BAB I PENDAHULUAN The essential of relationship is becoming, not finding -Monita Tahalea, 2015-
A. Latar belakang Audiens media merupakan elemen penting dari sebuah proses komunikasi massa yang melibatkan penggunaan media didalamnya. Audiens menjadi pihak yang menentukan keberhasilan dari suatu pesan komunikasi. Sebagus apapun pesan yang termuat dalam suatu media, akan menjadi tidak berarti ketika audiens tidak mampu memaknainya sehingga tujuan dari suatu pesan menjadi tidak tercapai1. Audiens sebagai massa adalah salah satu pandangan dari berbagai macam pandangan mengenai audiens. Pandangan ini menekankan ukurannya yang besar, heterogenitas, penyebaran dan anonimitas, lemahnya organisasi sosial serta komposisinya yang berubah dengan cepat dan tidak konsisten. Sumber dari keberadaannya adalah media, sehingga dalam tipologi formasi audiens, disebut sebagai audiens medium2. Ada berbagai macam media yang mendasari terciptanya audiens medium seperti film, surat kabar, majalah, televisi, bahkan novel. Tiap-tiap audiens dalam suatu jenis media tersebut memiliki karakteristiknya masing-masing. Novel sebagai salah satu media komunikasi memiliki audiens yang disebut pembaca atau readers. Pembaca sebagai audiens novel memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan eksistensi novel, terlebih dengan kemunculan novel populer. Berdasarkan jenisnya, novel dibagi menjadi 2 yaitu novel sastra dan novel 1
2
Fadlina, Rifki Amalia. 2012. Khalayak dan Kritik sosial dalam Musik. Yogyakarta: Fisipol UGM. McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
1
populer. Novel sastra merupakan novel yang disoroti dan diungkapkan sampai ke inti hakikat kehidupan yang bersifat universal dan memiliki nilai sastra yang tinggi (Nurgiyantoro, 2010: 18-19) sementara novel populer merupakan novel yang sengaja ditulis untuk selera populer, kemudian dikemas dan dijajakan sebagai ‘bacaan populer’ sehingga banyak penggemarnya (Nurgiyantoro, 2010: 17-18). Novel populer dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh massa, yang dalam hal ini adalah pembaca. Pembaca menjadi hal yang penting bagi perkembangan novel populer karena salah satu sifat dari sastra populer adalah komersial3, dimana sebutan ini diberikan untuk novel-novel yang mendapatkan antusiasme tinggi dari pembaca saat novel tersebut diluncurkan4. Besarnya massa pembaca yang terbentuk karena suatu novel dapat dilihat dari angka penjualan novel dan angka cetakan ulang. Artinya, melalui angka penjualan, gambaran seberapa banyak suatu novel dibaca dapat terukur, walaupun tidak selamanya menjadi ukuran mutlak karena bisa saja seseorang membaca novel tanpa melakukan pembelian. Angka penjualan itu berbanding lurus dengan angka cetakan ulang. Artinya, semakin tinggi angka cetakannya, maka semakin tinggi juga angka penjualannya. Suatu novel mengalami cetak ulang karena jumlah permintaan pembelian mengalami peningkatan sementara stok di pasaran semakin menipis. Dalam penjualan novel, dikenal istilah best seller. Sebuah buku akan masuk kategori best seller jika angka penjualannya mampu mencapai 50 ribu eksemplar pertahun 5 . Keberhasilan sebuah novel meraih kategori ini dapat berimbas pada beberapa hal diantaranya melejitnya nama pengarang, royalti, adaptasi menjadi sebuah film hingga memunculkan kelompok/ komunitas pembaca setia novel atau
3
Yuliyono. 2011. Novel Metropop Kebaruan dalam Novel Populer dalam http://www.goodreads.com/topic/show/675438-novel-metropop-itu-apaan-sih diakses pada 7 Juni pukul 20: 38 4 NN. 2014. Perbedaan Ciri Novel Populer dengan Novel Serius dalam http://www.bimbingan.org/cirinovel-populer.htm diakses pada 7 Juni 21: 07 5 Novianto, Hedi. 2012. Ini Syarat Buku Jadi Bestseller dalam http://beritagar.com/p/ini-syarat-bukujadi-best-seller diakses pada 29 Mei 11: 37
2
fans book club. Namun demikian, kategori best seller juga bisa menjadi sekedar teknik pemasaran oleh penerbit untuk membuatnya laku keras6. Fenomena kemunculan novel populer dan pembacanya tak lepas dari kaitannya dengan kebudayaan populer. Kebudayaan ini muncul sebagai alternatif lain dari bentuk reproduksi massal (Mahayana, 2005:320) sehingga massa menjadi bagian penting bagi keberlangsungan budaya tersebut. Budaya popular (atau sering disebut budaya massa) merupakan sebuah budaya baru yang lebih atraktif, fleksibel, mudah dipahami, dan memiliki dinamika penyebaran yang sangat cepat sehingga disukai banyak orang7. Budaya ini sering dikaitkan sebagai budaya kapitalis yang sengaja dibuat untuk kepentingan pasar dan menciptakan sebuah trend8. Media memproduksi dan mendiseminasikan budaya massa melalui isi atau kontennya. Penelitian yang menggunakan objek novel, di kajian komunikasi sendiri masih jarang dilakukan karena novel belum sepenuhnya diterima sebagai kajian komunikasi. Namun akhir-akhir ini, muncul riset-riset komunikasi yang mengkaji teks novel sebagai medium penghantar sebuah kebudayaan populer. Selain itu, novel juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pembacanya, baik dalam level emosi maupun gagasan yang dibawa dalam cerita. Sementara itu, riset media novel dalam perspektif audiens komunikasi belum banyak dilakukan. Riset audiens novel hanya dilakukan dalam perspektif sastra, yang kebanyakan meresepsi unsur-unsur kesusasteraan seperti karakter, plot, ataupun pesan moral tanpa mempertimbangkan faktor yang mempengaruhi audiens dalam melakukan resepsi. Faktor-faktor tersebut dalam perspektif komunikasi menjadi penting karena berpengaruh terhadap penerimaan audiens terkait teks tertentu.
6
Ompedia. 2013. Apa dan Bagaimana Novel Bestseller dalam http://www.sipedia.com/2013/11/apa-dan-bagaimana-novel-bestseller.html diakses pada 29 Mei 11:47 7 Imanto, Teguh. 2012. Budaya Populer dan Realitas Media dalam http://www.esaunggul.ac.id/article/budaya-populer-dan-realitas-media/ diakses pada 31 Maret 07: 23 8 Rahmanto, Andre. 2009. Media dan Budaya Populer dalam http://www.slideshare.net/andreyuda/media-dan-budaya-populer diakses pada 31 Maret 07: 31
3
Riset resepsi dalam kajian komunikasi, lebih banyak menyasar audiens TV, film, iklan bahkan musik yang dinilai lebih massif menjangkau khalayaknya. Misalnya, dalam riset berjudul Pluralisme Sang Pencerah, dimana peneliti mengelompokkan penerimaan audiens terhadap berbagai macam bentuk pluralisme, yang ternyata mengalami perbedaan walaupun audiens sama-sama berasal dari warga Muhammadiyah9. Ataupun riset mengenai Khalayak dan Kritik Sosial dalam Musik, yang mana pendengar (audiens) tidak semuanya menerima kritik sosial yang disampaikan dalam lagu. Novel sebagai budaya massa memiliki nilai jual yang terkandung dalam konten cerita dan kemasannya. Industri penerbitan novel dalam hal ini adalah pihak yang berperan menciptakan dan menyebarkan budaya massa melalui cerita dalam novel. Dalam konteks novel populer sebagai novel yang memiliki pembaca dalam jumlah besar, cerita itu didominasi oleh tema-tema percintaan (Sumardjo, 1995: 18). Survei dalam komunitas Goodreads Indonesia sebagai komunitas baca terbesar di Indonesia memperlihatkan bahwa novel yang berada dalam tangga best seller dan populer di Indonesia di dominasi oleh novel-novel romantis. Novel-novel tersebut terbagi dalam beberapa sub genre, seperti genre teenlit (percintaan remaja), genre chick-lit atau metropop (percintaan dewasa metropolis), genre percintaan fantasi, dsb. Diantara sub genre tersebut, muncul sub genre percintaan yang cenderung baru di Indonesia, yaitu percintaan yang dibalut Science Fiction (fiksi ilmiah) berjudul Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh karangan Dewi Lestari (Dee). Terbit pada Februari 2001 dengan judul Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, Supernova seri pertama ini membangkitkan kelesuan literatur sastra Indonesia karena mengangkat kombinasi genre yang baru yaitu roman sains fiction sehingga mampu menembus angka penjualan hingga 12 ribu eksemplar dalam waktu 35 hari10. 9
Wijayanthi Patriot Graha Taruna. 2010. Pluralisme Sang Pencerah dalam Dyna Herlina (ed). Konsumsi & Negosiasi Penonton: Bunga Rampai Penelitian Khalayak 2. Yogyakarta: Rumah Sinema. Hlm 23-47. 10 Juara Buku. 2013. Biografi Dewi ‘Dee’ Lestari dalam http://www.juarabuku.com/newsdetail_biografi-dewi-dee-lestari.html diakses pada 31 Maret 08: 53
4
Pada April 2001, novel ini sudah memasuki angka cetakan yang ketiga11. Hingga kini, berselang 14 tahun kemudian, Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh sudah memasuki angka cetakan ke 7 dengan total cetakan 103 ribu eksemplar12. Tingginya penjualan novel yang dibarengi dengan kemunculan sekuel supernova lain berjudul, Akar (2002), Petir (2004), Partikel (2012) dan terakhir pada oktober 2014 lalu muncul sekuel ke 5, Gelombang (2014) menarik Sunil Soraya untuk mengangkat novel sekuel Supernova pertama ke layar lebar. Pada Desember 2014 lalu, film Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh muncul mewarnai belantika perfilman nasional. Momen ini mengajak pembaca Supernova untuk ‘mengingat’ kembali roman fiksi ilmiah yang terbit pada 2001 lalu. Genre roman fiksi ilmiah dalam novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, mengemas cerita romantika dengan menambahkan elemen sains, filsafat dan spiritualitas. Beberapa testimoni dari pembaca menyebutkan bahwa novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh merupakan karya sastra intelektual, mampu melakukan penelusuran nilai lewat sains, spiritualitas dan percintaan yang cerdas13. Ini menjadikan novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh banyak dikatakan pembaca sebagai novel yang ‘berat’. Dewi Lestari sendiri sebagai pengarangnya pun mengatakan bahwa segmen pembaca yang dibidiknya untuk novel ini adalah mahasiswa. Pengemasan cerita cinta secara ‘intelek’ tersebut kemudian menyamarkan unsur dramatisme yang biasanya ditonjolkan oleh kebanyakan novel romance. Jika kebanyakan novel romance didominasi oleh pembaca perempuan, novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh yang dikemas dalam sub genre fiksi ilmiah ini membuatnya juga diburu oleh pembaca laki-laki.
11
http://www.pantau.or.id/?/=d/24 Setiadi, Agus. 2014. Mata Baca, Self Pubishing dalam http://deeinterview.blogspot.com/2014/12/mata-baca-self-publishing-februari-2007.html diakses pada 31 Maret 09:09 13 Testimoni pembaca dalam novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh edisi II cetakan keenam pada Desember 2014. 12
5
Satu hal lain yang menarik mengenai novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh adalah eksistensinya di benak pembaca. Sudah sejak 2001 lalu novel Supernova: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh dilempar ke pasaran, namun sampai 2015 ini masih terus mengalami reproduksi cetakan dengan sampul, ukuran dan jenis kertas yang baru. Reproduksi cetakan nobel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh membuktikan kepopuleran Supernova di jamannya mampu bertahan hingga saat ini. Posisi novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh sebagai media populer (yang ditandai dengan tingginya jumlah pembaca) menjadi alasan peneliti untuk mengetahui pembacaan readers terhadap relasi romantis yang dikemas dalam cerita romance bernuansa fiksi ilmiah. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi. Pertama, cerita romantis dalam Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh dikemas dengan cerdas dalam nuansa ilmiah. Ini menarik pembaca laki-laki, dimana novel roman pada umumnya dikonsumsi oleh pembaca perempuan. Kedua,
novel
Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh sudah bertahan selama 14 tahun dalam sirkulasi pemasaran novel di Indonesia. Sebuah angka yang menggambarkan waktu kebertahanan cukup lama, hingga kemudian pada Desember 2014 lalu novel tersebut diangkat ke dalam layar perfilman. Pembacaan terhadap romantisme akan menjadi menarik, bagaimana pembaca muda di awal 2000 membaca roman tersebut, dan pembaca di era 10 tahun kedepannya membaca romantisme ala tahun 2000 an. Gap Generation disini memungkinkan terjadinya sebuah pemaknaan yang berbeda. Alasan ketiga, mengenai persoalan pembacaan romance yang berimas pada dua akibat, positif dan negatif. Sebagai tema yang mendominasi novel populer, romantisme kebanyakan disajikan layaknya komoditas, ditujukan untuk membuat pembaca merasakan kepuasan emosi karena memperoleh akhir cerita yang bahagia 14 . Hal itu berusaha dihadirkan baik oleh penulis maupun penerbit dengan tokoh-tokoh yang 14
Romance Writer of America. About the Romance Genre. Dalam https://www.rwa.org/p/cm/ld/fid=578 diakses pada 21 April 06: 59
6
mengesankan dan berada dalam tataran ideal baik fisik, karier maupun kepribadian. Selain itu cerita mengenai romantisme juga dirancang untuk menarik emosi pembaca baik dengan konflik maupun akhir yang menggembirakan yang bahkan terkadang tidak masuk akal (sangat jarang terjadi dalam realita). Cerita yang dirancang demikian menimbulkan dua akibat, positif dan negatif. Dalam Penelitian berjudul Membaca Novel The Notebook, diceritakan bahwa pembaca novel romance tersebut menginterpretasikan cerita dalam novel sebagai sesuatu yang menginspirasi dan memotivasi bahwa cinta sejati benar-benar ada. It gives them understanding that they do not need to give up with their love15. Akibat positif lain dari pembacaan romance, cerita tentang relasi romantis memberikan nilainilai dan pembelajaran yang membantu untuk mengatasi persoalan terkait relasi. Hal itu diungkapkan oleh Debby Then, bahwa menurutnya jauh lebih mudah bagi pasangan untuk mendiskusikan perselingkuhan dua orang yang mereka tonton di layar bioskop dibanding membicarakan perselingkuhan yang terjadi dalam pernikahan mereka sendiri16. Namun disisi yang lain, kebiasaan membaca novel romance dinilai mampu memberikan pandangan yang tidak realistis pada wanita tentang apa yang diharapkan dari sebuah hubungan terutama romantisme17. Hal itu ditegaskan pula oleh Mellisa Pritchard, cerita novel yang dikonstruksi sedemikian rupa untuk menarik perhatian pembaca disatu sisi dapat membahayakan pemikiran dan ekspektasi pembaca tentang romantisme yang ideal18. Ketiga alasan diatas menjadi dasar mengapa peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini. Secara lebih jauh, penelitian ini juga berusaha melihat bagaimana 15
Roifah, Miftahur. 2014. Reading The Notebook By Nicholas Sparks: The Effects of Popular Romance Novel Readership on Woman. Yogyakarta: UGM 16 Then, Debby. 2008. Kisah-kisah Perempuan yang Bertahan dalam Perkawinan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Hlm 146 17 Naibaho, Juang. 2011. Waspada! Novel Romantis Rusak Kesehatan dan Relasi dalam http://www.tribunnews.com/kesehatan/2011/07/20/waspada-novel-romantis-rusak-kesehatan-danrelasi diakses pada 29 April 23:31 18 Hall, Melissa Mia. 2004. Wickedly Savage Passions. Publishers Weekly.
7
faktor-faktor lain seperti latar belakang pembaca, pengalaman romantisme pembaca, habit pembacaan romance, tingkat pendidikan dan berbagai faktor lain akan turut mempengaruhi bagaimana resepsi mereka terhadap relasi romantis dalam novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. B. Rumusan Masalah Bagaimana resepsi pembaca terhadap relasi romantis dalam novel Supernova: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis resepsi (interpretasi atau pemaknaan) pembaca terkait relasi romantis pada novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui resepsi pembaca terhadap relasi romantis pada novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh.
E. Kerangka Pemikiran 1. Audiens Aktif Dalam perkembangannya, terdapat 2 macam pandangan besar untuk melihat khalayak yaitu secara pasif dan aktif. Croteau & Hoynes (2003: 266-269) menjelaskan bahwa konsep khalayak aktif dan selektif merupakan langkah maju dalam mempercayai bahwa manusia pada dasarnya memiliki intelegensi dan otonom, sehingga mereka memiliki kekuasaan dan agency dalam menggunakan media. Pandangan mengenai khalayak aktif pada dasarnya merupakan perlawanan terhadap semua dominasi ideologis mengenai khalayak pasif. Pandangan ini melihat adanya kekuatan pada individu dalam menginterpretasikan pesan media.
8
Konsep ini didukung teori bahwa media tidak mampu untuk menentukan secara pasti apa yang seseorang pikirkan dan bagaimana harus bersikap, karena manusia bukanlah makhluk bodoh yang tidak tahu bagaimana harus bersikap19. Keaktifan khalayak dalam menggunakan media tidak hanya sebatas pada proses menginterpretasikan pesan media tetapi mampu memanfaatkan pesan tersebut secara sosial. Croteau dan Hoynes dalam Media Society, menjelaskan empat poin yang menjadi ukuran khalayak aktif. Pertama, interpretasi. Interpretasi merupakan kondisi aktif seseorang dalam proses berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejhon, 1999:199). Interpretasi merupakan aktifitas pertama karena isi pesan selalu berubah sesuai kontruksi khalayak masing-masing. Interpretasi terjadi ketika pesan media perlahan mulai bermakna bagi khalayak sekaligus juga menjadi asal muasal kesenangan, kenyamanan, ketertarikan dan intelektual lain yang lebih luas. Kedua, konteks sosial dari interpretasi. Maksudnya, dalam tataran ini khalayak aktif memiliki kemampuan untuk menafsirkan pesan media dalam lingkup bermasyarakat. Khalayak mampu menggunakan pesan media dan menariknya dalam perspektif sosial. Ketiga, Collective action. Dalam hal ini, audiens bisa dikatakan aktif ketika audiens mengatur tindakan secara kolektif untuk membuat tuntutan formal pada produser media atau regulator. Audiens dalam hal ini berusaha untuk mengubah text media atau kebijakan-kebijakan media yang dinilai merugikan dirinya dan masyarakat luas. Aksi kolektif tersebut dapat meliputi protes yang dilakukan oleh publik, kampanye publik untuk menyebarkan kemarahan publik, petisi online dsb. Keempat,
Audiences as media producers. Audiens aktif mampu
memproduksi dan mendistribusikan media yang mereka buat sebagai bentuk kritik terhadap media mainstream serta menyediakan perspektif alternatif. Di era digital, peluang audiens untuk menjadi produser media meluas, karena internet 19
Dinnar, Lathifa. 2011. Metroseksualitas Dalam Iklan : Analisis Resepsi Khalayak terhadap Iklan Vaseline Men di Televisi. Yogyakarta: Fisipol UGM. Hlm 18
9
menyediakan banyak platform yang memerdekakan audiens untuk memproduksi teks mereka sendiri, baik dalam blog, forum online, media sosial, dsb. Contoh kongkrit, misalnya audiens media melakukan posting di blog, twitter, menulis di Wikipedia, mengunggah foto dan video baik dalam youtube ataupun media sosial sebagai bentuk tanggapan terhadap produk media yang mereka akses. Audiens aktif dalam penelitian ini merujuk pada audiens media cetak khususnya novel. Merujuk pada ciri audiens aktif yang diungkapkan Croteau & Hoynes, aktif dalam konteks audiens novel diartikan mampu memiliki interpretasi akan pesan-pesan media, menggunakannya dalam konteks sosial dan menjadi produser atas respon terkait pesan media tertentu.
2. Media Effect Media massa memiliki pengaruh. Studi terkait efek media berkaitan erat dengan studi mengenai khalayak media, karena khalayak merupakan sasaran dari pengaruh pesan media tersebut. Tabel dibawah ini menjelaskan perkembangan studi khalayak dalam komunikasi massa.
Tabel 1.1 Studi Khalayak dalam Komunikasi Massa
Mulai Kata kunci Fokus
Khalayak dilihat sebagai Tokoh
Tradisi Penelitian Komunikasi Massa 1930 Efek Media Efek isi media massa pada sikap publik
Uses and Studi Reception Gratifications Research 1960 1970 Kebutuhan Makna Penggunaan media Hubungan massa untuk antara isi media memenuhi massa dan kebutuhan khalayak khalayak
Media Ethnography
1985 Rutinitas Rutinitas penggunaan media massa dalam kehidupan sehari-hari Sasaran yang Khalayak sebagai Khalayak Khalayak pasif pengguna media sebagai aktif sebagai aktif yang aktif interpreter consumer Paul Lazarfeld McQuail Morley, Ang Lill, Silverstone
Sumber: (Lyytikainen dalam Hadi, Ido Prijana hlm 3) 10
Dalam tabel tersebut, terlihat perubahan studi terkait efek media massa karena perubahan karakter khalayaknya, mulai dari passif (tak berdaya terhadap pesan media dan menerima sepenuhnya) hingga khalayak aktif (aktif menggunakan, aktif menginterpretasi dan aktif mengonsumsi). Gagasan mengenai pengaruh media, hingga kini masih terus mengalami perkembangan. McGuire dalam Wallbott (1996) menyimpulkan bahwa secara umum pengaruh media massa kecil, walau bisa dipastikan juga bahwa pasti ada efeknya. Potter (2012:85) setidaknya menyebutkan enam tipe pengaruh media massa pada individu yang meliputi pengaruh physiological (psikologis), cognitive (kognitif), belief (kepercayaan), attitude (sikap), affective (emosional) dan behavioral (perilaku). Dalam teori Uses and Gratifications, dijelaskan bahwa khalayak aktif menggunakan media yang berorientasi pada tujuan (West & Turner, 2008:104). Ini dapat dipahami, bahwa tiap audiens aktif memilih menggunakan media tertentu untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Kebutuhan itu merupakan kebutuhan yang mampu dicukupi media massa, seperti informasi, edukasi, persuasi dan hiburan. Dalam memenuhi fungsi hiburan (fungsi media dalam konteks penelitian ini) khalayak seringkali memilih media-media fiksi seperti film, drama televisi hingga novel. Media fiksi, novel khususnya, menawarkan hiburan berupa cerita-cerita fiktif yang memiliki tujuan utama untuk memuaskan emosi pembacanya. Dalam perspektif komunikasi, cerita ini menjadi penyalur sebuah kebudayaan populer dan berfungsi sebagai salah satu media komunikasi massa yang dapat menghibur audiensnya (dalam hal ini adalah pembaca atau readers). Pada praktiknya, orang sering sekali membaca novel fiksi untuk memenuhi beberapa tujuan. Menurut Stokmans (2003) ada 3 hal yang membuat seseorang membaca bacaan fiksi. Pertama, self-development (pengembangan diri), berhubungan dengan sikap pembaca untuk mencari pengetahuan tentang cara meraih kesuksesan, cara 11
menjalani kehidupan atau untuk mengetahui cara menghadapi orang lain. Kedua, enjoyment (kesenangan), berhubungan dengan sikap pembaca yang membaca bacaan fiksi untuk memasuki dunia baru dan mendapatkan pengalaman dari cerita petualangan yang ada dalam bacaan fiksi tersebut. Ketiga, escape (pelarian) berhubungan dengan sikap pembaca yang membaca bacaan fiksi sebagai pengalihan atau hiburan untuk melupakan masalah yang sedang dihadapi. Penelitian terbaru mengenai manfaat positif membaca cerita fiksi menyebutkan bahwa membaca novel fiksi mampu meningkatkan secara temporer apa yang dikenal sebagai Theory of Mind atau kemampuan untuk berimajinasi dan memahami kondisi-kondisi mental orang lain yang meliputi rasa empati, persepsi sosial dan kecerdasan emosional20. Dalam praktik membaca tersebut, umumnya readers akan mengalami emotional triggering (perubahan emosi) sebagai respon atas cerita yang dibacanya. Dalam 6 macam pengaruh media massa yang diungkapkan oleh Potter, pengaruh ini termasuk dalam affective effect. Perubahan emosi ini meningkat ketika audiens atau readers mengalami fase transported. Transportation is the condition of being swept away with the action and feeling that you are in the story itself, as you lose the sense that you are a part of the audience rather than part of the action inside the story. This sense of transportation is what all fictional storytellers hope to achieve. (Potter, 2012: 203) Hubungan yang terjadi antara teks dan pembaca tersebut disebut Corna & Troilo (2005) sebagai pengalaman tipe perendaman yakni pembaca sendiri hidup didalam cerita tersebut dan berurusan dengan dunia yang diwakili oleh novel. Beberapa artikel menyebutkan bahwa membaca novel, novel bergenre romance terutama, seringkali mengakibatkan seseorang menjadi tidak realistis dalam menemukan cinta sejatinya atau memiliki idealisme tinggi. Hal itu terjadi karena 20
Kidd, David Comer & Castano, Emanuele. 2013. Reading Literary Fiction Improves Theory of Mind. Jurnal Science, 3 Oktober 2013.
12
pembaca terlalu larut dalam emosi cerita, sehingga idealisme tokoh menjadi idealisme pembaca. Fenomena ini tentu saja tidak dapat digeneralisasikan terjadi pada semua pembaca. Potter (2012: 1999) menjelaskan bahwa selain faktor dalam pesan atau teks media, faktor dalam diri audiens sendiri juga mempengaruhi timbulnya efek tertentu. Faktor internal dalam diri audiens menyebabkan pesan dalam teks cerita fiktif memberikan efek yang berbeda antarsatu pembaca dengan pembaca yang lain. Dalam kajian Psikologi Media, dibahas mengenai bagaimana pesan dalam media massa mempengaruhi perilaku masyarakat. Terkait dengan bagaimana pesan yang sama bisa mendatangkan pengaruh yang berbeda pada tiap-tiap audiens, Albert Bandura (1925) mencetuskan teori tentang Self Regulation (Regulasi diri). Regulasi diri membatasi pengaruh-pengaruh pesan dalam media massa untuk diri nya. Semakin seseorang memiliki regulasi diri yang baik, semakin ia mampu mengambil pesan positif yang relevan untuk dirinya. Self Regulation sendiri dideskripsikan oleh Bandura sebagai tugas seseorang untuk mengubah respon-respon, seperti mengendalikan impuls perilaku (dorongan perilaku), menahan hasrat, mengontrol pikiran dan mengubah emosi21. 3. Novel sebagai media massa dan pop culture Novel merupakan salah satu produk sastra yang juga mampu berperan aktif sebagai media massa. Hal ini tak lepas dari kelebihan novel yang dapat memberikan pengaruh cukup besar kepada pembacanya 22 .Novel sesuai isinya mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, ataupun dapat mencetuskan suatu peristiwa tertentu. Membaca
21
Faldi, Fazrian. 2013. Psikologi Area: Regulasi Diri dalam http://fazrianfaldi.blogspot.com/2013/02/regulasi-diri.html diakses pada 10 Juli 10: 20 22 Pradita, Melinda. 2014. Konstruksi Perempuan Jawa dalam Novel Populer (Analisis Narasi Konstruksi Perempuan Jawa dalam Novel Trilogi Fira Basuki: Jendela-Jendela, Pintu, Atap). Yogyakarta: UGM. Hlm 1
13
novel merupakan proses komunikasi yang membutuhkan pemahaman yang sangat luas. Novel juga merupakan salah satu media massa yang dapat memberikan masukan dan pengaruh besar bagi masyarakat. Seseorang menggunakan media massa untuk memperoleh informasi tentang sesuatu, kemudian dia menggunakan media sebagai bagian dari pengetahuan. Kebutuhan dasar lainnya adalah hiburan serta pemenuhan akan kepentingan sosial. Novel, mengingat sifatnya yang dinamis dan mampu beradaptasi dengan perubahan kehidupan sosial yang ada dalam masyarakat, pada akhirnya ikut dikategorikan sebagai media populer. Novel merupakan media cetak yang berisikan cerita naratif. Media ini memiliki dua sisi yang dilihat secara berbeda menurut kajian sastra dan komunikasi. Hanya, dalam kajian komunikasi, keberadaan novel sebagai media massa belum diakui secara menyeluruh. Novel sebagai media massa memiliki fungsi laiknya media massa pada umumnya, menginformasi, mengedukasi dan menghibur. Namun tidak seperti surat kabar yang mengunggulkan fungsi informatifnya, novel cenderung dipandang sebagai media hiburan, karena fungsinya sebagai sebuah media yang menghibur terlihat paling menonjol. Hanya saja, hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa novel pun mewadahi fungsi informatif dan edukatif, satu pembuktian untuk melihat bahwa novel juga merupakan bagian dari media massa. Fungsi informasi pada novel bergantung pada tema novel yang disampaikan
23
.
Misalnya
fiksi
ilmiah,
yang
memiliki
kecenderungan
pencampuradukan fakta dan fiksi sehingga mengaburkan batas antara keduanya. Fungsi edukasi, bisa dilihat dari novel-novel yang menekankan mengenai nilainilai moral dan tema-tema yang penting misalnya pendidikan, kebudayaan, gender, dsb. Sementara dalam tataran pemenuhan fungsi hiburan, novel mampu memenuhi kebutuhan sosial-emosional pembacanya. Hal ini dapat dibuktikan dari munculnya 23
Sari, Dila Maretihaq. 2010. Konstruksi Gaya Hidup sebagai Cermin Identitas Remaja Perempuan dalam Novel Remaja. Yogyakarta: Fisipol UGM. Hlm 6-7
14
Fans Book Club (FBC) yang berakar fanatisme, ataupun novel-novel dengan cerita melankolis yang menguras emosi bahkan air mata pembaca. Terakomodirnya ketiga fungsi media massa secara umum dalam novel diperkuat dengan peran novel sebagai medium penyebaran budaya popular. Kemunculan genre-genre novel yang tersegmentasi, misalnya teenlit dan chick-lit, banyak memunculkan wacana bagaimana realitas remaja (dalam teenlit) dan wanita dewasa (dalam chick-lit) dikonstruksikan dalam novel. Dalam novel chicklit misalnya, cerita mengenai perempuan dewasa modern dikonstruksikan berpusat pada pencarian akan relasi cinta dan kehidupan karier. Chicklit dalam hal ini bisa menjadi representasi dari kehidupan perempuan masa kini karena sebagai bentuk karya ia tidak dapat lepas dari masyarakat dan kebudayaan 24. Fenomena tersebut ditegaskan oleh pernyataan Mc. Luhan bahwa “The mass media are the the extensions of the human perception; they are imitators of the mode of human apprehensions and judgements 25 .” Sehingga bukan hal yang berlebihan jika dikatakan novel mampu merefleksi realitas sosial dan menjadi bagian dalam pembentukan konsep budaya. Media, dalam hal ini menanamkan idealisme atas budaya tertentu26.
4. Teori Decoding-Encoding Stuart Hall Decoding merupakan peran penerima pesan dalam menentukan makna pada pesan yang datang dari sumber atau penerima pesan 27 . Sementara encoding merupakan pengiriman pesan yang terdiri dari kode-kode kepada penerima pesan. Kedua proses tersebut berlangsung dengan melibatkan sejumlah faktor seperti 24
Arymami, Dian. 2008. Keintiman Relasi dalam Chick-Lit. Yogyakarta: UGM. Mc Luhan, Marshal. 1994. Understanding Media: The Extension of man. Massachusetts Institute of Technology, The MIT Press, Cambridge. 26 Arymami, Dian. Hati Kaca Optik: Cinta, Romantika dan Keintiman di Era Media Baru dalam https://www.academia.edu/4632446/Hati_Kaca_Optik_Cinta_Romantika_dan_Keintiman_di_Era_M edia_Baru diakses pada 21 Juli 19: 31 27 Baran, McIntyre & Meyer. 1984. Self, symbols & Society: An Intriduction to Mass Communication. London: Addison-Weasly. hlm 13-15 25
15
kerangka pengetahuan, relasi produksi dan infrastruktur teknis. Bila antara pengirim pesan dan penerima pesan memiliki faktor yang sama, maka penerima pesan akan menerima pesan seperti yang dimaksudkan pengirim28. Konsep mengenai decoding diperkenalkan oleh Stuart Hall. Menurut Hall, interpretasi aktif dalam kode yang relevan sangat penting untuk dilakukan karena ketidakrelevanan kode akan berakibat pada perbedaan makna antara decoder dan encoder. Media massa dengan kodenya menawarkan identitas sosial pada khalayak sesuai cara media massa tersebut menyampaikannya, tetapi terkadang khalayak yang terlibat komunikasi tidak berbagi kode dan identitas sosial yang sama, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan pemaknaan. Selanjutnya, Hall menetapkan posisi-posisi khalayak terhadap teks, yaitu (1) Dominant reading: khalayak sepenuhnya berbagi kode teks, menerima dan memproduksi preferred reading atau sebuah pembacaan yang bukan merupakan akibat dari maksud sengaja pengirim pesan, (2) Negotiated reading: khalayak berbagi sebagian kode teks dan secara luas menerima preferred reading, tetapi kadang menentang dan mengubahnya dalam cara yang mencerminkan posisinya sendiri, pengalaman dan minat, (3) Opposited : khalayak yang situasi sosialnya menempatkannya dalam relasi berlawanan dengan kode dominan, memahami preferred reading tapi tidak berbagi kode teks dan menolak pembacaan serta mengajukan alternative frame of reference.
5. Relasi Romantis 1. Pengertian dan konteks relasi romantis Romantis merupakan ekspresi individu akan cinta. Sternberg (dalam Florsheim, 2003) mendeskripsikan relasi romantis dan cinta dengan istilah connectedness, relatedness, bondedness atau hasrat untuk menjalin hubungan yang 28
Fadlina, Rifki Amelia. 2012. Khalayak dan Kritik Sosial dalam Musik. Yogyakarta: Fisipol UGM.
16
intim. Hubungan intim dalam konsep ini, dikatakan Thibaut dan Kelley Sears (1999) memiliki interdependensi (saling ketergantungan) yang kuat. Dua orang yang terlibat dalam hubungan yang kuat tersebut memiliki potensi untuk saling membangkitkan emosi, baik positif (seperti cinta, kasih sayang, perhatian) maupun emosi negatif (marah, cemburu, putus asa dan sakit hati)29. Kelley (dalam Sternberg 1987) mendeskripsikan cinta sebagai ‘positive feeling and behaviors, and commitment to the stability of the force that affect an ongoing relationship. Sementara Sternberg dengan teorinya yang sangat populer, ‘The Triangle of Love’ menyebutkan bahwa cinta mengandung 3 dimensi yaitu intimacy (keintiman), commitment (komitmen), dan passion (hasrat)30. Kombinasi ketiganya, akan menghasilkan bentuk-bentuk relasi cinta yang berbeda-beda. Dalam konteks penelitian ini, relasi romantis akan mengacu pada relasi seseorang dengan objek-objek cinta. Furman et al (1999) mendeskripsikan relasi romantis dalam 3 karakteristik. Pertama, keromantisan melibatkan suatu hubungan, pola yang berlangsung terus menerus dari asosiasi dan interaksi antara dua individu yang mengakui suatu hubungan dengan yang lainnya. Kedua, pada relasi romantis terdapat unsur kesukarelaan
dari
kedua
pasangan
untuk
mempertahankan
hubungan.
Kesukarelaan itu dibuktikan dengan adanya pengorbanan dari setiap pasangan untuk keberhasilan hubungan romantis mereka. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan kegagalan hubungan karena ketidakcocokan. Ketiga, relasi romantis melibatkan beberapa bentuk dari attraction (ketertarikan), khususnya komponen seksual. Cinta sebagai dasar dari relasi romantis membentuk berbagai macam relasi yang berbeda-beda. Laswell (Laswell & Laswell, 1987) membagi jenis-jenis 29
Wulandari, Dyah Astorini. Empati dan Komitmen sebagai Fasilitator Perilaku Memberi Maaf dalam Hubungan Romantis. Yogyakarta: UGM. Hlm 18 30 Wood, Julia T. 2013. Interpersonal Communication: Everyday Encounters. USA: Wadsworth. Hlm 274.
17
hubungan intim yang dilandasi dengan cinta kedalam beberapa jenis yaitu parentchildern relationship, sibling relationship, close-friend relationship, dating relationship, cohabitation relationship dan marital relationship. Dua bentuk hubungan pertama yaitu parent-childern relationship dan sibling relationship merupakan bentuk hubungan yang timbul karena adanya perkawinan sehingga terdapat hubungan darah31. Sementara tiga yang lain yaitu dating, cohabitation dan marital dilandasi jenis cinta heteroseksual yang melibatkan unsur seksualitas dan komitmen, disamping cinta itu sendiri. Dating atau pacaran merupakan cara dimana seseorang memilih pasangan, berfungsi sebagai rekreasi, sumber status dan prestasi serta tempat untuk belajar tentang hubungan dekat (Santrock, 1999). Cohabitation relationship merupakan hubungan antara dua orang dewasa yang tinggal bersama dan mungkin melakukan hubungan seksual, tetapi tidak menikah (Laswell & Laswell, 1987). Sementara marital relationship merupakan hubungan perkawinan atau hubungan antara suami-isteri. Cox (1984: 116) menuturkan bahwa pernikahan merupakan bentuk interaksi manusia yang paling intim, dengan relasi interpersonal antara dua orang, seorang pria dan seorang wanita sebagai inti relasi. Di Indonesia sendiri, pernikahan masih dianggap sebagai hal yang penting dalam kehidupan individu. Liniawati (2007) mengungkapkan bahwa masyarakat kita masih melekatkan pernikahan menjadi bagian dari identitas seseorang, dan hal ini membuat pernikahan merupakan moment yang dianggap paling penting dalam kehidupan individu. Pernikahan pada umumnya merupakan relasi romantis yang melibatkan komitmen seumur hidup. Perjalanan relasi pernikahan menjadi sebuah perjalanan panjang yang melibatkan banyak dinamika naik-turunnya pernikahan. Dalam perjalanan relasi yang panjang inilah muncul potensi timbulnya relasi romantis lain didalam pernikahan, perselingkuhan. 31
Oxford
yang melibatkan orang ketiga, atau disebut Leadner’s
Ibid. Hlm 19
18
Pocket
Dictionary
mendefinisikan
perselingkuhan sebagai sexual or emotional relationship between two people, when one of them is married to somebody else. Hubungan tersebut dapat terbatas pada hubungan emosional yang sangat dekat atau juga melibatkan hubungan seksual. Sebuah penelitian di Amerika menyebutkan bahwa 80 persen perceraian diakibatkan oleh hubungan perselingkuhan, sehingga dari fakta ini dapat ditarik kesimpulan bahwa perselingkuhan merupakan relasi romantis yang merusak relasi pernikahan. Tetapi disisi lain, muncul juga pendapat sebaliknya. Rata-rata orang sekarang justru melihat bahwa perselingkuhan atau pengalaman mencintai orang lain diluar pernikahan bisa mengembalikan pernikahan yang rusak32.
2. Pernikahan dan Perselingkuhan Hubungan pernikahan merupakan salah satu jenis relasi yang dilandasi dengan cinta. Meskipun begitu, level hubungan pernikahan tidak lagi hanya melibatkan perasaan individu dengan individu, tetapi dengan keluarga dan masyarakat dalam lingkup sosial budaya. Papalia dan Olds (1998) mendefinisikan pernikahan sebagai ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat seksual dan menjadi lebih matang. Dyar (1983) menambahkan tentang persoalan komitmen, yaitu bagaimana hubungan dibentuk dan dipertahankan, dan bagaimana hubungan ini kemungkinan akan diakhiri. Jika dikaitkan dengan teori relasi cinta Steinberg, hubungan pernikahan bisa digolongkan dalam 3 tipe cinta yaitu empty love, companionate love dan fatous love. Ketiga tipe cinta tersebut memiliki kesamaan, yaitu mengandung elemen pembentuk cinta komitmen. Empty love didalam pernikahan terjadi dalam kondisi pasangan suami istri (pasutri) tidak memiliki hasrat dan keintiman lagi. Komitmen 32
Ralie, Zoraya. 2015. Fakta Mengejutkan tentang Perselingkuhan yang Wajib Kamu Tahu dalam http://gladis.beritagar.id/article/bedroom/fakta-mengejutkan-tentang-perselingkuhan-dalampernikahan-yang-wajib-kamu-tahu diakses pada 21 Mei 12: 31
19
adalah satu-satunya alasan kebertahanan pernikahan, yang bisa saja dipengaruhi faktor eksternal seperti larangan perceraian, keluarga besar atau bahkan anak. Companionate love dalam pernikahan adalah bentuk cinta yang umumnya terjadi pada pernikahan yang bisa dikatakan berhasil. Hasrat sudah berubah menjadi keintiman yang ditandai dengan kedekatan emosional. Fatous love dalam pernikahan adalah suatu kondisi dimana komitmen dan hasrat menjadi elemen inti yang mempertahankan hubungan. Penyebab dari tipe ini salah satunya karena sering terjadi ketidakharmonisan rumah tangga. Kebutuhan biologis dan komitmen tetap ada, tetapi tidak ada kehangatan emosional33. Suatu hubungan pernikahan bisa mencapai atau tidak bisa mencapai tipe cinta tertentu karena hubungan tersebut bergerak, berkembang, dimana pergerakan dan perkembangannya bergantung pada kedua pihak yang terlibat hubungan.
The essential of relationship is becoming, not finding. (Monita Tahalea, 2015) Walgito (2000) membagi tahapan pernikahan tersebut dalam 3 periode yang terdiri dari early years (tahun awal), middle years (tahun pertengahan) dan mature years (tahun matang). Tahun awal, mencakup masa kurang lebih 10 tahun pertama pernikahan dimana berlangsung masa pengenalan dan penyesuaian diri bagi kedua belah pihak pasutri. Dalam periode ini, sangat potensial berlangsung ketegangan dan tekanan sebagai sebab penyesuaian pasutri dalam memainkan peranannya sehingga disinyalir periode tahun awal merupakan periode tersulit. Kegagalan pasutri dalam melalui periode ini biasanya berakhir dengan perceraian, dimana angka perceraian tertinggi terjadi antara tahun kedua hingga keempat.
33
Magazine News. 2013. Tipe dan Jenis-jenis Cinta dalam http://www.magazinenews.science/2015/08/tipe-dan-jenis-jenis-cinta.html diakses pada 28 Oktober 2015
20
Middle years, merupakan periode pernikahan yang berlangsung pada tahun ke 10 hingga ke 30. Di masa ini terjadi child of phase dan us aging phase. Child of phase merupakan fase dimana orangtua mengkonsentrasikan hubungan pada pengembangan dan pemeliharaan keluarga. Us aging phase merujuk pada pembaharuan dan pembangunan kembali hubungan antara pasangan untuk mengisi empty nest karena anak-anak yang meninggalkan rumah untuk menempuh studi ataupun bekerja. Fase terakhir, mature years, dimulai pada tahun ketiga puluh pernikahan. Di masa ini, pasutri berada dalam peran baru seperti menjadi seorang kakek atau nenek, menikmati masa tua bersama-sama atau bahkan hidup sendiri karena salah satu telah meninggal. Masa ini merupakan masa pengunduran diri dari kegiatan dalam dunia kerja. Pernikahan, sama halnya seperti bentuk relasi romantis yang lain, dibagi oleh Stan Tatking menjadi 3 tahapan relasi yaitu romantic love, realistic love dan mature love. Di tahap romantic love, pasangan merasakan pengalaman emosional berupa kesenangan dan gejolak. Memasuki tahapan realistic love,
pasangan
mulai merasakan perasaan stuck (bosan) dalam menjalin relasi. Kedua pihak yang terlibat dalam relasi mulai melihat seperti apa karakter masing-masing pasangan yang sebenarnya. Ditahap inilah muncul tantangan : mempertahankan hubungan ataupun mengakhirinya. Stage ke 3 disebut sebagai mature love, yang ditandai dengan zona aman suatu hubungan. Biasanya, partner romantis yang sudah memasuki tahapan ini akan mengenal secara mendalam karakter masing-masing partner. Keduanya telah melalui tantangan hubungan dalam tahap kedua, yang memungkinkan mereka menyesuaikan karakter dan mengenal karakter satu sama lain secara lebih mendalam. Dalam konteks pernikahan, stage ini ditandai dengan kuatnya keintiman dan komitmen antar pasangan. Keintiman ditunjukkan dengan closeness (kedekatan), connectedness (keterhubungan), dan bondedness (keterikatan) sementara komitmen berarti keputusan untuk mempertahankan hubungan, apapun 21
yang terjadi. Tahap mature love ini hanya akan dialami oleh pasangan yang berhasil melalui realistic love. Jika tidak, pasangan akan menemui akhir yang berupa kegagalan atau pemutusan hubungan. Diantara fase-fase dalam masa pernikahan tersebut, terdapat fase rentan yang menimbulkan kerusakan hubungan, salah satunya diakibatkan oleh perselingkuhan. Perselingkuhan, sama seperti pernikahan juga merupakan salah satu bentuk dari relasi
romantis.
Oxford
Leadner’s
Pocket
Dictionary
mendefinisikan
perselingkuhan sebagai sexual or emotional relationship between two people, when one of them is married to somebody else. Hubungan tersebut dapat terbatas pada hubungan emosional yang sangat dekat atau juga melibatkan hubungan seksual. Glass & Staeheli serta Subotnik & Harris (Ginanjar, 2009) mengemukakan bahwa terdapat 3 komponen dari perselingkuhan emosional yaitu keintiman emosional, kerahasiaan dan
sexual chemistry. Untuk pelaku
perselingkuhan sendiri, bisa berasal baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Bell (dalam Veranita, 1990) menyebutkan beberapa faktor penyebab seseorang terlibat dalam relasi perselingkuhan. Pertama, mencari variasi baru pengalaman seksual. Pelaku perselingkuhan dari sebab ini biasanya pria, sebagai akibat ketidakpuasan terhadap hubungan seksual dengan pasangan. Dua, menentang
norma
monogami,
menunjukkan
penolakan
terhadap
norma
masyarakat yang dianggap membatasi kebebasannya. Tiga, mencari kepuasan emosional yang tidak terpenuhi dalam pernikahan karena kualitas hubungan yang buruk. Seseorang yang memutuskan berselingkuh karena alasan ini cenderung merasakan kejenuhan dan ketidakpuasan dalam pernikahan mereka. Sebab ketiga, yaitu ketidakpuasan hubungan memungkinkan untuk membentuk relasi perselingkuhan yang lebih berdasar pada kebutuhan emosional ketimbang fisik. Subtonik dan Harris memdefinisikan perselingkuhan tipe ini dengan istilah romantic love affair dan long term affair, masing-masing dengan level yang berbeda. Romantic love affair melibatkan keterikatan emosional yang mendalam sehingga seseorang yang terlibat perselingkuhan saling peduli terhadap 22
pasangan selingkuhannya dan berusaha agar hubungan mereka berdua dapat disatukan dalam kehidupan masing-masing. Long term affair, dengan kadar level keterlibatan emosional yang lebih dalam dan sangat kuat, bisa terjadi dalam kurun waktu bertahun-tahun bahkan mungkin sepanjang pernikahan. 3. Cinta dan Romantisme: Dulu dan Kini Kemunculan romantis atau romantika erat kaitannya dengan media34. Istilah tersebut erat kaitannya dengan romantisisme, sebuah gerakan seni, sastra dan intelektual yang berasal dari Eropa Barat abad ke-18 pada masa Revolusi Industri. Gerakan ini menekankan emosi yang kuat sebagai sumber dari pengalaman estetika, memberikan tekanan baru terhadap emosi-emosi seperti rasa takut, ngeri, dan takjub yang dialami seseorang35. Fenomena romantisme, sebagai ekspresi dari cinta, mengalami perubahan dari satu waktu ke waktu yang lain. Hal ini dikarenakan, selain dipengaruhi oleh dimensi personal, cinta juga dipengaruhi oleh dimensi sosial. Salah satu faktor yang mengakibatkan perubahan bentuk relasi cinta adalah teknologi komunikasi. Teknologi, dalam hal ini selain menyediakan limpahan informasi kepada publik, juga berperan untuk memfasilitasi relasi antarpersonal secara bersamaan. Pemenuhan rasa cinta tidak lagi terjalin berdasarkan keintiman fisik, melainkan terjalin dalam media. Jauh sebelum kemunculan internet, mobile phone dan seperangkat teknologi komunikasi yang memungkinkan relasi personal termediasi, Sternberg menetapkan 3 dimensi relasi cinta romantis yang terdiri dari passion (hasrat), intimacy (keintiman) dan commitment (komitmen). Hasrat dideskripsikan sebagai perasaan positif yang berlangsung secara intensif, kuat dan sungguh-sungguh yang dirasakan seseorang terhadap orang lain. Hasrat terkait dengan emosional, spiritual 34
Arymami, Dian. 2008. Keintiman Relasi dalam Chick-Lit. Yogyakarta: Fisipol UGM. Jajuli. 2012. Romantisme dalam Novel The Scarlet Letter dalam http://www.academia.edu/3449610/Romantisme_dalam_Novel_Scarlet_Letter diakses pada 20 Mei 21: 13 35
23
dan intelektual yang luarbiasa namun mengalami pasang surut. Passion comes and goes, sehingga tidak menjadi dasar sebuah hubungan jangka panjang. Menurut Giddens (2004:52) cinta dalam relasi romantis penuh dengan hasrat (passionate love), sebuah ekspresi hubungan umum antara cinta dan ikatan seksual36. Mereka yang terlibat dalam relasi dengan kadar hasrat yang sangat tinggi akan cenderung terlilit dengan objek cinta. Komitmen adalah keputusan untuk mempertahankan sebuah hubungan. Dalam sebuah relasi, ada hubungan yang kuat antara komitmen dan investasi. Semakin besar investasi seseorang terhadap hubungan semakin besar komitmen suatu hubungan tersebut. Terakhir, keintiman merupakan perasaan kedekatan, keterhubungan dan kelembutan. Dalam kaitannya dengan kedua dimensi lain, keintiman dan hasrat dihubungkan oleh komitmen, dimana komitmen mempertahankan hasrat dalam jangka waktu panjang sehingga menghasilkan keintiman. Keintiman terkait dengan rasa nyaman bersama dengan pasangan walaupun tidak lagi terdapat hasrat yang menggebu-gebu. Ketiga dimensi ini, kemudian menciptakan delapan bentuk hubungan romantis, yang dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 1.2 Delapan tipe cinta berdasarkan relasi keintiman No
Form of love relation
1.
Non love (tidak adanya relasi cinta tanpa kehadiran salah satu aspek cinta) Liking (mengindikasikan persahabatan sejati, individu merasakan persatuan, kehangatan dan kedekatan dengan pihak lain namun tanpa komitmen jangka panjang)
2.
Intimacy
36
Passion
Commitment
X
Zainal. 2008. Bukan Laki-Laki Biasa (Makna Tubuh, Hubungan-Hubungan Romantis dan Mitos Kecantikan Calabai di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan). Yogyakarta: UGM
24
3.
Infatuation X (cinta pada pandangan pertama, akan menghilang dengan cepat) 4. Empty love X (didasarkan pada komitmen dimana keintiman dan hasrat tidak ada atau menurun) 5. Romantis love X X (keterikatan dan perpaduan emosi seperti liking dan simulasi hasrat) 6. Companionate love X X (sering ditemukan dalam pernikahan dimana hasrat telah berubah menjadi kasih sayang dan komitmen) 7. Fatous love X X (hubungan dengan komitmen yang berdasarkan hasrat) 8. Consummate love X X X (bentuk relasi yang paling jarang tercapai lengkap dan merepresentasikan relasi yang ideal. Bila tercapai pun, relasi ideal ini sangat sulit untuk dipertahankan, sebab membutuhkan kemampuan untuk senantiasa menerjemahkan setiap aspek dalam tindakan) Sumber: Sternberg, R.J. 1986. A Triangular Theory of Love. Psychological Review.
Seiring dengan kemunculan new media, relasi romantis, sama seperti relasi personal lain, juga mengalami pergeseran. Perannya memfasilitasi dan menjadi medium dalam menjalin relasi-relasi romantis (mulai dari memperkenalkan, mempertahankan hingga memutuskan hubungan) mengubah bentuk relasi romantis itu sendiri, menjadi relasi romantis yang termediasi. Tentu saja ciri dan karakteristiknya juga turut mengalami perubahan. Keintiman relasi romantis yang terjalin dalam media bukan keintiman fisik, melainkan sebuah pemenuhan rasa cinta dari seseorang. Internet dipandang sebagai media yang mampu memenuhi kebutuhan afeksi seseorang dengan objek cintanya melalui fungsinya dalam memfasilitasi relasi romantis. Cinta tidak lagi dideskripsikan sebagai hasrat pertemuan secara fisik, melainkan pemenuhan
25
kebutuhan melalui interaksi, komitmen, afeksi dan perilaku yang tidak lagi mengekang. Ketergantungan kepada pasangan bukan lagi jaminan untuk hidup bersama, tetapi negosiasi diantara keduanya sehingga masing-masing dapat menempatkan diri 37 . Orang-orang kini mengedepankan kepercayaan, komitmen dan sikap saling menghormati untuk memelihara hubungan. Namun disisi lain, Bauman (2003) memaparkan argumentasi bahwa media baru telah membawa periode modernitas yang cair, dimana keintiman dalam era kontemporer ini memiliki keutamaan atas hasrat dibanding dengan keintiman personal38. Ia menyebut bentuk cinta yang demikian dengan sebutan ‘liquid love’ atau relasi yang cair, mudah terjalin dan patah. Era relasi sekilas, sebagai konsekuensi dari bentuk cinta yang terkomodifikasi. Artinya, relasi percintaan tersebut berbentuk seperti layaknya komoditas dengan ciri kemasan menarik, menggoda dan menyajikan janji untuk meniadakan penantian dari keinginan, kerja keras dari upaya dan upaya dari hasil (2003:7). Hal itu tentu berbeda dengan konsep relasi romantis yang dirumuskan Giddens. Ia merumuskan konsep pure love, selain ketiga konsep relasi sebelumnya yaitu passionate love, romantic love dan sublime love. Pure love merupakan relasi yang tercipta melalui demokratisasi interaksi interpersonal.
Relasi tersebut
dipandang dari kesetaraan dimana terjadi keseimbangan kebutuhan ataupun harapan serta perpaduan antara romantika dan hasrat yang sesuai dengan harapan masing-masing pihak39. Relasi cinta murni ini merupakan bentuk kualitas relasi yang kokoh, menjadi syarat kelanggengan sebuah relasi dengan kualitas keintiman yang tinggi40.
37
Amalia Gita Meina. 2013. Virtual Romance: Studi Etnografi Partisipasi Observasi tentang Keintiman yang Termediasi dalam Komunikasi Interpersonal melalui New Media diantara Pasangan Homoseksual. Yogyakarta: Fisipol UGM. Hlm 17 38 Arymami, Dian. Hati Kaca Optik: Cinta, Romantika dan Keintiman di Media Baru. hlm 6 39 Arymami, Dian. 2008. Keintiman Relasi dalam Chick-Lit. Yogyakarta: UGM. Hlm 32 40 Hati kaca optic. Hati Kaca Optik: Cinta, Romantika dan Keintiman di Media Baru. hlm 6
26
F. Metodologi Penelitian 1. Subjek penelitian Informan atau subjek penelitian ini adalah pembaca Supernova: Ksatria Putri dan Bintang Jatuh. Peneliti memilih informan dengan menggunakan salah satu teknik pengambilan sampel non probability sampling, yaitu purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu41. Pertimbangan yang merujuk pada kriteria informan tersebut terdiri dari beberapa hal. Pertama, generasi atau usia. Peneliti menetapkan range usia >18 tahun. Delapan belas tahun adalah kriteria usia minimum, sementara maksimumnya tidak terbatas. Pemilihan range usia mengacu pada pertimbangan segmentasi novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Menurut Wapemred Bentang Pustaka, Imam Risdiyanto, segmen utama pembaca Supernova series adalah kalangan mahasiswa, dikarenakan kontennya yang cukup berat. Kriteria kedua, informan sedang atau telah menempuh pendidikan minimum strata 1. Kriteria ini mengacu pada kriteria pertama yang menilik beratnya konten didalam novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh sehingga hanya bisa dipahami oleh pembaca dengan latar belakang pendidikan tertentu. Kriteria ketiga, informan membaca novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh dalam kurun waktu 2 tahun terakhir atau bersedia membaca ulang novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh dalam kurun waktu 2 tahun terakhir semenjak penelitian ini dilaksanakan. Hal ini bertujuan untuk menjamin ingatan informan terhadap cerita dalam novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Kriteria keempat menyangkut gender. Penelitian ini mencari informan, baik laki-laki maupun perempuan dengan jumlah perbandingan 2:3. Alasan dipilihnya 41
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Hlm 218219
27
informan perempuan lebih banyak dibanding laki-laki karena novel romance kebanyakan di baca oleh perempuan. Kriteria ke 5 terkait status menjalin relasi. Peneliti mencari informan baik yang berstatus single maupun in-relationship. Kriteria keenam, informan mencakup pembaca novel romance dengan kategori heavy reader (sudah membaca lebih dari 10 novel romance), medium reader (sudah membaca 5-10 novel romance) dan minor reader (membaca kurang dari 5 novel romance). Kriteria terakhir mengacu pada fanatisme pada penulis, Dee. Fanatisme itu diukur dari keikutsertaan informan pada komunitas pembaca Dee (adDEEction), kepemilikan karya Dee (relasi dengan buku), dan pengalaman Meet up dengan Dee dalam berbagai event, baik signing book, talkshow, dsb. Penelitian ini membutuhkan baik informan yang fanatik terhadap Dee, maupun informan yang tidak fanatik terhadap Dee. 2. Metode Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan karakteristik utama berupa fleksibilitas dalam pengambilan data. Bentuk fleksibilitas ini salah satunya tampak dari tipe pertanyaan open-ended yang menghasilkan jawaban bebas dan fleksibel oleh masing-masing partisipan studi42. Secara khusus, penelitian ini menganalisis penerimaan khalayak terhadap teks media tertentu yang disebut dengan analisis resepsi. Analisis resepsi merupakan salah satu metode baru yang digunakan dalam peneltian mengenai studi khalayak disamping studi tentang efek, uses and gratifications dan cultural studies. Metode ini menekankan bahwa khalayak media adalah khalayak yang secara aktif memaknai pesan media berdasarkan kontekstual tertentu. Teori ini menempatkan pembaca dalam konteks berbagai macam faktor yang turut mempengaruhi bagaimana membaca serta menciptakan makna dari teks43. Faktor42
Ibid. Hlm 30 Hadi, Ido Prijadi. 2009. Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis. Jurnal Ilmiah SCRIPTURA, Vol 3. No. 1 Januari 2009 43
28
faktor kontekstual tersebut terdiri dari : (1) identitas khalayak, (2) frameworks of knowledge, (3) relation of production, (4) technical infrastructure, (5) grup acuan di sekitar audiens, (6) produksi teks sejenis yang dilakukan audiens dan (7) pola konsumsi audiens terhadap teks44. Resepsi pembaca terhadap media novel jarang dilakukan dalam kajian komunikasi, karena novel seringkali hanya dianggap sebagai karya sastra. Padahal, novel juga menjadi medium penyebaran budaya popular, yang dibuktikan dengan massif nya pembaca, pembentukan komunitas pembaca dan diangkatnya novel ke dalam layar perfilman. Novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh merupakan salah satu contoh karya yang diadaptasi menjadi sebuah film. Beberapa review penonton film ini menyebutkan bahwa mereka cenderung kecewa dengan Supernova versi film karena banyak meniadakan detail-detail penting yang ada dalam novel. Ini menunjukkan bahwa pembaca dan penonton memiliki perbedaan karakteristik dalam mengakses dan berelasi dengan media terkait. Resepsi pada novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh dalam penelitian ini menekankan pada isu terkait romantisme dalam relasi romantis. Dalam novel populer, romantisme dikatakan sebagai sebuah daya tarik bagi pembaca. Pembacaan readers terhadap teks ini menarik, terkhusus karena romantisme sendiri merupakan hal yang dinamis, yang senantiasa mengalami perubahan. Konteks romantisme dalam novel ini menjadi menarik karena faktor eksistensial novel ini, mulai dari awal kemunculannya pada 2001 hingga novel tersebut difilmkan pada 2014 lalu. Ini menjadikan resepsi pembaca terkait relasi romantis juga dipengaruhi konteks romantisme pada kurun waktu tertentu. Selain itu, resepsi dalam konteks penelitian ini juga dipengaruhi oleh konteks sosio-kultural audiens berada, pengalaman pribadi pembaca dalam berelasi romantis serta habit reading novel romantis itu sendiri.
44
Hall, Stuart. 2006. Encoding/ Decoding, Media and Cultural Studies. Keyworks. Oxford: Blackwell Publishing.
29
3. Teknik pengumpulan data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang berupa deep interview atau wawancara mendalam. Teknik ini dipilih karena sifatnya yang fleksibel dan memiliki validitas data yang lebih akurat. Selain itu, melalui wawancara mendalam peneliti menemukan ide, pikiran, opini sikap dan motivasi informan45. Sebelum melakukan wawancara mendalam, peneliti telah menyusun interview guide. Interview guide terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dikelompokkan berdasarkan karakteristik tertentu untuk ditanyakan kepada informan. Kelompok pertanyaan tersebut terdiri dari pertanyaan seputar reading habit, romance experience dan romance knowledgement. Kelompok pertanyaan reading habit terdiri dari beberapa sub tema yaitu reading habit secara umum, reading romance, reading Supernova dan reading relasi romantis. Kelompok pertanyaan romance experience berisi pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk menggali pengalaman pembaca dalam menjalin relasi romantis. Kelompok pertanyaan
romance
knowledgement
berisi
pertanyaan
untuk
menggali
pengetahuan pembaca secara ilmiah terkait relasi romantis. Ketiga kelompok pertanyaan tersebut telah ditanyakan oleh informan secara bertahap, baik dengan metode wawancara langsung maupun tak langsung (via aplikasi wasap dan email). Wawancara tak langsung via wasap tersebut diperlukan karena muncul beberapa data yang missed dalam wawancara langsung akibat fleksibilitas wawancara yang cenderung mengalir. Sementara wawancara tak langsung via email diperlukan untuk mendapatkan data terkait identitas informan secara umum seperti nama lengkap, alamat, tingkat pendidikan, hobi, usia dsb. Untuk wawancara langsung, empat dari lima informan membutuhkan satu kali wawancara tatap muka yang berlangsung kurang lebih 60-90 menit. Sementara satu orang informan membutuhkan 2 kali wawancara tatap muka dalam 45
Wardani, Dita Kesuma. 2014. Resepsi Pembaca Terhadap Teks Homoerotika dalam Slash Fanfiction. Yogyakarta: Fisipol UGM.
30
kurun waktu yang berbeda, yaitu 2x 90 menit karena dia memaparkan data lebih banyak dari rata-rata informan lain, sehingga satu kali wawancara langsung tidak cukup untuk menuntaskan 3 kelompok pertanyaan.
4. Teknik analisis data Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan biklen (1982) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang akan dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain 46 . Hamid Patilima (2007) menjabarkan tahapan analisis data kualitatif yang terdiri dari pertama, pembiasaan dengan data melalui tinjauan pustaka, membaca, mendengar dsb. Kedua, melakukan transkrip wawancara dari rekaman wawancara. Ketiga, melakukan pengaturan dan indeks data yang telah diidentifikasi. Keempat, memberi perlakuan terhadap anonimitas data yang sensitive. Kelima, melakukan koding.
Keenam,
melakukan
identifikasi
tema.
Ketujuh,
melakukan
pengembangan kategori untuk selanjutnya dilakukan eksplorasi terhadap hubungan antarkategori. Kedelapan, melakukan pengulangan tema dan kategori. Kesembilan,
membangun
teori
dan
menggabungkan
pengetahuan
yang
sebelumnya. Kesepuluh, melakukan pengujian data dengan teori lain dan terakhir, melakukan penulisan laporan termasuk dari data asli jika tepat (seperti kutipan dari wawancara) 47. Penelitian ini juga mengaplikasikan teknik analisis yang dikemukakan oleh Bogdan dan Binken tersebut. Saat wawancara berlangsung, peneliti melakukan proses rekaman dengan menggunakan smartphone. Rekaman tersebut kemudian ditranskrip. Setelah melakukan transkrip, peneliti kemudian menganalisis data untuk mencari klasifikasi data yang tersebar secara acak karena wawancara 46 47
Lexy J. Moleong. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remajarosdakarya. Hlm. 248 Hamid Patilima. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Hlm. 88
31
bersifat fleksibel. Klasifikasi data tersebut memudahkan peneliti untuk mengorganisir mana data utama yang berisi resepsi informan terhadap relasi romantis, dan mana data pendukung yang menjelaskan kecenderungan informan terhadap pembacaan tertentu. Setelahnya, peneliti kemudian mengkomparasikan temuan informan dengan proses decoding terhadap relasi romantis yang terlebih dahulu sudah dilakukan dan dicatat di Bab III. Proses itu kemudian menghasilkan posisi pembacaan informan terhadap relasi romantis, apakah itu dominant reading, negotiated atau opposited. Setelah posisi masing-masing informan terlihat, peneliti beralih pada data background (seperti habit reading, pengalaman dan pemahaman romantis) untuk menarik korelasi posisi informan dengan background tertentu.
5. Lokasi dan waktu penelitian Lokasi penelitian berada di Yogyakarta. Ada beberapa alasan dipilihnya lokasi tersebut. Pertama, terkait predikat Yogyakarta sebagai kota pelajar. Terdapat 43 akademi perguruan tinggi, 9 politeknik, 53 sekolah tinggi, 6 institut dan 21 universitas sehingga total ada 122 perguruan tinggi di Yogyakarta48. Hal ini memiliki keterkaitan dengan segmen utama pembaca Supernova yang berstatus sebagai mahasiswa. Kedua, memberikan kemudahan secara mobilitas bagi peneliti untuk melakukan wawancara mendalam terhadap informan. Ketiga, di Yogyakarta terdapat cukup banyak penerbitan, antara lain Bentang Pustaka, Andi Publisher dan Penerbit Kanisius. Hal ini cukup berimbas terhadap kemunculan komunitas baca di Yogyakarta, sehingga memudahkan peneliti untuk mencari informan. Selain itu, Bentang Pustaka merupakan penerbit yang menerbitkan Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Hal itu berimbas pada frekuensi si Penulis yaitu Dewi Lestari untuk mengunjungi Yogyakarta karena keterlibatannya dalam event-
48
PDDIKTI. 2013. Grafik Jumlah Perguruan Tinggi dalam http://forlap.dikti.go.id/perguruantinggi/homegraphpt diakses pada 10 Juli 11:42
32
event kepenulisan. Keempat, predikat Yogyakarta sebagai kota pelajar berimbas pada minat membaca buku yang tinggi di kota ini. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Maret-Oktober 2015. Kurun waktu bulan Maret-Juni digunakan peneliti untuk menyusun proposal penelitian. Bulan Juli, peneliti mengobservasi beberapa orang yang berpotensi menjadi informan penelitian, baik dari lingkungan kampus, organisasi yang diikuti peneliti, maupun komunitas adDEEction. Bulan Agustus-September, peneliti melakukan wawancara langsung dengan informan. Bulan Oktober, dilakukan transkrip wawancara dan analisis data.
33