BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Mandailing dan Natal adalah dua kawasan yang berbeda tetapi mempunyai jalinan peradaban yang kuat sejak jaman purba. Wilayah Natal (kawasan pesisir) menjadi pintu gerbang bagi Mandailing (kawasan pegunungan) yang sangat kaya alamnya dan merupakan sumber kesejahteraaan bagi kedua wilayah tersebut. Mandailing di masa lalu terdiri atas dua kawasan besar, yaitu kawasan Mandailing Julu di timur yang merupakan pusat kerajaan Lubis dan kawasan Mandailing Godang di barat sebagai pusat kerajaan Nasution. Mandailing dan Natal dipersatukan sebagai satu kabupaten baru di provinsi Sumatera Utara sejak tahun 1998 dan dikenal dengan nama „Madina‟ yang merupakan singkatan dari Mandailing Natal (Harahap, B. Hamidy, 2004). Desa-desa yang tersebar di kawasan Mandailing Julu kecamatan Kotanopan kabupaten Mandailing Natal adalah desa-desa pegunungan yang berada di sekitar tepi muara sungai dan merupakan bagian dari kawasan Bukit Barisan yang membentang di sepanjang pulau Sumatera. Sebaran desa-desa terkonsentrasi di daerah-daerah aliran sungai yang ditandai oleh dua sungai besar yang melalui kawasan Mandailing Julu, yaitu Sungai Batang Gadis dan Sungai Batang Pungkut. Dua sungai ini berhulu atau berasal dari gunung terbesar di kawasan paling timur, yaitu gunung Tor Kulabu dan bermuara ke sungai-sungai kecil yang ada di kawasan hilir Mandailing Julu di barat. Dua sungai besar tersebut bertemu dengan aliran sungai lainnya yang berasal dari gunung di kawasan paling barat, yaitu gunung Tor Sihite (kawasan Mandailing Julu) dan Tor Sorik Marapi (kawasan Mandailing Godang). Penelitian tentang permukiman pedesaan di pegunungan sebenarnya telah cukup banyak dilakukan dan perlu terus dilakukan sebagai upaya untuk menggali keunikan dan kekayaan lokal setempat. Hal ini penting untuk dijadikan perhatian karena pada dasarnya setiap permukiman memiliki karakternya sendiri, unik dan berbeda-beda di setiap tempat. Upaya untuk menggali potensi permukiman
1
pedesaan di pegunungan diharapkan dapat memberikan pemahaman yang mendalam
tentang
sebuah
permukiman
sehingga
tidak
terjadi
konflik
berkepanjangan dalam penyelesaian sejumlah permasalahan permukiman. Pada umumnya, masyarakat dan juga para peneliti mengalami kesulitan dalam memahami permukiman pedesaan di pegunungan dengan menggunakan teoriteori umum permukiman. Analisis dan temuannya menjadi sangat dangkal dan mengalami stagnasi, sehingga esensi dari sebuah permukiman tidak bisa ditemukan. Upaya untuk menggali keunikan dan kekayaan lokal permukiman pedesaan di pegunungan diharapkan dapat melahirkan teori baru tentang permukiman pedesaan di pegunungan sesuai dengan konteks keberadaannya. Jika teori baru telah terbentuk, maka untuk memahami permukiman pedesaan di pegunungan tidak perlu menggunakan teori-teori yang tidak relevan, karena pada dasarnya sebuah permukiman memiliki teorinya sendiri. Penelitian tentang permukiman pedesaan di pegunungan yang pernah dan telah dilakukan pada umumnya adalah permukiman-permukiman yang memiliki latar belakang beragam. Ada yang terkait dengan sistem kekerabatan, sistem sosial budaya, kosmologi, kepercayaan juga elemen alam seperti gunung, laut dan sungai. Hal ini menunjukkan bahwa permukiman pedesaan di pegunungan memiliki potensi yang sangat besar untuk terus digali dan diteliti. Perkembangan penelitian terkait fokus permukiman di pegunungan dengan beragam latar belakang menunjukkan bahwa setiap permukiman adalah khas dan esensinya harus diungkap agar semua tindakan yang berkaitan dengan pembangunan, pengembangan dan perbaikan terhadap permukiman tersebut dapat berjalan sesuai dengan potensi dan kehendak penghuninya/masyarakatnya. Fakta bahwa setiap permukiman harus dilihat dalam konteks keberadaannya dan bukan dengan kacamata teori umum permukiman ditunjukkan pada beberapa contoh penelitian seperti yang telah dilakukan oleh Parimin (1986), Runa (2004), Purbadi (2010) dan Rezeki (2013). Penelitian mengenai permukiman pedesaan di pegunungan Bali (Parimin, 1989) dan Runa (2004) dengan tata spasialnya, Kaenbaun di Timor (Purbadi, 2010) dengan tata suku dan tata spasialnya, serta Rejeki (2013) di Kapencar dengan Punden-nya, merupakan predesen yang baik bagi penelitian
2
tentang permukiman pedesaan di pegunungan dalam upaya untuk memahami makna ruang permukiman. Penelitian dengan lokus desa Singengu merupakan kelanjutan dari penelitianpenelitian tentang permukiman pedesaan di pegunungan seperti yang telah dilakukan oleh Parimin (1986), Runa (2004), Purbadi (2010) dan Rezeki (2013). Desa Singengu penting untuk diteliti karena merupakan desa pertama di kawasan pegunungan Mandailing Julu yang dibangun oleh leluhur orang-orang Singengu ber-marga Lubis. Leluhur orang-orang Singengu pada awalnya bermukim di gunung-gunung lalu pindah ke daerah tapian (dataran di tepi sungai). Jadi, selain sebagai desa pertama Singengu juga merupakan desa tertua di kawasan pegunungan Mandailing Julu yang dijadikan sebagai tempat bermukim setelah turun gunung. Fakta sebagai “pertama” dan “tertua” mengindikasikan ada sesuatu yang paling mendasar di desa Singengu sebagai ciri permukiman Mandailing. Eksplorasi yang dilakukan terhadap beberapa data tekstual mengungkap bahwa kawasan pegunungan Mandailing sudah dihuni manusia sejak sebelum masuknya Hindu-Budha ke tanah Mandailing. Peradaban Mandailing yang sudah sangat tua, dibuktikan dengan adanya kuburan-kuburan tua yang panjang, berbeda dengan ukuran kuburan pada umumnya. Kuburan-kuburan tua tersebut terletak di bukitbukit dan lereng gunung yang tersebar di sejumlah kawasan Mandailing Godang di barat dan Mandailing Julu di timur. Bukti lain yang menunjukkan bahwa telah ada peradaban tua di kawasan pegunungan Mandailing adalah buku Kakawin Negarakertagama (Nagara Kertagama) yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1287 Saka (1365 Masehi). Pada syair ke-13 disebutkan ada wilayah yang bernama Mandahiling atau Mandailing di Sumatera (Lubis, 1986). Nenek moyang pertama masyarakat suku Mandailing yang bermukim di gunung memiliki cara bermukim yang spesifik, yaitu penghormatan terhadap tor (gunung), pakkuburan (pekuburan/ makam), mual (mata air) dan mataniari (matahari). Orang-orang Singengu selalu menganggap tor sebagai tempat asal/pertama bermukim (tempat asal/awal mula manusia hidup di tapian, yang berarti juga awal/sumber kehidupan) sehingga tor selalu menjadi acuan bagi arah pengembangan fungsi-fungsi baru. Tor selalu memiliki mual yang airnya
3
dianggap suci karena di masa lalu, air dari mual digunakan oleh nenek moyang orang-orang sebagai media untuk memuja Sipelebegu (arwah leluhur) dan menyembah Datu (Sang Pencipta). Datu sebagai Sang Pencipta dianggap memberikan kehidupan dalam bentuk tondi (roh, jiwa, semangat) kepada manusia melalui mataniari (matahari) sehingga matahari selalu dianggap sebagai sumber kekuatan Datu. Oleh karena itu, ada faham tentang mataniari sogakgohon, artinya matahari tidak boleh ditentang (arah terbit dan terbenamnya). Menentang matahari sama dengan menentang Datu. Pada abad ke-13, tradisi bermukim di tor berubah menjadi tradisi bermukim di tapian (dataran di tepi sungai). Proses perpindahan dari tor (di barat) ke tapian (di timur) telah dimulai sejak generasi ke-6 leluhur, yaitu Langkitang dan Baitang (Lubis, 1993). Pada saat turun gunung, tempat pertama yang disinggahi Langkitang dan Baitang adalah Tor Sihite (artinya gunung jembatan). Tetapi, pada saat itu, di Tor Sihite telah bermukim suku Lobu Siladang, sehingga LangkitangBaitang melanjutkan perjalanan ke purba (timur) lalu menemukan Muara Partontang dan bermukim di arah hulu sungai Batang Gadis, yaitu Hutapanopaan (sekarang menjadi Kotanopan). Pada saat menikah, Langkitang pindah ke Tor Tatinggi (di hilir sungai Aek Batang Gadis) di barat Kotanopan, sedangkan adiknya, Baitang pindah ke Muara Partomuan (muara pertemuan), di hulu sungai Batang Gadis atau di timur Kotanopan. Tor Tatinggi adalah tempat bermukim kedua, setelah Kotanopan. Tahap selanjutnya Langkitang pindah ke lokasi Singengu Julu, dataran di tepi sungai Aek Batang Gadis (Lubis, 1993). Informasi tentang sejarah perpindahan dari tor (yang ada di barat) ke tapian (yang ada di timur) dan larangan menentang matahari menjadi entrypoint penting dalam upaya memahami tata ruang permukiman desa Singengu. Grandtour yang dilakukan pada tahap awal penelitian telah menunjukkan beberapa fakta empiris yang terus berulang terkait dengan arah terbit-terbenam matahari (dipaparkan pada bagian B, yaitu penetapan kasus penelitian). Hal ini dapat dilihat pada perkembangan desa Singengu di masa sekarang yang menunjukkan fenomena menarik, seperti paparan berikut ini :
4
Desa Singengu yang berada di tepi sungai berkembang hanya di satu sisi sungai, tidak memanjang mengikuti arah aliran sungai, tetapi berkembang ke arah bukit, mengarah ke lokasi tempat pertama kali Langkitang (nenek moyang marga Lubis) bermukim yaitu Tor Tatinggi yang ada di arah bincar (terbit). Uniknya, tempat tersebut sama sekali bukan gunung, hanya sebuah lahan berkontur dengan bukit kecil di sekitarnya, tetapi orang-orang Singengu menyebutnya tor. Tor Tatinggi saat ini telah difungsikan sebagai pakkuburan (pekuburan/makam) keluarga keturunan raja. Desa Singengu sebagai sebuah permukiman di pegunungan memiliki tata ruang permukiman yang berbeda dengan permukiman pegunungan lainnya, terutama terkait nilai-nilai falsafah lokal tentang gunung, makam, mata air dan arah terbit-terbenam matahari. Fakta-fakta terkait tata ruang permukiman desa Singengu yang tidak memiliki oleh permukiman pegunungan lain dapat dilihat pada paparan tentang penetapan fokus penelitian.
B. Penetapan Fokus Penelitian Singengu adalah permukiman pedesaan yang terletak di daerah pegunungan dan berada di tepi sungai, sehingga fokus penelitian ini ada pada “permukiman pedesaan di pegunungan” sebagai konteksnya. “Tepi sungai” pada desa Singengu hanya sebagai substansi dan pembeda dengan penelitian “sejenis” lainnya. Kedudukan “tepi sungai” sebagai substansi di penelitian ini menjadi penting karena keterkaitannya dengan konsep bincar-bonom. Sungai selalu terkait dengan hulu-hilir, dan pada konteks permukiman pegunungan di penelitian ini, hulu identik dengan bincar dan hilir identik dengan bonom. Oleh karena itu, paparan tentang permukiman non-pegunungan tidak dimasukkan karena dianggap tidak relevan dengan fokus penelitian. Selain itu, posisi sungai di permukiman nonpegunungan memiliki peran yang berbeda dengan sungai di permukiman pegunungan. Contohnya, sungai di permukiman non-pegunungan biasanya lebih berfungsi sebagai jalur transportasi sedangkan sungai di permukiman pegunungan lebih berfungsi untuk pengairan. Pengamatan awal dan penelitian yang telah dilakukan di desa Singengu menunjukkan bahwa, ada fenomena-fenomena tidak biasa dan menarik untuk
5
diteliti lebih dalam. Untuk menetapkan fokus penelitian, perlu dipaparkan beberapa fakta empiris terkait bincar-bonom sebagai basis tata ruang permukiman desa Singengu. Fakta-fakta terkait tata ruang permukiman desa Singengu dapat dilihat pada tiga skala ruang, yaitu skala kawasan, skala desa/lingkungan dan skala rumah. Uraiannya dideskripsikan sebagai berikut : 1. Tata ruang permukiman pada skala kawasan Singengu adalah desa yang berstatus sebagai huta (kampung) induk yang memiliki beberapa huta anak, ketika sistem pemerintahan masih dalam bentuk kerajaan. Grandtour di tahap awal penelitian menunjukkan bahwa huta anak yang dulu dikembangkan oleh Singengu, tersebar di semua penjuru kawasan Mandailing Julu. Fakta menariknya adalah bahwa huta termuda ada di kawasan paling timur Mandailing Julu (orang-orang Singengu menyebutnya dengan istilah “di arah bincar/terbit”) sedangkan huta tertua ada di kawasan paling barat (“di arah bonom/terbenam”). Keputusan leluhur orang-orang Singengu di masa lalu ketika memilih lokasi Singengu sebagai tempat bermukim di antara bentang alam yang diapit oleh dua gunung besar di timur (Tor Kulabu) dan barat Mandailing Julu (Tor Sihite) juga menunjukkan kesadaran tentang konsep tata ruang permukiman mereka. 2. Tata ruang permukiman pada skala desa dan lingkungan Pada skala desa, fakta tentang adanya kecenderungan pada arah terbit dan terbenam matahari dalam membentuk tata ruang permukiman desa Singengu adalah fakta yang paling banyak ditemukan. Tiga di antaranya yaitu (a) adanya pemisahan yang jelas antara tempat-tempat untuk aktifitas kaum laki-laki di arah bonom dan perempuan di arah bincar, (b) rumah pusaka orang tua selalu berada di antara rumah anak yang tua (arah bonom) dan rumah anak yang muda (arah bincar), dan (c) makam sebagai tempat jasad yang mati ada di arah bonom sedangkan poken (pekan/pasar) sebagai tempat pusat berkumpul orangorang yang masih hidup ada di arah bincar. 3. Tata ruang permukiman pada skala rumah Pada skala rumah, beberapa fakta menarik ditunjukkan lewat orientasi rumah yang memiliki kecenderungan arah orientasi sama, yaitu marsiadopan
6
(berhadapan) dengan orientasi utara-selatan. Tidak ada rumah yang berorientasi timur-barat. Pintu dan tangga sebagai akses masuk ke dalam rumah selalu ditempatkan di arah bincar. Ruang-ruang dalam rumah juga selalu dikembangkan ke arah bincar, sehingga ruang-ruang lama selalu berada di arah bonom. Denah ruang reflektif dari tiap rumah telah menempatkan ruang lama tetap pada posisinya di arah bonom (seperti ruang tidur orang tua) sedangkan arah bincar selalu menjadi tempat pengembangan ruang-ruang baru, (seperti ruang tidur anak pewaris yang telah menikah) Berdasar grandtour dan penelitian awal yang telah dilakukan, maka tema yang dijadikan fokus penelitian berdasar sejumlah fakta di atas adalah keterikatan dan keterkaitan antara tata ruang permukiman desa Singengu dengan arah terbit dan terbenamnya matahari. Keterikatan dan keterkaitan antar sistem tersebut diyakini sebagai unsur pembentuk permukiman yang spesifik. Keragaman antar unsur di permukiman diyakini terhubung oleh keberadaan „tor‟ (gunung), pakkuburan (pekuburan/makam), mual (mata air) tetapi yang lebih utama adalah dibentuk oleh arah bincar-bonom (terbit-terbenam) matahari. Oleh karena itu, penelitian tentang permukiman ini difokuskan pada tata ruang permukiman dan makna arah bincarbonom (terbit-terbenam) matahari dalam membentuk tata ruang permukiman desa Singengu. Fokus terkait tata ruang dipilih karena adanya fenomena ruang-ruang di desa Singengu yang ditata sedemikian rupa sehingga selalu berada pada sumbu terbit dan terbenamnya matahari.
C. Pertanyaan Penelitian Grandtour dan penelitian awal yang telah dilakukan serta paparan tentang fokus penelitian di atas menunjukkan bahwa fenomena arah pengembangan tempat-tempat di permukiman desa Singengu diyakini mengacu ke arah bincarbonom (terbit-terbenam) matahari. Tata ruang permukiman desa Singengu diyakini tidak hanya tersusun oleh elemen-elemen fisik saja tetapi lebih utama terjadi karena adanya pengaruh non-fisik sebagai simbol terhadap sesuatu yang mampu menyatukan keberagaman unsur permukiman di desa Singengu. Pemahaman tersebut merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 7
Apa hakekat/makna di balik arah bincar-bonom (terbit-terbenam) matahari dalam membentuk tata ruang permukiman desa Singengu ?
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teori baru mengenai tata ruang permukiman desa Singengu di Mandailing Julu.
E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian secara teoritis adalah menghasilkan teori baru tentang tata ruang permukiman pegunungan untuk melengkapi teori-teori permukiman yang telah ada. Secara khusus, manfaat penelitian ini adalah meningkatkan pemahaman tentang budaya bermukim suku Mandailing bagi masyarakat yang tinggal di desa Singengu, masyarakat umum dan para pengambil keputusan dari daerah setempat sekaligus mengabadikan keberadaannya sebagai pusaka kebudayaan bermukim yang termasuk kategori langka dan masih bertahan hingga saat ini. Manfaat praktisnya, pengetahuan tentang budaya bermukim suku Mandailing yang ditemukan dalam penelitian ini akan menjadi pedoman untuk antisipasi dan pelaksanaan yang baik bagi tindakan-tindakan pembangunan permukiman yang mengkonservasi alam serta menghormati nilai-nilai keunikan budaya lokal, baik di kawasan Mandailing Julu maupun di tempat lain yang memiliki kondisi alam serta penduduk mirip dengan situasi dalam penelitian ini. Penelitian ini akan menghasilkan gambaran yang menyeluruh dan lengkap tentang tata ruang permukiman pedesaan di pegunungan yang dapat digunakan untuk melestarikan tata ruang permukiman desa berbasis nilai-nilai budaya lokal. Dengan demikian, setiap upaya pembangunan, perbaikan dan pengembangan desa pegunungan di Mandailing Julu dapat dilakukan dengan baik tanpa konflik yang berarti.
F. Keaslian Penelitian Originalitas penelitian Disertasi ini terletak pada tiga hal, (1) lokus penelitian, yaitu permukiman pedesaan di pegunungan dan berada di tepi sungai, (2) tata
8
ruang permukiman berbasis arah terbit-terbenam matahari dan (3) Lokus desa Singengu. Originalitas ditunjukkan oleh terbentuknya bangunan teori mengenai tata ruang permukiman pedesaan di pegunungan dan berada di tepi sungai yang terbentuk oleh arah terbit-terbenam matahari di desa Singengu, Mandailing Julu. Secara spesifik, originalitas terletak pada konsep bincar-bonom sebagai kesadaran intensional dan transendental yang menjadi aspek utama pembentuk tata ruang desa Singengu. Desa Singengu sebagai lokus penelitian juga merupakan keaslian penelitian lainnya, karena desa ini belum pernah diteliti secara mendalam. Identifikasi terhadap keaslian penelitian ini dirumuskan setelah peneliti melakukan review terhadap beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian-penelitian yang direview terdiri atas dua kategori, yaitu (1) Penelitian-penelitian tentang permukiman pegunungan di Mandailing dan (2) Penelitian-penelitian tentang permukiman pedesaan di pegunungan. Rangkuman hasil review terhadap beberapa penelitian tentang permukiman pegunungan Mandailing dijabarkan pada Tabel 1, sedangkan penelitian tentang permukiman pedesaan di pegunungan dijabarkan pada Tabel 2. Uraian tentang penelitianpenelitian tersebut dipaparkan pada deskripsi berikut ini. 1. Penelitian-penelitian tentang permukiman pegunungan di Mandailing Penelitian di Mandailing di mulai oleh Gundhi (1987) dan Lubis, A., dkk (1999). Gundhi (1987) melakukan penelitian tentang struktur dan bentuk rumah di kawasan Angkola, Mandailing dan Pak-pak dengan metode deskriptif kualitatif. Penelitian Gundhi (1987) adalah penelitian tentang arsitekur bangunan dan bukan arsitektur permukiman. Lubis, A. dkk (1999) juga melakukan hal yang sama dengan Gundhi (1987), meneliti tentang struktur dan konstruksi rumah tradisional Mandailing Julu dengan metode deskriptif kualitatif. Lubis, A. dkk (1999) mengungkap tentang adanya kosmologi tiga banua yang diterjemahkan secara vertikal pada bangunan adat tradisional Mandailing, yaitu bagas godang (rumah besar/rumah adat sebagai tempat tinggal raja). Penelitian berikutnya dilakukan oleh Fitri (2000) dan Susanto (2000). Fitri (2000) meneliti tentang arsitektur tradisional Mandailing Godang, Panyabungan
9
Tonga (kawasan dataran rendah) yang terfokus pada makro fisik kampung dan bangunan adat dan juga hunian biasa. Penelitian ini telah menghasilkan beberapa data yang berkaitan dengan pola desa-desa di Mandailing. Data-data tersebut antara lain mengungkapkan bahwa landmark desa-desa di Mandailing adalah berupa kompleks istana raja yang terdiri atas bagas godang, sopo godang dan halaman yang disebut alaman bolak selangseutang. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pola desa-desa di Mandailing merupakan permukiman yang terdiri atas empat lapisan, pertama adalah lapisan keluarga mora yang berada di tengah atau berada di dekat kompleks bangunan adat dan alaman bolak (halaman luas/besar). Lapisan kedua adalah keluarga kahanggi, lapisan ketiga adalah keluarga anakboru, dan lapisan terluar atau lapisan keempat adalah lapisan kelompok keluarga masyarakat biasa. Tetapi, penelitian inventori tentang arsitektur tradisional Mandailing tersebut tidak menyertakan analisis mendalam tentang latar belakang yang mendasari terbentuknya pola-pola berlapis tersebut. Susanto (2000) bekerjasama dengan Sumatera Heritage Trust dan Program Studi Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara melakukan penelitian arsitektur Mandailing Julu dengan fokus lingkungan kampung dan rumah adat bagas godang (jenis, desain, lay-out, struktur, ornamen dan material) pada beberapa desa di Mandailing Julu, yaitu desa Hutagodang, Manambin dan Kotanopan. Penelitian ini lebih bersifat inventori atau pengumpulan data-data lalu dideskripsikan dalam bentuk laporan. Fithri (2000) dan Susanto (2000) samasama melakukan penelitian inventori tetapi di lokasi yang berbeda. Semua penelitian yang pernah dilakukan di kawasan Mandailing belum mengungkap makna tata ruang permukiman terutama terkait arah terbit-terbenam matahari. Penelitian lain yang pernah dilakukan di Mandailing Julu adalah penelitian tentang struktur tata-bangunan di sekitar alaman bolak selangseutang (Nuraini, 2004). Penelitian tersebut menggunakan paradigma fenomenologi dengan metode induktif-kualitatif. Penelitian Nuraini (2004) hanya difokuskan pada alaman bolak selangseutang yang ada di 11 desa Mandailing Julu. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa struktur tata bangunan yang ada di sekitar alaman bolak selangseutang dipengaruhi 3 aspek
yang berurutan secara hierarki, yaitu (a)
10
kosmologi banua, (b) sistem kepercayaan yang berkaitan dengan sungai dan matahari dan (c) kondisi alam yang meliputi ketinggian atau kontur tanah dan keadaan sekitar, seperti letak dan orientasi rumah-rumah. Tiga perbedaan mendasar antara penelitian bincar-bonom dengan penelitian Nuraini (2004), yaitu : (a) Nuraini (2004) hanya melihat konsep banua sebagai kosmologi leluhur pada konteks permukiman di „tempat yang sekarang‟ tanpa menganalisis pemahaman tentang kosmologi banua menurut pemahaman leluhur. Penelitian bincar-bonom sebagai basis tata ruang permukiman desa Singengu, justru menemukan adanya pemahaman yang berbeda antara „leluhur‟ dengan „generasi baru‟ di „tempat yang sekarang‟ dalam menterjemahkan kosmologi banua; (b) Nuraini (2004) hanya melihat keberadaan makam di „tempat yang sekarang‟ sebagai salah satu elemen pengisi desa tanpa melihat proses keberadaan makam tersebut; Penelitian bincar-bonom, melihat proses keberadaan makam di „tempat yang sekarang‟ secara holistik termasuk mengkaitkan keberadaan makam yang satu dengan makam lainnya; (c) Nuraini (2004) hanya melihat jae (hilir) julu (hulu) sebagai arah yang mengacu pada aliran sungai dan sungai menjadi elemen kunci. Penelitian bincar-bonom melihat jae-julu tidak hanya sebagai kode arah, tetapi juga sebagai petunjuk yang menuntun temuan pada elemen terpenting kosmologi banua, yaitu air yang berasal dari „tempat asal‟ dan air menjadi elemen kunci. Tiga perbedaan tersebut menjadi dasar bagi temuan terbaru di penelitian tentang bincar-bonom sebagai basis tata ruang permukiman desa Singengu, sekaligus menyempurnakan temuan sebelumnya yang dilakukan oleh Nuraini (2004). Penelitian dengan objek riset berupa permukiman pedesaan di pegunungan telah beberapa kali dikerjakan dan sangat menarik untuk terus dilakukan. Penelitian dengan obyek riset tersebut sebagian besar dilakukan di wilayah beriklim basah (ekosistem sawah) dan kering serta ditujukan pada desa pegunungan dataran. Namun, penelitian terhadap permukiman perdesaan di pegunungan yang berada di tepi sungai sangat jarang ditemukan. Penelitian di lokus yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan sekarang, belum mengungkap makna tata ruang permukiman yang ada terutama terkait arah terbit-
11
terbenam matahari. Hal ini menunjukkan bahwa ada peluang yang belum digarap, yaitu penelitian tentang makna tata ruang permukiman pedesaan di pegunungan yang berada di tepi sungai, khususnya yang terkait dengan arah terbit-terbenam matahari. Keaslian penelitian ini juga terletak pada penataan elemen-elemen ruang pada permukiman yang didasarkan pada arah terbit dan terbenam matahari. Penelitian ini merupakan penelitian pertama bagi desa Singengu yang secara khusus menyoroti masalah tata ruang permukiman, khususnya makna tempat hidup masyarakat pedesaan di pegunungan yang berada di tepi sungai dalam kaitannya dengan arah terbit-terbenam matahari. Unit amatan penelitian dalam kaitannya dengan tata ruang permukiman pegunungan adalah semua hal yang berkaitan dengan macam data dan unit informasi baik fisik dan non-fisik. Gejala empiri sensual secara fisik yang dijadikan entrypoint amatan adalah tempat-tempat di arah bincar dan di arah bonom matahari, dua bukit yang mengapit desa, makammakam di permukiman dan bukit yang terletak di arah bincar dan bonom, sumber mual (mata air) di bukit dengan pola pemanfaatan air ke permukiman, pola rumah-rumah yang membentuk keseragaman serta fenomena tempat terlarang pada tataran rumah (mikro), lingkungan (meso) dan permukiman (makro), termasuk juga fenomena tempat-tempat terlarang pada skala meso lingkungan yang lokasinya semua berada di arah bonom dari alaman bolak (halaman luas/besar). Aspek non-fisik dapat meliputi persepsi masyarakat tentang beberapa tradisi adat dan budaya lokal, pola pikir, kebudayaan, sistem pemerintahan kerajaan di masa lalu serta sistem kepercayaan yang ada. 2. Penelitian-penelitian tentang permukiman pedesaan di pegunungan Parimin (1986) melakukan penelitian terhadap beberapa permukiman pedesaan di Bali dengan menganalisis formasi desa-desa. Penelitian ini menemukan adanya konsep ruang sakral-profan sebagai elemen penting dalam penataan formasi spasial desa-desa yang terkait dengan aspek sosial-religius. Tema dasar penelitiannya adalah pola tata spasial desa dalam bingkai konsep kesucian yang berlaku dalam agama Hindu Bali. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa formasi spasial permukiman pedesaan di Bali hanya dapat dipahami melalui aspek sosial12
religius yang mengacu pada konsep ruang sakral-profan. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa untuk memahami formasi spasial permukiman pedesaan di Bali harus selalu mempertimbangkan aspek sosial-religius yang mengacu pada konsep ruang sakral-profan. Jika ini tidak dipertimbangkan, maka dapat dipastikan semua tindakan perubahan terhadap permukiman pedesaan di Bali akan menimbulkan konflik. Ide penelitian yang terfokus pada permukiman pedesaan oleh Parimin (1986) juga dilakukan oleh Runa (2004). Runa (2004) melakukan penelitian tentang tata spasial desa tradisional di pegunungan beriklim basah dengan kasus desa Tenganan Pegeringsingan di Bali. Tema dasar penelitian ini adalah tata spasial permukiman tradisional dalam konteks kehidupan sosiologis masyarakatnya. Temuan penelitian ini kemudian didialogkan dengan kondisi desa-desa pegunungan lain di Bali. Hasil penelitian Runa mengungkap tentang konsistensi (inti) spasial desa pegunungan di Bali yang terdiri atas enam konsep dan komponen, yaitu Tri Hita Karana, pura puseh, orientasi gunung-laut, desa adat, penguasaan tanah oleh desa dan rumah tinggal keluarga kecil dengan dinding yang transparan. Penelitian ini menegaskan bahwa lokus yang sama (dengan penelitian Parimin, 1986) tidak secara otomatis membentuk konsep atau teori yang sama. Permukiman pedesaan di pegunungan Bali tidak hanya dibentuk oleh konsep sakral-profan tetapi juga oleh enam konsep lain seperti temuan Runa (2004) di atas. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan fokus penelitian. Parimin (1986) dan Runa (2004) mencoba untuk menggali nilai-nilai lokal dari permukiman di Bali, agar setiap upaya yang dilakukan untuk kebaikan masyarakat lokal tidak menimbulkan konflik karena esensi permukimannya telah dipahami secara mendalam. Sama halnya dengan Parimin (1986) dan Runa (2004), Purbadi (2010) juga meneliti tentang permukiman pedesaan di pegunungan, tetapi pegunungan beriklim kering di kawasan Indonesia timur. Penelitian Purbadi (2010) fokus pada tata suku dan tata spasial permukiman desa Kaenbaun, di pulau Timor. Tema utama pada penelitian ini adalah penataan pola keruangan dan pola tata spasial desa. Hasil penelitiannya adalah tata spatial arsitektur permukiman Kaenbaun
13
memiliki kaitan erat dengan tata suku pada masyarakat Kaenbaun. Teori tata spasial Kaenbaun ditopang oleh empat konsep spesifik, yaitu persaudaraan etnik, kemenyatuan nenek moyang dan gereja, keragaman kultur dalam kesatuan dan menyatu dengan alam. Hasil penelitian Purbadi (2010) juga menghasilkan teori baru yang berbeda dengan penelitian Parimin (1989) dan Runa (2004) sehingga semakin menambah kekayaan khazanah ilmu tentang konsep atau teori permukiman pedesaan di pegunungan. Untuk melakukan tindakan perubahan terkait pembangunan dan lain sebagainya di permukiman pedesaan pegunungan beriklim kering di kawasan Indonesia timur, khususnya Kaenbaun harus selalu mempertimbangkan tata suku agar tidak terjadi konflik. Rezeki (2012) semakin menambah panjang daftar temuan konsep atau teori baru tentang permukiman pedesaan di pegunungan dengan melakukan penelitian di desa Kapencar, Wonosobo. Penelitian Rejeki (2012) terfokus pada tata permukiman berbasis punden di desa Kapencar, lereng gunung Sindoro, Wonosobo. Penelitian tentang punden ini mengkaji secara mendalam tentang tata permukiman, termasuk makna punden pada tata ruang desa Kapencar. Temuannya adalah bahwa falsafah pangayoman merupakan spirit hidup masyarakat di desa Kapencar dan punden memiliki makna sebagai simbol keberadaan falsafah pangayoman. Maka, upaya untuk memahami permukiman pedesaan di pegunungan Sindoro harus selalu mempertimbangkan keberadaan dan makna punden yang selalu berdampingan dengan falsafah pangayoman. Penelitian lain yang dilakukan di luar Indonesia terkait permukiman pedesaan adalah penelitian yang dilakukan oleh Han (1991). Penelitian Han (1991) terfokus pada ketetapan (teguh, tidak pernah berubah) struktur spasial permukiman tradisional di Korea. Analisis dilakukan terhadap tipe-tipe proses bermukim yang membentuk beberapa model permukiman. Temuan penelitiannya adalah formasi permukiman di korea terbentuk oleh beberapa aspek, yaitu pandangan hidup, lingkungan alamiah dan struktur sosial ekonomi yang selanjutnya membentuk struktur spasial. Prinsip struktur spasial permukiman di Korea adalah hierarki dan sequence. Dua prinsip inilah yang kemudian membentuk dua hubungan spesifik, yaitu (1) global space dengan element space dan (2) element space dengan
14
element space itu sendiri. Struktur spasial permukiman tradisional di Korea selalu mempertahankan bentuk inti. Penelitian Han (1991) juga tidak terkait dengan arah terbit-terbenam matahari. Paparan tentang beberapa penelitian permukiman pedesaan di pegunungan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penelitian pada fokus tersebut masih sangat menarik untuk terus dilakukan, karena setiap lokasi permukiman memiliki ciri khasnya sendiri. Ada banyak celah yang masih dapat diisi terkait permukiman pedesaan di pegunungan, terutama fokus amatannya. Demikian juga halnya dengan permukiman desa Singengu di Mandailing Julu, Sumatera Utara. Desa Singengu adalah salah satu desa yang terdapat di kawasan pegunungan Mandailing Julu yang memiliki prinsip tata ruang permukiman berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya yang sudah dipaparkan di atas. Tiga penelitian mengenai permukiman pedesaan di pegunungan yaitu Bali (Parimin, 1989) dan Runa (2004) dengan tata spasialnya, Kaenbaun di Timor (Purbadi, 2010) dengan tata suku dan tata spasialnya, serta Rejeki (2013) di Kapencar dengan Punden-nya, juga mengandung aspek gunung, makam, mata air dan arah terbit-terbenam matahari dalam membentuk permukiman. Tetapi, empat penelitian tersebut memiliki nilai-nilai yang berbeda dalam memaknai gunung, makam, mata air dan arah terbit-terbenam matahari dalam membentuk permukiman terutama jika dianalisis dalam tiga skala ruang (makro, meso dan mikro). Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan belum ada yang secara eksplisit menjelaskan tata ruang permukiman terkait dengan keberadaan empat aspek sekaligus, yaitu gunung-bukit, makam, mata air dan terutama arah terbitterbenam matahari. Desa Singengu juga memiliki ciri fisik tambahan yang berbeda dengan permukiman pedesaan di pegunungan lainnya, yaitu “berada di tepi sungai” atau secara spesifik berada di sekitar tepi muara sungai (daerah datar di sekitar tempat bertemunya dua atau tiga sungai yang berlainan arah alirannya atau istilah lokal : muara partontang dan atau muara partomuan)
15
Tabel 1.Penelitian permukiman pegunungan di Mandailing No. 1.
2.
3.
Deskripsi Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul Fokus Lokus Metode Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul Fokus Lokus Metode Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul Fokus
4.
Lokus Metode Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul Fokus
Lokus Metode 5.
Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul
Fokus Lokus Metode 6.
Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul Fokus Lokus Metode
Gundhi, Marwati (1987) Rumah Tradisional Batak Angkola, Mandailing dan Batak Pak-pak Struktur dan Bentuk Rumah Angkola, Mandailing dan Pak-pak Deskriptif - Kualitatif Lubis A, dkk (1999) Struktur dan Konstruksi Rumah Tradisional Mandailing Julu Struktur dan Konstruksi Rumah Mandailing Julu Deskriptif - Kualitatif Fithri, Isnen (2000) Arsitektur Tradisional Mandailing Godang Makro Fisik Kampung dan Mikro Bangunan (bangunan adat dan hunian biasa) Penyabungan Tonga (Mandailing Godang) Inventori - Deskriptif Susanto, Rika (2000) Mandailing Architecture 1. Lingkungan Kampung 2. Rumah Adat Bagas Godang (Jenis, Desain, Lay-out, Struktur, Ornamen dan Material) Manambin, Hutagodang dan Kotanopan (Mandailing Julu) Inventori – Deskriptif Nuraini, C (2004) Struktur Tata-Bangunan di Sekitar Alaman Bolak Selangseutang pada Permukiman Suku Batak Mandailing, Sumatera Utara Pola Tata bangunan di sekitar Alaman Bolak Selangseutang Desa-desa di Mandailing Julu (12 desa) Naturalistik – Kualitatif – Deskriptif – Eksploratif Nuraini, Cut (2014) Bincar-bonom sebagai Basis Tata Ruang Permukiman Desa Singengu Tata ruang permukiman dan maknanya Desa Singengu Fenomenologi – Kualitatif – Deskriptif – Eksploratif
Sumber : Gundhi, M., (1987), Lubis A. dkk, (1999), Fithri, I., (2000), Sutanto, R., (2000), Nuraini (2004)
16
Tabel 2a. Penelitian permukiman pedesaan di pegunungan No. 1.
Deskripsi Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul
Fokus
2.
Lokus Tema/konsep Metode Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul Fokus Lokus Tema/konsep
Metode 3
Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul
Fokus Lokus Tema/konsep
Metode 4
Nama dan Tahun Publikasi Judul
Keterangan
Fokus Lokus Tema/konsep Metode
Parimin, Ardi, P (1986) Fundamental Study of Spatial Formation of Island Village : Environmental Hierarchy of Sacred-Profane Concepts in Bali Formasi spasial desa tradisional, kaitan antara aspek sosial religius dengan formasi spasial desa Desa Tradisional di Pegunungan Konsep ruang sakral-profan Fenomenologi – Induktif – Kualitatif Han, Pilwon (1991) The Spatial Structure of the Traditional Settlement, a Study of Clan Village in Korean Rural Area Constancy and Change Permukiman pedesaan di Korea - Global space - Element Space - Hierarchy - Sequence Grounded – Kualitatif Adyana, I.K. Puspa (2003) Perubahan Pemanfaatan Ruang dalam Perspektif Masyarakat Adat Bali, Studi Kasus : Desa Padangsambian, Bali Perubahan fungsi ruang di desa tradisional akibat kebijakan pemda dalam mengembangkan kota Desa Tradisional di daerah dataran - Kebijakan Pemerintah - Kearifan Lokal - Karakter desa Tradisional Fenomenologi – Rasionalistik – Induktif – Kualitatif Runa, I, Wayan (2004) Sistem Spasial Desa Pegunungan di Bali dalam Perspektif Sosial-Budaya, Studi Kasus Desa Pageringsingan Sistem spasial desa skala meso dan mikro Desa Pegunungan - Sistem Budaya lokal - Perubahan sistem spasial desa Fenomenologi – Induktif – Kualitatif
Bersambung ke halaman berikutnya
17
Tabel 2b. Penelitian permukiman pedesaan di pegunungan (lanjutan) No. 5.
Deskripsi Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul Fokus Lokus Tema/konsep
6.
Metode Nama dan Tahun Publikasi Keterangan Judul Fokus Lokus Tema/konsep
7.
Metode Nama dan Tahun Publikasi
Keterangan
Judul
Fokus Lokus Tema/konsep
Metode
Purbadi, Y Djarot (2010) Tata Suku dan Tata Spasial Permukiman Tradisional Desa Kaenbaun di Pulau Timor Tata suku dan tata spasial desa Desa Tradisional di Pegunungan beriklim kering - Tata Suku - Tata Spasial - Pola Perubahan Tata Spasial Desa Fenomenologi – Induktif – Kualitatif Rejeki, VG., Sri (2012) Tata Permukiman Berbasis Punden desa Kapencar, Lereng Gunung Sindoro, Kabupaten Wonosobo Makna punden pada tatanan keruangan di desa Kapencar Desa Tradisional di lereng gunung - Papan Aman - Papan Gesang - Papan Keblat - Papan Gesang - Falsafah pangayoman - Punden sebagai simbol falsafah pangayoman Fenomenologi – Induktif – Kualitatif Nuraini, Cut (2014)
Bincar-bonom sebagai Basis Tata Ruang Permukiman desa Singengu di Mandailing Julu, kecamatan Kotanopan, kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara Tata ruang permukiman dan makna bincar-bonom Desa Singengu - Parkouman (Persaudaraan) - Banua (Dunia) - Mangulaki Pangkal (Kembali ke asal) Fenomenologi – Induktif – Kualitatif
Sumber : Parimin (1986), Han (1991), Adyana (2003), Runa (2004), Purbasi (2010), Rejeki (2012)
G. Sistematika Pembahasan Disertasi ini diuraikan secara berurutan. Uraian dimulai dari latarbelakang, tinjauan pustaka, metode, unit informasi data secara umum, sub tema dan tema temuan hasil induksi kelompok unit informasi. Pada tahap selanjutnya diuraikan konsep-konsep dari hasil induksi tema yang menjadi latarbelakang atau dasar terbentuknya tata ruang permukiman desa Singengu yang kemudian diinduksikan
18
kembali sehingga terbentuk teori lokal. Teori lokal yang membentuk tata ruang permukiman desa Singengu lalu didialogkan, yaitu dialog kasus dan teori sebagai validitas eksternal, dan yang terakhir adalah kesimpulan. Sistematika pembahasan Disertasi ini adalah sebagai berikut : (1) Bagian kesatu adalah pendahuluan. Pada bagian pendahuluan, dipaparkan tentang latarbelakang, fokus yang dibahas, pertanyaan penelitian, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian dan sistematika penyusunan Disertasi. (2) Bagian kedua adalah tinjauan pustaka. Pada bagian ini diuraikan tentang eksplorasi beberapa teori sebagai pengetahuan dasar peneliti (background knowledge). Pemahaman tersebut antara lain tentang Mandailing dan budayanya serta beberapa teori umum tentang unsur-unsur permukiman. Pustaka-pustaka yang diacu di bab dua akan digunakan untuk dialog teori di akhir pembahasan, yaitu pada bab delapan. Teori yang didialogkan dengan teori temuan adalah teori-teori yang dianggap relevan dengan topik permukiman pedesaan di pegunungan. (3) Bagian ketiga adalah uraian tentang metode penelitian. Pada bagian ini dipaparkan juga tentang penelitian fenomenologi menyangkut pemahaman tentang paradigma dan metode. Uraian metode di bagian ini juga dilengkapi dengan rancangan penelitian, cara penetapan informan, jalannya proses penelitian, analisis yang dilakukan, kendala-kendala atau hambatan-hambatan penelitian dan proses konstruksi teori. (4) Bagian empat, berisi tentang gambaran umum tentang kelompok unit informasi yang diperoleh dari lapangan secara empiris. Data tersebut di antaranya
adalah
keadaan
geografis,
sejarah
perkembangan
dan
pertumbuhan desa Singengu, sistem kekerabatan, sistem waris, sistem pemerintahan dan keberadaan kuburan, bukit dan gunung dengan mata airnya. (5) Bagian kelima, berisi tentang sub tema-sub tema dan tema-tema lapangan sebagai hasil proses analisis induksi fenomenologi dari kelompok unit informasi. Pada bagian ini, diuraikan 13 sub-tema lapangan baik yang
19
terjadi di masa lalu maupun yang terjadi di masa sekarang. Sub tema-sub tema lapangan tersebut terdiri atas tempat-tempat yang membentuk tata ruang permukiman desa Singengu, yang selanjutnya membentuk tujuh tema empiris melalui tahap reduksi. (6) Bagian keenam berisi tentang konsep-konsep hasil proses analisis eidetik dari tema-tema empiris. Di bagian ini diuraikan tiga konsep utama yang menjadi unsur pembentuk tata ruang permukiman desa Singengu. (7) Bagian ketujuh adalah teori lokal yang terbentuk dari tiga konsep sebagai latar belakang terpenting yang membentuk tata ruang permukiman desa Singengu (8) Bagian kedelapan adalah dialog kasus antara kasus desa Singengu dengan kasus sejenis lain yang mirip. Dialog teori dilakukan antara teori lokal desa Singengu dengan teori-teori yang terkait dengan tata ruang permukiman. (9) Bagian sembilan adalah kesimpulan, sumbangan pengetahuan dan rekomendasi.
20