Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tulisan ini ingin melihat mengenai peran suatu sistem lembaga pendidikan alternatif dalam mengritik dan melawan penerapan sistem pendidikan nasional dalam relasi kuasa yang hadir. Berbicara tentang kuasa, kita tidak bisa menafikan bahwa relasi kuasa bisa terjadi di mana pun termasuk dalam dunia pendidikan. Sementara itu kekuasaan dalam dunia modern sudah tentu tidak bisa dipisahkan dari keberadaan negara sebagai pemegang otoritas kekuasaan secara formal. Dalam konteks pendidikan, lembaga negara yang berfungsi sebagai pemegang otoritas adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kemendikbud menciptakan sebuah sistem pendidikan yang akan dirujuk oleh seluruh sekolah-sekolah formal yang ada di Indonesia. Secara normatif, tanggung jawab ini menjadi penting bagi negara –dalam hal ini Kemendikbud- karena pendidikan adalah salah satu tanggung jawab dasar yang harus dipenuhi oleh negara kepada masyarakat sesuai dengan salah satu poin dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi ‗mencerdaskan kehidupan bangsa‘. Meskipun ketika sistem pendidikan dirumuskan oleh negara, bukan berarti seluruhnya adalah benar dan antikritik. Banyak perdebatan dan kritik yang muncul dari berbagai kelompok terhadap sistem pendidikan nasional. Salah satu kritik yang muncul adalah terhadap kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia dengan sifatnya yang sentralistis dan reduktif atas makna hakiki pengembangan pribadi manusia1. Artinya, kurikulum yang ada didasari oleh logika kerja birokrasi yang menggunakan standar-standar dalam penentuan kurikulum pendidikan. Tapi harus dipahami bahwa kesepihakan pemerintah dalam merumuskan kurikulum pendidikan yang terstandar telah mengabaikan kondisi sosiologis
masyarakat
yang
beraneka
ragam.
Seharusnya
dibutuhkan
kontekstualisasi kurikulum yang sesuai dengan kondisi masyarakat di tiap daerah. 1
Agus Suwignyo. Kurikulum dan Politik (Kebijakan) Pendidikan. Dalam buku ―Kurikulum yang Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2007. Hal. 37.
1
Kurikulum memang bukan satu-satunya penentu mutu pendidikan. Beberapa faktor lain seperti kapasitas atau kecakapan guru, substansi kurikulum yang termuat dalam buku-buku pelajaran, ataupun proses evaluasi pembelajaran juga ikut mempengaruhi mutu dari sebuah pendidikan. Tetapi, kurikulum mempunyai posisi strategis dalam menyemaikan kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu-individu pelaku pendidikan2. Sehingga kurikulum pendidikan tidak bisa dilihat dalam posisi netral karena sifatnya yang politis dan sarat kepentingan kekuasaan. Pendidikan juga memberikan banyak masalah lain yang muncul. Dalam kondisi kebangsaan dengan ekonomi masyarakat dominan yang masih serba kekurangan, pendidikan dirasa masih terlalu mahal. Hal tersebut semakin terasa ketika sekolah juga memberlakukan berbagai pungutan yang dibebankan kepada siswanya. Beberapa diantaranya berupa pungutan uang gedung dan seragam sekolah. Selain itu masih banyak berbagai masalah yang sangat kompleks dan sulit untuk mengurai benang kusutnya seperti persoalan tawuran antar pelajar, kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru, gedung sekolah yang kurang memadai, serta kapasitas guru yang kebanyakan masih dibawah standar. Dari berbagai persoalan yang ada, lahirnya berbagai sekolah alternatif merupakan sesuatu yang wajar sebagai upaya dari masyarakat untuk mencari solusi alternatif terhadap berbagai masalah dalam pendidikan yang ditemukan. Penulis merasa tertarik dengan fenomena kemunculan salah satu lembaga pendidikan alternatif yang berada di Desa Kalibening, Salatiga bernama sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah. Sekolah ini menjadi menarik bagi penulis karena secara geografis, berada pada wilayah pedesaan tetapi mereka punya pola pikir dan kesadaran yang lebih terhadap pendidikan. Selain itu banyak buku yang membahas sistem pendidikan yang menjadi kritik terhadap sistem pendidikan di Indonesia banyak mengambil contoh sekolah tersebut seperti buku ―Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah‖ tulisan Ahmad Bahruddin, ―Lebih Baik Tidak Sekolah” oleh Sujono Samba, keduanya terbitan LkiS, dan ―Kurikulum yang
2
Ibid. hal. 38
2
Mencerdaskan Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif‖ sebuah kumpulan artikel oleh Forum Mangunwijaya terbitan Penerbit Buku Kompas. Seperti yang telah penulis paparkan di awal, studi ini melihat bentuk perlawanan dari Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah dalam pola relasi kuasa antara sistem pendidikan yang ada dalam Qaryah Thayyibah dengan sistem pendidikan nasional. Awalnya, penulis ingin fokus melihat kurikulum dalam konteks relasi kuasa sebagai bagian dari sistem pendidikan. Namun, lebih lanjut setelah melakukan survey ke lokasi ternyata tidak ada kurikulum baku yang diberlakukan oleh Qaryah Thoyyibah. Mereka mempunyai konsep sendiri dalam penentuan materi pembelajaran. Berikut ini3 gambaran singkat perbedaan sifat dasar dari kurikulum nasional dan kritik dari Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah. Sifat dasar kurikulum pendidikan konvensional yang melatarbelakangi kurikulum nasional menekankan pada pola berikut: menekankan pada pembelajaran politik; berpusat pada pengondisian budaya, penguasaan nilai-nilai budaya konvensional; menekankan pada ketrampilan-ketrampilan dasar dan latihan watak; mata pelajaran ditentukan lebih dahulu; Menekankan akademik dengan melebihi yang praktis dan yang intelektual. Sedangkan dalam model alternatif dari Sekolah Qaryah Thayyibah menekankan pada: pilihan persoalan yang bebas; berpusat pada kegiatan belajar yang ditentukan bersama-sama; menekankan izin bagi setiap individu untuk menentukan pusat perhatian sendiri dalam belajar; kegiatan belajar ditentukan secara bersama-sama; setiap siswa mesti bebas untuk menentukan sifat maupun isi apa yang dipelajarinya sendiri. B. Rumusan Masalah Sesuai dengan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimana pola perlawanan dari sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah dalam struktur relasi kuasa yang ada pada sistem pendidikan nasional?
3
Ahmad Bahruddin. 2007. Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah. Yogyakarta: LkiS. Hal: 8-9
3
C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh Sekolah QT dalam melakukan kritik dan perlawanan praksis terhadap penerapan sistem pendidikan nasional serta relasi kuasa yang terbentuk dari keduanya. kritik akan difokuskan pada aspek tujuan pendidikan sebagai sebuah proses penyadaran (konsientisasi) dan humanisasi4 bagi individu dan manfaatnya terhadap proses perubahan sosial ke arah yang lebih baik. D. Kerangka Teori Berdasarkan rumusan masalah di atas maka pada bagian ini kami mencoba melihat teori-teori tentang kuasa yang dirumuskan oleh para teoretikus. Setidaknya jika kita lihat teori-teori tersebut berada pada dua kutub besar. Kekuasaan yang dipandang secara formal dan terlihat serta kekusaan yang dilihat sebagai sebuah strategi kompleks dan menyebar di seluruh masyarakat. Teori kuasa ini sebagai teori utama yang akan digunakan dalam menganalisis bentukbentuk relasi kuasa dan perlawanan yang muncul dalam penelitian ini. Selain itu juga akan dipaparkan beberapa teori yang bersifat sekunder tentang teori pendidikan yang menjadi rujukan paradigmatik dari Bahruddin pendiri sekolah alternatif Qaryah Thayyibah dalam praktik pendidikannya. Teori ini tidak bisa dipandang dalam dimensi yang netral –pendidikan an sich – melainkan dapat dilihat dimensi politiknya sebagai bagian dari alternatif gagasan terhadap status quo sistem pendidikan nasional sekaligus menciptakan pertarungan paradigma yang melahirkan proses dekonstruksi dan rekonstruksi wacana pendidikan.
D.1. Kuasa dan Perlawanan Salah satu tokoh yang melihat kuasa secara formal dan bisa diberikan kepada negara adalah Hegel. Ide dasarnya adalah pertentangan antara kepentingan pribadi dan individu yang egoistis melawan kepentingan umum yang lebih besar. 4
Meminjam istilah Freire dalam buku: Pendidikan Kaum Tertindas. 2000. Jakarta: LP3ES.
4
Pertentangan tersebut dilihat secara mendalam melalui perkembangan sejarah umat manusia. sejarah baginya merupakan proses dari ide universal yang sedang ingin dicapai. Sejarah bersifat deterministik untuk melahirkan manusia yang sempurna dan ideal. Contoh yang dia ambil bahwa dulu ada satu orang penguasa (monarki), kemudian beberapa orang (oligarki), dan sekarang dan kemudian hari sistem sosial politik yang akan lestari adalah demokrasi (semua orang berkuasa). Negara bagi Hegel merupakan penjelmaan dari ide universal ini sehingga atas dasar inilah negara modern memiliki hak untuk memaksakan keinginannya kepada warganya. Teori yang hampir sama adalah Teori Marxis-Leninis. Teori negara kuat menjelma dalam konsep negara sebagai diktatur proletariat. Disini negara juga memiliki kekuasaan mutlak untuk memaksakan kehendaknya terhadap warganya. Pandangan di atas yang melihat kekuasaan pada konteks sistem kenegaraan di kritik oleh Foucault. Menurut Foucault, kekuasaan merupakan strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan perlengkapan, manuver, teknik, dan mekanisme tertentu. Artinya, kuasa itu ada dimana-mana dan menyebar, tidak bisa dilokalisir. Kuasa menentukan aturan-aturan, susunan, dan hubungan-hubungan dari dalam, seperti hubungan keluarga, hubungan seksualitas, media komunikasi, pendidikan dsb. Relasi tersebut merupakan relasi yang bersifat struktural. Kekuasaan dilihat bukan sebagai benda yang bisa dimiliki, diberikan atau dipindahtangankan5. Kekuasaan bukan merupakan hak istimewa yang didapat dan dipertahankan kelas dominan, tetapi akibat dari keseluruhan posisi strategisnya, akibat yang menunjukkan posisi mereka yang didominasi. Dia menolak pandangan arus utama tentang kekuasaan sebagai sesuatu yang bisa dimiliki dan digunakan oleh kelas tertentu untuk mendominasi dan menindas kelas yang lain seperti yang dikatakan Marx. Bukan pula merupakan kemampuan subyektif untuk memengaruhi dan mendominasi orang lain seperti yang dikatakan Weber.6 Kekuasaan merupakan tatanan disiplin yang berhubungan dengan sejumlah jaringan. Disiplin tidak bisa diidentikkan dengan suatu institusi ataupun aparat. Ia 5 6
Y. Dedy Pradipto. 2007. Belajar Sejati VS Kurikulum Nasional. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 16 Choirul Mahfud. 2009. 39 Tokoh Sosiologi Politik Dunia. Surabaya: Jaring Pena. Hal. 255
5
merupakan modalitas dalam menjalankan kekuasaan yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat penerapan, hingga sasaran-sasaran. Ia merupakan institusi anatomi kekuasaan yang dapat dijamin oleh institusi yang terspesialisasi seperti penjara untuk mendisiplinkan orang yang –disebut– tidak baik, sekolah dengan tujuan mendisiplinkan anak, rumah sakit bagi orang sakit. Kekuasaan hadir untuk ―menormalisasi‖ keadaan yang –dianggap– tidak normal. Dengan demikian, negara tidak memiliki kekuasaan tetapi kekuasaan bisa bekerja pada negara. Kekuasaan bekerja di dalam proses pembentukan pengetahuan yang merupakan sebuah bentuk kebudayaan.
Bagi Foucault
kekuasaan tidak berada pada struktur yang mantap. Proses perlawanan selalu muncul dalam konstelasi kekuasaan, kekuasaan tidak akan pernah mencapai suatu keseimbangan. Pengetahuan pun tidak pernah mencapai suatu keseimbangan karena proses pembentukannya juga akan terjadi terus menerus dan selalu di dalamnya terdapat kekuasaan dan perlawanan terhadap kekuasaan.7 Secara singkat kekuasaan dapat didefinisikan dengan lima ciri: tidak dapat dilokalisir, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatankegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta melekat pada kehendak untuk mengetahui.8 Menurut Foucault ada lima9 cara bagaimana kekuasaan beroperasi. Pertama, kekuasaan tidak diperoleh, diambil, atau dibagikan, kekuasaan berjalan dari berbagai titik, dalam permainan hubungan yang tidak setara dan selalu bergerak. Kedua, kekuasaan itu cair karena di mana ada perbedaan di situ terbuka hubungan kekuasaan. Hubungan kekuasaan adalah imanen. Artinya hubungan kekuasaan adalah efek langsung dari pembagian, perbedaan, ketidaksetaraan, dan ketidakseimbangan. Ketiga, hubungan kekuasaan tidak berada dalam posisi suprastruktur. Kekuasaan datang dari bawah, artinya tidak ada oposisi biner antara yang didominasi dan yang dominan. Hubungan-hubungan tersebut banyak dan 7
Op. Cit. Y. Dedy Pradipto. hal. 24. Diambil dari sebuah makalah oleh Haryatmoko. 2010. Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana. Diakses dari http://typecat.com/pdf/makalah-seksualitas.html. hal. 9. 9 Ibid. 8
6
terbentuk serta bermain dalam aparat-aparat produksi seperti keluarga, sekolah, komunitas, maupun keseluruhan tubuh sosial. Keempat, hubungan kekuasaan itu intensional, tidak ada kekuasaan tanpa serangkaian sasaran. Kekuasaan dapat dipahami dalam kerangka tujuan dan sasaran. Orang tidak bisa memahami hubungan kekuasaan dalam rangka hubungan kausalitas tetapi dalam rangka tujuan dan sasaran. Tujuan dan sasaran ini tidak dimiliki oleh individu atau kelas, tetapi dalam bentuk anonim, hasil dari situasi-situasi lokal. Strategi merupakan suatu anonim bukan kenyataan subyek. Kelima, dimana ada afirmasi kekuasaan di situ ada resistensi. Resistensi ini bukan berasal dari posisi di luar hubungan kekuasaan. Resistensi menjadi bagian dari kekuasaan itu sendiri. Resistensi merupakan suatu keniscayaan dalam hubungan kekuasaan karena jalinan antar kekuatan itu sebenarnya berjalan dalam logika saling mempengaruhi. Kata resistensi sendiri merupakan aliterasi langsung dari bahasa inggris resistance yang biasa diartikan dengan kata perlawanan. Terjemah tersebut sekilas terasa tepat. Tetapi, jika ditilik dari sisi psiko-linguistik kata perlawanan mengindikasikan suatu bentuk kekuatan yang datang dari luar hubungan kekuasaan. Ketika beberapa aktifis berdemo menolak neoliberalisme mengandaikan diri mereka dapat meruntuhkan sebuah struktur tatanan yang dimiliki oleh para pengusaha-pengusaha transnasional yang bekerja sama dengan negara. Hal tersebut menunjukkan dua hal: pertama, kekuasaan itu dimiliki; kedua, perlawanan datang dari luar melawan hal yang juga dari luar lainnya dimana seakan-akan keduanya tidak pernah ada hubungan. Resistensi atau perlawanan yang akan digunakan dalam tulisan ini merujuk pada gagasan Foucault yang tidak dimaknai sebagai proses meruntuhkan apa yang ada di luar dirinya. Justru kata tersebut dimaknai sebagai proses yang inhern dalam suatu relasi kuasa. Tujuan memahami bentuk-bentuk perlawanan terhadap kekuasaan bukan dalam rangka menyerang institusi kekuasaan melainkan membuka kedok teknik tertentu dari kekuasaan yang mengklasifikasikan orang ke dalam kategori-kategori dan terkait dengan suatu identitas tertentu. Selanjutnya dipaksakan berbagai norma kebenaran tertentu yang mau tidak mau harus diakui dan diterima.
7
Indonesia yang begitu beragam memaksakan kebijakan hanya ada lima agama dan satu kepercayaan. Pada akhirnya kelompok masyarakat diluar itu seperti misal kepercayaan masyarakat Samin yang tinggal di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah harus mencantumkan salah satu agama yang diakui negara pada kartu identitasnya. Hal tersebut menjadi bagian dari teknik kekuasaan yang mendorong hadirnya kepatuhan dan secara politik cukup bermanfaat. Ada proses diskriminasi yang berarti menciptakan ketidaksamaan yang menjadi bagian dari teknik kekuasaan. Tokoh lainnya yang hampir seide dengan Foucault adalah Paulo Freire. Bagi Freire, kekuasaan dipandang sebagai kekuatan yang positif dan juga negatif, sifatnya dialektis tetapi mode of operation-nya selalu represif. Kekuasaan tidak hanya dipahami dalam wilayah publik dan privat dimana pemerintah dan kelas dominan memainkan peran. Kekuasaan ada di tangan siapa saja dan menemukan bentuknya dalam ruang publik yang saling beroposisi yang secara tradisional telah kehilangan kekuasaanya dan bentuk-bentuk resistensinya. Kekuasaan itu selalu diikuti dengan pertentangan, ketegangan, dan kontradiksi dalam berbagai institusi sosial. Kekuasaan merupakan bentuk dominasi yang tidak dipaksakan oleh pemerintah secara sederhana melalui tangan-tangannya melainkan melalui kekuasaan, teknologi, dan ideologi yang secara bersama-sama menghasilkan pengetahuan, hubungan sosial dan ekspresi budaya yang berfungsi secara aktif untuk membuat masyarakat diam. Dari kedua teori besar di atas, penulis melihat teori yang kedua lebih relevan dalam menjelaskan kontestasi kuasa yang muncul dari adanya sistem pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah terhadap sistem pendidikan nasional. Sehingga teori yang kedua yang akan penulis gunakan dalam mengkerangkai proses penelitian ini. D.2. Pendidikan Konstruktivis Pendidikan konstruktivis memelihat permasalahan yang muncul dibangun dari pengetahuan yang direkonstruksi sendiri oleh anak-anak. 10 Teori ini percaya 10
Ahmad Bahruddin. 2007. Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah. Yogyakarta: LKiS. hal. 11.
8
bahwa anak mampu mencari sendiri masalah, menyusun sendiri pengetahuannya melalui kemampuan berpikir dan tantangan yang dihadapi, menyelesaikan dan membuat konsep mengenai keseluruhan pengalaman realistik dan teori dalam satu bangunan utuh.11 Salah satu konsep dalam pendidikan konstruktivis adalah asimilasi dan akomodasi yang dikembangkan oleh Jean Piaget. Dalam teorinya ia menjelaskan bahwa pikiran manusia mempunyai struktur yang disebut skema atau skemata (jamak) yang biasa disebut struktur kognitif. Dengan menggunakan skemata tersebut seseorang mengadaptasi dan mengkoordinasi lingkungannya sehingga terbentuk skemata baru. Pembentukan skemata tersebut melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi dimaksudkan untuk mempelajari struktur kognitif baru yang dibuat atau dibangun atas dasar struktur kognitif yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru. Proses ini menjadi lengkap dengan adanya equilibrasi (penyeimbangan) antara asimilasi dan akomodasi. Proses akomodasi dimulai ketika pengetahuan baru yang dikenalkan tidak cocok dengan skemata yang sudah ada dan akan terjadi disequilibrium. Kemudian skemata tersebut direstrukturisasi agar dapat disesuaikan dengan pengetahuan baru sehingga terjadi equilibrium.12 Dengan demikian, terdapat pemahaman bahwa pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, simbol, dan kaidah yang harus dimengerti dan dihafalkan melainkan sesuatu yang dikonstruksikan sendiri oleh siswa dalam proses yang partisipatif sehingga keterlibatan siswa dalam proses belajar mampu sejajar dengan pertumbuhan dan perkembangan pengalaman siswa.13 Konsep penting lain dalam filsafat konstruktivisme adalah tentang student center learning (SCL) yang digagas oleh John Dewey yang juga dikenal sebagai bapak konstruktivisme. Baginya proses belajar mempunyai hubungan dengan pengalaman dan minat anak yang sedang belajar. Oleh sebab itu jika memang diperlukan kurikulum, topik-topik yang ada di dalamnya harus bisa terintegrasi dengan minat dan pengalaman anak, bukan sesuatu yang bebas nilai. Kehadiran 11
Sugihartono, Dkk. 2012. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. hal 107 Ibid hal. 110 13 Op. Cit. Ahmad Bahruddin. Hal. 12 12
9
guru hanya sebagai fasilitator yang merupakan bagian integral dalam kelompok belajar. Anak-anak menjadi pusat kegiatan dalam belajar. D.3. Pendidikan Kritis untuk humanisasi Konsep pendidikan kritis digagas oleh Paulo Freire yang merupakan salah satu tokoh pendidikan abad XX yang lahir di Recife, Brazil. Salah satu pemikirannya tertuang dalam judul buku Pedagogy of the Oppressed, pendidikan kaum tertindas yang merupakan analisisnya terhadap kehidupan ekonomi politik negara dunia ketiga. Beberapa pokok pemikiran dalam tulisannya tersebut tertuang dalam beberapa kata kunci yaitu pendidikan gaya bank, pendidikan hadap masalah, dialog sebagai sebuah metodologi dalam pendidikan pembebasan, konsientisasi atau penyadaran yang merupakan inti dari pendidikan pembebasan dan prasyarat dari kata kunci yang terakhir yaitu humanisasi. Pendidikan gaya bank merupakan sistem pendidikan yang memposisikan guru sebagai subyek. Guru adalah orang yang memahami materi dan mentransferkannya ke murid. Hal ini mengasumsikan guru tahu semua hal dan murid tidak tahu apa-apa sama sekali. Murid merupakan wadah atau tempat deposit belaka. Murid semata-mata merupakan obyek yang hanya menerima apa yang diberikan guru, mereka mendengarkan, mencatat, menghafal, tanpa mengerti apa maksud dari yang disampaikan guru. Realitas semacam ini bagi Freire merupakan bentuk penindasan. Pendidikan gaya bank hanya menempatkan murid seperti robot yang bisa diprogram, benda yang mudah diatur, atau bahkan binatang yang dapat dijinakkan. Sistem ini mendikotomikan manusia dan dunia. Manusia hanya ada dalam dunia, manusia sebagai penonton. Sebaliknya konsep yang ditawarkan Freire adalah pendidikan hadap masalah sebagai upaya pembebasan. Pendidikan ini menolak anggapan bahwa manusia adalah sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak terikat dengan dunia dan juga menolak anggapan bahwa dunia ‗mengada‘ sebagai realitas yang terpisah dari manusia. Pendidikan hadap masalah menegaskan manusia sebagai makhluk yang berada dalam proses ‗menjadi‘ sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai, makhluk yang tidak pernah sempurna dalam dan dengan realitas yang juga tidak pernah
10
selesai. Dalam pendidikan hadap masalah, manusia akan memahami secara kritis cara mereka ‗mengada‘ dalam dunia. Mereka akan memandang dunia bukan sebagai sesuatu yang statis tetapi sebagai realitas yang berada dalam proses, dalam gerak perubahan. Dalam proses pendidikan hadap masalah metode yang digunakan adalah dialog. Dialog bagi Freire pada hakikatnya adalah kata yang terdiri dari dua dimensi yaitu pikiran/refleksi dan tindakan/aksi dimana keduanya tidak dapat dipisahkan. Tidak ada kata sejati yang pada saat bersamaan tidak juga merupakan praksis. Sebuah kata yang kehilangan dimensi tindakannya maka kata tersebut berubah menjadi omong kosong. Kata tersebut hanya menjadi verbalisme, bualan yang asing dan mengasingkan. Sebaliknya jika kata kehilangan dimensi refleksinya maka kata tersebut berubah menjadi aktivisme. Tindakan hanya untuk tindakan itu sendiri tanpa mampu untuk dimaknai dalam konteks perubahan. ―Sebuah kata yang tidak otentik, yang tidak mampu mengubah realitas, terjelma manakala dikotomi diterapkan terhadap unsur-unsur pembentuknya. Bila sebuah kata dihilangkan dimensi tindakannya, dengan sendirinya refleksi dirugikan pula; dan kata itu berubah menjadi omong kosong, menjadi verbalisme, menjadi ―bualan‖ yang asing dan mengasingkan. Ia menjadi sebuah kata kosong yang tidak mampu mewartakan dunia, karena pewartaan tidak mungkin tanpa keterlibatan untuk mengubah, dan tidak ada perubahan tanpa tindakan. Di pihak lain, jika tindakan ditekankan secara berlebihan, dengan merugikan refleksi, kata itu berubah menjadi aktivisme. Yang terakhir ini – tindakan bagi tindakan itu sendiri – menolak praksis sejati serta membuat dialog tidak mungkin.‖ (Freire: Hal. 72)
Gaya ini yang Freire praktikkan ketika memberikan pendidikan kepada masyarakat di pedalaman Brazil. Masyarakat yang belum bisa membaca dalam singkat dapat membaca jika kata-kata pertama yang diuraikan mengandung makna politis. Para guru ia latih untuk masuk ke desa-desa dan menemukan kata-kata yang mengungkapkan masalah penting pada saat itu semisal bunga yang berlipat atas hutang yang mereka miliki kepada patron mereka. Para guru dan masyarakat berdiskusi dan mereka mulai menyadari bahwa setiap kata tetap tertera di papan tulis meskipun bunyinya sudah lenyap. Huruf-huruf yang ada menyingkapkan realitas dan membuat realitas itu dapat dihadapi sebagai sebuah masalah. Dari hasil diskusi tersebut masyarakat mulai berkembang kesadaran sosialnya dan bagaimana mereka dipaksa mengambil tindakan politis secepat ketika mereka belajar membaca.
11
Inti dari proses pendidikan tersebut adalah dalam rangka penyadaran atau konsientisasi. Freire melihat kesadaran manusia dalam tiga tahapan yaitu kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Kesadaran magis merupakan sebuah kesadaran masyarakat yang tidak mampu memahami realitas dan sekaligus dirinya. Masyarakat tidak mampu menemukan hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain. Kesadaran tersebut lebih melihat faktor diluar manusia baik natural maupun supranatural sebagai penyebab suatu hal. Orang miskin tidak mampu melihat hubungan kemiskinannya dengan sistem politik dan budaya yang berkembang. Miskin dalam kesadaran magis dilihat sebagai keniscayaan hidup ada yang kaya dan ada yang miskin (natural) ataupun merupakan takdir Tuhan (supranatural). Tahapan selanjutnya adalah kesadaran naif yaitu suatu kesadaran dimana masyarakat menganggap bahwa berbagai permasalahan yang dihadapi adalah akibat dari diri mereka sendiri. Jadi ketika suatu masyarakat dalam keadaan miskin disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri yang malas ataupun tidak mau belajar berwirausaha. Dengan demikian solusi pendidikan yang ditawarkan adalah berbentuk pelatihan ataupun seminar yang akan lebih meningkatkan kebutuhan akan prestasi (need for achievement) dari suatu masyarakat. Kesadaran yang ketiga adalah kesadaran kritis yaitu kesadaran dimana masyarakat telah mampu memahami permasalahan yang dihadapi dan dapat mengaitkannya dengan faktor sistem dan struktur yang justru mempunyai peran signifikan sebagai sumber masalah. Kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat dipahami sebagai akibat dari struktur yang timpang yang menyebabkan ada kelompok elit yang kaya dan kelompok masyarakat yang termiskinkan. Kesadaran kritis menghindari sikap blaming the victims, menyalahkan masyarakat. Ketika seseorang telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya, pembebasan manusia dapat dilaksanakan dalam artian yang sesungguhnya. Seseorang yang tidak menyadari realitas diri dan dunia di sekitarnya tidak akan mampu mengenali apa yang ia butuhkan, tidak akan bisa mengungkapkan apa yang sesungguhnya ingin ia lakukan, tidak akan dapat memahami apa yang sesungguhnya ingin ia capai. Jadi mustahil memahamkan
12
pada seseorang bahwa ia harus mampu, dan pada hakikatnya memang mampu, memahami realitas diri dan dunia sekitarnya sebelum ia sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaannya dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin baginya. Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam menumbuhkan suasana yang dialogis, maka konsep pendidikan Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari rasa takut akan kebebasan. Tujuan akhir yang tiada henti dari proses pembebasan manusia ini adalah humanisasi. Humanisasi merupakan pilihan satu-satunya bagi kemanusiaan karena meskipun dehumanisasi merupakan kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis dimasa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Jika kenyataan berbeda dari yang seharusnya, maka tugas manusia untuk mengubah agar sesuai dengan apa yang seharusnya. D.4. Sekolah Sebagai Belenggu Bahruddin terinspirasi oleh gagasan Ivan Illich tentang masyarakat yang bebas dari sekolah yang merupakan salah satu wacana dekonstruktif atas konsep sekolah. Pada tahun 1970 dia menerbitkan sebuah buku berjudul ―Deschooling Society‖ dari hasil diskusinya dengan banyak tokoh di Amerika. Illich mencoba melucuti kemapanan yang telah dimiliki oleh sekolah yang telah dianggap sebagai satu-satunya lembaga pendidikan yang harus diikuti. Dalam penjelasannya ia mengungkapkan bahwa sebenarnya sekolah telah membuat siswanya tidak mampu
membedakan
proses
dari
substansi.
Ketika
kedua
hal
ini
dicampuradukkan muncul logika baru: Semakin banyak pengajaran semakin baik hasilnya atau menambah materi pengetahuan akan menjamin keberhasilan. Akibatnya, murid menyamakan begitu saja pengajaran dengan belajar, naik kelas dengan pendidikan, ijazah dengan kemampuan, dan kefasihan berceloteh dengan
13
kemampuan mengungkapkan sesuatu yang baru. Anak dibiasakan menerima pelayanan, bukannya nilai.14 Dengan mengambil konteks di Amerika dia menggambarkan bagaimana sebenarnya sekolah telah membentuk pandangan hidup baik orang kaya maupun miskin tentang apa yang sah dan apa yang tidak. Mereka menjadi tergantung kepada sekolah sebagaimana mereka juga menggantungkan diri dengan rumah sakit. Karena ketergantungan ini mereka menjadi sangsi dengan kemampuan menyelesaikan urusan mereka sendiri. Jika memang pendidikan adalah untuk semua, pada praktiknya anak-anak miskin tidak akan bisa berkompetisi dengan anak dari kelas menengah ke atas. Meskipun dengan kualitas pendidikan yang sama, anak-anak dari keluarga miskin tidak diuntungkan dengan tidak adanya buku-buku di rumah, liburan, dan rasa percaya diri. Namun, proses modernisasi menciptakan sebuah mitos kemajuan dari sebuah sekolah. Illich melihat ketika orang miskin tetap menyanjung sekolah justru akan menciptakan eksploitasi rangkap dua: memungkinkan alokasi dana negara yang semakin besar untuk pendidikan segelintir orang, dan membuat mereka semakin menerima kontrol sosial dari mayoritas. Sekolah menciptakan komunitas ekslusifnya sendiri terlebih ketika telah mencapai jenjang yang lebih tinggi. Mahasiswa terbentuk secara akademis untuk merasa bahagia hidup hanya dengan sesama mahasiswa yang sama-sama mengenyam mesin pendidikan universitas. Universitas modern yang telah menjadi standar dari kebutuhan pasar menciptakan orientasi baru selain pengetahuan yaitu kekayaan. Padahal menjadi sarjana di abad pertengahan berarti rela menjadi miskin. Sekolah telah menciptakan sebuah mitos nilai yang dilembagakan. Dia menghadirkan mitos bahwa pengajaran menghasilkan kegiatan belajar. Hal tersebut menyebabkan lahirnya permintaan akan hadirnya sekolah. Ketika belajar membutuhkan sekolah sehingga belajar sendiri menjadi disepelekan maka semua
14
Ivan Illich. 2000. Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Diterjemahkan oleh Sonny
Keraf. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. hal. 1
14
hal yang kita lakukan akan tergantung pada lembaga spesialisasi lainnya. Hal ini yang disebut Illich sebagai mitos konsumsi tanpa henti (Myth of Unending Consumption). Sekolah menilai keberhasilan belajar anak bisa diukur melalui kehadiran dalam kelas dan daya serap transfer materi dari guru atau dalam bahasa Freire pendidikan gaya bank. Akhirnya, nilai tersebut dapat diukur dan dikuantifikasi dalam angka rapor dan sertifikat ijasah. Kenyataannya, kegiatan belajar sebenarnya tidak perlu terlalu banyak manipulasi dari orang lain. Kegiatan belajar bukan merupakan hasil pengajaran, tetapi merupakan partisipasi bebas dalam lingkungan yang bermakna. Sekolah dengan mitos kemajuan memaksakan anak menerima materi yang berjenjang dan terus menerus meskipun anak memperoleh nilai yang buruk dari sebuah mata pelajaran. Dengan dalih kompetisi semua materi terkesan dipaksakan bagi seluruh anak yang belum tentu menginginkan materi tersebut dan mampu menyerap segala materi yang diberikan. Akhirnya, kompetisi memang terjadi di dalam kelas antara beberapa anak dan yang lain merupakan pemeriah ruang kelas sekaligus memberikan pemasukan bagi sekolah dengan biaya pendidikan yang sama. Melalui sekolah lahir sebuah alienasi baru dalam diri pelajar terdidik. Sekolah menciptakan mitos pendidikan untuk anak agar siap menghadapi realitas. Tetapi proses belajar di sekolah mengasingkan anak-anak dari realitasnya. Sekolah semakin menjarakkan diri anak dari pembacaan atas realitas kehidupan yang masyarakat tempat dia tinggal. Sekolah menciptakan zona ekslusifnya dalam lingkungan pelajar terlebih ketika mereka telah mencapai jenjang yang lebih tinggi. Orang desa semakin terasing dengan desanya dan mempunyai imaji kehidupan yang lebih baik di kota menjadi bagian dari pasar kerja dan industrialisasi yang mendunia. E. Definisi Konseptual Bagian ini akan menjelaskan beberapa konsep penting yang penulis turunkan dari rumusan masalah yang ada di atas. Tujuannya adalah untuk
15
memahami beberapa konsep kunci dari penelitian ini sehingga bisa mempermudah bagi peneliti saat riset di lapangan. Beberapa konsep kunci yang penulis pakai antara lain: E.1. Kekuasaan adalah sebuah bentuk strategi yang bisa menentukan aturanaturan, susunan, dan hubungan-hubungan yang bekerja di masyarakat tetapi bersifat menyebar dan tidak dapat dimiliki. E.2. Sisdiknas merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait yang digunakan oleh negara dalam mengatur pendidikan yang ada di Indonesia. E.3. Qaryah Thayyibah adalah sebuah sekolah alternatif berbasis komunitas yang meniadakan konsep belajar mengajar tetapi belajar bersama. Pembelajar yang baru bergabung sebaya dengan anak SMP. E.4. Sistem Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah adalah keseluruhan komponen pendidikan yang berkaitan yang digunakan dalam proses belajar di Qaryah Thayyibah.
F. Metode Penelitian F.1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif dengan metode etnografi. Kenapa menggunakan etnografi? Penelitian yang dilakukan di Qaryah Thayyibah ini dilakukan untuk melihat bagaimana konstruksi makna yang dipahami entitas di dalamnya dalam melihat pendidikan dan bagaimana konsepsi pendidikan yang berkembang di luar menurut mereka. Dalam hal ini, penulis perlu lebih jauh mendalami para informan yang penulis ingin gali informasinya dan bagaimana kegiatan-kegiatan keseharian mereka di Qaryah Thayyibah dalam menjelaskan kontestasi kuasa antara Qaryah Thayyibah dan negara tentang sistem pendidikan. Menurut James P. Spradley Etnografi dalam buku metode Etnografi dijelaskan bahwa etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan.15 Tujuannya adalah untuk memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya 15
Spradley, James P. The Ethnographic Interview. Diterjemahkan oleh Misbah Zulfa Elizabeth
dengan judul Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2006. Hal. 3.
16
dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan mengenai duniannya. 16 Dalam konteks penelitian ini penulis ingin mencoba mendeskripsikan budaya –dalam makna yang luas– yang bekerja di masyarakat Qaryah Thayyibah sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap sistem pendidikan yang lebih mapan. Alasan lainnya adalah secara praktis etnografi mempunyai ciri lebih menekankan upaya eksplorasi terhadap hakikat/sifat dasar fenomena sosial tertentu, bukan melakukan pengujian hipotesis atas fenomena tersebut. Selain itu, penelitan dilakukan terhadap sejumlah kecil kasus, mungkin hanya satu kasus secara detail.17 Dengan demikian, penelitian ini tidak berangkat dari sebuah hipotesis atas fenomena melainkan mencoba mengelaborasi hakikat makna dari suatu fenomena di kasus Qaryah Thayyibah secara mendetail. Yang perlu ditekankan dalam penelitian ini karena menggunakan metode etnografi, penulis hanya melihat realitas internal dari entitas Qaryah Thayyibah tentang sistem pendidikan yang ideal menurut mereka. Tidak menggali pemahaman atau komentar mereka atas realitas di luar. Meskipun demikian, secara otomatis pemahaman mereka tentang pendidikan yang berbeda dengan pemahaman masyarakat dominan tentang pendidikan yang didefinisikan oleh negara menjadi sebuah bentuk perlawanan simbolik dari mereka terhadap negara dalam hal ini sistem pendidikan nasional. Dengan demikian dalam proses interpretasinya, peneliti bisa melihat relasi kuasa yang berlangsung antara keduanya. F.2. Unit Analisis Data Unit yang diteliti dalam penelitian ini adalah masyarakat Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah yang berada di Desa Kalibening, Tingkir, Salatiga. Artinya unit analisisnya bukan individu melainkan kelompok masyarakat dalam satu komunitas tersebut meliputi fasilitator pembelajaran, para pelajar dalam lingkungan Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah, dan terutama pendiri dari sekolah ini yaitu Bahruddin sebagai basis ide dari lahirnya praktik belajar di 16
Ibid. hal. 4 Paul Atkinson dan Martyn Hammersley. Etnografi dan Observasi Partisipan. Dalam buku Handbook of Qualitative Research. Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln (eds.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 316. 17
17
Qaryah Thayyibah ini. Mereka dilihat bukan sebagai subyek terpisah melainkan sebuah kesatuan yang membentuk relasi dalam proses keseharian aktifitas di lingkungan Qaryah Thayyibah. Fokus perhatiannya adalah aktifitas keseharian mereka dalam belajar dan pemahaman mereka tentang sistem pendidikan di Qaryah Thayyibah.
F.3 Teknik Pengumpulan Data: F.3.1. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah dari data primer dan data sekunder. Data primer saya peroleh dari wawancara kepada para informan yaitu Bahruddin yang merupakan pendiri dan konseptor pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah, pelajar Qaryah Thayyibah, dan para pendamping dari pelajar. Dalam bukunya Spradley menjelaskan setidaknya ada tiga sumber dalam penelitian etnografi yaitu dari yang dikatakan orang, dari cara orang bertindak, dan dari berbagai artefak yang digunakan orang.18 Artinya, selain melihat dari apa yang dikatakan baik itu dari proses obrolan informal ataupun dari wawancara yang lebih formal penulis juga melakukan proses observasi dan pemanfaatan berbagai ‗artefak‘ di lingkungan Qaryah Thayyibah. Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur yang terkait dengan pendidikan di Indonesia dan tentang sekolah alternatif Qaryah Thayyibah.
F.3.2. Cara Mengumpulkan Data Beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam menggali data dalam penelitian ini diantaranya: Wawancara Mendalam Dalam penelitian ini metode wawancara berarti penulis mengadakan tanya jawab secara lisan dengan pihak-pihak yang mengetahui atau punya keterlibatan terhadap Qaryah Thayyibah. Wawancara lakukan ke beberapa orang. Pertama, wawancara ke Bahruddin atau biasa dipanggil Pak Din oleh anak-anak sebagai pendiri yang selalu antusias ketika saya minta untuk wawancara. Seseorang yang 18
Spradley, James P. Op. Cit. hal. 11
18
lebih sering mengenakan kaos oblong dan celana training ketika di rumah dan nyaman dengan rambut gondrongnya. Kedua, wawancara ke beberapa pendamping salah satunya Ahmad yang telah terlibat di Qaryah Thayyibah sejak awal didirikannya. Dia adalah lulusan SMA yang ikut mondok di pesantren Hidayatul Mubtadi‘in, yaitu pesantren yang didirikan oleh orang tua Bahruddin. Pendamping lainnya yang sempat saya wawancarai adalah Sujono Samba. Orang yang biasa dipanggil pak Jono ini sempat membuat album tembang dolanan dengan penyanyi anak-anak Qaryah Thayyibah. Ketiga wawancara dilakukan dengan pelajar Qaryah Thayyibah yaitu Taufik, Sofyan, Dilla, Maghfur serta beberapa anak yang lain dalam obrolan yang bersifat informal. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam atau indepth interview. wawancara dilakukan melalui dua bentuk, yaitu wawancara yang bersifat formal dan wawancara yang bersifat informal. Wawancara yang bersifat formal adalah wawancara yang dilakukan secara resmi berdasarkan kesepakatan interviewer yaitu penulis sendiri dan interviewee dan direkam menggunakan alat perekam. Teknik ini dipakai dalam wawancara dengan berbagai pihak yang berpengaruh dan punya keterlibatan terhadap Qaryah Thayyibah. Sedangkan, wawancara yang bersifat informal adalah wawancara yang dilakukan diluar waktu yang telah diatur sebelumnya, wawancara ini dilakukan dengan mereka yang berada di lingkup Qaryah Thayyibah secara santai selama live in di sana. Tujuannya agar informan merasa nyaman dan natural dalam menyampaikan informasi yang dibutuhkan peneliti. Observasi Observasi atau pengamatan dilakukan di Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah selama kurang lebih satu setengah bulan di sana dengan melihat aktifitas yang dilakukan untuk kemudian dipahami pola dan makna yang dimunculkan dari setiap aktifitas. Pengamatan kegiatan bisa saya lakukan setiap hari siang dan malam karena saya diizinkan untuk tinggal bersama Bahruddin menempati kamar anaknya yang pertama, Hilmy. Perkenalan saya sebagai orang dengan kultur keagamaan serta afiliasi organisasi kemahasiswaan yang sama
19
dengan yang pernah Bahruddin ikuti mungkin menjadi salah satu faktor diijinkannya saya untuk bisa ditinggal dirumahnya. Saya live in disana Mulai tanggal 25 April 2012 sampai tanggal 7 Juni 2012 merasakan langsung kebiasaan dan gaya hidup masyarakat kalibening khususnya pelajar di Qaryah Thayyibah. Sebagai sebuah penelitian etnografi waktu Penelitian ini tidak dilakukan terlalu lama karena beberapa pertimbangan. Pertama, sebagai sebuah komunitas belajar, aktifitas di Qaryah Thayyibah lebih terpola sehingga penulis lebih mudah melakukan pemetaan budaya pendidikan yang berkembang di sana. Kedua, sebagai peneliti, penulis tidak membutuhkan banyak penyesuaian terhadap budaya setempat karena masih dalam struktur bahasa, keyakinan agama, dan budaya yang hampir sama dengan penulis. Ketiga, penelitian ini sudah difokuskan pada persoalan paradigma pendidikan yang berkembang di Qaryah Thayyibah dan implikasinya secara praktis sehingga tidak akan mengelaborasi kebudayaan di luar masalah tersebut. Dalam penelitian ini penulis mencoba menjadi bagian dari entitas masyarakat Qaryah thayyibah sehingga penelitian ini menggunakan observasi partisipan. Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk dapat memperkuat data-data primer yang telah di dapat. Studi pustaka diambil dari buku, jurnal, situs online dan berbagai tulisan yang mendukung dalam proses penggarapan tulisan ini. Selain itu, studi pustaka ini dapat berfungsi sebagai alat cross-check dari data primer yang telah di dapat.
F.4. Teknik Analisis Data Sesuai dengan pendekatan penelitian yang digunakan yaitu etnografi maka teknik analisis data yang dipakai menggunakan analisis kualitatif. Terkait dengan penelitan ini, maka analisis data dilakukan dengan menginterpretasikan data baik data primer maupun data sekunder. Hasil wawancara sebagai data primer penulis petakan berdasarkan kebutuhan penulisan, kemudian digabungkan dengan hasil observasi untuk mendapatkan jawaban dari rumusan masalah. Sedangkan data sekunder yang didapatkan dari
20
studi pustaka penulis gunakan sebagai penguat analisis data primer. Setelah semua data terkumpul maka penulis mensistematisasikan dan menginterpretasikannya. Setelah semua data sudah tertata secara rapi dan mendetail, yang paling penting adalah memparalelkan data-data yang di dapat dengan teori yang ada. Dari bagian ini kesimpulan kemudian diambil. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan melihat pola relasi antara data dan realitas yang terjadi. Selain itu juga dengan memperhatikan substansi pembahasan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya.
G. Sistematika Penulisan Penulis mencoba mengejawantahkan alur berpikir penulis dalam susunan bab per bab guna menjawab rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut: Bab 1 merupakan bagian pendahuluan yang telah pembaca pahami substansi dan alur berpikirnya. Bab 2 mengelaborasi sejarah perkembangan pendidikan modern di Indonesia. Bagian ini menunjukkan bagaimana proses institusionalisasi pendidikan dilakukan dan semakin kuat posisinya dihadapan masyarakat dari waktu ke waktu. Bab 3 mencoba membahas pemikiran Bahruddin sebagai pendiri Komunitas Belajar
Qaryah
Thayyibah
dan
ide
besar
yang
menginspirasi
dan
mengkerangkainya. Pemikiran tersebut menjadi idealisme dan konsepsi yang belum bisa diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia yang masih terjebak pada pengelolaan institusi yang ketat. Bab 4 kembali melihat bagaimana karut-marut dunia pendidikan di Indonesia yang
merupakan
tantangan
bagi
idealisme
seorang
Bahruddin
dalam
mengimplementasikan gagasan-gagasannya. Bab 5 mengelaborasi bagaimana gagasan Bahruddin diimplementasikan dalam sebuah Komunitas Belajar bernama Qaryah Thayyibah sekaligus melakukan analisis bagaimana pola relasi kuasa yang terbentuk dalam sistem pendidikan di Indonesia dan bentuk perlawanan yang ditampilkan oleh Qaryah Thayyibah.
21
Bab 6 merupakan kesimpulan dari keseluruhan bab yang telah dijabarkan sekaligus menjawab rumusan masalah dari penelitian ini.
22