BAB I PENDAHULUAN “geopolitik, as the duty to safeguard the right to the soil, to the land in the widest sense, not only the land within the frontiers of the Reich but also the right to the more extensive Volk and cultural lands. Culture itself was seen as the most conducive element to dynamic special expansion. It provided a guide as to the best areas for expansion, and could make expansion safe, whereas projected military or commercial power could not.” —Karl Haushofer, 1935
A. Latar Belakang Reunifikasi Jerman memiliki pengaruh bagi situasi keamanan regional Eropa. Strategi Jerman dalam pembentukan arsitektur keamanan regional Eropa mengalami perkembangan. Hal ini diperkuat dengan status Jerman sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Eropa yang selanjutnya berimplikasi pada penguatan anggaran militer Jerman. Melihat fenomena ini, penulis sangat tertarik untuk menganalisis sejauh mana pengaruh Jerman dalam pembentukan arsitektur keamanan regional di Eropa dengan mengangkat judul tesis “KONFIGURASI GEOPOLITIK EROPA: JERMAN DAN ARSITEKTUR KEAMANAN EROPA PASCA PERANG DINGIN.” Penulis sangat tertarik menganalisis peran “power” dan strategi kebijakan luar negeri Jerman dalam membangun stabilitas regional di Eropa. Penulis melihat, strategi kebijakan tersebut nampaknya memiliki pengaruh kuat dalam stabilisasi keamanan regional di Eropa. Oleh karena itu, tesis ini datang untuk memahami bagaimana pengaruh Jerman dalam membangun tata kelola arsitektur keamanan regional Eropa pada periode Pasca Perang Dingin. Salah satu perhatian khusus dalam tulisan ini adalah bagaimana mengelaborasi situasi domestik Jerman yang kemudian dikaitkan dengan stabilitas dan keamanan kawasan regional Eropa. Dengan memahami situasi domestik Jerman, akan mampu mengukur pengaruh Jerman di level regional Eropa. Dalam hal ini pengaruh Jerman dalam pembentukan arsitektur keamanan regional Eropa pada periode Pasca Perang Dingin. 16
Secara geopolitik, Jerman adalah jantung Eropa “Deutschland liegt im Herzen Europas” (Janning, 2008: 79). Selain berada di mainland Eropa, Jerman juga berada di centralland Eropa dengan luas wilayah 357,021 kilometer persegi yang berbatasan langsung dengan “und ist von neun Nachbarstaaten umgeben: Frankreich, Schweiz, Ostereich, Tschechien, Polen, Danemark, Niederlande, Belgien, und Luxemburg (Hintereder, 2008: 8). Jerman merupakan negara yang memiliki kekuatan ekonomi terbesar di kawasan Eropa dengan jumlah penduduk terbesar kedua di kawasan tersebut. Sebelumnya, Jerman merupakan negara di Eropa yang kekuatannya mengalami pasang surut dan juga pernah tenggelam akibat kekalahan pada Perang Dunia II ketika kemenangan pasukan aliansi: Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis dan Uni Soviet (saat ini Rusia) tahun 1945 (Schollgen, 2008: 73). Dalam sejarah, pasang surut kekuatan Jerman turut mempengaruhi pola pembentukan arsitektur keamanan regional Eropa. Pembentukan zona Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), dan Perang Dingin (19461989) telah membawa pengaruh signifikan bagi masa depan pembentukkan arsitektur keamanan regional di Eropa. Hal ini turut juga berimplikasi pada arsitekur keamanan global. Demikian halnya pada Pasca Perang Dingin, Jerman memiliki pola yang berbeda dalam tata kelola arsitektur keamanan regional Eropa hingga di level global, terlebih lagi setelah dibentuknya “North Atlantic Treaty Organization”(1949)––dalam bahasa Inggris: “NATO”, atau “L’organisation du Traite de L’atlantique Nord”––dalam bahasa Prancis: “OTAN”, dan “European Union” disingkat “EU” (1992)––dalam bahasa Indonesia “Uni Eropa” disingkat UE yang melahirkan European Security and Defence Policy disingkat “ESDP.” Perang Dingin secara geopolitik memecah Jerman menjadi dua wilayah pengaruh, yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur, dan Jerman bersatu kembali pada tahun 1990. Pasca Perang Dingin Jerman mulai berbenah. Jerman telah mengeluarkan anggaran belanja yang sangat besar untuk menopang Eropa Barat– –West European Union disingkat WEU––yang memiliki tingkat produktivitas tinggi terutama bidang ekonomi dan memiliki tingkat standar negara yang tinggi pula (Janning, 2008: 79). Pada tahun 1999, Jerman dan 10 negara Eropa memperkenalkan mata uang bersama beberapa negara-negara Eropa, yaitu “Euro” 17
(Janning, 2008: 84). Melihat sekilas historis Jerman hingga saat ini, Jerman nampaknya menjadi barometer negara maju di Eropa yang memiliki peranan penting dalam percaturan politik global. Jerman kalah dalam dua kali perang dunia, kini telah pulih menjadi negara kuat di Eropa. Dewasa ini, kondisi domestik Jerman berimplikasi bagi keamanan regional Eropa. Kondisi ini berkembang dari masa ke masa sejak status quo Jerman (19001918), deunifikasi (1945-1990), reunifikasi Jerman kembali pada status quo (1990-sekarang). Pada periode Perang Dunia I dan II, Perang Dingin, dan Pasca Perang Dingin, Jerman turut menciptakan pengaruh dalam pembentukan keamanan Eropa. Munculnya LBB dan PBB tidak luput dari eksistensi Jerman di Eropa. Namun, sejarah dominasi Inggris dan Prancis terkait konfigurasi geopolitik di Eropa sebelum Perang Dunia I dan II meletus perlu dicermati lebih mendalam, sebab hal ini ikut mempengaruhi perkembangan arsitektur keamanan regional di Eropa Pasca Perang Dingin (Weinberg, 1970: 357-358). Menjelang Perang Dunia II, Jerman secara geopolitik relatif di posisi yang lebih baik di antara negara-negara Eropa lainnya (Weinberg: 1970: 357-358). Meskipun pada akhirnya, ketika memasuki Perang Dunia I Jerman bergabung dengan Turki, juga pada Perang Dunia II bergabung dengan Jepang dan Italia, dan akhirnya kalah dalam perang tersebut (Weinberg: 1970: 357-358). Bergulirnya Perang Dingin secara geopolitik memperlemah posisi Jerman di Eropa akibat terpecahnya Jerman menjadi dua wilayah pengaruh, yaitu Jerman Timur dan Jerman Barat. Kondisi ini berimplikasi pada melemahnya pengaruh Jerman di Eropa. Dan, pada tahun 1990, era kekuatan Jerman mulai dibangun kembali. Efek kuat dari momentum Pasca Perang Dingin dengan runtuhnya Tembok Berlin, Jerman kini kembali memperkuat posisinya di Eropa. Dengan demikian, yang perlu ditelaah lebih dalam yaitu bagaimana proses memperkuat diri Jerman untuk menaikkan kembali pengaruhnya di Eropa setelah sebelumnya mengalami kelemahan. Dalam hal ini, kemampuan Jerman untuk meyakinkan dan mengajak otoritas negara-negara dan institusi-institusi di kawasan Eropa menjadi bagian penting dalam pelaksanaan strategi Jerman di level kawasan Eropa yang pada akhirnya memberi pengaruh kuat dalam pembentukan arsitektur keamanan regional di Eropa. 18
B. Rumusan Masalah Secara spesifik studi ini berpijak pada pertanyaan penelitian utama, yaitu: Bagaimana pengaruh Jerman dalam pembentukan arsitektur keamanan regional Eropa pada periode Pasca Perang Dingin?
C. Tinjauan Pustaka Pengaruh Jerman di kawasan Eropa cukup banyak diperdebatkan oleh Ilmuan HI. Adapun, analisis Stewart-Ingersoll melihat keamanan regional di kawasan seperti Eropa Timur banyak dipengaruhi oleh Rusia, demikian halnya kawasan Amerika Latin dimana Brazil memainkan peran yang sangat signifikan, serta India sebagai aktor pengaruh dalam dinamika keamanan regional di Asia Selatan. (StewartIngersoll, 2012: 33). Sebagai akibatnya, maka perdebatan tersebut dapat dikelompokkan dengan melihat situasi di masing-masing kawasan. Untuk kawasan Eropa meliputi Pasca Reunifikasi Jerman hubungannya dengan stabilitas kawasan Eropa. Smith, Padgett, dan Poguntke dalam bukunya “Continuity and Change in German Politics: Beyond the Politics of Centrality?” mengupas lebih jauh tentang aspek politik Jerman, namun kurang tajam menyentuh aspek kebijakan keamanan Jerman secara kawasan (Smith, Padgett, dan Poguntke, 2002: 174). Dalam analisisnya, Smith mendalami pemeriksaan evolusi kebijakan Jerman dalam menghadapi perubahan sosialekonomi, globalisasi, integrasi Eropa, dan pergolakan domestik termasuk unifikasi Jerman, namun kurang spesifik menguraikan pengaruh Jerman dalam proses menata arsitektur keamanan kawasan di tingkat regional di Eropa. Analisis dari Smith mesti diperkaya lagi dengan menambahkan perspektif keamanan nontradisional, sebab membahas Jerman dan Eropa masih belum cukup tanpa membahas keamanan non-tradiosional di Eropa. Pandangan lain datang dari Zelikow dan Rice dalam bukunya “Germany Unified and Europe Transformed (Jerman Bersatu dan Eropa Bertransformasi)” yang menjelaskan tentang pengaruh reunifikasi Jerman bagi transformasi Eropa (Zelikow-Rice, 1995: 184). Dalam analisisnya, Zelikow-Rice memiliki anggapan bahwa peristiwa yang disebut sebagai proses “Jerman Bersatu dan Eropa Bertransformasi” mengungkapkan gerakan yang mengakhiri Perang Dingin di 19
Eropa dimana Jerman bersatu kembali––penggabungan Republik Federal Jerman (RFJ) dan Republik Demokratik Jerman (RDJ)––dengan runtuhnya tembok Berlin pada tanggal 9 November 1989. Sementara, ketegangan antara pejabat Soviet dan Jerman Timur mengenai Tembok Berlin telah membangkitkan semangat Jerman Timur untuk melakukan reunifikasi Jerman di Eropa. Untuk memperkaya perspektif sekaligus sebagai komparasi tentang relasi negara terhadap stabilitas suatu kawasan, maka penulis mengambil contoh di kawasan Asia Tenggara––dalam konteks ini misalnya analisis yang dikemukakan oleh Dibb tentang pengaruh Indonesia terhadap Regional Asia Tenggara dengan menelaah pengaruh Indonesia di ASEAN. Melalui analisisnya Dibb menyatakan bahwa “A disabled Indonesia means a disabled ASEAN” (Dibb, 2012: 840). Selanjutnya, dengan mengambil contoh di kawasan lain tentang pengaruh keberadaan sebuah negara terhadap stabilitas sebuah kawasan, Paul Dibb dalam tulisannya “Indonesia: The Key to South-East Asia’s Security” dengan baik menjelaskan bagaimana Indonesia secara efektif mampu memainkan posisinya dalam mengelola keamanan Asia Tenggara (Dibb, 2001: 78). Indonesia adalah negara dengan teritori terbesar di Asia Tenggara dan merupakan salah satu negara yang mendirikan ASEAN. Menurut Dibb, posisi Indonesia penting bagi kawasan Asia Tenggara. Banyak masalah internal yang dialami Indonesia berimplikasi pada dinamika kawasan, Indonesia hadir sebagai kekuatan utama dalam menopang keamanan Asia Tenggara di ASEAN. Menurut Dibb, beberapa konflik yang dialami Indonesia seringkali mengancam keamanan regional, yang berdampak pada keamanan negara tetangganya ––Malaysia, Singapura, Papua Nugini, dan Australia. Indonesia dianggap sebagai kunci utama keamanan regional Asia Tenggara karena peranannya yang sangat dibutuhkan bagi negara anggota ASEAN. Dalam posisi ini Indonesia sebenarnya menurut kacamata Stewart-Ingersoll telah memainkan posisinya sebagai regional powers di Asia Tenggara (2012: 77). Studi Dibb sebenarnya menelaah ASEAN sebagai organisasi regional, fungsi dan perannya harus mampu mengintegrasikan seluruh negara anggota. Dibb melihat bahwa ASEAN sebagai organisasi regional yang memiliki pengaruh terhadap stabilitas bagi kawasan Asia Tenggara (Dibb, 2012: 184). 20
D. Alasan Pemilihan Judul Penelitian ini sangat penting untuk diangkat karena (1)Jerman adalah salah satu negara kuat dan paling dinamis di Eropa, untuk itu mengkaji perilaku negara Jerman sangat penting di kawan Eropa; (2)dengan memahami pengaruh Jerman dalam pembentukan arsitektur keamanan regional di Eropa akan ikut juga memahami pengaruh negara-negara di sekitarnya di Eropa; (3)masih kurangnya ahli geopolitik dan keamanan Jerman yang berasal dari Regional Asia Pasifik, khususnya Indonesia. E. Tujuan Penelitian Studi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pengaruh power dan strategi kebijakan luar negeri Jerman di kawasan Eropa serta implikasinya bagi pembentukan arsitektur keamanan regional Eropa pada periode Pasca Perang Dingin (1990 – sekarang). F. Kegunaan Penelitian Secara spesifik studi ini memiliki kegunaan untuk memberikan sumbangan pemikiran strategis berupa: a) pemikiran strategis bagi kemajuan keilmuan penulis, akademisi dan juga bagi Ilmuwan HI ––dosen dan mahasiswa dalam memahami power dan strategi kebijakan negara terhadap dinamika Hubungan Internasional di level regional, di sini menganalisis „pengaruh power dan kebijakan keamanan Jerman‟ bagi proses pembentukan arsitektur keamanan regional Eropa pada periode Pasca Perang Dingin. b) pertimbangan strategis bagi aktor, praktisi, stakeholder, dan juga bagi asosiasi ilmuwan HI ––individu dan organisasi pemerintah atau non-pemerintah dalam formulasi power dan kebijakan keamanan negara, juga formulasi keamanan nasional untuk mencapai kepentingan di tingkat regional dan global. Di sini menganalisis pengaruh power dan strategi kebijakan luar negeri Jerman dalam pembentukan arsitektur keamanan regional Eropa pada periode Pasca Perang Dingin (1990 – sekarang).
21
G. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual dan teori yang penulis gunakan untuk menganalisis permasalahan dalam tulisan ini yaitu: (1)konsep “regional powers and security orders”, digunakan untuk menelaah aktor berpengaruh dalam pembentukan artsitektur keamanan Eropa. Konsep ini menekankan pada bagaimana cara identifikasi, manajemen dan pencegahan ancaman keamanan regional yang sangat dipengaruhi oleh peran regional powers; (2)konsep “foreign policy strategies” digunakan untuk menelaah cara melaksanakan power di level regional melalui penggunaan institusi kawasan atau melalui negara anggota kawasan; dan (3)konsep “regional security complex” digunakan untuk melihat hasil pelaksanaan power
di
kawasan
melalui
pengamatan
“regional
security
complex”.
Kompleksitas keamanan regional dalam suatu kawasan boleh jadi dibangun melalui pola persaingan (enmity) dan atau pola kerjasama (amity). (a) Regional Powers and Security Orders Menurut analisis yang dikemukakan oleh European Consortium for Political Research (ECPR), yang dimaksud dengan regional powers adalah "sebuah negara yang berada di suatu kawasan georgafis, dimanan negara tersebut mendominasi kawasan dalam hal ekonomi dan militer, mampu memberi pengaruh hegemoni di kawasan dan pengaruh (memungkinkan) di skala global, dan secara sukarela “willingness” bersedia memanfaatkan sumber daya kekuatan dan diakui atau diterima sebagai pemimpin regional oleh tetangganya" (Jurnal European Consortium for Political Research). Adapun, yang dimaksud dengan “security order” adalah pemetaan, pengaturan, dan proporsi tatanan keamanan di tingkat kawasan yang menekankan pada cara identifikasi, manajemen dan pencegahan berbagai jenis ancaman keamanan regional (Stewart-Ingersoll, 2012: 33-35). Dalam situasi ini “security order” menjadi proyeksi bagi kebijakan luar negeri strategis regional power dalam menjalankan agendanya untuk tujuan menciptakan keamanan kawasan secara komprehensif (Stewart-Ingersoll, 2012: 36). Pemetaan keamanan ini bertujuan untuk menjamin stabilitas negara-negara anggota kawasan dalam menghadapi ancaman keamanan baik tradiosional maupun ancaman keamanan non-tradisional. 22
Dengan melihat konteks di atas, maka pengaruh suatu negara dalam menciptakan dan mempertahankan keamanan regional adalah dengan melihat tingkat regional sebagai fokus utama negara tersebut (Stewart-Ingersoll, 2012: 33). Dalam konteks ini, keamanan regional dipengaruhi oleh peran regional power. Fokus selanjutnya adalah memahami analisis peran dan orientasi kebijakan luar negeri regional powers dengan melihat kemampuan materialnya sebagai “source of power” yang mampu mempengaruhi perkembangan situasi keamanan regional dalam segala situasi. Adapun, keterakitan antara “source of power” sebuah negara dan hasil implementasi “power” tersebut di level kawasan mentukan kekuatan negara tersebut di kawasannya. Dalam konteks ini, menurut Strange (1989: 165), untuk mengukur power sebuah negara dan pengaruhnya di level regional adalah dengan cara melihat dua jenis basis pengaruh, yaitu “relational based power” dan “structural based power”. Relational based power merupakan kekuatan untuk meyakinkan dan mengajak aktor lain satu per satu atau dalam kelompok (regional). Sedangkan, structural based power adalah kemampuan penting suatu negara untuk mewujudkan aturan, norma, dan operasi dalam sistem regional seperti yang diinginkan. Strange menegaskan, kekuatan struktural sebuah negara bergantung pada kapasitas keamanan, produksi, keuangan, dan kapasitas pengetahuan dalam sistem ekonomi-politik internasional melebihi dimensi regional (Strange, 1987: 565). Selanjutnya, negara memiliki pengaruh di level regional manakala: (1)mampu mempertahankan kemampuan untuk mempengaruhi negara lain melalui ancaman (threats), pertahanan (defense), dan penolakan atau eskalasi kekerasan (denial or escalation of violence), (2)mampu mengontrol barang dan sistem layanan produksi (goods and service production system), (3)memiliki kewenangan dalam penentuan dan manajemen lembaga keuangan dan kredit (finance and credit institutions), (4)mampu mempertahankan instrumen yang paling efektif untuk mempengaruhi pengetahuan dan informasi secara teknis melalui
akuisisi
(acquiring),
produksi
(production),
dan
komunikasi
(communication). Negara yang memiliki unsur-unsur ini akan menjadi negara yang paling kuat dan paling berpengaruh di kawasan. 23
Untuk memahami penggunaan pengaruh di level regional akan berimplikasi pada peran negara tersebut dalam pengelolaan interaksi kawasan. Oleh karena itu, konsep tentang regional powers, dalam hal ini menjelaskan hubungan kombinasi antara konsep geografi “region” dengan basis konsep dari teori hubungan internasional “power” (Nolte, 2010: 22). Ia mempertegas, bahwa regional powers adalah kekuatan regional yang mampu membentuk polaritas suatu wilayah regional (Nolte, 2007: 15). Hal di atas dipertegas oleh German Institute of Global and Area Studies”, suatu negara menjadi regional powers harus (1)menjadi bagian dari kawasan tetap dengan identitasnya sendiri, (2)mengklaim diri sebagai kekuatan regional, (3)memiliki pengaruh besar terhadap konstalasi geopolitik kawasan, perluasan geografis kawasan serta konstruksi ideologinya, (4)memiliki kemampuan militer, ekonomi, demografi, politik-ideologi yang tinggi untuk proyeksi kekuatan regional, (5)terintegrasi secara baik dalam hal ekonomi, politik, dan cultural, (6) memiliki pengaruh yang sangat kuat di kawasan, (7)menetapkan agenda keamanan regional hingga level tertinggi, (8) melaksanakan pengaruhnya menggunakan instrument negara/institusi kawasan (means of regional governance structures); (9)diakui sebagai kekuatan regional oleh kekuatan lain di kawasan tersebut, juga diakui oleh kekuatan regional lain, (10)terhubung secara baik dengan kekuatan regional dan global, sebagai representasi kepentingan regional (as a representative of regional interests). Adapun Flemes, menelaah regional powers melalui 4 kriteria kerangka perbandingan, yaitu: (1)merumuskan klaim kepemimpinan, (2)kepemilikan sumber material dan sumber daya ideasional, (3)bekerjanya sistem material, kelembagaan dan keberlanjutan instrument strategi kebijakan luar negeri, (4)penerimaan peran leadership oleh negara ketiga. Setiap kriteria diterapkan pada dua tingkat sistem: regional-global, dan dua kebijakan strategis: economysecurity (Flemes, 2007: 12-18). Regional powers, memiliki tanggung jawab khusus bagi pemeliharaan ketertiban di kawasan. Untuk memenuhi peran ini, regional powers––dalam terminologi middle powers oleh Maxi Schoeman (2008: 353)––harus memenuhi kondisi: (1)dinamika internal negara tersebut harus memungkinkan untuk memainkan peran menstabilkan dan memegang kendali di 24
wilayahnya; (2) negara harus menunjukkan kesediaannya, kapasitas atau kemampuannya, untuk mengasumsikan peran pemimpin regional, stabilisator dan jika tidak berposisi sebagai penjaga perdamaian, setidaknya menjadi pembawa perdamaian di kawasan; (3)harus dapat diterima oleh negara tetangganya–– sebagai kompleksitas kemanan negara anggota di mana ia beroperasi––sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas keamanan regional. (b) Foreign Policy Strategies Kebijakan luar negeri strategis adalah kebijakan yang diciptakan melalui persepsi regional powers terhadap proyeksi negara-negara dan institusi-institusi kawasan (Baldwin, 2002: 187). Dengan demikian, untuk melaksanakan pengaruh di level regional, negara dituntut untuk mampu melihat ruang, lalu menentukan strategi yang tepat untuk dilaksanakan di level operasional. Baldwin menegaskan, negara mesti menentukan strategi kebijakan luar negeri untuk diproyeksikan ke luar, baik di level regional maupun global. Ia mempertegas dengan analisis “the crucial question is which foreign policy strategies can regional powers pursue to react regional [hegemonic] position?” (Baldwin, 2002: 187). Menurut Baldwin, power dapat diciptakan dan dilaksanakan melalui pembentukan, penggunaan, dan pemeliharaan institusi, baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan (Baldwin, 2002: 187). Oleh karena itu, suatu negara perlu menilai bagaimana menggunakan institusi kawasan untuk menegaskan kepentingannya lalu menciptakan dan melaksanakan strategi tersebut untuk mencapai kepentingannya. Dengan demikian, menjadi penting untuk membahas bagaimana kaitan antara suatu negara yang memegang posisi sebagai regional powers dan kebijakan luar negeri strategis dari regional power tersebut di tingkat kawasan yang meliputi negaranya. Hal ini mengingat bahwa regional powers adalah pemain kunci kawasan. Regional powers juga memiliki porsi besar dalam penciptaaan institusi regional. Pedersen menjelaskan dalam kondisi yang mungkin bagi kekuatan-kekuatan regional untuk berperan melalui institusi-institusi pemerintahan regional dan menciptakan karakter pelembagaan regional sebagai produk khas dari strategi penting yang dikejar oleh regional powers. 25
(c) Regional Security Complex Menurut Buzan dan Waefer, analisa regional security complex (RSC) meliputi berbagai macam unsur seperti geografi, etnisitas serta budaya masyarakat sekitar wilayah tersebut (Buzan-Waefer, 2003: 44). Faktor-faktor ini selanjutnya akan mempengaruhi dan menciptakan saling ketergantungan antarnegara dalam suatu kawasan yang kemudian akan menimbulkan munculnnya satu kompleksitas keamanan regional. Dalam suatu ini permasalahan mengenai keamanan negaranegara berhubungan erat sehingga permasalahan mengenai keamanan nasional tidak akan ada tanpa memperhitungkan keamanan regional. Ketergantungan antarnegara di suatu kawasan selalu dipengaruhi oleh berbagai macam hal seperti: perimbangan kekuatan, aliansi, serta masuknya kekuatan luar di dalam kawasan (Buzan-Waefer, 2003: 47). Buzan dan Waefer merumuskan empat variable penyusun essential dari RSC: (1)batas wilayah (pembeda Regional Security Complex dengan negara di sekitarnya), (2)Struktur anarkis (RSC harus terdiri dari minimal dua unit otonom), (3)polaritas (penyebaran kekuasaan antarunit), (4)konstruksi sosial (pola amity dan enmity antar unit). Teori RSC ini pada akhirnya bertujuan untuk membentuk suatu pengaturan keamanan sebagai satu tujuan akhir dari regionalisasi yang mempunyai basis keamanan kawasan. Konsep pengaturan keamanan ini membahas bagaimana negara menciptakan keamanan dan keteraturan kawasan melakukan kerja sama dengan negara lainnya. Teori RSC ini, ada dua model yang bisa digunakan: “great power concert” dan “power restraining power.” Great power concert diartikan sebagai mengusahakan terciptanya security management di suatu kawasan melalui peran negara kuat (super-power) di satu kawasan, pengaruh negara kuat menjadi penting karena keamanan kawasan menjadi tanggung jawab negara tersebut. Power restraining
power melihat
bagaimana
suatu
negara
mengusahakan
pembagian power untuk menciptakan terjadinya distribusi power di kawasan, untuk mencapai ini, model ini membutuhkan balance of power
untuk
mengimbangi kekuatan satu hegemoni di kawasan yang bisa menciptakan instabillitas kawasan.
26
G. Argumen Utama Tesis ini berargumen bahwa “Jerman merupakan negara yang memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan arsitektur keamanan regional di Eropa pada periode Pasca Perang Dingin.” Hal ini didukung oleh efektiftas pelaksaaan „kebijakan luar negeri strategis‟ Jerman dalam mempengaruhi perilaku aktor negara dan institusi kawasan baik secara struktural maupun relasional dalam menjaga dan memelihara keamanan regional Eropa. Pengaruh tersebut ditunjukkan melalui: (1)memahami posisi regional powers dan perimbangan kekuasaan di Eropa: berupa rivalitas “The Big Three of Europe” dan konfigurasi power di Eropa; (2)memahami posisi Jerman sebagai “regional power” di Eropa dengan memainkan posisi sebagai kekuatan ekonomi, militer, sentral geopolitik, dan sebagai arsitek keamanan di Eropa; (3)pengaruh Jerman terhadap penguatan Eropa sebagai “Vibrant Continent” melalui memposisikan UE sebagai konsentris institusional pertama bagi proyeksi kebijakan luar negeri Jerman, memperkuat struktur “Segitiga Kelembagaan UE”, integrasi, dan kerjasama institusional UE; (4)pengaruh Jerman terhadap penguatan UE sebagai “Constructive of European Security” melalui penguatan pelaksanaan Politik Luar Negeri dan Politik Keamanan Bersama (PLNKB) UE, mendorong kemandirian Eropa dalam bidang pertahanan dan keamanan, mengurangi dominasi AS di NATO dan di Eropa, dan mendorong UE menjadi Anggota Tetap DK-PBB; dan (5)pengaruh Jerman terhadap penguatan NATO sebagai “Complement of European Security” melalui menjaga posisi Jerman sebagai regional power di Eropa dan di NATO, penguatan hubungan Jerman-Prancis dan Inggris sebagai “The Big Three of Europe” di NATO dan di Eropa, menjaga dan mengimbangi pola hubungan dengan AS di NATO, dan menjaga pola hubungan dengan Rusia di luar NATO di Eropa. H. Jangkauan Penelitian Penelitian ini membatasi kajian pada (1)strategi kebijakan Jerman terhadap Prancis, Inggris, dan Rusia di Eropa serta AS di NATO; (2)strategi kebijakan luar negeri strategis Jerman di UE dan implikasinya di Eropa, dan (3)strategi kebijakan luar negeri strategis Jerman di NATO dan implikasinya. Strategi ini mencakup seluruh kebijakan Jerman dalam membangun arsitektur keamanan regional Eropa menuju arah stabilitas kawasan pada periode Pasca Perang Dingin. 27
I. Metode Penelitian Jenis dan model penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif untuk mendapatkan hasil investigasi penelitian yang lebih jelas. Metode kualitatif, menurut Cassel Simon, merupakan metode penelitian ilmu sosial yang mencoba melakukan deskripsi dan interpretasi secara akurat untuk menjelaskan makna tertentu yang terjadi dalam konteks sosial (Bogdan-Taylor, 2004: 127). Metode ini menekankan pada pentingnya penelitian pada data-data melalui sumber tertulis dengan harapan akan mendapatkan data secara menyeluruh tentang situasi yang sedang dipelajari oleh peneliti terkait permasalah yang diangkat. Teknik Pengumpulan Data dilakukan dengan mengumpulkan data primer maupun sekunder yang berkaitan dengan tema geopolitik dan keamanan Jerman berupa buku, artikel, jurnal, dokumen resmi, dan data yang dapat menunjang penelitian. Untuk memperkuat analisis, penulis mencoba melakukan wawancara khusus dengan para pengambil kebijakan strategis di Kedutaan Besar Republik Federal Jerman dan Kedutaan Besar UE di Jakarta. Teknik analisis data dalam penelitian ini deskriptif-analitik dengan menganalisis kebijakan keamanan Jerman di Eropa. Atas dasar ini, maka penulis akan mampu memahami pengaruh kebijakan keamanan Jerman dalam pembentukan arsitektur keamanan regional dan pengaruhnya terhadap proses pembentukan keamanan internasional yang datang dari lingkungan kawasan Eropa. J. Definisi Operasional a. Konfigurasi Geopolitik Eropa adalah proses pembentukan lingkungan politik yang bertujuan untuk menciptakan keamanan bersama melalui berbagai pola– –amity dan/atau enmity––sesuai dengan posisi geografis dan tingkat pengaruh yang diberikan oleh negara-negara anggota kawasan Eropa. b. Arsitektur Keamanan Regional Eropa adalah serangkaian proses politik penting yang membentuk lingkungan strategis di kawasan Eropa, termasuk di antaranya adalah proses integrasi Eropa, evolusi dari Rusia, pengembangan hubungan Transatlantik dan Evolusi manajemen krisis di wilayah Eropa–– termasuk wilayah Atlantik.
28
c. Deunifikasi Jerman adalah istilah dalam menyebut pembagian Jerman menjadi dua wilayah pengaruh yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur melalui pendirian Tembok Berlin pasca penyerahan diri tanpa syarat oleh Jerman tanggal 8 Mei 1945 oleh pihak Sekutu ke dalam empat zona yaitu Prancis, Inggris, AS, dan Uni Soviet. d. Bipolaritas Blok Barat vs. Blok Timur adalah terbentuknya dua pengaruh kekuatan dunia dalam hal ini antara Blok Barat (AS) dengan Blok Timur (Uni Soviet) semasa Perang Dingin (tahun 1946-1989). e. Evolusi Kebijakan Keamanan Jerman adalah perkembangan arah pemikiran (change and continuity) kebijakan keamanan Jerman dalam menciptakan stabilitas dan keamanan di kawasan Eropa ––secara internal dan eksternal, dimana perkembangan ini mempengaruhi posisi Jerman di Eropa dalam pembentukan Arsitektur Keamanan Eropa secara regional hingga di level global sejak Eropa berada dalam kondisi sebelum masa ––Perang Dunia I (1914-1918) , Perang Dunia II (1938-1945), dan Perang Dingin (1946-1989) – –dan ketika Eropa berada dalam masa sesudah ketiga perang tersebut terjadi – –Pasca Perang Dingin (1990-sekarang). f. Kebijakan Ostpolitik Jerman adalah kebijakan yang diciptakan pemerintah Jerman Barat (RFJ) terhadap negara-negara di kawasan Eropa Timur khususnya terhadap Jerman Timur untuk meredakan ketegangan di Eropa di bawah pemerintahan Kanselir Willy Brandt tahun 1971. g. Vibrant Continent adalah sebuah kondisi dimana kawasan Eropa berada dalam situasi stabil yang disokong oleh kekuatan negara-negara anggota kawasan Eropa itu sendiri. Adapun, Jerman sebagai salah satu negara di kawasan Eropa memiliki kepentingan untuk menjadikan Eropa sebagai benua yang stabil dalam hal ekonomi, integrasi kawasan, dan untuk memastikan perdamaian, kemakmuran dan keamanan bersama di kawasan Eropa. h. Constructive of European Security adalah suatu kondisi dimana Jerman secara bersamaan dengan Prancis dan negara anggota Eropa lainnya khususnya negara-negara yang tergabung ke dalam UE aktif dalam menciptakan kerjasama keamanan jangka panjang untuk menjaga keamanan demi mencapai stabilitas kawasan Eropa. 29
i. “Complement of European Security” adalah situasi khusus di Eropa dimana Jerman menjadikan NATO sebagai kebijakan prioritas kedua setelah UE, dengan demikian NATO dianggap oleh Jerman sebagai instrument organisasi keamanan pelengkap di Eropa. j. Pengaruh dalam terminologi “Jerman dan Arsitektur Keamanan Regional Eropa Pasca Perang Dingin” adalah suatu kondisi dimana Jerman memberikan pengaruh secara signifikan terhadap bangunan/model keamanan yang ada di kawasan Eropa dalam kurun waktu Pasca Perang Dingin. Adapaun yang menjadi variable tidak terikatnya (independen) yaitu situasi dan posisi Jerman di Eropa termasuk, situasi domestik, kebijakan keamanan, dan proyeksi kekuatan Jerman di Eropa. Sedangkan, yang menjadi variable terikatnya (dependen) adalah Arsitektur Keamanan Eropa. Jerman menjadi tolak ukur sejauh mana keamanan Eropa dibentuk dan dibangun. Oleh karena kebijakan kemanan Jerman menjadi penentu di tingkat regional, dalam hal ini di level institusional UE. Cara memahami bahwa pengaruh ini berjalan dengan baik adalah ditunjukkan melalui empat hal, yaitu (1)Eropa secara keseluruhan memberi legitimasi baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Jerman menjadi pewakil UE di level global melalui penguatan Jerman sebagai regional power di Eropa, (2)Eropa memiliki cita-cita untuk menjadi “Vibrant Continent” di masa depan, dengan demikian Eropa menetapkan kebijakankebijakan yang secara mendasar kebijakan tersebut dipelopori oleh Jerman dan juga Prancis, terutama terkait Common Securit di Eropa, (3)UE memiliki cita-cita
untuk
menjadi
dasar
pembangun
keamanan
Eropa,
yaitu
“Constructive of European Security”, oleh karena itu UE melakukan langkahlangkah penting berupa mendorong penguatan terhadap pelaksanaan Politik Luar Negeri dan Politik Keamanan Bersama (PLNKB) UE dimana kebijakan ini lebih banyak diprakarsai oleh Jerman termasuk Prancis di bawah misi Perjanjian Elysee, dan (4)UE masih tetap membutuhkan NATO di Eropa, sehingga kerjasama yang dibangun antara UE dan NATO melalui representasi negara anggota atau representasi institusional UE menjadi lebih penting. Hal ini mengingat, Jerman dan Prancis adalah dua negara Eropa yang sangat kuat di UE dan NATO, termasuk Inggris. 30
K. Alur Tulisan Studi ini dirancang untuk menjelaskan kerangka dan metodologi yang akan digunakan di dalam penelitian ini. Hal tersebut disusun ke dalam latar belakang, rumusan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesis, jangkauan dan metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Metodologi penelitian disajikan dalam bentuk: (1)jenis penelitian, (2)teknik pengumpulan data, dan (3)teknik analisis data. Bab II Arsitektur Keamanan Regional Eropa: dari Perang Dingin ke Pasca Perang Dingin. Bab ini mengeksplorasi situasi arsitektur keamanan regional Eropa yang selanjutnya menjadi dasar konfigurasi geopolitik aktor-aktor berpengaruh di kawasan seperti ––Jerman, Prancis, Inggris, Rusia, UE dan NATO. Bab III Evolusi kebijakan keamanan Jerman: dari Perang Dingin ke Pasca Perang Dingin. Bab ini menganalisis situasi keamanan nasional Jerman, sumber kekuatan nasional yang bisa mempengaruhi pembuatan kebijakan keamanan nasional Jerman, dan melihat bagaimana pandangan strategis Jerman terhadap arsitektur keamanan regional Eropa. Pandangan tersebut pada akhrinya menjadi tolak ukur pelaksanaan strategi kebijakan keamanan Jerman di level regional yang berimplikasi pada arsitektur keamanan regional Eropa. Bab IV Konfigurasi Geopolitik Eropa: Jerman dan Arsitektur Keamanan Regional Eropa Pasca Perang Dingin. Bab ini menjawab inti dari pertanyaan penelitian, yaitu menganalisis bagaimana pengaruh Jerman dalam pembentukan arsitektur keamanan regional Eropa pada periode Pasca Perang Dingin. Dalam hal ini, menganalisis penggunaan “power” Jerman dalam melaksanakan strategi keamanannya tidak hanya di UE dan NATO, tetapi juga di Prancis dan Inggris, termasuk Rusia, yang mana kebijakan tersebut akhirnya berimplikasi pada wajah keamanan regional yang berujung pada stabilitas regional Eropa. Bab V Kesimpulan. Bab ini berisi bukti empiris untuk memperkuat bukti berdasarkan hipotesis penelitian, yaitu menyimpulkan pengaruh Jerman secara keseluruhan terhadap arsitektur keamanan regional Eropa yang berimplikasi pada penciptaan stabilitas regional Eropa pada periode Pasca Perang Dingin.
31