BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP), Mata pelajaran matematika
berfungsi
untuk
mengembangkan
kemampuan
dan
mengkomunikasikan gagasan melalui model matematika yang dapat berupa kalimat dan persamaan matematika. Pembelajaran matematika bertujuan untuk melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi,intuisi dan penemuan dengan melibatkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. Selain itu tujuan pembelajaran matematika adalah untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan menyampaikan informasi atau gagasan antar lain melalui pembicaraan lisan, peta, dan diagram dalam menjelaskan gagasan. Menurut Permen No. 22 Tahun 2006, mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Hal senada juga diungkapkan oleh Soedjadi (2004) bahwa pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang meliputi: (1) tujuan yang bersifat formal yang memberi tekanan pada penataan nalar anak serta pembentukan pribadi anak, dan (2) tujuan yang bersifat material yang
memberi
tekanan
pada
penerapan
matematika
serta
kemampuan
memecahkan masalah matematika. Dari tujuan di atas terlihat bahwa matematika sangat penting untuk menumbuhkan penataan nalar atau kemampuan berpikir logis serta sikap positif siswa yang berguna dalam mempelajari ilmu pengetahuan maupun dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Uuntuk
mengembangkan
kemampuan
tersebut,
pendidikan
harus
mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak masalah yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks 1
(context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi. Sedangkan guru tak lebih dari seorang fasilitator, moderator atau evaluator sementara siswa berfikir, mengkomunikasikan 'reasoningnya', melatih nuansa demokrasi dengan menghargai pendapat orang lain. Kenyataannya pembelajaran matematika, khususnya di sekolah dasar, belum menekankan pada pengembangan daya nalar (reasoning), logika dan proses berpikir siswa. Pengajaran matematika umumnya didominasi oleh pengenalan rumus-rumus serta konsep-konsep secara verbal, tanpa ada perhatian yang cukup terhadap pemahaman siswa. Selain itu, proses belajar mengajar hampir selalu berlangsung dengan metode ceramah yang mekanistik, dengan guru menjadi pusat dari seluruh kegiatan di kelas. Siswa mendengarkan, meniru atau mencontoh dengan persis sama cara yang diberikan guru tanpa inisiatif. Siswa tidak dibiarkan atau didorong mengoptimalkan potensi dirinya, mengembangkan penalaran maupun ativitasnya. Konsekwensinya bila mereka diberikan soal yang beda dengan soal latihan mereka akan membuat kesalahan. Begitu pula mereka tidak terbiasa memecahkan masalah yang banyak di sekeliling mereka. Proses pembelajaran matematika seperti ini cenderung kepada konsep tradisional, yakni hanya menjejalkan rumus-rumus dan hafalan saja kepada siswa. Tanpa memberi masukan bagaimana siswa menyelesaikannya dengan baik. Padahal tujuan pendidikan, pada dasarnya bukanlah mencapai hasil apa yang dipelajari,
namun
adalah
menciptakan
manusia-manusia
yang
mampu
memecahkan permasalah-permasalahan yang dihadapinya. Menghadapi kondisi itu, pembelajaran matematika harus mengubah citra dari pembelajaran yang mekanistis menjadi humanistik yang menyenangkan. Pembelajaran yang dulunya memasung ativitas siswa menjadi yang membuka kran ativitas. Selain itu guru harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik, sehingga perlu dilaksanakan sutu kegiatan yang dapat membantu guru menciptakan proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan bernalar siswa dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Kegiatan itu adalah Workshop Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI), karena pembelajaran yang mendasarkan pada penerapan “Pendidikan Matematika Realistik Indonesia” merupakan kegiatan pembelajaran yang lebih menekankan aktivitas siswa untuk mencari, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan yang diperlukan sehingga pembelajaran menjadi terpusat pada siswa. Dengan adanya kemampuan melaksankan pembelajaran dengan pemdekatan PMRI, diharapkan hasil belajar yang diperoleh siswa akan baik serta kemampuan pemecahan masalah dan peneralaran matematis siswa juga meningkat. Untuk itu penulis tertarik melakukan penelitian Deskriptif Kualitatif dengan judul Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Pernalaran Matematis Siswa Sekolah Dasar melalui Work Shop Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, maka masalah yang timbul pada proses pembalajaran matematika dalam upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matematis dengan pendekatan PMRI pada siswa kelas II SD kartika Padang dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Proses pembelajaran belum menekankan pada pengembangan daya nalar (reasoning), logika dan proses berpikir siswa. 2. Pembelajaran yang berlangsung selama ini masih terpusat pada guru. 3. Belum adanya Pengoptimalan mengembangkan penalaran maupun ativitas dalam pembelajaran. 4. Siswa belum terbiasa dengan pemecahan masalah.
C. Pembatasan Masalah Dari masalah-masalah yang telah diidentifiksi, maka permasalah yang akan dikaji dibatasi pada pengembangan kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matematis melalui pembelajaran dengan pendekatan PMRI.
D. Perumusan Masalah Berdasrakan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat diidentifikasih masalah yang akan diteliti adalah: 1. Apakah terdapat berbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa yang belajar dengan pendekatan PMRI dengan siswa yang belajar dengan konvesional? 2. Bagaimana peranan guru dalam membantu siswa memecahkan masalah matematis setelah mengikuti workshop PMRI? 3. Bagaimana peranan guru dalam membantu siswa mengembangkan pernalaran matematis setelah mengikuti workshop PMRI? 4. Bagaimana kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematis setelah melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI? 5. Bagaimana
kemampuan
siswa
dalam
bernalar
matematis
setelah
melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI? E. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui : 1. Apakah terdapat berbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa yang belajar dengan pendekatan PMRI dengan siswa yang belajar dengan konvesional. 2. Bagaimana peranan guru dalam membantu siswa memecahkan masalah matematis setelah mengikuti workshop PMRI. 3. Bagaimana peranan guru dalam membantu siswa mengembangkan pernalaran matematis setelah mengikuti workshop PMRI. 4. Bagaimana kemampuan siswa dalam pemecahan masalah matematis setelah melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI. 5. Bagaimana
kemampuan
siswa
dalam
bernalar
melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI.
matematis
setelah
F. Manfaat Penelitian Dengan tercapainya tujuan penelitian di atas, maka manfat yang dapat diperoleh adalah : 1. Bagi guru, menambah wawasan dan pengetahuan dalam meningkatkan kemmapuan
pemecahan
masalah
dan
penalaran
matematis
melalui
pembelajaran dengan pendekatan PMRI. 2. Bagi Dinas Pendidikan dan Pimpinan Sekolah, untuk dapat lebih meningkatkan kemampuan guru dalam memperbaiki proses pembelajaran matematika terutama melalui pembelajaran dengan pendekatan PMRI dan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah dan penalaran matematis. 3. Bagi para peneliti dan pengembnag ilmu pengetahuan, sebagai bahan referensi penelitian yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matematis melalui pembelajaran dengan pendekatan PMRI.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994 dalam Hadi), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange 1995, dalam Hadi). Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang 'real' bagi siswa, menekankan ketrampilan 'proses of doing mathematics', berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri ('student inventing' sebagai kebalikan dari 'teacher telling') dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka. Dari prinsip di atas diperoleh kesimpulan bahwa PMRI secara garis besar memiliki lima karakteristik. Menurut Treffers dan Van den HeuvelPanhuizen dalam Suharta (2005:2), karakteristik PMRI adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (intertwinment) dan dijelaskan sebagai berikut :
1)
Menggunakan konteks “dunia nyata” Dalam PMRI, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.
2)
Menggunakan model-model (matematisasi) Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model-model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.
3)
Menggunakan produksi dan konstruksi. Dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual
merupakan
sumber
inspirasi
dalam
pengembangan
pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal. 4)
Menggunakan interaktif. Interaksi antar siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi
digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa 5)
Menggunakan keterkaitan (intertwinment). Dalam PMRI pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain. Menurut Sutarto Hadi, berdasarkan karakteristik tersebut PMRI
mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut: 1) Siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya. 2) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. 3) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan. 4) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman. 5) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.
PMRI juga mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut: 1) Guru hanya sebagai fasilitator belajar. 2) Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif. 3) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil. 4) Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun social.
Begitu pula PMRI mempunyai konsepsi tentang pembelajaran bahwa pengajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995 dalam Sutarto Hadi): 1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna. 2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut. 3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan. 4) Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Dengan adanya konsepsi PMRI tentang siswa, guru dan pembelajaran diyakini dapat memotivasi untuk berani mengajukan pendapat, menyampaikan gagasan atau ide dan dihargai pendapatnya (termasuk walaupun yang dikatakannya salah). Diharapkan berimplikasi pada kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matematis siswa akan meningkat. Sedangkan van den Heuvel-Panhuizen (1996) dalam Marpaung, merumuskan prinsip RME sebagai berikut: 1. Prinsip aktivitas, yaitu bahwa matematika adalah aktivitas manusia. Si pembelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika. Si pembelajar bukan insan yang pasif menerima apa yang disampaikan oleh guru, tetapi aktif secara fisik teristimewa secara mental mengolah dan menganalisis informasi, mengkontruksi pemgetahuan matematika. 2. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogiyanya dimulai dengan masalahmasalah yang realistik bagi siswa, yaitu dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah yang realistik lebih menarik bagi siswa dan masalah-masalah
matematis formal tanpa makna. Jika pembelajaran dimulai dengan masalah yang bermakna bagi mereka, siswa akan tertarik untuk belajar. Secara gradual siswa kemudian dibimbing ke masalah-masalah matematis formal. 3. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi memperoleh insight tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal. Model bertindak sebagai jembatan antara yang informal dan yang formal. Model yang semula merupakan model suatu situasi berubah melalui abstraksi dan generalisasi menjadi model untuk semua masalah lain yang ekuivalen. 4. Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secara lebih baik. Konsep matematika adalah relasirelasi. Secara psikologis hal-hal yang berkaitan akan lebih mudah dipahami dan dipanggil kembali dari ingatan jangka panjang daripada halhal yang terpisah tanpa kaitan satu sama lain. 5. Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Kepada siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan hal itu serta menanggapinya. Melalui diskusi, pemahaman siswa tentang suatu masalah atau konsep menjadi lebih mendalam dan siswa terdorong untuk melakukan refleksi yang memungkinkan dia menemukan insight untuk memperbaiki strateginya atau menemukan solusi suatu masalah. 6. Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberikan kesempatan ‘terbimbing’ untuk “menemukan kembali (re-invent)” pengetahuan matematika. Guru menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan matematika mereka, bukan mentransfer pengetahuan ke pikiran siswa. Guru perlu mengetahui karakteristik setiap siswanya, agar
dia lebih mudah memantu mereka dalam proses pengkonstruksian pengetahuan. Dengan dilaksanakannya beberapa prinsip dalam PMRI tersebut berguna untuk pembentukan konsep terhadap matematika, pembentukan model sebagai menyediakan alat untuk berfikir menggunakan prosedur dan realitas sebagai sumber latihan kemampuan di situasi-situasi tertentu.. pembelajaran dengan pendekatan PMRI dapat pembelajaran dari
pandangan mengajar ke
merubah paradigma
pandangan belajar
atau
pembelajaran yang berpusat pada guru ke pembelajaran yang berpusat pada siswa. Membentuk konsekuensi perubahan yang mendasar dalam proses pembelajaran di kelas. Perubahan tersebut menuntut agar guru tidak lagi sebagai sumber informasi, melainkan sebagai teman belajar. Siswa dipandang sebagai makhluk yang aktif dan memiliki kemampuan untuk membangun pengetahuannya sendiri.
2. Kemampuan Pemecahan Masalah. Pemecahan masalah (problem Solving) menjadi bagian penting dalam kehidupan. Banyak persoalan dalam kehidupan yang memerlukan kemampuan pemecahan masalah. Me ngingat pentingnya kemampuan pemecahan masalah dalam kehidupan saat ini, kurikulum sekolah didorong untuk memfasilitasi pengembnagan kemampuan tersebut pada siswa. Menurut Doorman (dalam sutarto,2009:59) pemecahan masalah adalah “seni” bekerja dengan masalah-masalah non-trivial yang sebelumnya tidak dikenal, dengan strategi penyelesaian yang tidak rutin bagi siswa, tetapi memberikan kesempatan bagi mereka mengembangkan strategi penyelesaian baru. Sutu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan oleh suatu prosedur rutin yang sudah diketahui oleh penjawab pertanyaan. Sedangkan pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan yang didesain oleh guru dalam rangka member tantangan kepada siswa melalui penugasan (pertanyaan) matematika.
Model pemecahan masalah umum yang dikembangkan antara tahun 60-an hingga 70-an antara lain Model IDEAL Branford (sutarto, 2009:59) yaitu: 1)
Identifikasi (identify) masalah
2)
Definisikan (Define) masalah dengan memikirkannya dan menyeleksi informasi yang relevan.
3)
Eksplorasi (Explore) penyelesaian berbagai alternative, brainstorming dan memeriksa sudut pandang yang berbeda.
4)
Bertindak (Act) berdasarkan strategi yang dipilih.
5)
Lihat kebelakang (Look back) dan mengevaluasi akibat dari kegiatan yang telah dilakukan.
Penelitian kognitif pada dua puluh tahun terakhir telah menghasilkan model pemecahan masalah yang berbeda. Saat ini kita mengetahui bahwa pemecahan masalah meliputi seperangkat komponen yang kompleks yang meliputi kognitif, prilaku dan sikap. Pada tahun 1983 Mayer (dalam Sutarto, 2009:59) membedakan tiga cirri pemecahan masalah sebagai berikut: 1)
Pemecahan masalah adalah kegiatan kognitif tetapi disarikan pada tingkalaku atau perbuatan.
2)
Pemecahan masalah menghasilkan tingka laku yang mengiring pada penyelesaian.
3)
Pemecahan masalah adalah suatu proses yang meliputi manipulai dari/atau operasi pengetahuan sebelumnya.
Pada saat ini model pemecahan masalah yang sering digunakan adalah seperti pada gambar berikut (Sutarto, 2009:59):
Menyajikan
Mencari
Menerapkan
Masalah
Penyelesaian
Penyelesaian Gagal
Berhasil Stop
Model ditasa menjelaskan alur dasar dari tiga kegiatan kognitif dalam pemecahan masalah yakni: a.
Menyajikan masalah dengan mengingat konteks yang sesuai, dan mengidentiikasi tujuan serta syarat awal dari masalah.
b.
Mencari penyelesaian dengan mempertajam tujuan dan mengembangkan rencana tindakan untuk mencapai tujuan.
c.
Menerapkan penyelesaian dengan menjalankan rencana tindakan yang telah disusun dan mengevaluasi hasilnya.
Pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan yang didesain oleh guru dalam
rangka member tantangan
kepada
siswa
melalui penugasan
(pertanyaan) matematika. Pembelajaran dengan pemecahan masalah melatih siswa berfikir tingkat tinggi. Suatu soal hanya dapat disebut sebagai problem bagi siswa jika siswa memiliki prasyarat untuk menyelesaikan soal tersebut, siswa memiliki keinginan untuk menyelesaikan soal tersebut serta soal tersebut terjangkau oleh siswa.
Dengan adanya pembelajaran dengan bentuk pemecahan masalah diharapkan siswa termotifasi untuk menyelesaikan pertanyaan (soal) yang mengarahkan siswa dalam proses pemecahan masalah. Melalui proses pemecahan masalah ini keterampilan berfikir yang didapat diyakini dapat ditransfer atau digunakan siswa ketika menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari. Dijelaskan
dalam
Peraturan
Dirjen
Dikdasmen
No.
506/C/PP/2004 (Depdiknas 2004), bahwa pemecahan masalah adalah merupakan kompetensi strategik yang ditunjukkan siswa dalam memehami, memilih pendekatan dan stratei pemecahan masalah. Indicator yang menujukkan pemecahan masalah adalah : 1) Menunjukkan pemahaman masalah 2) Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah. 3) Menyajikan masalah secara matematis dalam berbagai bentuk. 4) Memilih pedekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat.
5) Mengembangkan strategi pemecahan masalah. 6) Membuat dan menefsirkan matode matematika dari suatu masalah. 7) Menyelesaikan masalah yang tidak rutin.
3. Kemampuan Penalaran Matematik. Kemampuan merupakan kata benda dari kata mampu yang berarti kuasa (bisa, sanggup) melakukan sesuatu. Sehingga kemampuan dapat diartikan kesanggupan/kecakapan. Istilah penalaran atau reasoning dijelaskan oleh Copi (1978) sebagai berikut: “reasoning is a special kind of thinking in which inference take place, in which conclusions are drawn from premises”. Dengan demikian jelaslah bahwa penalaran adalah kegiatan, proses atua aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasarkan pada beberapa pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar yang disebut premis. Daya nalar siswa dalam mata pelajaran matematika perlu ditumbuh kembangkan. Karena bernalar siswa dapat menganalisis setiap masalah yang muncul secara jernih, dapat memecahkan masalah dengan tepat,dan menilai esuatu secara kritis dan objektif serta dapat mengemukakan idenya secara runtun dan logis. Dijelaskan pada dokumen Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 (Depdiknas 2004), penalaran menjadi sangat penting berkait dengan penilaian penalaran ini, indicator yang menunjukkan penalaran antara lain adalah: 1) Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, diagram dan gambar. 2) Mengajukan dugaan (conjectures) 3) Malakukan manipulasi matematika. 4) Menarik kesimpulan, menyusun bukti, memberikan alasan atau bukti terhadap beberapa solusi. 5) Menarik kesimpulan dari beberapa pernyataan. 6) Memeriksa kesahihan suatu argument. 7) Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
4. Kaitan PMRI untuk Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Penelaran Matematis. Melalui kegiatan pengajaran, siswa-siswi SD yang berada pada tahap operasi konkrit sudah semestinya dibekali dengan ilmu pengetahuan dasar dan keterampilan dasar yang dalam hal ini adalah mata pelajaran yang tercantum dalam
kurikulum
SD/MI
untuk
mengembangkan
pengetahuan
dan
keterampilannya pada jenjang pendidikan selanjutnya. Pengajaran di kelas tidak terlepas dari aktivitas belajar siswa. Melalui aktivitas belajar tersebut diharapkan dapat meningkatkan pengalaman belajar sehingga proses pembelajaran akan menjadi lebih bermakna bagi siswa. Pelaksanaannyapun harus dilaksanakan dengan pendekatan belajar yang relevan dengan paradigma pendidikan sekarang. Paradigma pendidikan sekarang ini lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan pendekatan dalam pembelajaran matematika yang sesuai dengan paradigma pendidikan sekarang. PMRI menginginkan adanya perubahan dalam paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar menjadi paradigma belajar. Pengalaman belajar akan terbentuk apabila siswa ikut terlibat dalam pembelajaran yang terlihat dari aktivitas belajarnya.PMRI juga menekankan untuk
membawa
matematika
pada
pengajaran
bermakna
dengan
mengkaitkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari yang bersifat realistik. Siswa disajikan masalah-masalah kontekstual, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi realistik. Kata realistik disini dimaksudkan sebagai suatu situasi yang dapat dibayangkan oleh siswa atau menggambarkan situasi dalam dunia nyata. Pembelajaran dengan pendekatan PMRI berguna untuk, akses dan motivasi terhadap matematika, pembentukan model, menyediakan alat untuk berfikir menggunakan prosedur,notasi, gambar dan aturan, realitas sebagai sumber, pembentukan konsep. dengan dimilikinya keterampilan
berfikir akan melahirkan jawaban ilmiah yang mempresentasikan pemehaman dan penalaran siswa. Hasil berfikir tersebut siap didemonstrasikan dalam pemecahan masalah-masalah yang bervariasi. Jadi pembelajaran dengan pendekatan PMRI diyakini dapat berfungsi sebagai fasilitas belajar dalam pencapaian kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matemais.
B. Kerangka Pemikiran Belajar merupakan suatu proses untuk mengoptimalkan potensi siswa. Kesuksesan dari sebuah pembelajaran tergantung pada keberhasilan pendekatan yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan materi pelajaran. Pendekatan PMRI memberi kemungkinan siswa untuk mengembangkan pemahaman melalui berbagai kegiatan yang sesuai dengan perkembangan berfikir siswa dan mendorong siswa untuk mau menggali dan memperdalam cara mereka berfikir dengan menemukan berbagai alternative berfikir, siswa diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) yaitu menemukan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut yang dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil”. Dengan memberikan masalah yang tidak terformulasi dengan ketat siswa dapat berfikir dengan bebas dalam menemukan solusi dari suatu masalah. Hal ini akan memungkinkan berkembangnya kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matematis siswa.
C. Hipotesis Berdasarkan kajian teori dan kerangka pemikiran yang dikemukakan pada diuraikan diatas, dapat diajukan hipotesis sebagai berikut : Kemampuan pemecaham masalah siswa yang diajar dengan pendekatan PMRI lebih baik dari pada siswa yang diajar dengan konvensional.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian mix method. Penelitian dengan metode campuran antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode eksperimen yaitu penelitian memberikan perlakuan (manipulasi) terhadap variable penelitian (variable bebas), kemudian mengamati konsekuensi perlakuan terhadap objek penelitian (variable terikat). Sedangkan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif yaitu penelitian ini ingin mengungkapkan fenomena yang terjadi dan diangkat dari fakta secara wajar, bukan kondisi yang terkendali dan dimanipulasi.. Pada penelitian kuantitatif peneliti menggunakan sekelompok subjek penelitian dari suatu populasi tertentu, kemudian di kelompokkan lagi secara random menjadi dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen diberikan perlakuan pembelajaran dengan pendekatan PMRI untuk melihat kemampuan pemecahan masalah dan pada kelompok kontrol diberikan model pembelajaran konvensional dengan jumlah jam yang sama. Selanjutnya pada kedua kelompok kelas itu dilakukan tes hasil belajar yang sama. Hasil tes kedua kelompok di uji statistik untuk melihat apakah ada perbedaan yang terjadi karena perlakuan yaitu pembelajaran dengan pendekatan PMRI. Pada penelitian kualitatif peneliti ingin mengetahui peranan guru dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan penalaran
matematis siswa serta mengetahui kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan penalaran matematis siswa.
B. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini direncanakan adalah siswa kelas 2 tahun pelajaran 2010/2011 di SD Kartika Padang yang terdiri dari 2 kelas. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Porposive Sampling. Mengingat salah satu karakteristik eksperimen ini adalah menggunakan pengacakan maka pemilihan kelas kontrol maupun kelas eksperimen dilakukan melalui undian. Kedua kelas ini memiliki kemampuan yang hampir sama.
C. Definisi Operasional Untuk menggambarkan ruang lingkup yang menjadi batasan penelitian maka dikemukakan definisi operasional sebagai berikut : 1. Metode RME adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami siswa untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika yang lebih baik dari pada masa lalu. Realita yang dimaksud adalah hal-hal yang nyata atau konkrit yang dapat diamati dan dipahami siswa dengan membayangkan, sedangkan lingkungan adalah tempat siswa berada 2. Metode konvensional merupakan metode pembelajaran yang berpola teachercentered atau berpusat pada guru. Proses pembelajaran didominasi oleh guru dengan metode ceramah.
3. Kemampuan pemecahan masalah merupakan bentuk pemecahan masalah dari suatu pertanyaan (soal) yang mengarahkan siswa dalam proses pemecahan masalah. 4. Kemampuan Penalaran matematis merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik suatu kesimpulan atau membuat suatu pernyataan baru berdasarkan pada beberapa pernyataan yang diketahui benar ataupun yang dianggap benar 5. Hasil belajar kognitif merupakan skor yang diperoleh siswa dari tes berbentuk essai untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah pada materi matematika kelas 2 SD.
D. Pengembangan Instrumen Instrumen yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tes kemampuan matematika yang meliputi tes kemampuan pemecahan masalah yang akan diberikan setelah proses pembelajaran. Instrumen ini dikembangkan melalui beberapa tahap, yaitu: tahap pembuatan instrumen, penyaringan instrumen, dan tahap uji coba instrumen (untuk tes kemampuan pemecahan masalah). Tes kemampuan pemecahan masalah digunakan untuk memperoleh data kuantitatif berupa skor kemampuan pemecahan masalah.
Skor kemampuan
pemecahan masalah siswa yang disusun berdasarkan indikator kemampuan pemecahan masalah. Tes pemecahan masalah adalah suatu tes untuk mengungkap kemampuan siswa dalam pemehaman masalah, mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah, menyelesaikan
masalah
secara
matematis
dalam
berbagai
bentuk,
mengembangkan strategi pemecahan masalah, dan menyelesaikan masalah. secara menyeluruh terhadap materi yang telah disampaikan setelah kedua kelompok mendaptkan perlakuan. Tes kemampuan pemecahan masalah diberikan sesudah perlakuan untuk kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Penilaian untuk setiap butir soal tes kemampuan pemecahan masalah adalah sebagai berikut pada Tabel 1. Tabel 1 : Pemberian Skor dalam Tes kemampuan pemecahan masalah KRITERIA
SKOR 3
2
1
0
1. Menunjukkan pemahaman masalah 2. Mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah. 3. Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk. 4. Memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat 5. Mengembangkan strategi pemecahan masalah 6. Membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah 7. Menyelesaikan masalah yang tidak rutin. Ket :
Skor 3 jika kriteria yang diminta lengkap, Skor 2 jika kriteria yang diminta hampir lengkap, Skor 1 jika kriteria yang diminta kurang lengkap, Skor 0 jika tidak ada jawaban / salah memahami dan menerapkan konsep.
Sebelum soal tes digunakan dalam penelitian ini, terlebih dahulu dilakukan uji validitas isi dan konstruksi. Untuk menguji validitas konstruksi dikoreksi oleh validator dan dikonsultasikan dengan dosen pembimbing, Validitas isi digunakan untuk menentukan seberapa jauh instrumen itu telah menggambarkan isi yang diinginkan untuk itu perlu dilakukan validator. Setelah validasi isi terpenuhi, selanjutnya dilakukan uji coba soal tes ini kepada siswa yang kemampuannya setaraf dengan kemampuan siswa kelompok penelitian. Uji coba instrumen dilakukan untuk melihat validitas butir tes, reliabilitas tes, daya pembeda butir tes, dan tingkat kesukaran butir tes. Untuk melihat validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran butir tes, maka akan dilakukan analisis sebagai berikut :
1. Validitas butir soal Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu instrumen. Sebuah butir soal dikatakan valid jika mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total atau terdapat kesesuaian antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen secara keseluruhan. Dengan kata lain sebuah butir soal dikatakan memiliki validitas yang baik apabila setiap bagian instrumen mendukung “misi” instrumen secara keseluruhan yaitu mengungkap data dari variabel yang dimaksud kemampuan pemecahan masalah. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment pearsons sebagai berikut : r xy =
N ∑ XY − (∑ X )(∑ Y )
[N (∑ X ) − (∑ X ) ][N (∑Y ) − (∑Y ) ] 2
2
2
2
Keterangan : r xy
= Koefisien korelasi antara X dan Y
N
= Jumlah peserta tes
X
= Skor siswa pada tiap butir soal
Y
= Skor total (Pratiknyo,1985)
Interpretasi besarnya koefisien korelasi dilakukan berdasarkan patokan sebagai berikut : Tabel 2 : Interpretasi Koefisien Korelasi Koefisien Korelasi (r) 0,80 < r ≤ 0,60 < r ≤ 0,40 < r ≤ 0,20 < r ≤ r ≤ 0,20
1,00 0,80 0,60 0,40
Interpretasi Sangat tinggi Tinggi Cukup Rendah Sangat rendah
Untuk mengetahui signifikansi korelasi diuji dengan uji-t dengan rumus sebagai berikut : t = rxy N − 22 1 − rxy
Ket :
t
= daya pembeda dari uji –t
N = jumlah subjek r xy =
koefisien korelasi
Hipotesis
H0 : r = 0 H1 : r > 0
Jika t tabel < t
hitung
maka tolak H0, butir soal tersebut signifikan, untuk
derajat kebebasan dk = n – 2 dengan taraf signifikansi 5 %. Butir soal tes kemampuan pemecahan masalah yang memiliki nilai validitas yang sangat rendah tidak dipakai, karena hal ini menunjukkan bahwa skor yang dicapai siswa pada soal tersebut tidak memberi dukungan terhadap skor total atau dengan kata lain skor item tes tidak memiliki kesejajaran dengan skor total. 2. Reliabilitas butir soal Reliabilitas berkenaan dengan keajegan hasil tes, artinya soal dapat memberikan hasil relatif sama jika diberikan pada subjek yang sama meskipun dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda. Untuk menghitung reliabilitas digunakan rumus alpha berikut : 2 n ∑ σ b 1− n − 1 σ t2
r 11 =
(Pratiknyo,1985)
Dimana : r 11
= Reliabilitas yang dicari
σ t2
= Varians total
∑σ
2 b
n = Banyak soal
= Jumlah varians skor tiap-tiap item
Untuk mencari variansi digunakan rumus :
(∑ x ) −
2
σ = 2
∑x
2
N
N
atau σ = 2
∑x N
2
∑x − N
2
Dengan kriteria: 0,80< r 11 ≤ 1,00 : korelasi sangat tinggi 0,60< r 11 ≤ 0,80 : korelasi tinggi 0,40< r 11 ≤ 0,60 : korelasi cukup 0,20< r 11 ≤ 0,40 : korelasi rendah 0,00< r 11 ≤ 0,20 : korelasi sangat rendah 3. Indeks Kesukaran Soal Agar tes dapat digunakan secara luas, maka setiap soal tes diteliti tingkat kesukarannya, yaitu apakah soal tersebut termasuk soal yang mudah, sedang atau sukar. Dalam hal ini digunakan rumus yang dikemukakan Departemen Pendidikan Nasional (2001:13) adalah: Mean =
Jumlah skor siswa pada suatu soal Jumlah siswa yang mengikuti tes
IK
Mean Skor maksimum yang ditetapkan
=
Dengan klasifikasi indeks kesukaran soal: IK=1,00
:
sangat mudah
0,70< IK ≤ 1,00
:
mudah
0,30< IK ≤ 0,70
:
sedang
0,00< IK ≤ 0,30
:
sukar
IK=0,00
:
sangat sukar
4. Daya Pembeda Soal Indeks pembeda
soal adalah kemampuan soal untuk dapat
membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Untuk menentukan daya pembeda soal digunakan rumus yang dikemukakan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2001:28) adalah: IP =
Mt − Mr M
Dimana : IP = Indeks pembeda soal M t = Rata-rata skor kelompok tinggi M r = Rata-rata skor kelompok rendah M = Skor maksimum setiap soal Dengan klasifikasi daya pembeda: IP = 0,00
: sangat jelek
0,00< IP ≤ 0,20
: jelek
0,20< IP ≤ 0,40
: cukup
0,40< IP ≤ 0,70
: baik
0,70< IP ≤ 1,00
: sangat baik
Setelah dihitung indeks kesukaran dan daya pembeda soal, selanjutnya diklasifikasikan atas soal yang terpakai, diperbaiki, atau dibuang. Pengklasifikasian didasarkan atas kriteria pada tabel 6 berikut: Tabel 3. Kriteria Penerimaan Item Besarnya IK Besarnya IP IK=0,00 IP=0,00 0,00
Interpretasi Dibuang Diperbaiki Dipakai
E. Prosedur Penelitian 1. Tahap Persiapan a. Menentukan jadwal penelitian Penentuan jadwal penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapan waktu yang tepat melakukan penelitian. Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan kelas 2 SD kartika Padang Tahun Pelajaran 2010/2011 b. Mempersiapkan instrumen pengumpulan data Instrumen yang dipersiapkan antara lain lembar observasi, wawancara dan tes hasil belajar yang akan diberikan 4 kali perlakuan setelah diterapkan pendekatan PMRI. 2. Tahap pelaksanaan Pada kelas eksperimen dilakukan pembelajaran dengan pendekatan PMRI. Pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran dengan metode konvensional. 3. Tahap penilaian Pada akhir materi diadakan posttest hasil belajar untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah siswa.
F.
Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk data kuntitatif berupa tes kemampuan pemecahan masalah dengan pembelajaran PMRI. Tes disusun sesuai dengan indikator kemampuan pemecahan masalah. Sedangkan untuk data kualitatif berupa :
1. Observasi Untuk mengetahui kesiapan guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI setelah mengikuti Work Shop PMRI, maka dialakukan pengamatan/observasi dikelas dengan alat rekam. Saat penelitian berlangsung penulis terlibat langsung dalam pelaksanaan pembelajaran dengan cara ikut masuk kelas bersama guru hanya untuk ikut pengamatan saat pembelajaran. Sedangkan untuk siswa dilakukan observasi dengan memberikan penilaian terhadap indikator-indikator kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan penalaran matematis. 2. Wawancara Instrumen
yang
digunakan
untuk
mengumpulkan
pandangan/tanggapan guru terhadap pelaksanaan pembelajaran RME untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan penalaran matematis siswa. Adapun aspek-aspek yang ingin digali dari guru adalah : 1)
Rencana pelaksanaan pembalajaran.
2)
Kesiapan guru.
3)
Proses pembelajaran
4)
Media pembelajaran.
5)
Upaya dalam mengakses kemampuan matematis siswa.
6)
Evaluasi pembelajaran. Wawancara juga dilakukan kepada siswa untuk mengetahui
kemampuan pemecahan masalah siswa. Aspek yang digali dari siswa adalah: 1) Aspek kemampuan memahami masalah 2) Aspek kemampuan merencanakan penyelesaian.
3) Aspek kemampuan menyelesaikan masalah. 4) Aspek kemampuan memeriksa kembali. Sedangkan untuk kemampuan penalaran matematis, aspek yang digali dari siswa adalah: 1) Menyajikan pernyataan matematika secara lisan, tertulis, diagram dan gambar. 2) Melakukan manipulasi matematika. 3) Menarik kesimpulan dari beberapa pernyataan. 4) Memeriksa kesahihan suatu argument. 5) Menemukan pola atau sifat dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
3. Dokumentasi Studi dokumentasi dilakukan dalam penelitian ini untuk melengkapi informasi yang diperoleh pada teknik observasi dan wawancara. Adapun informasi yang didapatkan pada studi dokumentasi diantaranya data tentang kesiapan guru, tes kemampuan pemecahan masalah dan penalaran matematis, rencana pembelajaran matematika, proses pembelajaran dan media pembelajaran. G. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Data kuantitatif analisis data yang digunakan yaitu: untuk menentukan uji statistik yang digunakan, terlebih dahulu ditentukan normalitas data dan homogenitas variansi. Apabila hasil pengujian menunjukkan bahwa sebaran data tidak berdistribusi normal maka untuk menguji kesamaan dua rata-rata digunakan statistik nonparametrik dan apabila hasil pengujian menunjukkan tidak homogen maka untuk uji kesamaan dua rata-rata digunakan uji t (apabila berdistribusi normal) dan tidak digunakan varians gabungan. Sebelum itu ditentukan rata-rata skor dan simpangan bakunya. Langkah-langkahnya sebagai berikut :
1. Menghitung rata-rata skor hasil tes akhir dengan menggunakan rumus : k
x=
∑x i =1
i
n
2. Menghitung standar deviasi skor hasil tes akhir dengan menggunakan rumus : k
s=
∑
(x
i
i =1
−x n
)
2
3. Menguji normalitas data skor tes akhir, dengan uji Lilifors dengan langkahlangkah yang dikemukakan oleh Sudjana (1996 : 466) yaitu: a) Menyusun skor masing-masing galat dalam suatu tabel dengan mengurutkan dari skor yang terendah ke skor yang tertinggi (e1, e2, ...., en). b) Nilai-nilai e1, e2,....., en dijadikan nilai baku Z1, Z2, ...., Zn dengan menggunakan rumus: dengan e = setelah disubsitusikan dengan nilai X
Dengan : e = Skor Galat = Skor Rata-rata sampel = Simpangan baku galat sampel c) Menghitung peluang F(Zi) = P(Z Zi) dengan menggunakan table distribusi normal baku d) Menghitung nilai proporsi Z1, Z2, ...., Zn yang lebih kecil sama dengan Zi jika proporsinya dinyatakan oleh S(Zi) maka:
, , …… ,
e) Menghitung selisih F(Zi) – S(Zi) kemudian ditentukan harga mutlaknya f) Mengambil harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut. Sebutlah harga itu dengan Lo = max
|"
| g) Membandingkan harga Lo ini dengan nilai kritis L yang diambil dari tabel Lilifors. Tolak hipotesis berdistribusi normal, jika Lo yang diperoleh dari data pengamatan melewati harga Ltabel. Dalam hal lainnya hipotesis ditolak.
4. Menguji homogenitas varians dengan menggunakan rumus : Fmaks =
st2 sc2
Keterangan : #$ = varians kelompok eksperimen %$ = varians kelompok kontrol Kriteria uji homogenitas adalah : H0 : ditolak jika Fhitung > Ftabel 5. Jika sebaran data normal dan homogen, menguji signifikansi dengan statistik uji t berikut : t=
xe − xk
1 1 s x2− y + n x ny
varians s
2 x− y
=
, dengan df = nx + ny – 2 , dan
s x2 (n x − 1) + s y2 (n y − 1) nx + n y − 2
Keterangan : & ' = rata – rata kelas eksperimen & $ = rata – rata kelas kontrol '$ = simpangan baku kelas eksperimen $$ = simpangan baku kelas kontrol (' = jumlah siswa kelas eksperimen ($ = jumlah siswa kelas kontrol Kriteria pengujiannya adalah tolah H0 jika thitung > )'* +
dengan
df = (n1 – n2 – 2) selain itu H0 diterima (Sudjana, 1996:239) Apabila sebaran data tidak berdistribusi normal maka untuk menguji kesamaan dua rata-rata digunakan statistik uji nonparametrik yaitu uji Mann
Whitney (statistik U). Rumus statistik uji yang digunakan (Siegel, 1985) adalah sebagai berikut: U = n 1 n 2 + n 1 ( n 1 + 1) − R 1 2
dimana, U
: Statistik uji Mann Whitney
n1, n2 : Ukuran sampel pada kelompok 1 dan kelompok 2 R1
: Jumlah ranking yang diberikan pada kelompok yang ukuran sampelnya n1 Untuk sampel berukuran besar (n > 20), Siegel (1985) menyarankan
untuk menggunakan pendekatan ke distribusi normal dengan bentuk statistik sebagai berikut:
z=
n1 n 2 2 n1 n 2 ( n1 + n 2 + 1) 12 U−
Dimana, z : statistik uji z yang berdistribusi normal N(0,1)
Untuk data kualitatif analisis data yang digunakan yaitu :
1. Reduksi data Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk proses pemilihan, mengeditan, pemusatan perhatian dan penyederhanan. 2. Penyajian data Data yang telah disederhanakan seanjutnya disajikan dalam bentuk tulisan yang masih menggambarkan pengertian umum dari apa yang diperoleh dilapangan selanjutnya data tadi disusun kemudian ditarik kesimpulan sebagai upaya untuk mengembil tindakan apa yang dilakukan di SD Kartika Padang. Yang disajikan dalam bentuk matriks dan narasi. Format matriks merupakan
abstraksi atau penyederhanan dari data kasar yang diperoleh dari catatan lapangan. Penyusunan matriks beserta penentuan data kasar yang harus dimasukkan didalamnya syarat pengkodean dilakukan berdasarkan kasus atau pokok bahasan kemudian data yang terdapat didalam matrik dideskripsikan secara naratif. 3. Verifikasi Berdasarkan cara kerja dalam teknik analisis yang dilakukan model Miles dan Hubermen dari reduksi data, penyajian data kemudian diverivikasi, dilakukan selama dan sesudah penelitian berlangsung. Selanjutnya apabila terjadi kekurangan data atau kesalahan sehingga kesimoulan yang diambil kurang sesuai dapat dilakukan proses ulang dengan tahapan yang sama.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad Fauzan. 2002. Applying Realistic Mathematics Education (RME) in Teaching Geometry in Indonesian Primary Schools. Enschede: PrintPartners Ipskamp.
Brannen, Julia. 1992. Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. Avebury: British Library Depdiknas. 2001. Penyusunan Butir Soal dan Instrumen Penilaian. Jakarta: Dikdasmen Depdiknas. 2004. Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004. Jakarta : Ditjen Dikdasmen Depdiknas. Gravemeijer, Koeno. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal Institute. Marpaung, Jansen. 2007. Matematika Horizontal dan Matematisasi Vertikal. Jurnal Pendidikan Matematika PPS Unsri, Volume 1, No.1, hal:1-20.
Pratiknyo, Prawironegoro. 1985.Evaluasi hasil belajar kusus analisis soal untuk bidang studi matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Siegler, Robert S. 2005. Children’s Thinking. New Jersey: Prentice Hall. Stiff, Lee V. 1999. Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12. America: NCTM. Sudjana. 1996. Metode Statistika. Bandung: Tarsito Suharta. 2005. Matematika Realistik Apa dan Bagaimana. (Online). http://www .depdiknas.go.id (diakses pada tanggal 15 September 2007). Sutarto, Hadi. 2003. PMR: Menjadikan Pelajaran Matematika Lebih Bermakna Bagi Siswa. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika di
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 27 – 28 Maret 2003. Available on line at: http://www.pmri.or.id/paper/index.php?main=1. , 2009. Majalah PMRI (Vol.VII No 4). Bandung: Institut Pengembangan Matematika Realistik Inonesia (IP-PMRI) Universitas Negeri Padang. 2004. Panduan Penulisan Tesis dan Disertasi. Padang: PPS UNP.
Mengembangkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Penalaran Matematis Siswa Sekolah Dasar melalui Pedekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
PROPOSAL PENELITIAN
Oleh : Effie Efrida Muchlis NIM : 51523
KONSENTRASI PENDIDIKAN MATEMATIKA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGARI PADANG 2010