BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Menurut Strauss et al (2006) skizofrenia merupakan gangguan mental yang berat, gangguan ini ditandai dengan gejala – gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi. Gejala – gejala negatif seperti avolition ( menurunnya minat dan dorongan ), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi pembicaraan, afek yang datar serta terganggunya relasi personal (dalam Gabbard, 1994). Tampak bahwa gejala – gejala skizofrenia menimbulkan hendaya berat dalam kemampuan individu berpikir
dan memecahkan masalah,
kehidupan afek yang mengganggu relasi sosial. Kesemuanya itu mengakibatkan pasien skizofrenia mengalami penurunan fungsi ataupun ketidakmampuan dalam menjalani hidupnya, sangat terhambat produkvitasnya dan nyaris terputus relasinya dengan orang lain (Setiadi, 2006). Gangguan skizofrenia terkadang berkembang secara pelan – pelan dan tidak nampak dengan jelas. Dalam kasus tertentu gambaran secara psikologis ditandai dengan perasaan seclusiveness (kurang hangat), minatnya makin lama makin melemah terhadap dunia serta lingkungannya, dan melamun yang berlebihan serta blunting of affect (tidak adanya responsivitas emosional). Akhirnya, respon – respon yang tidak selaras atau ringan saja yang akan tampil misalnya tidak begitu peduli terhadap lingkungan sosial di masyarakat. Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3 – 1 persen dan biasanya timbul pada usia sekitar 18 – 45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11 – 12 tahun sudah menderita sizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta jiwa menderita skizofrenia. Skizofenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami di Indonesia. Skizofenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi individu penderitaanya, tapi juga bagi orang – orang yang terdekat kepadanya. Biasanya keluargalah yang paling tertekan dengan hadirnya skizofrenia di keluarga mereka. dr. Darmadi dari klinik jiwa Dharma Mulia Surabaya, mengungkapkan bahwa pasien membutuhkan perhatian masyarakat,
1
2
terutama dari keluarganya. Selain perawatan tinggi, hampir 70% penderita adalah pasien di RSJ yang dirawat secara bertahun - tahun. Akhirnya, kehadiran penderita cenderung dirasakan sebagai beban keluarganya (kompas, 30 Agustus 2000). Hawari (2006) mangatakan bahwasannya skizofrenia merupakan gangguan jiwa kronis yang memiliki kecenderungan untuk kambuh (dalam Kanzul, 2006). Klien gangguan jiwa memerlukan pengobatan yang relatif lama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Hal tersebut dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin terjadinya kekambuhan (relapse). Pengobatan yang dilakukan dapat berupa tindakan secara medis ataupun secara psikologis. Pada dasarnya pengobatan untuk pasien skizofrenia yang utama adalah dengan obat, terutama obat – obatan antipsikotik untuk memperbaiki keadaan pasien secara medis terlebih dahulu. Namun penelitian telah menemukan bahwa latihan keterampilan sosial dapat memperkuat perbaikan secara psikologis pasien dengan gangguan skizofrenia. Latihan keterampilan sosial ini merupakan suatu modal bagi pasien skizofrenia di lingkungan sosialnya yang harus diimbangi pula dengan aturan penggunaan
obat. Sebagian besar pasien
skizofrenia akan mendapatkan manfaat dari penggunaan kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial. Kekurangan skizofrenia untuk menjalani hari – harinya adalah keterampilan sosial. Sehingga tidak mengherankan apabila pasien skizofrenia sulit membangun interaksi sosial yang normal dengan orang lain. Orang – orang dengan skizofrenia ini menunjukkan kesulitan yang sangat besar sekali dalam ketarampilan sosial, termasuk diantaranya adalah mendapatkan pekerjaan serta mengembangkan kehidupan sosialnya (Wiramihardja, 2007). Bentuk dari keterampilan sosial ini meliputi segala sesuatu kemampuan yang digunakan dalam melakukan hubungan dengan lingkungan sosial meliputi ketrampilan berkomunikasi, ketrampilan persepsi sosial dan ketrampilan menghadapi situasi sosial. Tingkat kesulitan dalam bergaul pada pasien skizofrenia sangat bervariasi, mulai dari kesulitan bergaul situasional, dimana penderita mengalami kesulitan untuk bergaul di situasi-situasi tertentu saja, sampai ke tingkat kesulitan bergaul yang disebabkan oleh gangguan mental kronik. Oleh karena itu teknik yang digunakan dalam membantu penderita kesulitan bergaul ini juga berbeda-beda (Wiramihardja, 2007). Dalam kehidupan sehari – harinya pasien skizofrenia tidak mungkin untuk hidup sendiri karena pada dasarnya setiap manusia merupakan
3
makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain disampingnya. Untuk membangun interaksi sosial, telebih dahulu pasien harus menguasai kemampuan dan ketrampilan dalam mengenal diri sendiri, kemudian baru ketrampilan dalam mengenal orang lain. Bellack, Harsen dan Turner (dalam Davison dkk, 2006) mendemonstrasikan pelatihan keterampilan sosial dimana mereka merekayasa berbagai situasi sosial bagi tiga pasien skizofrenia kronis dan kemudian mengamati apakah mereka akan menunjukkan respon yang pantas atau sesuai dengan situasi yang ada. Contohnya seorang pasien diminta untuk mengumpamakan bahwa dia baru saja sampai rumah dari suatu liburan akhir minggu dan melihat bahwa rumput di halaman rumahnya telah dipotong. Ketika dia turun dari mobil, tetangga sebelah rumahnya mendekatinya dan berkata bahwa dia telah memotong rumput di halaman rumah pasien karena pada saat itu dia sedang memotong rumput dirumahnya sendiri. Pasien kemudian harus merespon situasi tersebut. Sesuai dengan perkiraan, pada awalnya pasien tidak terlalu begitu baik dalam memberikan respon yang pantas secara sosial yang dalam kasus ini dapat berupa ucapan terima kasih. Pelatihan berlanjut kemudian terapis mendorong pasien untuk memberikan respon yang sesuai serta memberikan komentar yang dapat membantu upaya mereka. Jika perlu terapis juga memberikan contoh perilaku yang pantas sehingga pasien dapat mengamati kemudian mencoba untuk menirunya. Latihan keterampilan sosial ini akan memberikan pelajaran bagi pasien Skizofrenia mengenai kemampuan beradaptasi secara sosial termasuk di dalamnya adalah tingkah laku non verbal seperti membuka sebuah pembicaraan, tersenyum dan kontak mata, kemampuan paralinguistik seperti tinggi rendahnya suara dan nada ketika mereka berbicara dengan orang lain, kemampuan untuk berkomunikasi, kemampuan asertif, kemampuan untuk mandiri, kemampuan dalam interview pekerjaan dan kemampuan mengatur pekerjaan. Fokus latihan ketrampilan dalam penelitian ini adalah interpersonal skill. Keterampilan interpersonal merupakan sebuah tujuan yang dihubungkan dengan pola tingkah laku pasien dalam kehidupan sehari - harinya. Karena pasien akan bertatap muka secara langsung dengan orang lain setiap harinya. Kekurang mampuan pasien skizofrenia dalam hubungan interpersonal dapat menyebabkan terganggunya kehidupan sosial pasien skizofrenia sendiri, misalnya: menjadi pemalu,
4
menarik diri, memisahkan diri dari orang lain atau putus hubungan dengan kata lain tidak menerima dirinya. Dalam berbagai studi mengungkapkan bahwa peningkatan hubungan interpersonal sangat membantu dalam peningkatan kesehatan mental. Jika terjadi hambatan – hambatan dalam hubungan sosial maka seseorang dapat mengalami masalah. Keterampilan interpersonal akan mengurangi keterasingan pada pasien skizofrenia sehingga akan meningkatkan hubungan interpersonal pasien dengan lingkungan sosialnya. Faris dan Dunhan (dalam Semium, Y., 2001) mengemukakan bahwa keterasingan dari kehidupan interpersonal diyakini dapat meningkatkan penderitaan pada pasien skizofrenia. Keterampilan interpersonal adalah salah satu hal yang sangat penting untuk membantu pasien skizofrenia membangun kehidupan sosialnya. Tidak mudah bagi individu dengan gangguan seperti ini, oleh karena itu penting adanya sebuah bentuk pelatihan yang dapat digunakan untuk meningkatkan ketrampilan tersebut. Keterampilan interpersonal merupakan sebuah kecakapan dalam bergaul yang harus dimiliki oleh setiap individu. Karena Keterampilan interpersonal merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain. Selain itu keterampilan interpersonal juga merupakan syarat tercapainya penyesuaian yang baik dalam kehidupan. Keterampilan interpersonal pada pasien skizofrenia ini meliputi ketrampilan berkomunikasi seperti membuka sebuah pembicaraan dengan orang lain, kontak mata, tersenyum serta serta mengatur tinggi rendahnya suara ketika mereka sedang berbicara. Kemampuan tersebut sangat penting sekali bagi pasien skizofrenia dimana hal tersebut akan membantu pasien dalam membangun hubungan interpersonal dengan orang lain. Pada survey awal dapat diketahui bahwa keterampilan sosial para pasien skizofrenia residual ini kurang bagus dimana para pasien masih kurang bisa mengembangkan keterampilan interpersonalnya. Subyek KA pada saat survey awal sudah bisa membuka sebuah pembicaraan namun belum bisa
menjaga kontak
matanya. Subyek KA juga sudah bisa memberikan sebuah senyuman yang berarti untuk
orang
lain.
Namun
subyek
mempunyai
kekurangan
keterampailan
interpersonalnya yang lain yaitu subyek belum bisa untuk mengatur tinggi rendahnya suara, suaranya cenderung datar dan seperti orang bergumam.
5
Pada subyek MH ketrampilan interpersonal MH untuk membuka sebuah pembicaraan, tersenyum cukup baik karena subyek MH mampu
untuk
melakukannya dengan lawan bicaranya. Namun subyek MH kurang bisa menjaga kontak matanya. Subyek juga belum bisa untuk mengatur tinggi rendahnya suara , tiba – tiba suaranya akan meninggi tanpa sebab yang pasti. Ketrampilan interpersonal subyek SW dalam membuka sebuah pembicaraan, menjaga kontak mata dan tersenyum sudah cukup baik. Karena subyek SW sudah mampu melakukannya ketika sedang berbicara dengan orang lain. Namun SW belum bisa mengatur tinggi rendahnya suara ketika sedang berbicara dengan lawan bicaranya. Bicaranya seperti orang bergumam sehingga kurang jelas dan cenderung kecil. Ketrampilan interpersonal AK untuk membuka sebuah pembicaraan, menjaga kontak mata dan mengatur tinggi rendahnya suara sudah cukup baik. Namun subyek AK belum bisa mengatur senyumnya. Karena selama pembicaraan berlangsung subyek selalu tersenyum dan senyumnya tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Seorang dengan gangguan skizofenia cenderung untuk menarik diri berinteraksi dengan orang lain. Sehingga mereka akan terkucilkan ditengah masyarakat. Oleh sebab itu pasien skizofrenia residual yang nantinya akan kembali lagi di tengah masyarakat hendaknya diberikan sebuah latihan ketrerampilan sosial agar mereka dapat menjalin sebuah hubungan yang baik dengan orang – orang di sekitarnya. Latihan keterampilan sosial mungkin sangat sederhana bagi pasien skizofrenia namun akan cukup memberikan sebuah rujukan bagi para pasien untuk mengembangkan keterampilan interpersonalnya ditengah masyarakat kelak. Dengan latihan keterampilan sosial ini pasien akan lebih mudah untuk membangun hubungan interpersonal dengan orang lain dan mereka tidak hidup terkucilkan lagi ketika mereka kembali di lingkungan sosialnya. Oleh karena itu peniliti ingin mengangkat judul “Latihan Keterampilan Sosial Untuk Meningkatkan Keterampilan Interpersonal Pada Pasien Skizofrenia Residual “
6
B. Rumusan Masalah Dari penjelasan di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu bagaimana peran latihan keterampilan sosial terhadap keterampilan interpersonal pasien skizofrenia residual ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran keterampilan sosial terhadap keterampilan interpersonal pada pasien skizofrenia residual.
D. Manfaat Penelitian Dengan latihan keterampilan sosial ini diharapkan menjadi sebuah bekal bagi pasien skizofrenia residual untuk membantu mereka kembali lagi di tengah – tengah masyarakat dan diterima sepenuhnya oleh masyarakat. 1. Secara teoritis Memberikan sumbangan pemikiran untuk mengatasi gangguan skizofrenia dengan latihan keterampilan sosial sebagai rujukan terapi secara psikologi. 2. Secara praktis Memberikan masukan tentang peran latihan keterampilan sosial terhadap ketrampilan interpersonal pasien skizofrenia residual.