BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Permasalahan Anak-anak adalah masa yang penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Manusia pada masa ini sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Anakanak cenderung untuk mencontoh dan meniru dari pengalaman serta apa yang mereka lihat. Seseorang pada masa ini dapat diibaratkan sebagai kertas kosong yang siap untuk diisi dengan tulisan sesuai dengan kehendak penulis dalam hal ini lebih dominan pada orang tua. Seseorang dalam masa ini dapat menjadi baik atau buruk dengan mudahnya tergantung pada cara mendidik orang tuanya. Anak seharusnya diberikan contoh yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga akan menjadikan anak yang lebih baik. John Locke menjelaskan bahwa segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Akal (rasio) adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semua akal serupa dengan secarik kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Satu-satunya sasaran atau obyek pengetahuan adalah gagasan- gagasan atau ide-ide, yang timbul karena pengalaman
lahiriah
(sensation)
dan
pengalaman
batiniah
(reflection).
Pengalaman lahiriah mengajarkan kepada manusia tentang hal-hal yang diluar
1
2
manusia, sedangkan pengalaman batiniah mengajarkan tentang keadaan psikis manusia sendiri (Hadiwijono, 2005: 36). Dwi Putro Widodo staf neurologi anak RSUPN Cipto Mangunkususmo Jakarta, menjelaskan otak berkembang sesuai tahapan tertentu untuk mencapai taraf kesempurnaan atau kematangan, yaitu saat otak sudah dapat menalankan fungsinya dengan baik. Dengan demikian kecerdasan akan langsung terpengaruh jika otak berkembang tidak sempurna. Dwi Putro kemudian menjelaskan bahwa sesungguhnya perkembangan otak dipengaruhi oleh dua faktor penting yang saling mendukung, yaitu faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik tidak dapat diketahui dan tidak dapat direkayasa, maka yang paling mudah adalah memanipulasi lingkungan untuk mengoptimalkan kemampuan otak anak. Rekayasa lingkungan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kecerdasan anak, salah satu cara yang dapat digunakan untuk melakukan stimulasi otak agar aktif bekerja adalah dengan cara membacakan buku pada anak dalam suasana yang menyenangkan (Ayahbunda, 1999: 72-73). Piaget dan Kohlberg menjelaskan perkembangan moral berhubungan dengan aspek perkembangan lain terutama kognitif. Seseorang bila telah mencapai kematangan kecerdasan seharusnya perkembangan moral juga mengalami kematangan (Nakita, 17 Agustus 2009). Dongeng merupakan salah usaha untuk mengoptimalkan perkembangan moral pada anak untuk mencapai kematangan. Dongeng anak diperkenalkan pada moral melalui dunia imajinasi. Imajinasi ini memuat nilai-nilai dan norma-norma sebagai upaya pengembangan aspek moral pada anak (Ayahbunda, 7 Desember 2009). Dongeng ini dapat
3
dilakukan sebagai pengantar sebelum anak tidur. Karena ketika tidur penanaman moral yang diberikan saat dongeng akan terekam dan terinternalisasi sebanyak 75 % (Anakku, Januari 2008). Pendidikan pada anak dapat dilakukan melalui hal-hal yang dapat menarik minat anak tersebut, permainan tradisional pada anak misalnya biasanya mengajarkan toleransi dan kerjasama. Metode pengajaran lainnya yang juga diminati oleh anak yaitu melalui ceritra/ dongeng. Dongeng pada jaman dahulu biasanya diceritrakan untuk mengisi waktu luang atau untuk ceritra pengantar tidur. Saat ini seiring dengan perkembangan dunia pendidikan dongeng juga sering disampaikan disekolah khususnya Taman Kanak- kanak (TK) sebagai salah satu sarana pengajaran. Dongeng peminatnya secara langsung saat ini semakin berkurang, akan tetapi saat ini dongeng berfungsi sebagai kerangka cerita begitu banyak film maupun buku. Dongeng yang telah diadaptasi dalam bentuk lain tentu juga mengalami modifikasi dalam jalan ceritanya sehinggga seringkali seseorang membaca dongeng dengan versi yang berbeda. Dongeng yang telah mengalami perkembangan seringkali kehilangan elemen yang menghubungkannya sehingga dongeng tersebut tidak dikenal lagi sebagaimana aslinya. Dongeng anak yang cukup populer di dunia anak Indonesia adalah dongeng fabel tentang kancil (yang di daerah melayu sering disebut dengan pelanduk). Dongeng kancil selalu ditunggu oleh anak karena tokoh kancil dalam dongeng adalah binatang yang cerdik dan memiliki banyak akal saat dihadapkan dengan situasi yang kurang menguntungkan. Dongeng kancil sendiri terus
4
berkembang dari dulu hingga sekarang dengan jalan ceritra yang sudah dimodifikasi tetapi pada umumnya masih memiliki isi ceritra yang sama. Dongeng kancil di Indonesia sudah menjadi salah satu cerita yang merakyat dan memiliki posisi tersendiri di kalangan masyarakat. Cerita yang diangkat dalam dongeng kancil sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari yang dialami oleh masyarakat bahkan dalam salah satu cerita kancil mempergunakan latar belakang daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Isi cerita yang ditampilkan tidak semata-mata
menyuguhkan tentang
hiburan
semata,
cerita
kancil
juga
menampilkan masalah-masalah moral dan tuntunan hidup yang diangkat secara ringan. Ajaran-ajaran moral yang ada dalam dongeng kancil membuat tokoh utama dalam dongeng ini yaitu kancil sangat dekat dengan gambaran tokoh yang baik. Penyampai cerita seringkali menjadikan tokoh kancil sebagai contoh dan panutan bagi para pendengar maupun pembaca yang biasanya didominasi oleh kalangan anak-anak.
Penyampaian cerita yang mengagungkan tokoh kancil
membuatnya sering dijadikan idola oleh anak-anak. Ketertarikan anak-anak terhadap tokoh kancil yang berlebih-lebihan menjadikan hal ini tidak baik. Anakanak memiliki kecenderungan untuk melakukan imitasi terhadap tokoh yang idolakannya. Tokoh kancil yang menjadi gambaran tokoh binatang baik sudah sangat melekat di benak masyarakat. Dongeng tentang kancil juga sangat dekat dengan dongeng yang mengajarkan tentang kebaikan. Masyarakat seringkali terkesan tidak perduli lagi dengan ajaran yang disampaikan dalam dongeng kancil, hal ini
5
dikarenakan masyarakat sudah terlanjur mengamini pernyataan bahwa dongeng kancil adalah dongeng yang baik untuk anak-anak. Dongeng kancil memang selalu mengangkat cerita yang berisikan tentang ajaran moral, tetapi tokoh kancil dalam dongeng itu sendiri tidak selamanya berkelakuan baik. Tokoh kancil dalam dongeng terkadang juga melakukan perbuatan yang tidak baik contohnya: mencuri, membunuh, berbohong. Perilaku tokoh kancil yang semacam ini perlu pembahasan yang lebih lanjut untuk menghindari kesalahpahaman dikemudian hari. Pranoto (2011) menjelaskan pada tahun-tahun terakhir masih banyak kasus pada anak dengan berbagai perilaku yang menunjukkan kualitas moral yang rendah seperti kebohongan, licik, egois, dan melakukan kekerasan kepada teman yang lemah atau yang sekarang familiar dengan istilah bullying. Anak-anak tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang diwarnai oleh pelanggaran terhadap hak orang lain, kekerasan, pemaksaan, ketidakpedulian, kerancuan antara benar dan salah, baik dan tidak baik, perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Anak-anak sangat memerlukan pengalaman terhadap pengetahuan tentang apa yang disebut perbuatan benar dan salah. Keputusan untuk membuat penilaian tentang benar dan salah merupakan salah satu bagian dari moral judgement (pertimbangan moral). Menurut Sarbaini (2012) moral judgement merupakan manifestasi untuk membuat kesimpulan atau keputusan tentang sesuatu, baik yang berkaitan dengan berbagai dilema/konflik moral antara hal yang harus menjadi
6
kenyataan, maupun yang berhubungan pula dengan pihak lain, antara lain Tuhan, manusia lain dan diri sendiri. Salah satu buku induk yang mengangkat tentang dongeng kancil adalah “Hikayat Pelanduk Jinaka”. Buku ini adalah dongeng tentang kancil pertama yang tidak menggunakan bahasa jawa melainkan menggunakan bahasa melayu. Buku Cerita dalam buku ini pernah diterbitkan sebagai buku bacaan bagi muridmurid sekolah Gubernemen (Pemerintah Belanda) pada tahun 1980 oleh H.C. Klinkert. Hikayat Pelanduk Jinaka menjadi salah satu bukti berkembangnya dongeng kancil. Dongeng kancil tidak hanya dinikmati oleh masyarakat jawa tetapi juga oleh masyarakat melayu bahkan hingga ke Eropa khususnya Belanda. Ada sebuah ketertarikan sendiri dalam dongeng kancil untuk dijadikan objek material dalam penulisan ini. Dongeng kancil yang menjadi objek material ini mengacu pada “hikayat pelanduk jinaka” yang merupakan transliterasi utuh H.C. Klinkert tahun 1893 hikayat ini menjadi salah satu acuan cerita-cerita kancil hingga menjadi berbagai versi hingga saat ini. Penulis menggunakan pisau analisis etika Max Scheler untuk membedah dongeng kancil tersebut. Max Scheler seperti yang kita tahu memiliki konsep etika yang menitik beratkan pada keterbukjaan cinta terhadap orang lain.. Pemikiran Max Scheler ini dirasa dapat menguraikan permasalahan dalam dongeng ini secara terperinci sehingga efek yang mungkin ditimbulkan bagi konsumen dongeng ini dapat jelas terlihat. .
2.
Perumusan Masalah
7
Dengan berpijak pada latar belakang di atas, maka penulis merumuskan persoalan tersebut sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sejarah kemunculan dongeng Hikayat Pelanduk Jinaka? 2. Apa konsep Etika Max Scheler? 3. Bagaimana pandangan etika Max Scheler dalam Dongeng Hikayat Pelanduk Jinaka?
3. Keaslian Penelitian Penulis belum menemukan tulisan atau buku-buku yang membahas judul tersebut secara terperinci.penulis menemukan beberapa tulisan yang juga membahas dari beberapa sudut pandang lain. Tulisan-tulisan tersebut antara lain adalah: a) Bambang Edy Prayitno, 1982, Latar Belakang Pemikiran Filsafat dalam Dongeng Kancil di Indonesia, skripsi Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini berisikan tentang unsur-unsur filsafat yang ada dalam dongeng kancil. b) Setyowati, 2006, Analisis Nilai Moral Serat Kancil Salokadarma, Skripsi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Skripsi ini memaparkan tentang nilai-nilai moral yang ada dalam Serat Kancil Salokadarma. c) Aprinus Salam, 2014, Dongeng Kancil dan Kemungkinan Implikasi Budayanya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada. Penilitian
8
ini tentang implikasi-implikasi yang mungkin muncul dari interpretasi dongeng kancil. d) Sony Sukmawan, 2014, Representasi Budaya Jawa dalam Dongeng Si Kancil, skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. Skripsi ini berisikan kajian budaya jawa yang ada dalam dongeng kancil. Seluruh penelitian diatas membahas tentang dongeng kancil, yang membedakan penelitian yang akan dilakukan penulis ialah penulis ingin melakukan studi tentang dongeng kancil khususnya Hikayat Pelanduk Jinaka yang menggunakan perspektif etika Max Scheler.
4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagi penulis, bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat, serta bagi bangsa dan negara. 1. Bagi Penelitian Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan dan pengkajian ulang tentang Dongeng Kancil bagi para orang tua dan tenaga pengajar pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Penelitian ini juga diharapkan mampu mendorong peneliti lain untuk mengkaji lebih mendalam membahas persoalan dongeng dan etika. 2. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat
9
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
digunakan
mengaktualisasikan pemikiran-pemikiran filsafat
untuk
dan mencoba
mengkajinya ke dalam fenomena yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai kajian pustaka bagi perkembangan ilmu khususnya bidang filsafat, serta menambah literatur tentang Dongeng Kancil dan etika. 3. Bagi bangsa dan negara Dalam hal kongkret dan praktis, penulis berharap dapat memberikan pemahaman baru bagi masyarakat di Indonesia khususnya bagi para orang tua dan tenaga pengajar tentang dongeng kancil.
B. Tujuan Penelitian 1. Memaparkan sejarah kemunculan dongeng Hikayat Pelanduk Jinaka. 2. Memaparkan konsep etika Max Scheler, 3. Memaparkan pandangan etika Max Scheler yang terhadap dongeng Hikayat Pelanduk Jinaka.
C. Tinjauan Pustaka Folklor berasal dari kata majemuk Bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Folk berarti kolektif atau kebersamaan. Lore berarti tradisi yang diturunkan secara turun temurun. Folklore dengan demikian dapat diartikan sebagai tradisi kolektif sebuah bangsa yang disebarkan dalam bentuk lisan
10
maupun gerak isyarat, sehingga tetap berkesinambungan dari generasi ke generasi (Dananjaya, 1984: 2). “Folklore is the common orally transmitted traditions, myths, festival, song, superstition, and of all people, folklore has come to mean all kind of oral artistic expression. Folklore may be found in societies. Originally folklore was the study of the curiosities” (Wininck, 1961: 217). Folklore perkembangan pewarisannya selanjutnya semakin meluas; tidak hanya secara lisan tapi juga tertulis. Tradisi cetak mencetak yang muncul telah mengubah budaya lisan ke budaya tulis termasuk puisi, prosa, sajak, dongeng, pantun, dll. Folklor yang mengalami pencetakan mengalami penyebaran yang lebih cepat. Tulisan yang diperoleh dari lisan dan hanya sepotong- sepotong justru memperkaya variasi folklore itu sendiri, itulah sebabnya pembauran lisan- tulis dalam folklore akhir- akhir ini sangat mungkin terjadi (Endraswara, 2010: 3). Dongeng adalah cerita pendek kolektif kesustraan lisan. Selanjunya dongeng merupakan cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran. Dalam pikiran kebanyakan orang, dongeng sering dianggap sebagai cerita mengenai peri. Dalam kenyataannya banyak dongeng yang tidak mengenai peri melainkan cerita atau plotnya mengenai sesuatu yang wajar (Danandjaja, 1986: 83). Dongeng sebagai buah karya seni manusia yang lahir dari kemampuan daya rekanya
mempunyai
kekhususan
dalam
cara
dan
penggunaan
media
pengungkapannya, yakni dengan mempergunakan bahasa tutur atau lisan. Sedangkan cara penyampaiannya pada awal perkembangannya mempergunakan bentuk syair yang terpatok pada kaidah-kaidah yang menyertai. Baru pada
11
perkembangan berikutnya, setelah bentuk syair itu banyak digubah ke dalam bentuk prosa, dalam penyampaiannya juga mengikuti bentuk yang lebih berkembang di waktu kemudian ini (Prayitno, 1982 : 9). Karya sastra (dongeng Si kancil termasuk di dalamnya) merupakan (1) gambaran yang melukiskan realitas sosial tanpa harus menyatakan sikap terhadap sistem sosial, (2) analisis sosial yang menyiasati berbagai perubahan masyarakat dengan menyatakan pendapat secara sadar, dan (3) menyuguhkan filsafat yang memberikan landasan penilaian tentang apa yang sedang terjadi dengan cara melakukan analisis penuh perlawanan terhadap komdisi masyarakatnya. Dongeng dengan demikian, sebagai sejarah mentalitas dongeng dapat (1)merupakan wujud hayatan, renungan, dan ingatan atas realitas, termasuk realitas kehidupan masyarakat Indonesia (Jawa), (2) merupakan wujud pikiran, gagasan, dan pandangan kritis atas realitas kehidupan masyarakat Indonesia (Jawa), dan (3) merupakan wujud pikiran, gagasan, dan pandangan alternatif atas realitas kehidupan masyarakat Indonesia (Jawa) (Kuntowijoyo, 1987: 32). Pada jaman dahulu terdapat cerita kepercayaan, cerita orang bodoh, ceritra lucu, cerita binatang dan bentuk cerita lain. Diantara cerita-cerita tersebut cerita binatanglah yang hidup lebih subur dari pada cerita-cerita lainnya, baik di kalangan anak-anak, orang muda maupun tua, tanpa membedakan jenis kelamin apakah orang perempuan ataupun laki-laki. Tak jemu-jemunya mereka berkumpul untuk mendengarkan bila ada seseorang diantara mereka bercerita meskipun cerita itu telah berkali-kali mereka dengarkan (Dipodjojo, 1993: 11).
12
Dengan cerita binatang dimasukkan cerita yang pelaku-pelakunya terdiri dari binatang dan binatang-binatang itu diberi jiwa, tingkah laku seperti manusia. Memang kalau kita mendengarkan cerita binatang itu, kita dibawa ke suatu masyarakat yang tak ada bedanya dengan masyarakat manusia, hanya pelakunya terdiri dari binatang (Dipodjojo, 1993: 12). Dongeng
memiliki
beberapa
manfaat,
diantaranya
:
(1)dapat
mengembangkan daya imajinasi anak, (2) dapat meningkatkan kemampuan berbahasa bagi anak usia dini, (3) sebagai penumbuh dan pengembang nilai-nilai moral dalam diri anak, (4) Pembentuk karakter positif dalam diri anak, (5) sebagai penghibur dan penyembuh luka trauma psikologis bagi anak, (6) meningkatkan konsentrasi anak, (7) merangsang rasa ingin tahu anak, (8) penumbuh dan mengembangkan minat baca pada anak, (9) merekatkan dan menghangatkan hubungan antara orang (Al-Qudsy, 2010: 23). Sebab lain mengapa cerita binatang itu mendapat kedudukan istimewa dalam masyarakat Indonesia ialah caranya memberi pendidikan yang tidak menekan, selalu berbentuk sindiran, seolah-olah hanya dengan bermain-main saja, tetapi tusukannya dengan perlahan-lahan sampai pada hulu hati dan jantung pendengarnya (Dipodjojo, 1993: 15). Karena sifat universalnya cerita binatang dan juga akibat perhubungan mereka dari daerah yang satu dengan daerah yang lain, disamping tokoh utama cerita binatang di daerah itu sejak semula, berkembang pula cerita binatang yang tokoh utamanya sang kancil atau pelanduk betul-betul merupakan tokoh cerita binatang di seluruh Indonesia (Dipodjojo, 1993:16).
13
Bila diperhatikan tokoh-tokoh utama cerita binatang itu, baiksang kancil tokoh utama umum, maupun tokoh-tokoh utama di daerah-daerah, dapat diambil kesimpulan, bahwa tokoh-tokoh utama itu pasti terdiri dari binatang-binatang kecil, lemah dan tidak mempunyai alat pertahanan diri yang kuat, tetapi anehnya dalam segala hal binatang tokoh utama itu senantiasa dapat menyelamatkan dirinya, bahkan diri orang lain pun dapat ditolongnya dari ancaman binatangbinatang yang lebih besar lagi buas dan bahkan akhirnya binatang-binatang itu dapat dikalahkan dan ditaklukkannya (Dipodjojo, 1993: 17). Dongeng kancil yang berbentuk tulisan diangkat dari dongeng kancil yang hidup secara lisan ditengah-tengah masyarakat. Kedua bentuk dongeng kancil ini tidak memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang ada hanyalah dalam media penyampaiannya saja (Prayitno, 1982 : 10).
D. Landasan Teori Istilah etika berasal dari bahasa Yunani yakni ethos yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan. Ethos dan kesusilaan itu mempunyai perbedaan pemaknaan yakni ethos yang bermakna tersusun dan kesusilaan bermakna kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Dari pengertian inilah mengakibatkan timbul pengertian etika sebagai kebiasaan yang dalam bahasa Latin disebut mos (bila tunggal) dan jamaknya disebut moses. Oleh karena itu pula maka etika akhirnya biasa disebut filsafat moral ataupun ajaran kesusilaan, atau juga ajaran akhlak (Fudyartanta, 1974:1-2).
14
Etika Scheler didasari oleh etika Kant. Perbedaannya, Scheler menyepakati etika material yang sebelumnya didasarkan pada empirisme dan validitas induktif. Etika nilai Scheler tidak menitik beratkan pada maksud dan tujuan suatu perbuatan.Singkatnya etika Scheler adalah sebuah etika material nilai, tidak empiris melainkan a priori. Seluruh etikanya, dengan demikian, didasarkan pada sebuah aksiologi; validitas etikanya tergantungpada ketepatan aksiologinya (Frondizi, 2001: 110-114). Max Scheler dalam buku Formalisme dalam Etika dan Etika Nilai Material berpendapat bahwa moralitas perbuatan-perbuatan manusia berdasar pada berlakunya nilai-nilai objektif, yang tidak tergantung pada manusia. Buku ini merupakan suatu kritik fundamental atas etika Kant yang menjelaskan bahwa suatu perbuatan adalah baik secara moral jika dilakukan karena kewajiban. Max Scheler bermaksud mengajukan etika yang langsung mengarah pada isi dan nilai (Wahana, 2008: 26-27) Scheler beranggapan bahwa kesadaran moral merupakan faktor penting untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berperilaku susila. Kesadaran moral didasarkan atas nilai-nilai yang benar-benar esensial, fundamental. Perilaku manusia yang didasarkan atas kesadaran moral akan selalu direalisasikan sebagaimana seharusnya (Sutrisno, 1993: 37). Scheler berpendapat bahwa kesadaran moral adalah jaminan tidak langsung dalam usaha orang mengenal nilai dan eksistensi orang lain. Tindakan moral yang konkrit membawa orang kepada kesadaran bahwa hidupnya tidak terpisah dari orang lain, hidupnya bersama orang lain. Intweraksi sosial manusia itu ia
15
rumuskan: “bila pentingnya bagi saya”. Scheler menjelaskan bahwa ekspresi jasmani bukanlah keharusan mutlak untuk suatu pengenalan orang lain (Sardy, 1983: 94-95). Scheler mengatakan bahwa moral adalah bersatunya manusia dan nilai yang tertingggi. Manusia apabila memeluk nilai yang tertinggi dan manusia menyerahkan diri kepada nilai yang tertinggi, itulah moral. Moral tidak dapat dipisahkan dari Nilai (Drijarkara, 1989: 141)
E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data pustaka. 1. Bahan Penelitian yang dilakukan penulis merupakan penelitian kepustakaan. Data diperoleh dengan cara penelusuran dan pengumpulan pustaka bagi objek formal dan objek material penelitian. Data pustaka dibagi menjadi dua, yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder. a. Pustaka primer penelitian ini menggunakan buku tentang dongeng kancil yang dianggap mumpuni dan kuat untuk dijadikan buku primer dalam penelitian ini. Buku primer yang diacu yakni buku berjudul “Sang Kancil” karangan Asdi S. Dipdjojo terbit tahun 1993. Buku ini memuat teks asli “Hikayat Pelanduk Jinaka” transliterasi utuh H.C.Klinkert.
16
b. Buku Filsafat Barat Abad XX : Inggris-Jerman, karya K. Bertens yang di dalamnya membahas tentang Max Scheler termasuk konsep etikanya. c. Data sekunder, berupa buku, artikel, atau jurnal yang berkaitan dengan tema penelitian baik yang berhubungan dengan objek material maupun yang berkaitan dengan objek formal penelitian yang digunakan sebagai pendukung untuk melengkapi dan menambah data penelitian.
2. Jalan Penelitian Penulis dalam melakukan penelitian akan melalui tiga tahap proses penelitian, yang meliputi : a. Pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian yang berkaitan dengan objek kajian penelitian. b. Pengelompokan data, yaitu mengolah semua data yang terkumpul dengan klasifikasi dan deskripsi sesuai dengan apa yang dibahas dalam penelitian. c. Pembahasan objek material dan objek formal penelitian d. Penyusunan penelitian, melakukan penyusunan data penelitian secara sistematis dan analitis.
3. Analisis Hasil
17
Bakker (1990: 15) metode penelitian filsafat lebih berupa perenungan atau refleksif. Unsur-unsur metodis yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini antara lain : a. Interpretasi Penulis akan melakukan penelaahan yang mendalam mengenai konsep etika nilai Max Scheler yang terdapat dalam dongeng kancil b. Deskripsi Penulis mencoba memaparkan hasil dari langkah-langkah sebelumnya untuk melihat bagaimanakah konsep etika nilai Max Scheler dalam dongeng kancil.
F. Hasil yang Telah Dicapai Hasil yang telah dicapai dari penelitian ini adalah : 1. Penelitian ini memaparkan tentang awal kemunculan dan perkembangan dongeng Hikayat Pelanduk Jinaka. 2. Pemahaman tentang konsep etika yang dimiliki oleh Max Scheler. 3. Penjelasan pandangan etika Max Scheler terhadap dongeng Hikayat Pelanduk Jinaka.
G. Sistematika Penulisan Penelitian ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut :
18
BAB I
: Berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan
masalah, keaslian penelitian, manfaat dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang ingin dicapai, dan sistematika penulisan. BAB II : Berisi pemaparan tentang riwayat hidup Max Scheler,tokoh yang mempengaruhi pemikiran Max Scheler, fenomenologi Max Scheler, hiharki nilai dan Tindakan etis dan realisasi nilai kebaikan moral, serta pembahasan tentang personoa.. BAB III : Berisi pemaparan tentang pengertian, jenis dongeng, perkembangan dongeng kancil, resensi buku, ringkasan cerita Hikayat Pelanduk Jinaka. BAB IV :Berisi pemaparan tentang pengaruh dongeng Hikayat Pelanduk Jinaka, Hikayat Pelanduk Jinaka dan etika Max Scheler, Refleksi kritis dongeng Hikayat Pelanduk Jinaka. BAB V :Berisi penutup berupa kesimpulan dan saran.