BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tulisan ini didalamnya membahas lebih jauh pada bagaimana proses marjinalisasi terjadi pada masyarakat di seputaran Sungai Gendol atau masyarakat lokal sebagai akibat dari diberlakukannya kebijakan normalisasi sungai Gendol. Hal ini menjadi menarik bahwa kebijakan tersebut tidak lain menjadi instrumen pemerintah Kabupaten Sleman untuk mendapatkan profit dari pengusaha atau penambang pasir dengan alat berat. Pengusaha yang ingin menambang pasir tersebut haruslah membayar retribusi galian golongan C yang dibebankan setiap masuk ke daerah penambangan Sungai Gendol. Di sisi lain, hal tersebut tentulah memberikan pemasukan yang signifikan bagi Pedapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak mineral bukan logam dan batuan Kabupaten Sleman. Sementara itu, masyarakat lokal menjadi aktor yang dinafikkan keberadaannya dalam kebijakan ini yang mana mereka sendiri tidak memiliki kekuatan politik yang signifikan untuk melakukan perlawanan. Pada akhirnya, masyarakat menjadi semakin lemah posisinya dan tersubordinasikan di dalam implementasi kebijakan normalisasi sungai Gendol. Hal ini tidak lain menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Sleman memihak pada kepentingan ekonomi dari pengusaha daripada memberdayakan masyarakat lokal dalam mengelola potensi sumber daya alam pasir Merapi ini. Dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat memberikan relevansi sosial berupa penyadaran kepada masyarakat lokal mengenai adanya proses marjinalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sleman. Masyarakat yang memiliki kesadaran terhadap proses marjinalisasi tersebut diharapkan menjadi awal untuk lahirnya suatu gerakan perubahan dari masyarakat sendiri untuk memberdayakan dirinya melalui potensi yang mereka miliki. Selain itu, diharapkan pula adanya relevansi akademik
1
berupa kontribusi teori terkait proses marjinalisasi masyarakat sebagai akibat dari adanya kebijakan normalisasi Sungai Gendol. Berbicara mengenai berbagai tulisan yang mengangkat tema serupa yaitu marjinalisasi maka penulis menemukan salah satu tulisan yang merupakan karya dari Sofwan Semendawai. Karya beliau berjudul Mikung: Bertahan dalam Himpitan Kajian Masyarakat Marjinal di Taksimalaya. Penelitian yang beliau lakukan menggambarkan dinamika sosial, ekonomi, politik yang berpengaruh terhadap permajinalan masyarakat dan implikasinya terhadap pemberdayaan masyarakat. Pada kasus yang beliau angkat ini, yaitu pada kelompok Mikung dalam masyarakat Kampung Gunung Kembang Tengah, proses permajinalan terjadi selain karena faktor struktural akibat model pembangunan Orde Baru juga disebabkan oleh faktor perbedaan ideologi agama antar kelompok didalam masyarakat. Kedua faktor tersebut bekerja demikian kuat dalam kehidupan masyarakat seiring dengan perubahan sistem politik nasional mulai dari masa Orde Lama hingga Orde Baru. Walaupun tema yang kami angkat sama yaitu terkait dengan marjinalisasi akan tetapi pada tulisan Sofwan Semendawai ini tidak hanya melihat marjinalisasi sebagai akibat dari adanya faktor struktural tetapi karena faktor perbedaan ideologi agama. Terlebih lagi karena stigma sebagai anggota PKI yang melekat pada diri mereka menjadi faktor bagi mereka menjadi tersisih dalam struktur sosial ekonomi masyarakat (Semendawai 2001, h. 13). Berbeda halnya dengan penulis yang melihat marjinalisasi berangkat dari adanya kebijakan normalisasi yang melanggengkan adanya struktur yang menghambat masyarakat lokal untuk mengeruk keuntungan lebih dari penambangan pasir. Pada akhirnya, pemerintah Kabupaten Sleman cenderung untuk memperdaya masyarakat lokal melalui instrumen kebijakan ini daripada memberdayakan mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa pasir Merapi menjadi daya tarik baru yang cukup menjanjikan baik bagi masyarakat lokal maupun pengusaha luar Sungai Gendol yang melihatnya sebagai potensi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini terealisasikan pada banyaknya orang baik secara 2
manual maupun dengan alat berat untuk menambang pasir. Para pembeli pasir di lokasi penambangan misalnya dapat menjual pasir satu rit ke kota-kota di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan harga antara Rp 250 ribu hingga Rp 450 ribu
per
rit
tergantung
jarak
lokasi
penjualan
kembali.
(http://www.tempo.co). Banyaknya orang yang datang ini pun tidak lain merupakan dampak dari lahirnya kebijakan normalisasi sungai Gendol yang memberikan kesempatan kepada semua kalangan untuk melakukan penambangan pasir. Adanya material vulkanik merupakan sedimentasi yang dapat menganggu fungsi aliran sungai di Gendol, Krasak, Opak, Boyong, dan Kuning. Sedimentasi tersebut dinilai telah melebihi batas normal sehingga menyebabkan pendangkalan sungai yang dapat memicu terjadinya banjir, terlebih pada musim penghujan. Dengan alasan demikianlah maka pemerintah Kabupaten Sleman menerbitkan keputusan Bupati Sleman Nomor 284/Kep.KDH/A/2011 tentang Normalisasi Aliran Sungai Pasca Erupsi Gunung Merapi. Kebijakan ini diambil oleh pemerintah Sleman untuk mengembalikan fungsi sungai sebagai aliran air dengan memberikan izin kepada penambang pasir untuk dapat mengambil material yang terdapat di aliran sungai tersebut (http://www.slemankab.go.id). Kebijakan normalisasi ini didalamnya mengatur mengenai pengambilan pasir tersebut dilakukan yaitu dengan memperhatikan kondisi deposit pasir dan batu di jalur sungai wilayah masing-masing. Pengambilan material deposit pasir dan batu dilakukan hanya untuk material deposit pasir dan batu baru hasil erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang mengganggu aliran sungai. Normalisasi sungai dilaksanakan dengan menjaga keamanan prasarana dan sarana di daerah aliran sungai lokasi yang dilalui kendaraan pengangkut, tidak mengubah lingkungan atau kondisi sungai dan tidak merusak lingkungan sekitar. Ketentuan kapasitas muat kendaraan maksimal 4m3atau 6 ton dengan ketentuan jam kerja antara pukul 06.00 sampai 18.00 WIB. Kebijakan ini memperlakukan penambangan pasir di Sungai Gendol ini termasuk pada bahan galian golongan C dengan memprioritaskan warga atau masyarakat 3
setempat yang melakukan penambangan pasir (Keputusan Bupati Sleman No 284./Kep/KDH/A/2011). Pemerintah Kabupaten Sleman mendukung pengambilan pasir di sungai Gendol ini sebagai bentuk normalisasi sungai Gendol. Namun, adanya kebijakan ini cenderung memberikan keleluasaan bagi penambang pasir dengan alat berat untuk melakukan eksploitasi terhadap pasir Merapi. Pada akhirnya, masyarakat lokal menjadi korban dari adanya kebijakan ini. Keberadaan mereka dalam mengakses pasir Merapi ini menjadi terpinggirkan dan terlupakan oleh pemerintah. Hal inilah yang membuat pemerintah terkesan memarginalkan masyarakat lokal Merapi dalam kebijakan normalisasi sungai Gendol. Didalam melihat proses marjinalisasi terhadap masyarakat, penulis melihat pada penambangan pasir di sungai Gendol dengan memulai dari perspektif masyarakat lokal yang berprofesi sebagai penambang pasir dengan alat manual. Penambangan pasir di sungai Gendol, pada kenyataannya lebih didominasi oleh penambang pasir yang menggunakan alat berat. Bahkan Tempo mencatat bahwa terdapat 15 unit alat berat yang beroperasi di Sungai Gendol (http://www.tempo.co). Walaupun sebenarnya telah terjadi penurunan dari yang semula berjumlah 17 unit alat berat (http://www.radarjogja.co.id). Akan tetapi, jumlah alat berat ini tentunya masih dirasa besar. Hal ini seringkali menimbulkan persaingan di antara penambang pasir secara manual dengan menggunakan alat berat. Jelas, mereka yang menambang melalui alat manual kalah jauh dalam hal kecepatan dan produktivitas pengerukan pasir. Masyarakat lokal hanya menggunakan senggrong, sekop, cangkul untuk menambang dibandingkan dengan pengguanaan alat berat yang menampung hasil yang jauh lebih banyak. Hasil yang didapatkan masyarakat lokal menjadi lebih sedikit dibandingkan mereka yang menggunakan alat berat. Terlebih lagi, masyarakat lokal kesulitan dalam menjual pasir Merapi. Hal ini dikarenakan penambang yang menggunakan alat berat lebih mudah dalam menjual hasil galian pasir tersebut dibandingkan masyarakat lokal yang tidak memiliki jaringan luas dalam menjual atau terbatas di lingkup sekitar. 4
Menurut Budiman, kompetisi tidak dimulai dari kesataraan modal akan tetapi terdapat orang-orang yang telah memiliki atau memonopoli alat produksinya (Budiman 2006, h. 42). Di dalam kasus ini, kebijakan normalisasi mengarah pada terjadinya kompetisi bebas di lapangan antara penambang pasir. Monopoli alat produksi digambarkan oleh penambang pasir dengan alat berat seperti back hoe. Sementara, orang lain yaitu penambang pasir dengan alat manual memulai dengan minimnya alat produksi dan bekerja hanya dengan mengandalkan tenaganya. Di dalam keadaan seperti ini, maka mereka yang memiliki alat produksi yang lebih, akan menjadi semakin kaya karena sebagian besar keuntungan akan mengalir ke pemilik modal dan hanya sebagian kecil yang mengalir ke mereka yang bekerja dengan hanya mengandalkan alat manual saja. Dengan demikian, masyarakat seputar Sungai Gendol semakin tersudutkan posisinya. Hal ini semakin menempatkan mereka menjadi korban daripada aktor yang mampu untuk memberdayakan potensi sumber daya pasir dari wilayah mereka sendiri. Didalam tulisan ini, penulis melihat bahwa terdapat proses marjinalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman terhadap masyarakat lokal. Kebijakan normalisasi menjadi bentuk instrumentasi pemerintah secara sengaja untuk memperdaya masyarakat. Pada kenyataanya, pemerintah Kabupaten Sleman tidak dapat dengan serta-merta memproteksi masyarakat lokal melalui kebijakan ini dari kepentingan pemodal. Idealnya, pemerintah kabupaten Sleman dapat menggunakan sumber daya alam pasir tersebut untuk kesejahteraan masyarakat lokal dengan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengelola pasir Merapi secara mandiri. Namun faktanya, pemerintah cenderung melanggengkan adanya struktur pada masyarakat lokal untuk tetap mempertahankan konformitas kelas sosial dalam masyarakat lokal. Hal ini terlihat pada kondisi di lapangan, pengusaha yang melakukan dominasi dalam mengakses pasir merapi. Pemerintah pada kenyataannya tidak dapat melakukan proteksi dengan membatasi pengusaha yang datang untuk mengakses pasir melainkan membuka kesempatan sejauh pengusaha tersebut telah
5
mengantongi izin dan juga membayar retribusi untuk masuk ke daerah Sungai Gendol sebagai daerah penambangan. Jelas keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat lokal patut dipertanyakan. Dengan kondisi yang demikian adanya, masyarakat lokal tidak memiliki kekuasaan untuk menentang keberadaan penambang pasir dengan alat berat ini karena mereka telah mengantongi izin dari pemerintah yang mendukung normalisasi sungai. Penambangan yang telah mendapat izin tentunya dinilai tidak bermasalah dan legal di mata pemerintah. Sementara, masyarakat lokal pun tidak memiliki saluran atau wadah untuk menyampaikan aspirasinya tersebut sehingga tidak banyak perubahan yang didapatkan. Mereka pada akhirnya harus tersubordinasikan dari kebijakan normalisasi tersebut yang lebih menguntungkan pihak yang menambang pasir dengan alat berat yang tentunya memiliki modal besar. Padahal, masyarakat lokal ini telah kehilangan rumah dan mata pencarian mereka sehingga memilih untuk alih profesi sebagai penambang pasir. Namun pada akhirnya mereka juga kalah bersaing dengan penambang pasir dengan alat berat. Hal ini menjadikan masyarakat tertahan dalam konformitas yang dibangun. Mereka menjadi terlemahkan oleh struktur yang terbangun tersebut yang membuat mereka kesulitan dalam memanfaatkan pasir Merapi. Dibalik itu semua, ada berbagai kemungkinan skenario yang sengaja dirancang untuk membuat masyarakat menjadi tidak berdaya untuk melawan. Sewajarnya, apabila masyarakat lokal merasa dieliminasi keberadaaanya dalam kebijakan normalisasi ini karena peran mereka yang minimal dan tidak benarbenar diberdayakan bahkan lebih cenderung diperdaya melalui implementasi kebijakan ini. Sebaliknya, akan jauh lebih memperlihatkan niat baik pemerintah kabupaten Sleman untuk melakukan kebijakan normalisasi sungai Gendol ini apabila memberikan porsi serta dukungan yang besar kepada masyarakat lokal. Pemerintah dapat mempercayakan berbagai bantuan alat berat yang dapat disalurkan kepada masyarakat lokal dan hasilnya pun seutuhnya untuk mereka. Dengan begitu, terdapat 6
kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat lokal untuk memanfaatkan pasir tersebut. Di sisi lain, masyarakat lokal sesungguhnya memiliki potensi yang besar. Mereka memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kekuatan mereka dalam memberdayakan diri mereka sendiri. Selama ini, pengalaman di desa-desa sepanjang sungai Gendol memiliki kelompok ternak yang bisa mengembangkan usaha ternak sapi mereka. Hal ini bisa diaplikasikan juga dalam pengambilan pasir Merapi dengan membentuk kelompok apabila pemerintah mau memberikan bantuan modal untuk memperlancar hal tersebut. Masyarakat lokal sesungguhnya memiliki potensi yang dapat dikembangkan, akan tetapi tidaklah benar-benar diperhitungkan oleh Pemerintah Sleman. Pemerintah Kabupaten Sleman seharusnya dapat mengolah potensi masyarakat tersebut sebagai strategi dalam melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat lokal. Kebijakan normalisasi ini pada kenyataannya lebih memberikan kesempatan yang besar kepada penambang pasir dari luar daerah aliran Sungai Gendol untuk melakukan penambangan pasir bahkan memberikan izin untuk menggunakan alat berat. Dengan dalih untuk mempercepat normalisasi sungai Gendol akan tetapi terdapat unsur kesengajaan bahwa kebijakan ini lebih berorientasi terhadap pengerukan kekayaan pasir Merapi untuk kepentingan PAD Sleman daripada kebijakan untuk normalisasi sungai. Kebijakan ini lebih sebagai jual-beli material pasir dan batu. Pasir dan batu yang diambil pun yang memiliki nilai ekonomis sedangkan yang tidak memiliki nilai ekonomis ditinggal (http://www.tempo.co). Setiap truk-truk yang masuk ke sungai Gendol harus membayar retribusi kepada pemerintah Sleman sebesar Rp 15.000,00. Dari retribusi tersebut, maka jumlah persenannya yang telah dijadikan satu dalam total PAD Kabupaten Sleman untuk dibagi kepada desa akan diproses oleh pemerintah Kabupaten Sleman (Sugiyono, 2013, komunikasi personal, 12 Maret). Selama dua tahun, Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Mineral Kabupaten Sleman, Widi Sutikno mengatakan bahwa
7
Pemerintah Kabupaten Sleman menerima pemasukan hasil galian C sebesar Rp 12 miliar (www.tempo.co). Namun demikian, tidak banyak pula hasil yang signifikan yang didapatkan untuk masyarakat lokal. Pengembalian kepada desa melalui sistem bagi hasil ini tidak dengan serta-merta menjadikan masyarakat lokal lebih sejahtera atau terdapat perbaikan infrastruktur di desa-desa. Hal ini dikarenakan desa-desa di aliran sungai Gendol ini banyak dan dari persenan bagi hasil tersebut dibagi untuk desa-desa secara rata maka semakin sedikit bagian yang didapatkan. Pada akhirnya, penarikan retribusi ini menjadi tidak efektif dan efisien apabila dengan niatan pengembaliannya untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Arief Budiman dalam bukunya Kebebasan, Negara, dan Pembangunan mengatakan bahwa kebijakan pemerintah seringkali didukung oleh pengusaha lokal yang hanya menghasilkan keterbelakangan karena kemakmuran bagi rakyat jelata dinomorduakan (Budiman 2000, h. 67). Begitu halnya dengan kebijakan normalisasi ini, cenderung menggambarkan pada bagaimana pemerintah Sleman memperoleh dukungan pemodal untuk terus melanggengkan kebijakan ini yang mana keduanya memperoleh keuntungan dengan adanya kebijakan tersebut. Sementara di sisi lain, kebijakan normalisasi ini sendiri mengarah pada keterbelakangan bagi masyarakat lokal yang mana kesejahteraannya tidak dipedulikan Dengan demikian, kebijakan normalisasi ini cenderung lebih menunjukkan adanya motif ekonomi dibaliknya dengan adanya komersialisasi pasir Merapi yang hanya menguntungkan segelintir pihak tetapi tidak berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi masyarakat lokal Merapi yang mana memiliki ikatan sosial kultural dengan Merapi. Masyarakat lokal, sekali lagi menjadi pihak yang tersubordinasikan oleh pemerintah kabupaten Sleman melalui instrumen kebijakan normalisasi.
8
B. Rumusan Masalah: Adapun dari gambaran singkat permasalahan yang diuraikan maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut.” Bagaiamana proses marginalisasi masyarakat desa
Wukirsari, Cangkringan sebagai akibat dari kebijakan normalisasi Sungai Gendol?” C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang diharapkan penulis dari tulisan ini adalah sebagai berikut, 1. Untuk mengetahui proses marjinalisasi yang dilakukan pemerintah atas masyarakat desa Wukirsari melalui instrument kebijakan normalisasi sungai Gendol. 2. Untuk mengetahui aktor yang terlibat dan kepentingan yang berada di baliknya dalam kebijakan normalisasi sungai Gendol. D. Kerangka Teori Di dalam analisa yang digunakan oleh penulis bertolak dari teori marjinalisasi sebagai teori utama. Proses ini meliputi akar dan proses marjinalisasi. Pada akhirnya proses yang terjadi ini bermuara pada dampak kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat lokal seputaran Sungai Gendol. Selama ini, studi-studi yang disuguhkan mengenai marjinalisasi menunjukkan adanya ketidakberdayaan masyarakat oleh penindasan yang dilakukan oleh Negara. Negara yang notabene menjadi institusi utama dalam menegakkan keadilan masyarakat justru menjadi aktor penindas masyarakat. Kebijakan yang digadangkan oleh Negara pun seolah merupakan undangan bagi para pengusaha untuk ikut mengeruk sumber daya di pedesaan. Negara menjadi aktor yang melanggengkan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat. Masyarakat semakin tersudutkan dan terlemahkan di dalam pergumulan hidup mereka yang sarat diwarnai dengan persaingan akses pemanfaatan terhadap sumber daya yang dipengaruhi oleh 9
kapabilitas modal dari pengusaha. Tentu saja masyarakat lokal yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas yang setara dengan pengusaha harus kalah dan tunduk terhadap kaum pemodal. Hal inilah yang berupaya dijelaskan penulis melalui teori marjinalisasi yang ditujukan untuk mempermudah alur dalam tulisan penulis. D.1 Ekslusi Sosial Sebagai Bentuk Marjinalisasi Martin D. Munk mendefinisikan marjinalisasi sebagai posisi marjinal dalam relasi pekerjaan, keluarga, atau dalam lingkungan hidup sehari-hari, kesehatan, pendidikan, atau partisipasi politik. Jika seorang individu termarjinalisasi dalam aspek atau lingkup terebut maka orang tersebut terekslusi dari lingkungan sosial (ekslusi sosial) seperti yang dilabelisasi oleh Serge Paugam. Marjinalisasi pada akhirnya merujuk pada adanya suatu proses yang membentuk situasi sosial yang bersifat negatif bagi individu tersebut. Di sisi lain, rezim pemerintahan juga menentukan bagi seseorang atau kelompok sosial diperlakukan. Pemerintah dalam hal ini memberikan kesempatan yang berbeda tergantung pada bagaimana pemerintah menangani posisi marjinal dari individu atau kelompok tersebut, termasuk jaminan keamanan mereka (Munk 2002, h. 2-4). Hal serupa juga disampaikan oleh Robert Peace yang mengungkapkan bahwa orang dapat termarjinalisasi oleh keadaan, secara sosiokultural termarjinalisasi, yang terekslusi karena umur, gender, atau disabilitas, serta termarjinalisasi karena keadaan sosio-ekonomi. Kesemuanya ini mengarah pada seseorang dapat dikategorisasikan mengalami ekslusi sosial dalam kehidupannya (Peace 2001, h. 22). Hal serupa juga diungkapkan oleh Gallie dan Paugam bahwa ekslusi sosial merujuk pada sutu situasi di mana orang-orang menderita sebagai akibat dari ketidakberuntungan secara kumulatif dari marjinalisasi di pasar kerja, kemiskinan, dan isolasi sosial. Aspek yang saling terkait ini yang menyebabkan individu tidak memiliki sumber daya ekonomi dan sosial untuk berpartisipasi di kehidupan sosial (Gallie dan Paugam dalam Silver, 2007, h. 12).
10
Sementara Hillary Silver menekankan ekslusi sosial sebagai suatu proses dinamik bersifat multidimensional yang meretakkan ikatan sosial baik pada level individu atau kelompok. Hal ini ditunjukkan melalui hambatan bagi kelompok sosial tertentu untuk berpartisipasi dan adanya keterbatasan akses atas informasi, sumber daya, pengakuan, identitas, serta mengurangi kapabilitas untuk mencapai tujuan individu. Silver juga mengutip definisi Barry yang melihat ekslusi sosial sebagai suatu proses struktural dari isolasi sosial di mana terdapat dimensi beragam yang mengambat pelibatan sosial (Barry dalam Silver, 2007, h. 2). Berbicara mengenai ekslusi sosial sebagai suatu proses structural maka terdapat relasi yang aktif antara excluders dan excluded. Excluders merupakan pelaku yang menggunakan mekanisme tertentu untuk mendorong orang lain keluar dan menghambat akses orang tersebut atas sumber daya dan relasi. Semenatara excluded merujuk pada orang yang menerima akibat dari excluders yaitu mereka yang kehilangan status, mengalami penghinaan, dan tidak diakui keberadaaanya. Menurut Silver, ada kewenangan pemerintah didalamnya untuk memberikan ruang partisipasi pada mereka yang mengalami ekslusi sosial. Oleh karena itu, keberpihakan pemerintah terhadap kelompok excluded sangatlah penting. Peran ini terlebih lagi pada bagaimana kebijakan mampu untuk melawan ekslusi sosial. Peran tersebutlah yang signifikan pula untuk memberdayakan mereka (Silver 2007, h. 1-3) Tokoh lainnya, Arie Rimmerman mengungkapkan bahwa ekslusi sosial merupakan konsep kompleks yang menunjukkan adanya hubungan yang beratsebelah atau tidak menguntungkan dalam suatu norma sosial, aktivitas ekonomi, atau politik yang berhubungan dengan individu, tempat tinggal, area spasial, atau kelompok populasi. Hal ini berakar pada teori sosial klasik Durkheim yang merefleksikan transisi dari masyarakat agrarian ke masyarakat industry pada masyarakat Eropa. Ekslusi sosial ini juga sering diganti dengan istilah ketidakberuntungan, ketidakadilan, diskriminasi dan kemiskinan. Namun
11
demikian, ekslusi sosial tidak hanya tumpang-tindih dengan dimensi kemiskinan, pekerjaan, dan tekanan ekonomi akan tetapi juga dengan terminologi modal sosial dan partisipasi sosial (Rimmerman.2013, h. 33-34). Di dalam terminologi kebijakan, ekslusi sosial merupakan suatu konsep Eropa yang berasal dari Perancis pada pertengahan 1970an. Istilah ini digunakan oleh pemerintah sosialis Perancis untuk mendeskripsikan masyarakat marjinal, yang mana merupakan orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap sistem jaminan sosial. Istilah ekslusi sosial ini juga merujuk pada Renė
Lenoir,
kemudian Secrėtaire d’Etat a I’Action Sosiale in the Chirac government, yang mempublikasikan Les Exclus: Un Français sur dix pada tahun 1974. Ekslusi menurut Lenoir ini merujuk pada varian yang lebih luas dari masyarakat yang terekslusi yaitu bukan hanya mereka yang miskin akan tetapi juga orang yang bunuh diri,
orang
tua atau berumur, diffabel,
atau anak-anak yang
disalahgunakan. Kelompok tersebut berada pada besaran 10% dari populasi penduduk Perancis (Rimmerman.2013, h. 35). Istilah ekslusi sosial diadopsi pula oleh European Union (EU) pada akhir tahun 1980an sebagai sebuah konsep kunci untuk mendeskripsikan kebijakan antikemiskinan. Hal ini dilakukan untuk mengalahkan stigma yang merujuk pada kemiskinan dan deprivasi. Pada akhirnya, terjadi transformasi makna dari kemiskinan ke marjinalisasi dan pengangguran. Namun demikian, ekslusi sosial secara luas digunakan di Perancis dan Inggris akan tetapi, jarang digunakan di Amerika Serikat. Hillary Silver dalam bukunya mengatakan bahwa di Perancis, terminologi ekslusi sosial meluas untuk mencakup lebih banyak kelompok orangorang yang termarjinalkan dalam masyarakat dan muncul untuk mendenotasi ‘renggangnya hubungan sosial’ dengan mengekspresikan kontrak yang diinginkan antara Negara dan warga negaranya. Angus Cameron juga mengatkan bahwa di Inggris, konsep ini merefleksikan deprivasi relatif dari kemiskinan. Konsep ini keluar dari deprivasi material dan diinterpretasikan melalui penghormatan pada 12
yang sebelumnya terdapat batasan kesempatan untuk berpartisipasi dalam masyarakat luas serta aktivitas kultural. Sementara di Amerika Serikat, istilah ini serupa
dengan
kelas
bawah,
ketidakberuntungan,
dan
ketergantungan
kesejahteraan (Rimmerman 2013, h. 34). Pada bagian ini, penulis mengambil pengertian marjinalisasi sebagai ekslusi sosial yang disampaikan oleh Munk dan diperkuat pula oleh Hillary Silver dan Robert Peace. Hal ini berdasarkan pada argument dari Munk yang menyatakan bahwa pemerintah pun dapat menjadi aktor yang menentukan adanya marjinalisasi kepada individu atau dalam konteks ini adalah masyarakat lokal seputaran Sungai Gendol. Selain itu, penulis juga melihat bahwa marjinalisasi yang dialami masyarakat lokal berpengaruh pada kehidupan sosio-ekonomi mereka. Dampak ini terlihat pada adanya ketimpangan akses pemanfaatan sumber daya pasir Merapi di sungai Gendol antara masyarakat lokal dengan pengusaha dengan modal besar. Sementara, apabila kita memperdalam makna dari ekslusi sosial tersebut, Brian Barry melihat ekslusi sosial dalam bentuk di mana orang tidak dapat berpartisipasi dalam institusi yang dikuasai oleh mayoritas. Ekslusi sosial menuntut untuk terciptanya keadilan sosial, terutama dalam dua hal, yaitu kesamaan dalam mengakses setiap peluang dan juga untuk berpartisipasi secara efektif dalam politik. Ekslusi sosial ini sesungguhnya merupakan suatu proses di mana individu atau kelompok terekslusi diluar keinginan mereka (Barry 1998, h. 1-4) Selain itu, pendekatan dalam melihat ekslusi sosial yang dikemukakan oleh Kayla Lewkowicz adalah liberalisme yang berbasiskan pada kompetisi. Saat pasar atau lembaga melakukan diskriminasi melalui harga, kualitas, atau penawaran, maka kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin tajam. Disparitas kesejahteraan kemudian memberikan masalah ekonomi dan sosial dengan
13
berubahnya ekpektasi sosial dan hubungan di antara aktor-aktor yang terlibat, yang ditandai dengan berubahnya relasi secara hierarki (Lewkowicz 2011, h. 4). Menurut Else Oyen ekslusi sosial ini dapat mengarah pada kemiskinan. Namun demikian, permasalahan tersebut tersembunyi di balik ekslusi sosial yang berpadu dengan permasalahan serta fenomena sosial lainnya (Oyen 2007, h. 64). Sementara, marjinalisasi pada masyarakat lokal seperti yang diungkapkan oleh Sutoro Eko merujuk pada adanya optimalisasi penggunaan sumber daya alam masyarakat lokal disedot keluar guna menciptakan kemakmuran bagi pengusaha dan penguasa. Kearifan lokal yang mereka miliki secara perlahan mulai menipis seiring dengan makin kuatnya orientasi bisnis dan pengejaran keuntungan ekonomis yang dilakukan pemerintah dan pengusaha (Eko 2006, h. 12). Artinya marjinalisasi di sini melihat bahwa terdapat kongkalingkong antara pemerintah dengan pengusaha untuk menindas masyarakat lokal Secara umum, marjinalisasi merujuk pada relasi yang tidak imbang karena subordinasi dalam berbagai hal (multidimensional) antara satu pihak dengan pihak lainnya. Begitu pun halnya dalam kebijakan normalisasi. Penulis melihat bahwa subordinasi diawali dari dimensi politik yaitu kebijakan yang pada akhirnya berimbas pada kehidupan ekonomi masyarakat di Sungai Gendol. Hal ini menujukkan adanya pihak yang berperan sebagai excluders dan excluded. Pihak excluders di sini diuntungkan karena memiliki sumber daya yang melimpah. Sementara kelompok excluded tidaklah memiliki kapabilitas yang cukup untuk melakukan perlawanan. Di sisi lain, pemerintah dapat hadir untuk memberikan ruang partisipasi kepada kaum marjinal untuk mengungkapkan aspirasi dan memberdayakan mereka. Pemerintah dapat mewujudkan aspirasi tersebut dalam kebijakan. Hanya saja, hal tersebut sangatlah bergantung pada komitmen pemerintah. Ketika pemerintah sendiri enggan untuk menyuarakan aspirasi mereka bahkan sudah terkontaminasi dengan kepentingan excluders maka semakin terpinggirkan pula kaum excluded. Bahkan pemerintah pun dapat 14
diperhitungkan sebagai kelompok excluders. Hal ini pula yang menjadi sorotan utama penulis dalam melihat kebijakan normalisasi Sungai Gendol.
D.2 Proses Marjinalisasi dilihat dari Sifat dan Pemilahannya Pada dasarnya adanya marjinalisasi ditandai oleh suatu proses. Sama seperti dampak merupakan hasil dari suatu proses. Proses inilah yang disebutkan oleh Hillary Silver sebagai multidimensional. Proses ini tentulah tidak hanya sesekali saja akan tetapi berulang dan stimultan. Proses inilah yang akan penulis kaji lebih jauh sebagai konteks marjinalisasi terhadap masyarakat Sungai Gendol. Silver di dalam jurnal berjudul The Process of Social Exclusion: The Dynamics of an Evolving Concept menyebutkan bahwa proses ekslusi dapat meliputi diskriminasi, penolakan, pengusiran. Hal tersebut menunjukkan adanya dominasi sosial dengan motif tertentu yang melatarbelakangi adanya ekslusi sosial. Adanya motivasi ini dipengaruhi oleh faktor multidimensional. Dimensi yang dimaksud tersebut meliputi ketidakberuntungan dalam aspek ekonomi dan sosial. Dimensi ekonomi pun tidak hanya mengenai kemiskinan karena tidak memiliki uang atau penghasilan yang tidak memadai tetapi juga berkaitan pada bagaimana ekslusi terjadi dari kepemilikan tanah, kredit, asset lainnya, konsumsi barang, dan pasar kerja (Silver 2007, h. 2). Ekslusi sosial yang bersifat multidimensional merupakan suatu hubungan sebab-akibat dari satu dimensi dengan dimensi lainnya yang bersifat merugikan. Hal inilah yang kemudian berbuah dampak negative dalam kehidupan seseorang. Di sisi lain, Silver menyebutnya sebagai dinamika studi dalam ekslusi sosial. Misalnya, orang yang terekslusi dari proteksi welfare state atau dukungan keluarga karena statusnya sebagai seorang pengangguran. Orang ini akan masuk
15
sebagai golongan orang miskin dan status tersebut dapat mengganggu relasi sosial (Silver 2007, h. 2). Sama halnya dengan Silver, Gallie dan Paugam menilai bahwa ekslusi sosial merujuk
pada
situasi
di
mana
penderitaan
seseorang
merupakan
ketidakberuntungan akumulatif mulai dari marjinalisasi di pasar kerja, kemiskinan, dan isolasi sosial. Ketidakberuntungan tersebutlah yang kemudian mengakibatkan orang tersebut tidak memiliki kapasitas ekonomi ataupun sumber daya untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Tentu saja hal ini mempertajam adanya pembilahan antara kaum minoritas yang kekurangan dibandingkan dengan mayoritas yang nyaman (Gallie dan Paugam dalam Silver 2007, h. 12-13). Pada level individu, ekslusi merupakan suatu ekpresi dari dislokasi sosial yang kronik, baik kemiskinan atau ketiadaan kepemilikian atas non-material. Di level ini, seseorang dilihat kemampuannya dalam melakukan penyesuaian diri dalam berbagai konteks permasalahan dan strategi untuk menyeimbangkan kebutuhan dan penggunaan serta distribusi sumber daya (Elder dan Shanahan dalam Silver 2007, h. 9). Sementara penelitian yang dilakukan oleh Karl Ulrich Mayer dan Schoepflin menunjukkan bahwa pola yang berkembang dalam masyarakat tersebut tergantung pada konfigurasi institusi yang membentuk model sosial yang dianggap sesuai dan kapan. Misalnya, pada welfare state melakukan institusionalisasi nilai bersama di antara masyarakat. Di sisi lain, orang yang hidupnya tidak sesusai dengan standar tersebut maka akan mengalami ekslusi sosial. Oleh karena itu, arah kebijakan ikut menentukan pula perbedaan kemiskinan antara Negara yang satu dengan lainnya. Komitmen pemerintah untuk membuat hukum dan kebijakan yang berisifat inklusif sangatlah penting (Silver 2007, h. 8-10). Adanya perbedaan antara excluders dan excluded tersebut digambarkan dengan adanya batas sosial. Batas ini sendiri dapat bersifat fleksibel, lebih terbuka
16
atau tertutup sehingga orang luar kelompok dapat masuk melalui transaksi yang disepakati. Banyak teori mencari mekanisme strukturalis universal yang dapat menjelaskan isi dan konteks mana yang dapat ditawar. Menurut Charles Tilly, berdasarkan tranksaksi untuk melewati batasan tersebut kategori yang digunakan dapat menghasilkan ketidakadilan yang berkepanjangan. Kategori yang tidak adil dan relasi kelompok secara asimetri menjadi terinstusionalisasi melalui berbagai mekanisme. Mekanisme terebut adalah eksploitasi, ketidakadilan melalui monopoli akses terhadap sumber daya yang berharga. Kategori tersebut dipaksakan melalui transfer nilai (emulasi) dan adaptasi aktivitas terhadap kategori yang tidak adil tersebut (Tilly dalam Silver 2007, h. 15-16). Proses marjinalisasi ditegaskan oleh Silver melalui berbagai proses. Proses tersebut mencangkup lima hal yaitu, discrimination (diskriminasi); rejection (penolakan); eviction (pengusiran); expulsion (pemaksaan); dan ineligibility (tidak memenuhi syarat). Lebih lanjut, Silver menyebutkan bahwa marjinalisasi tidak selalu terkait dengan hal material atau ekonomi. Akan tetapi juga berkaitan dengan konstruksi belahan sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya terkait dengan gender, ras, etnis, kasta, hak-hak kewarganegaraan (Silver 2007, h. 2). Penulis melihat bahwa proses tersebut dapat saling berkaitan satu sama lain atau berdiri sendiri tetapi kesemuanya akan mengarah pada marjinalisasi. Monopoli yang dijelaskan oleh Tilly misalnya merupakan contoh dari adanya diskriminasi. Diskriminasi akan menunjukkan adanya relasi yang tidak imbang antara satu pihak dengan yang lainnya. Diskriminasi dapat dipengaruhi oleh sumber daya yang kuat di excluders dan mengarah pada keterpaksaan kelompok excluded untuk mengikuti keinginan dari excluders. Hal ini merupakan konstruksi yang terbangun dalam proses marjinalisasi. Lebih lanjut, penulis akan menelusuri dalam kebijakan normalisasi apakah sejalan dengan proses yang disebutkan oleh Silver tersebut.
17
Sementara itu, permasalahan ekslusi sosial tidak hanya berbicara mengenai proses saja akan tetapi dipengaruhi pula hal-hal yang bersifat multidimensional serta pola relasi yang tidak imbang karena perbedaan kekuatan sumber daya. Artinya ada orang yang hanya mengalami satu aspek ketidakberuntungan, akan tetapi dapat merambat pada aspek lain sehingga terjadi suatu relasi yang bersifat mutual dan dapat berkembang menjadi semakin negatif dari waktu ke waktu. Di sisi lain, orang tersebut dapat bertahan dalam konformitas yang semakin lama semakin terpatri pula dalam kehidupannya atau dapat pula bertahan melalui sebuah transaksi negosiasi. Akan tetapi, hal tersebut hanya akan menguntungkan kepentingan kelompok lain. Pola relasi yang tidak adil tersebut yang semakin menguatkan struktur penindas dan yang ditindas. Selain itu, ketidakadilan juga merupakan konsekuensi dari tidak ratanya distribusi kekuatan sumber daya. Di pihak dengan sumber daya yang kuat dapat memiliki kekuatan lebih untuk menindas mereka dengan sumber daya minimum. Sementara itu, peran pemerintah untuk melakukan inklusi sosial juga penting. Komitmen pemerintah untuk membela kepentingan kaum marjinal menjadi penentu. Bahkan tanggungjawab pemerintah untuk membentuk pola yang berkembang dalam masyarakat. Pemerintah pula yang mempunyai tanggungjawab menginternalisasi suatu nilai dalam masyarakat. Oleh karena itu, keberpihakan pemerintah kepada satu kelompok saja merupakan awal dari peminggiran hak masyarakat di sisi lain. Dengan demikian, aktualisasi suara kaum marjinal harus mendapatkan tempat bagi para pemangku kebijakan. E. Definisi Konseptual Definisi konseptual ini adalah penyederhanaan teori dari berbagai pendapat ahli pada kerangka teori diatas untuk mempermudah dalam memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih terkait dengan konsep kita ini atau tidak.
18
E.1 Eklusi sosial sebagai bentuk Marjinalisasi Secara umum, marjinalisasi merujuk pada posisi marjinal atau hubungan berat-sebelah atau tidak menguntungkan yang dihadapi oleh individu, kelompok sosial dalam relasi kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan sosial, ekonomi, poitik. Adanya marjinalisasi tersebut tidak lain menunjukkan terjadinya ekslusi dari lingkungan sosial. Eklusi sosial menjadi penekanan dari situasi negatif yang dialami individu atau kelompok sosial tertentu. Ekslusi sosial akan mempertajam makna dari marjinalisasi itu sendiri di mana memberikan penjelasan lebih dalam pada bagaimana individu atau kelompok sosial tidak dapat berpartisipasi karena kalah dengan kekuatan mayoritas. Pada akhirnya, hal tersebut berimplikaasi pada ketidakadilan dalam mengakses peluang atau sumber daya. Namun demikian, adanya ekslusi sosial terjadi diluar keinginan individu atau kelompok sosial tersebut. Masyarakat lokal Sungai Gendol dapat dikatakan mengalami marjinalisasi di mana kebijakan normalisasi sungai Gendol memberikan kesempatan seluasnya bagi penambang pasir dengan alat berat dalam mengakses pasir Merapi. Ketidakseimbangan dalam mengakses menjadikan masyarakat lokal terekslusi dari kebijakan tersebut. Sementara, pemerintah kabupaten Sleman tidak memiliki mekanisme yang tegas untuk membatasi keberadaan pengusaha dengan alat berat. Hal ini menjadikan masyarakat semakin tersudutkan posisinya. Peran masyarakat yang tereliminasi semakin terlihat pada bagaimana mereka tidak memiliki saluran untuk menyampaikan aspirasinya. Dengan demikian, masyarakat local seputaran Sungai Gendol termarjinalisasi baik dalam ekonomi maupun politik. E.2 Proses Marjinalisasi dilihat dari Sifat dan Pemilahannya Proses ini sebenernya merupakan proses yang berkepanjangan dari adanya suatu ketidakberuntungan yang bersifat multidimensional. Artinya, dimensi ini saling berkaitan dan menghasilkan suatu keadaan yang bersifat negatif. Keadaan 19
negatif inilah yang semakin menyudutkan seseorang dan membuat posisi orang tersebut lemah sehingga menjadi kaum yang rentan dan mengalami marjinalisasi. Sementara itu, komitmen dan keberpihakan pemerintah dalam pembuatan kebijakan semakin penting. Apabila pemerintah dapat memfasilitasi aspirasi dan kepentingan kaum marjinal maka ekslusi sosial dapat dihindari. Pemerintah dalam hal ini memegang pernanan yang penting dalam melakukan inklusi sosial untuk berbagai pihak. Proses marjinalisasi berkaitan pula dengan sifatnya yang multidimensional atau lintas aspek. Hal ini menunjukkan bahwa proses marjinalisasi adalah proses panjang akumulatif yang memberikan ekses negatif bagi individu atau kelompok. Kapasitas sumber daya mereka ini pula yang memengaruhi pola relasi yaitu satu aktor berperan sebagai excluders dan yang lain sebagai excluded. Selain itu, proses marjinalisasi tidak dapat dilepaskan dari pemilahan Hillary Silver yaitu diskriminasi, tidak memenuhi syarat, pengusiran, pemaksaan, serta penolakan. Kelima pemilahan tersebut akan memengaruhi kerangka pikir penulis dalam melihat proses marjinalisasi masyarakat seputaran Sungai Gendol. F. Definisi Operasional Definisi operasional ini berdasarkan pada indikator yang penulis rangkum dari berbagai pendapat ahli untuk mempermudah dalam operasionalisasi teori. F.1 Ekslusi sosial sebagai bentuk Marjinalisasi Minimnya akses terhadap sumber daya. Hal ini penulis telusuri lebih dalam pada lemahnya akses masyarakat dalam mengaspirasi kepentingannya terhadap pemerintah termasuk pada bagaimana hak mereka tidak tersalurkan secara optimal. Selain itu, walaupun pasir tersebut berada di wilayah mereka. Namun demikian, tidak serta-merta mereka dapat mengoptimalkan keuntungan yang didapatkan. Akses yang dekat dengan sumber daya sayangnya tidak 20
diikuti dengan pangsa pasar yang luas. Pangsa pasar masyarakat terbatas hanya pada satu lingkup saja menyebabkan nilai jual pasir mereka rendah. Kepemilikan sumber daya yang tidak seimbang. Sumber daya ini berkaitan dengan sumber daya politik dan ekonomi. Sumber daya politik berkaitan dengan kapasitas masyarakat untuk memengaruhi kebijakan. Hal ini terkait pada bagaimana masyarakat lokal tidak memiliki bargaining position yang tinggi dengan Pemda Sleman selaku pemangku kebijakan. Masyarakat tidak memiliki kekuatan politik yang kuat untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan. Selain itu, saluran politik yang minim pun menjadi factor adanya ketimpangan yang besar antara Pemda Sleman yang jelas memiliki kapasitas politik yang besar dengan masyarakat lokal yang sangat minim. Selain itu, di dalam implementasi kebijakan, sangat jelas terlihat bahwa normalisasi diperlakukan sebagai penambangan pasir. Penambang alat berat yang datang dari luar tersebut tentulah membutuhkan modal besar. Modal tersebut tentu didapatkan dari pengusaha yang memiliki modal besar. Hal ini jelas menunjukkan adanya ketimpangan dalam kapasitas mengakses pasir Merapi. F.2 Proses marjinalisasi dilihat dari Sifat dan Pemilahannya Bersifat multidimensional Di dalam hal ini, marjinalisasi tidak hanya meliputi satu dimensi saja akan
tetapi
berkaitan
pula
dengan
dimensi
lainnya.
Adanya
ketidakberuntungan pada satu dimensi dapat diikuti pula pada dimensi lain. Hal ini menunjukkan akumulasi dan dinamika dalam memahami dimensi marjinalisasi. Masyarakat lokal yang tidak dapat berpartisipasi dalam dimensi politik pada akhirnya merasakan pula imbasnya dalam dimensi ekonomi, yaitu ketidakmampuan mereka dalam pemanfaatan
21
akses atas sumber daya pasir. Hal ini menunjukkan bahwa ekslusi sosial sendiri bersifat multidimensional. Relasi yang tidak imbang antara aktor yang satu dengan yang lain. Hal ini tentunya dipengaruhi pula oleh adanya sumber daya yang melimpah pada satu aktor dan ketiadaan di pihak lain. Aktor yang memiliki sumber daya tersebut, baik politik, ekonomi pun sesungguhnya memiliki pilihan pula untuk berpihak pada actor yang minim atau melimpah sumber daya. Akan tetapi keberpihakan dan menguatnya satu aktor tentu saja akan diikuti dengan adanya dominasi atas aktor tertentu. Dengan kuatnya satu aktor tersebut akan mempertajam adanya relasi yang tidak imbang atau berat sebelah tersebut. Tentu saja aktor yang satu dengan yang lain memiliki batasan nilai yang berbeda. Hal ini dapat ditandai pula dengan adanya monopoli akses akan sumber daya alam. Begitu pun dengan penambangan pasir Gunung Merapi. Apabila kekuatan penambang dengan alat berat lebih dominan maka peran Pemda Sleman di dalamnya patut dipertanyakan. Discrimination (Diskriminasi) Diskriminasi merujuk pada adanya batasan sosial antara satu kelompok dengan kelompok lain karena relasi yang asimetris. Pihak yang kuat akan menggunakan mekanisme tertentu untuk mendukung aktivitasnya. Dengan demikian maka terjadi monopoli akses terhadap sumber daya tertentu. Hal ini tentu memaksa pihak yang lemah untuk tunduk terhadap nilai tersebut. Begitu pun dengan yang terjadi di penambangan pasir Merapi. Masyarakat lokal yang berada pada posisi lemah akan tunduk terhadap Pemda Sleman. Mekanisme tersebut pun terlihat pada kebijakan normalisasi yang memberikan ruang bebas terhadap pengusaha penambang. Kedua aktor tersebut memiliki kapasitas sumber daya yang kuat. Masyarakat lokal selalu diposisikan sebagai aktor diluar kebijakan. Ruang partisipasi masyarakat yang minim membuat mereka sekedar 22
menjadi penonton dalam implementasi kebijakan normalisasi Sungai Gendol. Rejection (Penolakan) Orang yang tidak dihargai keberadaanya seringkali merasa bahwa dirinya ditolak oleh lingkungan sosialnya. Silver memberikan contoh mengenai pengangguran yang cenderung mengalami perceraian atau hidup sendiri, jarag berkomunikasi dengan orang lain, atau tidak memiliki keanggotaan dalam kelompok atau organisasi tertentu. Contoh lainnya, imigran di suatu negara tidaklah cukup hanya dengan memiliki akses terhadap pekerjaan. Mereka juga membutuhkan perasaan aman dan merasa bahwa kontribusi mereka dihargai. Begitu pun masyarakat lokal yang pada awalnya melakukan penolakan terhadap penambangan pasir. Basis penolakan mereka karena perasaan tidak aman atau terancam terhadap penambangan pasir oleh pengusaha penambang. Mereka sadar bahwa kedatangan penambang pasir dengan alat berat semakin mempersempit ruang gerak mereka. Akan tetapi, dibalik penolakan tersebut mereka mengetahui bahwa kecil kemungkinan adanya perubahan kebijakan. Pada kenyataannya, harapan mereka ini yang ditolak Pemda Sleman. Walaupun seolah masyarakat diberikan ruang dalam implementasi kebijakan, akan tetapi keberadaan mereka tidaklah benar-benar diperhitungkan. Aspirasi masyarakat selama ini pun tidak menjadi acuan bagi Pemda Sleman dalam membuat kebijakan. Eviction (Pengusiran) Pengusiran memposisikan seseorang berada di luar lingkungan sosial. Silver mencontohkan pada orang asing di suatu negara yang secara legal ditolak untuk bekerja. Ekslusi sosial mengurangi relasi dan partisipasi dalam institusi sosial bahkan lebih jauh membatasi ruang dalam kehidupan seseorang. Hal ini menunjukkan bahwa pengusiran bersifat lebih bersifat ofensif karena terdapat perampasan hak atas individu. Pada 23
studi kasus penambangan pasir Sungai Gendol, keuntungan yang lebih besar didapat dari penambang pasir alat berat hanya dinikmati oleh pemodal. Di sisi lain, hal tersebut merugikan masyarakat lokal. Pangsa pasar mereka terbatas untuk pengusaha truk. Artinya, sebagian besar keuntungan tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat lokal yang diposisikan sebagai buruh pekerja. Kedatangan penambang alat berat ini secara tidak langsung telah memposisikan masyarakat untuk terkungkung di segmen pasar tertentu. Sehingga, masyarakat terusir dari pangsa pasar di luar Cangkringan yang lebih tinggi nilai pasirnya.
Expulsion (Pemaksaan) Dengan adanya kekuatan sumber daya yang kuat dari Pemda Sleman serta pengusaha penambang, maka tidaklah sulit dalam menekan kepentingan dari masyarakat lokal. Hal ini lebih jauh penulis lihat kaitannya pada bagaimana Pemda Sleman mempertahankan kebijakan tersebut untuk tetap berlangsung tanpa membicarakannya dengan masyarakat lokal. Sementara, pengusaha penambang yang memiliki celah dalam kebijakan tersebut banyak melakukan pelanggaran tanpa adanya sanksi tegas. Artinya, masyarakat lokal diposisikan sebagai aktor yang harus menerima ketentuan yang digariskan oleh Pemda Sleman dan secara perlahan masyarakat dipaksa untuk nyaman dalam keadaan mereka tersebut. Ineligibility (Tidak memenuhi syarat) Silver menggambarkan bahwa orang miskin sulit untuk berpartisipasi dalam lingkungan sosial karena mereka tidak memiliki basis sumber daya yang kuat. Artinya, sumber daya menjadi syarat atau kriteria bagi seseorang untuk menjadi inklusif. Bertolak dari hal tersebut, maka wajar apabila masyarakat lokal di seputaran Sungai Gendol menjadi aktor yang 24
terekslusi dalam kebijakan. Mereka tidak memiliki kapasitas politik yang kuat. Bahkan posisi tawar mereka lemah dalam berhadapan dengan Pemda Sleman atau pengusaha penambang. Secara ekonomi, mereka hanya dapat memposisikan diri sebagai buruh pasir bagi pengusaha truk. Hal ini dikarenakan ketiadaan alat berat yang dapat mendukung aktivitas penambangan pasir. Proses marjinalisasi ini diperdalam oleh penulis dengan melihat pada adanya struktur yang berlaku dalam masyarakat lokal yang menghambat mereka untuk memperbaiki taraf hidupnya dan lepas dari jeratan kemiskinan yang mereka hadapi. Struktur ini pun berlaku pula dalam upaya pemerintah dalam memenangkan kepentingan para pemodal dan memarjinalkan kepentingan masyarakat seputaran Sungai Gendol. Pada akhirnya, masyarakat lokal tidak mampu untuk mengekpresikan kekuatan yang mereka miliki melalui potensi yang dimiliki. Perlahan, potensi ini ikut dimatikan oleh pemerintah melalui struktur tersebut. Hal ini ditunjukkan pada bagaimana pemerintah kabupaten Sleman tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat lokal, contohnya melalui bantuan akses modal berupa alat berat untuk kelompok masyarakat untuk melindungi mereka dari kekuatan pengusaha atau adanya langkah tegas pemerintah untuk membatasi jumlah pengusaha alat berat yang diizinkan menambang pasir. G. Metode Penelitian G.1 Jenis Penelitian Penulis dalam melakukan penelitian terhadap
Proses Marginalisasi
Masyarakat desa Wukirsari, Cangkringan sebagai akibat dari Kebijakan Normalisasi Sungai Gendol menggunakan pendekatan studi kasus. Studi kasus merupakan salah satu pendekatan dari analisis penelitian kualitatif yang berfokus suatu kasus atau kasus-kasus dari waktu ke waktu secara mendetail, dengan pengumpulan data secara mendalam yang yang melibatkan berbagai macam
25
sumber informasi yang dapat berupa observasi, wawancara, materi rekam audio dan video, dokumen, atau laporan serta melaporkan deskripsi kasus dan kasus berdasarkan tema. Selain itu, pendekatan studi kasus ini akan mempermudah penulis dalam melakukan batasan atau lingkup analisis terkait dengan siapa yang terlibat dalam lingkup kasus, apakah hanyalah satu orang, beberapa orang, kelompok, keseluruhan program, atau suatu aktivitas (Creswell 2007, h. 73-74). Studi kasus juga relevan dengan pertanyaan bagaimana dan mengapa. Pertanyaan tersebut dinilai lebih mengarah pada penggunaan strategi studi kasus. Hal ini berkenaan dengan kaitan operasional yang menuntut pelacakan waktu tersendiri dan bukan sekedar frekuensi atau kemunculan (Yin 1996, h. 9). Sementara, tujuan penelitian adalah deskriptif yaitu melihat pada deskripsi hubungan sebab akibat serta kontekstualisasi dalam suatu fenomena tertentu (Baxter & Jack 2008, h. 548). Pada dasarnya, penulis menggunakan essensi pendekatan studi kasus tersebut untuk mendalami permasalahan mengenai fokus dan lokus penelitian penulis. Hal ini menjadi pertimbangan bagi penulis karena relevansi antara karakteristik pendekatan studi kasus dengan tujuan yang hendak dicapai penulis yaitu mendeskripsikan adanya hubungan sebab akibat dari suatu fenomena dengan konteks tertentu yang terjadi dalam kehidupan nyata. Penulis ini juga membatasi waktu penelitian di mana hanya melihat pada masa sebelum kebijakan dibuat atau perumusan kebijakan, dan pada masa kebijakan tersebut dilaksanakan. Hal tersebut pun hanya dicari data yang relevan dengan fokus penelitian, yaitu marjinalisasi masyarakat seputaran Sungai Gendol. G.2 Unit Analisis Data Fokus penelitian penulis adalah pada proses marjinalisasi masyarakat lokal Sungai Gendol sebagai akibat dari kebijakan normalisasi sungai Gendol. Penelitian dilakukan pada masyarakat lokal yang tinggal di seputaran Sungai
26
Gendol. Masyarakat lokal di seputaran Sungai Gendol ini adalah mereka, baik yang merupakan penambang dengan alat tradisional ataupun masyarakat biasa yang tidak menjadi penambang ataupun tokoh lokal desa. Selain itu, peneliti juga mencari data pada penambang alat berat, baik pekerja lapangan ataupun pengusahanya. Dari kalangan pemerintah kabupaten Sleman, yaitu street level bureaucracy dengan petugas retribusi, serta dengan jajaran instansi pemda Sleman terkait. G.3 Sumber Data Sumber data yang digunakan ada dua, yaitu pertama data primer. Data primer tersebut dilakukan melalui wawancara dengan narasumber terkait. Kedua, data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui studi pustaka dan literature seperti dokumen pemerintah terkait kebijakan normalisasi sungai Gendol, media massa baik cetak, maupun internet, ataupun buku-buku yang relevan dengan tema yang diangkat oleh penulis. Selain itu, penulis juga melakukan observasi lapangan yaitu bagaimana realita keadaan penambangan pasir Sungai Gendol. G.4 Cara Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara. Pertama, wawancara yang dilakukan pada narasumber penulis yaitu masyarakat Cangkringan yang berprofesi sebagai penambanng atau bukan, penambang alat berat baik kalangan pemodal maupun pekerja di lapanngan, serta pejabat pemerintahan kabupaten Sleman baik itu petugas retribusi ataupun jajaran pemerintahan di desa dan instansi terkait di kabupaten. Wawancara dilakukan dengan membuat kategori atau kriteria dari narasumber yang relevan untuk diawawancarai. Selain itu, penulis mennggunakan tenik bola salju untuk mempermudah dalam menemukan informan kunci. Untuk menjaga validitas dan keakuratan data, maka penulis juga menekankan pada pentingnya mengecek ulang dari hasil wawancara tersebut. Cara kedua ialah observasi. Hal ini dilakukan penulis dengan melakukan 27
pengamatan terhadap proses penambangan di sungai Gendol, bagaimana alur dan mekanisme mereka menambang. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang komrehensif. Cara ketiga ialah melakukan studi pustaka dan literature untuk mendapatkan kelengkapan data baik itu dari dokumen kebijakan, pemberitaan media, ataupun literature terkait. G.5 Tenik Analisis Data Analisis data ini penulis lakukan dengan adanya interpretasi dari data-data yang telah didapatkan. Pertama, dari data yang telah didapatkan tersebut perlu untuk dibuat kategorisasi data. Kategorisasi dimaksudkan untuk memilah data yang
relevan dan yang tidak relevan, yang dapat mereduksi data penulis
sekaligus membuat fokus data tersebut terhadap tujuan penelitian. Hal ini berkenaan dengan lingkup batasan penelitian, baik itu fokus penelitian atupun waktu penelitian. Kedua, interpretasi data. Hal ini berkaitan pada kemampuan penulis untuk mencocokkan antara data yang dibutuhkan dengan teori yang telah dibangun oleh peneliti. Melalui interpretasi ini dapat dibangun sinkonisasi menjadi argumen yang utuh antara kasus dengan teori yang digunakan. Interpretasi ini berkaitan dengan analisis berdasarkan periodisasi yang telah dibuat, model logika yang dibangun sehingga dapat menghasilkan suatu penelitian yang komprehensif. H. Sistematika Penulisan Bab I memuat mengenai proposal penelitian; terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian. Kemudian di bab II memuat gambaran umum atau profil mengeni masyarakat Cangkringan, penambang pengusaha, dan kebijakan Pada bab III memuat proses marjinalisasi masyarakat Cangkringan melalui kebijakan normalisasi sungai Gendol. Selanjutnya di bab IV, memuat mengenai proses marjinalisasi yang terjadi pada tataran pembuatan kebijakan. Lebih jauh
28
dijelaskan bahwa idealisme kebijakan berbanding terbalik dengan realitas. Proses pembuatan kebijakan jauh dari nilai partisipatif masyarakat. Pada bab V, penulis secara mendalam menyuguhkan realitas semu dari kebijakan normalisasi dibingkai dengan proses marjinalisasi Hillary Silver. Kesimpulan dari hasil analisis mengenai marjinalisasi yang dilakukan oleh penulis dimuat pada bab VI.
29