BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia salah satu bentuk gangguan jiwa berat, dulu sering dianggap akibat kerasukan roh halus atau ilmu gaib. Akibatnya, pasien sering dikucilkan bahkan dipasung dan diperlakukan tidak manusiawi. Skizofrenia bisa mengenai siapa saja, dari berbagai bangsa, negara, maupun kelompok sosial ekonomi dan budaya. Skizofrenia bisa terjadi karena disebabkan beberapa fase yaitu fase prodromal, fase aktif dan fase residual. Padahal jika diketahui sejak dini dan ditangani dengan baik, gangguan ini bisa diatasi (Kriswandaru, 2006). Pada kenyataannya pasien dengan skizofrenia yang dirawat di rumah sakit jarang dikunjungi oleh keluarganya. Hal ini disebabkan karena keluarga malu ada keluarganya yang menderita penyakit skizofrenia. Padahal, kunjungan keluarga sangat diperlukan oleh pasien skizofrenia guna mempercepat kesembuhan pasien. Prevensi penderita Skizofrenia di Indonesia adalah 0,3 – 1 persen dan biasanya timbul pada usia sekitar 18 – 45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11 – 12 tahun
sudah menderita skizofrenia. Apabila penduduk
Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita Skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas yang di alami di Indonesia, di mana sekitar 99 % pasien di RS jiwa di Indonesia adalah pasien Skizofrenia. Hal ini dikemukakan oleh dr. Danardi Sosrosumihardjo, Sp. KJ dari Kedokteran Jiwa FKUI/RSCM
Republika,
2000 (dalam Arif, 2006). Menurut Pramudya 2005 ada beberapa penyebab munculnya skizofrenia,
diantaranya
(a)
Model
diastesis
stress
yang
mana
mengintegrasikan pada faktor Biologi, Psikososial dan Lingkungan. Seseorang
1
2
mungkin memiliki kerentanan spesifik (diastesis) yang apabila diaktifan oleh pengaruh stress memungkinkan berkembangnya simptom skizofrenia. (b) faktor neurobiologi, dimana penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya kerusakan pada bagian otak tertentu. (c) faktor genetik, penelitian yang dilakukan sekitar tahun 30-an
menunjukkan
seseorang mengalami skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga memiliki gangguan yang sama. (d) faktor psikososial, dimana faktor dari psikologis dan sosial dapat mempengaruhi timulnya skizofrenia seperti individu pasien. Keluarga dan lingkungan sosial. Banyak
faktor
yang mendukung timbulnya skizofrenia
yang
merupakan perpaduan beberapa aspek dan saling mendukung yang meliputi biologis , psikologis, sosial dan lingkungan (environmental) ( Yosep dalam Nevid,2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa berupa gangguan spektrum skizofrenia tampak memiliki kesamaan hubungan genetik (Nevid,dkk,2005). Selain dari faktor genetik ada juga banyak bukti yang menunjukkan bahwa stress (terutama stress dan kecemasan sosial) adalah faktor risiko dan mungkin memicu episode skizofrenia. Sebagai contoh, emosi bergejolak keluarga dan peristiwa kehidupan menegangkan telah dikaitkan sebagai faktor resiko skizofrenia maupun untuk kambuh atau pemicu untuk episode skizofrenia (Schizophrenia.com.2009). Perawatan medis yang diberikan pada penderita skizofrenia biasanya hanya menghilangkan sebagian gejala gangguan ini, namun jarang sekali yang dapat memulihkan kondisi mereka sepenuhnya. Bahkan gangguan ini sering kambuh setelah pasien kembali dari rumah sakit jiwa ke keluarga mereka sehingga suasana rumah menjadi sangat tidak nyaman bagi semua anggota keluarga, khususnya bagi pasien skizofrenia tersebut. Gangguan jiwa Skizofrenia ini dapat ditekan serendah mungkin dengan menciptakan pola komunikasi serta hubungan orang tua anak yang
3
harmonis, orang tua diharapkan menjadi kawan bagi anaknya sehingga permasalahan yang dihadapi seorang anak dapat dideteksi dan diselesaikan secara bijaksana sehingga tidak menyebabkan trauma bagi anak, lingkungan masyarakat juga turut berperan misalkan dengan memberi dukungan pada keluarga penderita sehingga pihak keluarga tidak merasa sendiri menanggung beban. Salah satu faktor yang berperan sangat penting adalah hubungan pasien dengan keluarga. Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang berperan dalam memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan sehat dan sakit pasien. Umumnya keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup merawatnya ( Budi Ana Keliat 96 ). Dalam keluarga terdapat suatu sistem yang berisi sejumlah relasi yang berfungsi secara unik Scharff & Scharff (dalam Arif, 2006). Definisi tentang keluarga tersebut menegaskan bahwa hakikat dari keluarga adalah relasi yang terjalin antara individu yang merupakan komponen dalam keluarganya. Setiap anggota keluarga berhubungan satu sama lain dalam suatu matriks relasi yang kompleks. Dalam relasi yang saling terkait ini, dapat dipahami bahwa bila sesuatu menimpa atau dialami oleh salah satu anggota keluarga dampaknya akan mengenai seluruh anggota keluarga yang lain. Semakin dekat hubungan keluarga biologis, semakin tinggi resiko terkena skizofrenia. Beban dan penderitaan keluarga serta kurangnya pengetahuan menghadapi gejala yang berdampak negatif pada pasien. Seorang pasien skizofrenia seringkali tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari keluarga. Padahal, dukungan dari keluarga merupakan faktor penting yang dapat membantu kesembuhan seorang skizofrenia. Untuk itulah, maka diperlukan penyesuaian diri yang baik dan penerimaan dari pihak keluarga akan keadaan dari pasien skizofrenia.
4
Menurut hasil Penelitian di Inggris (Vaugh dalam Keliat, 1992) dan di Amerika serikat (Snyder dalam Keliat, 1992) memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik) diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan. Hasilnya 57% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi yang rendah. Terapi keluarga dapat diberikan untuk menurunkan ekspresi emosi. Masalah yang dihadapi adalah karena sebagian besar keluarga klien skizofrenia kurang memahami dan pengetahuan tentang perawatan klien skizofrenia masih rendah. Menurut teori Object relations theory dikatakan bahwa kebutuhan akan objek relations adalah kebutuhan paling mendasar bagi manusia, sama mendasarnya dengan kebutuhan akan makanan dan seks Scharff & Scharff, 1991 (dalam Arif, 2006). Seorang pasien Skizofrenia, dengan selfnya yang rapuh, juga mencari Object relations tersebut, Object relation yang pertama dan yang paling penting bagi individu adalah Object relation dengan keluarganya, maka konflik yang dialami Skizofrenia adalah konflik dengan keluarganya. Departemen Kesehatan RI, 1989 (dalam Effendy (1998) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat, terdiri atas kepala keluarga, anggota keluarga lainnya yang berkumpul dan tinggal dalam satu rumah tangga karena pertalian darah dan ikatan perkawinan dan adopsi, satu dengan yang lainnya saling tergantung dan berintraksi. Dimana keluarga ini merupakan orangorang terdekat dengan pasien, setelah pasien keluar dari perawatan medis. Dan keluarga memegang peran penting dalam perawatan pasien lebih lanjut. Disamping itu semua etiologi, patofisiologi dan perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi atau heterogen bagi setiap penderita, sehingga mempersulit diagnosis dan penanganannya. Keadaan seperti ini akan menimbulkan beban dan penderitaan bagi keluarga. Keluarga seringkali
5
mengalami tekanan mental dan gejala yang ditampilkan oleh penderita dan juga ketidaktahuan keluarga menghadapi gejala tersebut. Kondisi inilah yang akan melahirkan sikap dan emosi yang keliru dan berdampak negative pada penderita. Biasanya keluarga menjadi emosional, kritis dan bahkan bermusuhan yang jauh dari sikap hangat yang dibutuhkan oleh penderita (Irmansyah dalam Sirait, 2006) diakses 18 Juni 2012. Tidak jarang kita temui para keluarga yang salah satu anggota keluarganya
menderita
skizofrenia
mengucilkan
penderita,
tidak
mempedulikan kondisi dan keadaan si penderita. Keluarga hanya memasukkan penderira ke dalam Rumah Sakit Jiwa kemudian membiarkan penderita berada di rumah Sakit Jiwa dalam rentang waktu yang sangat lama, bahkan ada diantara penderita sampai meninggal di Rumah Sakit Jiwa. Bagi mereka memiliki anggota keluarga yang skizofrenia merupakan sebuah aib yang akan menimbulkan malu bagi nama baik keluarga tersebut, dan memasukkan penderita ke dalam Rumah Sakit Jiwa untuk menjauhkan dari orang yang mengetahui penderita mengalami gangguan skizofrenia adalah salah satu keputusan terbaik, dan hal ini sangat disayangkan. Jarang sekali keluarga yang mempedulikan anggota keluarganya yang menderita skizofrenia. Padahal dukungan dari keluarga merupakan faktor terpenting yang dapat membantu kesembuhan seorang skizofrenia. Disisi lain, hasil penelitian sebelumnya, yakni berkaitan dengan dukungan sosial dari keluarga dalam pencegahan rilaps pada skizofrenia yang dilakukan oleh Febri (2011) ialah, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga terhadap tingkat kekambuhan skizofrenia. Hasil penelitian di atas didukung dengan adanya pemaparan dari dr. Darmadi dari Klinis Jiwa Dharma Mulia surabaya, mengungkapkan bahwa penderita skizofrenia sangat membutuhkan biaya perawatan yang tinggi, tetapi penderita skizofrenia tidak hanya membutuhkan itu melainkan dukungan
6
keluarga, bentuk dukungan sosial dari orang tua sangat membantu proses pemulihan dari penderita skizofrenia. Pada dasarnya keluarga terutama orang tua, memiliki andil yang cukup besar dalam proses penyembuhan. Lamb (1990) menjelaskan bahwa dalam konteks keluarga ibu dan ayah mempunyai peran yang berbeda namun saling mendukung. Arif (2006) mengatakan kepribadian individu terbentuk di dalam matriks keluarga. Keluarga adalah “rahim” tempat hidup dan berkembangnya kepribadian para anggotanya. Relasi antara anggota keluarga merupakan relasi yang intim. Prototip dari relasi ini adalah relasi antara ibu dan anak. Yang dimaksud dari figur ibu tidak harus berarti ibu kandung individu, melainkan figur caretaker yang menjalankan fungsi mothering bagi anak. Jadi, bisa saja yang menjadi“ibu”bagi anak adalah ayahnya, neneknya, tantenya atau gabungan beberapa orang signifikan itu. Pemberian dukungan sosial yang diberikan orang tua pada penderita agar kemampuan sosialisasi dan keterampilan komunikasi anak dapat berkembang secara optimal sebagai bekal untuk hidup bersama dalam masyarakat,
karena hanya
dari
dukungan
tersebutlah
yang mampu
memberikan pengaruh besar dalam kehidupan anak. Menurut Saronson dkk ( dalam Suhita, 2005) dukungan sosial memiliki peranan penting untuk mencegah dari ancaman kesehatan mental. Individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih kecil, lebih memungkinkan mengalami konsekuensi psikis yang negatif. Keuntungan individu yang memperoleh dukungan sosial yang tinggi akan menjadi individu lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa yang akan datang, lebih terampil dalam memenuhi kebutuhan psikologi dan memiliki sistem yang lebih tinggi, serta tingkat kecemasan yang lebih rendah, mempertinggi interpersonal skill (keterampilan interpersonal), memiliki kemampuan untuk
7
mencapai apa yang diinginkan dan lebih dapat membimbing individu untuk beradaptasi dengan stress. Sebagaimana kasus yang peneliti dapatkan, Yakni subyek berinisial F, telah mendapatkan pengobatan sejak berumur 18 tahun , ketika di wawancara pasien terlihat malu dan menjawab dengan baik, wawancara dibantu oleh kakak pasien, pasien terlihat baik dan tidak ada gangguan dalam menjawab walaupun menjawab dengan malu-malu, kemudian menurut kakak pasien , ketika SMA pasien pernah ditinggal kawin pacar pasien, karena kejadian itu pasien sering menangis dan mengurung diri, tidak mau makan, hanya ingin didalam kamar, tidak mau keluar kamar, diam saja, dan menangis, kemudian pasien di bawa berobat secara teratur, kini pasien terlihat baik dan tidak mempunyai kelainan yang berarti dan dapat menjalani kehidupan dengan normal. Selama 9 tahun berobat teratur ke dokter specialis jiwa . Kekambuhan pasien juga berkurang sejak 2 tahun yang lalu. Kesembuhan pasien karena dukungan dari semua anggota keluarga, dan pengobatan secara teratur. kini pasien terlihat baik dan tidak mempunyai kelainan yang berarti dan dapat menjalani kehidupan dengan normal. Selama 9 tahun berobat teratur ke dokter specialis jiwa . Kekambuhan pasien juga berkurang sejak 2 tahun yang lalu. (drlizahidup.blogspot.com.) diakses 29 november 2011). Berbeda lagi
ketika penderita skizofrenia tidak diberikan bentuk
dukungan sosial dari keluarga. Penderita akan sulit mengakui dirinya ada dan berharga untuk orang lain dan dirinya sendiri. Menurut Dunkell-Schheff 1987 (dalam c.Abraham dan E.Shanley, 1997) dukungan sosial itu meliputi ekspresi perasaan
positif,
termasuk
menunjukkan
perasaan
bahwa
seseorang
diperlakukan dengan rasa penghargaan yang tinggi. Disini kita bisa lihat bahwa, bila tidak ada dukungan sosial yang diberikan orang tua pada anak yang memerlukannya, maka anak tersebut akan sulit mengakui dirinya ada dan berharga untuk orang lain dan dirinya sendiri. Sebagai contoh kasus yang
8
terjadi pada kasus Ishak dalam buku Arif (2006), Ishak dilahirkan di keluarga yang berkecukupan, Ishak tidak kekurangan apapun secara fisik, semua keinginan dipenuhi. Bahkan sebagai anak laki-laki pertama, mungkin Ishak mendapatkan segala sesuatu yang berlebih. Namun karena situasi dalam keluarga, tampaknya Ishak kurang terperhatikan. Kondisi ini menjadi predisposisi perkembangan kepribadian Ishak menjadi lemah dan cendrung narcissitic (seseorang merasa tidak membutuhkan orang lain). Selain contoh kasus yang telah dipaparkan, peneliti juga mendapatkan subyek penelitian yakni IM, yang memiliki anak angkat menderita skizofrenia, Dari pemaparan pengelolah tempat anak angkat dirawat, anak kurang mendapat dukungan keluarga. fenomena diatas mengandung sebuah arti, jika anak kurang mendapat dukungan keluarga bagaimana anak mampu melewati permasalahannya. Fenomena yang lainnya, yakni subyek kedua adalah DM, yang juga memiliki saudara tiri menderita skizofrenia. Permasalahan yang dihadapi oleh saudara tirinya hampir sama dengan fenomena yang dialami oleh IM yang juga kurang mendapat dukungan keluarga. Fenomena yang lainnya, yakni subyek yang ketiga adalah ST, yang memiliki saudara kandung menderita skizofrenia. Permasalahan yang dialami ialah subyek jarang menjengguk penderita saat subyek berkunjung ke tempat saudara kandungnya dirawat. Subyek hanya membawakan keperluan saudara kandungnya kepada pengelolah Yayasan. Sehingga dari sinilah dapat dimunculkan sebuah pertanyaan sederhana bagaimana bentuk dukungan dari keluarga yang diberikan agar anak atau saudara yang menderita skizofrenia mampu melewati permasalahannya. Dukungan
yang
dimiliki
oleh
seseorang
dapat
mencegah
berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Seseorang dengan
9
dukungan yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibandingkan dengan yang tidak memiliki dukungan (Taylor, 2003). Berdasarkan
pemaparan
diatas
dapat
diketahui
bahwasannya
dukungan pada penderita skizofrenia, yang diberikan oleh keluarga sangatlah penting terutama dukungan sosialnya. Karena hanya dari dukungan tersebutlah yang mampu memberikan pengaruh besar dalam proses penyembuhan pada penderita skizofrenia. Mengacu pada beberapa fenomena diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai bagaimana bentuk dukungan sosial yang diberikan dari keluarga pada penderita skizofrenia. B. Rumusan Masalah Bagaimana bentuk dukungan sosial dari keluarga pada penderita skizofrenia? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui bentuk-bentuk dukungan sosial dari keluarga pada penderita skizofrenia. D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Dalam penelitian ini, diharapkan mampu untuk memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan Ilmu Psikologi, khususnya Psikologi di bidang Klinis.
10
2. Secara Praktis Dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan masukan bagi para keluarga yang memiliki sanak keluarga penderita skizofrenia yang memerlukan kebutuhan khusus guna membantu mengatasi hambatan-hambatan dalam proses belajar yang dialami oleh anak, baik dirumah maupun dilingkungan sekitar, agar kemampuan sosialisasi dan keterampilan komunikasi anak dapat berkembang secara optimal sebagai bekal untuk hidup bersama dalam masyarakat.