BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Narkotika diperlukan oleh manusia untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Narkotika berpengaruh terhadap fisik dan mental, apabila digunakan dengan dosis yang tepat dan dibawah pengawasan dokter anastesia atau dokter phsikiater dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan atau penelitian sehingga berguna bagi kesehatan phisik dan kejiwaan manusia. Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda. Bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar lagi bagi kehidupan dan nilai- nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional (Syamsul Hidayat , 2010:1) Dalam dasar menimbang Undang undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat
merugikan apabila disalahgunakan atau
digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis
1
1
akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakannya serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri. Artinya keinginan sangat kuat yang bersifat psikologis untuk mempergunakan obat tersebut secara terus menerus karena sebab-sebab emosional. Tindak pidana narkotika merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia sudah pada taraf yang sangat menghawatirkan, jika di amati berita-berita diberbagai media hampir setiap hari ada tindak pidana narkoba. Berikut adalah prevlensi pengguna narkoba di Indonesia dari tahun 2005-2015 : Tabel. 1.1 Prelevansi penyalagunaan narkoba di Indonesia tahun 2005-2015 Tahun
2005
2008
2011
2013
2015
Presentase
1.5%
1.99%
2.32%
2.56%
2.80%
Dari data tersebut terlihat bahwa pada tahun 2015 pe ngguna narkoba sudah mencapai 2.80%, ada kenaikan hampir dua kali lipat dalam 9 tahun terakhir (tahun 2005 prevalensi 1.5%). Hal ini mengindikasikan begitu mudah seseorang mendapatkan narkoba yang pada akhirnya akan mengancam dan merusak generasi sebagai penerus bangsa. Pemerintah menanggapi peningkatan penyalagunaan narkoba dengan Kejahatan Narkotika belakangan ini mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi dunia Internasional. Memasuki abad ke-20 perhatian dunia internasional terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satu dapat dilihat melalui Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961 (Kusno Adi, 2009:30). Dunia Internasional sekarang ini belum memberika perhatian khusus terhadap kejahatan penyalagunaan narkoba, karena menurut PBB itu bukalan kejahatan serius. The consequences of Indonesia’s participation in the
2
Narcotic Drugs and Psychotropic Substances Co nvention in order to take more strict national measures in legally eradicating Narcotics crimes shall have a higher degree of binding force in the light of international law sources, as regulated in Article 38 Paragraph (1) of the Statute of International Court of Justice than the opinion of the Human Rights Commission of the United Nations to the effect that crimes related to the drugs abuse do not belong to the category of the most serious crimes (Patrick Gallahue and others. 2012 : 11) Masalah penyalahgunaan narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena Indonesia yang terletak pada posisi di antara tiga benua dan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai matrialistis dengan dinamika sasaran opini peredaran gelap. Masyarakat Indonesia bahkan masyarakat dunia pada umumnya saat ini sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat maraknya pemakaian secara illegal bermacam - macam jenis narkotika. Kekhawatiran ini semakin di pertajam akibat maraknya peredaran gelap narkotika yang telah merebak di segala lapisan masyarakat, termasuk di kalangan generasi muda. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara pada masa mendatang. Beberapa perkara tindak pidana narkotika telah diputus secara tegas dengan hukuman mati. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak pengedar dan pengguna narkotika yang masih bebas diluar sana dan lolos dari jeratan hukum. Dalam perkara Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK, Terdakwa tindak pidana narkotika pada tingkat Banding diputus lebih berat daripada putusan sebelumnya. Di Pengadilan Negeri Yogyakarta, Terdakwa hanya diputus “Dengan Sengaja Tidak Melapor Adanya Tindak Pidana” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Sedangkan di tingkat Banding Terdakwa diputus melakukan tindak pidana “Tanpa Hak Atau Melawan Hukum Memiliki , Menyimpan, Menguasai Atau Menyediakan Narkotika Golongan I Dalam Bentuk
3
Tanaman” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan uraian diatas maka Penulis tertarik untuk melakukan peninjauan lebih mendalam dengan melakukan penulisan penelitian hukum dengan judul “Argume ntasi Hukum Penuntut Umum Mengajukan Upaya Banding Dan Implikasi Putusan Diterima Dengan Menjatuhkan Pidana Kepada Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/Pid.Sus/2015/Pt YYK)”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis dapat mengambil beerapa permasalahan yang akan dirumuskan untuk mempermudah penulis dalam mengkaji masalah yang diangkat serta dapat mencapai tujuan yang diinginkan dalam penulisan hukum (skripsi) ini. Rumusan masalah yang akan dikaji penulis tersebut adalah : 1. Apakah argumentasi hukum Penuntut Umum mengajukan upaya Banding telah sesuai dengan KUHAP? 2. Apakah pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi menerima dan menjatuhkan sanksi pidana kepada Terdakwa sesuai dengan KUHAP?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a. Mengetahui
argumentasi
hukum
Penuntut
Umum
mengajukan upaya Banding terhadap putusan Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK sudah sesuai atau tidak dengan KUHAP.
4
b. Mengetahui
implikasi
putusan
diterima
dengan
menjatuhkan pidana kepada terdakwa pelaku tindak pidana narkotika terhadap putusan Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK sudah sesuai atau tidak dengan KUHAP. 2. Tujuan Subyektif a. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis di bidang ilmu hukum khususnya dalam bidang Hukum Acara Pidana. b. Menerapkan ilmu dan pemikiran mengenai Hukum Acara Pidana
yang
telah
Penulis
pelajari
selama
masa
perkuliahan. c. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata 1 (Sarjana) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Dalam setiap penelitian yang dilakukan diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diperoleh dari sebuah penelitian baik manfaat bagi Penulis maupun manfaat bagi orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu: 1.
Manfaat Teoritis
a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat serta berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Acara Pidana pada khususnya
b.
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat
memperkaya bahan
pengajaran, literature dan referensi serta sebagai sarana untuk memecahkan permasalahan yang terjadi. c.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi penelitian hukum selanjutnya.
5
2.
Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran atas permasalahan atas permasalahan yang diteliti. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan wahana bagi penulis dalam mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir yang sistematis, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan Ilmu Hukum yang diperoleh penulis selama Penulis menimba Ilmu di bangku perkuliahan. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian sejenis selanjutnya.
E. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu kegiatan know how dalam ilmu Hukum. Bahwa sebagai suatu kegiatan yang bersifat know-how, maka tujuan dari adanya penelitian hukum adalah untuk untuk memecahkan permasalahan-permasalahan hukum yang dihadapi. Oleh karena tujuannya adalah untutk memecahkan permasalahan hukum yang dihadapi maka dibutuhkanlah kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum yang ada, melakukan penalaran hukum, serta menganalisis yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan atas permasalahan tersebut. (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 60). (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 55-56). Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecaan atas masalah tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2014 : 60). Berdasarkan uraian diatas untuk mencapai tujuan dari penelitian hukum
yaitu
untuk
menghasilkan
suatu
argumentasi
terhadap
permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi maka diperlukanlah suatu metode penelitian. Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini:
6
a. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang penulis gunakan dalam menyusun penelitian hukum ini adalah penelitian hukum doktrinal atau normatif. Bahwa terkait dengan penelitian hukum doktrinal atau normatif ini, Peter Mahmud Marzuki memberikan pendapat, bahwa menurutnya semua penelitian yang berkaitan dengan hukum (legal research) adalah selalu normatif. Jika tipe penelitian harus dinyatakan dalam suatu tulisan cukup dikemukakan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan adanya pernyataan demikian maka sudah jelas bahwa penelitian tersebut adalah bersifat normatif. Hanya saja pendekatan dan bahan-bahan hukum yang digunakan harus dikemukakan. Jenis penelitian hukum normatif yang dipilih leh penulis telah sesuai dengan objek kajian atau isu hukum yang diangkat untuk menghasilkan argumentasi. b. Sifat Penelitian Penelitian hukum ini bersifat preskriptif. Hal tersebut timbul dari hasil telaah yang dilakukan dan dapat melahirkan preskripsi yang dapat diterapkan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai- nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma- norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 22). c. Pendekatan Penelitian Bahwa di dalam penelitian hukum, terdapat berbagai macam pendekatan yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Menurut Peter Mahmud Marzuki (2014: 133) pendekatanpendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang- undang (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
7
Bahwa pendekatan yang akan digunakan penulis daam penelitian hukum ini adalah pendekatan kasus (case approach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus ini adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. Baik untuk keperluan praktik maupun untuk kajian akademis, ratio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum. (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 134). d. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai berikut: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas.Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan perundang- undangan dan putusan
hakim (Peter
Mahmud Maruki, 2010: 141). Adapun bahan-bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini ialah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke IV 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana; 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana; 4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
8
6. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 7. Putusan
Pengadilan
Negeri
Yoyakarta
Nomor:
445/PID.SUS/2014/PN.Yyk; 8. Putusan
Pengadilan
Tinggi
Yogyakarta
Nomor
:
12/PID.SUS/2015/PT YYK. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.Publikasi tentang hukum meliputi bukubuku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnak hukum, dan komentar-komentar atas putusan (Peter Mahmud Maruki, 2010: 141). 1. Buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum; 2. Jurnal-jurnal hukum; 3. Artikel; dan 4. Bahan dari media internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. Bahan hukum tersebut kemudian dipelajari, dikaji, dianalisis, dan digunakan sebagai dasar untuk menjawab permasalahan hukum yang akan diteliti. f. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode deduksi.Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor.Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 47).
9
Adapun dalam penulisan hukum ini, yang dimaksud sebagai premis mayor yang sifatnya umum ialah aturan hukum dalam KUHAP. Sedangkan yang dimaksud sebagai premis minor yang bersifat khusus ialah fakta hukum dalam Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK. Dari kedua premis tersebut, maka akan dapat ditarik kesimpulan untuk dapat menjawab isu hukumnya.
F. Sistematika Penulisan Hukum Dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta untuk memberikan pemahaman terkait seluruh isi dalam penulisan hukum ini, maka penulis akan menjabarkannya ke dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana di setiap bab akan dibagi ke dalam beberapa sub bagian untu mempermudah pemahaman mengenai isi dari penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum sebagai berikut : BAB I :
PENDAHULUAN Pada bab ini penulis akan menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum (skripsi).
BAB II :
TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan hukum yang penulis gunakan dan doktrin ilmu hukum yang dianut secara universal mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang hakim, tinjauan tentang penuntut umum, tinjauan tentang banding, tinjauan tentang putusan dan tinjauan tentang tindak pidana
10
narkotika. Selain itu dalam bab ini juga akan dilengkapi dengan kerangka pemikiran untuk memberikan pemahaman mengenai alur berfikir penulis. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab
ini penulis akan menguraikan
mengenai
pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Bahwa berdasarkan rumusan masalah, terdapat dua pokok masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu: argumentasi hukum Penuntut Umum mengajukan upaya Banding terhadap putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK sudah sesuai atau tidak dengan KUHAP dan implikasi putusan diterima dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa pelaku tindak pidana narkotika terhadap putusan Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK sudah sesuai atau tidak dengan Pasal 183 Jo. Pasal 143 ayat (1) KUHAP. BAB IV : PENUTUP Pada bab ini penulis akan menguraikan kesimpulan dan saran terkait dengan permasalahan yang diteliti. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Jaksa Penuntut Umum a. Pengertian Kejaksaan Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang (Marwan Effendy, 2007:127). Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum,
12
12
karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive
ambrenaar).
Undang-Undang
Kejaksaan
memperkuat kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. b. Pengertian Penuntut Umum Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (KUHAP Pasal 1 butir 6a). Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim (KUHAP Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13) Jaksa adalah jabatan, bahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, menambahkan kata-kata jabatan fungsional. Jadi, Jaksa yang melaksanakan tugas penuntutan atau penyidangan perkara berdasar surat perintah yang sah itu disebut Penuntut Umum. Apabila tugas penuntutan selesai dilaksanakan, maka yang bersangkutan jabatannya adalah Jaksa. Untuk menjadi Penuntut Umum maka yang bersangkutan harus berstatus Jaksa (Bambang Waluyo, 2008:57).
13
c. Wewenang Penuntut Umum Kewenangan Penuntut Umum secara normatif dirumuskan oleh KUHAP mealui Pasal 14, yaitu: 1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan Penyidik atau Penyidik Pembantu; 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari Penyidik; 3. Memberikan
perpanjangan
penahanan,
melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik; 4. Membuat surat dakwaan; 5. Melimpahkan perkara ke pengadilan; 6. Menyampaikan
pemberitahuan
kepada
terdakwa
tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7. Melakukan penuntutan; 8. Menutup perkara demi kepentingan hukum; 9. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-undang ini; 10. Melaksanakan menetapan Hakim. 2. Tinjauan tentang Upaya Banding Putusan yang diambil peradilan tingkat banding adalah “putusan tingkat kedua dan tingkat terakhir”. Pengadilan Tinggi sebagai institusi peradilan tingkat banding merupakan “instansi”
14
peradilan “tingkat kedua dan terakhir”. Secara institusional, putusan tingkat terakhir peradilan adalah wewenang peradilan tingkat banding, sedang Mahkamah Agung adalah instansi peradilan kasasi terhadap putusan tingkat terakhir dari instansi peradilan yang lain (M. Yahya Harahap, 2010:449) Pemeriksaan banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan peradilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding (M. Yahya Harahap, 2010: 450). Upaya banding yang secara formal dibenarkan undangundang merupakan upaya hukum biasa, bukan upaya hukum luar biasa. Prosedur dan proses pemeriksaan tingkat banding adalah pemeriksaan yang secara umum dan konvensional dapat diajukan terhadap setiap putusan peradilan tingkat pertama tanpa kecuali, sepanjang hal itu diajukan terhadap putusan yang dapat dibanding seperti yanG ditenTukan Pasal 67 Jo. Pasal 233 ayat (1) KUHAP (M. Yahya Harahap, 2010: 450). Menurut M. Yahya Harahap (2012: 453) bahwa alasan permintaan banding dapat diperinci sebagai berikut: (1) Dapat Dikemukakan Pemohon “Secara Umum”; (2) Dapat Dikemukakan “Secara Terperinci”; (3) Permintaan Banding Dapat Ditujukan Terhadap “Hal Tertentu”. Selain itu permintaan banding yang diajukan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, dapat menimbulkan beberapa akibat hukum, antara lain (M. Yahya Harahap, 2012: 453-455): (1) Putusan menjadi mentah kembali; (2) Segala sesuatu beralih menjadi tanggung jawab yuridis pengadilan tingkat banding; (3) Putusan yang dibanding eksekusi.
tidak
mempunyai daya
15
3. Tinjauan Tentang Putusan a.
Pengertian Putusan Pengertian putusan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1
angka 11 KUHAP yaitu pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan menurut M. Yahya Harahap (2012:347) putusan adalah hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Sebagaimana penjelasan di atas, putusan merupakan hasil permusyawaratan Majelis Hakim, adapun mekanisme pengaturan pemusyawaratan yang dilakukan oleh Majelis Hakim diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang isinya musyawarah yang dilakukan Majelis Hakim tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Selanjutnya dalam Pasal 182 ayat (5) KUHAP yang menjelaskan bahwa musyawarah diawali dengan Hakim Ketua Majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang termuda sampai
Hakim
yang
tertua,
sedangkan
yang
terakhir
mengemukakan pendapatnya adalah Hakim Ketua Majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya. Pasal 182 ayat (6) KUHAP mengatur bahwa pada asasnya keputusan
dalam
musyawarah
majelis
merupakan
hasil
permufakatan bulat kecuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: 1) Putusan diambil dengan suara yang terbanyak;
16
2) Jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Pendapat yang berbeda atau yang tidak dijadikan putusan tetap harus dimuat dalam putusan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran putusan Hakim dalam suatu perkara pidana sangat penting karena dari putusan Hakim itulah yang menentukan apakah yang didakwakan terhadap Terdakwa di persidangan oleh Penuntut Umum terbukti atau tidak. Oleh karena itu dalam menjatuhkan putusan, seorang Hakim harus jujur, bijak dan arif, adil, mandiri, profesional, dan bertanggung jawab serta harus independen tidak terpengaruh dari pihak manapun. Selain mengenai substansi isi materi dalam putusan, Hakim juga harus berhati- hati dan cermat dalam membuat putusan agar tidak melanggar aturan mengenai tentang tata cara pengucapan putusan dan bentuk-bentuk putusan pengadilan. Seperti yang diatur dalam Pasal 195 KUHAP semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Akibat dari tidak terpenuhinya aturan tersebut adalah putusannya tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat serta putusan itu batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Syarat Formil Putusan Dalam KUHAP diatur mengenai syarat suatu putusan agar sah dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam suatu putusan Hakim dalam perkara pidana adalah: 1) Memuat hal- hal yang diperintahkan oleh KUHAP sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP dan Pasal
17
50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; 2) Harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP). Pasal 197 ayat (1) huruf a sampai l KUHAP mengatur mengenai hal- hal yang harus diperhatikan agar putusan tidak batal demi hukum yaitu (M. Yahya Harahap, 2012: 359-370): a) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN
YANG MAHA ESA” Hukum ditegakkan bukan atas nama hukum atau penguasa, tetapi atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini berkaitan dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu keadilan berdasarkan keTuhanan. b) Identitas Terdakwa Dalam
putusan
harus
diuraikan
identitas
terdakwa secara jelas dan terang guna menjamin kepastian hukum bahwa orang yang dijatuhi pidana adalah terdakwa yang sedang diadili. Identitas terdakwa ini meliputi: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan Penuntut Umum Pasal 197 ayat (1) huruf c mengatur bahwa putusan memuat keseluruhan isi surat dakwaan yang dibuat Penuntut Umum. d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan Terdakwa
18
Fakta dan keadaan harus diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Fakta atau keadaan yang “memberatkan” atau “meringankan” terdakwa harus jelas diungkapkan dalam uraian pertimbangan putusan. e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan Kesimpulan tuntutan pidana atau rekuisitor Penuntut Umum ditempatkan antara uraian identitas terdakwa dengan surat dakwaan. Dasar-dasar hukum alasan
kesimpulan
tuntutan
pidana
diuraikan
serangkaian dengan pertimbangan fakta dan keadaan serta alat pembuktian. f) Pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan Putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar
hukum
putusan,
disertai
keadaan
yang
memberatkan dan yang meringankan. g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah Majelis Hakim kecuali perkara diperiksa oleh Hakim Tunggal Pasal 197 ayat (1) huruf g mengatur bahwa putusan pengadilan negeri harus memuat tanggal hari musyawarah
dan
tanggal
hari
pengucapan
pengumuman putusan. h) Pernyataan kesalahan Terdakwa Pernyataan
kesalahan
terdakwa
berupa
penegasan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan
19
tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i) Pembebanan biaya perkara dan penentuan barang bukti Ketentuan
kepada
siapa
biaya
perkara
dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j) Penjelasan tentang surat palsu Jika dalam persidangan ditemukan kepalsuan surat autentik yang ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan, kepalsuan itu dijelaskan dalam putusan, dimana letaknya kepalsuan itu. k) Perintah supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan l) Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama Hakim yang memutus dan nama panitera. Apabila dalam suatu putusan ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP ini tidak dipenuhi maka mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Hal ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 197 ayat (2) yang berbunyi “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Betapa besarnya dampak yang ditimbulkan apabila suatu putusan tidak memuat ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l KUHAP sehingga putusan yang dilahirkan tidak mempunyai kekuatan hukum dan daya eksekusi,
yang mengakibatkan
keadaan Terdakwa kembali seperti semula seperti sebelum didakwa.
20
c. Bentuk-bentuk Putusan Ada bermacam- macam bentuk
putusan
yang
dapat
dijatuhkan oleh Hakim terhadap perkara pidana yang diperiksanya. Perbedaan bentuk-bentuk putusan bisa saja dipengaruhi oleh penilaian Hakim terhadap apa yang didakwakan dalam surat dakwaan apakah memang terbukti, atau mungkin juga Hakim menilai apa yang didakwakan terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, tapi termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau termasuk tindak pidana aduan (klacht delik). Atau menurut mereka tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali (M.Yahya Harahap, 2012: 347). Melihat kemungkinan-kemungkinan hasil penilaian diatas, putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, dapat dikelompokkan bentuknya sebagai berikut: 1) Putusan Bebas Putusan bebas, berarti Terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan
hukum
(vrijspraak) atau acquittal. Pengertian Terdakwa diputus bebas, Terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, dalam arti dibebaskan dari pemidaan. Tegasnya terdakwa “tidak dipidana” (M.Yahya Harahap, 2012: 347). Putusan bebas dapat dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Jika ditinjau dari segi yuridis, putusan bebas adalah putusan yang tidak memenuhi asas pembuktian menurut undangundang secara negatif dan tidak
memenuhi asas batas
minimum
pembuktian. 2) Putusan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum
21
Dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP disebutkan jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka Terdakwa diputus dari segala tuntutan hukum. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum yaitu perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti secara sah menurut segi pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Akan tetapi perbuatan yang didakwakan tersebut bukan merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam KUHP dan terdapat keadaankeadaan yang istimewa yang menyebabkan Terdakwa tidak dapat dihukum, misalnya dikarenakan adanya alasan pemaaf sebagaimana terdapat dalam Pasal 44, 48, 49, 50, 51 KUHP (Leden Marpaung, 2011: 135). 3) Putusan Pemidanaan Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP putusan pemidanaan dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa
bersalah
melakukan
tindak
pidana
yang
didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Putusan pemidanaan adalah Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012: 354). Putusan
ini
dijatuhkan
karena
berdasarkan
pembuktian di persidangan dengan didukung dengan sedikitnya dua alat bukti sebagaimana terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, ternyata dapat diketahui bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Sehingga hal tersebut
22
memberikan keyakinan kepada Majelis Hakim pemeriksa perkara bahwa Terdakwalah pelaku tindak pidana. 4) Putusan Tidak Berwenang Mengadili Putusan yang bentuknya adalah penetapan tidak berwenang mengadili didasarkan pada Pasal 147 KUHAP yaitu setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara dari Penuntut Umum, Ketua Pengadilan Negeri mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya atau bukan. Apabila ternyata perkara yang dilimpahkan Penuntut Umum bukan wewenang pengadilan yang dipimpinnya, Pasal 148 KUHAP telah memberi pedoman kepada Pengadilan Negeri untuk menyerahkan pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan yang dianggap berwenang mengadilinya, dengan cara Ketua Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara tersebut mengeluarkan surat penetapan berisi pernyataan tidak bewenang mengadili yang disertai alasannya (M. Yahya Harahap, 2012: 357-358). 5) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima Penjatuhan putusan yang menyatakan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima berpedoman kepada Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Menurut Leden Marpaung (2011: 134) putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima karena terdapat beberapa alasan, yaitu: a) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan, tidak ada (delik pengaduan); b) Perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa, telah pernah diadili (nebis in idem); c) Hak
untuk
penuntutan
daluwarsa (verjaring).
telah
hilang
karena
23
6) Putusan yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum Putusan ini dijatuhkan ketika dakwaan yang diajukan Penuntut Umum tidak memenuhi syarat sebagai diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai indak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak
pidana
itu
dilakukan. Dasar hukumnya adalah Pasal 143 ayat (3) KUHAP yang bunyinya “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Atau bisa juga surat dakwaan dinyatakan batal, apabila Penuntut Umum melanggar ketentuan Pasal 144 KUHAP (M. Yahya Harahap, 2012: 359). 4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Narkotika a. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang dan
mempunyai
ancaman
sanksi
pidana
bagi
yang
melanggarnya. Dalam RUU KUHP 2008 pada Pasal 15 ayat (1), menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan ses uatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”. Tindak Pidana berasal dari istilah dalam Hukum Pidana Belanda yaitu “strafbaarfeit”, yang terdiri dari 3 kata yaitu straf, baar dan feit. “Straf” berarti pidana, “baar” berarti dapat atau boleh, “feit” adalah pebuatan (Adami Chazawi, 2002; 69). Menjelaskan bahwa Tindak Pidana/strafbaarfeit adalah “Suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan lainnya,
24
terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman (Adami Chazawi, 2002: 72). Pompe (dalam P.A.F Lamintang, 1984; 173).memberi definisi tindak pidana/ strafbaarfeit sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang denga n sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum Sedangkan syarat-syarat dari Tindak Pidana Tersebut adalah dipenuhi unsur dari semua delik seperti dalam rumusan delik
Dapat
dipertanggung
jawabkannya
pelaku
atas
perbuatannya Tindakan pelaku tersebut dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja pelaku tersebut dapat dihukum (P.A.F Lamintang, 1997;187). Mengenai unsur-unsur tindak pidana terdapat beberapa pendapat yang berbeda antara lain menurut Soedarto, beliau mengatakan bahwa pertanyaan unsur- unsur tindak pidana tidak mempunyai arti penting atau prinsipiil bagi hukum pidana material, yang penting adalah untuk hukum acara pidana atau hukum pidana formal yaitu syarat penuntutan dan bersangut paut dengan itu, maka unsur-unsur dalam rumusan peraturan pidana itu harus dituduhkan dan dibuktikan (Soedarto, 1990; 50). Unsur-unsur tindak pidana itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua segi, yaitu: 1) Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah yang melekat pada diri pelaku atau berhuungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur subjektif tindak pidana meliputi: a. Kesengajaan
25
b. Niat atau maksud dengan segala bentuknya c.
Ada atau tidaknya perencanaan
d.
Adanya perasaan takut.
2) Unsur Objektif Unsur objektif dari tindak pidana adalah hal- hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah, yaitu dalam keadaan mana tindak pelaku itu dilakukan, dan berada diluar batin si pelaku. Unsur objektif tindak pidana meliputi: 3) Sifat melanggar hukum 4) Kualitas si pelaku 5) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab yaitu tindakan dengan akibatnya b. Pengertian Tindak Pidana Narkotika Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa
nyeri,
dan
dapat
menimbulkan
ketergantungan. Narkotika adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) (Dharana Lastarya, 2006:15). Narkotika adalah bahan/zat/obat yang umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psik is, dan sosial. Napza sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang
26
bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran (Erwin Mappaseng, 2002:2). Beberapa jenis narkotika yang sering disalahgunakan adalah sebagai berikut (Erwin Mappaseng, 2002:3): a. Narkotika Golongan I Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai
potensi
sangat
tinggi
menimbulkan
ketergantungan, (contoh: heroin/putaw, kokain, ganja). b. Narkotika Golongan II Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai
potensi
tinggi
mengakibatkan
ketergantungan (Contoh, morfin, petidin). c. Narkotika Golongan III Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
ringan
mengakibatkan ketergantungan (Contoh: Kodein) Berdasarkan pasal Undang-Undang Narkotika diketahui bahwa pelaku tindak pidana narkoba diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana narkotika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok sekaligus, misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan pidana denda.
27
Pengaturan mengenai tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di antaranya sebagai berikut : Pasal 111 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (Empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melibihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidanan denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
28
Pasal 113 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, d ipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
29
Selanjutnya dalam ketentuan pidana Pasal 127 UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dinyatakan bahwa : (1) Setiap Penyalahguna : a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika Golongan II bagi sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 103. (3) Dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi social.
30
B. Kerangka Pemikiran
Perkara Tindak Pidana Narkotika
Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Yogyakarta
Putusan Dengan Sengaja Tidak Melapor Adanya Tindak Pidana Narkotika
Putusan
Upaya Hukum Banding
-
Argumentasi Hukum Penuntut Umum Mengajukan Upaya Banding
Dikabulkan
Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK
Implikasi Putusan Diterima Dengan Menjatuhkan Pidana Kepada Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran
31
Penjelasan Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran di atas, menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini, yaitu mengenai Argumentasi Hukum Penuntut Umum Mengajukan Upaya Banding Dan Implikasi Putusan Diterima Dengan Menjatuhkan Pidana Kepada Terdakwa Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor : 12/Pid.Sus/2015/Pt YYK). Bahwa terdakwa dalam perkara tindak pidana narkotika ini pada Pengadilan Negeri Yogyakarta diputus “Dengan Sengaja Tidak Melapor Adanya Tindak Pidana” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan dijatuhi pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Kemudian Penuntut Umum mengajukan permohonan Banding ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta karena merasa belum memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan menjelaskan hal- hal yang menjadi alasan pengajuan upaya hukum banding. Oleh karena alasan yang telah diajukan, maka Penuntut Umum mengajukan tuntutan bahwa Terdakwa melakukan tindak pidana “Tanpa Hak Atau Melawan Hukum Memiliki , Menyimpan, Menguasai Atau Menyediakan Narkotika Golongan I Dalam Bentuk Tanaman” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Berdasarkan alasan yang diuraikan oleh Penuntut Umum, Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta mengabulkan permintaan Banding dan membatalkan putusan sebelumnya dalam perkara ini. Dalam putusannya, Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta menyatakan bahwa Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang telah Penuntut Umum ajukan dalam memori Banding. Sehingga Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan 6 (enam) bulan serta denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).
32
Dari perbedaan putusan yang dijatuhkan kepada Terdakwa antara Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Pengadilan Tinggi Yogyakarta maka diketahui adanya argumentasi hukum Penuntut Umum yang menjadi pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta. Selain itu juga terdapat implikasi putusan diterima dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa pelaku tindak pidana Narkotika sehingga penulis memandang perlu adanya suatu kajian yang lebih mendalam terhadap putusan Nomor : 12/PID.SUS/2015/PT YYK.
33