BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pentagamavunon-0
(PGV-0)
atau
2,5-bis-(4'-hidroksi-3'-
metoksibenzilidin)-siklopentanon merupakan salah satu senyawa analog kurkumin yang berhasil di sintesis oleh Sardjiman (2000). Pembuatan analog kurkumin ini dilakukan Sardjiman (2000) dengan menggunakan siklopentanon untuk menggantikan gugus asetil aseton pada kurkumin. Diketahui bahwa PGV-0 memiliki aktivitas sebagai penghambat enzim siklooksigenase-1 (Sardjiman, 2000), siklooksigenase-2 (Septisetyanti et al., 2008) dan juga memiliki aktivitas sebagai antikanker (Meiyanto et al., 2006; Hadi dan Soejono, 2010). Kemudian Sardjiman et al. (2003) juga membuktikan bahwa PGV-0 memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi, antibakteri, dan antioksidan. Selain aktivitas yang beragam, PGV-0 juga memiliki keunggulan sifat yang non toksik dan aman untuk saluran pencernaan (Reksohadiprojo et al., 2004). Profil farmakokinetika PGV-0 menunjukkan bioavailabilitas yang rendah, selain itu PGV-0 menunjukkan fluktuasi kadar, dan cepat hilang dari peredaran darah menjadi metabolitnya (Hakim et al., 2004). Hal ini mendorong diduga
dilakukannya sintesis bentuk tereduksi PGV-0 yang juga
sebagai
metabolit
aktif
dari
Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0).
1
PGV-0,
yaitu
senyawa
2
Kurkumin memiiliki tiga region berdasarkan model farmakofor awal (Gambar 1). Cincin aromatis dibutuhkan pada region A dan C, sedangkan region B tersusun dari penghubung dien-dion (Robinson et al., 2003). PGV-0 diperoleh dari modifikasi region B menjadi suatu siklopentanon sebagai upaya membuat PGV-0 memiliki spektrum aktivitas yang tidak berbeda jauh dari kurkumin, berkualitas baik, memiliki efektivitas yang lebih baik, serta tentunya lebih aman (Sardjiman, 2000).
O
O
H3CO
OCH3 A
HO
B
C OH
Gambar 1. Pembagian region kurkumin (Robinson et al., 2003)
THPGV-0 yang memiliki nama IUPAC 2,5-bis-(4ꞌ-hidroksi-3ꞌmetoksi-benzil)siklopentanon telah berhasil disintesis melalui hidrogenasi PGV-0 dengan katalis Palladium/Karbon (Pd/C). THPGV-0 tersebut berupa serbuk kristal amorf putih, memiliki jarak lebur 122,2-123,4 °C. (Ritmaleni dan Simbara, 2010). THPGV-0 memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan dengan PGV-0 (Simbara, 2009). Selain itu, THPGV-0 juga telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik dari PGV-0 (Ritmaleni et al., 2013).
3
Selain bentuk tereduksi PGV-0, telah disintesis pula bentuk tereduksi beberapa analog kurkumin melalui reaksi hidrogenasi terkatalisis Pd/C 10%, seperti sintesis THPGV-1 dari PGV-1 (Andini, 2012), THPGV-5 dari PGV-5 (Suwanti, 2015), THA10 dari A10 (Widyaningtyas et al., 2015), THC7 dari C7 (Abimantranahita, 2015), THHGV-5 dari HGV-5 (Wibowo, 2013), THHGV-7 dari HGV-7 (Praditya, 2014). Telah dibuktikan pula bahwa akivitas antibakteri THPGV-1 lebih baik dibandingkan dengan PGV-1 (Ritmaleni et al., 2013).
Dari beberapa sintesis senyawa analog kurkumin melalui
hidrogenasi dengan katalis Pd/C tersebut, rendemen yang diperoleh relatif kecil (Tabel I). Tabel I. Rendemen hasil sintesis bentuk tereduksi analog kurkumin
Starting Material
Target Material
Rendemen Sumber
PGV-1
THPGV-1
18%
Andini, 2012
PGV-5
THPGV-5
41,12%
Suwanti, 2015
A10
THA-10
35,22%
Widyaningtyas et al., 2015
C7
THC-7
27,53%
Abimantranahita, 2015
HGV-5
THHGV-5
23,03%
Wibowo, 2013
HGV-7
THHGV-7
19,21%
Praditya, 2014
Melihat potensi senyawa analog kurkumin terhidrogenasi, perlu ditemukan metode untuk memperoleh hasil sintesis yang optimal. Memvariasi pelarut dan katalis adalah salah satu cara yang ditempuh untuk memperoleh rendemen yang lebih banyak Sintesis THPGV-0 dengan
4
melakukan hidrogenasi pada PGV-0 telah dilakukan dalam beberapa jenis pelarut. Mintariyanti (2010) menggunakan tiga macam pelarut. Pelarut yang digunakan adalah metanol, etanol, dan isopropanol yang berturutturut menghasilkan rendemen THPGV-0 sebesar 44,99%; 30,11%; dan 22,55%. Kemudian, Agustina (2010) melakukan hidrogenasi PGV-0 dalam pelarut DMSO, Tetrahidrofuran (THF), dan Asetonitril . Hidrogenasi dalam DMSO tidak menghasilkan THPGV-0, dalam THF menghasilkan rendemen sebesar 8,4% dan Asetonitril sebesar 20%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mintariyanti (2010) dan Agustina (2010) tersebut, hingga saat ini penggunaan pelarut yang memberikan rendemen THPGV-0 paling banyak adalah pelarut metanol. Penggunaan katalis yang bervariasi dalam sintesis THPGV-0 telah dilakukan oleh Lestari (2013). Digunakan beberapa katalis untuk hidrogenasi PGV-0, yaitu menggunakan Pd/C, besi (III) klorida (FeCl3), aluminium klorida (AlCl3), dan seng klorida (ZnCl2). Dari keempat katalis yang digunakan tersebut, target material THPGV-0 hanya terbentuk pada hidrogenasi PGV-0 dengan menggunakan katalis Pd/C. Karena belum ditemukan katalis yang lebih baik dibandingkan Pd/C dalam hidrogenasi ini, maka dilakukan sintesis THPGV-0 dengan variasi jumlah katalis Pd/C yang digunakan untuk hidrogenasi. Karena katalis Pd/C 10 mol % telah berhasil digunakan untuk menghidrogenasi PGV-0 menjadi THPGV-0, maka diharapkan hidrogenasi PGV-0 menjadi
5
THPGV-0 dengan variasi katalis Pd/C dapat menunjukkan variasi yang memberi rendemen terbanyak.
B. Perumusan Masalah Apakah mempengaruhi
variasi
jumlah
rendemen
katalis
sintesis
Palladium/Karbon
(Pd/C)
Tetrahidropentagamavunon-0
(THPGV-0) ?
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi informasi ilmiah terkait pengembangan analog kurkumin sehingga dapat diproduksi dan digunakan secara maksimal sebagai obat baru yang lebih poten.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi jumlah katalis terhadap rendemen sintesis Tetrahidropentagamavunon0 (THPGV-0), sehingga dapat diketahui varian yang memberikan rendemen terbanyak.
E. Tinjauan Pustaka
6
1. Pentagamavunon-0 (PGV-0)
Pentagamavunon-0
(PGV-0)
atau
2,5-bis-(4'-hidroksi-3-
metoksibenzilidin)-siklopentanon, sebagaimana disampaikan di awal, merupakan salah satu senyawa analog kurkumin yang berhasil di sintesis oleh Sardjiman (2000). Dalam struktur PGV-0 (Gambar 2) digunakan siklopentanon untuk menggantikan gugus asetil aseton pada struktur kurkumin. PGV-0 berupa serbuk berwarna kuning-oranye dengan jarak lebur antara 212-214°C (Sardjiman et al., 2003). O H3CO
OCH3
HO
OH
Gambar 2. Struktur Pentagamavunon-0 (PGV-0)
Berdasarkan serangkaian penelitian yang dilakukan terhadap PGV-0
diketahui
penghambat
bahwa
enzim
siklooksigenase-2
PGV-0
memiliki
siklooksigenase-1
(Septisetyanti
et
al.,
aktivitas
sebagai
(Sardjiman,
2000),
2008),
antiinflamasi,
antibakteri, dan antioksidan, (Sardjiman et al., 2003). Dalam kaitannya dengan kanker, PGV-0 menjadi penghambat pertumbuhan sel kanker payudara T47D (Meiyanto et al., 2006), menurunkan ekspresi protein Bcl-2, meningkatkan ekspresi protein Bax, dan memicu apotosis sel luteal (Hadi et al., 2010). Selain itu, PGV-0 juga non toksik dan aman
7
untuk saluran gastrointestinal dan duodenal (Reksohadiprojo et al., 2004). Dengan aktvitasnya yang beragam, PGV-0 memiliki kekurangan dalam hal profil farmakokinetikanya, diantaranya mengalami fluktuasi kadar dalam darah (Hakim et al., 2004).
2. Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0)
Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0) yang memiliki nama IUPAC 2,5-bis-(4'-hidroksi-3'-metoksi-benzil)siklopentanon, adalah bentuk tereduksi dari PGV-0 yang diperkirakan sebagai metabolit aktif PGV-0. Senyawa ini telah berhasil disintesis Ritmaleni dan Simbara (2010) dengan rendemen sebesar 25%. THPGV-0 dengan berat molekul (BM) 356 g/mol tersebut berupa serbuk kristal amorf putih, memiliki jarak lebur 122,2-123,4°C.Penggunaan pelarut polar protik, yaitu metanol, menghasilkan rendemen yang lebih baik (Ritmaleni et al., 2013). O H3CO HO
OCH3 OH
Gambar 3. Struktur Tetrahidropentagamavunon-0 (THPGV-0)
THPGV-0 memiliki aktivitas antioksidan yang lebih baik dibandingkan dengan PGV-0, dibuktikan dengan nilai IC50 THPGV-0 sebesar 29,19 mM dan PGV-0 sebesar 64,56 mM (Simbara, 2009).
8
IC50 adalah parameter yang menunjukkan aktivitas antioksidan, makin kecil nilainya, makin baik aktivitasnya sebagai antioksidan. Selain itu, THPGV-0 juga memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik dari PGV-0 (Ritmaleni et al., 2013). Padas el RBL-2H3 terinduksi antigen, THPGV-0 menghambat pelepasan histamin pada sel RBL-2H3 (Nugroho et al., 2010) serta memiliki aktivitas sebagai antifungi (Agustina, 2010). Berdasarkan sintesis THPGV-0 dengan variasi pelarut reaksi (Tabel II), THPGV-0 tidak dapat disintesis melalui hidrogenasi PGV-0 dalam pelarut DMSO (Agustina, 2010) dan memberikan rendemen tertinggi jika dilakukan dalam pelarut metanol (Mintariyanti, 2010). Dalam penelitian berikutnya, THPGV-0 tidak dapat disintesis dengan katalis FeCl3, AlCl3, dan ZnCl2 dan hanya diperoleh dari hidrogenasi PGV-0 dengan katalis Pd/C (Lestari, 2013).
Tabel II. Rendemen hasil sintesis THPGV-0 dengan variasi pelarut (Mintariyanti, 2010; Agustina, 2010)
Pelarut
Jenis
Rendemen
Metanol
Polar Protik
43,99 %
Etanol
Polar Protik
30,11 %
Isopropanol
Polar Protik
22.55 %
DMSO
Polar Aprotik
0%
THF
Polar Aprotik
8,4 %
Asetonitril
Polar Aprotik
20 %
9
3. Reaksi Hidrogenasi Hidrogenasi adalah reaksi kimia antara hidrogen (H 2) dengan senyawa atau unsur lain, biasanya menggunakan katalis, seperti nikel, platinum, atau palladium. Reaksi ini terjadi pada suhu sangat tinggi, bila tidak menggunakan katalis (Hudlicky, 1996). Hidrogenasi pada alkena memungkinkan terjadinya kompleks atau ikatan antara logam katalis dengan alkena. Ikatan ini disebut ikatan π kompleks (Grossman, 2003). H
H
H L
H
H
H
H
H
L
Gambar 4. Ikatan π kompleks alkena-logam (Grossman, 2003)
Hidrogenasi dapat mereduksi ikatan rangkap dua maupun rangkap tiga pada hidrokarbon (Hudlicky, 1996). Hidrogenasi dapat mereduksi alkena menjadi alkana, ester menjadi alkohol, dan nitro menjadi amina (Chandrasekhar et al., 2006). OH
H2
OH
Gambar 5. Hidrogenasi sinamil alkohol (alkena) menjadi 3-fenil-n-propanol (alkana) (Chandrasekhar et al., 2006)
Karena jarang sekali hidrogenasi tanpa katalis terjadi dibawah suhu 480oC, maka diperlukan katalis. Katalis dalam hidrogenasi akan menyebabkan chemisorption senyawa dengan katalis dan kemudian
10
terjadi transfer hidrogen. Katalis yang biasa digunakan adalah jenis katalis logam, yaitu palladium, platinum, rhodium, nikel dan ruthenium (Allen dan VanAllan, 1941; Mekler et al., 1961). Adsorpsi gas hidrogen pada permukaan katalis terjadi ketika gas hidrogen melakukan “ikatan” ke permukan katalis. Adsorpsi ini terjadi melalui reaksi elektron bebas pada permukaan katalis “berpasangan” dengan elektron dari hidrogen. Alkena juga teradsorpsi pada permukaan katalis ketika terjadi tumbukan antara permukaan katalis yang “berpasangan” dengan atom hidrogen. Kemudian terjadi transfer hidrogen dan terbentuk alkana yang selanjutnya lepas dari permukaan katalis (Solomons et al., 2014). Pembentukan kompleks antara katalis dan alkena terjadi sebagai interaksi orbital kosong pada katalis, yang biasanya logam transisi, dengan orbital ikatan π pada alkena. (McMurry, 2008).
Gambar 6. Mekanisme hidrogenasi alkena dengan katalis logam (a) adsorbsi hidrogen; (b) adsorbsi alkena; (c,d) transfer atom hidrogen pada alkena (Solomons et al., 2014)
4. Katalis Dalam rangkaian pembuatan produk, hasil yang banyak yang dapat diproduksi dalam waktu singkat menjadi hal yang diinginkan. Katalis merupakan senyawa yang dapat meningkatkan laju reaksi.
11
Katalis didefinisikan sebagai senyawa yang tidak mengalami perubahan kimia yang permanen selama reaksi dan setelah reaksi berlangsung (IUPAC, 1997). Selain suhu, tekanan, dan sifat reaktan, katalis memiliki pengaruh penting dalam kinetika reaksi. Kinetika reaksi pada dasarnya dipengaruhi tumbukan antar partikel reaktan. Reaksi dapat berjalan hanya ketika energi yang ditimbulkan saat tumbukan antarpartikel ini melampaui energi aktivasi. Tumbukan antarpartikel akan lebih sering terjadi jika luas permukaan reaktan menjadi lebih besar. Tumbukan antarpartikel reaktan dalam penggunaan katalis permukaan terjadi lebih sering, karena permukaan katalis ini dimanfaatkan untuk meningkatkan interaksi antarpartikel reaktan. Tidak hanya dijelaskan melalui teori tumbukan tersebut, katalis juga memungkinkan reaksi berjalan lebih cepat, karena dengan adanya katalis, energi aktivasi reaksi yang dibutuhkan menjadi lebih rendah. Hal ini dikarenakan keberadaan katalis memberikan alternatif berjalannya reaksi dengan energi aktivasi yang lebih rendah. Pada jenis katalis
permukaan,
Implikasinya
pada
reaksi,
katalis
dapat
meningkatkan produk dalam waktu yang lebih singkat, walaupun tidak serta merta menghasilkan produk lebih banyak (Myers, 2003). Katalis dapat dikategorikan menjadi katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen disebut juga kompleks katalis larut, karena fase katalis sama dengan fase sistem reaksinya, sehingga saling melarutkan. Dalam reaksi terkatalisis homogen, hanya satu fase yang
12
terlibat. Apabila katalis terdistribusi merata dalam sistem, dapat terjadi interaksi yang baik antarmolekul reaktan maupun antara molekul reaktan dengan katalis. Katalis heterogen disebut juga katalis permukaan, karena reaksi pada katalis heterogen terjadi pada atau didekat antarmuka antar fase. Dengan demikian, reaksi terkatalisis heterogen melibatkan bagian permukaan katalis. Semakin luas permukaan katalis, semakin baik reaksi terkatalisis. (Negishi, 2002; IUPAC, 1997). Katalis
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini,
yaitu
Palladium/Karbon (Pd/C). Palladium, logam golongan transisi VIII B dengan nomor atom 46 dan massa atom 106,4 g/mol, memiliki kemampuan memperluas ukurannya dan menyerap volume hidrogen hingga 900 kali dalam suhu ruang (Gray, 2007; Mitsui et al., 2003). Palladium dapat didukung padatan lain, seperti silika, alumina, atau karbon teraktivas. Pd/C termasuk dalam kategori katalis heterogen (Negishi, 2002). Padatan pendukung karbon memberikan interaksi pendukung-logam paling kecil, sehingga menghasilkan katalis logam yang lebih baik dalam hal aktivitas maupun selektivitas dibanding padatan pendukung oksida (Namdeo et al., 2016). Selain sifatnya yang inert, karbon pada Palladium/Karbon, sebagaimana padatan pendukung yang lain, bermanfaat untuk memaksimalkan luas area permukaan (McMurry, 2008).
13
Pd/C cocok menjadi katalis reaksi reduksi ikatan π alkena, Pd/C inert dan tidak larut (Grossman, 2003). Palladium menjadi katalis yang baik, misalnya pada reduksi dan oksidasi yang berjalan sesuai kondisi stoikiometris (Roy dan Hedge, 2008). Pd/C biasa digunakan pada reaksi
hidrogenasi,
hidrogenolisis,
karbonilasi,
dehidogenasi,
sikloisomerasi, dan reaksi perisiklik lain, yang dapat dilakukan pada suhu ruang (Tsuji, 2003). Pd/C juga sering digunakan untuk reaksi hidrogenasi alkena, alkuna, imina, gugus keton, golongan nitro, benzenoid dan senyawa aromatik heterosiklik Pd/C memiliki selektivitas yang baik terhadap reduksi ikatan rangkap α,β-carbonyl, tanpa mereduksi gugus karbonilnya (Solomons, 1990). 5. Titik Lebur Titik lebur adalah suhu saat suatu zat berubah dari wujud padat menjadi cair pada tekanan 1 atm. Suhu yang menaik dapat meningatkan kinetika partikel. Partikel akan menyerap energi panas saat suhu dinaikkan. Energi panas ini meningkatkan kinetika partikel, partikel bergerak semakin sering dan semakin cepat, sehingga saling menjauh hingga terjadilah perubahan wujud (Martin, 1990) Titik lebur dapat digunakan sebagai salah satu parameter kemurnian senyawa. Hal ini berdasarkan bahwa jarak lebur yang pendek (1-2oC)
menunjukkan senyawa tersebut murni. Adanya
senyawa lain dapat mempengaruhi jarak lebur. Jarak lebur yang lebar
14
dan titik lebur yang lebih rendah menunjukan senyawa tersebut tidak murni (Sharp et al., 1989). 6. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) KLT adalah metode pemisahan yang didasarkan pada perbedaan adsorpsi atau partisi antara fase diam dan fase gerak atau eluen. Campuran yang akan dipisahkan akan terelusi atau terbawa sepanjang fase diam bersama fase gerak sambil mengadakan interaksi. Kecepatan migrasi yang dipengaruhi gaya kapiler, atau terkadang gravitasi atau tekanan, menjadi kunci pemisahan dengan KLT. (Fried dan Sherma, 1994). Pemisahan dengan KLT adalah pemisahan mudah dan cepat, dan sering digunakan. Hasil elusi KLT dapat memberikan beberapa informasi yang berguna, seperti kemurnian senyawa, kemungkinan identifikasi senyawa baru, dan penentu parameter dalam kromatografi kolom (Sharp et al., 1989). Retention factor (Rf) yang analog dengan waktu retensi pada GC atau HPLC, menunjukan tahanan fase diam terhadap senyawa. R f tiap senyawa adalah khas, sehingga menjadi identitas senyawa dan menjadikan KLT salah satu metode analisis kualitatif. R f diperoleh dengan membandingkan jarak tempuh senyawa dengan jarak tempuh eluen.
Analisis
kualitatif
dengan
KLT
dilakukan
membandingkan Rf senyawa campuran dengan Rf standar.
dengan
15
7. Gas Chromtography (GC) GC adalah teknik pemisahan senyawa yang mudah menguap dan stabil dalam panas. Senyawa memisah saat melalui kolom yang didalamnya terdapat fase diam. (Gandjar dan Rohman, 2007). Kolom dapat dilapisi fase diam cair atau fase diam cair yang dipack dengan pendukung padat. Pemisahan senyawa terjadi berdasarkan waktu komponen tersebut berada pada fase diam (Watson, 1999). GC melibatkan interaksi antara analit dengan fase diam, fase gerak, dan gas inert pembawa. Kemudian diidentfikasi dengan detektor yang sesuai. Gas pembawa inert merupakan komponen utama dalam GC. Biasanya digunakan helium, nitrogen, atau campuran argonmetana. Gas pembawa bertugas membawa analit yang telah diubah menjadi gas di injection port (Sant, 1997). GC mampu memberikan akurasi dan presisi seperti halnya HPLC (High Pressure Liquid Chromatography). Akurasi dan presisi tersebut dapat diperoleh terlebih lagi saat digunakan standar internal. Kemampuan pemisahan GC dengan kolom kapiler lebih baik dibandingkan HPLC (Watson, 1999). 8. Mass Spectrometry (MS) Spektrometer massa adalah metode analisis yang mengionkan senyawa dan kemudian menyusun ion-ionnya berdasarkan rasio massa terhadap muatan. Secara sederhana, metode ini mengukur massa senyawa. Instrumen spektrometer massa pada prinsipnya tersusun dari
16
lima komponen, yaitu inlet sampel, sumber ion, analisator massa, detektor, dan pengolah data. Sampel senyawa yang akan dianalisis harus diubah menjadi fragmen ion terlebih dahulu. Pada tahapan ini ada berbagai metode yang telah dikembangkan untuk ionisasi. Metode ionisasi yang paling umum dan sederhana untuk digunakan adalah ionisasi elektron (EI, Electron Impact) yang menggunakan elektron berenergi tinggi untuk mengionkan sampel. Umumnya, senyawa memerlukan 8-15 eV untuk melepaskan satu elektronnya, yang disebut energi ionisasi atau potensial ionisasi. Tetapi, membutuhkan potensial 50-70 eV untuk membentuk ion dengan efisiensi tinggi. Untuk mendapat hasil reprodusibel, instrumen spektrometer massa dengan metode ionisasi EI menggunakan 70 eV dalam fragmentasi senyawa (Pavia et al., 2009). Fragmen-fragmen
bermuatan
(biasanya
positif)
hasil
fragmentasi instrumen Mass Spectrometry (MS) ditunjukkan dalam spektra massa.
Puncak dengan intensitas tertinggi, yaitu dengan
kelimpahan paling tinggi (100%) dinyatakan sebagai base
peak.
Kelimpahan (abundance) suatu ion fragmen besar kecilnya tergantung dari stabilitas ion tersebut (Pavia et al., 2009). Kelimpahan puncak lain dinyatakan dengan persen dari base peak. Terkadang base peak, merupakan puncak ion molekul yang merupakan radikal ion yang terjadi karena pengambilan satu elektron
17
dari molekul suatu senyawa. Massa ion molekul merupakan bobot molekul senyawanya (Silverstein dan Webster, 1997). Dengan menginterpretasikan spektra massa, puncak ion molekuler (M+) akan menunjukkan bobot molekul senyawa tersebut. Puncak-puncak lain yang muncul dapat diinterpretasikan untuk menjelaskan reaksi fragmentasi yang terjadi. Fragmen yang terjadi dapat digunakan untuk merujuk struktur molekul senyawa tersebut (Silverstein dan Webster, 1997). Reaksi fragmentasi secara umum berjalan dengan mengikuti kaidah ion ganjil. Kaidah pertama, jika ion radikal positif (OE •+) mengalami pemutusan satu ikatan tunggal, maka ion terfragmentasi menjadi ion genap positif (EE+) dan fragmen radikal (R•). Kaidah kedua, jika ion radikal positif (OE•+) mengalami pemutusan dua ikatan tunggal, maka ion terfragmentasi menjadi ion radikal positif (OE •+) dan molekul netral (EEo). Kaidah ketiga, jika ion radikal positif (OE •+) mengalami pemutusan tiga ikatan tunggal, maka ion terfragmentasi menjadi ion genap positif (EE+), molekul netral (EEo), dan fragmen radikal (R•). Reaksi fragmentasi juga berjalan mengikuti even-electron rule Karni dan Mandelbaum yang menyatakan bahwa ion genap positif (even electron positive, EE+) cenderung membentuk fragmen ion genap positif; dan bahwa ion radikal positif (odd electron radicalpositive, OE•+) cenderung membentuk ion radikal positif atau ion genap positif (Karni dan Mandelbaum, 1980).
18
F. Landasan Teori Sintesis
Tetrahidropentagamavunon-0
(THPGV-0)
reaksi hidrogenasi Pentagamavunon-0 (PGV-0),
melalui
seperti yang
dituliskan di awal, telah dilakukan dengan menggunakan katalis Palladium/Karbon (Pd/C) 10% (Ritmaleni dan Simbara, 2010). Variasi katalis hidrogenasi PGV-0, terbukti mempengaruhi hasil sintesis, dan Pd/C adalah katalis yang lebih baik untuk sintesis THPGV-0 dari PGV-0 (Lestari, 2013). Perbedaan jumlah katalis yang digunakan mempengaruhi kinetika suatu reaksi (Myers, 2003), termasuk pada reaksi hidrogenasi PGV-0. Kinetika reaksi hidrogenasi PGV-0 yang berbeda berimplikasi pada rendemen THPGV-0 yang dihasilkan. Diharapkan penggunaan variasi jumlah katalis Pd/C memberikan variasi hasil rendemen sintesis THPGV-0 sehngga dapat diketahui penggunaan katalis yang optimal.
19
G. Hipotesis Penggunaan katalis Palladium/Karbon (Pd/C) 5 mol %, 7,5 mol %, 10 mol %, 15 mol %, 20 mol %; memberikan variasi hasil rendemen
sintesis
Tetrahidropentagamavunon
(THPGV-0)
dari
hidrogenasi Pentagamavunon-0 (PGV-0) sehingga dapat diketahui penggunaan katalis yang optimal. O H3CO HO
OCH3 PGV-0
OH
Pd/C 5 mol % Pd/C 7,5 mol % Pd/C 10mol % Pd/C 15 mol % Pd/C 20 mol % 1atm, H2
O H3CO HO
OCH3
THPGV-0
Gambar 7. Hidrogenasi PGV-0 menjadi THPGV-0 rdengan variasi katalis
OH