BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang mayoritasnya memeluk agama Islam. Menurut hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, tercatat sebanyak 207.176.162 penduduk Indonesia memeluk Agama Islam. Propinsi yang terbanyak penduduk muslimnya adalah Jawa Barat dengan jumlah pemeluk sebanyak 41.763.592 jiwa. Sementara itu jika dihitung prosentasenya, jumlah 207.176.162 tersebut setara dengan 87,18% dari total penduduk Indonesia. Sedangkan jumlah masjid di Indonesia, menurut Najmah, Ketua Yayasan Masjid Nusantara (YNM) sebanyak 239.497 bangunan. Dengan tersebarnya Islam di Indonesia maka tersebar pula nilai-nilai yang terkandung dalam agama ini yang berupa suatu tatanan system moral yang terangkum dalam peringatan-peringatan dari Sang Maha Pencipta agar para manusia mengikuti segala perintah Maha Pencipta dan menjauhi laranganNya. 1 Tentunya karena sebuah agama pasti terdapat ritual peribadatan dalam rangka mengabdikan diri dan menyerahkan diri kepada Sang Khaliq, Islam pun memberikan pedoman bagi pemeluknya untuk mendirikan suatu tempat peribadatan yang dinamakan Masjid. Dengan demikian perkembangan didirikannya masjid di Indonesia begitu pesat, sehingga banyak terdapat masjid yang dapat kita jumpai. Namun, masih juga terdapat daerahdaerah tertentu yang memiliki keterbatasan akses dan fasilitas pembangunan, sehingga keberadaan masjid susah ditemui pada daerah tersebut. Adapun apablia kita menguak sejarah perkembangan islam, maka sejarah dari berdirinya masjid pertama kali dapat kita telisik dari kisah Rasulullah Saw ketika melakukan hijrah ke Madinah dan mendapatkan perintah dari
1
Perintah dan larangan dari Sang Pencipta dalam agama Islam telah terangkum dalam Al-Qur’an yang menjadi kitab rujukan utama ummat muslim dalam mengatur segala urusan, baik berhubungan dengan urusan-urusan dunia, maupun urusan-urusan setelah manusia mengalami kematian (akhirat). Panduan dalam agama Islam juga diambil dari perkataan ataupun perbuatan Nabi Muhammad Saw yang merupakan utusan dari Sang Pencipta untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang datangnya dari Sang Khaliq (Al-Hadist/ As-Sunnah). Sehingga dua sumber pengetahuan dalam ajaran Islam ini menjadi rujukan utama bagi ummat Islam dalam menajalani aktivitas sehari-hari.
3
Allah untuk mendirikan sebuah tempat peribadatan, yaitu Masjid Nabawi.2 Masjid Nabawi sendiri memiliki cerita dan sisi historis yang begitu mengagumkan. Pada masa itu masjid juga digunakan oleh masyarakat muslim untuk sarana berkumpul dan melalakukan interaksi social,selain untuk beribadat kepada Allah. Interaksi social disini memiliki nilai tersendiri yang membuat masjid menjadi berbeda dengan tempat-tempat berinteraksi social lainya. Kita dapat melihat ada warung makan atau rumah makan yang sering dijadikan tempat berinteraksi, namun dari sisi lain rumah makan sendiri memiliki segmen pasar yang berbedabeda, sehingga rumah makan seolah telah membentuk kelas nya sendiri. Ada kelas menengah keatas, menengah, dan menengah ke bawah dan tentunya dengan harga makanan yang disesuaikan dengan segmen pasarnya, sehingga rumah makan tertentu di kelas atas tak dapat memberikan toleransi financial bagi kelas menengah kebawah ataupun kelas menengah. Hal ini menyebabkan terbentuknya sekat interaksi social dalam public sphere tersebut. Kedaikedai kopi (café) pun demikian, meskipun terkadang kelas menengah juga dapat berinteraksi dalam public sphere ini, namun kelas menengah ke bawah jarang ada yang berada di tempat ini. Kecuali kedai-kedai kopi yang segmennya memang untuk kalangan kelas menengah ke bawah. Berbeda dengan public sphere yang akan dibahas dalam riset ini, yaitu masjid. Masjid juga merupakan tempat berkumpul bagi para muslim untuk melakukan interaksi social. Masjid menjadi berbeda dengan public sphere lainnya, disebabkan di tempat inilah semua sekat material menjadi hilang karena yang ada hanyalah stratifikasi spiritual berupa ketaqwaan dan keimanan kepada Allah.3 Kita dapat melihat bahwa di masjid seorang yang ada di kelas atas, kelas menengah, atau kelas bawah menjadi satu ketika sholat berjama‟ah dan berada pada tempat duduk yang setara ketika khutbah disampaikan. Maka, disini yang ada adalah otoritas ilmu dan keimanan yang membedakan orang satu dengan orang yang
2
Masjid Nabawi berada di kota Madinah, Arab. Didirikan bulan Rabiul awal, pada saat awal-wal masa hijrahnya Rasulullah Saw ke Madinah. Masjid Nabawi pada saat itu memiliki panjang 70 hasta dan lebar 60 hasta yang setara dengan panjangnya 35 m dan lebarnya 30 m. 3 Dalam Q.S Al-Hujarat (49): 13 yang merupakan penjelasan kedudukan manusia dalam agama Islam dengan redaksi ayat: ”.....Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
4
lainnya.4 Kita pun dapat melihat seorang yang menjadi guru atau ustadz di masjid bisa dari kaum proletar, ataupun sebaliknya. Sehingga di masjid inilah terjadi suatu interaksi yang melibatkan seluruh golongan dalam masyarakat muslim, serta fungsi masjid juga sebagai tempat pemersatu kesatuan social sebab pada dasarnya masjid dapat dijadikan sebagai tempat musyawarah persoalan-persoalan masyarakat. 5 Adapun penggunaan masjid ketika zaman Rasulullah Saw juga dipakai sebagai tempat membentuk gagasan untuk kebermanfaatan bagi masyarakat, serta menjaga stabilitas politik, social, dan ekonomi. Selain itu, di masjid juga sering terjadi dialog untuk memberikan pengajaran kepada berbagai golongan kelas manapun, sehingga transfer ilmu terjadi dengan merata.6 Pada masa lampau di masjid sering pula diadakan rapat terkait hal-hal yang penting berkaitan dengan kondisi kenegaraan. Maka, pada substansinya masjid merupakan suatu tempat yang memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat muslim.7 Fungsi masjid di masa silam memiliki peran yang sangat penting dalam upaya menjaga kondisi social masyarakat. Masjid dijadikan sebagai pusat pengembangan masyarakat muslim agar tatanan social tersusun secara rapi dan berada pada tatanan moral yang dapat memberikan ketentraman bagi penduduk yang ada di sekitarnya. Namun dalam perkembangannya, terkadang pembangunan masjid mengalami disorientasi fungsi dan peran. Kita dapat melihat pembangunan masjid yang marak terjadi saat ini untuk di megahkan ibarat ingin mendirikan istana di dalam wilayah tersebut. Namun di sisi lain, pengoptimalan masjid sebagai public sphere semakin berkurang. Hal ini terlihat dari jama‟ah masjid yang hanya sedikit, tidak masifnya kajiankajian kelimuan, dan kurangnya peran masjid dalam menjaga kestabilan solidaritas social masyarakat muslim. Belum lagi apabila terjadi disfungsinya masjid, dimana masjid dijadikan sebagai sentra politik untuk menanamkan primodialisme golongan yang mengakibatkan 4
Dalam Q.S Al-Mujadallah: 11 terdapat penjelasan tentang kedudukan orang beriman dan berilmu dalam agama Islam: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 5 Nana Rukmana D.W, Masjid dan Dakwah, Al-Mawardi Prima, Jakarta, 2002, hlm. 3. 6 Ibid. hlm. 64. 7 Ibid., hlm. 59.
5
perpecahan pada ummat Islam. 8 Fenomena seperti ini juga sudah terjadi ketika zaman Rasulullah Saw. Pada masa itu terdapat sebuah masjid yang menimbulkan keburukan dan memecah belah ummat Islam.9 Oleh sebab itu, maka dalam pembangunan masjid seyogyanya hal yang perlu ditekankan tidak hanya terfokuskan kepada pembangunan fisik saja, melainkan orientasi pembangunan menekankan pada teroptimalnya fungsi masjid dan kegiatan-kegiatan yang ada pada masjid tersebut. Maka, pengelola masjid dituntut memiliki strategi dan perencanaan yang matang serta memiliki pengetahuan terkait manajemen fungsi dan peran masjid.10 Disamping itu, pembangunan masjid juga harus berlandaskan niat dan maksud yang benar sesuai tuntunan Islam agar tidak terjadi disfungsi masjid yang dapat menimbulkan banyak keburukan. Upaya penggunana masjid sesuai dengan fungsinya memang bukanlah suatu hal yang mudah untuk diimplementasikan. Namun untuk mencapai semua itu diperlukan usaha keras dan tentunya profesionalitas pengelola masjid yang berperan sebagai pemikir dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan di masjid.11 Kreativitas dan profesionalitas ini juga harus diimbangi dengan akhlak yang mulia dari pengelola masjid, sehingga jama‟ah masjid dapat meneladani orang-orang inti masjid yang harapannya terbentuklah masyarakat yang bermoral dan memegang perilaku yang mulia. Memang menjadi sebuah kewajaran apabila pengelola masjid dituntut memiliki kebijaksanaan menanggapi persoalan ummat islam yang dihadapi saat ini. Pada zaman ini dapat diamati bahwasanya terdapat banyak golongan dalam Islam yang seolah bergerak sendiri-sendiri, lebih parahnya kadang antara golongan yang satu dengan yang lainnya saling menjatuhkan. Hal ini menimbulkan perpecah belahan dalam lingkup internal ummat muslim. Apabila fungsi masjid ingin dikembalikan pada substansi sebagai central space tatanan masyarakat muslim dan menjadikannya sebagai ruang publik masyarakat muslim, maka setidaknya diperlukanlah sikap memahami arti dalam menerapkan solidaritas social
8
Ibid., hlm. 6. Masjid yang dimaksud adalah Masjid Dhirar, yang pada masa silam dibangun dengan maksud dan tujuan untuk memecah belah ummat Islam. Sehingga Rasulullah saw. memerintahkanagar masjid tersebut dirubuhkan dan dihancurkan. 10 Ibid., hlm. 3. 11 Ibid.,hlm. 144. 9
6
pada konteks masyarakat muslim.12 Jika suatu masjid dalam pelaksanaan ibadah memihak salah satu golongan, tentunya dapat menimbulkan kepasifan dalam jama‟ah atau bahkan perpecahan pada jama‟ah. Dengan demikian, harapannya perbedaan khilafiyah 13 tidak menjadi harga mati dalam menentukan suatu kegiatan dalam masjid agar tak terjadi fanatisme yang bersifat tidak terlalu prinsip.14 Adapun penelitian ini mencoba mengamati perkembangan dan dinamika sebuah masjid yang ada di Kota Yogyakarta yang bernama Masjid Jogokariyan. Masjid Jogokariyan berada di Jogokariyan 36 RT 040/11, Mantrijeron, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta. Masjid ini merupakan salah satu masjid yang cukup banyak memiliki aktivitas dalam pembangunan tatanan moral dalam masyarakat. Selain itu, masjid ini juga kerap dijadikan masjid untuk study banding baik dalam negeri maupun dari luar Indonesia. Tentunya dari semua kegiatan yang ada di masjid ini, peran pengelola masjid begitu besar dalam membentuk sebuah ide dan gagasan untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan. Maka, penelitian ini juga mencoba melihat peran pengelola masjid dalam menciptakan kultur di Masjid Jogokariyan beserta dinamika-dinamika yang ada dalam perjalanannya. Kemudian beranjak dari semua itu, penelitian ini juga akan mencoba menyelami terjadinya transformasi fungsi public sphere (ruang publik) di Masjid Jogokariyan.
12
Dalam Islam terdapat sebuah konsep solidaritas social sesama muslim yang diterangkan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadist, salah satunya sbb: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. Karena itu, damaikanlah saudara kalian, dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat” (Q.S Al-Hujarat: 10) 13
Perbedaan pendapat yang terjadi pada kalangan ulama’ (orang-orang berilmu dalam Islam) Moh. E. Ayub, dkk, Manajemen Masjid, Gema Insani, Jakarta, 1996, hlm. 22.
14
7
B. Rumusan Masalah 1. Apa saja kegiatan di Masjid Jogokariyan yang mencerminkan terfungsinya masjid sebagai ruang publik? 2. Bagaimana peran pengelola masjid dalam membentuk kultur yang menjadikan masjid sebagai public sphere di Masjid Jogokariyan? 3. Bagaimana terjadinya transformasi ruang publik di Masjid Jogokariyan?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui berbagai kegiatan Masjid Jogokariyan yang mencerminkan terfungsinya masjid sebagai ruang public. 2. Mengetahui dinamika perkembangan Masjid Jogokariyan ditinjau dari perspektif pengelola dalam mengoptimalkan fungsi dan peran masjid. 3. Mengetahui strategi-strategi pengelola masjid dalam membentuk sebuah kultur, dimana masjid dijadikan public sphere masyarakat muslim. 4. mengetahui perubahan-perubahan social hasil prakarsa pengelola masjid yang mengoptimalkan fungsi masjid sebagai public sphere. 5. Mengetahui proses terjadinya transformasi ruang publik di Masjid Jogokariyan
8
D. Kajian Pustaka 1. Tinjauan pustaka
Optimalisasi fungsi masjid sebagai ruang publik merupakan penelitian yang menekankan pada kajian mengenai gambaran masjid yang menerapkan fungsi ruang publik dengan melakukan penelaahan juga terhadap peran pengelola masjid dalam upaya membentuk fungsi itu serta mencari tahu bagaimana terjadinya trasformasi ruang publik di Masjid Jogokariyan. Adanya penelitian ini dipilih menjadi kajian peneliti disebabkan dalam perkembangan dinamika pembangunan dan pengelolaan masjid banyak terdapat masjid yang lebih menekankan aspek fisik belaka. Padahal pada masa lampau masjid memiliki fungsi yang begitu banyak tak hanya mengedepankan pembangunan fisik, namun masjid menjadi central space untuk melakukan kegiatan terkait aspek-aspek ekonomi, sosial, politik, bahkan militer. Menilik dinamika masjid saat ini, ada sebuah masjid yang memiliki ciri seperti fungsi masjid di masa silam, yaitu Masjid Jogokariyan. Oleh karena ini peniliti mencoba menyelami terkait fenomena masjid ini. Peneliti tertarik dengan fenomena yang terlihat berbeda dengan masjid umumnya dalam kegiatan yang ada di Masjid Jogokariyan. Maka, peneliti menjadikan riset ini dengan mengambil tema “Optimalisasi Fungsi Masjid Sebagai Ruang Publik”. Penelitian ini menjadi berbeda dengan penelitian-penelitian terkait yang telah dilakukan sebelumnya yang ada dalam pembahasan ini. Adanya perbedaan tersebut dikarenakan peneliti mencoba menelisik fungsi lain masjid disamping menjadi tempat beribadah namun juga menjadi ruang publik. Penelitian Terkait Ruang Publik menjadi sebuah perbincangan yang cukup diminati oleh kalangan peneliti kajian sosial dan humaniora. Adapun salah satu penelitian yang mengkaji tentang Ruang Publik ialah penelitian Widya Utami (2005) dari Universitas Gadjah Mada Fakultas Isipol Jurusan Sosiologi yang dijadikan beliau sebagai skripsi. Penelitian beliau berjudul “Angkringan dan Krisis Ruang Publik (Suatu studi tentang makna angkringan oleh para mahasiswa)”. Penelitian Widya mengkaji tentang sebuah fenomena social, dimana angkringan yang merupakan sector informal penyedia kebutuhan barang 9
konsumsi dengan harga yang terjangkau mulai menjadi sebuah ruang bersama yang bahkan menembus lapisan-lapisan kelas social. Tak hanya milik mahasiswa, namun kelas-kelas atas lainnya mulai menggandrungi suasana di angkringan. Beliau meneliti apakah factor harga barang konsumsi yang terjangkau yang menyebabkan angkringaan diminati oleh kalangan-kalangan yang berbeda kelas, ataukah ada factor-faktor lain di dalamnya? Widya mengambil lokasi penelitian di angkringan sebelah utara Stasiun Tugu yang dikenal dengan Angkringan Tugu atau Angkringan “Lek Man” yang terletak di Wongsodirjan, Kelurahan Sosromenduran, Kecamatan Gedongtengen, Yogyakarta. Hasil penelitian beliau menunjukkan bahwa angkringan mulai menjadi Ruang Publik baru pada masa itu disebabkan memungkinkan terciptanya opini-opini public yang bebas dari kendali pemerintah. Disamping dikarenakan harga makanan yang murah, alasan digandrunginya angkringan karena adanya keleluasaan untuk nongkrong dan ngobrol, sehingga diskusi-diskusi pun terjadi dari yang humor sampai yang berat. Penelitian ini juga memaparkan tentang terjadinya krisis ruang publik, dimana tempat-tempat yang direncanakan menjadi sebuah ruang bersama tergeser fungsinya, seperti titik nol kilometer pada masa itu yang beralih menjadi tempat banyaknya pengemis dan pengamen.Dan ruang-ruang public seperti malioborro lebih cenderung beralih fungsi menjadi ruang ekonomi. Adapun penelitian lain terkait Masjid Jogokariyan juga pernah dilakukan oleh Nuruddin Al Akbar yang merupakan Mahasiswa S2 UGM Fakultas Isipol Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan dengan mengangkat tema “Dekonvensionalisasi Cara Pandang Terhadap Fenomena Orang Kuat: Berkaca dari Kepemimpinan Transformatif Jazir di Masjid Jogokariyan”. Penelitian ini mengkaji tentang sebuah fenomena dimana adanya arena control kekuasaan dalam masjid, yang telah mulai merebak pasca reformasi. Masjid mulai mengalami pengelompokan sesuai dengan sebuah gerakan yang dominan pada daerah sekitar masjid tersebut, sehingga secara otomatis membentuk masjid dengan identitasnya masing-masing, semisal adanya plangi-sasi masjid “NU” atau masjid “Muhammadiyah”. Dengan demikian terdapatlah efek ketika identitas telah terbentuk, maka agenda-agenda masjid ataupun tata cara ibadah mengikuti golongan dominan. Fenomena ini tergambar dengan adanya perbedaan rakaa‟at shalat tarawih 10
antara masjid “NU” dengan “Muhammadiyah”. Efek yang lebih besar dapat terjadi ketika sudah mulai adanya perebutan kekuasaan dalam ruang lingkup pengelolaan masjid diantara beberapa golongan yang tak jarang dapat menimbulkan konflik-konflik. Namun dalam penelitian ini terdapat suatu pembahasan dimana fungsi Masjid Jogokariyan mengalamai transformasi yang menimbulkan dampak terjadi kesetaraan antar golongan dengan terlihatnya beberapa kegiatan yang mengusung nilai-nilai kebersamaan. Dibalik semua itu, terdapatlah sosok yang dikatakan sebagai “Orang Kuat” dalam penelitian ini, yaitu Ustadz Jazir. Beliau memiliki peran penting dalam pembentukan poa-pola hubungan sosial yang ada di Masjid Jogokariyan ini.
a. Masjid Masjid merupakan tempat peribadatan bagi umat muslim yang sering kita temui di negara-negara yang penduduknya banyak menganut ajaran agama Islam. Kata masjid berasal dari bahasa Arab, yaitu sajada yang memiliki arti tempat sujud atau tempat menyembah Allah SWT. Sedangkan apabila ditinjau secara terminologi, masjid memiliki makna sebagai tempat beribadah ummat Islam, khususnya dalam melaksanakan shalat. Masjid juga sering disebut dengan nama Baitullah yang memiliki arti “Rumah Allah”, yaitu rumah yang dibangun sebagai sarana mengabdi kepada Allah.15 Dtinjau dari sisi historis baik pada masa Nabi SAW, ataupun di masa-masa sesudahnya, Masjid menjadi tempat yang memiliki fungsi central dalam kegiatan umat muslimin. Kegiatan tersebut baik di bidang pemerintahan yang mencakup ranah ideology, social, ekonomi, politik, pengadilan, dan bahkan pengaturan kemiliteran dibahas di dalam lembaga masjid. Masjid juga memiliki fungsi sebagai pusat pengembangan kebudayaan islam, terutama saat gedung-gedung khusus belum didirikan. Tak hanya itu, tempat peribadatan ini juga digunakan untuk ajang berkumpul, halaqah 16 , diskusi, tempat mengaji, dan memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan agama ataupun umum.
15
Ibid., hlm. 1. Ibid., hlm. 2.
16
11
Fungsi masjid:17 1. Masjid merupakan tempat kaum muslimin beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. 2. Masjid adalah tempat kaum muslimin beri‟tikaf, membersihkan diri, menggembleng batin untuk membina kesadaran dan mendapatkan pengalaman batin/keagamaan seihngga terpelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan kepribadian; 3. Masjid adalah tempat bermusyawarah kaum muslimin guna memecahkan persoalanpersoalan yang timbul dalam masyarakat; 4. Masjid adalah tempat kaum muslimin berkonsultasi, mengajukan kesulitan-kesulitan, meminta bantuan dan pertolongan; 5. Masjid adalah tempat membina keutuhan ikatan jama‟ah dan kegotong-royongan di dalam meuwujudakan kesejahteraan bersama; 6. Masjid dengan majelis taklimnya merupakan wahana untuk meningkatkan kecerdasan ilmu pengetahuan muslimin; 7. Masjid adalah tempat pembinaan dan pengembangan kader-kader pemimpin ummat; 8. Masjid tempat mengumpulkan dana, menyimpan, dan membagikannya; dan 9. Masjid tempat melaksanakan pengaturan dan supervise social
b. Organisasi dalam kepengurusan masjid Penelitian ini merupakan penelitian yang mencoba untuk menelaah peran pengelola Masjid Jogokariyan dalam menciptakan suasana kultural di masjid Jogokariyan yang memfungsikan masjid sebagai publik sphere masyarakat muslim. Oleh karena itu, dibawah ini merupakan penjabaran beberapa organisasi yang berkontribusi dalam membuat kegiatan-kegiatan di Masjid Jogokariyan: 1. Takmir Takmir masjid merupakan suatu kelompok atau komunitas yang terdiri dari beberapa orang yang membentuk pola koordinasi dan
17
Ibid., hlm. 7.
12
pengorganisasian dalam upaya memakmurkan masjid dan mengembangkan aktivitas kerohanian di masjid. Sedangkan dalam pengertian bahasa
Arab
takmir merupakan akar kata dari "amara - yakmuru -amr - amir" dan seterusnya yang artinya penyuruh, pengurus, yang diserahi urusan, yang memerintah dan seterusnya. Ta‟mir juga dapat diambil dari akar bahasa "'amara - ya'muru - 'imarun / 'imaratun - 'aamir " dan seterusnya yang memiliki makna “yang memakmurkan”. Dalam penelitian ini takmir masjid yang dimaksud ialah takmir Masjid Jogokariyan. . 2. Kerangka Theory a. Teori Public Sphere Public Sphere Istilah “Ruang Publik” merupakan suatu istilah yang tak asing terdengar dalam kajian studi social, politik, dan humaniora. Konsep “Ruang Publik” sendiri memiliki perkembangan makna serta menjadi populer dalam pembahasan para ilmuwan social. “Ruang Publik” dalam Inggris dikenal dengan Public Sphere, dan di Jerman dikenal dengan istilah Offentlichkeit. Di dalam bahasa Jerman proses pembentukan kata benda Offentlichkeit berasal dari kata sifat yang lebih tua, offentlich, yang sudah berlangsung pada abad ke-18, 18 yang maknanya sejalan (analog) dengan „publicite‟ dalam bahasa Perancis, lalu dalam bahasa Inggris dikenal dengan „publicity‟. Istilah kata “publik” (public) dan “kepublikan” (publicity) bukan berasal dari bahasa Indonesia, namun istilah ini sudah ada dilacak hingga zaman Yunani dan Romawi Kuno. 19 Konsep public ditelisik lahir bersamaan dengan terbentuknya polis (Negara Kota) di Yunani yang juga bertepatan tempat kelahirannya dengan tempat kelahiran istilah politik. Sedangkan dalam masyarakat Romawi ditemukan bahwasanya terdapat dua makna dalam istilah 18
Jurgen Habermas, Ruang Publik –Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjouis-, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2007, hlm. 4 19
F. Budi Hardiman, Ruang Publik. Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace, Kanisius, Yogyakarta, 2010, hlm. 3.
13
publicus: Pertama, milik rakyat sebagai satuan politis atau milik negara; dan kedua, sesuai dengan rakyat sebagai seluruh penduduk atau – kata lain untuk itu adalah – „umum‟.20 “Bebarapa istilah berikut memperlihatkan cirri „umum‟ itu (Publicus), yaitu: lux publica (matahari), dies publica (hari raya), verba publica (bahasa pergaulan). Kata ini mengacu pada “ruang social” yang bisa dilibati oleh semua orang. Ruang itu di zaman Yunani Romawi terletak di luar rumah, yaitu di jalanjalan, di alun-alun, di arena teater. Sementara itu „ruang‟ yang berada di bawah kekuasaan pater familias (ayah) disebut privates, maka kemudian tidak hanya ada res publica,(hal public), melainkan juga res private (hal privat). Akan tetapi distingsi eksplisit tentang „privat‟ dan „publik‟ itu adalah sebuah gagasan modern yang belum berkembang dalam masayarakat kuno.”21 Selain pengenalan istilah public dilacak sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno, istilah public juga menjadi perbincangan pada pertengahan abad ke-17 di Inggris Raya. Sedangkan di Perancis istilah yang menjadi perbicangan ialah le publica yang pada abad ke-18 dikenal dengan istilah publikum.Kemudian di Jerman juga tak lepas dari pengaruh istilah ini pada waktu itu yang penyebarannya dimulai dari Berlin, menurut Worterbuch-nya Grimm. Dialog mengenai ruang publik juga tak terlepas dengan sebuah konsep dari Habermas yang dipaparkan lengkap disertai studi kasusnya dalam buku “Ruang Publik Masyarakat Borjouis”. Habermas menelaah suatu kajian terkait peran dan dampak public sphere dalam membentuk suatu perubahan sosial. Ia lebih menekankan pembahasannya dengan mengambil sebuah sampel di negara-negara di Eropa. Ruang publik yang ada saat itu merupakan suatu ruang yang memiliki peran sebagai penyaluran aspirasi dan gagasan yang dilakukan oleh kalangan-kalangan yang berangsur mulai meleburkan sekat. Fenomena ini ditandai dengan digunakannya kedai-kedai kopi pada saat zaman keemasan Inggris antara tahun 1680 sampai 1730 dan salon-salon pada periode transisi perwakilan dengan Revolusi Perancis sebagai pusat kritik. Meskipun pada awalnya bersifat kesusastraan namun seiring berjalannya waktu mulai bersifat politis juga, sehingga menghasilkn kelompok masyarakat terdidik yang berada di tengah-tengah kalangan aristokratik dan intelektual bourjouis. Kedai kopi ini juga 20
Ibid., hlm. 3. Ibid., hlm. 4.
21
14
memberikan ruang yang lebih luas, yaitu pada kelas menengah seperti pengrajin, dan pegawai pertokooan.22 Adapun dalam pembahasan Public Sphere, Habermas memberikan penjelasan tentang ruang public yang ia maksudkan terjadi pada masa-masa itu. Habermas menerangkan bahwa “Ruang Publik borjuis yang berkembang penuh didasarkan kepada identitas khayali mengenai dua peran mereka yang diciptakan oleh individu-individu terprivat yang berkumpul bersama membentuk sebuah public: yakni peran sebagai pemilik-properti dan peran sebagai umat manusia yang murni dan bersahaja.” Ia juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan public bukan berarti adalah sebuah tempat yang bisa dimasuki siapa saja, meskipun memang pembahasan tentang public sering dimengerti dan mengacu pada sebuah peristiwa-peristiwa yang terbuka bagi semua pihak. Namun menurut Habermas “public” sendiri tidak harus sedemikian. “peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian tertentu sebagai peristiwa atau kejadian dan bersifat „publik‟ jika terbuka bagi semua pihak, berlawanan dengan urusan-urusan yang lebih tertutup atau eksklusif-misalkan sewaktu kita mnyebut tempat-tempat public atau perumahan public. Namun seperti dalam istilah „bangunan publik‟, ternyata tidak harus selalu mengacu kepada sifatnya yang bisa dimasuki siapa saja, karena bangunan itu tidak bisa dijadikan jalan umum, misalnya. „Bangunan publik‟ apa pun bahkan tidak mesti terbuka lebarlebarnya sebagai tempat public berlalu-lalang di dalamnya. Mengapa?Karena „bangunan „publik‟ bisa saja hanyalah sebuah bangunan institusi Negara, namun dengan keadaan yang seperti ini pun dia sudah termasuk di dalam kategori „publik‟.23
Habermas memberikan sebuah pengertian bahwa ruang public juga dapat terbentuk dari ruang masyarakat privat yang berkumpul menjadi ‟publik‟. “Habermas juga menjelaskan bahwa Ruang public borjuis yang dimengerti, di atas segalanya, sebagai, ruang masyarakat privat (sphere of privat people) yang berkumpul bersama menjadi sebuah public”.24
22
Jurgen Habermas, op. cit. hlm.50. Jurgen Habermas, op. cit. hlm. 2. 24 Jurgen Habermas, op. cit. hlm. 41. 23
15
Sehingga makna ruang publik dalam pembahasan ini dapat disimpulkan bahwasanya ruang masyarakat privat yang berkumpul menjadi publik juga dapat dikategorikan sebagai public sphere. Dalam penelitian ini yang dimaksud sebagai public sphere adalah masjid yang menjadi ruang publik bagi masyarakat muslim. Dimana makna publik sendiri lebih menekankan dan terbentuk dalam konteks masyarakat muslim, seperti halnya Habermas memaknai “ruang publik masyarakat borjouis”, yang ia tekankan pada sebuah ruang dari masyarakat bourjouis yang berkumpul menjadi sebuah publik. Meskipun demikian makna ruang publik pada masjid sendiri tak dapat dilepaskan dari sifat masjid yang bersifat „publik‟ (yang dapat diaskses oleh siapa saja). Hanya saja memang ruang publik pada masjid lebih mengakomodir masyarakat muslim, karena masjid adalah sebuah tempat ibadah bagi masyarakat muslim, sehingga masjid jarang diakses oleh masyarakat yang beragama non-muslim. Jika non-muslim ingin masuk di masjid memang terdapat ketentuan-ketentuan tertentu yang harus memenuhi syarat. Sebab pembahasanpembahasan yang akan muncul dalam ruang publik ini merupakan suatu pembahasan yang tak terlepas dari kajian etika, moral, dan nilai-nilai Islam itu sendiri. Dengan demikian lebih lanjut akan diapaparkan terkait konsep “Baitullah” (Rumah Allah), yang mana di dalam konsep “Rumah Allah” terdapat beberapa ciri dari konsep “Public Sphere”. Kemudian ruang publik yang dibahas dalam riset ini tak bermaksud menyamakan dengan fenomena ruang publik yang terjadi di Eropa di abad ke-17 atau abad ke-18 yang pada waktu itu ruang publik banyak digunakan untuk menkritisi raja dan pemerintahan serta pembahasan yang ada di dalamnya penuh dengan celaan seperti pola ruang publik di Eropa sesuai yang dijelaskan Habermas. Namun pembahasan dalam riset ini lebih menekankan kepada fungsi masjid yang dijadikan tempat berkumpul, berinteraksi, dan mencurahkan ide gagasan guna mengupayakan perubahan sosial yang lebih baik. Pengupayaan ini dapat diimplementasikan dalam sebuah program atau aktivitas-aktivitas prakarsa actor-aktor dalam ruang publik tersebut. Tentunya antara kedai-kedai kopi ataupun salon-salon yang ada di Eropa sesuai yang dijelaskan Habermas terdapat perbedaan dengan Masjid. Sebab pengoptimalan fungsi ruang publik di masjid akan 16
diterapkan berlandaskan prinsip-prinsip dalam agama Islam. Dengan demikian, pola yang terjadi akan menyesuaikan nilai dan norma yang terkandung dalam agama tersebut. Hanya saja fungsi ruang untuk berinteraksi dan untuk mengekplorasikan gagasan yang tak tersekat strata inilah yang ditekankan dalam peneilitian ini. b. Baitullah (Rumah Allah) Baitullah merupakan kata yang bermakna “Rumah Allah”, dan kata ini sering digunakan untuk menyebut “Ka‟bah” 25 . Makna “Rumah Allah” dalam kata Baitullah bukanlah berarti bermakna tempat dimana Allah berada atau tempat tinggalnya Allah SWT, melainkan makna “Rumah Allah” yang dimaksud ialah bahwa Ka‟bah itu milik Allah, bukan milik suatu negara, madzab, golongan tertentu, ataupun suatu bangsa. Dengan demikian setiap ummat muslimin yang ada di dunia berhak untuk datang ke tempat ini dan mengagungkan Allah. Kata Baitullah juga sering digunakan untuk menyebut “masjid”, dimana penjelasan ini tertera dalam sebuah perkataan Nabi SAW, yang berbunyi: ”Tidaklah suatu kaum berkumpul di buyuutillah ( rumah-rumah Allah ), membaca dan mempelajari al-Quran, niscaya mereka merasakan ketenteraman dan kasih sayang.”26 Makna kata “buyutillah” yang dimaksud dalam kalimat diatas ialah “masjid”. Dengan demikian, masjid juga merupakan suatu tempat milik Allah, bukan milik suatu bangsa, negara, madzab, ataupun golongan tertentu. Melainkan, setiap ummat muslimin berhak menggunakan masjid sebagai tempat beribadah kepada Allah SWT. Penggunaan masjid dalam hal ini pun tidak mengkhususkan masjid bagi orang-orang kaya dibanding orang miskin, kelas-kelas social tertentu, ataupun kedudukan manusia berdasarkan perspektif material. Akan tetapi masjid digunakan oleh setiap kalangan yang ada dalam ummat muslimin,27 sebab dalam ajaran agama Islam, Allah SWT memandang seseorang berdasarkan tingkat ketakwaanya, bukan berdasarkan kelas social ataupun kepunyaan 25
Ka’bah merupakan tempat ibadah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim as.dan Nabi Ismail as.yang digunakan sebagai tempat ibadah, dan berlokasi di Mekah, Arab Saudi. 26 . Shahih Bukhari, hadits nomor 2699 dan Shahih Muslim, hadits nomor 2699 27
Fiqih Sunnah, Galamedia, Jumat, 21 April 2006/22 Rabiul Awal 1427 H
17
material orang tersebut. Hal ini berdasarkan ayat yang ada dalam kitab suci panduan ummat muslimin, dengan redaksi: ”.....Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.28 Lebih lanjut menurut Moh. E. Ayub, dkk menerangkan mengenai operasional masjidsetidaknya menyangkut 3 hal, yaitu:29
1. Aspek Hissiyah (Bangunan) Dalam hal bangunan fisik masjid, Islam tidak menentukan dan mengatur secara spesifik. Sehingga ummat Islam diberikan keleluasaan dan kebebasan membangun masjid dengan bentuk arsitektur beraneka ragam, selama bangunan itu berperan sebagai rumah ibadah dan kegiatan jama‟ah/ummat. Fenomena belakangan ini banyak bermunculan masjid yang dibangun dengan aneka ragam bentuk arsitektur dan berdiri mewah serta megah. Bersamaan dengan berdirinya masjid tentunya tujuaan pendiriannya harus benar dan disadari sejak awal, dimana masjid memiliki peran menjadi tempat ibadah dan pusat kegiatan ummat. Sehingga pembangunan masjid pun menjadi tidak mubadzir, sebab Nabi Muhammad Saw pernah menyampaikan bahwa akan ada golongan yang membangun masjid-masjid dengan megah, namun kegiatan pelaksanaan petunjuk Allah sepi di dalam masjid tersebut. Inilah hal yang perlu dikhawatirkan dalam dinamika perkembangan pembangunan masjid. Adapun redaksi pernyataan Nabi Muhammad Saw adalah sebagai berikut: “Masjid-masjid dibangun megah, tetapi sepi dari pelaksanaan petunjuk Allah.”30
28
Dalam Q.S Al-Hujarat (49): 13 yang merupakan penjelasan kedudukan manusia dalam agama Islam
29
Moh. E. Ayub, dkk, op. cit. hlm 11 Hadist Riwayat Baihaqi
30
18
2. Aspek maknawiyah (Tujuan) Pada masa Rasulullah pembangunan masjid memiliki dua tujuan, sebagai berikut:31 a. Masjid dibangun atas dasar takwa dengan melibatkan masjid sebagai pusat ibadah dan pusat pembinaan jama‟ah/ummat Islam.32 b. Masjid dibangun atas dasar permusuhan dan perpecahan di kalangan ummat dan sengaja untuk menghancurkan ummat Islam.33 Tujuan didirikan masjid yang dibangun atas dasar ingin memunculkan permusuhan dan ingin memecah belah ummat islam ialah masjid yang didirikan dengan motif yang salah. Masjid sedemikan rupa dijuluki “Masjid Dhirar”, yang artinya membawa mudharat/kesesatan.
3. Aspek Ijtima‟iyah (Kegiatan) Kegiatan pada suatu masjid dapat dilihat dari ruang lingkup kelembagaan masjid itu sendiri. Setidaknya Moh. E. Ayub, dkk memaparkan beberapa ruang lingkup kelembagaan pada masjid, sebagai berikut: a.
Lembaga dakwah dan bakti social
Kegiatan yang berkecimpung dalam hal dakwah dan bakti social tentunya terdapat pada hampir semua masjid. Sebab masjid pada dasarnya memiliki fungsi sedemikian rupa. Kegiatan dakwah dalam masjid dapat dilihat dari adanya kegiatan-kegiatan seperti pengajian/tabligh, silaturahim, diskusi, dan lain-lainnya. Adapun kegiatan bakti sosial dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan seperti khitanan masal, pembagian zakat, penyembelihan hewan qurban, dan lain-lainnya. Kegiatan-kegiatan semacam ini biasanya dilakukan dalam periode dan waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan, Bulan Haji, Bulan Maulid, dan Bulan Hijriyah.
31
Moh. E. Ayub, dkk, op. cit. hlm 12 Berdasarkan Surat At-Taubah: 108 33 Berdasar Surah At-Taubah: 107-108, 32
19
b.
Lembaga Manajemen Dana
Dalam dinamika perkembangan masjid, memang terdapat banyak masjid yang masih menggunakan pola manajemen yang tradisional dan hanya beberapa masjid tertentu yang memiliki manajemen secara profesional. Hal ini berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia pengelola/pengurus masjid, khususnya terkait hal yang menyangkut visi, misi, prinsip-prinsip, wawasan, krativitas dan kemampuan-kemampuan yang dapat mengoptimalkan potensi masjid. c.
Lembaga pengelola dan Jama‟ah
Tentunya dalam masjid terdapat hubungan yang perlu terjallin erat antara pengelola masjid dan jama‟ah agar terdapat banyak kegiatan yang berlangsung dalam masjid. Hanya bedanya terkait keikut sertaan dan kontribusi masingmasing pihak. Pengelola akan lebih banyak berkecimpung dalam pengelolaan masjid semisal dalam mengelola masjid seperti terkait administrasi dan pengelolaan, sedangkan jama‟ah lebih kecil perannya meskipun juga dapat sebagai pribadi yang memberikan gagasan dan opini agar dimusyawarahkan ataupun berkontribusi dalam hal pendanaan masjid. Apabila ditinjau dari pembahasan diatas, terdapatlah beberapa ciri-ciri “Ruang Publik” di dalam konsep Masjid, yaitu tempat dimana dapat dimasuki oleh kalangan yang luas meskipun juga bukan berarti bisa dimasuki siapa saja. Terkait hal ini konsep “Ruang Publik” sendiri menurut Habermas tak selalu dimasuki oleh semua orang: “Namun seperti dalam istilah „bangunan publik‟, ternyata tidak harus selalu mengacu kepada sifatnya yang bisa dimasuki siapa saja, karena bangunan itu tidak bisa dijadikan jalan umum, misalnya. „Bangunan publik‟ apa pun bahkan tidak mesti terbuka lebar-lebarnya sebagai tempat public berlalu-lalang di dalamnya. Mengapa?Karena„bangunan publik‟ bisa saja hanyalah sebuah bangunan institusi Negara, namun dengan keadaan yang seperti ini pun dia sudah termasuk di dalam kategori „publik‟.34
34
Ibid., hlm. 2.
20
Begitu pula dengan masjid, bahwa memang masjid (Rumah Allah) ini memang memiliki sifat yang mengkhususkan untuk ummat muslimin. Namun meskipun demikan terdapat beberapa pendapat dalam kalangan Ulama‟ 35 terkait perihal apabila Non-Muslim masuk di dalam masjid. Sebagai berikut:36 1.
Abu Hanifah (Imam Madhab Hanafiyah), memperbolehkan non muslim
masuk masjid (mana saja), termasuk Masjidil Haram. 2.
Malikiyah tidak memperbolehkan, kecuali ada keperluan penting seperti
persidangan yang dilakukan atas dirinya di dalam masjid. Ketentuan ini berlaku untuk semua masjid tanpa kecuali. 3.
Syafi‟iyah membolehkan, asal ada keperluan, dengan mengecualikan
Masjidil Haram
Beranjak dari perbedaan pendapat diatas, pada dasarnya “Rumah Allah” tentunya memiliki fungsi yang lebih general dibanding konsep “Ruang Publik”. “Rumah Allah” (Masjid) memiliki fungsi utama sebagai tempat beribadah, namun juga memiliki fungsifungsi turunan yang begitu banyak dan menjadi central kegiatan ummat muslimin. Adapun beberapa fungsi “Ruang Publik” yang ada dalam konsep “Rumah Allah” (Masjid) dapat disimak dalam penjelasan diatas, bahwasanya masjid memiiliki aspek ijtima‟iyah (kegiatan) yang setidaknya meliputi dua konsep, adalah sebagai berikut: 1.
Konsep Dawah
Secara etimologi kata dakwah berasal dari bahasa arab yang memiliki makna panggilan, ajakan, dan seruan. Sedangkan dalam bahasa Arab, kata dakwah berasal dari kata “da‟ayad‟u- du‟aan” yang berarti mengundang, mengajak, dan menyeru. Sedangkan secara terminologi terdapat banyak pendapat yang berbeda di kalangan ahli, sebagai berikut: a. Menurut Syekh Ali Mahfud. Dakwah Islam adalah memotivasi manusia agar melakukan kebaikan menurut petunjuk, menyuruh mereka berbuat kebajikan dan
35 36
Orang-orang yang ahli mengenai ilmu dalam agama Islam Diakses dari www.pesantrenvirtual.com, pada tanggal 11 Desember 2013 Pukul 20.16
21
melarang mereka berbuat kemungkaran, agar mereka mendapat kebahagian dunia dan akhirat.37 b. Menurut Amin Rais, dakwah adalah gerakan simultan dalam berbagai bidang kehidupan untuk mengubah status quo agar nilai-nilai Islam memperoleh kesempatan untuk tumbuh subur demi kebahagiaan seluruh umat manusia.38 c. Menurut Toha Yahya Umar, dakwah adalah mengajak manusia dengan cara bijaksana ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat.39 Dari pengertian diatas setidaknya dapat disimpulkan bahwa dakwah merupakan suatu upaya menyeru dan menyampaikan kebenaran kepada orang lain dengan harapan agar dapat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian, ditemukan beberapa ciri yang ada pada public sphere di dalam aktivitas memakmuran masjid, yaitu ialah ajakan atau seruan, dimana orang yang satu menyeru orang lainnya dengan menyampaikan pengetahuannya agar harapannya kehidupan dalam lingkungannya menjadi semakin baik. Seruan ini pun bisa berupa opiniopini publik, baik berkaitan dalam bidang politik, social, ekonomi, juga tentang nilai-nilai moral serta etika yang ada dalam agama. Dalam dakwah sendiri ruang lingkup pengetahuan yang disampaikan sangatlah luas, bahkan dalam berbagai aspek kehidupan yang bersifat spesifik. Proses dakwah juga tak terlepas dari adanya sebuah gagasangagasan yang memunculkan pikiran kreatif untuk membentuk sebuah strategi-strategi guna merancang tatanan social agar kehidupan menjadi lebih baik, dimana dalam hal ini termasuk ciri dari public sphere. Lebih lanjut terdapatnya ciri “ruang publik” di dalam fungsi masjid lebih jelas dapat dilihat dalam konsep “dakwah bil hilal”, yang mana dakwah bil hilal mencerminkan implementasi dari gagasan-gagasan untuk membentuk tatanan sosial yang lebih baik.
37
M Kholili, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Psikologi , UD. Rama, Yogya, 1991, hal. 66. Amin Rais,Cakrawala Islam, Mizan, Bandung, 1991, hal 26. 39 Toha Yahya Oemar, Ilmu Dakwah, Wijaya, Jakarta, 1976, hal. 1. 38
22
Dakwah bil hilal juga disebut Dakwah Pembangunan. Moh.E Ayub dalam Manajemen Masjid menjelaskan bahwa dakwah bil hilal merupakan kegiatan-kegiatan dakwah yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup umat, baik rohani maupun jasmani. Dakwah bil hilal mempunyai ruang lingkup yang begitu luas. Adapun kegiatan-kegiatan yang ada dalam dakwah bil hilal dititik beratkan pada upaya:40 a. Meningkatkan kualitas pemahaman dan amal keagamaan pribadi muslim sebagai bibit generasi bangsa yang memacu kemajuan ilmu dan teknologi b.Meningkatkan kesadaran dan tata hidup beragama dengan memantapkan dan mengukuhkan ukhuwah islamiyah; c. Meningkatkan kesadaran hidup berbangsa dan bernegara di kalangan umat Islam sebagai perwujudan dari pengalaman ajaran Islam; d.Meningkatkan kecerdasan dan kehidupan sosial ekonomi umat melalui pendidikan dan usaha ekonomi; e. Meningkatkan taraf hidup umat, terutama kaum dhuafa dan masakin; f. Memberikan pertolongan dan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan melalui berbagai kegiatan sosial, seperti pelayanan kesehatan, panti asuhan, yatim piatu, dan orang-orang jompo; g.Menumbuh
kembangkan
semangat
gotong
royong,
kebersamaan,
dan
kesetiakawanan sosial melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat kemanusiaan. Meninjau dari upaya-upaya diatas, terdapatlah ciri “publik sphere” di dalam fungsi-fungsi masjid “Rumah Allah”. Hal ini berdasarkan pola yang diupayakan oleh komunitas yang ada di dalamnya (Masjid) menekankan pada sebuah implementasi gagasan suatu komunitas dalam upaya menciptakan perubahan social.
2. Konsep Tholabul „Ilmi Tholabul „ilmi artinya mencari ilmu karena mengharap ridho dan cinta kepada Allah, dan hal ini mendekatkan pada syurga Allah. Sedangkan ilmu dalam kata ini 40
Moh. E. Ayub, dkk, op. cit. hal 9.
23
memiliki arti yang lebih dalam, yang mana kata “ilmu” sesungguhnya berasal dari bahasa arab. Menurut para ulama Al‟ilmu berasal dari kata „Alima – Ya‟lamu – „Ilman yang mengandung makna“Ma‟rifah wal idrook”, atau dalam bahasa Indonesia artinya “pengetahuan” Pengetahuan yang dimaksud ialah ilmu Dien. Ilmu Dien ialah ilmu yang datangnya dan ditetapkan oleh Sang Pencipta alam raya dan Yang Maha Mengetahui dan Maha Cerdas, yang dengan ilmu-Nya dapat menciptakan bumi, langit, matahari, bulan, bintang, dan semua yang ada di alam semesta ini. Ilmu ini memiliki ruang lingkup yang membahas dunia dan akhirat.
Islam begitu menekankan pemeluknya untuk mencintai ilmu dan mencari ilmu setinggi-tingginya. Hal ini berdasarkan ayat-ayat kitab suci dan perkataan Nabi Saw: “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari „ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke syurga. Sesungguhnya malaikat menaungkan sayap-sayapnya kepada orang yang menuntut „ilmu karena senang (terhadap apa yang diperbuat).”41 Dan dalam Agama Islam kedudukan orang yang berilmu begitulah istimewa, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur‟an dengan redaksi bahasa Indonesia: “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapanglapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”42 Dengan adanya tuntunan seperti ini dalam Islam, maka pemeluknya banyak yang haus akan ilmu. Adapun „ilmu bisa di dapatkan dalam majelis-majelis di masjid. Dengan demikian ciri public sphere lainnya pada fungsi masjid, yaitu tempat untuk mencari informasi dan pengetahuan serta menyampaikan gagasan-gagasan. Hal ini memiliki 41
Hadist Riwayat At-Tirmidzi dari Abu Darda’ No. 2606 Dalam Q.S Al-Mujadallah: 11 terdapat penjelasan tentang kedudukan orang beriman dan berilmu dalam agama Islam: 42
24
kesamaan dengan penjelasan ruang publik Habermas, bahwasanya ruang publik dipakai sebagai tempat-tempat berdiskusi.
Dibawah ini merupakan tabel ciri ruang publik yang terdapat dalam fungsi “Rumah Allah” (masjid): Tabel.1 . Persinggungan ciri Masjid dan Ruang Publik Masjid (Rumah Allah/Baitullah)
Ruang Publik
Terjadi Interaksi sosial di dalamnya
Terjadi interaksi sosial di dalamnya
Bersifat umum, meskipun tidak selalu dapat Bersifat umum, meskipun tidak selalu dapat dimasuki semua orang
dimasuki semua orang
Tempat penyampaian dan pembahasan opini- Tempat dimana pembahasan dan dialog-dialog opini publik dan lebih luas lagi terkait ilmu opini publik terjadi dunia dan akhirat Tempat mencurahkan ide dan gagasan untuk Tempat mencurahkan ide dan gagasan untuk membentuk perubahan social sesuai tuntunan membentuk perubahan social ajaran Islam Sumber: Penjabaran Ruang Publik Habermas dan Penjelasan Fungsi Masjid oleh Moh E Ayub
Apabila melihat tabel diatas terdapatlah sebuah gambaran persinggungan ciri Masjid dan Ruang Publik. Diantaranya terdapat suatu hubungan dan kemiripan fungsi. Namun meskipun demikian, ruang publik tidaklah harus musti berada di masjid. Namun masjid pada dasarnya selain digunakan untuk tempat beribadah juga dapat digunakan untuk fungsi ruang publik meskipun lebih mengakomodir kalangan Islam. Tentunya ruang publik yang ada di masjid merupakan ruang publik yang dibatasi oleh norma-norma ajaran Islam, karena pada esensinya pendirian bangunan ini difungsikan untuk beribadah kepada Allah. Dengan demikian arah pembahasan maupun aplikasi fungsi yang terjadi di masjid sehingga menimbulkan suatu hasil tertentu memiliki tuntunan-tuntunan yang telah ada dan arahan dalam ajaran Islam. berbeda dengan ruang publik dalam penjelasan Habermas, dimana ruang publik yang dibentuk pada penjabarannya bersifat bebas. 25
c. Teori Pengharapan (Expectancy Theory) Pengharapan teori adalah sebuah teori dari David A. Nadler dan Edward E. Lawler III. Teori ini digunakan sebagai suatu alat untuk memahami motivasi dalam suatu organisasi. Teori pengharapan menetapkan sejumlah proposisi tentang proses pengambilan keputusan bagaimana setiap individu berperilaku dalam organisasi. Ada tiga konsep kunci yang digunakan dalam teori ini:43 1. Pengharapan kinerja-hasil (Performance-Outcome Expectancy) Konsep in mengacu pada sebuah pandangan bahwa setiap perilaku individu di organisasi berkaitan dengan pengharapan memperoleh hasil tertentu (reward/punishment). Dengan demikian setiap individu percaya bahwa apabila ia melakukan tindakan tertentu, maka ia akan mendapatkan hasil tertentu pula.
2. Valenci (Valence) Setiap hasil kerja memiliki valensi (nilai, harga dan daya tarik) dari individu satu dengan individu lainnya berbeda dan tidak sama. Hal ini dikarenakan presepsi individu dan kebutuhan individu berbeda-beda pula.
3. Pengharapan usaha-kinerja (Effort-Performance Expectancy) Dalam konsep ini terdapat suatu pandangan bahwa setiap perilaku juga berkaitan dengan pengharapan tertentu dalam benak individu atau probabilitas keberhasilan. Pengharapan ini memperlihatkan presepsi individu tentang betapa sulitnya mencapai perilaku yang dimaksud. Hal ini dapat dianalogikan misal seorang individu itu memiliki pengharapan yang begitu kuat apabila ia dapat menyeleseikan produksi 15 unit per jam, apabila ia mengusahakan, karena itu dirasa memungkinkan, namun individu itu memiliki pengharapan yang tak sekuat tadi ketika diminta memproduksi 25 unit per jam, sebab ia berpresepsi bahwa kemungkinan bisa dikerjakan hanya fifty-fifty
43
Edward E. Lawler III, dkk, Handbook Organizations “Kajian dan Teori Organisasi”, Amara Books, Jogjakarta, 2003, hal. 16.
26
Secara umum, motivasi untuk berusaha berperilaku dengan cara tertentu menjadi kuat dan besar apabila:44 a. Individu percaya bahwa perilaku akan mengarah kepada hasil kerja (pengharapan kinerja-hasil) b. Individu percaya bahwa hasil kerja ini memiliki nilai positif bagi mereka (valensi) c. Individu percaya bahwa mereka mampu berkinerja hingga pada level yang diinginkan (pengharapan upaya-kerja)
d. Ukhuwah Islamiyah Dalam makna bahasa, kata ukhuwah diambil dari bahasa arab dan berasal dari kata akhu yang memiliki arti dua orang yang bersaudara baik karena seayah atau seibu, salah satu diantaranya, atau karena sesusuan. Kata ini juga bisa diterapkan bagi dua orang yang menyatu dalam segi ras, agama, karakter, persahabatan, jalinan cinta dan lainlain. 45 Adapun ukhuwah islamiyah secara bahasa memiliki arti “persaudaraan Islam”. Sedangkan secara istilah adalah kekuatan iman dan spiritual yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya yang beriman dan bertakwa yang menumbuhkan perasaan kasih sayang, persaudaraan, kemuliaan, dan rasa saling percaya terhadap saudara seakidah. Ukhuwah Islamiyah ini akan menimbulkan kasih sayang, saling pengertian, dan tidak menzhalimi serta menjaga kehormatan yang didasarkan karena Allah SWT. Konsep persaudaraan Islam ini telah tertulis dan diterangkan dalam kitab Al-Qur‟an pada Surah Al-Hujarat: 10, yang berbunyi: “Sesungguhnya
orang-orang
mukmin
adalah
bersaudara.
Karena
itu,
damaikanlah saudara kalian, dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat” Ayat ini menandakan bahwasanya dalam agama Islam terdapat suatu konsep persaudaraan yang tak terbatas pada tali ikatan darah ataupun keturunan, namun terdapat
44
Ibid., hlm. 18. Mustafa Al-Qudhat, Merajut Nilai-nilai Ukhuwah, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2002, hlm. 13.
45
27
sebuah konsep persaudaraan yang terlingkup dalam sebuah keyakinan. Sehingga meskipun berbeda ras, keturunan, bangsa, suku, dan bahasa, asal dalam keyakinan yang sama yaitu Islam, maka persaudaraanlah yang ditekankan dalam agama Islam dan terwujud dalam penerapan “ukhuwah islamiyah”. Perintah bersaudara ini juga keluar dari lisan Nabi Muhammad Saw.yang berbunyi: “Sesungguhnya perumpamaan seorang mukmin dengan mukmin yang lainnya laksana bangunan kokoh, yang saling menguatkan satu dengan lainnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan juga sebuah perkataan Nabi SAW yang berbunyi: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi adalah bagaikan satu jasad.Jika salah satu anggotanya menderita dan sakit, maka seluruh jasad juga merasakan (penderitaannya) dengan tidak bisa tidur dan merasa panas.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan adanya konsep ini, apabila diterapkan oleh pemeluk agama Islam tentunya akan memberikan sebuah dampak berupa kuatnya solidaritas sosial yang ada dalam internal ummat islam itu sendiri. Sebab Islam mengajarkan bahwa perlu adanya sebuah solidaritas sosial yang begitu kokoh yang diibaratkan satu orang dengan satu orang lainnya seperti sebuah bangunan yang menyatu dan saling menguatkan. Ataupun ibarat satu tubuh, hingga ketika ada satu bagian yang merasa sakit, maka bagian yang lain pun juga merasakannya. Apabila ukhuwah ini diterapkan tentunya akan terjadi kerukunan dalam internal ummat islam.
e.Perubahan Sosial Perubahan sosial merupakan suatu proses perubahan yang terjadi dalam aspekaspek kehidupan sosial baik secara alami maupun dengan adanya rekayasa sosial. Sedangkan Agus Salim dalam Perubahan Sosial mendefinsikan “Perubahan sebagai
28
proses, meliputi bentuk keseluruhan dari aspek kehidupan masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia, pada umumnya merupakan suatu proses yang terkendali oleh perencanaan makro yang disebut „pembangunan‟.”46 Maka, perubahan social memiliki teba (scope) kejadian dari yang sederhana misalnya lingkungan keluarga, sampai pada kejadian yang paling lengkap mencakup tarikan kekuatan kelembagaan dalam masyarakat. Penelitian ini juga sedikit menyinggung terkait fenomena perubahan sosial yang memiliki cakupan mikro dan sederhana dalam suatu daerah yaitu Kampung Jogokariyan. Perubahan sosial yang akan disinggung dalam ppenelitian ini meliputi ruang lingkup perubahan sosial terkait effect dan dampak dari pengoptimalan fungsi Masjid Jogokariyan sebagai Public Sphere masyarakat muslim di kampung tersebut.
Refleksi Dinamika Fungsi Masjid Masjid merupakan sebuah ruang publik pada masyarakat muslim yang tak menyekat strata dan tak memandang kelas. Pada dasarnya Agama Islam mengajarkan bahwa manusia itu setara di hadapan Allah, akan tetapi yang membedakan adalah tingkat ketakwaan dan keimanannya di hadapan Allah. Esensi ketaatan manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta inilah yang menjadi takaran derajat manusia. Dalam perkembangannya, masjid memiliki fungsi sebagai public sphere masyarakat muslim. Bahkan ditinjau dari sisi historisnya, masjid pun tak menutup kemungkinan bagi masyarakat non muslim untuk mendapatkan akses fasilitasnya. Hanya saja memang terdapat konteks-konteks tertentu kapan, bagaimana, dan mengapa masjid ini dapat diakses oleh Non-Muslim. Masjid sendiri menjadi sebuah ruang dimana seorang majikan bersama dengan buruhnya setara dan tak ada sekat strata di dalam pembentukan interaksinya. Hal ini ditunjukkan ketika sholat berjamaah ketika majikan dan buruh dapat berdampingan dan bersandingan erat untuk sama-sama melakukan suatu perintah agama. Fenomena ini 46
Agus Salim, Perubahan Sosial–Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia-, PT Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2002, hlm. Ix.
29
dikarenakan ajaran Islam mengajarkan bahwa sesama muslim adalah bersaudara. Prinsip peraudaraan inilah yang menjadikan adanya suatu ikatan yang begitu kuat apabila dilaksanakan pada pemeluk Islam. Sehingga pada masa lampau masjid menjadi pusat peradaban apabila digunakan secara semestinya. Masjid menjadi tempat berkumpul, memadu kasih sayang layaknya saudara, berbagi ilmu, mengeksplorasikan gagasan, mengadakan suatu perencaan, rapat dan kegiatan penting lain-lainya. Di masjid juga terjadi transfer ilmu yang tak memandang strata. Sang intelek dapat memberikan ilmu kepada buruh, dan buruh dapat berbagi pengalaman agar dapat diambil hikmahnya oleh sang intelektual. Otoritas ilmu lah yang nampak, tentunya ilmu ini ialah ilmu agama Islam yang di dukung dengan ilmu umum sebagai gambaran universalitas intelektual seorang muslim. Semua ini tentunya tak terlepas dari suatu nilai yang diyakini oleh pemeluk agama Islam. Dengan demikian fenomena ini akan coba dijelaskan dengan mengkorelasikan sebuah konsep yang terdapat dalam Islam, yaitu “Baitullah” (Rumah Allah). Baitullah merupakan sebuah kata yang digunakan untuk menyebut masjid. Dalam kata ini terkandung begitu banyak penjelasan dan makna yang dapat diselami. Makna yang ada dalam kata ini bisa jadi merupakan suatu pengetahuan yang dapat menjadi sebuah keyakinan bagi umat muslim untuk membentuk sebuah realita dan fenomena dimana masjid difungsikan sebagai ruang publik. Kemudian perspektif public sphere dari Habermas akan dijadikan tambahan referensi terkait pembentukan pola terjadinya optimalisasi sebuah tempat yang dapat dikatakan sebagai public sphere dalam membentuk ruang penyampaian gagasan dan eksplorasi pengetahuan. Dimana dengan adanya fungsi sedemikian rupa terjadilah suatu perubahan-perubahan sosial di daerah tersebut. Terkait konteks penelitian ini maka batasan penelitian mencakup sebuah study kasus di Masjid Jogokariyan, yang mana masjid ini merupakan masjid dengan nuansa tersendiri keunikannya tergambar dalam program-program dan pola-pola hubungan sosial. Penelitian ini mencoba menganalisis sebuah fenomena terkait peran pengelola Masjid Jogokariyan dalam membentuk sebuah kultur pengoptimalan masjid sebagai public sphere. Menilik perkembangan sebuah tempat ibadah yang dikenal dengan 30
masjid, maka tentunya peran pengelola menjadi kekuatan utama dalam membentuk nuansa ataupun warna dalam perjalanan fungsi masjid. Sehingga cara pandang pengelola mempunyai dampak besar terhadap masjid tersebut. Dengan mengambil study kasus di Masjid Jogokariyan, peneliti akan mencoba mengkorelasikan bagaimana jalannya struktur dan organisasi di Masjid Jogokariyan tersebut dalam menunaikan dan menjalankan tugas-tugasnya sebagai sebuah komunitas yang memiliki visi dan misi untuk memakmurkan masjid dengan sebuah expectancy theory dari dari David A. Nadler dan Edward E. Lawler. Teori ini menitik beratkan pada motivasi-motivasi yang ada pada individu dalam suatu organisasi serta proses pengambilan keputusan bagaimana setiap individu berperilaku dalam organisasi Lebih lanjut, peneliti mencoba mengkorelasikan pula fenomena ini dengan konsep solidaritas sosial yang ada pada umat muslim, yang sering dikenal dengan “ukhuwah islamiyah”. Apakah pandangan pengelola masjid memiliki prinsip sedemikian rupa sehingga hal ini yang menimbulkan terbukanya masjid tersebut meskipun dari berbagai golongan? Padahal di zaman kini susah ditemukan adanya berbagai golongan dalam islam yang dapat saling mengesampingkan fanatisme golongannya
dan
mengutamakan
persaudaraan
sesama
muslim.
Dengan
mengkorelasikan dengan konsep ukhuwah Islamiyah ini harapannya hasil penelitian dapat menjadi gambaran, berupa jawaban dari cara pandang seperti apa yang dapat membentuk optimalnya fungsi masjid sebagai central kegiatan dan supervise social. Bahkan perbincangan apapun terkait kenegaraan pun dibahas di tempat ini pada masa lampau, tak terkecuali pula pembahasan politik, social, ekonomi, dan lainnya. Tak hanya itu, dalam penilitian ini tentunya akan dipaparkan beberapa gambaran terjadinya trasnformasi ruang publik yang ada di Masjid jogokaryan.
31
E. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian dan Satuan Kajian Penelitian Penelitian yang berjudul “OptmalisasiFungsi Masjid Sebagai Ruang Publik” merupakan sebuah kajian penelitian yang dilakukan di Masjid Jogokariyan yang beralamat di Jl Jogokariyan 36 RT 040/11, Mantrijeron, Kasihan, Bantul, DI Yogyakarta. Masjid Jogokariyan terletak di di tengah Kampung Jogokariyan yang tak jauh dari kampung turis, yaitu kampung Prawirotaman. Kampung Jogokariyan pun termasuk pusat kota yang ramai dilalui hulu-hilir kendaraan serta padat penduduknya. Masjid Jogokariyan dipilih dalam riset ini dekarenakan di Masjid Jogokariyan terdapat berbagai kegiatan yang mencerminkan terfungsinya masjid sebagai Ruang Publik.
2. Jenis Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik. Contohnya dapat berupa penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, di samping juga tentang peranan organisasi, pergerakan sosial atau hubungan timbal-balik. Sebagian datanya dapat dihitung sebagaimana data sensus, namun analisisnya bersifat kualitatif. 47 Penelitian kualitatif biasa dikaitkan dengan teknik mengumpulkan data melalui pengamatan dan wawancara. Penelitian kualitatif dipilih menjadi jenis penelitian dalam penelitian ini karena dinilai dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami fenomena sosial yang ada dalam masyarakat. Disamping itu jenis penelitian ini juga dapat mencari tahu tentang suatu fenomena yang belum banyak diketahui, sehingga peneliti bisa mencari tahu lebih banyak secara mendalam terkait objek penelitian. Penelitian kualitatif juga memiliki kelebihan dapat memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh penelitian kuantitatif. 48 Lebih spesifik
47
AnselmStrauss dan Juliet Corbin,Dasar-dasar penelitian kualitatif -tata langkah dan teknik-teknik teoritisasi data, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 4. 48 Ibid., hlm. 5.
32
penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu salah satu dari penelitian kualitatif yang memberikan sebuah gambaran terkait fenomena sosial dan fakta sosial yang ada dengan cara mendeskripsikan terkait unit yang diteliti.
3. Sumber Data Tentunya dalam suatu penelitian diperlukan sumber data yang menjadi rujukan peneliti agar memperoleh informasi-informasi terkait fenomena yang diteliti. Adapun dalam penelitian ini, sumber data dikategorikan menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. a. Data primer Data primer merupakan sebuah data yang diperoleh langsung dari informan atau narasumber yang biasanya didapatkan melalui wawancara. Adapun dalam penelitian ini sumber data primer adalah sebagai berikut:
1)
Ketua Umum Pengelola Masjid Jogokariyan Informan utama dalam penelitian ini adalah ketua umum takmir Masjid
Jogokariyan, yaitu H. Muhammad Jazir ASP . Ketua takmir Masjid Jogokariyan dipilih karena berada di dalam struktur pengelola masjid. Posisi ketua takmir merupakan posisi yang sangat penting dalam pengelolaan masjid sehingga kebijakan-kebijakan sebuah masjid tentunya tak terlepas dari peran seorang ketua takmir. Adapun karena ketua takmir Masjid Jogokariyan terdiri dari Ketua Umum, Ketua I, Ketua II, Ketua III, maka informan yang diutamakan adalah Ketua Umum Masjid Jogokaryan.
2) Pengelola dan pengurus inti Masjid Jogokariyan Bapak Rizal Nur dipilih menjadi informan karena dinilai dapat memberikan data yang dibutuhkan dalam riset ini.
3) Ketua Biro Pembinaan RMJ (Remaja Masjid Jogokariyan) 33
Informan selanjutnya dalam penelitian ini adalah Ketua Biro Pembinaan RMJ, yaitu Muhammad Hasan Habib. Ketua Biro Pembinaan RMJ dipilih sebagai informan selanjutnya sebab dalam biro ini terdapat aktivitas-aktivitas yang bergerak dalam ruang lingkup kepemudaan. Sedangkan wacana tentang kepemudaan sendiri tentunya memiliki arti yang cukup penting dalam proses perubahan-perubahan sosial.
4) Ketua Biro Kerumah Tanggaan Masjid Jogokariyan Ketua Biro Kaum Kerumah Tanggaan Masjid Jogokaryan ialah bapak Sudiwahyono. Beliau dijadikan informan dalam penelitian ini dikarenakan memiliki aktivitas yang padat di Masjid Jogokariyan
Adapun Sumber pendukung lainnya ialah: Penjaga Keamanan Masjid Jogokariyan dan Jama‟ah Masjid Jogokariyan b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperoleh selain dari informan. Seperti data yang diperoleh dari buku, Majalah Masjid Jogokariyan, penelitian terkait, foto kegiatan dan space Masjid Jogokariyan, dan lain-lainnya. c. Kegunaan Data Baik data primer dan data sekunder memiliki fungsi untuk memperkaya infomasi yang diperlukan untuk menelaah fenomena Masjid Jogokariyan. Hanya saja sumber data primer maupun sekunder memiliki fungsi masing-masing yang saling melengkapi, meskipun data yang paling utama adalah data primer. Data primer yang di dapat dari informan merupakan data yang akan menjadi data utama dalam membuat suatu laoran penelitian dan mendeskripsikan fenomena yang di teliti. Dan data sekunder akan melengkapi hasil perolehan data dari data primer, sehingga harapannya penelitian dan pelaporan hasil penelitian dapat lebih menggambarkan kondisi riil yang ada dalam masyarakat yang diteliti. 34
d. Instrumen Penelitian Penelitian yang bertema “Optimalisasi Fungsi Masjid Sebagai Ruang Publik” ini merupakan suatu penelitian deskriptif. Oleh sebab itu, diperlukan instrumen penelitian agar data dapat diperoleh secara optimal. Adapun instrumen penelitian dalam riset ini adalah sebagai berikut:
1. Field note atau catatan lapangan Field note atau catatan lapangan merupakan suatu instrumen penelitian yang digunakan peneliti untuk mencatat segala kejadian dan fenomena serta hasil wawancara yang dilakukan selama observasi maupun mewawancarai informan. Pada aplikasinya di lapangan field note merupakan hal penting yang diperlukan oleh peneliti saat terjun ke lapangan. Field note digunakan peneliti untuk mendukung data yang telah diperoleh dengan cara merekam suara informan. Data yang ada di field note merupakan data sederhana dan pokok-pokok dari inti percakapan peneliti dan informan. Dengan menggunakan ini, peneliti lebih mudah mengambil data yang telah direkam, karena dapat membantu peneliti untuk menemukan rekaman yang dibutuhkan dengan lebih cepat.
2. Rekaman wawancara Rekaman wawancara merupakan salah satu instrumen dimana peneliti merekam suara dan perbincangan antara informan dan peneliti ketika wawancara berlangsung. Rekaman wawancara menggunakan rekaman pada handphone atau recorder voice yang diharapkan dapat mendukung pengumpulan data serta menambah keakuratan data sebab informasi yang didapatkan tidak terpotong dan murni seperti apa yang disampaikan oleh informan. Saat merekam suara informan peneliti meminta izin terlebih dahulu, dengan demikian data yang diperoleh telah diketahui oleh informan bahwa akan dijadikan hasil riset. Pada aplikasinya rekaman wawancara begitu membantu peneliti dalam memperoleh data. Peneliti merekam suara informan dengan izin informan, sehingga data yang di dapat sudah diketahui oleh 35
informan akan digunakan sebagai hasil penelitian. Rekaman wawancara menjadi instrument penelitian yang sangat membantu, sebab data yang disampaikan informan dapat diambil tanpa mengurangi tingkat keasliannya bahkan dalam setiap kalimatnya.
3. Pedoman wawancara Pedoman wawancara atau interview guide merupakan suatu daftar pertanyaan yang dibuat oleh peneliti untuk memandu peneliti saat melakukan wawancara, sehingga peneliti memiliki sebuah gambaran dan acuan pertanyaan. Interview guide dibuat oleh peneliti sebelum terjun ke lapangan dan dengan adanya interview guide, maka diharapkan pertanyaan peneliti kepada informan tidak melebar. Interview guide dibuat sesuai dengan tema, rumusan masalah, dan latar belakang yang disususn menjadi list pertanyaan yang lebih spesifik. Ketika terjun ke lapangan peneliti tentunya harus membawa interview guide terlebih dahulu, dan hal ini yang selalu dilakukan oleh peniliti. Sebab dengan adanya interview guide, peneliti dapat memberikan pertanyaan kepada informan tanpa mengurangi substansi penelitian dan mencari data yang benar-benar dibutuhkan. Tentunya dalam membuat interview guide peniliti menggunakan dasar acuan terkait rumusan masalah dan tujuan penelitian, sehingga data yang diperoleh dapat menjawab penilitian ini. Kemudian, pertanyaan-pertanyaan lebih mendalam dilakukan oleh peneliti apabila diperlukan sehingga peneliti mendapatkan data yang cukup dan mendalam terkait jawaban penelitian ini. Wawancara pertama dilakukan dengan kepada bapak Sudiwahyono Kepala Biro Kerumah Tanggan di Masjid Jogokariyan dengan Bapak Rizal Nur pada pengumpulan data awal. Kemudian setelah data yang ada dapat menjawab asumsi peneliti, maka peneliti melakukan wawancara untuk mendapatkan data yang digunakan sebagai hasil penelitian. Wawancara selanjutnya dilakukan peneliti kepada Ustadz Jazir yang pada saat itu telah selesai menjadi pembicara sebuah kajian. Setelah mendapatkan data dari Ustadz Jazir peneliti lalu mengambil data dari Habib Ketua Remaja Masjid 36
Jogokariyan dan selanjutnya kepada Bapak Sudi Wahyono kembali. Dirasa masih ada beberapa data yang diperlukan untuk lebih mendalami hasil penelitian ini, maka wawancara dilakukan kembali kepada Ustadz Jazir. kemudian peneliti juga mencoba mewawancarai beberapa jama‟ah Masjid Jogokariyan untuk sekedar menjadi perbandingan data dengan informasi yang diperoleh dari pengurus inti.
4. Peneliti Tentunya dalam sebuah riset yang terpenting adalah adanya peneliti yang meneliti tentang kasus/fenomena penelitian. Peneliti disini merupakan orang yang melakukan riset untuk mengumpulkan data terkait fenomana kasus, kemudian akan menelaah serta menganalisis data yang didapatkan agar menjadi sebuah hasil yang diharapkan dapat menggambarkan fenomena yang dijadikan objek penelitian. e. Teknik Analisis Data Dalam analisis data penelitian kualitatif, perlulah dilakukan analisis sejak awal. Dengan demikian data yang didapatkan dari lapangan mesti segera diolah dan diubah menjadi sebuah gambaran terkait suatu fenomena yang terjadi pada obyek penelitian ataupun realitas yang sesungguhnya. Adapun menurut Milles dan Huberman ada tiga langkah dalam menganalisis data, yaitu: 1) Reduksi data Reduksi data adalah suatu proses mneyederhanakan data kasar yang didapatkan ketika terjun ke lapangan. Tujuan dari reduksi data ialah untuk mempermudah penyajian data dan pemaparan informasi mengenai hal yang didapatkan di lapangan. Adapun reduksi data juga berfungsi untuk menelaah data sehingga tersusunya sebuah informasi dan penyederhanaan data-data yang penting.
2) penyajian data
37
penyajian data merupakan suatu langkah untuk menampilkan data yang telah disederhanakan. Adapun bentuk penyajian data dapat berupa kalimat, table, grafik, foto, gambar, dan- lain-lainya. Sehingga dapatlah diambil sebuah kesimpulan dari data-data yang telah didapatkan. Penyajian data disajikan dalam bentuk deskripsi dan ditambah dengan fakta-fakta berupa dokumen terkait fenomena penelitian yang telah diperoleh oleh peneliti.
3) Penarikan Kesimpulan Tahap penarikan kesimpulan merupakan suatu proses dimana peneliti mencari arti, penjelasan, konfigurasi, pola-pola, alur sebab akibat dan proposisi. Setelah melewati proses-proses sebelumnya, maka pada tahap ini dicarilah sebuah kesimpulan dari segala hal yang menjadi konteks penelitian dan ditambah dengan saran ataupun rekomendasi.
38