BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Johan Galtung, seorang peneliti perdamaian membagi perdamaian menjadi dua jenis, yaitu perdamaian negatif dan perdamaian positif.1 Perdamaian negatif diartikan sebagai ketiadaan perang yang fokus pada penghentian konflik agar tidak berekskalasi lebih jauh. Dengan kata lain, perdamaian negatif diarahkan untuk menghentikan perang agar manusia yang terlibat dapat bertahan hidup. Sementara di sisi lain, perdamaian positif diartikan sebagai proses membangun budaya damai di mana manusia bebas mengakses sumber daya di sekitarnya yang dibutuhkan untuk melanjutkan hidup. Dengan kata lain, proses pencapaian perdamaian positif dimaksudkan agar setelah perang berakhir, manusia masih dapat hidup dengan layak meski telah menjalani pahitnya perang. Salah satu parameter dalam menilai usaha pencapaian perdamaian positif adalah pemenuhan human security (keamanan manusia). Keamanan manusia merupakan salah satu dari kebutuhan dasar manusia yang posisinya sejajar dengan hak asasi manusia. Keamanan manusia berkaitan langsung dengan harkat dan martabat manusia sehingga pantas dijadikan tolok ukur dalam menilai pencapaian perdamaian positif. Keamanan manusia sendiri baru mulai menjadi perhatian sejak Perang Dingin berakhir, di mana isu keamanan mulai mengalami pergeseran. Jika pada masa sebelum dan saat Perang Dingin isu keamanan (security) sangat berorientasi pada militerisme, maka setelah Perang Dingin isu yang berkembang justru jauh dari ingar-bingar perang. Aktor yang berperan juga tidak lagi melulu negara, namun bergeser kepada manusia sebagai individu. Dengan kata lain, keamanan dalam ruang lingkup Hubungan Internasional telah berkembang menjadi keamanan manusia (human security).
1
C. Webel and J. Galtung, Handbook of Peace and Conflict Studies, Routledge, Oxford, 2007 1
Terminologi keamanan yang terus berubah dan semakin kompleks menjadi tantangan tersendiri dalam politik global dewasa ini. Kewajiban negara dan setiap entitas politik untuk memastikan adanya kelangsungan hidup secara struktural adalah inti dasar dari transformasi perubahan makna keamanan yang dulunya bersifat tradisional menuju makna yang lebih kompleks. Keamanan tradisional yang lebih dekat dengan pertarungan kekuasaan dan politik rivalitas ideologi kini semakin meluas dengan memunculkan tanggung jawab politik lain terhadap aspek keamanan dan jaminan hidup manusia. Konsepsi awal terkait Keamanan Manusia atau human security sebagai agenda jaminan setiap bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yakni ―freedom from fear‖ dan ―freedom from want‖2 yang kemudian konsepsi ini lebih lanjut diuraikan pada Human Development Report 1994 oleh UNDP. Terminologi ―keamanan manusia‖ berusaha untuk menyoroti kekhawatiran baru tentang keamanan global dan pentingnya menangani ancaman kronis bagi kehidupan manusia. Komisi Keamanan Manusia PBB mendefinisikan konsep keamanan manusia secara lebih rinci dan menggaris bawahi aplikasi praktis dalam krisis kemanusiaan dalam situasi pasca-perang, dan upaya untuk mendapatkan jaminan di bidang pendidikan dan kesehatan, serta untuk mencegah konflik kekerasan. Laporan akhir Komisi Keamanan Manusia yang diterbitkan pada tahun 2003, meletakkan dua komponen dasar keamanan manusia yang memberi arti pernyataan definisi secara keseluruhan, yakni:3 Human security: to protect the vital core of all human lives in ways that enhance Democracy and Human Security human freedoms and human fulfilment. Human security means protecting fundamental freedoms—freedoms that are the essence of life. It means protecting people from critical (severe) and pervasive (widespread) threats and situations. It means using processes that build on people‘s strengths and aspirations. It means creating political, social, environmental, economic, military and cultural systems that together give people the building blocks of survival, livelihood, and dignity. (United Nations, Commission on Human Security 2003: 4, emphasis added)
2
K. Annan, ‘In Large Freedom; Decision Time at the UN’, Foreign Affairs, 2005. J. Large, T.D. Sisk, ‘United Nations, Commission on Human Security’, Democracy, Conflict, and Human Security: Pursuing Peace in the 21st Century, II, Further Ready, IDEA, 2006, hal 18 2 3
Definisi diatas memberikan ruang baru terkait defenisi keamanan yang lebih luas dari fokus ancaman keamanan state-centric dan lebih mendorong untuk melihat hal-hal yang terkait kesejahteraan seluruh penduduk, kebutuhan untuk pemerataan pembangunan, hubungan antar kelompok, dan kebutuhan personal manusia dan komunitas individu dalam batas-batas suatu negara. Ide keamanan manusia menempatkan individu sebagai unit analisis untuk menjelaskan sistematika kebebasan dari rasa takut dan bebas dari yang inginkan dan dibutuhkan serta menggiring analiasa sosio-ekonomi dan kondisi politik untuk menjamin nilai-nilai keamanan manusia yang ideal. Salah satu cara memenuhi keamanan manusia demi pencapaian perdamaian positif adalah melalui proses demokratisasi. Demokratisasi dipercaya mampu menjadi pintu gerbang bagi terbukanya akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan guna bertahan hidup. Demokratisasi memberikan ruang bagi kebebasan di mana setiap keputusan harus melalui proses demokratis sehingga kesewenang-wenangan dapat terhindarkan. Tesis ini dimaksudkan untuk menganalisis sejauh mana proses demokratisasi yang berjalan mampu menjadi pilar utama dari usaha pencapaian perdamaian positif setelah perdamaian negatif dapat diraih. Tesis ini akan mengangkat proses demokratisasi di Irak pasca-invasi Amerika Serikat. Salah satu klaim motif invasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada Irak adalah membebaskan rakyat Irak dari rezim otoritarian yang dijalankan oleh Saddam Hussein. Operasi penyerangan tersebut dinamai Operation Iraqi Freedom. Setelah rezim Saddam Hussein berhasil diruntuhkan, Amerika Serikat perlahan menginternalisasikan demokrasi dalam Irak. Oleh karena itu, sangatlah menarik untuk mengkaji sejauh mana demokratisasi yang dilakukan Amerika Serikat di Irak berpengaruh terhadap kelanjutan hidup rakyat Irak. Tesis ini akan berusaha menilai apakah ada perbedaan antara sebelum dan sesudah proses demokratisasi berjalan di Irak dalam pemenuhan keamanan manusia demi pencapaian perdamaian positif yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan hidup rakyat Irak.
3
B. RUMUSAN MASALAH Rumusan Masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah ―Bagaimana demokratisasi mempengaruhi proses pemenuhan aspek human security di Irak pasca invasi Amerika Serikat?‖
C. KAJIAN PUSTAKA Dalam upaya menganalisis pengaruh demokratisasi dalam proses pembangunan perdamaian positif di Irak pasca invasi Amerika Serikat, penulis meninjau karya tulis Stephen Zunes4 yang berjudul ―Iraq: The Failures of Democratization‖.5 Zunes mengemukakan pandangannya terkait invasi Amerika Serikat ke Irak dengan skeptis. Ia meyakini bahwa demokratisasi yang dilakukan oleh pemerintahan George W. Bush telah gagal. Zunes menuduh demokratisasi yang terjadi tak lebih merupakan taktik Amerika Serikat demi memenuhi kepentingannya alih-alih demi kesejahteraan rakyat Irak. Lebih jauh, Zunes mendeskripsikan proses demokratisasi yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Irak. Keraguan terhadap niat Amerika Serikat dalam membuat Irak menjadi demokratis menyeruak ketika Bush tidak serta-merta mengadakan pemilihan umum setelah Saddam Hussein disingkirkan. Ia justru membentuk ―Iraqi Governing Body‖ yang bertugas menjalankan pemerintahan sehari-hari di Irak. Badan ini berisikan orang-orang Irak yang anti-Saddam Hussein sekaligus pro-Amerika Serikat.
Alasan Amerika Serikat untuk tidak
segera mengadakan pemilihan umum adalah sulitnya mendata seluruh rakyat Irak yang memiliki hak pilih serta faktor keamanan yang belum memadai sehingga dirasa terlalu riskan bagi rakyat Irak untuk memberikan suaranya. Fakta ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat masih mencoba menanamkan pengaruhnya dalam pemerintahan Irak. Keberadaan Iraqi Governing Body yang pada dasarnya merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan Amerika Serikat mendapatkan tentangan 4
Stephen Zunes adalah Guru Besar Politik Pusat Studi Timur Tengah Universitas San Francisco S. Zunes, ‘Iraq: The Failures of Democratization’, Foreign Policy Focus
, diakses pada 18 Maret 2013 5
4
keras dari rakyat Irak. Pada momen ini, Bush masih bergeming dan belum mau mengadakan
pemilihan
terbuka.
Bush
justru
semakin
menancapkan
kepentingannya dengan membentuk sistem kaukus yang mengizinkan Amerika Serikat untuk memilih pejabat pemerintahan yang baru dan menyusun konstitusi. Setelah didesak oleh rakyat Irak yang langsung melakukan protes dengan turun ke jalan, barulah Bush mengalah dan memajukan proses pemilihan umum. Dalam tulisan ini, Zunes berpandangan sangat skeptis terhadap kepentingan Amerika Serikat di Irak. Pada dasarnya, ia tidak menentang demokratisasi Irak. Hanya saja, di mata Zunes demokratisasi yang dimaksudkan oleh Amerika Serikat telah melanggar berbagai ketentuan dari demokratisasi itu sendiri. Bahkan dalam skala ekstrem, apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat tidak bisa dikategorikan sebagai upaya demokratisasi sama sekali! Keengganan Amerika Serikat dalam mewujudkan apa yang mereka sebut sebagai demokratisasi menjadi ironis sehingga patut dipertanyakan motif sebenarnya di balik penyerangan Amerika Serikat ke Irak. Dalam kaitannya dengan pengaruh demokratisasi terhadap pembangunan perdamaian positif, Zunes belum membahasnya terlalu dalam. Ia lebih menyoroti kasus pelanggaran HAM yang terjadi selama dan sesudah invasi. Sebagai contoh, ia membeberkan angka-angka kejahatan seperti penculikan, pemerkosaan, perampokan bersenjata yang terus meningkat. Zunes beranggapan trend peningkatan tersebut sebagai konsekuensi logis dari ketidakstabilan pemerintahan intern Irak. Pemerintahan yang ditunjuk secara sewenang-wenang dan tanpa legitimasi hanya akan membawa negara ke arah ketidakpastian politik yang berujung pada hilangnya kepercayaan. Oknum-oknum tertentu bebas bertindak apapun yang merugikan tanpa perlu khawatir pada sanksi karena tidak ada otoritas tertinggi yang dapat memastikan penegakan hukum. Setelah menelaah karya tulis Zunes, penulis mulai memahami seperti apa sebenarnya proses demokratisasi yang berjalan di Irak. Lebih jauh, penulis mendapatkan gambaran mengenai perbandingan kondisi pada sebelum dan sesudah demokrasi berjalan di Irak. Hanya saja, kurangnya data mengenai parameter perdamaian positif berupa akses terhadap sumber daya yang 5
memungkinkan keberlangsungan hidup menginspirasi penulis untuk lebih fokus pada perbandingan kondisi pra dan pasca demokratisasi. Penulis juga berencana untuk memperdalam demokratisasi di Irak itu sendiri dengan mengadakan kontak dengan pihak ketiga di luar Amerika Serikat dan Irak yang kapabel dan obyektif dalam menilai proses demokratisasi. Diharapkan informasi tersebut dapat membantu penulis dalam memastikan apakah demokratisasi benar-benar berpengaruh besar terhadap pembangunan perdamaian positif, atau justru malah tidak berpengaruh sama sekali. Karya selanjutnya yang penulis kaji adalah tulisan Anna K. Jarstad dan Timothy D. Sisk yang berjudul From War to Democracy: Dilemmas of Peacebuilding6. Pada tulisan ini, Jarstad membahas mengenai dilema yang dihadapi oleh negara yang mengalami transisi dari perang menuju demokrasi. Ia mempertanyakan bagaimana cara bagi negara yang mengalami perpecahan akibat perang untuk bertransformasi menuju perdamaian dan demokrasi ketika perkembangan politik justru memperburuk konflik sosial. Jarstad lebih jauh menjelaskan korelasi kompleks antara demokratisasi yang bersifat kompetitif dengan proses bina damai yang fokus pada rekonsiliasi. Tulisan ini juga memaparkan enam tema yaitu peacekeeping, manajemen kekerasan, power sharing, transformasi partai politik, pemilihan umum, masyarakat sipil dan reaksi dunia internasional terhadap krisis demokrasi dalam menjelaskan dilema yang muncul dalam meraih perdamaian pasca proses demokratisasi. Tulisan Jarstad pada dasarnya ingin mengatakan bahwa tidak selamanya dua hal baik dapat berjalan dengan beriringan. Demokrasi dan perdamaian jelas merupakan tujuan mulia, namun usaha untuk memajukan perdamaian dan stabilitas tidak selalu berarti memajukan demokrasi, begitu pula sebaliknya. Karya analitis ini bisa dikatakan cukup berhasil menunjukkan bagaimana masyarakat yang tercerai-berai akibat perang dapat bersatu kembali menuju demokrasi dan perdamaian. Tulisan ini sangat berguna bagi penulis dalam mendapatkan referensi
6
Jarstad, Anna K. dan Sisk, Timothy D. Ed., From War to Democracy: Dilemmas of Peacebuilding, 2008: Cambridge University Press 6
mengenai bagaimana seharusnya demokrasi dan perdamaian dimaknai sehingga keduanya dapat berjalan dengan beriringan. Karya terakhir yang penulis kaji ialah tulisan Alex Jeffrey yang berjudul ―The Politics of 'Democratization': Lessons from Bosnia and Iraq‖. Jeffrey menyebutkan bahwa kedaulatan negara sebagai langkah menerapkan demokrasi telah menjadi kesepakatan bersama yang tidak resmi di antara negara-negara hegemon. Diskursus demokrasi diinternalisasikan melalui intervensi berupa statebuilding yang meliputi penerapan ekonomi liberal. Jeffrey membandingkan Bosnia-Herzegovina dan Irak dengan menggunakan dua level of analysis. Pada level kebijakan, konteks intervensi geopolitik di Bosnia dan Irak digunakan mengilustrasikan kompetensi negara dalam menjalankan demokrasi. Pada level agen, Jeffrey meneliti proses rekonstruksi demokrasi dalam penyelesaian konflik. Pada kasus Bosnia dan Irak, masyarakat internasional mengembangkan dan memberdayakan masyarakat sipil melalui proses demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, tulisan Jeffrey menitikberatkan pada bagaimana masyarakat sipil dikembangkan dengan menggunakan instrumen tertentu yang dijalankan dan diawasi oleh masyarakat internasional.
D. LANDASAN KONSEPTUAL Dalam mengkaji pengaruh demokratisasi terhadap pemenuhan keamanan manusia di Irak, penulis menggunakan beberapa konsep yang dianggap relevan. Penulis menggunakan konsep antara lain Keamanan Manusia, representative democratic practice, serta Pelembagaan Demokrasi sebagai pisau analisis terkait pengaruh demokratisasi terhadap pemenuhan keamanan manusia di Irak.
1. Keamanan Manusia Keamanan Manusia memiliki beragam definisi, salah satu definisi yang paling komprehensif dirumuskan oleh UNDP (United Nations Development Program) sebagai salah satu badan PBB yang memiliki perhatian terhadap masalah pembangunan. UNDP menegaskan bahwa Keamanan Manusia haruslah bersifat universal, mengandung komponen yang saling terkait, lebih mudah 7
dicapai melalui intervensi sedari awal serta berpusat pada manusia.7 Dengan kata lain, Keamanan Manusia bukan semata-mata berada di bawah todongan senjata, namun lebih fokus pada kehidupan dan martabat manusia itu sendiri. Poin-poin UNDP melahirkan konsep Responsibility to Protect, di mana negara memiliki rasa keterpanggilan untuk ikut terlibat dalam usaha pemenuhan kebutuhan dasar bagi keberlangsungan hidup manusia. Dengan kata lain, Keamanan Manusia selayaknya berpusat pada manusia itu sendiri, mengenai bagaimana ia hidup, seperti apa kebebasan yang didapat dalam menentukan pilihan, berapa banyak akses yang diperoleh dalam peluang pasar dan apakah mereka hidup dalam konflik atau damai.8 Pada akhir masa perang dingin yang ditandai secara simbolis dengan runtuhnya tembok Berlin, kajian-kajian tentang perang dan perlombaan senjata bukan lagi menjadi fokus utama dalam kajian keamanan internasional, meski bukan berarti kajian mengenai apa yang kemudian disebut sebagai traditional security tersebut sama sekali ditinggalkan. Bertambahnya berbagai aktor dalam Hubungan Internasional pasca perang dingin, secara langsung turut berpengaruh terhadap kajian keamanan internasional. Kajian keamanan internasional saat ini tidak lagi hanya berfokus pada aspek-aspek traditional security seperti perang maupun perlombaan senjata antar negara, akan tetapi telah berkembang mencakup isu-isu keamanan baru seperti Keamanan Manusia. Keamanan Manusia selayaknya berpusat pada manusia itu sendiri, mengenai bagaimana ia hidup, seperti apa kebebasan yang di dapat dalam menentukan pilihan, berapa banyak akses yang diperoleh dalam peluang pasar dan apakah mereka hidup dalam konflik atau damai.9 Berdasarkan asumsi mengenai Keamanan Manusia tersebut, UNDP merumuskan beberapa dimensi dalam Keamanan Manusia. Beberapa dimensi tersebut antara lain:10
7
Human Development Report, “Chapter 2; New Dimensions of Human Security”, 1994, , diakses pada 17 Maret 2013 8 Ibid. hal 24 9 Ibid. hal 23 10 Ibid. hal 24 8
Keamanan Ekonomi; terkait kemampuan pemenuhan sumber pendapatan Keamanan Pangan; terkait akses terhadap sumber pangan baik secara fisik maupun ekonomi Keamanan Kesehatan; terkait bebas dari ancaman penyakit dan pemenuhan hak kesehatan Keamanan Lingkungan; terkait akses terhadap air bersih, udara bersih, serta lingkungan yang layak ditinggali Keamanan Individual; terkait rasa aman dari ancaman kekerasan atau ancaman fisik Keamanan Sosial; terkait pemenuhan rasa aman bagi identitas budaya Keamanan Politik; terkait perlindungan terhadap kebebasan hak asasi manusia Dalam menjelaskan mengenai keamanan manusia di Irak, penulis menggunakan pendekatan terbaru tentang aspek dan dimensi Keamanan Manusia. Pendekatan ini menyederhanakan ketujuh dimensi menjadi tiga dimensi yaitu dimensi ekonomi, dimensi sosial dan dimensi lingkungan. Ketiga dimensi diukur melalui Human Security Index yang menyempurnakan Human Development Index yang dikembangkan oleh UNDP.11 Penyederhanaan dimensi dimaksudkan agar penelitian mengenai Keamanan Manusia dapat dilakukan dengan tanpa terpaku pada ketujuh dimensi yang begitu luas. David A. Hastings meyakini bahwa mengkombinasikan indikator dan data Keamanan Manusia yang bersifat multidimensional dengan aspek yang sesuai akan membantu peneliti dalam mengamati sejauh mana usaha-usaha pemenuhan Keamanan Manusia berjalan. Konsep Keamanan Manusia menjadi bagian paling esensial dalam penelitian ini. Keamanan Manusia dijadikan landasan dalam menilai sejauh mana kebutuhan dasar rakyat yang menjadi tanggungjawab negara dapat terpenuhi. Kebutuhan dasar untuk hidup juga merupakan perwujudan dari perdamaian positif sebagaimana disebutkan oleh Johan Galtung. Parameter yang terkandung dalam 11
Hastings, David A., 2009B. From Human Development to Human Security: A Prototype Human Security Index. United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific Working Paper WP/09/03. http://www.unescap.org/publications/detail.asp?id=1345 9
setiap dimensi menjadi dasar bagi penilaian terhadap kesejahteraan rakyat Irak baik pada masa pemerintahan Saddam Hussein maupun setelah demokratisasi berjalan. Dari penilaian terhadap parameter, diharapkan dapat terlihat sejauh mana usaha pemenuhan keamanan manusia bagi rakyat Irak berjalan.
2. REPRESENTATIVE DEMOCRATIC PRACTICE Dalam menjelaskan proses demokrasi yang berjalan di Irak, penulis menggunakan konsep demokrasi yang dikutip dari IDEA yaitu konsep Democratic Practice (Praktik Demokrasi). Konsep ini merujuk pada persetujuan secara institusi baik formal maupun informal dengan mendengarkan keinginan masyarakat dalam proses penentuan kebijakan.12 Proses ini mengandung kaidahkaidah penting antara lain bersifat inklusif, dibangun berdasarkan konsensus serta akuntabel demi usaha membangun dan menjaga perdamaian. Demokrasi didefinisikan dari cara bagaimana ia diaplikasikan. Praktik demokrasi melibatkan proses formal institusional dan institusi informal. Praktik demokrasi juga mementingkan proses pelaksanaan yang terstruktur seperti pemilu. Proses lain yang membawa perubahan seperti perubahan di mana pasukan pemberontak berubah menjadi partai politik, atau proses bagaimana konstitusi dibuat. Praktik Demokrasi memiliki beberapa aspek dalam pelaksanaannya. Partisipasi berarti setiap orang berhak memiliki suara dalam pengambilan keputusan baik melalui proses pemilihan atau melalui masyarakat madani dan kelompok kepentingan seperti serikat pekerja, dan secara langsung melalui partisipasi dan inisiatif masyarakat. Supremasi hukum berarti penyusunan dan pelaksanaan kerangka hukum yang adil dan tidak memihak. Transparansi berarti keterbukaan akses informasi, khususnya pada layanan bagi kebutuhan masyarakat dan dalam proses pengambilan keputusan. Akuntabilitas pemerintah juga harus diawasi karena mereka berada dalam posisi memiliki kekuasaan yang memungkinkan untuk memenuhi kepentingan sosial dari masyarakat yang mereka 12
J. Large, dan T.D., Sisk, Democracy, Conflict, and Human Security: Pursuing Peace in the 21st Century, hal 5 10
mewakili. Responsif berarti pemerintah harus responsif terhadap keprihatinan dari seluruh lapisan masyarakat dan berjuang untuk konsensus bila memungkinkan. Pemerataan berarti setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau kesejahteraan mereka. Konsep Praktik Demokrasi Representatif juga membahas penyusunan pembagian kekuasaan secara institusional, proses menciptakan dan memperkuat nilai demokrasi serta memajukan hal-hal positif terkait human development dan human security. Hal-hal tersebut menjadi penting karena demokrasi harus mampu mengakomodir nilai-nilai HAM dan partisipasi dalam pemenuhan aspek keamanan manusia. Sementara itu, demokrasi representatif menekankan pada pemilihan wakil bagi masyarakat untuk duduk di parlemen.13 Tipe demokrasi ini mengamanatkan adanya perwakilan masyarakat yang memperjuangkan kepentingan kelompok masing-masing sehingga setiap elemen masyarakat dapat terwakili dalam proses penentuan kebijakan. Praktik demokrasi representatif memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh pihak untuk menempatkan kepentingan masing-masing dan berusaha memperjuangkannya. Terdapat beberapa parameter dalam menilai sejauh mana demokratisasi berjalan dan korelasinya dengan keamanan manusia. Dalam kasus Irak, kelompok masyarakat yang ada tidak memiliki saluran dan kesempatan yang sama dalam menyampaikan aspirasi terkait kebutuhan hidupnya. Dengan pemberlakuan praktik demokrasi representatif, perlahan-lahan kebijakan yang diambil oleh pemerintah mulai akomodatif dan suportif terhadap tuntutan kebutuhan yang ada.
3. PELEMBAGAAN SISTEM DEMOKRASI Dalam menjelaskan proses demokratisasi, penulis menggunakan konsep pendekatan Pelembagaan Sistem Demokrasi yang dikemukakan oleh Roland Paris dalam bukunya At War‘s End.14 Paris setuju bahwasanya demokrasi dan sistem 13 14
"Victorian Electronic Democracy, Final Report ". 28 July 2005. R. Paris, At War’s End, Cambridge University Press, 2004 11
pasar memang dibutuhkan dalam mencapai perdamaian seperti disampaikan oleh Woodrow Wilson. Bagi Paris, lebih baik pengenalan demokrasi dan sistem pasar kepada masyarakat ditunda sampai dipastikan institusi lokal yang mampu menanggulangi efek dari liberalisasi didirikan. Paris juga menasehatkan agar institusi yang telah didirikan hendaknya memperlakukan proses perdamaian sebagai proses yang deliberatif alih-alih membiarkan masyarakat langsung bersaing secara tidak sehat baik secara politik maupun ekonomi. Pendekatan Pelembagaan Sistem Demokrasi dimaksudkan agar negara pasca konflik yang rentan terhadap efek samping dari liberalisasi yang terburu-buru mampu mempersiapkan diri lebih awal sehingga demokratisasi yang diinginkan lebih dapat diterima masyarakat serta agar perdamaian yang tercapai lebih terjaga. Prinsip kunci dari Pelembagaan Sistem Demokrasi adalah penguatan kapasitas negara yang bergantung pada langkah-langkah untuk memberdayakan masyarakat sipil dan memberikan kapasitas pada mereka untuk berpartisipasi langsung dalam pemerintahan. Semakin kuat kemampuan suatu masyarakat untuk turut berkontribusi terhadap tata kelola dan proses politik yang inklusif dan demokratis, akan semakin kuat pula kemampuan negara dalam melaksanakan tujuan dari kebijakan terhadap Keamanan Manusia. Pelembagaan
Sistem
Demokrasi
menjadi
penghubung
antara
demokratisasi dan demokrasi di Irak. Setelah demokratisasi dimulai dengan ditandai pembentukan pemerintahan sementara, perlahan-lahan Irak mulai menjalankan praktik demokrasi yang sebenarnya. Pemerintahan sementara mempersiapkan hal-hal yang diperlukan bagi pelaksanaan sistem demokrasi melalui pemilihan umum. Oleh karena itu, pemilihan umum yang berjalan diikuti oleh seluruh rakyat Irak dan berlangsung secara terbuka sebagai hasil dari pelembagaan sistem demokrasi yang berjalan sebelumnya.
E. ARGUMEN PENELITIAN Dalam rangka menjadikan manusia sebagai target utama dari keamanan, diperlukan suatu sistem yang akomodatif terhadap pemenuhan hak-hak terkait keamanan manusia itu sendiri. Sistem demokratis memberikan nuansa baru yang 12
akomodatif dalam usaha pemenuhan keamanan manusia melalui demokratisasi yang harus dilalui terlebih dahulu. Negara seperti Irak yang tidak terbiasa dengan sistem demokrasi cenderung kurang mampu memenuhi keamanan manusia. Hal ini disebabkan oleh rezim yang tidak menjadikan manusia sebagai objek utama dari pembangunan. Terbukti dari kebijakan-kebijakan Irak pada masa Saddam Hussein yang lebih diarahkan pada penguatan kapasitas negara dalam menghadapi ancaman dari luar. Setelah Amerika Serikat melakukan invasi yang berujung pada demokratisasi, pembangunan Irak mulai diarahkan pada pemenuhan rasa aman bagi rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demokratisasi memberikan ruang dan kesempatan bagi rakyat untuk menentukan sendiri nasibnya. Melalui proses yang demokratis, rakyat Irak dilibatkan secara langsung untuk menyampaikan aspirasi terkait kebutuhan hidup mereka. Proses demokratisasi selanjutnya memberikan akses dan kesempatan yang sama bagi rakyat Irak dari golongan manapun ia berasal untuk memastikan ia mendapatkan peluang untuk melanjutkan hidup. Selanjutnya, demokrasi sebagai hasil dari proses demokratisasi tidak dapat serta-merta dipraktekkan begitu saja. Perlu adanya penanaman nilai agar masyarakat dan infrastruktur sama-sama siap menjalankan demokrasi. Demokrasi yang representatif dapat tercapai jika masyarakat menyadari pentingnya memiliki wakil dalam menyampaikan pendapat mereka. Seiring dengan nilai demokrasi yang semakin terinternalisasi dalam masyarakat, diharapkan kepentingan akan pemenuhan aspek keamanan manusia lebih mudah tercapai.
F. MANFAAT PENELITIAN Penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
terutama
memberikan pandangan baru atas pengaruh demokrasi terhadap pemenuhan aspek keamanan manusia di negara-negara yang mengalami situasi pasca konflik. Penelitian ini juga bermanfaat untuk melihat apakah klaim yang menyatakan bahwa
keamanan
manusia
membutuhkan
payung
demokrasi
dalam
pelaksanaannya adalah benar adanya. 13
G. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis bagaimana proses demokratisasi yang berjalan di Irak mempengaruhi pemenuhan aspek keamanan manusia. Dengan menggunakan beberapa pendekatan, diharapkan outcome dari penelitian adalah memberikan pandangan atas kemungkinan yang paling relevan terkait korelasi antara demokrasi dan keamanan manusia di Irak. Tingkat relevansi demokrasi terhadap pemenuhan keamanan manusia akan menjadi hasil utama yang diharapkan dari penelitian ini.
H. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang akan digunakan adalah kualitatif. Langkah yang diambil adalah konseptualisasi terhadap konsep-konsep yang digunakan dan generalisasi. Pengumpulan data akan dilakukan secara purposive dengan tujuan memperkuat argumen dalam penelitian ini. Sumber data penelitian didasarkan sumber-sumber literatur sekunder, seperti buku, jurnal, dan artikel baik cetak maupun elektronik.
I. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan studi pustaka.
Peneliti
akan
mengumpulkan
data
mengenai
langkah-langkah
demokratisasi di Irak dan mengumpulkan data mengenai tingkat pemenuhan aspek keamanan manusia sebelum dan sesudah demokrasi berjalan melalui buku, jurnal, majalah, sumber elektronik, dan hasil penelitian sebelumnya yang dianggap relevan dan dapat membantu penulis dalam memaparkan argumen. Peneliti juga akan berkorespondensi dengan beberapa pihak terkait antara lain pemerintah Irak, perwakilan Amerika Serikat di Irak serta NGO yang berkecimpung dalam kehidupan masyarakat Irak.
14
J. SISTEMATIKA PENULISAN Tesis akan dibagi menjadi beberapa bagian penulisan. Pembagian susunan penulisan terdiri dari 5 bab beserta kesimpulan dan daftar referensi. Bab I, PENDAHULUAN, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Landasan Konseptual, Argumen Penelitian, Manfaat Penelitian, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, serta Sistematika Penulisan dalam tesis ini. Bab II, DEMOKRATISASI IRAK, akan membahas proses demokratisasi di Irak yang berlangsung pasca invasi Amerika Serikat ke Irak. Proses demokratisasi mencakup inisiasi sistem demokrasi termasuk proses pemilu dan penentuan parlemen. Pembahasan mengenai inisiasi demokrasi akan menjadi pijakan untuk menjelaskan pemenuhan keamanan manusia pada bab selanjutnya. Bab III, KEAMANAN MANUSIA di IRAK, akan menggambarkan pemenuhan aspek keamanan manusia yang terjadi di Irak pra dan pasca demokratisasi di Irak. Bab ini akan menunjukkan seberapa besar perbedaan pemenuhan keamanan manusia pada saat Irak masih di bawah kekuasaan Saddam Hussein dan Irak setelah demokratisasi. Bab IV, DEMOKRATISASI dan KEAMANAN MANUSIA di IRAK, akan menganalisis pengaruh demokratisasi terkait pemenuhan aspek keamanan manusia di Irak. Jika bab sebelumnya lebih berorientasi pada data, maka bab ini akan berorientasi pada analisis menggunakan konsep-konsep yang dijadikan landasan penelitian. Konsep-konsep yang ada akan digunakan untuk melihat sejauh mana relevansi dan pengaruh demokratisasi terhadap pemenuhan keamanan manusia di Irak. Bab V, KESIMPULAN, akan menyimpulkan analisis dan data yang telah disajikan pada bab-bab sebelumnya.
15