surat, dan lain-lain. Banyaknya jumlah angka pelanggaran berdasarakan jenis pelanggaran dapat dilihat pada grafik dibawah ini :
Gambar 3.21. Pelanggaran Lalu Lintas menurut Jenis Pelanggaran
Sumber : Polres Malang, 2012
Pelanggaran menurut jenis pelanggaran tertinggi adalah karena melanggar kelengkapan kendaraan dengan durasi angka 21.912 pelanggaran, sedangkan jenis pelanggaran urutan kedua adalah surat-surat yang dibawa, baik berupa SIM maupun STNK dengan durasi angka 13.669. Ini menunjukkan bahwa kesadaran pengendara untuk mengecek kendaraannya sebelum bepergian relative rendah. Dan begitu juga 46
dengan jenis pelanggaran tidak membawa SIM mapun STNK yang perlu mendapatkan perhatian serius dari masyarakat untuk mempersiapkan sebelum berkendaraan, sedangkan sanksi hukum yang diberikan kepada pengendara yang tidak membawa SIM dan STNK sangat berat. Kesadaran hukum untuk mentaati rambu-rabu lalu lintas bagi masyarakat Indonesia sangat jauh dari harapan sebagai bangsa yang bermartabat. Program pemerintah dalam hal ini pihak kepolisian terus berupaya untuk mensosialisasikan kepada masyarakat tentang kesadaran hukum berlalu lintas dengan spanduk yang ada di tepi jalan, baleho, bahkan fasilitas SIM keliling bagian upaya kepolisian untuk mensosialisasikan program kesadaran hukum bagi masyarakat dengan mentaati aturan lalu lintas. Tetapi realita yang ada pengendara lebih takut pada polisi di jalan-jalan dari pada rambu-rambu lalu lintas yang terpasang di setiap tepi, sudut jalan raya. Ini menunjukkan kesadaran person setiap pengendara belum terpatri dalam hati, tidak terkecuali apakah itu ABRI, PNS, Karyawan Swasta, Pelajara/Mahasiswa, Pengemudi, Pedagang, dan Buruh Tani. Untuk melihat data pelanggaran berdasarkan jenis pekerjaannya dapat dilihat pada grafik dibawah ini :
Gambar 3.22 Pelanggaran Lalu Lintas menurut Jenis Pekerjaan
Sumber : Polres Malang Tahun 2012
47
Terlihat dari gambar diatas bahwa pelanggaran lalu lintas tertinggi dilakukan oleh karyawan swasta dengan kisaran angka 15.473 pelanggaran dan peringkat selanjutnya adalah mahasiswa/pelajar dengan 8.092 pelanggaran, pringkat ketiga adalah pedagang dengan 7.056 pelanggaran. Jika pelajar yang paling banyak melanggar, secara psikologis mereka masih labil dan belum dewasa dalam bertindak. Karena pelajar terdepan dalam melanggar lalu lintas, maka berikut ini digambarkan terkait dengan pelanggaran lalu lintas berdasarkan jenis pendidikan. Siapakah yang terdepan dalam pelanggaran? Gambar 3.23. Pelanggaran Lalu Lintas menurut Pendidikan
Sumber : Polres Malang Tahun 2012
Pelanggaran lalu lintas terbanyak dilakukan oleh anak-anak yang putus sekolah (drop out). Dilihat dari predikat yang disandangnya, pantaslah jika mereka terdepan dalam melanggar lalu lintas. Hal ini bukan berarti mereka tidak perlu diperhatikan, bahkan perhatian para aparat dan masyarakat semua harusnya lebih kepada mereka. Peringkat kedua yang melanggar lalu lintas adalah anak SMA. Hal yang logis karena menurut ahli psikologi, usia SMA adalah usia paling rawan dimana anak ada pada periode suka melawan untuk mencari jati dirinya. Sayang data yang tersedia tidak terpilah gender, sehingga tidak diketahui berdasarkan jenis kelamin siapa yang melanggar lebih banyak.
48
K. Sumberdaya Manusia (SDM) Bidang Hukum Di Kabupaten Malang. Sumberdaya yang dimaksud dalam bab ini adalah aparat penegak Hukum yang terdiri dari hakim, jaksa dan polisi yang ada di Kabupaten Malang. Aparat penegak hukum merupakan pelaksana di lembaga hukum yang bertugas untuk menegakkan hukum di negara Indonesia. Kesempatan bagi kaum perempuan sebagai warga negara untuk berpartisipasi di lembaga-lembaga tersebut semestinya setara dengan laki-laki. Namun pada kenyataannya di Kabupaten Malang partisipasi kaum perempuan di bidang hukum masih timpang dibanding kaum laki-laki.
1. Jumlah Hakim, Jaksa dan Pengacara Partisipasi perempuan dalam lembaga-lembaga hukum yaitu hakim dan jaksa di Kabupaten Malang pada tahun 2012 tampak pada gambar dibawah. Gambar 3.24. Jumlah Hakim dan Jaksa di Kabupaten Malang Berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber: Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama Kab Malang, Kejaksaan Negeri. 2012
Terlihat dari gambar diatas bahwa pada tahun 2012 jumlah hakim dan jaksa perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Secara terperinci, data dari Pengadilan 49
Negeri,Pengadilan Agama dan Kejaksaan
Kabupaten Malang menjelaskan, pada
lembaga pengadilan jumlah aparat pengadilan yaitu hakim sebanyak 23 orang dengan komposisi 4 orang perempuan (17%) dan 19 orang laki-laki (83%). Rasio jumlah hakim perempuan terhadap laki-laki pada tahun 2012 adalah 1 : 4. Aparat hakim seluruhnya berada di kecamatan Kepanjen, yaitu ibukota kecamatan Kabupaten Malang. Demikian pula dengan aparat kejaksaan yaitu jaksa, seluruhnya berjumlah 28 orang berada di kecamatan kepanjen. Komposisi jaksa berdasarkan gender pada tahun 2012 tidak berimbang yaitu 11 orang perempuan (39%) dan 17 orang laki-laki (61%). Adapun jumlah Pengacara di Malang, baik Pengacara yang berada di Batu, Kabupaten, dan Kota Malang semua sejumlah 259, tidak ada pemilihan pengacara perwilayah, karena semua pengacara bebas untuk melakukan pendampingan di Pengadilan. Secara spisifik jumlah pengacara laki-laki dan perempuan di Malang dapat dilhat pada grafik dibawah ini :
Gambar 3.25. Jumlah Pengacara Berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber : PERADI Malang, 2012
2.
Jumlah Polisi Di Kabupaten Malang Ayuningtyas (2011) dalam Media Indonesia.com menyatakan secara Nasional
bahwa jumlah polisi wanita hingga kini dinilai masih kurang. Ini terlihat dari jumlah taruni yang masuk di Akademi Kepolisian dari tahun ke tahun. Pada 2011, taruni yang 50
diterima di Akpol jauh di bawah target. "Ada kuota 400 orang, 350 taruna dan 50 taruni. Saat ini Polri membutuhkan taruni lebih banyak, sekarang ini baru 0,3 persen. Padahal Polri membutuhkan sebanyak 30 persen," ujar Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komjen Nanan Soekarna, di Akpol, Semarang, Senin (15/8). Menurut dia, perundangan mengharuskan Polri menyediakan kuota 30 persen untuk taruni. Polri, lanjutnya, secara bertahap akan memenuhinya. "Kita berharap kembali ke sistem, sistem akan mengakomodir pelan-pelan itu, tahun depan kita buka lagi catar dan catir. Kita siap ajukan ke pimpinan, kepada pemerintah, kita tambah kuota," kata dia. Nanan mengaku belum mengetahui kuota yang akan disediakan bagi taruni pada penerimaan Akpol tahun depan. "Saya belum tahu, mungkin 60, mungkin 100. Namun, kembali kalau tidak memenuhi syarat ya tidak bisa," jelasnya. Dengan demikian semua lembaga jika melakukan perekrutan SDM lihatlah potensi atau kemampuannya, jangan melihat jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Apa yang disampaikan Ayuningtyas (2011) tersebut juga masih sama ketika tahun 2007. Artinya selama 4 tahun kondisi tersebut tidak ada perubahan. Obrolan seorang sahabat dengan perwira polisi perempuan di tahun 2007 sebagai berikut : jumlah keseluruhan polisi di Indonesia di tahun 2007 sebesar 360.381 orang, dan jumlah polwan hanya 11.706 orang atau sekitar 3,25 dari total jumlah polisi di negara ini. Itu berarti seorang polwan di Indonesia melayani 11.000 perempuan yang jumlahnya sekitar 50 persen dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. Padahal mereka inilah yang akan menjadi ujung tombak untuk menerima pengaduan para korban KRDT (kekerasan dalam rumah tangga), kejahatan seksual, dan juga kejahatan terhadap anak. Sebagai wanita, mereka jauh lebih mampu berempati terhadap para korban, ketimbang polisi laki-laki. Mereka juga yang yang akan melakukan pemeriksaan terhadap tersangka pelanggar hukum perempuan, sehingga tekanan psikologis yang dihadapi pelaku berkurang jika dibandingkan dan diperiksa oleh polisi laki-laki. Begitu juga menangani demonstran perempuan, tentu sangat tidak manusiawi demonstran perempuan dihadang oleh polisi pasukan anti huru-hara yang laki-laki. Dengan kondisi seperti itu, banyak sentra pelayanan kepolisian (SPK) di Indonesia tidak memiliki polwan, sehingga para perempuan korban KDRT, kejahatan seksual, dsb, dilayani oleh polisi laki-laki, yang sering kurang mampu berempati dengan si korban. Akibatnya, sering korban juga mengalami tekanan psikologis saat mengadu ke polisi. Alih-alih mendapatkan perlindungan, bisa-bisa mendapatkan tekanan psikologis. 51
Saat ini di Indonesia, terdapat sekitar 30 SPN (Sekolah Polisi Negara) yang menerima polisi untuk tingkat bintara (dengan pangkat brigadir) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, tetapi yang diterima di SPN hanyalah calon polisi laki-laki. Sementara itu, sekolah polisi wanita untuk tingkat bintara hanya ada satu di Indonesia, yaitu Sepolwan di Ciputat - Jakarta Selatan. Bayangkan betapa ketimpangan ini akan selalu abadi kalau tidak dilakukan pembenahan yang sifatnya terobosan. Sekolahnya saja sudah 1 : 30 ! Untuk tingkat perwira, Akademi Kepolisian sudah menerima taruna wanita, sekitar 50 orang setiap angkatan. Satu angkatan terdiri dari hampir 300 calon perwira polisi, baik laki-laki maupun wanita. Penerimaan taruna wanita ini baru dilaksanakan 4 tahun terakhir ini. Untuk tingkat perwira, diperkirakan ke depan jumlah polwan mulai meningkat walaupun masih sangat kurang. Tetapi pada tingkat bintara, sangat sangat jauh dirasa kurang. Padahal bintara adalah polisi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Suara Karya (2007), menyatakan diskriminasi masih terjadi di jajaran kepolisian, terutama dialami polisi wanita (polwan). Jumlah polwan ini hanya 3,25 persen dari total anggota Polri sebanyak 380.000 personel. Selain itu, rasio perbandingan antara polwan dengan masyarakat masih 1 banding 11 ribu. Padahal rasio perbandingan antara polisi laki-laki dengan masyarakat saat ini 1 banding 1.500. Jumlah polwan seperti itu, menurut anggota Komisi III DPR-RI Nursyahbani Kacasungkana, berarti seorang polwan melayani 11 ribu orang perempuan, yang merupakan 55 persen penduduk Indonesia."Idealnya, jumlah polwan adalah 52.887 orang," kata dia, pada pemaparan hasil kajian LBH APIK dan Lembaga Manajemen FEUI, terkait dengan Polri, di Jakarta. Padahal, meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan tugastugas kepolisian lainnya membutuhkan peran yang harus ditangani polwan. "Ini suatu yang agak terlampau menyedihkan. Penugasan polwan bukannya di operasional, tetapi masih di administrasi. Ini semua karena dipengaruhi persepsi budaya di Polri. Ia menambahkan, pada rekruitmen anggota polisi tahun 2005/2006, dari 26 ribu penerimaan anggota polisi baru, polwan hanya mendapatkan kuota seribu anggota. Karena itu, lanjut mantan Direktur Lembaga APIK ini, disahkannya kelembagaan ruang pelayanan khusus (RPK) sangat menggembirakan. DPR bisa memberikan dukungan agar RPK ini berjalan dengan baik. "Kami berharap, diskriminasi terhadap polwan bisa
52
diakhiri dan kami mendukung adanya kelembagaan RPK dengan penambahan jumlah polwan yang lebih banyak," katanya. Direktur LBH APIK, Estu, menambahkan, pihaknya mendukung penambahan jumlah polwan hingga mencapai jumlah ideal yang dibutuhkan dalam pelayanan terhadap masyarakat. Ia menambahkan, kurangnya jumlah polwan juga terlihat dari pengajar polwan di tujuh Sekolah Polisi Negara (SPN) yang dijadikan sampel penelitian LBH APIK. Ketujuh SPN itu adalah SPN Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), DKI Jakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. "Jumlah pengajar polwan di tiap SPN yang kami teliti tidak lebih dari lima orang," katanya. Karena itu, lanjutnya, pihaknya menyarankan agar Mabes Polri tidak hanya melakukan pendidikan polwan di Sespolwan, namun juga memberdayakan SPN yang ada di daerah-daerah. "Karena kemampuan sekolah khusus polwan itu hanya 500 siswa per tahun, jadi perlu dilakukan pendidikan untuk polwan hingga ke SPN," katanya menambahkan. Selain itu, daya tampung ketujuh SPN itu antara 4006-1500 orang dan tidak terisi secara penuh. "Jika SPN lebih diberdayakan, kebutuhan polwan akan bisa terpenuhi," katanya. Rasio polisi dengan masyarakat yang ideal adalah 1 : 700 Bagaimana komposisi jumlah polisi di Kabupaten Malang berdasarkan jenis kelamin? Kondisi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 3.26. Jumlah Polisi di Kabupaten Malang Berdasarkan Jenis Kelamin
53
Sumber : Data POLRES Kab. Malang, 2012
Terlihat pada gambar 3.24, bahwa jumlah polisi wanita (POLWAN) jauh lebih rendah dibandingkan polisi laki-laki. Berdasarkan data POLRES Kabupaten Malang pada tahun 2012 bahwa polisi laki-laki 1178 orang (96%), dan polisi wanita (POLWAN) sejumlah 47 orang (4%). Data jumlah aparat kepolisian di Kabupaten Malang tahun 2006 adalah sebanyak 819 orang, dengan komposisi sebanyak 127 orang polisi perempuan atau polwan (15,51%) dan 692 orang polisi laki-laki (84.49%). Komposisi jumlah polisi berdasarkan jenis kelamin di tiap kecamatan, walaupun data yang tersedia kurang lengkap karena tidak seluruh kecamatan mengisi data jumlah aparat polisi. Jumlah polisi perempuan terbesar terdapat di Kecamatan Karangploso dan Kepanjen masing-masing sebanyak 40 orang, nilai prosentasenya 31,5% dari seluruh polwan di Kabupaten Malang. Sedangkan jumlah polisi laki-laki terbesar terdapat di Kecamatan Donomulyo yaitu sebanyak 99 orang, nilai prosentasenya 14,31% dari seluruh polisi laki-laki di Kabupaten Malang.
3.
Sumberdaya Buatan Terkait dengan Bidang Hukum Di Kabupaten Malang Sumberdaya buatan (SDB) yang dimaksudkan di bab ini adalah jumlah lembaga
penegak hukum dan produk-produk nya yaitu yang berupa kebijakan-kebijakan yang telah dihasilkan seperti undang-undang, keputusan presiden, peraturan menteri, peraturan bersama, NSPK dan keputusan menteri. Bagaimana kondisi jumlah lembaga atau institusi penegak hukum di Kabupaten Malang selama tahun 2006-2008? 54
Berhubungan dengan aspek gender yang dimaksud institusi penegak hukum adalah lembaga/institusi yang menangani secara terpadu korban kekerasan/perkosaan, pelecehan dan traficking terhadap perempuan dan anak Kondisi tersebut digambarkan pada grafik berikut: Gambar 3.27. Jumlah Lembaga Penegak Hukum yang menangani secara terpadu korban kekerasan/perkosaan, pelecehan dan traficking terhadap perempuan dan anak Pemerintah dan Non Pemerintah di Kabupaten Malang tahun 2006-2008
Sumber : KPPA Kabupaten Malang, 2011
Terlihat bahwa jumlah lembaga penegak hukum pemerintah menurun dari tahun 2006 ke tahun 2007 dan meningkat lagi di tahun 2008. Lembaga non pemerintah tahun 2006 ada satu, namun akhirnya tidak ada lagi tahun 2007 dan 2008. Bersumber dari data KPPA (2010), tahun 2006 terdapat 10 lembaga di Kabupaten Malang, yaitu 9 lembaga pemerintah dan 1 lembaga non pemerintah. 10 lembaga tersebut tersebar di 6 kecamatan, yaitu Donomulyo, Bantur, Gedangan, Sumbermanjing, Kromengan, Wonosari, dan Pakisaji. Di Pakisaji terdapat 3 lembaga pemerintah dan 1 lembaga nonpemerintah. Tahun 2007 terdapat 3 lembaga pemerintah di Kabupaten Malang yang terletak masing-masing di Kecamatan Donomulyo, Bantur, dan Kromengan. Tahun 2008 terdapat 5 lembaga pemerintah di Kabupaten Malang yang terletak masing-masing di Kecamatan Donomulyo, Bantur, Kepanjen, Wonosari dan Kromengan. Grafik 27 55
memperlihatkan jumlah lembaga yang menangani kasus kekerasan di Kabupaten Malang dalam 3 tahun terakhir. Terlihat bahwa terjadi penurunan jumlah yang tajam dari tahun 2006 ke tahun 2007, walaupun kembali naik pada tahun 2008. Salah satu jenis lembaga Penegak Hukum yang menangani secara terpadu korban kekerasan/perkosaan, pelecehan dan traficking terhadap perempuan dan anak adalah Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) adalah lembaga yang terdiri dari beberapa lembaga lain yang secara terpadu berfungsi memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan. Data jumlah korban yang mendapatkan pelayanan di PPT rumah sakit daerah di Kepanjen dan unit Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Polres Malang menurut jenis kasus dapat dilihat grafik
Gambar 3.28. Jumlah korban yang mendapatkan pelayanan di PPT (Pusat Pelayanan Terpadu) Rumah Sakit Daerah di Kepanjen dan Unit RPK Polres Malang menurut jenis kasus
Sumber : Data Kriminalitas POLRES Malang, 2012
Terlihat pada Grafik, kasus kekerasan yang tertinggi jumlahnya yang ditangani oleh lembaga pelayanan terpadu. Bersumber dari data P2TP2A dan KPPA (2012), bahwa jumlah tertinggi yang mendapatkan pelayanan di PPT adalah korban yang mengalami kasus kekerasan (58 kasus), selanjutnya berturut-turut adalah pelecehan seksual (17 kasus), perkosaan (12 kasus), dan trafficking (10 kasus). Terdapat 97 orang 56
korban dari berbagai jenis kasus yang mendapatkan pelayanan di PPT. Jumlah korban tersebut adalah 17 korban kasus pelecehan seksual, 12 korban kasus perkosaan, 58 korban kasus kekerasan, dan 10 korban kasus trafficking. Korban pelecehan seksual dan perkosaan terbanyak berasal dari Kecamatan Pakis yaitu 7 orang korban pelecehan seksual (41,18%) dan 5 orang korban perkosaan (41,67%). Sedangkan korban kekerasan dan trafficking terbanyak berasal dari Kecamatan Pakis berturut-turut 27 orang 46,55%) dan 6 orang (60%). Sumberdaya yang dimiliki di bidang Hukum di Kabupaten Malang ini, tidak hanya SDM dan lembaga terpadu, namun juga produk-produk hukum nya. Secara Nasional banyak produk hukum yang dapat digunakan sebagai pedoman menangani kasus maupun menantisipasi munculnya kasus-kasus di bidang Hukum. Berdasarkan data PPGK dan KPPA Kabupaten Malang (2010), menunjukkan data jumlah peraturan perundang-undangan yang bias gender, sedang atau akan direvisi, dan berperspektif gender di kecamatan yang ada di Kabupaten Malang pada tahun 2006 – 2008. Pada tahun 2006 di Kecamatan Pakisaji terdapat 3 peraturan yang bias gender, sedangkan di Kecamatan Kalipare terdapat 1 peraturan. Pada tahun 2007 dan 2008 di Kecamatan Kalipare 1 peraturan yang bias gender. Tabel 3.2 Jumlah Kasus, Korban dan Pelaku Trafficking di Kabupaten Malang Tahun 2012 No
Kecamatan
Jumlah peraturan perundang-undangan Bias gender Sedang/akan direvisi Berperspektif gender
Tahun 2010 1
Kalipare
1
1
1
2
Pakisaji
3
1
4
Kalipare
1
1
1
Kalipare
1
1
1
Tahun 2011 3 Tahun 2012 4
Sumber: Isian kecamatan (data diolah), dalam P2TP2A dan KPPA (2012)
Selama 3 tahun terakhir terdapat 4 peraturan yang sedang atau akan direvisi yaitu di Kecamatan Kalipare dan Pakisaji. Peraturan perundang-undangan yang
57
berperspektif gender berjumlah 7 buah selama 3 tahun terahir di dua kecamatan yang sama. Grafik 3.29. Jumlah Peraturan Daerah yang responsif Gender Berdasarkan Tahun
Sumber : KPPA Kab. Malang, 2012
4.
Akta Kelahiran Anak Akta kelahiran merupakan identitas kepemilikan anak yang sah menurut
peraturan perundang-udangan. Hak pertama anak setelah dilahirkan adalah identitas yang meliputi nama, orangtua (silsilah keturunan) dan kewarganegaraan yang dituangkan dalam bentuk akta kelahiran. Hak ini akan menentukan pengakuan, pemenuhan dan perlindungan anak yang lainnya, seperti hak keperdataan (waris, dan nafkah), akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hak atas akta kelahiran dijamin dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Faktanya, saat ini masih banyak anak Indonesia yang identitasnya tidak tercatat dalam akta kelahiran. Dengan tidak tercatatnya identitas seorang anak dalam akta kelahiran, maka secara hukum keberadaannya dianggap tidak ada. Kondisi ini tidak hanya karena ketidaktahuan masyarakat akan arti penting akta kelahiran, biaya yang tidak terjangkau dan prosedur yang panjang, namun karena sikap diskriminatif terhadap 58
mereka, yang dipandang sebagai "yang lain" atau berbeda dari kelompok mayoritas. Jika kemudian hak anak diabaikan maka secara formal anak tidak diakui oleh Negara sebagai warganegara, tidak mendapatkan pendidikan formal, termasuk juga tidak mendapatkan hak waris perspektif perundang-undangan. Oleh karena itu berdasarkan data jumlah anak yang memperoleh akte kelahiran, khusus di Kabupaten Malang terhitung mulai tahun 2009 – 2012 berdasarkan pada jenis kelamin adalah sebagaimana pada grafik berikut :
Gambar 3.30. Data Jumlah Anak yang telah memperoleh Akte Kelahiran Tahun 2009-2012
Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Tahun 2012
Grafik diatas menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan anaknya mendapatkan akte kelahiran meningkat dari tahun 2009 sampai tahun 2011, dan menurun pada tahun 2012. Tahun 2009 anak laki-laki tercatat 12.938 (50%), dan anak peremepuan 12.932 (50%), tahun 2010, anak laki-laki tercatat sejumlah 26.003 (50%), dan anak perempuan 26.220 (50%), tahun 2011 anak laki-laki sejumlah 57.444 (50%), dan anak perempuan sejumlah 57.601 (50%), dan pada tahun 2012 menurun, anak laki-laki tercatat 1.046 (52%), dan anak perempuan 970 (48%).
59
KESIMPULAN Korban HAM (pelecehan, perkosaan, trafficking dan KDRT) lebih banyak dialami oleh perempuan, sedangkan pelakunya lebih banyak dilakukan laki-laki Kasus perceraian masih tinggi dan di sebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga Pelanggaran lalu lintas tertinggi dilakukan oleh pelajar Masih rendahnya penegak hukum perempuan Dokumen/surat ijin mengemudi untuk SIM A (Mobil) lebih banyak laki-laki yang memiliki, SIM B1 (mobil umum/pick up) dan B2 (bus, truk) lebih banyak laki-laki, SIM C (roda dua), pemiliknya lebih banyak perempuan.
60
BAB IV PENDIDIKAN Indonesia sebagai salah satu anggota UNESCO telah menandatangani Kesepakatan Dakar tentang kebijakan education for all. Kesepakatan tersebut mencanangkan beberapa hal mengenai target pencapaian kcsetaraan gender dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah: Pertama, menjamin bahwa semua anak, khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan yang sulit dan mereka yang termasuk etnik minoritas, mempunyai akses pada dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas yang baik, Kedua; Mencapai perbaikan 50% pada tingkat buta aksara orang dewasa menjeJang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, Ketiga; Penghapusan kesenjangan gender pada Pendidikan Dasar dan Menengah dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 dengan fokus pada kepastian sepenuhnya bagi anak perempuan terhadap akses dalam memperoleh Pendidikan Dasar yang bermutu. Kesenjangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki dalam bidang pendidikan, hingga saat ini masih menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap bidang lain, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran sosial di masyarakat sampai pada akses politik maupun akses publik yang lain. Berbagai kesenjangan ini muncul karena berbagai pandangan yang menjustifikasi klasifikasi sosial berdasarkan jenis kelamin seperti intepretasi subyektik teks keagamaan, budaya patriarkhi, maupun pembakuan peran yang berbasis pada perbedaan jenis kelamin di masyarakat atau komunitas tertentu. Lebih jauh lagi proses dan institusi pendidikan tak jarang turut berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestarikan nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai diskriminasi gender dalam masyarakat. Untuk menggambarkan tentang realitas kesetaraan gender dalam bidang pendidikan, maka diperlukan adanya data terpilah berdasarkan jenis kelamin, sehingga dapat diketahui dengan jelas sejauh mana peran, akses, kontrol maupun manfaat yang diterima oleh laki-laki maupun perempuan dalam satu wilayah. Pada bab ini, akan disajikan gambaran data t6entang Kab. Malang dalam bidang pendidikan.
61
A.
Data Penduduk Usia Sekolah Kab. Malang Keberadaan data pilah bidang pendidikan adalah salah satu factor penting dalam
melihat tingkat partisipasi serta keterlibatan perempuan dalam pendidikan. Untuk mendapatkan gambaran kondisi penduduk usia sekolah di Kabupaten Malang, dibawah ini merupakan data penduduk usia sekolah pada tingkat kecamatan serta telah dipilah berdasarkan jenis kelamin. Dari penelusuran data yang telah dilakukan, hingga saat ini masih terdapat data pada 24 kecamatan dengan rincian sebagaimana berikut.
Tabel 4.1 Data Penduduk Usia Sekolah Dasar (SD/MI) No
Kecamatan
Usia 7 - 12 Tahun
Jumlah
Lk
%
Pr
%
1
Kalipare
3,189
49.0
3,316
51.0
6,505
2
Pagak
2,517
48.6
2,658
51.4
5,175
3
Bantur
6,455
49.9
6,468
50.1
12,923
4
Gedangan
4,127
43.9
5,279
56.1
9,406
5
Ampelgading
2,954
55.0
2,413
45.0
5,367
6
Poncokusumo
4,718
51.0
4,534
49.0
9,252
7
Wajak
2,842
41.6
3,984
58.4
6,826
8
Bululawang
5,977
51.0
5,742
49.0
11,719
9
Pagelaran
5,378
49.8
5,424
50.2
10,802
10
Kepanjen
3,206
49.1
3,323
50.9
6,529
11
Sumberpucung
2,727
53.5
2,369
46.5
5,096
12
Kromengan
1,774
47.9
1,929
52.1
3,703
13
Ngajum
1,720
50.2
1,705
49.8
3,425
14
Wonosari
2,107
53.0
1,870
47.0
3,977
15
Wagir
5,158
50.1
5,128
49.9
10,286
16
Pakisaji
4,274
52.3
3,896
47.7
8,170
17
Tajinan
2,102
39.6
3,202
60.4
5,304
18
Tumpang
4,344
50.1
4,334
49.9
8,678
19
Singosari
6,603
52.6
5,956
47.4
12,559
62
20
Karangploso
2,635
52.0
2,429
48.0
5,064
21
Pujon
3,164
52.1
2,909
47.9
6,073
22
Dau
2,835
50.3
2,796
49.7
5,631
23
Ngantang
2,090
50.3
2,062
49.7
4,152
24
Kasembon
1,300
49.4
1,333
50.6
2,633
Sumber: Data Kecamatan tahun 2012
Tabulasi data diatas menunjukan bahwa dalam tingkat pendidikan dasar yakni penduduk usia antara 7-12 tahun memiliki tren yang cenderung imbang namun jumlah penduduk laki-laki tetap lebih tinggi jumlahnya. Dapat dilihat data yang dicetak hijau menunjukan jumlah penduduk laki-laki cenderung lebih banyak dibandingkan perempuan dengan selisih hampir 5% dari total penduduk. Namun disamping itu pada beberapa kecamatan yang lain justeru perempuan lebih banyak dari aspek jumlah, hal ini dapat dilihat pada beberapa kecamatan yang dicetak merah menunjukan perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Sedangkan pada rata-ratanya menempati prosesntase yang mendekati keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Tabel 4.2 Data Penduduk Usia Sekolah Tingkat SMP/MTS No
Kecamatan
Usia 13 -15 Tahun
Jumlah
Lk
%
Pr
%
1
Kalipare
2,654
49.0
2,761
51.0
5,415
2
Pagak
1,463
48.0
1,584
52.0
3,047
3
Bantur
1,667
50.0
1,670
50.0
3,337
4
Gedangan
5,921
51.3
5,632
48.7
11,553
5
Ampelgading
1,853
55.6
1,477
44.4
3,330
6
Poncokusumo
2,444
51.0
2,350
49.0
4,794
7
Wajak
2,624
41.6
3,678
58.4
6,302
8
Bululawang
1,839
50.0
1,840
50.0
3,679
9
Pagelaran
3,013
49.2
3,109
50.8
6,122
10
Kepanjen
1,731
50.2
1,714
49.8
3,445
11
Sumberpucung
2,101
47.7
2,303
52.3
4,404
63
12
Kromengan
904
49.9
909
50.1
1,813
13
Ngajum
996
49.5
1,018
50.5
2,014
14
Wonosari
197
50.0
197
50.0
394
15
Wagir
3,133
49.9
3,142
50.1
6,275
16
Pakisaji
3,415
52.2
3,125
47.8
6,540
17
Tajinan
1,512
30.7
3,419
69.3
4,931
18
Tumpang
3,991
46.2
4,641
53.8
8,632
19
Singosari
1,302
46.0
1,527
54.0
2,829
20
Karangploso
2,620
48.0
2,837
52.0
5,457
21
Pujon
1,779
49.6
1,809
50.4
3,588
22
Dau
1,440
50.4
1,418
49.6
2,858
23
Ngantang
1,299
49.6
1,320
50.4
2,619
24
Kasembon
727
49.4
744
50.6
1,471
Sumber: data kecamatan 2012 Data diatas menunjukan bahwa secara rata-rata partisipasi perempuan dan laki-laki dalam bidang pendidikan yang berusia antara 13 – 15 relatif seimbang, namun ada beberapa kecamatan yang terjadi ketimpangan yang lumayan mencolok, diantaranya adalah kecamatan yang dicetak dengan warna merah menunjukan jumlah penduduk laki-laki lebih tinggi sedangkan yang dicetak hijau menunjukan sebaliknya.
Tabel 4.3 Data Penduduk Usia Sekolah Tingkat SMA/MA/SMK No
Kecamatan
Usia 16 - 19 Tahun Lk
%
Pr
Jumlah %
1
Kalipare
1,946
43.3
2,545
56.7
4,491
2
Pagak
1,239
48.4
1,319
51.6
2,558
3
Bantur
219
47.8
239
52.2
458
4
Gedangan
5,232
44.7
6,479
55.3
11,711
5
Ampelgading
1,828
51.7
1,709
48.3
3,537
6
Poncokusumo
2,301
51.0
2,211
49.0
4,512
7
Wajak
4,841
48.9
5,052
51.1
9,893 64
8
Bululawang
992
52.8
886
47.2
1,878
9
Pagelaran
3,013
49.2
3,109
50.8
6,122
10
Kepanjen
1,704
43.5
2,209
56.5
3,913
11
Sumberpucung
2,002
45.8
2,371
54.2
4,373
12
Kromengan
813
50.2
806
49.8
1,619
13
Ngajum
724
49.2
747
50.8
1,471
14
Wagir
2,322
49.9
2,332
50.1
4,654
15
Pakisaji
2,613
51.0
2,512
49.0
5,125
16
Tajinan
1,087
43.3
1,424
56.7
2,511
17
Tumpang
5,124
50.6
5,000
49.4
10,124
18
Singosari
2,302
70.1
982
29.9
3,284
29
Karangploso
2,340
48.0
2,540
52.0
4,880
20
Pujon
963
55.2
781
44.8
1,744
21
Dau
1,921
50.3
1,895
49.7
3,816
22
Ngantang
1,134
53.5
986
46.5
2,120
23
Kasembon
200
44.9
245
55.1
445
Sumber: data kecamatan 2012
Dari tabel diatas diketahui bahwa jumlah penduduk usia sekolah pada setiap jenjang pendidikan memiliki tren yang relative imbang antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan. Data tersebut diatas menunjukan bahwa secara kuantitas, penduduk yang berjenis kelamin perempuan lebih besar dibandingkan penduduk jenis kelamin laki-laki. namun pada beberapa kecamatan menunjukan angka diferensiasi yang cukup tajam, sebagaimana data yang berwarna hijau menunjukan bahwa perbedaan jumlah antara laki-laki dibandingkan perempuan masih banyak laki-laki. sedangkan data yang berwarna merah menunjukan perempuan lebih banyak dibanding laki-laki dengan selisih yang relative besar seperti Tajinan yang memiliki prosentasi 56.7% sedangkan laki-laki berada pada 43.3% saja. B.
Data Siswa Berdasar Jenjang Usia Data isian yang didapatkan dari masing-masing kecamatan di seluruh Kabupaten
Malang, menunjukan bahwa pada tahun 2012 jumlah siswa yang terdaftar dalam
65
seluruh sekolah pada tingkata SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.4 Data Siswa Usia 7-12 tahun No
Kecamatan
Usia 7 - 12 Tahun Lk
%
Jumlah
Pr
%
IP
DP
1
Pagak
2,517
48.6
2,658
51.4
5,175
1.1
2.7
2
Bantur
3,862
49.5
3,934
50.5
7,796
1.0
0.9
3
Gedangan
2,507
51.0
2,412
49.0
4,919
1.0
-1.9
4
Ampelgading
2,841
52.8
2,542
47.2
5,383
0.9
-5.6
5
Poncokusumo
5,615
51.0
5,396
49.0
11,011
1.0
-2.0
6
Wajak
4,075
35.5
7,418
64.5
11,493
1.8
29.1
7
Bululawang
2,339
54.2
1,973
45.8
4,312
0.8
-8.5
8
Gondanglegi
4,400
50.1
4,383
49.9
8,783
1.0
-0.2
9
Pagelaran
3,809
52.8
3,402
47.2
7,211
0.9
-5.6
10
Kepanjen
3,208
49.1
3,330
50.9
6,538
1.0
1.9
11
Sumberpucung
2,230
49.2
2,307
50.8
4,537
1.0
1.7
12
Kromengan
992
40.4
1,462
59.6
2,454
1.5
19.2
13
Ngajum
2,236
51.3
2,119
48.7
4,355
0.9
-2.7
14
Wonosari
2,107
53.0
1,870
47.0
3,977
0.9
-6.0
15
Wagir
5,429
50.7
5,280
49.3
10,709
1.0
-1.4
16
Pakisaji
4,251
52.4
3,865
47.6
8,116
0.9
-4.8
17
Tajinan
1,579
52.8
1,410
47.2
2,989
0.9
-5.7
18
Tumpang
3,874
51.9
3,588
48.1
7,462
0.9
-3.8
19
Singosari
6,478
52.8
5,796
47.2
12,274
0.9
-5.6
20
Karangploso
2,635
52.0
2,429
48.0
5,064
0.9
-4.1
21
Pujon
2,837
51.2
2,700
48.8
5,537
1.0
-2.5
22
Ngantang
2,964
52.4
2,689
47.6
5,653
0.9
-4.9
23
Kasembon
1,478
50.0
1,478
50.0
2,956
1.0
0.0
Sumber: Data Kecamatan tahun 2012 66
Data diatas menunjukan bahwa pada jenjang pendidikan dasar, partisipasi perempuan dan laki-laki relative tidak banyak terjadi kesenjangan yang mencolok. Selisih capaian kinerja yang tajam adalah terdapat di kecamatan Bululawang dimana laki-laki lebih dominan dengan prosentase 54.2% sedangkan perempuan hanya menempati 45.8% saja. Sedangkan di kecamatan wajak, justeru laki-laki lebih rendah dalam capaian kinerjanya dengan 35.5% sedangkan perempuan mendominasi dengan prosentasenya 64.5% dari seluruh siswa yang ada di kecamatan tersebut.
Tabel 4.5 Data Siswa Usia 13-15 Tahun No
Kecamatan
Usia 13 -15 Tahun Lk
%
Pr
Jumlah
IP
Dp
%
1
Pagak
1,463
48.0
1,584
52.0
3,047
1.1
4.0
2
Bantur
1,771
49.6
1,797
50.4
3,568
1.0
0.7
3
Gedangan
967
49.9
972
50.1
1,939
1.0
0.3
4
Ampelgading
354
49.4
363
50.6
717
1.0
1.3
5
Poncokusumo
2,196
51.0
2,111
49.0
4,307
1.0
-2.0
6
Wajak
546
50.6
534
49.4
1,080
1.0
-1.1
7
Bululawang
1,920
57.9
1,396
42.1
3,316
0.7
-15.8
8
Gondanglegi
2,270
47.2
2,544
52.8
4,814
1.1
5.7
9
Pagelaran
1,510
51.7
1,413
48.3
2,923
0.9
-3.3
10
Kepanjen
2,306
50.3
2,274
49.7
4,580
1.0
-0.7
11
Sumberpucung
2,125
51.0
2,042
49.0
4,167
1.0
-2.0
12
Kromengan
942
50.3
929
49.7
1,871
1.0
-0.7
13
Ngajum
1,220
46.7
1,390
53.3
2,610
1.1
6.5
14
Wonosari
197
50.0
197
50.0
394
1.0
0.0
15
Wagir
2,060
49.5
2,104
50.5
4,164
1.0
1.1
16
Pakisaji
1,075
52.3
981
47.7
2,056
0.9
-4.6
17
Tajinan
1,980
49.9
1,989
50.1
3,969
1.0
0.2
18
Tumpang
4,055
49.6
4,122
50.4
8,177
1.0
0.8
19
Singosari
1,177
46.3
1,367
53.7
2,544
1.2
7.5
67
20
Karangploso
1,510
49.5
1,539
50.5
3,049
1.0
1.0
21
Pujon
1,531
48.2
1,647
51.8
3,178
1.1
3.7
22
Ngantang
1,256
46.9
1,422
53.1
2,678
1.1
6.2
23
Kasembon
701
48.8
736
51.2
1,437
1.0
2.4
Sumber: data kecamatan 2012 Tabulasi menunjukan bahwa pada jenjang pendidikan menengah pertama, partisipasi perempuan dan laki-laki cenderung seimbang. Selisih capaian kinerja yang tajam adalah terdapat di kecamatan Bululawang dimana laki-laki lebih dominan dengan prosentase 57.9% sedangkan perempuan hanya menempati 42.1% saja. Sedangkan di kecamatan singosari justeru laki-laki lebih rendah dalam capaian kinerjanya dengan 46.3% sedangkan perempuan mendominasi dengan prosentasenya 53.7% dari seluruh siswa yang ada di kecamatan tersebut.
Tabel 4.6 Siswa Usia 16-19 Tahun No
Kecamatan
Usia 16 - 19 Tahun Lk
%
Pr
Jumlah
IP
Dp
%
1
Pagak
1,239
48.4
1,319
51.6
2,558
1.1
3.1
2
Bantur
219
47.8
239
52.2
458
1.1
4.4
3
Gedangan
412
46.9
466
53.1
878
1.1
6.2
4
Ampelgading
52
62.7
31
37.3
83
0.6
-25.3
5
Poncokusumo
654
51.0
629
49.0
1,283
1.0
-1.9
6
Wajak
85
48.6
90
51.4
175
1.1
2.9
7
Bululawang
1,126
55.5
904
44.5
2,030
0.8
-10.9
8
Gondanglegi
1,465
43.5
1,899
56.5
3,364
1.3
12.9
9
Pagelaran
449
44.9
551
55.1
1,000
1.2
10.2
10
Kepanjen
1,481
38.9
2,326
61.1
3,807
1.6
22.2
11
Sumberpucung
1,674
45.3
2,024
54.7
3,698
1.2
9.5
12
Kromengan
526
55.8
416
44.2
942
0.8
-11.7
13
Ngajum
649
47.4
720
52.6
1,369
1.1
5.2
14
Wagir
1,489
49.9
1,492
50.1
2,981
1.0
0.1
68
15
Pakisaji
175
39.8
265
60.2
440
1.5
20.5
16
Tajinan
2,280
50.9
2,195
49.1
4,475
1.0
-1.9
17
Tumpang
2,204
41.6
3,100
58.4
5,304
1.4
16.9
18
Singosari
2,177
72.6
822
27.4
2,999
0.4
-45.2
19
Karangploso
341
48.0
369
52.0
710
1.1
3.9
20
Pujon
873
57.9
636
42.1
1,509
0.7
-15.7
21
Ngantang
389
44.1
493
55.9
882
1.3
11.8
22
Kasembon
200
44.9
245
55.1
445
1.2
10.1
Sumber: data kecamatan 2012
Jika dilihat dari jumlah siswa secara keseluruhan maka akan ditemukan bahwa jumlah siswa dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki. Namun perbedaan tersebut tidak lebih dari 2%, jadi secara keseluruhan di wilayah Kab. Malang jumlah peserta didik atau siswa dari tingkat dasar adalah 74.263 untuk siswa laki-laki sedangkan perempuan adalah pada angka74.441. Sedangkan pada jenjang menengah pertama baik SMP ataupun MTs partisipasi peserta didik laki-laki adalah 35.132 sedangkan perempuan sedikit lebih tinggi yakni 35.453. pada jenjang pendidikan SMA/MA penurunan sangat drastis terjadi, jumlah siswa hanya berkisar diangka 20.159 untuk jenis kelamin laki-laki sedangkan jenis kelamin perempuan berada di angka 21.231.
C.
Angka Partisipasi Kasar Angka Partisipasi Kasar (APK) secara sederhana adalah rasio jumlah peserta
didik, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. Definisi dari angka partisipasi kasar adalah sebagai perbandingan antara jumlah murid pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SLTP, SLTA dan sebagainya) dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai, angka APK dinyatakan dalam persentase. Angka hasil perhitungan tersebut (APK) digunakan untuk mengetahui banyaknya anak yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan tertentu pada wilayah tertentu. Rumus penghitungan APK adalah sebagai berikut: APK 7-12 =
Jumlah siswa SD + MI seluruhnya x 100% Jumlah penduduk 7-12 tahun 69
APK 13-15 = Jumlah siswa SLTP + MTs seluruhnya x 100% Jumlah penduduk 13-15 tahun
APK 16-18 = Jumlah siswa SLTA ( SMA+SMK+MA) seluruhnya x 100% Jumlah penduduk 16-18 tahun
Analisis dari APK adalah semakin tinggi nilai APK berarti semakin banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu jenjang pendidikan pada suatu wilayah. Nilai prosentase yang di munculkan dalam APK bisa lebih besar dari 100 % karena terdapat murid yang berusia di luar usia resmi sekolah, terletak di daerah kota, atau terletak pada daerah perbatasan, selain itu juga sangat dimungkinkan anak pada usia pendidikan menengah masih menempuh pendidikan dasar karena tidak lulus atau proses pengulangan. Berikut adalah data APK Kab. Malang dari data tingkat kecamatan yang teruraikan dalam tabel serta diagram dibawah ini:
Tabel 4.7 Angka Partisipasi Kasar (APK) Bidang Pendidikan
No
Kecamatan
1
2
Tingkat
Tingkat
Tingkat
Pendidikan
Pendidikan
Pendidikan
SD/MI
SMP/MTs
SMA/MA/SMK
3
4
5
6
7
8
Lk
Pr
Lk
Pr
Lk
Pr
1
Pagak
100
100
95
95.1
105.6
94.9
2
Bantur
59.8
60.8
106.2
107.6
100
100
3
Gedangan
60.7
45.7
16.3
17.3
7.9
7.2
4
Ampelgading
96.2
105.3
19.1
24.6
2.8
1.8
5
Poncokusumo
119
119
89.8
89.8
28.4
28.4
6
Wajak
143.4
186.2
20.8
14.5
0
0
7
Bululawang
39.1
34.4
104.4
75.9
113.5
102
8
Pagelaran
70.8
62.7
50.1
45.4
14.9
17.7
9
Kepanjen
100.1
100.2
133.2
132.7
86.9
105.3
70
10
Sumberpucung
81.8
97.4
101.1
88.7
83.6
85.4
11
Kromengan
55.9
75.8
104.2
102.2
64.7
51.6
12
Ngajum
130
124.3
122.5
136.5
89.6
96.4
13
Wonosari
100
100
100
100
0
0
14
Wagir
105.3
103
65.8
67
64.1
64
15
Pakisaji
99.5
99.2
31.5
31.4
6.7
10.5
16
Tajinan
75.1
44
131
58
209.8
154
17
Tumpang
89.2
82.8
101.6
88.8
43
62
18
Singosari
98.1
97.3
90.4
89.5
94.6
83.7
19
Karangploso
100
100
57.6
54.2
14.6
14.5
20
Pujon
89.7
92.8
86.1
91
90.7
81.4
21
Kasembon
113.7
110.9
96.4
98.9
100
100
Sumber: data kecamatan 2012 (diolah) Tabulasi angka partisipasi kasar diatas menunjukan bahwa dalam tingkat pendidikan yang masih dasar, keterlibatan aktif antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki cenderung setara dan seimbang yakni dalam jumlah akhir dari 21 Kecamatan yang memiliki data, angka partisipasi kasarnya adalah pada kisaran 94.2% untuk lakilaki dan 94.2% untuk perempuan. Tren kesetaraan tersebut terjadi di hampir seluruh kecamatan se-Kab. Malang, bahkan dibeberapa kecamatan seperti sumberpucung, Kromengan, dan Ampelgading justeru partisipasi perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Namun, kesetaraan angka partisipasi kasar bidang pendidikan tersebut tren-nya menurun pada jenjang pendidikan lanjut baik tingkat pertama (SMP/MTs) maupun tingkat pendidikan atas (SMA/MA/SMK). Pernurunan partisipasi tersebut memang terjadi pada seluruh jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan, Namun angka penurunan tersebut lebih jelas dan lebih besar terjadi pada jenis perempuan, sebagai perbandingan pada tingkat menengah pertama, jumlah peserta didik laki-laki adalah 82.7%, sedangkan perempuan ada pada angka 78% dari keseluruhan penduduk usia sekolah berjenis kelamin perempuan. Hal yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan Menengah Atas, dimana peserta didik laki-laki yang melanjutkan pendidikan pada jenjang tersebut adalah 61.7%, sedangkan perempuan ada pada angka 69.7%.
71
Selain dari aspek indeks paritas gender, perbandingan kinerja pendidikan perempuan juga harus dilihat dari aspek disparitas. Disparitas gender merupakan selisih kinerja pendidikan pada perempuan dikurangi kinerja pendidikan pada laki-laki. Jadi, ketika angka disparitas yang dihasilan adalah 'Nol' maka tidak ada kesenajangan gender bagi semua jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan. Namun, ketika angka disparitas adalah lebih kecil dari nol maka terjadi kesenjangan gender dimana kinerja perempuan tertinggal dibandingkan laki-laki, sedangkan angka disparitas lebih dari nol menunjukan kesenjangan terjadi dimana perempuan lebih dominan sedangkan laki-laki tertinggal. D. Angka Partisipasi Murni Selain APK, tolok ukur untuk dalam kinerja perempuan bidang pendidikan juga dilihat dari rasio Angka Partisipasi Murni (APM). APM didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah siswa kelompok usia sekolah pada jenjang pendidikan tertentu dengan penduduk usia sekolah yang sesuai dan dinyatakan dalam persentase. Indikator APM ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan yang sesuai. Semakin tinggi APM berarti banyak anak usia sekolah yang bersekolah di suatu daerah pada tingkat pendidikan tertentu. APM merupakan salah satu tolok ukur yang digunakan MDGs dalam mengukur pencapaian kesetaraan gender dibidang pendidikan. APM mengukur proporsi anak yang bersekolah yang dibagi dalam tiga kelompok jenjang pendidikan yaitu SD untuk penduduk usia 7-12 tahun, SMP untuk penduduk usia 13-15 tahun, dan SMA untuk penduduk usia 16-18 tahun. Tabel 4.8 Angka Partisipasi Murni Bidang Pendidikan
No
Kecamatan
1
2
Tingkat
Tingkat
Tingkat
Pendidikan
Pendidikan
Pendidikan
SD/MI
SMP/MTs
SMA/MA/SMK
3
4
5
6
7
8
Lk
Pr
Lk
Pr
Lk
Pr
1
Pagak
100
100
95
95.1
105.6
94.9
2
Bantur
100
100
100
100
100
100
72
3
Gedangan
45.4
33.7
1.9
0.7
9.6
6.4
4
Ampelgading
96.2
105.3
19.1
24.6
2.8
1.8
5
Poncokusumo
98.7
98.7
74.9
74.9
22.9
22.9
6
Wajak
143.4
186.2
20.8
14.5
1.8
1.8
7
Bululawang
39.1
34.4
104.4
75.9
113.5
102
8
Pagelaran
70.8
62.7
50.1
45.4
14.9
17.7
9
Kepanjen
93.9
71.4
125.3
129.7
87.4
82.4
10
Sumberpucung
75
97
95
87.2
78
82.4
11
Kromengan
55.8
61.3
104.2
102.2
70.1
56.1
12
Ngajum
100.9
98.5
70.4
69.8
59.9
56.6
13
Wonosari
100
100
100
100
0
0
14
Wagir
96.5
95.6
68.7
70.2
50.2
64.3
15
Pakisaji
99
98.6
31.1
31.1
6.3
10.3
16
Tajinan
72.9
43.1
23.5
14.2
191.4
135.4
17
Tumpang
89.2
82.8
101.6
88.8
43
62
18
Singosari
98.1
97.3
90.4
89.5
94.6
83.7
19
Karangploso
100
100
57.6
54.2
14.6
14.5
20
Pujon
89.7
92.8
86.1
91
90.7
81.4
21
Ngantang
124.9
115.6
81
95.5
343.2
50.1
22
Kasembon
100
100
96.4
98.9
100
100
Sumber: data olahan kecamatan 2012 APM bidang pendidikan di Kabupaten Malang adalah berada pada kisaran 60.3% bagi penduduk usia SD/MI untuk jenis kelamin laki-laki, sedangkan jenis kelamin perempuan tidak banyak berbeda dengan hanya selisih 0.5 % yakni berada di angka 59.8%. Tren selisih tipis tersebut juga terjadi pada siswa tingkat menengah pertama dengan jumlah 48.4% adalah jenis kelamin laki-laki dan 47.1% adalah jenis kelamin perempuan atau selisih 1.3% lebih besar angka partisipasi laki-laki dalam bidang pendidikan. Untuk jenjang pendidikan menengah atas, selisih capaian kinerja bidang pendidikan mengalami peningkatan untuk jenis kelamin laki-laki namun penurunan yang cukup tajam terjadi pada peserta didik berjenis kelamin perempuan. Jika laki-laki berada pada angka 48.5% dalam partisipasi murni pendidikan, maka
73
perempuan hanya mencapai angka 37.2% atau selisih 13% yang memperlebar jarak partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan dibandingkan laki-laki.
74
BAB V KESEHATAN
Kesehatan adalah salah satu indicator serta komponen utama dalam Index Pembangunan Manusia (IPM) untuk mendukung terciptanya SDM yang sehat, cerdas, terampil dan ahli menuju keberhasilan pembangunan. Lebih dari itu kesehatan juga termasuk salah satu hak dasar masyarakat yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Factor pembangunan kesehatan ini berimplikasi secara langsung kepada produktifitas perorangan dan kelompok, sehingga pembangunan dan berbagai upaya di bidang kesehatan diharapkan dapat menjangkau semua lapisan masyarakat serta tidak diskriminatif dalam pelaksanaannya, program di bidang kesehatan untuk laki-laki dan perempuan haruslah sama. Pada bab ini, selanjutnya akan disajikan serta dipaparkan berbagai data kondisi pembangunan bidang kesehatan yang telah dilaksanakan di kabupaten malang. Data yang ditampilkan juga disertai dengan data terpilah gender, sehingga diketahui berbagai permasalahan gender baik kesetaraan maupun ketimpangan yang terjadi dalam akses, peran, control maupun manfaat dalam bidang kesehatan.
A. Jumlah Kelahiran Bayi Terminology Jumlah kelahiran adalah banyaknya kelahiran hidup yang terjadi pada waktu tertentu di wilayah tertentu. Dalam proses perencanaan pembangunan berbagai fasilitas yang dibutuhkan khususnya pengembangan fasilitas kesehatan ibu dan anak snagatlah penting untuk memperhatikan dan mepertimbangkan factor rasio jumlah bayi yang ada. Sehingga kebijakan tersebut dapat berimbas baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Selain itu, data tentang jumlah kelahiran merupakan dasar untuk perhitungan berbagai indikator fertilitas seperti angka kelahiran kasar, angka kelahiran menurut umur, angka fertilitas total, angka reproduksi bersih, dan rasio anak wanita. Dalam tabel berikut adalah gambaran jumlah kelahiran bayu yang terdapat di wilayah Kabupaten Malang pada tingkat kecamatan.
75
Tabel 5.1 Angka Kelahiran Bayi Kab. Malang
No
Kecamatan
Jumlah Kelahiran Lk
%
Pr
%
Jumlah
1.
Donomulyo
527
51.5
497
48.5
1,024
2.
Kalipare
197
40.5
289
59.5
486
3.
Pagak
394
51.8
367
48.2
761
4.
Bantur
499
47.4
553
52.6
1,052
5.
Gedangan
299
40.4
441
59.6
740
6.
Poncokusumo
869
51.5
819
48.5
1,688
7.
Wajak
668
51.0
642
49.0
1,310
8.
Turen
956
50.5
936
49.5
1,892
9.
Bululawang
859
53.7
740
46.3
1,599
10. Godanglegi
629
46.8
716
53.2
1,345
11. Pagelaran
522
47.1
587
52.9
1,109
12. Kepanjen
944
54.8
778
45.2
1,722
0
0.0
228
100.0
228
14. Ngajum
363
46.2
422
53.8
785
15. Wonosari
331
50.0
331
50.0
662
16. Wagir
605
48.7
638
51.3
1,243
17. Pakisaji
691
50.2
685
49.8
1,376
18. Tajinan
421
47.1
473
52.9
894
19. Tumpang
758
51.9
703
48.1
1,461
1,109
48.1
1,197
51.9
2,306
594
50.5
583
49.5
1,177
1,027
43.8
1,319
56.2
2,346
23. Karangploso
597
50.2
592
49.8
1,189
24. Dau
334
48.1
360
51.9
694
25. Pujon
520
49.2
537
50.8
1,057
26. Ngantang
444
48.2
478
51.8
922
13. Kromengan
20. Pakis 21. Jabung 22. Singosari
Sumber: data isian kecamatan 2012 76
Dari tabel tentang angka kelahiran bayi diatas, dapat dilihat bahwa dari aspek jumlah angka bayi lahir yang ada di Kab. Malang adalah 31.068 jiwa. Angka ini dapat saja berubah ketika terjadi update data pada bulan atau tahun berikutnya. Namun yang menarik adalah prosentase kelahiran bayi laki-laki dan perempuan hanya memiliki perbedaan sedikit yakni 1.2% saja dengan jumlah kelahiran bayi perempuan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah kelahiran bayi laki-laki.
B.
Jumlah Balita di Kab. Malang Angka balita adalah data statistik balita hidup di wilayah kabupaten malang dengan
rentang usia 0 hingga 4 tahun. Data ini penting digunakan untuk mengetahui gambaran riil tentang angka kelahiran serta jumlah balita yang ada disuatu wilayah tertentu, juga untuk mengukur keterlibatan balita dalam berbagai program kesehatan yang ada. Dari data isian padan tingkat kecamatan, telah didapatkan data serta prosentase sebagaimana dalam tabel berikut. Tabel 5.2 Jumlah Balita Kab. Malang No
Kecamatan
1.
Donomulyo
2.
Kalipare
3.
Lk
%
Pr
%
Jumlah
2,592 51.0
2,490
49.0
5,082
197 40.5
289
59.5
486
Pagak
1,371 47.6
1,510
52.4
2,881
4.
Bantur
2,076 46.0
2,438
54.0
4,514
5.
Gedangan
300 40.5
441
59.5
741
6.
Ampelgading
1,983 49.1
2,058
50.9
4,041
7.
Poncokusumo
4,001 60.0
2,668
40.0
6,669
8.
Wajak
3,415 50.3
3,369
49.7
6,784
9.
Turen
4,109 50.1
4,092
49.9
8,201
10. Bululawang
2,285 47.6
2,518
52.4
4,803
11. Godanglegi
3,209 50.1
3,201
49.9
6,410
12. Pagelaran
1,409 39.7
2,144
60.3
3,553
13. Kepanjen
3,930 49.8
3,969
50.2
7,899
14. Sumber Pucung
2,009 49.0
2,092
51.0
4,101
77
15. Kromengan
1,356 49.0
1,412
51.0
2,768
16. Ngajum
2,088 50.9
2,015
49.1
4,103
17. Wagir
2,923 51.0
2,809
49.0
5,732
18. Pakisaji
39,250 47.5
43,376
52.5
82,626
19. Tajinan
2,090 51.5
1,967
48.5
4,057
20. Tumpang
3,025 49.2
3,126
50.8
6,151
21. Pakis
2,421 50.8
2,347
49.2
4,768
22. Jabung
2,178 48.4
2,326
51.6
4,504
23. Lawang
3,922 49.8
3,948
50.2
7,870
24. Singosari
3,357 49.1
3,478
50.9
6,835
25. Karangploso
2,922 49.5
2,979
50.5
5,901
811 46.4
937
53.6
1,748
27. Pujon
2,292 51.0
2,201
49.0
4,493
28. Ngantang
2,482 52.2
2,272
47.8
4,754
29. Kasembon
1,193 49.8
1,203
50.2
2,396
26. Dau
Sumber: data kecamatan 2012
Tabel 5.2 diatas secara kuantitatif menunjukan bahwa di Kabupaten Malang jumlah anak yang berada pada rentang umur 0-4 tahun antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan hanya terjadi selisih 1 % dari keseluruhan kecamatan yang ada di kabupaten malang. Namun ketika data tersebut dilihat berdasarkan kecamatan, maka terdapat beberapa kecamatan yang secara prosentase jumlah balita laki-laki dibandingkan balita jenis kelamin perempuan memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Seperti contoh di Kecamatan Pagelaran, jumlah balita perempuan adalah berada pada angka 2.144 atau 60.3% lebih banyak dibandingkan dengan balita laki-laki, perbedaan signifikan tersebut juga terlihat di Kecamatan Gedangan dan Kalipare. Namun untuk Kecamatan Poncokusumo jumlah balita laki-laki lebih besar dibandingkan dengan balita perempuan. Melihat data tersebut maka dirasa perlu bagi para pengambil kebijakan untuk menyesuaikan kebijakan pmbangunan kesehatan yang ramah gender, sehingga dengan adanya kebijakan yang komprehensif dan ramah gender, diharapkan tidak ada lagi ketimpangan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam mengakses kesehatan di Kabupaten Malang.
78
C.
Balita Mendapatkan Asupan ASI Indonesia sebagai Negara peserta PBB yang telah menandatangani kesepakatan atau
komitmen Millenium Development Goals ( MDG‟s ) serta menargetkan penurunan sebesar dua pertiga untuk angka kematian bayi dan balita dalam kurun waktu 1990 – 2015. Oleh sebab itu, Indonesia mempunyai komitmen dalam menurunkan angka kematian bayi secara nasional yakni dari 68/1.000 kehamilan menjadi 23/1.000 kehamilan dan angka kematian balita dari 97/1.000 kehamilan menjadi 32/1.000 kehamilan pada tahun 2015. Sebagai gambaran riil keberadaan bayi yang mendapatkan asupan ASI di Kabupaten Malang, berikut adalah hasil data isian kecamatan tentang bayi yang mendapatkan ASI yang dipilah berdasarkan jenis kelamin. Tabel 5.3 Balita yang Mendapatkan ASI No
Kecamatan
laki-laki Ya
%
Perempuan Tdk
%
Jumlah
%
ya
%
61
1.2
2417
47.6
73
1.4
5082
40.5
0
0
289
59.5
0
0.0
486
1075 49.3
3
0.14
1099
50.4
3
0.1
2180
2531 49.8
Tdk
1.
Donomulyo
2.
Kalipare
3.
Pagak
4.
Bantur
358
32.9
114
10.5
455
41.8
161
14.8
1088
5.
Gedangan
300
40.5
0
0
441
59.5
0
0.0
741
6.
Ampelgading
322
79.5
83
20.5
0
0.0
0
0.0
405
7.
Poncokusumo
419
44.9
142
15.2
279
29.9
94
10.1
934
8.
Wajak
394
11.7
1238
36.8
275
8.2
1458
43.3
3365
9.
Turen
518
33.0
345
22
424
27.0
282
18.0
1569
10.
Bululawang
934
45.9
32
1.57
1029
50.5
41
2.0
2036
11.
Godanglegi
604
54.4
11
0.99
484
43.6
12
1.1
1111
12.
Pagelaran
159
38.8
0
0
251
61.2
0
0.0
410
13.
Kepanjen
497
35.7
193
13.9
506
36.4
196
14.1
1392
14.
Kromengan
1515 41.9
112
3.1
1852
51.2
138
3.8
3617
15.
Ngajum
311
50.7
2
0.33
299
48.8
1
0.2
613
16.
Wonosari
189
29.3
102
15.8
231
35.8
124
19.2
646
17.
Wagir
555
49.2
0
0
574
50.8
0
0.0
1129
18.
Pakisaji
926
42.9
58
2.69
1091
50.6
82
3.8
2157
19.
Tajinan
380
47.9
11
1.39
391
49.2
12
1.5
794
197
79
20.
Tumpang
665
17.6
1257
33.3
614
16.3
1235
32.7
3771
21.
Pakis
997
47.4
26
1.24
994
47.3
85
4.0
2102
22.
Jabung
289
25.8
274
24.5
301
26.9
254
22.7
1118
23.
Lawang
174
27.1
115
17.9
212
33.0
141
22.0
642
24.
Singosari
1403 66.7
139
6.6
563
26.7
0
0.0
2105
25.
Karangploso
2922 49.5
0
0
2979
50.5
0
0.0
5901
26.
Pujon
27. 28.
140
20.9
193
28.8
145
21.6
192
28.7
670
Ngantang
57
44.2
16
12.4
48
37.2
8
6.2
129
Kasembon
79
47.9
0
0
86
52.1
0
0.0
165
18910 40.8
4527
9.8
18329
39.5
4592
9.9
46358
Jumlah Total
Sumber: data isian kecamatan 2012 Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada tingkat kabupaten bayi laki-laki yang mendapatkan ASI adalah berkisar di angka 40.8% sedangkan yang tidak mendapatkan asupan ASI adalah 9.8%. Sedangkan Bayi dengan jenis kelamin perempuan yang mendapatkan asupan ASI adalah 39.5% sedangkan 9.9% dari keseluruhan bayi tidak mendapatkan asupan ASI.
Prosentase dan realitas data ini
menunjukan bahwa bayi laki-laki yang ada di Kabupaten Malang secara prosentase lebih banyak mendapatkan asupan ASI sedangkan perempuan masih dibawahnya. Beberapa kecamatan yang sangat dekat dengan ideal ialah kecamatan yang berwarna hijau dimana bayi laki-laki dan perempuan mendapatkan asupan ASI yang seimbang, ini terjadi di kecamatan Karangploso, Wagir dan Pagak. Untuk mengatasi permasalahan ini tentunya pemerintah local pada tingkat kecamatan harus mengadakan evaluasi serta peningkatan peran puskesmas dalam mensosialisasikan pentingnya pemberian ASI eksklusif bagi bayi.
D.
Imunisasi Dilihat dari aspek linguistic kata imun merupakan istilah yang berasal dari
bahasa Latin (immunitas) yang memiliki arti pembebasan (kekebalan). Proses ini dalam sejarah Romawi diberikan kepada para senator Romawi selama masa jabatan mereka terhadap kewajiban sebagai warganegara biasa dan terhadap dakwaan. Istilah imun kemudian berkembang sehingga pengertiannya berubah menjadi perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi, terhadap penyakit menular (Mehl dan Madrona, 2001). Secara definitive sistem imun merupakan suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif 80
dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau racunnya, yang masuk ke dalam tubuh. Terminology imunisasi di Indonesia mempunyai pengertian sebagai tindakan untuk memberikan perlindungan (kekebalan) di dalam tubuh bayi dan anak, agar terlindung dan terhindar dari penyakit-penyakit menular dan berbahaya bagi bayi dan anak. Jadi secara umum dapat diberikan sebuah pengertian bahwa Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah penyakit tertentu.Vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan dan melalui mulut. Sistem kerja imunisasi adalah dengan merangsang pembentukan antibodi dalam tubuh seseorang terhadap organisme tertentu dengan tanpa menyebabkan seorang sakit terlebih dahulu. Zat yang digunakan dalam membentuk imunitas tubuh tersebut terbuat dari mikroorganisme ataupun bagian dari mikroorganisme penyebab infeksi yang telah di matikan atau di lemahkan. Proses ini tidak akan membuat penderita jatuh sakit karena mikroorganisme tidak dalam kondisi ganas. Proses pemasukan vaksin biasanya dimasukan kedalam tubuh dengan melalui suntikan. Selanjutnya sistem pertahanan tubuh akan bereaksi terhadap vaksin yang di masukan ke dalam tubuh tersebut. Antibodi yang telah terbangun dalam darah seseorang, akan terus berada di peredaran darah membentuk imunisasi ketika suatu saat tubuh di serang oleh mikroorganisme yang sama dengan yang terdapat di dalam vaksin. Maka hasil antibodi tadi akan melindungi tubuh dan mencegah terjadinya infeksi. Beberapa imuniasi yang diberikan kepada bayi adalah: Polio, campak, rubella, difteria, batuk rejan, meningitis, cacar air, gondongan, dan hepatitis B.Sedangkan terdapat 3 jenis vaksinasi yag di berikan pada kelompok anak-anak ataupun dewasa dengan resiko tinggi menderita infeksi yaitu: Hepatitis A,Influenza, Pneumon.
Tabel 5.4 Jumlah Bayi Pernah Melakukan Imunisasi No
Kecamatan
1.
Donomulyo
2.
Kalipare
Pernah Lk
%
Belum Pernah
Pr
%
Lk
%
Pr
%
Jumlah
2,592
51
2,490
49.0
0
0.0
0
0.0
5,082
197
40.5
289
59.5
0
0.0
0
0.0
486 81
3.
Pagak
404
50.3
397
49.4
0
0.0
2
0.2
803
4.
Bantur
506
44.8
573
50.7
22
1.9
29
2.6
1,130
5.
Gedangan
300
40.5
441
59.5
0
0.0
0
0.0
741
6.
Ampelgading
952
23.6
3,089
76.4
0
0.0
0
0.0
4,041
7.
Poncokusumo
1,533
99.3
0
0.0
11
0.7
0
0.0
1,544
8.
Bululawang
846
43.0
1,018
51.8
53
2.7
50
2.5
1,967
9.
Godanglegi
659
37.9
540
31.1
0
0.0
540
31.1
1,739
10. Pagelaran
2,625
47.8
2,869
52.2
0
0.0
0
0.0
5,494
11. Kepanjen
1,731
99.5
0
0.0
9
0.5
0
0.0
1,740
12. Ngajum
4,086
50.9
3,943
49.1
0
0.0
0
0.0
8,029
13. Pakisaji
659
49.6
670
50.4
0
0.0
0
0.0
1,329
14. Tajinan
319
40.7
464
59.3
0
0.0
0
0.0
783
4,380
49.6
4,449
50.4
0
0.0
0
0.0
8,829
602
50.8
583
49.2
0
0.0
0
0.0
1,185
17. Lawang
8,250
48.5
8,770
51.5
0
0.0
0
0.0
17,020
18. Singosari
1,240
42.3
1,592
54.3
43
1.5
55
1.9
2,930
520
49.2
537
50.8
0
0.0
0
0.0
1,057
4,558
51.2
4,347
48.8
0
0.0
0
0.0
8,905
262
51.3
249
48.7
0
0.0
0
0.0
511
15. Tumpang 16. Jabung
19. Pujon 20. Ngantang 21. Kasembon
Sumber: Data Kecamatan 2012 Data diatas menunjukan bahwa hampir setiap orang tua pernah melakukan imunisasi bagi anak mereka baik dari anak dengan jenis kelamin laki-laki maupun dengan jenis kelamin perempuan. Prosentasenya adalah 49.4% bayi laki-laki pernah mendapatkan imunisasi sedangkan anak perempuan yang pernah mendapatkan imunisasi adalah 49.5. Namun ketimpangan akses terjadi pada jumlah prosentase bayi perempuan yang lebih banyak tidak mendapatkan imunisasi dibandingkan bayi laki-laki yakni 0.9% untuk bayi perempuan sedangkan bayi laki-laki adalah 0.2% dari seluruh bayi yang ada.
82
BAB VI POLITIK Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The UN Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women - CEDAW) disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Lebih dari 170 negara telah meratifikasi konvensi PBB tersebut termasuk Indonesia. Konvesi ini dapat dijadikan dasar untuk mewujudkan kesetaraan perempuan dan laki-laki dengan membuka akses dan peluang yang sama di arena politik dan kehidupan publik termasuk hak memberi suara dan mencalonkan diri untuk mendapatkan posisi baik di badan legislatif maupun eksekutif. Hak politik perempuan pada dasarnya adalah hak asasi manusia, dan hak asasi manusia merupakan esensi dari kerangka demokrasi. Sehingga melibatkan perempuan dan laki-laki di dalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak dalam demokrasi. Dalam teori ini sesungguhnya tidak lagi ada dikotomi perempuan–pria. Keterwakilan perempuan secara proporsional dalam politik baik di kursi legislatif maupun eksekutif sangatlah penting karena sesuai dengan apa yang ditulis dalam konvesi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, tahun 1979 bahwa “...pembangunan yang utuh dan menyeluruh dari suatu negara, kesejahteraan dunia dan perjuangan menjaga perdamaian menuntut partisipasi penuh kaum perempuan dalam kedudukan yang sejajar dengan laki-laki dalam segala bidang. “
A.
Partisipasi Politik Dalam konteks perempuan dan politik di Indonesia, istilah politik didefinisikan
sebagai usaha, kegiatan dan upaya yang bertujuan mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dan perundangan dalam hal isu-isu yang berdampak langsung bagi kaum perempuan. Dengan demikian jumlah perempuan dalam politik (sebagai aktor atau partisan) perlu ditingkatkan kuantitasnya. Dengan peningkatan ini ada beberapa hal yang akan tercapai. Pertama, dengan lebih banyak wakil perempuan dalam lembaga penentu kebijakan, maka hal ini menjadi proposional dengan banyaknya jumlah perempuan yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan menghindari kesenjangan dan ketidakadilan gender. Kedua, dengan partisipasi kaum perempuan, maka kepentingan 83
perempuan dapat secara langsung diakomodir dalam bentuk kebijakan dan perundangundangan. Ketiga, partisipasi tersebut akan membantu pemberdayaan perempuan dalam rangka sebagai mitra pembangunan. Undang-undang PEMILU no. 10 tahun 2008, ayat 1 huruf d; pasal 53 dan pasal 57 mengamanatkan 30 persen kuota perempuan dalam menduduki kursi legislative. Pemberian 30 persen dari total anggota suatu institusi politik seperti DPR mampu memberikan posisi tawar menawar (bargaining positions) yang kuat bagi suatu kelompok untuk memenangkan aspirasinya. Namun angka 30 persen untuk perempuan ibarat „jauh api dari pangang‟. Angka tersebut belum sepenuhnya bisa dicapai. Jumlah perempuan pada kursi DPRD Kab Malang 2009 masih di bawah angka 10 persen. Di Kabupaten Malang, dari 50 kursi anggota Legislatif hanya 9 kursi yang diduduki oleh perempuan. Tabel 6.1 Pejabat Legislatif Sesuai Jenis Kelamin NO
Partai Politik
Jumlah Anggota Parlemen Lk
%
Pr
%
Jumlah Kursi
IP
DG
1
PDI Perjuangan
10
76.9
3
23.1
13
0.3
-53.8
2
Partai Demokrat
6
75.0
2
25.0
8
0.3
-50.0
3
Partai Golkar
8
100.0
0.0
8
0.0 -100.0
4
PKB
7
87.5
12.5
8
0.1
5
PKS
4
100.0
0.0
4
0.0 -100.0
6
Partai Hanura
2
50.0
2
50.0
4
1.0
0.0
7
Gerindra
2
66.7
1
33.3
3
0.5
-33.3
8
PPP
1
100.0
0.0
1
0.0 -100.0
9
PKNU
1
100.0
0.0
1
0.0 -100.0
41
82.0
Jumlah
1
9
18.0
50
0.2
-75.0
-64.0
Sumber: KPUD Kab Malang 2012
Tabulasi diatas menunjukan bahwa keterwakilan perempuan dalam bidang politik atau parlemen secara keseluruhan adalah 18% saja, sedangkan laki-laki 84
menempati 82% dari seluruh jumlah kursi yang ada di Parlemen, artinya keterwakilan perempuan belum memenuhi standart undang-undang yang mempersyaratkan 30%. Dari data tersebut juga terlihat bahwa indeks paritas yang terjadi antara kinerja perempuan dibandingkan laki-laki adalah 0.2% sedangkan disparitas gender yang terjadi adalah -64% dengan kesimpulan perempuan tertinggal dibandingkan laki-laki dalam capaian kinerja bidang legislatif. Dengan jumlah perempuan yang sangat minim di DPR maka aspirasi dan masalah-masalah yang berkenaan dengan perempuan tidak dapat tersalurkan dengan baik. Dan kuota merupakan salah satu cara yang dapat dipakai untuk dapat dengan cepat menambah jumlah perempuan DPR. Seperti para aktifis mengatakan, start antara perempuan dan laki-laki memasuki dunia politik tidak sama, maka harus ada cara untuk memotong waktu untuk mengejar ketertinggalan perempuan. Jika pembangunan dirumuskan sebagai proses pembangunan masyarakat seutuhnya dan di mana pria-perempuan menjadi sasaran pembangunan, seyogianya kedua unsur tersebut dapat berpartisipasi scara setara. Maka dalam hal ini harus ada upaya bersama dari semua pihak baik pemerintah, masyarakat, partai politik dan civil society untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang politik.
B.
Perempuan dalam Jabatan Eksekutif Pada badan eksekutif atau Aparatur Pemerintahan Kabupaten Malang,
Perempuan cukup mendapat tempat yang bagus. Kalau kita lihat dari jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada 43 Badan dan Dinas di Pemerintah Daerah Kabupaten Malang jumlah perempuan cukup tinggi walaupun jumlah laki-laki masih tetap lebih banyak. Pada Badan dan Dinas tertentu jumlah PNS perempuan lebih banyak seperti Kantor Pemberdayaan Perempuan, Badan Pendidikan dan Pelatihan dan Badan Keluarga Berencana. Secara sekilas hal ini bisa saja mengembirakan akan tetapi kalau kita amati lebih jauh, walaupun perempuan sudah berpartisapi di area publik namun perempuan masih terkonsentrasi pada badan dan dinas tertentu dan belum menyebar secara merata pada badan dan dinas lainnya. Sedikit sekali perempuan kita jumpai pada Dinas Pengairan, Kelurahan, Dinas Bina Marga dan juga pada badan strategis seperti Badan Perencanaan Pembangunan, jumlah perempuan juga masih sedikit dibanding dengan jumlah PNS laki-laki.
85
Tabel 6.2 Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Malang 2012
Sumber KMDA Kab Malang 2012
Di samping itu, representasi kaum perempuan pada posisi-posisi puncak pengambilan keputusan di semua badan dan dinas juga sangat rendah. Meskipun kaum perempuan adalah mayoritas pegawai negeri di badan dan dinas penting seperti badan pendidikan dan pelatihan kebanyakan mereka hanya menduduki posisi birokrasi menengah ke bawah. Hal ini juga senada dengan sedikitnya jumlah perempuan yang menjadi Lurah/Kepala Desa. Di wilayah Kabupaten Malang dari 390 Lurah/Kepala
86
Desa, hanya 17 perempuan yang menjabat sebagai Lurah/Kepala Desa. Jumlah ini sangat sedikit mengingat begitu pentingnya kedudukan Lurah/Kepala Desa bagi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di tingkat desa. Lurah/Kepala Desa adalah elemen pemerintahan yang terdekat dengan rakyat, Lurah/Kepala Desa menjadi tempat pertama aduan segala permasalahan yang ada di masyarakat. Maka penting sekali juga untuk meningkatkan jumlah Lurah/Kepala Desa perempuan dengan harapan mereka akan lebih peka dan responsif terhadap permasalahan di desa terutama permasalahan perempuan seperti perempuan dan kemiskinan (karena angka perempuan miskin sangat tinggi dibanding laki-laki), tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan,
gizi buruk di kalangan anak dan perempuan, rendahnya tingkat
pendidikan/partisipasi sekolah perempuan di desa, tingginya pernikahan dini di kalangan remaja puteri, dan masih banyak permasalahan-permasalahan yang lain.
C. Kepangkatan PNS Kab. Malang NO
Kepangkatan
Jenis Kelamin Lk
%
1
II-a
1
100
2
II-b
31
75.6
3
III-a
93
4
III-b
5
Pr
Jumah
%
IP
DG
0
1
0.0 -100.0
10
24.4
41
0.3
-51.2
81.6
21
18.4
114
0.2
-63.2
114
80.9
27
19.1
141
0.2
-61.7
IV-a
515
65.5
271
34.5
786
0.5
-31.0
6
IV-b
163
63.7
93
36.3
256
0.6
-27.3
7
V-a
31
50.0
31
50.0
62
1.0
0.0
Jumlah 948 67.7 453 32.3 1401 Data: badan kepegawaian daerah Kab. Malang 2012
0.5
-35.3
Dari data yang terpampang diatas dapat diketahui bahwa secara prosentase keseluruhan capaian kinerja laki-laki dalam bidang kepangkatan PNS jauh mengungguli perempuan dengan prosentase 67.7% sedangkan perempuan hanya berada pada angka 32.3%. perbedaan mencolok juga terjadi pada golongan III-a dimana laki-laki mendominasi dengan prosentase 81.6% melebihi perempuan yang berada di angka 18.4%.
87
BAB VII BIDANG SOSIAL
Permasalahan kesejahteraan sosial merupakan permasalahan kesenjangan kesejahteraan yang terjadi di masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor baik ekonomi, sosial, pendidikan dan lingkungan. Dinas sosial adalah instansi yang menangani secara langsung permasalahan kesejahteraan sosial tersebut sebagaimana visi yang telah dicanangkan yaitu terwujudnya kesejahteraan sosial masyarakat melalui usaha bersama pemerintah dan masyarakat. Visi tersebut bertujuan untuk mewujudkan suatu kondisi masyarakat yang masuk ke dalam kategori PMKS menjadi berkesejahteraan sosial dengan model participatory action empowerment oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Hal tersebut juga dapat dilihat dari tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan oleh dinas ini yaitu mewujudkan kondisi masyarakat yang berketahanan sosial dan Penyandang masalah yang mampu menjalankan fungsi sosialnya. Adapun Profil gender bidang sosial ini menyajikan permasalahan seputar kesejahteraan sosial di kabupaten Malang meliputi jenis dan kategori penyandang permasalahan sosial, sumber dan layanan social, pola pemberdayaan penyandang kesejahteraan social dan perbaikan kualitas hidup di kabupaten Malang tahun 2012. Analisa permasalahan yang disusun dalam profil gender bidang sosial ini mengacu kepada permasalahan sosial berdasarkan kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang ditangani oleh Dinas Sosial Kabupaten Malang.
A.
PMKS Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah seseorang,
keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani, dan sosial) secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan dan gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan, keterasingan dan perubahan lingkungan (secara mendadak) yang kurang mendukung, seperti terjadinya bencana. (sumber: Dinas Sosial Kabupaten Buleleng,2012). Terdapat beberapa permasalahan kesejahteran sosial di kabupaten Malang yang menjadi sasaran pemberdayaan Dinas Sosial yang meliputi 88
kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial dan kerentanan. Kategori permasalahan ini berkembang dari tahun 2011 (22 kategori) dan 2012 menjadi 28 kategori dengan penambahan kategori baru yaitu permasalahan wanita korban kekerasan dan tidak diperlakukan layak, anak korban tindak kekerasan, lanjut usia yang menjadi korban tindak kekerasan atau yang diperlakukan salah, gelandangan psikotik, narapidana dan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Perkembangan kategori tersebut menunjukkan bahwa terjadi perkembangan permasalahan sosial di Kabupaten Malang dengan berdasarkan faktor usia, kondisi geografis dan potensi bencana yang memungkinkan timbul serta kriminalitas. Adapun kategori permasalahan sosial berdasarkan kategori PMKS adalah sebagai berikut: Tabel 7.1 Jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan social
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Jenis permasalahan No Jenis permasalahan Anak Balita Terlantar 15 Gelandangan Anak Terlantar 16 gelandangan psikotik Anak korban tindak kekerasan/ 17 bekas narapidana anak nakal salah 18 korban penyalah gunaan NAPZA diperlakukan anak jalanan 19 keluarga fakir miskin anak cacat 20 keluarga berumah tak layak huni wanita rawan sosial ekonomi 21 keluarga bermasalah sosial wanita yang menjadi korban 22 komuntas psikologis adat terpencil lanjut terlantar atau yang 23 masyarakat yang tinggal di daerah tindakusiakekerasan lanjut usia yang menjadi korban bencana alam 24 korban rawan bencana diperlakukan salah penyandang cacatatau yang 25 korban bencana sosial/ pengungsi tindak kekerasan penyandang cacat bekas penderita 26 pekerja migran terlantar diperlakukan salah tuna susila 27 pengidap HIV/ AIDS penyakit kronis Pengemis 28 keluarga rentan Data penyandang masalah kesejahteraan sosial menurut jenis kelamin di
kabupaten Malang berdasarkan sumber dinas sosial dilihat pada tabel 2 yang dirinci sesuai dengan kategori masing-masing masalah sosial tahun 2012 Tabel 7.2 Penyandang Masalah Kesejahteraan sosial menurut jenis kelamin, 2012 No
Jenis PMKS
jenis kelamin Lk
Pr
jumlah
prosentase Lk
Pr
DG
IP
89
1
Anak Balita Terlantar
2
Anak Terlantar
3
Anak korban tindak kekerasan/ diperlakukan
244
226
470 51,9 48,1 -3,83 0,93
10268
9314
19582 52,4 47,6 -4,87 0,91
21
14
35
60
40
-20 0,67
4
salah anak nakal
482
23
5
anak jalanan anak cacat Tubuh Netra rungu wicara
219 769 592 21 45
35 539 202 9 44
87
83
-
4066
4066
100
100
-
772
772
100
100
840
1506
-
12
3939
2844
6783 58,1 41,9 -16,1 0,72
Tubuh Netra rungu wicara
433 169 160
394 138 141
827 52,4 47,6 -4,72 0,91 307 55 45 -10,1 0,82 301 53,2 46,8 -6,31 0,88
343
252
595 57,6 42,4 -15,3 0,73
12
Mental penyandang cacat bekas
423
421
844 50,1 49,9 -0,24
13 14 15
penderita penyakit kronis tuna susila Pengemis Gelandangan
0 130 64
475 180 32
475 0 100 100 310 41,9 58,1 16,1 1,38 96 66,7 33,3 -33,3 0,5
16
gelandangan psikotik
24
18
42 57,1 42,9 -14,3 0,75
17
bekas narapidana
1669
149
18
korban penyalah gunaan
128
5
133 96,2 3,76 -92,5 0,04
19
NAPZA keluarga fakir miskin
30124
17278
47402 63,6 36,4 -27,1 0,57
20
keluarga berumah tak layah
5934
4335
9159 64,8 47,3 -17,5 0,73
6
7
Mental wanita rawan sosial
505 95,4 4,55 -90,9 0,05 254 1308 794 30 89
86,2 58,8 74,6 70 50,6
13,8 41,2 25,4 30 49,4
-72,4 -17,6 -49,1 -40 -1,12
0,16 0,7 0,34 0,43 0,98
170 51,2 48,8 -2,35 0,95
ekonomi wanita yang menjadi 8
korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah
9
lanjut usia terlantar
2346 35,8 64,2
28,4 1,79
lanjut usia yang menjadi 10
korban tindak kekerasan
11
atau yang diperlakukan penyandang cacat salah
12
188
100
888 79,3
100
1
-809 0,09
huni 90
21
keluarga bermasalah sosial
584
323
-
-
1310
955
83
93
-
3
907 64,4 35,6 -28,8 0,55
psikologis 22 23 24 25
komuntas adat terpencil masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana korban bencana alam korban bencana sosial/
2265 57,8 42,2 -15,7 0,73 176 47,2 52,8 3
100
5,68 1,12 100
pengungsi 26
pekerja migran terlantar
13
23
36 36,1 63,9
27,8 1,77
27
pengidap HIV/ AIDS
17
9
26 65,4 34,6 -30,8 0,53
28
keluarga rentan
2340
966
3306 70,8 29,2 -41,6 0,41
Sumber: Dinas Sosial Kabupaten Malang (2012)
Berdasarkan tabel diatas dapat digambarkan diagram di bawah ini tentang prosentase jumlah keseluruhan PMKS berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki 58,76% dan perempuan 41,24%. Prosentase tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah yang signifikan dari jumlah PMKS di Kabupaten Malang berdasarkan jenis kelamin. Akan tetapi, laki-laki cenderung lebih rentan sebagai kelompok penyandang permasalahan sosial dalam setiap kategori PMKS kecuali pada kategori anak balita terlantar, pekerja migran terlantar, korban bencana alam, tuna susila, lanjut usia yang menjadi korban tindak kekerasan atau yang diperlakukan salah serta lanjut usia terlantar. Data tersebut dapat dilihat pada diagram berikut ini: Gambar 7.1. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial berdasarkan jenis kelamin
91
Kasus PMKS tertinggi
pada tahun 2011 adalah anak terlantar dengan jumlah
37.045 dan di tahun 2012 menurun menjadi 19.582, kasus fakir miskin pada tahun 2011 sebanyak 90.600 dan pada tahun 2012 menjadi 47402, dan kasus ketiga adalah keluarga berumah tak layak huni, pada tahun 2011 kasus tersebut sebanyak 12.200 dan pada tahun 2012 menjadi 9.159. Dengan demikian, jenis PMKS selama rentang waktu 20112012 masih pada jenis atau kategori yang sama tetapi mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2012 dibandingkan tahun 2011.
Gambar 7.2 Gambar Jenis PMKS tertinggi
B.
Jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Per Kecamatan
1. Penelantaran Anak dan Balita Penelantaran balita adalah anak yang berusia 0-4 tahun dan ditelantarkan karena beberapa faktor seperti ketidakmampuan orang tua dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua antara lain kondisi miskin, salah seorang dari orang tua sakit dan meninggal. Kondisi lain yang menyebabkan anak terlantar adalah anak balita sakit yang dapat mengganggu kelangsungan pertumbuhan dan perkembangan nya secara jasmani dan rohani serta sosial.
Untuk anak terlantar, pada umumnya anak dengan
usia 5-18 tahun yang ditelantarkan oleh orang tua akibat kondisi orangtua miskin, salah satu atau kedua orang tua meninggal , kondisi keluarga tidak harmonis dan tidak adanya pengasuh yang berdampak pada pemenuhan kebutuhan dasarnya secara jasmani, rohani maupun social (Departemen Sosial RI Bidang Pendidikan dan 92
Penelitian Kesejahteraan Sosial, Pusat Data dan Informasi Sosial, 2007). Berdasarkan data yang tersedia untuk kategori anak dan balita terlantar di kabupaten Malang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 7.2 Penelantaran Anak Balita Kecamatan
Anak Balita Terlantar Jumlah (L)
(P)
prosentase (L)
(P)
DG
IP
Donomulyo
28
18
46 60,87 39,13 -21,74 0,64286
Dampit
53
20
73
72,6
Tirtoyudo
4
0
4
100
-100
0
Poncokusumo
5
2
7 71,43 28,57 -42,86
0,4
10
6
16
62,5
37,5
-25
Ngajum
0
1
1
0
100
100
Wonosari
1
5
6 16,67 83,33
66,67
Pakis
3
11
14 21,43 78,57
Singosari
0
2
Wajak
2
0
27,4 -45,21 0,37736 0
0,6 5
57,14 3,66667
100
100
-
Sumber: Data Kecamatan Tahun 2012 Tabel diatas menunjukkan disparitas gender penelantaran anak
balita, dimana
kecamatan dengan disparitas gender terbesar adalah pada kecamatan Ngajum (1,00 untuk jenis kelamin perempuan) dan kecamatan Tirtoyudo (-1,00 untuk jenis kelamin laki-laki). Jumlah tertinggi untuk kategori anak balita terlantar di kabupaten Malang, ditemukan di kecamatan Dampit (73 anak laki-laki) dan terendah di kecamatan Ngajum (1 anak). Jumlah tersebut menunjukkan bahwa anak balita terlantar pada umumnya berjenis kelamin laki-laki. Akan tetapi, data yang tersedia tidak menunjukkan factor siginfikan dari jenis kelamin sebagi factor utama balita ditelantarkan, akan tetapi lebih banyak disebabkan oleh kondisi ekonomi orangua. Tabel 7.3 Penelantaran Anak Kecamatan
Anak Terlantar Jumlah prosentase (L) (P) (L) (P)
DG
IP
93
Donomulyo
15
7
Kalipare
4
5
9 44,44 55,56
Dampit
8
0
8
27
2
Ngajum
1
2
3 33,33 66,67
Wonosari
4
4
8
Wagir
6
8
Pakis
30
11
Singosari
3
1
4
Karangploso
2
1
3 66,67 33,33 -33,33
17
7
0
1
Sumber Pucung
Pujon Ngantang
22 68,18 31,82 -36,36 0,47
100
29 93,10
50
0
11,11 1,25 -100
0
6,9 -86,21 0,07
50
14 42,86 57,14
33,33
2
0
1
14,29 1,33
41 73,17 26,83 -46,34 0,37 75
25
-50 0,33 0,5
24 70,83 29,17 -41,67 0,41 1
0
100
100 -
Sumber: Data Kecamatan Tahun 2012 Tabel diatas menunjukkan data anak terlantar di kabupaten Malang, dimana jumlah tertinggi ada di kecamatan Pakis (41 anak) dan terendah di kecamatan ngantang (1 anak). Untuk disparitas gender anak terlantar tertinggi berada di kecamatan Ngantang (100). Kasus anak dan balita terlantar ini banyak dialami oleh anak dan balita dengan jenis kelamin laki-laki. perbandingan antara jumlah anak dan balita terlantar untuk lakilaki dan perempuan kurang lebih sebesar 1:2. Pada umumnya faktor penyebab banyaknya anak dan balita terlantar dari beberapa
diantaranya karena kurangnya
perhatian orang tua, kekurangan ekonomi, anak hasil luar nikah, ibu meninggal, tidak adanya ayah dan rendahnya kontrol sosial. Di kabupaten Malang, permasalahan anak dan balita terlantar pada umumnya ditangani dengan cara pemberian bantuan oleh pihak berwenang yaitu Dinas Sosial kabupaten Malang. 2. Korban Kekerasan Korban kekerasan adalah orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang mengalami dan menjadi korban (objek) kekerasan oleh pihak lain baik dari keluarga, teman atau orang yang tidak dikenal secara fisik maupun psikis. Kekerasan tersebut dapat berdampak pada keberlangsungan kehidupan korban secara individual dan social serta mengakibatkan trauma fisik dan psikis. Data korban kekerasan yang tersedia melalui Dinas Sosial kabupaten Malang hanya adalah sebagaimana tabel berikut: Tabel 7.4 Korban Kekerasan 94
Kecamatan Korban Kekerasan Jumlah (L) (P)
prosentase (L)
DG
IP
(P)
Donomulyo
2
1
3 66,67 0,33 -66,33 0,01
Kalipare
5
5
10
0,50 0,50
0,00 1,00
Wagir
1
1
2
0,50 0,50
0,00 1,00
Tajinan
2
2
4
0,50 0,50
0,00 1,00
Pakis
0
3
3
0,00 1,00
1,00 1,00
Singosari
0
2
2
0,00 1,00
1,00 1,00
Sumber: Data Kecamatan Tahun 2012 Tabel
di atas menunjukan disparitas gender korban kekerasan, dimana kecamatan
dengan disparitas tertinggi adalah kecamatan Pakis (1,00 untuk jenis kelamin perempuan). Untuk memberikan gambaran lebih jelas kondisi korban kekerasan diatas, dapat diperhatikan diaragm berikut ini. Gambar 7.3 Gambar Korban Kekerasan
Diagram pada gambar 7.3 menunjukkan tingkat kekerasan tertinggi di kabupaten malang, dimana kasus banyak terjadi di kecamatan Kalipare (10 orang), kasus terendah terjadi di kecamatan Singosari (2 orang) dan kecamatan Wagir (2 orang). Dalam kasus korban kekerasan ini banyak terjadi pada perempuan terutama anak perempuan. Pada umumnya faktor penyebab kekerasan terhadap anak dari data beberapa kecamatan adalah anak yang nakal dan faktor ekonomi keluarga yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok perempuan masih menjadi kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan. Adapun data dan analisa korban kekerasan lebih terperinci dapat dilihat bab bab Hukum profil gender kabupaten Malang ini. 95
3. Data Anak Nakal Anak yang dikategorikan sebagai anak nakal adalah anak (5-18 tahun) dengan perilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan masyarakat dimana ia tinggal. Perilaku anak tersebut dapat merugikan diisinya sendiri, orang tua dan lingkungan, serta dapat mengganggu ketertiban umum, tetapi belum dapat dituntut secara hukum karena usia yang masih dini. Adapun data tersedia untuk kategori anak nakal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 7.5 Anak Nakal Anak Kecamatan
Nakal L
Jumlah
P
Prosentase (L)
DG
IP
(P)
Donomulyo
5
0
5
100,00
0,00
-100,00
0,00
Kalipare
4
2
6
66,67
33,33
-33,33
0,50
Pagak
6
0
6
100,00
0,00
-100,00
0,00
Dampit
63
0
63
100,00
0,00
-100,00
0,00
4
0
4
100,00
0,00
-100,00
0,00
Poncokusumo
23
0
23
100,00
0,00
-100,00
0,00
Wajak
46
1
47
97,87
2,13
-95,74
0,02
5
0
5
100,00
0,00
-100,00
0,00
31
2
33
93,94
6,06
-87,88
0,06
1
0
1
100,00
0,00
-100,00
0,00
Tirtoyudo
Sumber Pucung Kromengan Ngantang
Sumber: Data Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan disparitas gender anak nakal, dimana kecamatan dengan disparitas gender terbesar adalah kecamatan Dampit (-1,00 untuk jenis kelamin lakilaki) dan disparitas gender terendah di kecamatan Kalipare (-33,33 untuk jenis kelmin laki-laki). Untuk memberikan gambaran lebih jelas kondisi anak nakal diatas, dapat diperhatikan diagram berikut ini Gambar 7.4. Anak Nakal
96
Diagram pada gambar 7.4 menunjukkan tingkat kenakalan anak di kabupaten Malang, dimana kasus tertinggi terjadi di kecamatan Dampit (63 anak). Kasus terendah ada di kecamatan Ngantang (1 anak). Kasus kenakalan anak ini perbandingan antara anak laki-laki dengan anak perempuan begitu besar yaitu 22,9 : 1, jadi kasus tersebut banyak didominasi kenakalan pada anak laki-laki. Pada umumnya faktor penyebab kenakalan anak diantaranya kurangnya perhatian Orang tua terhadap anak, keluarga kurang harmonis kususnya, keluarga yang tidak mampu, salah pergaulan, lingkungan, dan rendahnya kontrol sosial. Permasalahan kenakalan anak ditangani dengan cara pemberian pengertian, rehabilitasi, dan bimbingan konseling. Ini dilakukan oleh pihak berwenang yaitu keluarga, sekolah, dan Dinas Sosial.
4. Anak Jalanan Anak yang dikategorikan anak jalanan adalah anak yang berusia 5 – 18 tahun, yang berada di jalanan untuk mencari nafkah serta berkeliaran di jalanan dan di tempattempat umum. Data anak jalanan tersedia di kabupaten Malang adalah sebagai berikut: Tabel 7.6 Anak Jalanan Anak Kecamatan
Jalanan L
Jumlah
P
% Anak nakal (L)
DG
IP
(P)
Kalipare
16
0
16
100,00
0,00 -100,00
0,00
Dampit
4
0
4
100,00
0,00 -100,00
0,00 97
Tirtoyudo
1
0
1
100,00
0,00 -100,00
0,00
Kepanjen
5
0
5
100,00
0,00 -100,00
0,00
14
16
30
46,67
Tajinan
1
0
1
100,00
Tumpang
3
2
5
60,00
Kromengan
53,33
6,67
1,14
0,00 -100,00
0,00
40,00
-20,00
0,67
Sumber: Data Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan disparitas gender anak jalanan, dimana disparitas gender terbesar berada di kecamatan Kalipare (-1,00 untuk jenis kelamin laki-laki) dan kecamatan dengan disparitas terendah adalah kecamatan tumpang (-0,20). Untuk memberikan gambaran lebih jelas kondisi anak jalanan diatas, dapat diperhatikan diagram berikut ini. Gambar 7.5. Diagram Anak Jalanan
Diagram menunjukkan tingkat anak jalanan di kabupaten Malang, dimana anak jalanan terbanyak di kecamatan Kalipare (16 anak) dan terendah di kecamatan Tirtoyudo (1 anak), hampir di semua kecamatan anak jalanan didominasi anak laki-laki tetapi di kecamatan Tumpang anak jalanan tidak hanya berjenis kelamin laki-laki tapi juga perempuan dengan jumlah 2 anak perempuan. Pada umumnya faktor penyebab permasalahan anak jalanan adalah rendahnya ekonomi dan pengaruh teman atau lingkungan yang kemudian ditangani oleh Dinas Sosial Kabupaten Malang melalui pembinaan-pembinaan dengan bekerjasama dengan instansi terkait penanganan anak jalanan.
5. Wanita rawan sosial secara Ekonomi
98
Wanita rawan sosial ekonomi adalah wanita dewasa yang berusia 19 – 59 tahun, belum menikah atau janda serta tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan data tersedia untuk penyandang masalah sosial kategori wanita rawan sosial ekonomi di kabupaten Malang dapat dilihat pada tabel berikut: Gambar 7.6. Wanita Rawan Sosial Ekonomi
Diagram pada gambar 7.6
menunjukkan wanita rawan sosial ekonomi di
Kabupaten Malang, dimana kasus tertinggi terjadi di kecamatan Kasembon (455 orang), dan kasus terendah terjadi di kecamatan Ngajum (9 orang). Pada umumnya faktor penyebab permasalahan wanita rawan sosial ekonomi adalah disebabkan oleh perceraian, ditinggal mati oleh suami dan ekonomi. Berdasarkan data isian kecamatan, Permasalahan ini ditangani dengan cara memberikan pelatihan dengan pemberdayaan ketrampilan atau diberikan bantuan secara finansial yang dapat dikelola secara produktif. Adapun Instansi/lembaga yang memberikan bantuan adalah dinas sosial dan dinas ketenagakerjaan dan transmigrasi.
6. Wanita Korban Kekerasan Wanita korban tindak kekerasan adalah wanita dewasa berusia 19-59 tahun yang terancam atau mengalami tindak kekerasan secara fisik atau non fisik, diperlakukan salah atau diperlakukan tidak dengan semestinya oleh keluarga atau lingkungan terdekatnya. Data tersedia untuk masalah sosial kategori atau jenis wanita korban kekerasan di Kabupaten Malang adalah sebagai berikut: 99
Gambar 7.7 Wanita Korban Kekerasan
Diagram pada gambar 7.7 menunjukkan kekerasan terhadap wanita di kabupaten Malang, dimana kasus banyak terjadi di kecamatan Pakis (18 orang)dan kasus terendah terjadi di kecamatan Gondnaglegi(1 orang). Pada umumnya faktor yang menjadi penyebab masalah wanita korban kekerasan diantaranya adalah korban pemerkosaan, rendahnya ekonomi, dan masalah keluarga. Deskripsi lebih lanjut tentang wanita korban kekerasan terdapat dalam bab Hukum dari profil gender ini.
7. Lanjut Usia Terlantar Lanjut usia terlantar adalah seseorang dengan usia 60 tahun atau lebih, tidak dapat terpenuhinya kebutuhan dasar baik jasmani, rohani, atau sosial karena faktor-faktor tertentu. Data tersedia untuk masalah sosial jenis lanjut usia dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 7.7 Lanjut Usia Terlantar
Lanjut Usia Kecamatan
Terlantar L
P
jumlah
prosentase L
P
DG
IP
Donomulyo
24
45
69 34,78 65,22 30,43 1,88
Kalipare
78
102
180 43,33 56,67 13,33 1,31
100
Pagak
4
6
10
Dampit
23
1
24 95,83 4,167
3
2
5
60
40
-20 0,67
20
39
59
33,9
66,1
32,2 1,95
Ngajum
0
7
7
0
100
100
Wonosari
2
6
8
25
75
50
3
Wagir
2
0
2
100
0
-100
0
Tajinan
12
54
66 18,18 81,82 63,64
4,5
Tumpang
10
12
22 45,45 54,55 9,091
1,2
1
10
11 9,091 90,91 81,82
10
15
17
32 46,88 53,13
0
1
14
39
Ngantang
6
6
12
50
50
0
Kasembon
0
7
7
0
100
100
Kepanjen Sumber Pucung
Pakis Singosari Karangploso Pujon
1
40
0
60
100
20
1,5
-91,7 0,04
6,25 1,13 100
53 26,42 73,58 47,17 2,79 1
Sumber: Data Kecamatan Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan disparitas gender lanjut usia terlantar dan menjadi korban kekerasan, dimana disparitas gender terbesar terjadi di kecamatan Wagir (-1,00 untuk jenis kelamin laki-laki) dan kecamatan Ngajum (1,00 untuk jenis kelamin perempuan). Untuk memberikan gambaran lebih jelas kondisi lanjut usia terlantar diatas, dapat diperhatikan diagram berikut ini. Gambar 7.8 Lanjut Usia Terlantar
Gambar 7.8. Lanjut Usia Terlantar 101
Diagram 1.8 menunjukkan lanjut usia terlantar di kabupaten Malang, dimana kasus tertinggi terjadi di kecamatan Kalipare (180
orang), dan kasus
terendah di
kecamatan Karangploso (1 orang). Kasus lanjut usia terlantar banyak terjadi pada lanjut usia dengan jenis kelamin perempuan. Pada umumnya faktor penyebab dari permasalahan lanjut usia terlantar adalah karena tidak ada anak,/ keluarga ditinggal mati suami/istri, dan rendahnya rasa kekeluargaan. Berdasarkan data lapangan isian kecamatan dan dinas sosial kabupaten Malang, permasalahan tersebut selama ini ditangani secara sosial masyarakat yaitu dengan cara dirawat tetangga terdekat dan atau dikirim ke panti sosial. 8. Lanjut Usia Korban Kekerasan Lanjut usia korban kekerasan adalah seseorang berusia 60 tahun atau lebih yang terancam atau mengalami tindak kekerasan fisik atau psikis, diperlakukan salah atau tidak dengan semestinya di lingkungan keluarga atau lingkungan sosial. Data tersedia untuk masalah sosial jenis lanjut usia terlantar dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 7.8 Lanjut Usia Korban Kekerasan Lanjut Usia yang Menjadi Korban Tindak Kecamatan
Kekerasan/yang
Jumlah
prosentase
DG
IP
diperlakukan Salah L
P
L
P
Donomulyo
1
3
4 25,00 75,00 50,00 3,00
Karangploso
12
16
28 42,86 57,14 14,29 1,33
Sumber: Data Kecamatan Tahun 2012 Gambar 7.10 Diagram lanjut usia yang menjadi korban kekerasan/ yang diperlakukan salah
102
Diagram menunjukkan lanjut usia yang menjadi korban kekerasan/ yang diperlakukan salah di kabupaten Malang, dari data yang didapat hanya dua kecamatan yang berhasil mendata diantaranya kecamatan Karangploso dengan jumlah 28 orang, kemudian kecamatan Donomulyo dengan jumlah 4 orang. Pada umumnya, penyebab utama dari masalah lanjut usia terlantar adalah rendahya ekonomi keluarga baik usia lanjut yang hidup sendiri dan tidak memiliki keluarga atau usia lanjut yang memiliki keluarga dengan kondisi ekonomi rendah. Dan permasalahan tersebut ditangani dengan cara dirawat tetangga terdekat atau dikirim ke panti sosial.
9. Penyandang cacat Bekas penyakit Penyandang cacat bekas penyakit adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik yang dapat mengganggu atau menjadi rintangan dan hambatan untuk melakukan fungsi-fungsi jasmani, rohani, dan sosial dengan layak karena mengalami penyakit kronis. Data tersedia untuk masalah sosial penyandang cacat bekas penyakit kronis di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.11 Penyandang Cacat Bekas Penyakit Kronis
penyandang Kecamatan
cacat bekas penyakit
Jumlah
prosentase
DG
IP
kronis 103
L Donomulyo
P
L
P
17
19
36
47,22
52,78
5,56
1,12
Pagak
1
1
2
50,00
50,00
0,00
1,00
Dampit
11
6
17
64,71
35,29
-29,41
0,55
Ampelgading
11
6
17
64,71
35,29
-29,41
0,55
Kepanjen
16
10
26
61,54
38,46
-23,08
0,63
Pucung
14
12
26
53,85
46,15
-7,69
0,86
Ngajum
11
2
13
84,62
15,38
-69,23
0,18
Wagir
5
4
9
55,56
44,44
-11,11
0,80
Tajinan
0
1
1
0,00 100,00
100,00
Tumpang
18
11
29
62,07
37,93
-24,14
0,61
Pakis
23
6
29
79,31
20,69
-58,62
0,26
Lawang
14
13
27
51,85
48,15
-3,70
0,93
Singosari
2
6
8
25,00
75,00
50,00
3,00
10
11
21
47,62
52,38
4,76
1,10
Sumber
Dau
Sumber Data Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan disparitas gender penyandang cacat, dimana kecamatan dengan disparitas terbesar adalah kecamatan Tajinan (1,00 untuk jenis kelamin perempuan) dan disparitas terendah adalah kecamatan Donomulyo (0,06). Untuk memberikan gambaran lebih jelas kondisi penyandang cacat diatas, dapat diperhatikan diagram berikut ini.
104
Gambar 7.11. Diagram Penyandang Cacat Bekas Penyakit Kronis
Diagram pada gambar 7.10 menunjukkan data penyandang cacat bekas penyakit kronis di kabupaten Malang, dimana kasus tertiggi terjadi di kecamatan Wajak (92 orang), dan terendah di kecamatan Tajinan (1 orang). Kasus penyandang cacat bekas penyakit kronis ini banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki.
10. Tuna Susila, Gelandang dan Pengemis Tuna susila adalah seseorang yang melakukan hubungan seksual di luar perkawinan dengan sesama atau lawan jenis secara berulang-ulang dan bergantian untuk mendapatkan uang, materi, atau jasa. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup di jalanan atau tempat umum yang tidak sesuai dengan keadaan dan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat. Pengemis adalah orang-orang yang mencari penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum agar mendapatkan belas kasihan orang lain. Data tersedia untuk masalah sosial tuna susila terdapat pada 7 kecamatan di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.12 Tuna Susila
Tuna Susila
Kecamatan L
jumlah
P
prosentase L
DG
IP
P
Ngajum
0
13
13
0
100
100
Wonosari
0
8
8
0
100
100
Wagir
0
2
2
0
100
100 105
Tajinan
1
0
1
100
0
-100
0
Pakis
0
26
26
0
100
100
Singosari
2
1
3
66,67
33,33
-33,33
0,5
Ngantang
4
0
4
100
0
-100
0
Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012 Untuk kasus Tunasusila tertinggi ada di kecamatan Gondanglegi
(90 orang) dan
terendah di kecamatan Tajinan (1 orang). Disparitas gender tertingi untuk kasus tuna susiala adalah kecamatan Ngajum (100). Sedangkan Data tersedia untuk masalah sosial pengemis di kabupaten Malang sebagaimana tabel berikut:
Tabel 7.12 Pengemis
Kecamatan
Pengemis L
prosentase
jumlah
P
L
DG
IP
P
Kalipare
2
5
7
28,57
71,43
42,86
2,5
Dampit
1
0
1
100
0
-100
0
Tirtoyudo
9
11
20
45
55
10
1,22
Kepanjen
0
1
1
0
100
100
Wonosari
5
29
34
14,71
85,29
70,59
5,8
Wagir
1
0
1
100
0
-100
0
Tajinan
1
0
1
100
0
-100
0
13
3
16
81,25
18,75
-62,5
0,23
Singosari
1
1
2
50
50
0
1
Ngantang
2
0
2
100
0
-100
0
Kasembon
0
1
1
0
100
100
Pakis
-
-
Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012 Kasus pengemis tertinggi di kecamatan Poncokusumo (49 orang) dan terendah di kecamatan Dampit, Tajinan, Kepanjen, Kromengan, Kasembon, Wagir dan Singosari dengan masing kecamatan berjumlah 1 orang. Untuk disparitas gender pengemis tertinggi berada di kecamatan Wonosari (70,5). Sedangkan Data tersedia untuk
106
masalah sosial gelandangan di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.13 Gelandangan
Kecamatan
Gelandangan
prosentase
jumlah
L
DG
IP
-23,08
0,625 0,25
L
P
P
Poncokusumo
8
5
13
Wajak
8
2
10
80
20
-60
Wonosari
0
1
1
0
100
100
61,54 38,46
Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012 Permasalahan gelandangan tertinggi di kecamatan Poncokusumo (13 orang) dan kasus gelandangan terendah kecamatan Wonosari (1 orang). Untuk disparitas gender gelandangan tertinggi berada di kecamata wonosari (1,00). Sedangkan Data tersedia untuk masalah sosial gelandangan psikotik di kabupaten Malang sebagaimana adalah sebagaimana tabel berikut: Tabel 7.14 Gelandangan Psikotik
Gelandangan Kecamatan
Spikotik L
prosentase
Jumlah
P
L
DG
IP
P
Donomulyo
4
1
5
80
20
-60
0,25
Kalipare
4
5
9
44,44
55,56
11,11
1,25
Singosari
6
1
7
85,72
14,29 -71,43
0,17
Ngantang
2
0
2
100
0
-100
0
Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukkan data permasalahan gelandangan psikotik `di kabupaten Malang, dimana kasus tertinggi terjadi di kecamatan Kalipare(9 orang) dan terendah di kecamatan Ngantang (2 orang).
Untuk disparitas tertingi berada di
kecamatan Ngantang (-100). Pada umumnya faktor yang menjadi penyebab 107
permasalahan gelandangan, gelandangan psikotik, pengemis, dan tunasusila adalah rendahnya ekonomi dan malas kerja 11. Narapidana Narapidana adalah seseorang yang mengalami hambatan dalam penyesuaiannya di kehidupan lingkungan bermasyarakat atau bekerja karena telah selesai atau 3 bulan segera mengakhiri masa hukuman atau masa pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan. Data tersedia untuk masalah sosial Narapidana
di kabupaten Malang
sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.15 Narapidana
Kecamatan
Narapidana Jumlah L P
Prosentase L
DG
IP
P
Donomulyo
86
0
86 100,00
0,00 -100,00 0,00
Pagak
65
0
65 100,00
0,00 -100,00 0,00
Dampit
93
1
94
1,06
Ampelgading
27
0
27 100,00
0,00 -100,00 0,00
Tirtoyudo
207
0
207 100,00
0,00 -100,00 0,00
Poncokusumo
207
0
207 100,00
0,00 -100,00 0,00
Kepanjen
39
1
40
97,50
2,50
-95,00 0,03
Sumber Pucung
31
12
43
72,09 27,91
-44,19 0,39
Ngajum
64
3
67
95,52
4,48
-91,04 0,05
8
3
11
72,73 27,27
-45,45 0,38
Wagir
70
10
80
87,50 12,50
-75,00 0,14
Tajinan
109
0
Pakis
73
3
76
96,05
3,95
-92,11 0,04
Singosari
81
5
86
94,19
5,81
-88,37 0,06
Karangploso
21
1
22
95,45
4,55
-90,91 0,05
Pujon
10
0
10 100,00
Ngantang
36
6
42
Wonosari
98,94
109 100,00
-97,87 0,01
0,00 -100,00 0,00
0,00 -100,00 0,00
85,71 14,29
-71,43 0,17
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012
108
Disparitas gender Narapidana, dimana disparitas gender terbesar berada di kecamatan Donomulyo, Ampelgading, Tirtoyudo, Poncokusumo, Gondanglegi, dan Tajinan masing-masing bernilai -1,00 (untuk jenis kelamin laki-laki). Untuk memberikan gambaran lebih jelas kondisi narapidana diatas, dapat diperhatikan diagram berikut ini.
Gambar 7.11. Diagram Narapidana
Diagram pada gambar 7.11 menunjukkan data narapidana di kabupaten Malang, permasalahan tertinggi di kecamatan Poncokusumo (207 orang) dan kecamatan Tirtoyudo (207 orang), dan permasalahan terendah di kecamatan Pujon (10 orang). Pada umumnya yang menjadi faktor penyebab adalah rendahnya ekonomi dan pergaulan. Kejahatan yang dilakukan diantaranya pemerkosaan, pencurian, perampokan, dan narkoba. Permasalahan tersebut ditangani dengan cara pembinaan, memberikan lapangan pekerjaan, dan ketrampilan.
12. Penyalah Gunaan NAPZA Korban penyalah gunaan NAPZA adalah seseorang yang di luar tujuan pengobatan atau tanpa seijin dokter menggunakan narkotika, psikotropika, da zat-zat adiktif lainnya termasuk jua minuman keras. Data tersedia untuk masalah sosial Penyalah gunaan NAPZA di kabupaten Malang sebagaimana tabel berikut: Tabel 7.16 Penyalah Gunaan NAPZA 109
Korban Kecamatan
Penyalah
Prosentase
DG
Gunaan NAPZA L
P
Jumlah
L
IP
P
Donomulyo
1
0
1
100
0
-100
0
Dampit
2
0
2
100
0
-100
0
Kepanjen
3
0
3
100
0
-100
0
Wagir
1
0
1
100
0
-100
0
Pakis
12
3
15
80
20
-60
0,25
Singosari
5
0
5
100
0
-100
0
Ngantang
4
0
4
100
0
-100
0
Kasembon
1
0
1
100
0
-100
0
Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012 Pada tabel diatas Menunjukan korban penyalah gunaan NAPZA di kabupaten Malang, dimana kasus tertinggi terjadi di kecamatan Pakis (15 orang) dan terendah di kecamatan Donomulyo, Poncokusumo, dan Kasembon yang masing-masing berjumlah 1 orang. Korban penyalah gunaan NAPZA banyak didominasi jenis kelamin laki-laki. Pada umumnya faktor yang menjadi penyebab adalah rendahnya kontrol sosial.
13. Keluarga Fakir Miskin dan rumah tidak layak huni Keluarga fakir miskin adalah seseorang atau kepala keluarga yang tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang layak bagi kemanusiaan. Keluarga yang berumah tak layak huni adalah keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungannya tidak layak dan tidak memenuhi persyaratan secara fisik, kesehatan, dan sosial. Data tersedia untuk masalah sosial keluarga fakir miskin di kabupaten Malang sebagaimana tabel berikut: Tabel 7.17 Keluarga Fakir Miskin
Kecamatan
Keluarga Fakir Miskin
Jumlah
Prosentase
DG
IP
110
L
P
L
P
Donomulyo
3875
2492
6367
60,86 39,14
-21,72 0,64
Pagak
1087
1054
2141
50,77 49,23
-1,54 0,97
Dampit
1746
519
2265
77,09 22,91
-54,17 0,30
Kepanjen
361
40
401
90,02
9,98
-80,05 0,11
Sumber Pucung
889
372
1261
70,50 29,50
-41,00 0,42
Ngajum
2689
697
3386
79,42 20,58
-58,83 0,26
Wagir
1103
497
1600
68,94 31,06
-37,88 0,45
64
144
208
30,77 69,23
38,46 2,25
Singosari
950
588
1538
61,77 38,23
-23,54 0,62
Ngantang
1644
810
2454
66,99 33,01
-33,99 0,49
Tajinan
Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan disparitas gender Keluarga Fakir Miskin tertinggi berada di kecamatan Kepanjen (-80.05). Untuk jumlah keluarga fakir miskin kasus tertinggi di kecamatan Gondanglegi (6172 orang) dan kasus terendah di kecamatan Tajinan(144 orang). Data tersedia untuk masalah sosial rumah tidak layak huni di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.18 Rumah Tidak layak huni
Keluarga Berumah Tak Kecamatan
Layak Huni L
Donomulyo
Jumlah
P
prosentase L
DG
IP
P
98
71
169 57,99 42,01 -15,98 0,72
Pagak
850
990
Gedangan
125
58
183 68,31 31,69 -36,61 0,46
Dampit
230
129
359 64,07 35,93 -28,13 0,56
Ampelgading
189
98
287 65,85 34,15 -31,71 0,52
Sumber Pucung
90
63
153 58,82 41,18 -17,65 0,70
Ngajum
62
26
88 70,45 29,55 -40,91 0,42
Wagir
118
106
Tajinan
218
94
1840 46,20 53,80
224 52,68 47,32
7,61 1,16
-5,36 0,90
312 69,87 30,13 -39,74 0,43 111
Tumpang
112
65
177 63,28 36,72 -26,55 0,58
Pakis
161
25
186 86,56 13,44 -73,12 0,16
Singosari
170
69
239 71,13 28,87 -42,26 0,41
Karangploso
19
6
25 76,00 24,00 -52,00 0,32
Pujon
90
61
151 59,60 40,40 -19,21 0,68
Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan Rumah Tidak layak huni, dimana disparitas terbesar terjadi di kecamatan Wajak (0,56). keluarga berumah tak layak huni di kabupaten Malang, dimana kasus terbanyak di kecamatan Pagak (1840 orang)dan kasus terendah di kecamatan Karangploso(25 orang). Pada umumnya yang menjadi faktor penyebab adalah lemahnya ekonomi, pendidikan yang rendah, dan tidak adanya saudara/keluarga. Permasalahan keluarga miskin dan berumah tak layak huni dibantu dengan cara pemberian Raskin dan bedah rumah. 14. Keluarga Bermasalah Sosial dan Psikologi Keluarga bermasalah sosial dan psikologis adalah keluarga yang hubungan antar anggota keluarga kususnya suami-istri kurang harmonis dan serasi, sehingga berdampak pada tidak berjalan lancarnya tugas-tugas dan fungsi keluarga. Data tersedia untuk masalah sosial keluarga bermasalah sosial dan psikologis di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.19 keluarga bermasalah sosial dan psikologis Keluarga Bermasalah Sosial
Kecamatan
Jumlah
prosentase
DG
IP
Psikologis L Donomulyo
P
L
P
5
6
11
0,45
0,55
0,09
1,20
16
18
34
0,47
0,53
0,06
1,13
Sumber Pucung
7
4
11
0,64
0,36
-0,27
0,57
Wagir
3
0
3
1,00
0,00
-1,00
0,00
Tajinan
18
7
25
0,72
0,28
-0,44
0,39
Pakis
27
37
64
0,42
0,58
0,16
1,37
Pagak
112
Singosari
3
1
4
0,75
0,25
-0,50
0,33
Ngantang
44
3
47
0,94
0,06
-0,87
0,07
Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan disparitas gender keluarga bermasalah sosial dan psikologis, dimana disparitas terbesar berada di kecamatan Wagir dan kecamatan Kepanjen dengan nilai 1,00 (untuk jenis kelamin perempuan). Untuk memberikan gambaran lebih jelas kondisi keluarga bermasalah sosial dan psikologis diatas, dapat diperhatikan diagram berikut ini. Gambar 7.12. Diagram Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis
Diagram menunjukkan keluarga bermasalah sosial psikologis di kabupaten Malang, dimana kasus tertinggi terjadi di kecamatan Ngantang dengan 47 orang, dan tingkat terendah di kecamatan Singosari dengan jumlah 4 orang. Pada umumnya yang menjadi penyebab adalah faktor rendahnya ekonomi dan faktor keturunan.
15. Komunitas Adat Terpencil Komunitas adat terpencil adalah sekelompok orang atau masyarakat yang hidup dalam satu kesatuan yang bersifat lokal dan terpencil, yang masih terikat pada sumber daya alam dan habitatnya, terasing secara sosial budaya dan terbelakang dibandingkan dengan masyarakat pada umumya, sehingga memerlukan pemberdayaan untuk menghadapi perubahan lingkungan. Data tersedia untuk masalah sosial komunitas adat terpencil terdapat pada 1 kecamatan yaitu kecamatan Sumberpucung di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada diagram berikut: Gambar 7.13 113
Diagram komunitas adat terpencil
Diagram Menunjukan keberadaan komunitas adat terpencil di kabupaten Malang, dimana hanya ada satu kecamatan yang terdapat komunitas tersebut yaitu kecamatan Sumberpucung dengan jumlah 2 komunitas. Hal menarik yang cukup signifikan untuk diperhatikan dari diagram tersebut adalah jumlah komunitas adat terpencil di kabupaten Malang
lebih
didominasi
oleh
komunitas
adat
laki-laki.
Diagram
tersebut
mengindikasikan bahwa, secara sosial, kelompok laki-laki cenderung memiliki peluang secara sosial untuk membentuk suatu komunitas dan berperan didalamnya meskipun komunitas tersebut tidak diterima oleh masyarakat pada umumnya.
16. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana adalah sekelompok oarang yang tempat tinggalnya berada pada daerah yang rawan bencana alam atau sosial, sehingga dapat menghambat dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Data tersedia untuk masalah sosial masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.20 Masyarakat Yang Tinggal Di Daerah Rawan Bencana
Masyarakat yang Tinggal di Daerah Kecamatan
prosentase
Rawan Bencana
DG
IP
Alam L Gedangan Dampit
P
Jumlah
L
P
185
176
361
51,25
48,8
-2,49
0,95
56
24
80
70
30
-40
0,43 114
Kepanjen
20
11
31
64,52
35,5
-29
0,55
Pucung
29
0
29
100
0
-100
0
Ngajum
13
0
13
100
0
-100
0
Wagir
36
4
40
90
10
-80
0,11
Pakis
118
0
118
100
0
-100
0
2646 2606
5252
50,38
49,6
-0,76
0,98
Sumber
Ngantang
Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan data masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana di kabupaten Malang, dimana kasus korban bencana sosial/ pengungsi tertinggi di kecamatan Pakis (29 orang) dan terendah di kecamatan Sumberpucung (4 orang). Dan untuk kasus masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana alam tertinggi terjadi di kecamatan Ngantang (5252 orang)dan terendah di kecamatan Ngajum(13 orang). Dan dalam kasus Korban bencana alam terbanyak berada di kecamatan Ngantang (11 orang) dan terbanyak kecamatan Ngajum (2 orang). Untuk disparitas gender masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana kecamatan dengan disparitas gender tertinggi adalah kecamatan Pakis (-100). Pada umumnya factor yang menjadi penyebab masalah-masalah tersebut adalah lokasi berada dibawah lereng gunung, bertempat tinggal di aliran sungai dan dipegunungan (daerah tandus), dan berada di bibir sungai. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat yang tinggal didaerah rawan bencana pada umumnya adalah laki-laki.
17. Pekerja Migran yang terlantar Pekerja migran terlantar adalah seseorang yang bekerja di luar tempat asalya dan menetap sementara di sana yang terlantar karena mengalami permasalahan sosial. Data tersedia untuk masalah sosial pekerja migran terlantar terdapat pada 2 kecamatan di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
115
Tabel 7.21 Pekerja Migran Terlantar Pekerja Migran
Kecamatan
prosentase
Terlantar L
P
Jumlah
Donomulyo
3
19
Pakis
0
3
L
IP
P
22 13,64 3
DG
0
86,4 72,73 100
6,33
100
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukkan data pekerja migran terlantar di kabupaten Malang, dimana hanya ada 2 kecamatan yang berhasil mendata yaitu kecamatan Donomulyo (22 orang) dan kecamatan Pakis (3 orang). Di dua kecamatan tersebut pekerja migran didominasi perempuan. Dan Disparitas gender terbesar berada di Kecamatan Pakis (100).
18. Pengidap HIV AIDS Pengidap HIV AIDS adalah seseorang yang mengalami sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS) dan hidup terlantar setelah terbukti tertular virus HIV dengan bukti rekomendasi dokter atau petugas laboratorium. Data tersedia untuk masalah sosial pengidap HIV/AIDS di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.22 Pengidap HIV/AIDS Pengidap HIV/
L Godanglegi
prosentase
AIDS
Kecamatan
P
jumlah
L
DG
IP
P
18
0
18
100
0
-100
0
Sumber Pucung
1
18
19
5,26
94,7
89,5
18
Pakis
4
0
4
100
0
-100
0
Singosari
2
0
2
100
0
-100
0
Pujon
3
0
3
100
0
-100
0
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukkan data penderita HIV/AIDS di kabupaten Malang, dimana kasus tertinggi terjadi di kecamatan Sumberpucung (19 orang) dan kasus terendah 116
ada di kecamatan Singosari (2 orang). Penderita HIIV/AIDS banyak didominasi oleh perempuan. Untuk disparitas gender terbesar terjadi hampir di semua kecamatan di atas kecuali kecamatan Sumberpucung (89,5). Pada umumnya faktor penyebabnya adalah karena tertular.
B. Anak cacat Anak cacat adalah anak yang berusia 5 – 18 tahun yang mempunyai kelainan fisik atau mental yang dapat mengganggu dan menjadi rintangan serta hambatan dalam melakukan fungsi jasmani, rohani maupun sosial secara layak. Yang terdiri dari cacat tubuh, tuna netra, tuna rungu wicara, dan cacat mental. Data tersedia untuk masalah sosial anak cacat denan jenis cacat tubuh di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.23. Anak Cacat Tubuh
Kecamatan
Tubuh (L)
prosentase
(P)
jumlah
L
DG
P
IP
Donomulyo
9
12
21
42,9
57,1
14,3
1,3
Kalipare
3
2
5
60
40
-20
0,7
Pagak
28
25
53
52,8
47,2
-5,66
0,9
Bantur
11
0
11
100
0
-100
0
Dampit
37
23
60
61,7
38,3
-23,3
0,6
5
5
10
50
50
0
1
Tirtoyudo
60
85
145
41,4
58,6
17,2
1,4
Poncokusumo
21
16
37
56,8
43,2
-13,5
0,8
Wajak
19
9
28
67,9
32,1
-35,7
0,5
Godanglegi
5
8
13
38,5
61,5
23,1
1,6
Kepanjen
0
4
4
0
100
100
Sumber Pucung
48
10
58
82,8
17,2
-65,5
0,2
Kromengan
10
12
22
45,5
54,5
9,09
1,2
Ngajum
30
33
63
47,6
52,4
4,76
1,1
6
3
9
66,7
33,3
-33,3
0,5
Ampelgading
Wonosari
117
Wagir
12
17
29
41,4
58,6
17,2
1,4
Tajinan
1
4
5
20
80
60
4
Tumpang
10
6
16
62,5
37,5
-25
0,6
Pakis
42
14
56
75
25
-50
0,3
Singosari
26
16
42
61,9
38,1
-23,8
0,6
Karangploso
30
9
39
76,9
23,1
-53,8
0,3
Pujon
12
3
15
80
20
-60
0,3
Ngantang
10
14
24
41,7
58,3
16,7
1,4
Kasembon
30
34
64
46,9
53,1
6,25
1,1
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukkan data anak cacat di kabupaten Malang, dimana untuk jenis cacat tubuh tertinggi terjadi di kecamatan Tirtoyudo (145 orang) dan terendah terjadi di kecamatan Kepanjen (4 orang). Kecamatan dengan disparitas gender tertinggi adalah kecamatan Bantur (-100). Sedangkan Data tersedia untuk masalah sosial anak cacat dengan jenis cacat netra di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut Gambar 10.24 Diagram Anak Cacat Netra Kecamatan Donomulyo
Netra (L)
prosentase
(P)
jumlah
L
DG
P
IP
6
0
6
100
0
-100
0
Kalipare
23
29
52
44,2
55,8
11,5
1,3
Pagak
14
9
23
60,9
39,1
-21,7
0,6
Dampit
12
9
21
57,1
42,9
-14,3
0,8
Ampelgading
1
2
3
33,3
66,7
33,3
2
Tirtoyudo
6
3
9
66,7
33,3
-33,3
0,5
Poncokusumo
4
2
6
66,7
33,3
-33,3
0,5
Wajak
4
5
9
44,4
55,6
11,1
1,3
Godanglegi
3
1
4
75
25
-50
0,3
Kepanjen
0
2
2
0
100
100
25
10
35
71,4
28,6
-42,9
0,4
Kromengan
3
3
6
50
50
0
1
Ngajum
8
5
13
61,5
38,5
-23,1
0,6
Sumber Pucung
118
Wonosari
2
2
4
50
50
0
1
13
10
23
56,5
43,5
-13
0,8
0
1
1
0
100
100
19
8
27
70,4
29,6
-40,7
0,4
Singosari
5
11
16
31,3
68,8
37,5
2,2
Karangploso
6
5
11
54,5
45,5
-9,09
0,8
Ngantang
6
6
12
50
50
0
1
Kasembon
20
27
47
42,6
57,4
14,9
1,4
Wagir Tumpang Pakis
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukkan data anak cacat di kabupaten Malang, dimana untuk jenis cacat tuna netra tertinggi terjadi di kecamatan Kalipare (52 orang) dan terendah kecamatan Tumpang (1 orang). Kecamatan dengan disparitas gender tertinggi adalah kecamatan Donomulyo (-100). Sedangkan Data tersedia untuk masalah sosial anak cacat denan jenis cacat rungu wicara di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 10.25. Anak Cacat Rungu Wicara Rungu Kecamatan
(L) Donomulyo
prosentase
Wicara (P)
Jumlah
L
P
DG
IP
7
5
12
58,3
41,7
-16,7
0,7
Kalipare
15
12
27
55,6
44,4
-11,1
0,8
Pagak
14
11
25
56
44
-12
0,8
Dampit
25
16
41
61
39
-22
0,6
Ampelgading
0
2
2
0
100
100
Tirtoyudo
7
14
21
33,3
66,7
33,3
2
Poncokusumo
7
7
14
50
50
0
1
Wajak
6
5
11
54,5
45,5
-9,09
0,8
Godanglegi
1
1
2
50
50
0
1
Kepanjen
3
2
5
60
40
-20
Sumber Pucung
36
26
62
58,1
41,9
-16,1
0,7
Kromengan
11
9
20
55
45
-10
0,8
119
Ngajum
14
9
23
60,9
39,1
-21,7
0,6
2
3
5
40
60
20
1,5
Wagir
14
12
26
53,8
46,2
-7,69
0,9
Tajinan
1
0
1
100
0
-100
0
Tumpang
0
8
8
0
100
100
Pakis
10
6
16
62,5
37,5
-25
0,6
Singosari
12
12
24
50
50
0
1
Karangploso
5
6
11
45,5
54,5
9,09
1,2
Pujon
6
4
10
60
40
-20
0,7
Ngantang
15
12
27
55,6
44,4
-11,1
0,8
Kasembon
10
16
26
38,5
61,5
23,1
1,6
Wonosari
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukkan data anak cacat di kabupaten Malang, dimana untuk jenis cacat rungu wicara banyak terjadi di kecamatan Sumberpucung (62 orang) dan terendah di kecamatan Tajinan (1 orang). Kecamatan dengan disparitas gender tertinggi adalah kecamatan Pakis (-25). Dan Data tersedia untuk masalah sosial anak cacat dengan jenis cacat mental di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.26. Anak Cacat Mental Kecamatan
Mental (L)
prosentase
(P)
jumlah
L
DG
P
IP
Donomulyo
20
11
31
64,5
35,5
-29
0,6
Kalipare
47
52
99
47,5
52,5
5,05
1,1
Pagak
28
13
41
68,3
31,7
-36,6
0,5
Bantur
7
0
7
100
0
-100
0
Dampit
42
11
53
79,2
20,8
-58,5
0,3
8
4
12
66,7
33,3
-33,3
0,5
Tirtoyudo
20
10
30
66,7
33,3
-33,3
0,5
Poncokusumo
23
11
34
67,6
32,4
-35,3
0,5
Wajak
10
12
22
45,5
54,5
9,09
1,2
3
6
9
33,3
66,7
33,3
2
20
14
34
58,8
41,2
-17,6
Ampelgading
Godanglegi Kepanjen
120
Sumber Pucung
55
12
67
82,1
17,9
-64,2
0,2
7
6
13
53,8
46,2
-7,69
0,9
Ngajum
15
18
33
45,5
54,5
9,09
1,2
Wonosari
11
8
19
57,9
42,1
-15,8
0,7
Wagir
22
18
40
55
45
-10
0,8
Tajinan
3
1
4
75
25
-50
0,3
Tumpang
3
0
3
100
0
-100
0
Pakis
31
10
41
75,6
24,4
-51,2
0,3
Singosari
31
19
50
62
38
-24
0,6
Karangploso
17
2
19
89,5
10,5
-78,9
0,1
2
3
5
40
60
20
1,5
Ngantang
16
13
29
55,2
44,8
-10,3
0,8
Kasembon
16
18
34
47,1
52,9
5,88
1,1
Kromengan
Pujon
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukkan data anak cacat di kabupaten Malang, dimana untuk jenis cacat mental tertinggi di kecamatan Kalipare (99 orang) dan terendah di kecamatan Tumpang (3 orang). Kecamatan dengan disparitas tertinggi adalah kecamatan Bantur (100) dan kecamatan Tumpang (100). Pada umunya faktor penyebab cacat tersebut diantaranya lahir prematur, kecelakaan, terkena step, & faktor keturunan.
C. Jenis cacat Jenis cacat yang dimaksid adalah cacat fisik yang meliputi cacat tubuh, tuna netra dan tuna rungu wicara serta cacat mental yang dialami seseorang baik anak, dewasa atau lanjut usia. Data tersedia untuk masalah sosial jenis cacat dengan jenis cacat tubuh di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.27 Jenis Cacat Tubuh
prosentase Kecamatan
Tubuh (L)
Donomulyo
60
jumlah
(P) 41
101
L
P
59,4
40,6
DG
IP
-18,8
0,7
121
Kalipare
97
90
187
51,9
48,1
-3,74
0,9
Pagak
14
4
18
77,8
22,2
-55,6
0,3
Dampit
32
12
44
72,7
27,3
-45,5
0,4
Ampelgading
37
15
52
71,2
28,8
-42,3
0,4
Tirtoyudo
60
85
145
41,4
58,6
17,2
1,4
Poncokusumo
76
39
115
66,1
33,9
-32,2
0,5
Wajak
82
41
123
66,7
33,3
-33,3
0,5
Godanglegi
35
23
58
60,3
39,7
-20,7
0,7
Pagelaran
27
22
49
55,1
44,9
-10,2
0,8
Kepanjen
17
3
20
85
15
-70
0,2
Sumber Pucung
31
17
48
64,6
35,4
-29,2
0,5
Ngajum
17
12
29
58,6
41,4
-17,2
0,7
6
4
10
60
40
-20
0,7
Wagir
22
15
37
59,5
40,5
-18,9
0,7
Tajinan
58
46
104
55,8
44,2
-11,5
0,8
Tumpang
26
10
36
72,2
27,8
-44,4
0,4
Singosari
75
50
125
60
40
-20
0,7
Karangploso
4
3
7
57,1
42,9
-14,3
0,8
Dau
6
6
12
50
50
0
1
Pujon
5
5
10
50
50
0
1
Ngantang
46
28
74
62,2
37,8
-24,3
0,6
Kasembon
19
22
41
46,3
53,7
7,32
1,2
Wonosari
Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan disparitas gender jenis cacat, dimana disparitas gender jenis cacat tubuh terbesar berada di kecamatan Pagak (-55,6). Jenis cacat tubuh tertinggi terjadi di kecamatan Tirtoyudo (145 orang) dan terendah kecamatan Karangploso (7 orang). Sedangkan Data tersedia untuk masalah sosial jenis cacat dengan jenis cacat Netra di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.28 Jenis Cacat Netra Kecamatan
prosentase Netra
jumlah
DG
IP
122
(L) Donomulyo
(P)
L
P
6
9
15
40
60
20
1,5
34
32
66
51,5
48,5
-3,03
0,9
Pagak
1
0
1
100
0
-100
0
Bantur
7
0
7
100
0
-100
0
Dampit
6
1
7
85,7
14,3
-71,4
0,2
Ampelgading
7
5
12
58,3
41,7
-16,7
0,7
Tirtoyudo
6
3
9
66,7
33,3
-33,3
0,5
Poncokusumo
27
23
50
54
46
-8
0,9
Wajak
40
42
82
48,8
51,2
2,44
1,1
Godanglegi
22
14
36
61,1
38,9
-22,2
0,6
Pagelaran
25
22
47
53,2
46,8
-6,38
0,9
Kepanjen
13
9
22
59,1
40,9
-18,2
0,7
Sumber Pucung
15
8
23
65,2
34,8
-30,4
0,5
8
7
15
53,3
46,7
-6,67
0,9
Wagir
12
11
23
52,2
47,8
-4,35
0,9
Tajinan
16
12
28
57,1
42,9
-14,3
0,8
Tumpang
13
12
25
52
48
-4
0,9
Lawang
19
10
29
65,5
34,5
-31
0,5
Singosari
31
26
57
54,4
45,6
-8,77
0,8
Karangploso
8
8
16
50
50
0
1
Dau
6
3
9
66,7
33,3
-33,3
0,5
Pujon
7
3
10
70
30
-40
0,4
Ngantang
29
14
43
67,4
32,6
-34,9
0,5
Kasembon
20
13
33
60,6
39,4
-21,2
0,7
Kalipare
Ngajum
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan disparitas gender jenis cacat, dimana disparitas gender jenis cacat Netra terbesar berada di kecamatan Pagak (-100) dan kecamatan Bantur (-100). Dan jumlah Jenis cacat netra tertinggi terjadi di kecamatan Wajak (82 orang) dan terendah kecamatan Pagak (1 orang). Sedangkan Data tersedia untuk masalah sosial jenis cacat dengan jenis cacat rungu wicara di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: 123
Tabel 7.29 Jenis Cacat Rungu Wicara Rungu Kecamatan
prosentase
Wicara (L)
Jumlah
(P)
L
P
DG
IP
Donomulyo
25
20
45
55,6
44,4
-11,1
0,8
Kalipare
31
37
68
45,6
54,4
8,82
1,2
Pagak
1
5
6
16,7
83,3
66,7
5
Bantur
101
0
101
100
0
-100
0
Dampit
20
12
32
62,5
37,5
-25
0,6
Ampelgading
14
15
29
48,3
51,7
3,45
1,1
7
14
21
33,3
66,7
33,3
2
Poncokusumo
17
15
32
53,1
46,9
-6,25
0,9
Wajak
29
22
51
56,9
43,1
-13,7
0,8
Godanglegi
21
5
26
80,8
19,2
-61,5
0,2
Pagelaran
15
18
33
45,5
54,5
9,09
1,2
Kepanjen
22
25
47
46,8
53,2
6,38
1,1
Sumber Pucung
26
17
43
60,5
39,5
-20,9
0,7
Ngajum
11
10
21
52,4
47,6
-4,76
0,9
Wagir
17
21
38
44,7
55,3
10,5
1,2
Tajinan
11
12
23
47,8
52,2
4,35
1,1
Tumpang
22
19
41
53,7
46,3
-7,32
0,9
Lawang
35
22
57
61,4
38,6
-22,8
0,6
Singosari
18
31
49
36,7
63,3
26,5
1,7
Karangploso
14
9
23
60,9
39,1
-21,7
0,6
Ngantang
48
38
86
55,8
44,2
-11,6
0,8
Kasembon
2
4
6
33,3
66,7
33,3
2
Tirtoyudo
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012 Tabel di atas menunjukan data jenis cacat rungu wicara di kabupaten Malang. Dimana cacat rungu wicara kasus tertinggi terdapat di kecamatan bantur (101 orang) dan terendah di kecamatan Pagak (6 oranga) dan kasembon (6 orang). Dan kecamatan denga disparitas tertinggi adalah kecamatan Bantur (-100). Dan data tersedia untuk 124
masalah sosial jenis cacat dengan jenis cacat mental di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
Tabel 7.30 Jenis Cacat Mental prosentase Mental
Kecamatan (L) Kalipare
jumlah
(P)
L
DG
IP
P
57
52
109
52,3
47,7
-4,59
0,9
Pagak
4
1
5
80
20
-60
0,3
Bantur
11
0
11
100
0
-100
0
Dampit
18
7
25
72
28
-44
0,4
Ampelgading
27
15
42
64,3
35,7
-28,6
0,6
Tirtoyudo
20
10
30
66,7
33,3
-33,3
0,5
Poncokusumo
73
50
123
59,3
40,7
-18,7
0,7
Wajak
69
66
135
51,1
48,9
-2,22
1
Godanglegi
20
15
35
57,1
42,9
-14,3
0,8
Pagelaran
23
26
49
46,9
53,1
6,12
1,1
Kepanjen
33
2
35
94,3
5,71
-88,6
0,1
Sumber Pucung
65
33
98
66,3
33,7
-32,7
0,5
Ngajum
21
26
47
44,7
55,3
10,6
1,2
2
2
4
50
50
0
1
Wagir
29
22
51
56,9
43,1
-13,7
0,8
Tajinan
11
9
20
55
45
-10
0,8
Tumpang
37
23
60
61,7
38,3
-23,3
0,6
Singosari
100
39
139
71,9
28,1
-43,9
0,4
Karangploso
12
4
16
75
25
-50
0,3
Ngantang
63
39
102
61,8
38,2
-23,5
0,6
Kasembon
14
15
29
48,3
51,7
3,45
1,1
Wonosari
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012 125
Tabel di atas menunjukan data jenis cacat mental di kabupaten Malang. Dimana, untuk jenis cacat mental tertinggi terjadi di kecamatan Singosari (139 orang) dan terendah kecamatan Wonosari (4 orang). Dan kecamatan dengan disparitas gender tertinggi adalah kecamatan Bantur (-100). Pada umumnya yang menjadi
faktor
penyebab cacat diantaranya lahir prematur, kecelakaan, terkena step dan faktor keturunan.
D. Karang taruna Karang taruna adalah organisasi kepemudaan yang berada pada level desa, yang anggotanya berusia 12 – 25 tahun yang berfungsi untuk menghimpun dan menggerakkan pemuda-pemuda yang berada di desa dalam rangka melatih dalam mengorganisir kelompok dan mengasah kepemimpinan pemuda. Data tersedia untuk karang taruna di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.31 Karang Taruna
Kecamatan Donomulyo Kalipare Pagak Bantur Gedangan Dampit Poncokusumo Wajak Bululawang Godanglegi Kepanjen Sumber Kromengan Pucung Ngajum Wonosari Wagir Tumpang Pakis
Karang Taruna 10 9 8 10 5 32 17 13 8 5 16 7 3 18 4 19 15 14
jumlah Jumla % (L) pengurus (P) (L) (P) h pengurus 120 30 150 80 20 41 22 63 0,65 0,35 163 70 233 0,70 0,30 74 26 100 0,74 0,26 79 11 90 0,88 0,12 325 207 532 0,61 0,39 182 107 289 0,63 0,37 308 102 410 0,75 0,25 164 85 249 0,66 0,34 35 11 46 0,76 0,24 121 69 190 0,64 0,36 2129 36 2165 0,98 0,02 51 26 77 0,66 0,34 116 65 181 0,64 0,36 65 18 83 0,78 0,22 121 93 214 0,57 0,43 105 7 112 0,94 0,06 131 73 204 0,64 0,36
DG
IP
-60 -0,30 -0,40 -0,48 -0,76 -0,22 -0,26 -0,50 -0,32 -0,52 -0,27 -0,97 -0,32 -0,28 -0,57 -0,13 -0,88 -0,28
0,2 0,55 0,44 0,33 0,15 0,64 0,54 0,39 0,53 0,32 0,51 0,07 0,52 0,51 0,26 0,78 0,07 0,57 6 126
Lawang 206 130 76 Singosari 17 54 43 Karangploso 14 93 76 Dau 10 50 30 Pujon 13 86 70 Ngantang 26 227 96 Kasembon 6 20 22 Sumber Data : Isian Kecamatan, Tahun 2012
206 97 169 80 156 323 42
0,63 0,56 0,55 0,63 0,55 0,70 0,48
0,37 0,44 0,45 0,38 0,45 0,30 0,52
-0,26 -0,11 -0,10 -0,25 -0,10 -0,41 0,05
0,5 0,88 0,80 0,62 0,80 0,41 1,12
0 Tabel di atas menunjukan disparitas gender karangtaruna, dimana disparitas gender terbesar berada di kecamatan Gedangan (-0,76 untuk jenis kelamin laki-laki). Untuk memberikan gambaran lebih jelas kondisi karangtaruna diatas, dapat diperhatikan diagram berikut ini. jumlah karang taruna di kabupaten Malang, dimana karang taruna terbanyak adalah di kecamatan Lawang (206) dan terendah di kecamatan kromengan (3). Sedangkan
jumlah pengurus karang taruna terbanyak adalah kecamatan
Sumberpucung (2165 orang) dan terendah kecamatan Kasembon (42 orang). Di kecamatan Lawang keberadaan karangtaruna sebanyak 206 tetapi tidak ada pengurus yang menggerakkan organisasi kepemudaan tersebut. Dalam hal ini di beberapa kecamatan karangtaruna masuk dalam kategori tumbuh, berkembang, dan maju.
E. Panti Sosial Panti sosial di kabupaten Malang terdiri dari panti asuhan dan panti werdha. Tidak semua kecamatan memiliki panti asuhan. dan panti werdha. Hanya 18 kecamatan yang memiliki panti asuhan dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 7.32 Panti Asuhan
panti asuhan Kecamatan
penghuni
DG
IP
kapasitas
Donomulyo
2
40
9
10
19 47,4
52,6
5,26 1,1
Bantur
1
80
20
33
53 37,7
62,3
24,5 1,7
Poncokusumo
3
80
56
24
80
70
30
-40 0,4
Wajak
1
140
60
80
140 42,9
57,1
14,3 1,3
Godanglegi
1
120
75
45
120 62,5
37,5
-25 0,6
(L)
(P)
jumlah
prosentase
jumlah
L
P
127
Pagelaran
3
0
157
330
487 32,2
67,8
35,5 2,1
Kepanjen
1
74
31
43
74 41,9
58,1
16,2 1,4
Sumber Pucung
2
100
25
3
28 89,3
10,7
-78,6 0,1
Kromengan
1
120
20
1
21 95,2
4,76
-90,5 0,1
Ngajum
1
40
4
6
10
40
60
20 1,5
Wagir
2
152
45
37
82 54,9
45,1
-9,76 0,8
Tumpang
2
179
93
58
151 61,6
38,4
-23,2 0,6
Lawang
19
0
0
0
Singosari
4
120
45
75
120 37,5
62,5
25 1,7
Karangploso
1
49
29
20
49 59,2
40,8
-18,4 0,7
Dau
2
200
0
0
Pujon
2
120
75
45
120 62,5
37,5
-25 0,6
Kasembon
2
70
20
50
70 28,6
71,4
42,9 2,5
0
0
Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012 Dari tabel di atas jumlah panti asuhan di kabupaten malang, dimana untuk panti asuhan terbanyak ada di kecamatan Lawang (19 panti). Jumlah kecamatan yang memiliki panti asuhan selama rentang 2010-2011 menurun dari 22 kecamatan menjadi 18 kecamatan. Namun jumlah panti asuhan cenderung meningkat dari 33 panti asuhan menjadi 50 panti asuhan. Sedangkan Data tersedia untuk panti werdha di kabupaten Malang sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 7.33 Panti Werdha
Kecamatan
panti werdha penghuni jumlah jumlah Kapasitas lk Pr
Kec. Donomulyo 19 0 0 Kec. Bantur 43 90 27 Kec. Wajak 1 150 60 Kec. Pagelaran 487 0 0 Kec. Kromengan 21 0 0 Kec. Tumpang 2 6 1 Kec. Lawang 1260 0 0 Kec. Kasembon 1 90 27 Sumber: Data Isian Kecamatan, Tahun 2012
0 49 80 0 0 1 0 49
0 76 140 0 0 2 0 76
prosentase L 184 188
DG
IP
P 0 55,1 - 0,3 75 129- 0,4 113
600
100
- 0,2
184
55,1
500 - 0,3 129
128
Tabel di atas menunjukan jumlah panti sosial di kabupaten Malang, dimana Dan untuk panti werdha terbanyak ada di kecamatan Lawang (1260 panti). sementara untuk jumlah panti werdha juga cenderung meningkat dari 3 menjadi 1.834 panti werdha.
129
BAB VIII KETENAGAKERJAAN
Konstitusi Indonesia sebagai negara hukum telah memasukan hak melakukan pekerjaan adalah salah satu hak yang dijamin oleh negara bagi wargan negara, hal ini sebagaimana ercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 2 yang berbunyi bahwa “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”. Dalam merealisir dan mengimplementasikan undang-undang ini, pemerintah memiliki peran dan kewajiban aktif sebagai eksekutor instrumen kesejahteraan warga negara. Beberapa tahun terakhir pasca krisis moneter menimpa Indonesia, partisipasi perempuan di bidang ketenaga kerjaan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perubahan ini menunjukkan adanya peningkatan peran perempuan yang sangat berarti dalam kegiatan ekonomi di Indonesia. Namun demikian, realitasnya struktur angkatan kerja perempuan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Sebagian besar perempuan masih berkiprah di sektor informal atau pekerjaan yang tidak memerlukan kualitas pengetahuan dan keterampilan canggih atau spesifik, hal ini dikarenakan keterlibatan serta partisipasi perempuan dalam bidang pendidikan sangatlah jauh dari kata ideal. Sebagai salah satu indikator kemajuan dan pembangunan bangsa, bidang ekonomi serta ketenagakerjaan merupakan indikator penting dalam perencanaan dan evaluasi pembangunan baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi. Dengan melihat faktor ekonomi serta ketenagakerjaan, maka dapat memberikan gambaran tentang daya serap ekonomi terhadap pertumbuhan penduduk dan produktifitas tenaga kerja. Kategorisasi tenaga kerja, adalah penduduk yang berada dalam usia kerja. Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Dalam bidang ketengakerjaan, penduduk suatu negara dibedakan menjadi dua kelompok, yakni kelompok tenaga kerja dan kelompok bukan tenaga kerja. Penduduk yang tergolong dalam kategori tenaga kerja adalah jika penduduk tersebut telah memasuki usia kerja yang berlaku di Indonesia yakni rentang usia 15 – 64 tahun. Terdapat banyak pendapat mengenai usia dari para tenaga kerja ini, ada yang menyebutkan di atas 17 tahun ada 130
pula yang menyebutkan di atas 20 tahun, bahkan ada yang menyebutkan di atas 7 tahun karena anak-anak jalanan sudah termasuk tenaga kerja. Beberapa gambaran Kab. Malang tentang ketenagakerjaan dapat dilihat dari beberapa indikator ketercapaian kinerja masyarakat dalam beberapa bidang sebagaimana berikut:
A. Partisipasi Angkatan Kerja Analisis angkatan kerja dalam suatu wilayah yang berkaitan dengan kondisi perekonomian wilayah tersebut merupakan hal penting guna mengetahui tingkat dan pola partisipasi angkatan kerja yang cenderung bergantung pada ketersediaan kesempatan kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja dalam suatu wilayah juga dapat menunjukan besaran rasio antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja. Kategorisasi angkatan kerja adalah setiap penduduk yang termasuk dalam usia kerja dan sedang bekerja, tidak bekerja, dan atau sedang mencari pekerjaan. Sedangkan mereka yang masuk dalam kategori bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang masih sekolah, mengurus rumah tangga, dan melaksanakan kegiatan lainnya (pensiun, cacat, dan sebagainya). Penduduk di wilayah Kabupaten Malang, jika dilihat dari jumlah angkatan kerja dari tahun ke-tahun selalu mengalami tren kenaikan. Sebagaimana paparan data (tabel.11.1) menunjukan bahwa jumlah angkatan kerja pada tahun 2010 adalah berada dalam angka 1.265.118 jiwa, sedangkan data angkatan kerja pada tahun 2011 adalah 1.295.294. Tren kenaikan ini tentunya harus dibarengi dengan kesiapan lapangan pekerjaan di masyarakat, jika tidak maka yang terjadi adalah bertambahnya angka pengangguran yang berakibat terjadinya berbagai permasalah sosial di masyarakat.
131
Tabel 11.1 Partisipasi Agkatan Kerja serta Pengngguran Terbuka
Sumber: Kabupaten Malang Dalam Angka tahun 2012
B. Angkatan Kerja Antar Daerah Konsepsi tenaga kerja berdasarkan Angkatan Kerja Antar Daerah (AKAD) adalah data angkatan kerja yang merujuk pada mobilitas pekerja antar wilayah administrasi dengan syarat pekerja melakukan pulang pergi seminggu sekali atau sebulan sekali. Dalam kaitanya dengan kesetaraan gender, maka dibutuhkan data AKAD yang dipilah berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, tujuanya adalah untuk mengukur serta menjadi landasan sebuah kebijakan agar dapat diukur secara komprehensif termasuk dari aspek kesetaraan gender. Data AKAD di Kabupaten Malang yang telah dipilah sesuai jenis kelamin pada tingkat kecamatan tersaji dalam tabel berikut:
132
Tabel 11.2 Angkatan Kerja Antar Daerah No
Kecamatan
1
Kalipare
2
Jenis Kelamin Lk
%
Pr
%
Jumlah
IP
Disparitas
81 88.0
11
12.0
92
0.1
-76.1
Pagak
3,956 51.0
3,803
49.0
7,759
1.0
-2.0
3
Dampit
1,537 63.0
902
37.0
2,439
0.6
-26.0
4
Turen
4,400 68.6
2,015
31.4
6,415
0.5
-37.2
5
Bululawang
257 68.2
120
31.8
377
0.5
-36.3
6
Pagelaran
291 57.4
216
42.6
507
0.7
-14.8
7
Kepanjen
208 59.6
141
40.4
349
0.7
-19.2
8
Sumberpucung
384 63.4
222
36.6
606
0.6
-26.7
9
Kromengan
241 62.4
145
37.6
386
0.6
-24.9
10
Ngajum
409 69.3
181
30.7
590
0.4
-38.6
11
Wagir
454 79.1
120
20.9
574
0.3
-58.2
12
Tumpang
91 52.6
82
47.4
173
0.9
-5.2
13
Jabung
147 47.7
161
52.3
308
1.1
4.5
14
Karangploso
237 68.9
107
31.1
344
0.5
-37.8
15
Pujon
25 65.8
13
34.2
38
0.5
-31.6
16
Ngantang
730 63.4
422
36.6
1,152
0.6
-26.7
17
Kasembon
450 55.6
360
44.4
810
0.8
-11.1
Sumber: data kecamatan 2012
Tabulasi data diatas menunjukan bahwa partisipasi atau capaian kinerja perempuan dalam bidang tenaga kerja antar daerah masih jauh dengan capaian kinerja laki-laki. Pada tingkat kabupaten malang ketika di lakukan prosentasi secara keseluruhan maka laki-laki memiliki capaian kinerja sebesar 60.6% yakni pada angka 13.898 jiwa sedangkan perempuan hanya menempati pada 39.4% atau berada pada angka 9.021 jiwa. Dilihat dari aspek indeks paritas dan disparitas yang terjadi antara kinerja perempuan dibandingkan dengan kinerja laki-laki maka indeks paritas yang terjadi
133
adalah pada angka 0.63 dimana angka ideal dalam perspektif kesetaraan gender adalah angka 1, sehingga kesimpulan dari angka indeks paritas AKAD adalah terdapat kesenjangan capaian kinerja perempuan dibandingkan laki-laki dimana yang tertinggal adalah jenis kelamin perempuan. Adapun disparitas gendernya adalah -21.3%, angka ini menunjukan terjadi disparitas atau ketertinggalan perempuan dibandingkan laki-laki dimana angka ideal disparitas adalah nilai 0.
C. Angkatan Kerja Antar Negara Kondisi perekonomian yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan tidak adanya akses terhadap permodalan seperti beberapa tahun terakhir terjadi, memaksa banyak perempuan Indonesia mengadu nasib sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Tidak hanya itu, semakin banyaknya para peminat kerja di luar negeri juga menguntungkan beberapa pengurus jasa tenaga kerja Indonesia yang tidak jarang hanya mengambil untung semata. Lebih parah lagi, banyak modus trafiking terselubung dengan berkedok sebagai penyedia jasa tenaga kerja ke luar negeri. Praktik yang sudah mengakar dan menjamur di kalangan masyarakat miskin ini diperparah lagi dengan sangat rendahnya tingkat pendidikan para tenaga kerja perempuan. Menurut data ECOSOC Rights, sekitar 2,8 juta dari 4 juta warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja di luar negeri adalah perempuan. Sebanyak 60%
dari kaum
perempuan tersebut bekerja di sektor domestik melalui prosedur ilegal, dan memiliki bekal yang sangat minim (www.bisnis.com). Data dari Migrant Care menyebutkan sekitar 70% TKW dari 450.000 WNI diberangkatkan ke luar negeri tiaptahunnya. Sebanyak 46% diantaranya diperkirakan menjadi korban perdagangan manusia. Fakta ini menunjukan bahwa sangat lemahnya nilai tawar tenaga kerja Indonesia, selain itu juga menunjukan sangat lemahnya control yang dilakukan oleh Negara dalam melindungi dan menjamin warganya. Banyak para pemerhati memberikan pandangan bahwa salah satu upaya untuk memutus mata rantai keadaan ini bisa dimulai dengan memberi akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi perempuan Indonesia. Pendidikan di sini termasuk pembekalan keterampilan dan keahlian yang memungkinkan mereka mengembangkan segenap potensi yang dimiliki. Langkah selanjutnya adalah memberi akses modal lebih besar bagi perempuan agar mereka lebih berdaya dalam mengentaskan diri dan keluarganya dari kemiskinan tanpa harus bekerja ke luar negeri. Namun semua itu hingga saat ini 134
masih perlu untuk selalu disuarakan agar tenaga kerja Indonesia tidak hanya menjadi sapi perah di negeri orang. Adapun gambaran data Angkatan Kerja Antar Negara yang ada di Kabupaten Malang adalah sebagai berikut: Tabel 11.3 Data Terpilah Angkatan Kerja Antar Negara
Indeks
Jenis Kelamin No
Kecamatan
Jumlah Disparitas Laki-laki
1
Donomulyo
2
6
%
Perempuan
%
Gender
Paritas Gender
3.2
184
96.8
190
93.7
30.7
Kalipare
162 87.6
23
12.4
185
-75.1
0.1
3
Pagak
294 29.0
721
71.0
1,015
42.1
2.5
4
Bantur
31
8.7
327
91.3
358
82.7
10.5
5
Gedangan
29
9.5
277
90.5
306
81.0
9.6
6
Sumbermanjing
12
3.7
313
96.3
325
92.6
26.1
7
Dampit
374 28.3
947
71.7
1,321
43.4
2.5
8
Tirtoyudo
9.6
103
90.4
114
80.7
9.4
9
Ampelgading
8 10.3
70
89.7
78
79.5
8.8
10
Poncokusumo
7 10.8
58
89.2
65
78.5
8.3
11
Wajak
4
4.7
82
95.3
86
90.7
20.5
12
Turen
199 46.8
226
53.2
425
6.4
1.1
13
Bululawang
47 18.5
207
81.5
254
63.0
4.4
14
Gondanglegi
14
5.1
259
94.9
273
89.7
18.5
15
Pagelaran
263 14.5
1,546
85.5
1,809
70.9
5.9
16
Kepanjen
115 38.5
184
61.5
299
23.1
1.6
17
Sumberpucung
928 47.4
1,028
52.6
1,956
5.1
1.1
18
Kromengan
110 36.5
191
63.5
301
26.9
1.7
19
Ngajum
55 29.4
132
70.6
187
41.2
2.4
20
Wonosari
16 20.8
61
79.2
77
58.4
3.8
21
Wagir
13 19.1
55
80.9
68
61.8
4.2
22
Pakisaji
4 19.0
17
81.0
21
61.9
4.3
11
135
23
Tajinan
1
4.8
24
Tumpang
0
0.0
25
Pakis
1
6.3
15
93.8
16
87.5
15.0
26
Jabung
1 16.7
5
83.3
6
66.7
5.0
27
Lawang
1
4.8
20
95.2
21
90.5
20.0
28
Singosari
0
0.0
20 100.0
20
29
Karangploso
17 47.2
19
52.8
36
5.6
1.1
30
Pujon
16 33.3
32
66.7
48
33.3
2.0
31
Dau
1 16.7
5
83.3
6
66.7
5.0
32
Ngantang
104 42.4
141
57.6
245
15.1
1.4
33
Kasembon
71 51.8
66
48.2
137
-3.6
0.9
2,915 28.4
7,363
71.6
10,278
43.3
2.5
Jumlah
20
95.2
21
9 100.0
9
90.5
20.0
100.0 #DIV/0!
100.0 #DIV/0!
Sumber: data kecamatan 2012 diolah Data terpilah gender dalam tabel 11.3 diatas menunjukan bahwa untuk angkatan kerja antar Negara secara keseluruhan tingkat kabupaten perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki yakni perempuan berada di angka 71.6% dari total AKAN, sedangkan laki-laki berada di prosentase 28.4%. Jika kita melihat lebih detil lagi sebagaimana terlihat dalam diagram 11.3 maka dapat diketahui bahwa hanya ada 2 kecamatan saja yakni Kalipare dan Kasembon saja yang memiliki AKAN laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. selebihnya hampir diseluruh kecamatan partisipasi perempuan mendominasi. Dilihat dari indeks paritas gender, maka perbedaan capaian kinerja laki-laki dibandingkan perempuan adalah 1.31 % dimana laki-laki tertinggal dan perempuan lebih dominan. Sedangkan disparitas dalam AKAN adalah 13.5% dimana perempuan lebih jauh mendominasi dibandingkan laki-laki secara kuantitatif. Keterlibatan perempuan dalam AKAN ini jika dilihat secara sepintas maka secara kuantitatif perempuan lebih dominan, namun ketika dilihat lebih jauh maka mayoritas pekerjaan yang menjadi lapangan kerja perempuan adalah sector domestic atau informal, yakni sebagai pembantu rumah tangga atau sebagai pengasuh anak. Dari status pekerjaan itulah kemudian, justru banyak sekali problematikan yang dihadapi para TKI Indonesia. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah harus meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia. Dengan banyaknya bursa tenaga kerja,
136
pelatihan tenaga kerja, serta peningkatan kapasitas personal tenaga kerja bisa membantu percepatan pertemuan antara pencari kerja dan lowongan kerja yang tersedia.
D.
Data Tenaga Kerja PNS Pekerja dilihat dari factor yang berhubungan dengan institusi pemerintah terbagi
menjadi dua bagian, yakni Pegawa Negeri Sipil (PNS) dan Swasta. PNS adalah warga Negara Indonesia yang dipekerjakan oleh pemerintah dalam melaksanakan tugas kedinasan sesuai dengan kebutuhan dan penempatan tenaga kerja. Bidang yang menjadi lapangan pekerjaan PNS menempati seluruh sector yang ada dalam struktur aparatur pemerintahan. Di Kabupaten Malang sesuai data yang telah diperoleh, masih ada 28 kecamatan dengan jumlah 17.702 PNS. Pada tabel berikut akan dipaparkan jumlah PNS di Wialayah Kab. Malang yang telah dipilah berdasarkan jenis kelamin:
Tabel 11.4 Data Pegawai Negeri Sipil Kab. Malang No
Kecamatan
Jenis Kelamin LK
%
PR
%
Jumlah
IP
DP
1
Donomulyo
263
56.1
206
43.9
469
0.8
-12.2
2
Kalipare
230
58.4
164
41.6
394
0.7
-16.8
3
Pagak
273
61.8
169
38.2
442
0.6
-23.5
4
Bantur
42
47.7
46
52.3
88
1.1
4.5
5
Gedangan
170
68.0
80
32.0
250
0.5
-36.0
6
Dampit
75
64.1
42
35.9
117
0.6
-28.2
7
Tirtoyudo
193
65.0
104
35.0
297
0.5
-30.0
8
Poncokusumo
219
56.7
167
43.3
386
0.8
-13.5
9
Wajak
198
46.4
229
53.6
427
1.2
7.3
10
Bululawang
175
46.9
198
53.1
373
1.1
6.2
11
Gondanglegi
28
48.3
30
51.7
58
1.1
3.4
12
Pagelaran
322
96.1
13
3.9
335
0.0
-92.2
13
Kepanjen
488
61.7
303
38.3
791
0.6
-23.4
14
Sumberpucung
751
67.2
366
32.8
1,117
0.5
-34.5
137
15
Kromengan
253
57.1
190
42.9
443
0.8
-14.2
16
Ngajum
159
69.1
71
30.9
230
0.4
-38.3
17
Wonosari
113
51.8
105
48.2
218
0.9
-3.7
18
Wagir
302
58.6
213
41.4
515
0.7
-17.3
19
Pakisaji
204
53.0
181
47.0
385
0.9
-6.0
20
Tajinan
93
46.5
107
53.5
200
1.2
7.0
21
Tumpang
115
46.4
133
53.6
248
1.2
7.3
22
Lawang
3,779
52.8
3,375
47.2
7,154
0.9
-5.6
23
Singosari
493
42.4
670
57.6
1,163
1.4
15.2
24
Karangploso
105
42.9
140
57.1
245
1.3
14.3
25
Pujon
235
59.0
163
41.0
398
0.7
-18.1
26
Dau
132
34.5
251
65.5
383
1.9
31.1
27
Ngantang
208
56.7
159
43.3
367
0.8
-13.4
28
Kasembon
156
74.6
53
25.4
209
0.3
-49.3
Sumber: data kecamtan 2012
Data tingkat kecamatan diatas menunjukan bahwa secara kuantitatif jumlah tenaga PNS laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan, dimana laki-laki berada di prosentase 55.3% atau 9.774 pegawai, sedangkan perempuan berada pada prosentase 44.8% atau 7.928 pegawai dari seluruh data PNS yang ada pada setiap kecamatan di Kab. Malang. Melihat data tersebut maka indeks paritas gender dalam partisipasi kerja dan capaian kinerja perempuan sebagai PNS adalah 0.81 artinya terjadi selisih kinerja laki-laki dibandingkan perempuan. Dilihat dari aspek disparitas gender yang terjadi dalam tenaga kerja PNS, maka disparitas yang terjadi adalah -10.4 yang berarti perempuan tertinggal dibandingkan laki-laki. Jika data pilah jenis kelamin diatas dilihat lagi lebih jauh dalam perbandingan jabatan atau tingkat keterwakilan perempuan dalam kursi kepemimpinan, maka angka ketimpangan capaian kinerja antara laki-laki dibandingkan perempuan akan semakin tinggi. Sebagai contoh sederhana, data kepala sekolah yang berada di kabupaten malang menunjukan bahwa jumlah kepala sekolah perempuan hanya berjumlah 30.7% dari seluruh kepala sekolah pada setiap jenjang pendidikan formal. Lebih rinci dapat dilihat dalam diagram berikut: Tabel 11.5 138
Data Pilah Kepala Sekolah Pada Setiap Jenjang Pendidikan No
Jenis Kelamin
Kepala Sekolah Laki-laki
%
Jumlah
Perempuan %
1
TK
0
0
2
100
2
2
SD
750
67.8
357
32.2
1,107
3
SMP
61
91.0
6
9.0
67
4
SMA
11
84.6
2
15.4
13
5
SMK
6
100
0
0
6
367 30.71
1,195
Jumlah
828 69.29
Tabel tersebut diatas menunjukan bahwa kepala sekolah dalam setiap jenjang pendidikan formal di Kabupaten Malang menunjukan bahwa laki-laki mendominasi dalam seluruh jenjang pendidikan formal. Hanya ada satu jenjang pendidikan saja yang dikepalai oleh seorang perempuan yakni TK. Namun dalam jenjang pendidikan SMK justru perempuan memiliki capaian kinerja 0% karena 100% dari jumlah kepala sekolah di isi oleh guru laki-laki.
E.
Data Angkatan Kerja Sektor Swasta Angkatan kerja pada sector swasta telah diakui dapat meningkatkan IPM dalam
suatu Negara. Hal ini terjadi karena dengan banyaknya pergerakan serta perkembangan sector swasta maka angka pengangguran akan terserap dengan maksimal. Dari 33 kecamatan yang ada di Kabupaten Malang, masih tersedia 26 kecamatan dengan data pilah gender yang nantinya diharapkan akan terus dievaluasi demi terwujudnya data pilah gender yang lengkap. Keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan sector swasta di Kabupaten Malang dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 11.6 Tenaga Kerja Bidang Swasta Kab. Malang No
Kecamatan
Jenis Kelamin Laki-laki
%
Perempuan
%
Jumlah
Indeks Paritas
Disparitas
1
Kalipare
27,722 73.7
9,910
26.3
37,632
0.4
-47.3
2
Pagak
19,490 64.2
10,871
35.8
30,361
0.6
-28.4
139
3
Bantur
2,470 41.8
3,435
58.2
5,905
1.4
16.3
4
Gedangan
6 33.3
12
66.7
18
2.0
33.3
5
Dampit
24,211 58.4
17,236
41.6
41,447
0.7
-16.8
6
Tirtoyudo
10,610 42.4
14,438
57.6
25,048
1.4
15.3
7
Poncokusumo
21,673 61.2
13,720
38.8
35,393
0.6
-22.5
8
Bululawang
13,054 59.1
9,022
40.9
22,076
0.7
-18.3
9
Gondanglegi
200 42.5
271
57.5
471
1.4
15.1
10
Kepanjen
9,671 61.5
6,056
38.5
15,727
0.6
-23.0
11
Sumberpucung
8,892 69.4
3,921
30.6
12,813
0.4
-38.8
12
Kromengan
8,077 53.6
6,993
46.4
15,070
0.9
-7.2
13
Ngajum
7,786 75.1
2,576
24.9
10,362
0.3
-50.3
14
Wonosari
15,045 48.9
15,716
51.1
30,761
1.0
2.2
15
Wagir
11,936 55.8
9,444
44.2
21,380
0.8
-11.7
16
Pakisaji
2,380 35.1
4,407
64.9
6,787
1.9
29.9
17
Tajinan
22,032 62.8
13,046
37.2
35,078
0.6
-25.6
18
Tumpang
10,990 49.9
11,014
50.1
22,004
1.0
0.1
19
Jabung
8,281 67.8
3,936
32.2
12,217
0.5
-35.6
20
Lawang
15,840 51.4
14,976
48.6
30,816
0.9
-2.8
21
Singosari
20,028 55.8
15,865
44.2
35,893
0.8
-11.6
22
Karangploso
11,440 75.3
3751
24.7
15,191
0.3
-50.6
23
Pujon
16,335 34.2
31,428
65.8
47,763
1.9
31.6
24
DAU
16,228 67.2
7,925
32.8
24,153
0.5
-34.4
25
Ngantang
434 28.9
1068
71.1
1,502
2.5
42.2
26
Kasembon
12,105 50.8
11,745
49.2
23,850
1.0
-1.5
Sumber: data kecamatan 2012 Data diatas menunjukan bahwa secara rata-rata capaian kinerja laki-laki dalam bidang kerja sector swasta lebih baik dibandingkan perempuan. Keterlibatan perempuan dalam kerja sector swasta hanya Nampak lebih besar pada beberapa kecamatan saja seperti Kecamatan Ngantang, Pujon, Pakisaji dan Gedangan. Sedangkan hampir di kecamatan yang lain keterlibatan laki-laki lebih dominan dalam aspek kuantitasnya. Jika data diatas dilihat dari rata-rata angka disparitas gender maka terlihat terjadinya ketimpangan capaian kinerja laki-laki dengan perempuan dengan selisih 140
13.2%, artinya perempuan tertinggal dibandingkan laki-laki. Adapun indeks paritasnya adalah 0.77% dengan pemahaman bahwa kinerja laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan perempuan.
141
BAB IX EKONOMI
A. Bidang Koperasi Kegiatan ekonomi Indonesia dilakukan oleh tiga sektor yaitu BUMN, swasta dan koperasi. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yang berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Dengan demikian secara konstitusional, koperasi merupakan pelaksanaan kegiatan ekonomi selain BUMN dan swasta. Mengingat pentingnya kedudukan koperasi tersebut, maka pertumbuhan dan perkembangannya perlu terus ditingkatkan, agar dapat mencapai tujuannya, yaitu mensejahterakan anggota. Hal ini sesuai dengan apa yang ditegaskan dalam pasal 1 UU nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian, bahwa koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur. 1.
Jumlah Koperasi dan Anggota Tahun 2011-2012 Yuyun (dalam Ilfi,2002) menyatakan bahwa perkembangan koperasi sangat
ditentukan oleh anggotanya, yaitu dalam melaksanakan tugas sebagai pemilik dan pelanggan. Hal ini didukung oleh Ima Suwadi (dalam Ilfi, 2002) yang menyatakan bahwa keberhasilan koperasi dapat dilihat dari perkembangan anggotanya. Semakin banyak jumlah anggota koperasi diharapkan semakin banyak masyarakat yang dapat memanfaatkan koperasi dalam melakukan simpan pinjam maupun memenuhi kebutuhan hidup dan usahanya. Oleh sebab itu perlu pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya berkoperasi. Berdasarkan data yang masuk dari seluruh kecamatan, jumlah koperasi di Kabupaten Malang pada tahun 2011 sebanyak 727 koperasi, sedang pada tahun 2012 sebanyak 600 koperasi (tabel data dalam lampiran), sehingga mengalami penurunan sebesar 127 koperasi atau 21%. Penurunan tersebut disebabkan terdapat data tahun 2012 masih dalam proses, sehingga dimungkinkan jumlah koperasi tersebut dapat bertambah. Pada data sementara 2012, jumlah koperasi terbanyak di kecamatan Bululawang (82 koperasi atau 13.7%) dan terendah di Kecamtan Gedangan (4 koperasi). Oleh sebab itu 142
dinas koperasi dapat memberikan kemudahan izin pendirian koperasi di kecamatan Gedangan sekaligus melakukan pembinaan, atau dari koperasi yang ada dapat ditingkatkan jumlah anggotanya secara maksimal melalui sosialisasi ke masyarakat langsung, agar mereka mengetahui manfaat berkoperasi. Semakin banyak koperasi maka akan semakin banyak penduduk yang menjadi anggota koperasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perbedaan jumlah koperasi di tiap kecamatan melalui diagram berikut :
Gambar 11.1 Jumlah Koperasi
Gambar 11.2 Jumlah Koperasi
Dari diagram tersebut dapat dilihat bahwa kecamatan Gondang legi pada tahun 2011 mempunyai koperasi yang cukup besar, tetapi pada tahun 2012 tidak terdapat data, sehingga hal ini mempengaruhi jumlah koperasi secara keseluruhan. Dengan demikian penurunan jumlah koperasi tersebut disebabkan data yang masih dalam proses.
143
2.
Jumlah Anggota Koperasi Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2011 Koperasi mempunyai peran yang amat penting dalam pemberdayaan perempuan,
karena kaum perempuan banyak menjadi pelaku usaha mikro kecil (UMK). Para pelaku UMKM ini mempunyai problem dalam mengakses sumber-sumber produktif seperti bahan baku, modal, teknologi, pasar, informasi, terutama kredit dari
perbankan.
Dengan berkoperasi maka mereka dapat secara bersama-sama mempermudah memperoleh bahan baku, bahan pembantu produksinya dengan harga/biaya lebih murah, serta lebih mudah memperoleh kredit untuk penambahan modal investasi maupun modal kerja. Semakin banyak kaum perempuan yang menjadi anggota koperasi, maka diharapkan semakin banyak pula kaum perempuan yang dapat mengakses kredit untuk keperluan usahanya. Penurunan jumlah koperasi secara otomatis akan mengakibatkan penurunan pada jumlah anggota dari tahun 2011-2012. Pada tahun 2011 jumlah anggota koperasi berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa anggota perempuan sebanyak 28.926 anggota, lebih sedikit dibandingkan jumlah anggota laki-laki (30.020), sedang jumlah keseluruhan adalah 58.446 anggota (tabel data terlampir). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk tahun 2011 yaitu sebesar 2.459.982 juta jiwa, maka jumlah anggota koperasi di kabupaten Malang hanya + 2.3% dari seluruh jumlah penduduk kabupaten Malang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk usia kerja yaitu 1,578,886 orang, maka jumlah anggota koperasi sebesar +3.7% dari penduduk usia kerja. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat jumlah anggota koperasi berdasarkan jenis kelamin pada tabel berikut: Tabel 11.1 Jumlah Koperasi Tahun 2011 No Kecamatan
Jumlah Koperasi
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Donomulyo Kalipare Pagak Bantur Gedangan Sumbermanjing Dampit Tirtoyudo Ampelgading
11 18 22 4 18
Jumlah Anggota Disparitas Jumlah Laki- Perempuan Gender laki 445 394 839 -0,06 1.093 989 2.082 -0,05 610 715 1.325 0,08 57
1.469
1.526
0,93
144
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Poncokusumo 20 863 1.412 Wajak 15 2.920 1.320 Turen Bululawang 82 1.767 1.010 Gondang Legi 74 300 Pagelaran 10 0 693 Kepanjen 21 1.673 1.273 SumberPucung 30 634 919 Kromengan 23 1.476 2.315 Ngajum 11 297 Wonosari 9 848 Wagir 15 183 803 Pakisaji 17 570 981 Tajinan 12 727 Tumpang 47 255 1.155 Pakis 15 480 Jabung 18 924 425 Lawang 54 709 2.516 Singosari 80 275 973 KarangPloso 33 2.500 1.575 DAU 35 1.510 1.110 Pujon 13 87 733 Ngantang 13 10.369 1.879 Kasembon 7 1.100 1.615 727 30.020 28.926 JUMLAH Sumber data diolah dari data isian kecamatan 2012
2.275 4.240
0,24 -0,38
2.777 300 693 2.946 1.553 3.791 297 848 986 1.051 727 1.410 480 1.349 3.225 1.248 4.075 2.620 820 12.248 2.715 58.446
-0,27
-0,14 0,18 0,22
0,63 0,39 0,64 -0,37 0,56 0,56 -0,23 -0,15 0,79 -0,69 0,19
Dari tabel tersebut diketahui bahwa pada tahun 2011 jumlah anggota koperasi terbanyak adalah laki-laki sebesar 51% dari seluruh anggota koperasi. Berdasarkan data BPS Kab. Malang 2011, jumlah penduduk perempuan hampir 50% dari seluruh jumlah penduduk, sedang penduduk usia kerja lebih banyak kaum perempuan dibanding lakilaki, yaitu sebesar 1.026.276 orang (65%) dari penduduk usia kerja secara keseluruhan yaitu sebesar 1.578.886 orang (BPS kab. Malang, 2011).
Artinya, potensi kaum
perempuan untuk menjadi anggota koperasi lebih besar dibanding laki-laki. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram berikut:
145
Gambar 11.3 Jumlah Anggota Koperasi Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2011
Dari diagram tersebut dapat dilihat perbandingan jumlah anggota koperasi lakilaki dan perempuan. Kecamatan Dampit, Poncokusumo, Kromengan, Wagir, Pakisaji, Lawang, Singosari, Pujon, Sumbur Pucung dan Kasembon mempunyai anggota perempuan lebih banyak, yakni di atas 50%. Seperti halnya kecamatan Dampit jumlah anggota perempuan sebanyak 96% dari seluruh jumlah anggota koperasi di kecamatan tersebut. Adapun kecamatan Ngantang, jumlah anggota laki-laki jauh lebih besar daripada perempuan yaitu sekitar 85%, demikian juga di kecamatan Wajak, Bululawang, Kepanjen, Kalipare, Pagak, Jabung, Karang Ploso, Ngantang dan Dau. Hal ini dapat disebabkan perempuan di kecamatan tersebut banyak ibu rumah tangga yang tidak mempunyai penghasilan, sehingga tidak bisa menabung ataupun melakukan pinjaman pada koperasi. Oleh sebab itu potensi perempuan yang sangat besar dapat lebih didukung untuk mandiri secara ekonomi, dan menikmati manfaat berkoperasi secara langsung.
3.
Analisis Disparitas Gender Jumlah Anggota Koperasi Tingkat partisipasi perempuan dalam berkoperasi pada tahun 2011 lebih rendah
daripada laki-laki, yaitu sebesar 49.49%, sedang partisipasi laki-laki sebesar 51.36%, 146
dan Indeks Paritas Gender (IP) sebesar 0,96%. Ini berarti bahwa kesadaran perempuan dalam pengelolaan koperasi pada tahun 2011 masih lebih rendah daripada laki-laki. Hasil analisis disparitas gender jumlah anggota koperasi setiap kecamatan di Kabupaten Malang pada Tahun 2011 rata-rata sebesar 0,15. Seperti yang tertulis pada tabel 1, disparitas kecamatan Dampit sebesar 0, 93, sedang kecamatan Ngantang sebesar -0,69, hal ini menunjukkan di Kecamatan Dampit perbandingan jumlah anggota koperasi perempuan dibandingkan laki-laki sudah lebih banyak anggota perempuan, namun sebaliknya di Kecamatan Ngantang berbanding terbalik.
B. Pengelolaan Kredit Koperasi Per Kecamatan Peran koperasi dalam pemberdayaan perempuan yang paling dominan adalah memberikan kredit modal investasi maupun modal kerja pada anggota pada khususnya yang sebagian besar merupakan anggota kelompok produktif yaitu pelaku UMKM dan masyarakat sekitar pada umumnya yang ingin mengembangan usahanya. Oleh sebab itu kaum perempuan sangat perlu untuk ikut berpartisipasi dalam keanggotaan koperasi, agar dapat mengakses kredit dari koperasi yang profit share koperasi cenderung lebih ringan dibanding perbankan. Karena koperasi merupakan badan usaha milik anggota, yang keuntungannnya berupa sisa hasil usaha (SHU) akan kembali kepada anggota koperasi itu sendiri. Semakin banyak kaum perempuan yang dapat mengakses kredit maka akan semakin berkembang usahanya. a. Pengelolaan Kredit Koperasi Tahun 2011 Jumlah koperasi yang mendapatkan kredit dibedakan menjadi Kopwan (koperasi Wanita), Koperasi Lain, dan UMKM (usaha menengah dan kecil masyarakat), data lengkap tampak pada tabel berikut: Tabel 11.2 Jumlah Angota Koperasi Penerima Kredit Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6
Jumlah Anggota Penerima Kopwan Kop. Lain UMKM Kredit Donomulyo Kalipare 394 445 87 Pagak 513 852 60 Bantur 371 0 0 Gedangan 292 1.621 392 Sumbermanjing 15 8 2 Kecamatan
Jumlah 926 1.425 371 2.305 25
Disparitas -0,15 -0,28 1,00 -0,75 0,20 147
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Dampit Tirtoyudo Ampelgading Poncokusumo Wajak Turen Bululawang Gondang Legi Pagelaran Kepanjen SumberPucung Kromengan Ngajum Wonosari Wagir Pakisaji Tajinan Tumpang Pakis Jabung Lawang Singosari KarangPloso DAU Pujon Ngantang Kasembon JUMLAH
517 981 657 14 750 492 419 466 357 658 708 568 721 600 740 425 0 692 18 402
967 1.726 3.915 43 504 3.353 1.133 1.043 0 1.110 217 250 242 1.280 2.475 1.733 0 128 13 2.715
0 0 183 25 360 175 0 0 0 0 32 0 150 445 120 265 0 0 0
1.484 2.707 4.755 82 1.614 4.020 1.552 1.509 357 1.768 957 818 1.113 2.325 3.335 2.423 820 31 3.117
11.770
25.773
2.296
39.839
-0,30 -0,28 -0,72 -0,66 -0,07 -0,76 -0,46 -0,38 1,00 -0,26 0,48 0,39 0,30 -0,48 -0,56 -0,65 0,69 0,16 -0,74
Dari tabel diatas tampak bahwa jumlah anggota Kopwan (koperasi wanita) yang menerima kredit tahun 2011 adalah sebanyak 11.770 orang, lebih sedikit dibanding anggota koperasi lainnya dan UMKM (29.5% dari seluruh anggota koperasi dan UMKM yang menerima kredit). Anggota Kopwan di kecamatan Pujon yang mendapat kredit sangat besar, yaitu sekitar 84% dari seluruh koperasi dan UMKM yang mendapat kredit, sedangkan di kecamatan Gedangan hanya 12%. Ini menunjukkan kurangnya pemerataan pemberian kredit pada Kopwan, koperasi lainnya dan UMKM. Oleh sebab itu lembaga keuangan maupun dinas koperasi atau yang lainnya dapat memberikan kredit secara proporsional. 148
b. Analisis Disparitas Gender Jumlah Anggota Koperasi Yang mendapatkan Kredit Dari hasil analisis diketahui bahwa tingkat partisipasi perempuan dalam pemanfaatan kredit masih lebih rendah dari laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari APM perempuan hanya 29%. Begitu juga dengan Disparitas Gender (DG) sebesar -0.4( bernilai negatif). Ini berarti bahwa kepercayaan pemberi kredit pada koperasi perempuan juga masih rendah jika dibandingkan dengan pengelolaan koperasi lainnya/UMKM. Adapun Indeks Paritas Gender (IP) sebesar 0,42% (kurang dari 1) yang berarti terdapat kesenjangan gender dengan kinerja perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
C. Usaha Menengah Dan Kecil Masyarakat (Umkm) Per Kecamatan Di Kabupaten Malang 1. Gambaran Data Partisipasi di Bidang Pengelolaan UMKM Partisipasi di bidang pengeloaan UMKM terdiri dari UMKM miro, Kecil, Menengah, dan besar selan itu data telah terpilah laki-laki dan perempuan, pada tabel 3 tampak bahwa hampir semua partispasi UMKM lebih besar laki-laki dibandingkan partisipasi perempuan, hanya pada UMKM kecil saja yang partisipasi perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki. Dilihat dari jumlah keseluruhan partsipasi laki-laki lebih besar perempuan (3.614anggota>3.158anggota), Tabel 11.3 Data Partisipasi di Bidang Pengelolaan UMKM N O
Kecamatan
UMKM
UMKM
UMKM
UMKM
Dispari
Mikro
Kecil
Menengah
Besar
Jumah
tas
L
P
L
P
L
P
L
P
L
P
Gender -
1
Donomulyo
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
Kalipare
1
7
221
928
0
0
3
1
225
936
3
Pagak
2
8
-
-
-
-
-
-
2
8
4
Bantur
0
25
3
107
0
78
62
0
65
210
0,53
5
Gedangan
17
15
-
-
-
-
-
-
17
15
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
6
Sumbermanj ing
149
0,61 -
7
Dampit
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8
Tirtoyudo
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Ampelgadin
3
1
3
3
0
0
0
0
6
4
9
10
g Poncokusum
-0,20 177
35
18
7
0
0
0
0
195
42
o
-0,65
11
Wajak
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
12
Turen
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
13
Bululawang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gondang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
14
Legi
15
Pagelaran
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
16
Kepanjen
400
199
251
113
110
21
42
7
803
340
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
17
SumberPucu
-0,41 -
ng
18
Kromengan
10
157
11
20
2
0
1
0
24
177
0,76
19
Ngajum
34
61
58
22
87
11
7
0
186
94
-0,33
20
Wonosari
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
21
Wagir
39
61
47
51
8
59
2
2
96
173
Pakisaji
405
205
309
92
717
417
12
72
1.55
786
22
7
8
0,29
-0,33
23
Tajinan
75
97
96
85
12
4
10
0
193
186
-0,02
24
Tumpang
20
26
11
3
2
1
0
0
33
30
-0,05
25
Pakis
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
26
Jabung
57
24
20
8
-
-
-
-
77
32
-
27
Lawang
50
70
-
-
-
-
-
-
50
70
-
28
Singosari
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
29
KarangPloso
-
-
21
25
-
-
-
-
21
25
-
30
DAU
2
15
38
10
18
4
5
1
63
30
-0,35
31
Pujon
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
32
Ngantang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
33
Kasembon
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
150
JUMLAH
1.29
1.00
1.10
1.47
2
6
7
4
956
595
25 9
83
3.61
3.15
4
8
c. Analisis Disparitas Gender Pengelola UMKM Tiap Kecamatan Padatahun 2011, usaha mikro, menengah dan besar yang permanen banyak terdapat di kecamatan Kepanjen. Jika dilihat tingkat partisipasi perempuan dalam pengelolaan UMKM masih lebih rendah dibanding kaum laki-laki, yaitu sebesar 47.45%, dan tingkat kesadaran perempuan masih rendah jika dibanding dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari disparitas gender yang negative, yakni sebesar -0.84. adapun indeks paritas gender masih lebih kecil dari 1, artinya terdapat kesenjangan gender antara pengusaha laki-laki dan perempuan.
D. TENAGA MIGRAN PER KECAMATAN DI KABUPATEN MALANG Definisi migrasi menurut Lee (1991:7) adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen tanpa adanya pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah tindakan itu bersifat suka rela atau terpaksa; serta tidak diadakan perbedaan antara migrasi dalam negeri dan migrasi ke luar negeri. Dari beberapa penelitian mengungkapkan bahwa motif ekonomi merupakan faktor utama yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi (Lee, 1966; Todaro, 1977). Desa tidak dapat menjamin kesejahteraan warganya, sehingga mereka lebih memilih migran ke berbagai daerah. Migrant antar daerah kini tidak saja berdampak positif tetapi jika berlebihan akan dapat berdampak negatif. Kehadiran para migran antar daerah tersebut cenderung melipatgandakan tingkat penawaran tenaga kerja di perkotaan, sedangkan persediaan tenaga kerja di pedesaan semakin tipis, sehingga sedikit sekali masyarakat pedesaan yang mau mengembangkan pertanian di desanya. Selain itu juga dapat menyebabkan kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit karena terlalu banyak tenaga kerja. Oleh sebab itu diperlukan upaya membuat pedesaan mampu menjamin kehidupan warganya, melalui pendidikan dan pelatihan.
151
1. Gambaran Data Tenaga Migran Antar daerah Tiap Kecamatan Tahun 2011 Gambaran migran tahun 2011 tiap Kecamatan di Kabupaten Malang telah dibedakan antara laki-laki dan perempuan, dari data yang ada tampak bahwa jumlah tenaga miran antar daerah Laki-laki lebih besar Perempuan (31.553 orang > 20.712 orang). Hampir di semua kecamatan tenaga migrant lebih besar.
Kecamatan
Sumbermanjing mempunyai tenaga migrant antar daerah sangat besar. Oleh sebab itu perlu adanya pemberdayaan ekonomi khususnya perempuan di kecamatan tersebut, agar mereka tidak migrant. Untuk data selengkapnya tampak dalam tabel berikut: Tabel 11.4 Tenaga Migran Tiap Kecamatan Tahun 2011 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Kecamatan Donomulyo Kalipare Pagak Bantur Gedangan Sumbermanjing Dampit Tirtoyudo Ampelgading Poncokusumo Wajak Turen Bululawang Gondang Legi Pagelaran Kepanjen SumberPucung Kromengan Ngajum Wonosari Wagir Pakisaji Tajinan
Tenaga Migran Antar Laki% Perempuan Daerah laki 986 57.3 735 25709 58.6 18148 214 57.7 157 288 61.4 181 176 73.3 64 101 77.7 29 175 62.9 103
Jumlah %
42.7
1721
41.4
43857
42.3
371
38.6 26.7
469 240
22.3
130
37.1
278
Disparitas Gender -0.1458454 -0.1724012 -0.1536388 -0.228145 -0.4666667 -0.5538462 -0.2589928 152
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Tumpang Pakis Jabung Lawang Singosari KarangPloso DAU Pujon Ngantang Kasembon
842 1350 2712 -
68.1
63.0 96.2
395 793 107 -
31.9
1237
37.0 3.8
2143 2819
-0.3613581 -0.259916 -0.9240866 -
32,553 20,712 53,265 2. Analisis Disparitas Gender Tenaga Migran Tiap Kecamatan Tingkat partisipasi perempuan dalam penyumbang migrant lebih rendah daripada laki-laki, yaitu sebesar 38.88%. Begitu juga dengan Disparitas Gender (DG) sebesar 0.22( bernilai negatif). Adapun Indeks Paritas Gender (IP) sebesar 0,42% (kurang dari 1) yang berarti terdapat kesenjangan gender, tenaga migran perempuan lebih rendah daripada laki-laki.
E. Jumlah Penduduk Yang Berkerja Di Bidang Pertanian Per Kecamatan Di Kabupaten Malang Tahun 2011-2012 Sektor pertanian mempunyai peranan penting dalam perekonomian di Indonesia, yaitu sebagai penyedia pangan, sumber tenaga kerja, sumber kapital, sumber devisa (gillis et al, 1992). menyatakan bahwa Prospek pertumbuhan output di sektor pertanian dapat berpengaruh pada proyeksi kesempatan kerja. Kondisi ini menyebabkan perlunya campur tangan pemerintah guna menitik beratkan program pembangunan sektor pertanian, yang berpotensi dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Prioritas tersebut dapat diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja untuk mengurangi jumlah pengangguran serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Semakin banyak
penduduk yang bekerja di sektor pertanian akan semakin meningkatkan kontribusi pertanian pada pembangunan ekonomi Indonesia dan sekaligus mengurangi pengangguran
dan
meningkatkan
kesejahteraan
keluarga
(Tambunan
dalam
setyabudi,2005)
153
a. Jumlah Penduduk yang Bekerja di bidang Pertanian Sektor pertanian tidak akan mampu berkembang baik tanpa adanya dukungan dan peran dari sumber daya manusia. Saat ini perekonomian di Indonesia semakin mengarah pada industrialisasi, sehingga dimungkinkan dapat menurunkan SDM di sektor pertanian. Oleh sebab itu perlu ada upaya meningkatkan minat penduduk terhadap sektor pertanian. Jumlah penduduk di kabupaten Malang yang bekerja dibidang petanian Tahun 2011 laki-laki lebih besar daripada perempuan (207.570>111.751). Di kecamatan lawang, jumlah penduduk laki-laki sangat sedikit yang bekerja di bidang pertanian (35% dibanding perempuan), sedangkan kecamatan Wonosari penduduk laki-lakinya paling banyak berkerja di bidang pertanian yaitu sebesar 88%. Data selengapnya untuk jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian adalah sebagaimana dalam tabel berikut:
Table 11.4 Jumlah Penduduk Yang Bekerja Di Bidang Pertanian Tahun 2011 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kecamatan Donomulyo Kalipare Pagak Bantur Gedangan Sumbermanjing Dampit Tirtoyudo Ampelgading Poncokusumo Wajak Turen Bululawang Gondang Legi Pagelaran Kepanjen SumberPucung Kromengan Ngajum Wonosari
Laki 12710 2470 16791 19576 15940 7654 9865 3297 5083 5082 6740 39009
Prp 5725 3435 7427 10989 10191 10721 4089 2215 1476 1031 3056 5302
Jumlah 18435 5905 24218 30565 26131 18375 13954 5512 6559 6113 9796 44311
%
%
laki
prp
68.9 41.8 69.3 64.0
31.1 58.2 30.7 36.0
61.0 41.7
39.0 58.3
70.7 59.8 77.5 83.1 68.8 88.0
29.3 40.2 22.5 16.9 31.2 12.0
Disparitas Gender -0.378898834 0.16342083 -0.386654554 -0.280942254 -0.220006888 0.166911565 -0.413931489 -0.196298984 -0.549931392 -0.662686079 -0.376071866 -0.760691476
154
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Wagir Pakisaji Tajinan Tumpang Pakis Jabung Lawang Singosari KarangPloso DAU Pujon Ngantang Kasembon
5781 6000 10089 7405 1896 6108 3862 10338 11874
4279 4258 8000 3909 3501 3288 1793 5321 11745
10060 10258 18089 11314 5397 9396 5655 15659 23619
57.5
42.5
58.5 55.8
41.5 44.2
65.4 35.1 65.0 68.3 66.0
34.6 64.9 35.0 31.7 34.0
50.3
49.7
-0.149304175 -0.169818678 -0.115484549 -0.308997702 0.297387437 -0.300127714 -0.365870911 -0.32039083 -0.005461705
207,570 111,751 319,321 b. Analisis Disparitas Gender Penduduk yang Bekerja di bidang Pertanian Tiap Kecamatan Tahun 2011 Sektor pertanian apabila dikembangkan secara terus menerus akan membawa dampak terhadap ketenagakerjaan terutama
perempuan.
banyaknya kaum
perempuan yang bekerja di sektor pertanian akan dapat mengurangi migran ke kota, dan dapat meningkatkan kesejahteraan diri dan anak-anaknya. Namun pekerja perempuan di sektor pertanian lebih sedikit dibanding laki-laki, karena kaum perempuan muda lebih memilih bekerja di bidang non pertanian. Hal ini dapat dilihat dari APM yaitu sebesar 35%, dan tingkat kesadaran perempuan lebih rendah jika dibanding dengan laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari disparitas gender yang negative, yakni sebesar -0,30. Adapun indeks paritas gender masih lebih kecil dari 1, artinya terdapat kesenjangan gender antara pekerja laki-laki dan perempuan.
155
BAB XII KESIMPULAN DAN SARAN A.
KESIMPULAN Problematika seputar pemberdayaan perempuan dan anak adalah problematika
yang kompleks. Permasalahan yang terjadi tidak hanya masalah fisik perempuan, tetapi juga berhubungan dengan berbagai factor sosial dan ekonomi masyarakat. Factor lain yang turut menyumbang proses kesetaraan ini adalah budaya masyarakat yang tidak jarang justru melanggengkan praktik ketidak adilan gender di masyarakat. Sampai kapanpun ketika perempuan masih dikonotasikan dengan “konco wingking” ataupun berbagai simbol perempuan dalam peribahasa bahwa suargo nunut neroko katut atau kategorisasi bahwa perempuan yang baik adalah yang menguasai hal dapur, kasur, dan pupur merupakan konteks budaya yang kian meminggirkan posisi perempuan. Maka diskriminasi dan subordinasi yang dirasakan perempuan akan tetap ada di masyarakat. Jadi yang paling urgent dilakukan adalah melakukan penyadaran kepada masyarakat secara konsisten melalui berbagai media yang ada, agar tidak ada lagi diskriminasi di masyarakat yang berbasis jenis kelamin atau gender. Uraian dari data terkait profil gender di Kaupaten Malang menujukan beberapa simpulan dan pandangan sebagaimana berikut: 1.
Pada beberapa bidang pembangunan masyarakat, masih banyak berbagai ketimpangan capaian kinerja antara laki-laki dengan perempuan. Diantara kesenjangan tersebut adalah sebgai berikut: a. Kesenjangan yang terjadi terhadap pemenuhan hak dasar bagi laki-laki maupun perempuan diantaranya adalah: - Hukum: penegakan hukum dalam kasus-kasus tertentu harus menggunakan pendekatan yang disesuaikan kebutuhan gender - Pendidikan: Aspek partisipasi dan akses pendidikan bagi perempuan, dimana capaian kinerja perempuan lebih rendah dibanding dengan laki-laki. Tren penurunan tajam partisipasi perempuan cenderung lebih banyak pada jenjang pendidikan menengah atas. - Sosial: Meskipun penyandang masalah kesejahteraan social (PMKS) cenderung menurun, akan tetapi, terdapat perluasan atau penambahan jenis MKS dari tahun sebelumnya. Hal tersebut ngindikasikan bahwa di wilayah kabupaten malang terdapat peningkatan permasalahan social 156
yang kemudian menimbulkan munculnya kategori-kategori baru dari jenis masalah sosial. Dalam konteks kabupaten malang sebagai salah satu kabupaten yang menjadi pusat pendidikan dan perkembangan bisnis berbasis agro wisata di Jawa Timur, Malang sangat berpeluang untuk muncul dan berkembangnya permasalahan social dengan terbukanya akses interaksi masyarakat dari berbagai wilayah baik bersifat cultural dan religious. - Politik: partisipasi serta keterlibatan perempuan secara aktif dalam dunia politik masih sangat rendah. Meskipun secara data menunjukan keterlibatan perempuan dalam ranah politik, namun keberadaan perempuan masih belum memiliki daya tawar yang kuat. - Ekonomi: Dalam bidang ekonomi juga terlihat adanya kesenjangan yang mecolok pada angka partisipiasi perempuan bagi anak dan perempuan, akses ekonomi, dan akses terhadap lapangan kerja. Perempuan di Kabupaten malang lebih banyak terserap dalam sector pekerja informal baik di dalam maupun luar negeri. b. Kesenjangan berbasis gender di Kabupaten Malang juga masih terjadi pada bentuk tindak KDRT, pelecehan di tempat bekerja, kekerasan oleh majikan, dan sebagainya juga terlihat masih banyak terjadi di Kabupaten Malang. 2.
Masih terdapat anak jalanan dan anak terlantar di Provinsi Yogyakarta, dengan jumlah anak terlantar lebih banyak dari anak jalanan. Baik anak terlantar maupun anak jalanan mayoritas memiliki jenis kelamin.
B. SARAN Dari kajian profil gender pada perempuan dan anak di Kabupaten Malang ini, maka beberapa implikasi kebijakan atau saran yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut: 1. Pentingnya upaya sinergis dan konsiten untuk melaksanakan berbagai kebijakan dalam upaua menghilangkan berbagai ketimpangan gender di masyarkat. Beberapa sasaran program dapat difokuskan pada strategi penghapusan diskriminasi gender sebagai berikut. a. Mengurangi atau bahkan menghilangkan kesenjangan terhadap pemenuhan hak dasar, seperti pendidikan, akses dan kesehatan, akses ekonomi, akses terhadap lapangan kerja, juga akses dalam politik maupun akses social. 157
b. Penghapusan berbagai tindak kekerasan, pelecehan di tempat bekerja, diskriminasi oleh majikan, dan sebagainya dengan penerapan hukum yang sesuai konstitusi dan ramah gender. c. Menghapuskan diskriminasi pengembangan SDM perempuan sebagai modal kesejahteraan bangsa di bidang gizi, pendidikan, dan keterampilan d. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi produktif dan partisipasi dalam ekonomi rumah tangga. e. Dalam bidang social dinas social harus bersinergi lebih luas dan memanfaatkan
lembaga
pendidikan,
lembaga
keagamaan
dan
pendidikan yang tidak hanya milik pemerintah namun dapat bersinergi dengan yayasan social pendidikan misalnya pesantren-pesantren yang ada di kabupaten Malang untuk menangani permasalahan social terutama permasalahan anak-anak nakal, narapidana dan korban penyalahgunaan NAPZA. f. Selain itu, pemberdayaan masyarakat lebih difokuskan pada perempuan mengingat perempuan (berdasarkan data-data yang telah dianalisa pada bagian sebelumnya) di bidang social masih rentan menjadi kelompok yang menjadi korban khususnya dalam kategori Tuna Susila. 2. Perlu pengembangan kapasitas kelembagaan yang secara bersama-sama agar mampu dijadikan sebagai basis upaya pemberantasan tindak diskriminasi gender. 3. Perlu adanya kampanye bebas kekerasan terhadap perempuan di semua bidang kehidupan, baik pada tingkat instansi, individu, rumah tangga, maupun di tingkat masyarakat. Dalam melaksanakan upaya ini, perlu didukung dengan kebijakan yang kondusif dengan diikuti penegakan hukum yang kuat.
158
Daftar Pustaka European Women and Sport,. A New Strategy : Gender Mainstreaming, Paper presented by Teresa Rees at the 5th European Women and Sport Conference in Berlin, April 18th-21st 2002 Hotel Crowne Plaza, Berlin.2002 Donald, Mandy Mc dan Ellen Aprenger, Gender and Organizational Change: Bridging the Gap between Policy and Practice, teij. Insist-Remdec, 1999 Jamilah, Madurese Women‟s Perception on Polygam, Thesis.2005.UIN syarif Hidayatullah Jakarta. Kementrian Negara pemberdayaan Perempuan, Modul Fasilitasi Pelatihan Pengarusutamaan Gender
Bagi
Fasilitator
kategori
Pengembangan, Jakarta:
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2006 Mansour, Fakih, Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996 Mansour Fakih, “Gender Mainstreaming Strategi Mutakhir Gerakan Perempuan” dalam Gender dan Perubahan Organisasi, Menjembatani Kesenjangan Antara Kebijakan dan Praktek, Terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta: INSIST, 1999 Mosse, Julia Cleve, Gender dan Pembangunan, Yogyakarta; Pustaka pelajar dan Rifka Annisa, 2002 Muawanah, Elfi dan Rifa Hidayah, Menuju Kesetaraan Gender, Malang: Kutub Minar, 2006 Saptari Ratna & Brigitte Halzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997 Tim Penulis PSW UIN Syarif Hidayatullah, Pengantar Kajian Gender, Jakarta: PSW UIN SYAHID, 2003 Tim Peneliti PSG UIN Malang, Baseline Study dan Analisis institusional Kesetaraan Gender Di UIN Malang, Malang: Lemlit UIN Malang, 2006 Ilfi Nur Diana, 2002, Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Anggota Dalam Permodalan Dan Pemanfaatan Pelayanan Serta Hubungannya Dengan Keberhasilan Koperasi Wanita Di Kabupaten Pasuruan. Todaro, M.P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Lee, Everet.S. 1966. A Theory of Migration. Geography,3(1). 159
PENGHARGAAN DAN PRESTASI TINGKAT PROPINSI 1. Juara II Program Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat Sejahtera (P2WKSS) Tahun 2010 Tingkat Propinsi Jawa Timur. 2. Juara I GSI Tahun 2011 dari Badan PP dan KB Provinsi Jawa Timur.
TINGKAT NASIONAL 1. Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Kategori Utama Tahun 2000 2. Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tingkat Pratama Tahun 2006 3. Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tahun 2008 4. Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tahun 2009 5. Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tingkat Utama Tahun 2010 6. Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tingkat Pratama Tahun 2011 7. Anugerah Parahita Ekapraya (APE) Tingkat Madya Tahun 2012 8. Penghargaan kepada Kabupaten Malang sebagai Pelaksana Terbaik Pengembangan Kabupaten / Kota Layak Anak Tahun 2009 9. Penghargaan Kabupaten/Kota Layak Anak dari Kementerian PP dan PA Tahun 2012
160
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaratokatuh. Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kenikmatan kelancaran serta rahmatNya yang tak ternilai sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku Data Gender dan Anak Tahun 2012 dengan baik. Dengan memperhatikan dan mempedomani Peraturan Menteri Negara Pemeberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender dan Anak. Data Gender Dan Anak menjadi elemen penting bagi terselenggaranya Pengarusutamaan Gender (PUG) dan Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) yang dapat membantu para pengambil kebijakan memberikan gambaran secara spesifik mengenai situasi dan kondisi perempuan dan laki-laki di Kabupaten Malang, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka Penyelenggaraan PUG dan PUHA serta meningkatkan komitmen Pemerintah Kabupaten Malang dalam penggunaan data gender dan anak dalam perencanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan program/kegiatan yang dilakukan oleh semua SKPD dalam pencapaian pembangunan yang responsif gender. Tersusunnya buku ini merupakan wujud kerjasama yang baik antara Pemerintah Kabupaten Malang dengan Pusat Studi Gender (PSG) Universitas Islam Negeri (UIN) Malik Ibrahim Malang, untuk itu dengan segala hormat dan kerendahan hati disampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang turut serta membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan buku ini. Akhirnya tim penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna dan dengan segala keterbatasan yang ada, maka segala saran, masukan maupun koreksi sangat diperlukan demi sempurnanya penyusunan buku ini dan semoga dapat bermanfaat masyarakat Kabupaten Malang. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KEPALA KANTOR PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK KABUPATEN MALANG
Dra. PANTJANINGSIH SR Pembina Tk.I 161 NIP. 19681207 198809 2 002