BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Di antar sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi di bidang medis. Dengan berkembangnya teknologi di bidang kedokteran ini, bukan tidak mustahil muncul masalah yang pekik dan rumit. Melalui pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju, diagnose mengenai suatu penyakit dan pengobatannya dapat dilakukan secara sempurna dan lebih efektif. Hidup seseorang pun dapat diperpanjang untuk jangka waktu tertentu. Bahkan perhitungan saat kematian seseorang dapat dilakukan secara lebih tepat. Di samping itu, beberapa negara maju bahakn sudah mampu melakukan birth technologi dan biological engineering. Dengan demikian
masalah
cepat
atau
lambatnya
proses
kematian
seseorang penderita sesuatu penyakit, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi yang modern tersebut. Menyinggung masalah kematian, menurut terjadinya, maka ilmu pengetahuan membedakannnya ke dalam tiga jenis kematian, yaitu: 1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah. 2. Dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar. 3. Euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. 1
Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan tujuan untuk menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit atau keadaan tertentu. Di jaman modern seperti saat ini, tercatat telah banyak sekali kasus-kasus eutanasia, baik yang ter-ekspose maupun yang tersembunyikan. Terdapat dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi bahan perdebatan yang sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum. Yang pertama, eutanasia jelas-jelas suatu tindakan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, namun selain itu justru alasan dilakukannya eutanasia adalah untuk menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan yang dianggap terlalu menyiksa. Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan, sehingga seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur eutanasia, namun tentu saja dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat ketat. Sedangkan di beberapa Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap melakukan tindakan yang melanggar hukum. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam paper tentang eutanasia ini. Rumusan masalah tersebut yaitu: 1. Apa euthanasia itu? 2. Bagaimana
praktik
euthanasia
berdasarkan
hukum
di
Indonesia?
2
3. Bagaimana euthanasia menurut hukum di berbagai Negara di dunia? 4. Bagaimana euthanasia menurut perspektif agama? C. Tujuan Tujuan penulisan paper ini adalah: 1. Untuk menjelaskan euthanasia agar dapat dipahami. 2. Untuk mengetahui bagaimana euthanasia menurut hukum di Indonesia 3. Untuk mengetahui euthanasia menurut hukum di berbagai Negra di dunia. 4. Untuk mengetahui pandangan islam terhadap euthanasia.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Euthanasia Euthanasia
dalam
Oxford
English
Dictionary
dirumuskan
sebagai ―kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam
kasus
penyakit
yang
penuh
penderitaan
dan
tak
tersembuhkan‖. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44) Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar) Ditinjau dari cara pelaksanaannya euthanasia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Euthanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan
lainnya
untuk
mempersingkat
atau
mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan
dengan
pemberian
suatu
senyawa
yang
mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida. 2. Euthanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
4
medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan memperpendek
atau
mengakhiri
hidupnya.
Penolakan
tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan. 3. Euthanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang
mengalami
kesulitan
dalam
pernapasan,
tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif
seringkali
dilakukan
secara
terselubung
oleh
kebanyakan rumah sakit (Wikipedia,2010). B. Hukum Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :
5
―Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun‖. C. Hukum Islam Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati. (QS al-Hajj). Syariah
Islam
mengharamkan
euthanasia
aktif,
karena
termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‗amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya
6
BAB III PEMBAHASAN
A. Pengertian Euthanasia Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu ―eu‖ dan ―thanatos‖. Eu berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti kematian. Dalam bahasa Arab, Euthanasia dikenal dengan istilah ―qatl ar-rahma‖ atau ―taysir al-mawt‖. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal, juga berarti mempercepat kematian seseoran yang berada dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat menjelang kematiannya.(Hasan 1995:145) Menurut kamus besar bahasa Indonesia, eutanasia berarti tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan piaraan) yg sakit berat atau luka parah dengan kematian yg tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. Sedangkan
Wikipedia menyebutkan
bahwa eutanasia berarti
praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa
sakit
yang
minimal,
biasanya
dilakukan
dengan
cara
memberikan suntikan yang mematikan. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti: 1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Tuhan di bibir. 2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
7
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya. Ditinjau dari cara pelaksanaannya euthanasia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Euthanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan
dengan
pemberian
suatu
senyawa
yang
mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida. Contohnya: Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya,
tetapi
justru
menghentikan
pernapasannya
sekaligus. 2. Euthanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun
mengetahui
memperpendek
atau
bahwa mengakhiri
penolakannya hidupnya.
akan
Penolakan
tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif
8
pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan. 3. Euthanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan
operasi
yang
seharusnya
dilakukan
guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit (Wikipedia,2010). Ditinjau dari pemberian izin euthanasia dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Ethanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan ethanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan ethanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan. 2. Ethanasia secara tidak sukarela: Ethanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.Hal
ini
terjadi
apabila
seseorang
yang
tidak
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terry schiavo). Kasus ini menjadi
9
sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien. 3. Ethanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk eutanasia tipe yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun beberapa yang lain menganggapnya sebagai tindakan bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar hukum. Ditinjau dari permintaan euthanasia dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Euthanasia Volunter : Euthanasia atas permintaan pasien sendiri. 2. Euthanasia
Involunter
:
Euthanasia
atas
permintaan
keluarga pasien. Ditinjau dari segi tujuannya, eutanasia juga dibedakan menjadi 3 (Wikipedia, 2010), yaitu: a. Eutanasia berdasarkan belas kasihan (mercy killing) Eutanasia jenis ini, dilakukan atas dasar rasa kasihan kepada sang pasien, umumnya eutanasia jenis ini dilakukan kepada pasien yang menderita rasa sakit yang amat sangat dalam
penyakitnya,
sehingga
membuat
orang-orang
disekitarnya menjadi tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. b. Eutanasia hewan Sesuai dengan namanya, eutanasia jenis ini, khusus dilakukan
kepada
peliharaan
yang
hewan, sudah
biasanya tua
dan
beberapa menderita
hewan sakit
berkepanjangan, membuat si pemilik tidak tega dan memutuskan untuk melakukan eutanasia. Pada kasus yang
10
lain, beberapa kepercayaan percaya bahwa, saat seseorang meninggal, maka barang-barang kesayangannya harus diikutkan
ke
dalam
kesayangannya,
kubur,
sehingga
termasuk
sebelum
hewan-hewan
hewan
tersebut
dikuburkan umumya mereka di suntik mati terlebih dahulu. c. Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela. Dilakukan atas persetujuan sang pasien sendiri. B. Praktik Euthanasia di Indonesia Sampai saat ini, euthanasia masih menimbulkan pro & kontra di masyarakat.
Mereka
yang
menyetujui
tindakan
euthanasia
berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan persetujuan & dilakukan dengan tujuan utama menghentikan penderitaan pasien. Prinsip kelompok ini adalah manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Dengan demikian, tujuan utama kelompok ini yaitu meringankan penderitaan pasien dengan memperbaiki resiko hidupnya. Kelompok yang kontra terhadap euthanasia berpendapat bahwa euthanasia
merupakan
tindakan
pembunuhan
terselubung,
karenanya bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kematian semata-mata adalah hak dari Tuhan, sehingga manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak mempunyai hak untuk menentukan kematiannya. Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: ―Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau denyut jantung seseorang telah berhenti‖. Definisi mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia.
11
Mati itu sendiri sebetulnya dapat didefinisikan secara sederhana sebagai berhentinya kehidupan secara permanen (permanent cessation of life). Hanya saja, untuk memahaminya terlebih dahulu perlu memahami apa yang disebut hidup. Para ahli sependapat jika definisi hidup adalah berfungsinya berbagai organ vital (paru-paru,jantung, & otak) sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh adanya konsumsi oksigen. Dengan demikian definisi mati dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi organ-organ vital sebagai satu kesatuan yang utuh, ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen. Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut: Pasal 338: ―Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.‖ Pasal 340: ―Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.‖ Pasal 344: ―Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
12
dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.‖ Pasal 345: ―Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.‖ Pasal 359: ―Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun atau pidana kurungan selamalamanya satu tahun‖ Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, &
dapat
dijerat
hukum
sesuai
KUHP
pasal
351
tentang
penganiayaan,yang berbunyi: 1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 4) Dengan
penganiayaan
disamakan
sengaja
merusak
kesehatan.
13
C. Euthanasia menurut Hukum di berbagai Negara 1. Belanda Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undangundang yang mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undangundang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum. 2. Australia
14
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan,
tetapi
bulan
Maret
1997
ditiadakan
oleh
keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. 3. Belgia Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian". Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika). Senator Philippe
Mahoux, dari
partai
sosialis
yang
merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya 4. Amerika Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien
15
terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun
1997
melegalisasikan
kemungkinan
dilakukannya
eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini
hanya
menyangkut
bunuh
diri
berbantuan,
bukan
euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum juga mengatur mengakhiri
secara
tegas
hidupnya
bahwa
tersebut
keputusan tidak
boleh
pasien
untuk
berpengaruh
terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya. Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
16
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasia. 5. Indonesia Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal
344
Kitab
Undang-undang
Hukum
Pidana
yang
menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selamalamanya 12 tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun. Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat
oleh
majalah
Tempo
Selasa
5
Oktober
2004
menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP. 6. Swiss Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang
17
bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri." Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang. 7. Inggris Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan
Britania
Raya
(Britain's
Royal
College
of
Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal
tersebut
bukanlah
eutanasia di Inggris dipertimbangkannya
ditujukan
melainkan secara
untuk
semata
saksama
melegalisasi
guna memohon dari
sisi
faktor
"kemungkinan hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran. Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga 8. Jepang
18
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai eutanasia tersebut. Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" (消極的安楽死, shōkyokuteki anrakushi) Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995[14] yang dikategorikan sebagai
"eutanasia
aktif
"
(積極的安楽死,
sekkyokuteki
anrakushi) Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
sebagai
sebuah
yurisprudensi,
namun
meskipun
demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan eutanasia. 9. Republik Ceko Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undangundang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan
19
eutanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut. 10. India Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal codeIPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian
yang
mengakibatkan
kematian
dan
bukannya
pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia
sukarela
dimana
sipasien
sendirilah
yang
menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC. 11. China Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama "Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan
tertinggi
rakyat
(Supreme
People's
Court)
20
menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan 12. Afrika Selatan Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang eutanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku eutanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada 13. Korea Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang eutanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi)yang di Korea dikenal dengan "Kasus rumah sakit Boramae" dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata eutanasia aktif. Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa " pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment)
termasuk
tindakan
eutanasia
pasif,
dapat
diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya
21
D. Euthanasia menurut Agama Islam Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati. (QS al-Hajj). Euthanasia Aktif Syariah
Islam
mengharamkan
euthanasia
aktif,
karena
termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‗amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT : ―Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.‖ (QS Al-An‘aam : 151) ―Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…‖ (QS AnNisaa` : 92) ―Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.‖ (QS An-Nisaa` : 29). Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke
22
dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‗amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah : ―Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orangorang yang dibunuh.‖ (QS Al-Baqarah : 178) Namun
jika
menggugurkan
keluarga
qishash
terbunuh
(dengan
(waliyyul
memaafkan),
maqtuul)
qishash
tidak
dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT : ―Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari
saudaranya,
hendaklah
(yang
memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).‖ (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
23
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspekaspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,‖Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit,
bahkan
duri
yang
menusuknya,
kecuali
Allah
menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.‖ (HR Bukhari dan Muslim). Euthanasia Pasif Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik
menghentikan
pengobatan. Tindakan
tersebut
dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh
kepada
pasien.
Karena
itu,
dokter
menghentikan
pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat
pernapasan
buatan
dari
tubuh
pasien.
Bagaimanakah
hukumnya menurut Syariah Islam? Jawaban
untuk
pertanyaan
itu,
bergantung
kepada
pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat,
24
seperti
kalangan
dikemukakan
ulama
oleh
Syafiiyah
Syaikhul
Islam
dan
Hanabilah,
Ibnu
Taimiyah
seperti (Utomo,
2003:180). Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah). Di
antara
hadits-hadits
tersebut,
adalah
hadits
bahwa
Rasulullah SAW bersabda : ―Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!‖ (HR Ahmad, dari Anas RA) Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul : Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab ―Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.‖ (An-Nabhani, 1953) Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam haditshadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
25
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,‖Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!‖ Nabi SAW berkata,‖Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.‖ Perempuan itu berkata,‖Baiklah
aku
lagi,‖Sesungguhnya
akan
bersabar,‖
auratku
sering
lalu
tersingkap
dia
berkata
[saat
ayanku
kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.‖ Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari) Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini
digabungkan
dengan
hadits
pertama
di
atas
yang
memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69). Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter
berhak
mencabutnya
dari
pasien
yag
telah
kritis
keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib.
26
Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alatalat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alatalat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak— hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182). Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522523).
27
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Euthanasia berarti tindakan untuk meringankan kesakitan atau penderitaan yang dialami oleh seseorang yang akan meninggal, juga berarti mempercepat kematian seseoran yang berada dalam kesakitan dan penderitaan yang hebat menjelang kematiannya. Ditinjau dari cara perawatannya, euthanasia dibagi menjadi: 1. Euthanasia agresif atau aktif 2. Euthanasia non agresif 3. Euthanasi pasif Ditinjau dari permintaan izinnya, euthanasia dibagi menjadi: 1. Euthanasia dilur kemampuan pasien 2. Euthanasia tidak sukarela 3. Euthanasia sukarela Di setiap negara di dunia mempunyai hukum dan pandangan yang
berbeda-beda
tentang
Euthanasia.
Ada
negara
yang
memperbolehkan Euthanasia secara gampang, dan ada negara yang membuat syarat-syarat tertentu untuk melakukan Euthanasia. Di Indonesia sendiri Euthanasia masih menimbulkan pro dan kontra. Dalam pandangan berbagai agama pun, menghilangkan nyawa seseorang secara sengaja adalah perbuatan dosa, perbuatan yang melanggar. Menurut pandangan agama islam perbuatan Euthanasia haram dilakukan. Karena, mengakhiri hidup seseorang itu sama saja dengan
pembunuhan.
Dan
Allah
swt
melarang
tindakan
pembunuhan.
28
B. Saran Sebaiknya kita sebagai perawat jangan sampai melakukan tindakan
Euthanasia.
Kita
harus
berusaha
maksimal
untuk
kesembuhan pasien. Selama masih ada kemungkinan untuk sembuh dan masih ada jalan untuk sembuh diharapkan untuk tidak melakukan tindakan Euthanasia.
29
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Soehino, kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Politeia. Bogor. Tongat, Hukum Pidana Materiil. Djambatan. 2003. Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press. http://fiqih-pangeran377.blogspot.com/2011/04/aspek-hukum-dalampelaksanaan.html http://gegdiah.student.umm.ac.id/2010/01/29/euthanasia-hak-hidup-atauhak-mati-artikel-penerapan-ham-di-indonesia/ http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/euthanasiakilling/
30