Bab 3 Analisis Data
3.1 Analisis Pengaruh Budha Dalam Jyushichi Jyo Kempo Jyushichi Jyo Kempo ( 十七条の憲法 ) yang dibuat oleh Pangeran Shotoku ( 聖徳太 子 ) ditetapkan pada zaman Yamato ( 250-550 ) yang pada saat itu struktur sosialnya masih sangat kaku karena baik pekerjaan maupun pangkat seseorang ditentukan oleh keturunan, dan hal ini melemahkan keinginan seseorang untuk maju dalam masyarakat. Pangeran Shotoku yang sadar akar hal ini kemudian menetapkan sistem tingkatan pegawai berdasarkan kepandaiannya bukan karena keturunannya. Sistem tingkatantingkatan menurut kepandaian seseorang dikenal dengan Kanijyunikai ( 冠位十二階 ). Sistem ini ditetapkan pada tahun 603, semenjak itu pejabat-pejabat pemerintah yang dipilih berdasarkan keturunan klan kemudian diganti berdasarkan kemampuan atau kepandaian. Undang-undang dasar ini sebenarnya sangat sederhana dan masih banyak kekurangannya sebagai kode hukum tetapi sangat mempengaruhi sistem pemerintahan pada zaman Yamato untuk menetapkan nilai dan norma-norma serta kode tingkah laku bagi para pejabat. Nilai dan norma memiliki kaitan sangat erat. Oleh karena itu, berhadapan dengan suatu norma, aturan, atau hukum, seharusnya tidak boleh berhenti pada norma, aturan, atau hukum itu sendiri, melainkan berusaha mencari tahu nilai apa yang ingin ditegakkan, dibela, atau dijunjung tinggi di belakang norma itu. Dari pencarian yang kritis itu dapat diketahui apakah suatu norma pantas atau tidak pantas untuk ditaati. Tindakan seperti itu akan menghindarkan dari sikap tunduk pada norma
23
atau aturan secara buta, yaitu menaati suatu norma demi norma itu sendiri dan bukan demi suatu nilai yang terbentang di belakangnya ( Gea, 2004 ). Pada saat itu kesetiaan terhadap kaisar sedikit memudar tetapi dengan ditetapkannya Jyushichi Jyo Kempo baik masyarakat maupun pejabat-pejabat pada masa itu kembali mengabdi kepada kaisar. Hal itu disebabkan karena di dalam Jyushichi Jyo Kempo para pejabat dan masyarakat diperintahkan untuk mematuhi segala perintah kaisar. Kaisar diibaratkan sebagai langit sedangkan para bawahannya diibaratkan sebagai bumi. Keyakinan terhadap agama Budha juga ditegaskan dalam Jyushichi Jyo Kempo. Hal ini disebabkan karena besarnya pengaruh Cina terhadap jepang. Sampai sedemikian jauh, Budha Jepang bisa dianggap sebagai salah satu impor dari Cina. Dalam Jyushichi Jyo Kempo pasal 2 dicantumkan ajaran agama Budha yang intinya menekankan pada kerukunan dan kedamaian umat serta pendidikan moral dan memerintahkan masyarakat untuk memuja sang Budha, Dharma, dan sangha. Seperti yang dikatakan oleh James L. Riggs dan K.K Seo ( 1986 : 87 ) : Sejak diberlakukannya undang-undang tahun 604 tersebut, pemikiran Konfusius dan ajaran Budha menjadi dasar pembentukan sistem nilai dan norma-norma sosial dalam kehidupan berkeluarga, berkelompok, berorganisasi, ber-masyarakat maupun bernegara di Jepang. Pada zaman Yamato ( 250-550 ) unsur-unsur kebudayaan mulai mengalir memasuki Jepang dari Cina melalui Korea. Huruf-huruf Cina juga telah dikenal lama dan digunakan oleh orang-orang Jepang yang belum mempunyai huruf-huruf sendiri untuk menulis bahasa mereka. Huruf-huruf Cina ini membuka jalan bagi pengetahuan yang dalam tentang kepercayaan Kong Hu Cu. Tidak lama kemudian, agama Budha mulai diperkenalkan kepada orang Jepang. Pada mulanya orang-orang Jepang terkesan terhadap agama Budha karena wujudnya yang
24
konkrit yang berupa hasil seni pahat dan kuil-kuil tetapi lambat-laun agama Budha mulai mempengaruhi seluruh kepulauan Jepang secara lahir dan batin. Akan tetapi, pada abad ke-6 klan Mononobe yang tidak menyetujui agama Budha berselisih dengan klan Soga yang mendukung agama Budha sepenuhnya yang kemudian dapat menguasai istana. Pada saat itu, Pangeran Shotoku menetapkan Jyushichi Jyo Kempo yang di dalamnya menghimbau masyarakat, terutama para pejabat untuk mematuhi kaisar dan memuja Sang Budha. Pada akhirnya sejak diberlakukannya Jyushichi Jyo Kempo sistem pemerintahan berubah dan sangat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan berkelompok serta berorganisasi di Jepang. Menurut buku Sejarah Pengantar Jepang 1, Jyushichi Jyo Kempo yang ditetapkan oleh Pangeran Shotoku pada hakekatnya adalah merupakan undang-undang atau peraturan dasar yang memuat nilai-nilai luhur yang terkandung dalam falsafah Kong Hu Cu, pemikiran jepang yang dipadukannya dengan ajaran agama Budha Pada saat zaman Yamato ( 250-550 ), negara Jepang mengalami akulturasi dari Cina. Agama Budha merupakan suatu pengaruh dari Cina yang kemudian secara perlahanlahan berakulturasi dalam masyarakat Jepang yang kemudian disesuaikan dengan kehidupan masyarakatnya sehingga lambat laun agama Budha tersebut dapat dipraktekkan dengan baik. Agama Budha dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Jepang karena Agama Budha tidaklah terikat oleh budaya dan tidak dibatasi pada kelompok, masyarakat, ras, atau etnis tertentu. Agama Budha dapat bergerak dengan amat mudah dari satu konteks budaya ke konteks budaya yang lainnya karena agama Budha tidak pernah memandang seseorang dari kedudukan, jabatan, dan keturunannya melainkan menganggap semua manusia mempunyai derajat yang sama.
25
Agama Budha mempunyai sifat pragmatis yang dengan kata lain Buddhisme berorientasi praktis dan langsung membahas masalah praktis. Agama Budha tidak berurusan dengan pernyataan-pernyataan akademik maupun teori-teori metafisika melainkan langsung mengatasinya dengan masalah yang praktis. Oleh karena itulah masyarakat Jepang dapat memahami dan meyakini agama Budha dengan amat mudah. Bahkan hingga kini agama Budha masih dipercaya oleh masyarakat Jepang pada umumnya terutama pada saat acara pemakaman. Apabila orang Jepang meninggal dunia, ia akan dimakamkan sesuai dengan ajaran agama Budha. Setelah mengalami proses akulturasi, Jepang mulai mengalami proses asimilasi. Hal ini terlihat jelas setelah Jyushichi Jyo Kempo dicetuskan. Jyushichi Jyo Kempo adalah suatu undang-undang yang merupakan campuran pemikiran Kong Hu Cu yang dipadukan dengan ajaran agama Budha kemudian setelah diterima, kehidupan pemerintahan di Jepang berubah menjadi sebuah negara yang berkonstitusi. Sebelumnya masyarakat Jepang telah mengenal agama Budha terlebih dahulu semenjak agama Budha masuk ke Jepang dari Cina melalui Korea. Hal ini bisa dihubungkan dengan proses asimilasi yang timbul bila ada saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama. Setelah itu Agama Budha menjadi suatu panutan masyarakat Jepang yang diwujudkan dengan dicetuskannya Jyushichi Jyo Kempo.
3.2 Analisis Konsep Budha Pada Pasal-Pasal Dalam Jyushichi Jyo Kempo Pada bab ini penulis akan menjabarkan sembilan pasal yang ada di dalam Jyushichi Jyo Kempo yang kemudian akan dikaitkan dengan konsep-konsep Budha.
26
3.2.1 Analisis Konsep Budha Pada Pasal 1 一日、以和爲貴、無忤爲忤宗。人皆有黨。亦少達者。以是、或不順君父。然 上和下睦、諧論事、則事理通。何事何不成。( Jyushichi Jyo Kempo, 2007 ). Terjemahannya, Pasal 1, Keselarasan harus diutamakan dan perselisihan harus dihindari. Setiap manusia mempunyai prasangka dan sedikit saja orang yang cerdas. Oleh sebab itu ada beberapa orang yang tidak patuh kepada pemimpinnya dan leluhurnya atau mempertahankan permusuhan dengan kampung yang berdekatan. Tetapi apabila para pembesar hidup serasi, dan yang dibawahnya bersahabat, dan ada kedamaian dalam pembicaraan bisnis, pandangan-pandangan yang benar dari hal-hal yang secara spontan mendapatkan sambutan, lalu apa yang tidak bisa diselesaikan? Dalam pasal 1 terdapat konsep Wa ( 和 ) yang berarti harmoni. Sampai saat ini konsep Wa masih tetap diyakini oleh orang-orang jepang sebagai suatu nilai yang dapat menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam melakukan tindakan. Nilainilai inti tersebut bermanfaat untuk mengimbangi dorongan dari ego setiap orang yang muncul manakala melakukan interaksi sosial. Konsep Wa atau harmoni yang berasal dari pemikiran Kong Hu Cu tersebut, telah dikenal oleh masyarakat Jepang sejak dicantumkan pada pasal 1 dalam Jyushichi Jyo Kempo. Dalam pasal 1 tersebut juga dijelaskan bahwa apabila para pembesar hidup serasi, dan yang dibawahnya bersahabat, dan ada kedamaian dalam pembicaraan-pembicaraan bisnis dan pandangan-pandangan yang benar yang mendapatkan sambutan, maka semua masalah dapat diselesaikan. Dalam ajaran agama Budha, harmoni dapat disebut juga dengan metta. Metta berarti kasih sayang, kebersamaan, persahabatan ( Khrisna, 2005 : 110 ). Agama Budha mengajarkan umatnya untuk selalu menghindari konflik agar tidak terjadi perselisihan. Untuk menghindari hal tersebut harus ada kasih sayang, kebersamaan, dan rasa persahabatan dalam menyelesaikan suatu masalah.
27
Menurut analisa penulis, konsep Budha yang terdapat dalam Jyushichi Jyo Kempo pasal 1 adalah konsep metta yang berarti persahabatan. Konsep metta termasuk kedalam 10 paramita pada bagian sembilan. Baik para pembesar maupun bawahannya harus saling bersahabat satu sama lain agar tidak terjadi perselisihan yang dapat menyebabkan permusuhan. Dalam ajaran agama Budha, sesama makhluk hidup harus saling menyayangi dan hidup bersatu, yang berarti kesatuan mendasar dari kebijaksanaan dan belas kasih. Dalam hal ini sesama para pembesar haruslah saling mewujudkan rasa persahabatan karena para pembesar tersebut adalah contoh untuk para bawahannya. Mereka harus dapat mengajarkan rasa kasih sayang terhadap bawahannya agar para bawahannya dapat menciptakan rasa kasih sayang dan persahabatan terhadap yang lainnya. Pasal 1 tersebut mewajibkan agar para bawahan menghormati pimpinannya tetapi agama Budha mengajarkan agar setiap orang diberikan kebebasan untuk berpikir dan memberikan toleransi yang besar. Oleh sebab itu, para pembesar harus memberikan kebebasan untuk berpikir kepada para pembesar lainnya dan memberikan sikap toleransi kepada bawahannya dan mengajarkan bawahannya untuk saling menghormati antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya rasa persahabatan dan kasih sayang, maka akan terciptalah hidup yang penuh dengan keselarasan.
3.2.2 Analisis Konsep Budha Pada Pasal 2 二曰、篤敬三寶。々々者佛法僧也。則四生之終歸、萬國之禁宗。何世何人、 非貴是法。 ( Jyushichi Jyo Kempo, 2007 ) Terjemahannya, Pasal 2, Hormatilah ketiga ajaran mulia, Budha, Dharma, dan komunitas kebiaraan ( Sangha ). Semua itu adalah tempat perlindungan akhir dari semua makhluk hidup, dan pimpinan tertinggi di dunia. Apakah ada orang yang tidak menghormati
28
Dharma? Manusia yang sangat jahat sekalipun dapat diajari untuk mengikuti ajaran Budha. Apabila mereka tidak berlindung pada ketiga ajaran mulia, bagaimana mereka bisa memperbaiki kejahatan mereka? Pasal 2 dalam Jyushichi Jyo Kempo mengarah pada ketiga ajaran mulia, Budha, Dharma, dan Sangha. Dalam hal ini Dharma diartikan sebagai hukum, dan Sangha diartikan sebagai komunitas kebiaraan. Menurut teori ahli, kata Dharma bisa berarti banyak, yaitu : 1. Menurut Donath ( 2005 ), apabila tanpa huruf besar dharma berarti sesuatu, pikiran, unsur, atau konsep. 2. Menurut Krishna ( 2005 ), Dharma sering diterjemahkan sebagai hukum alam yang kekal dan abadi. Sesungguhnya, kekekalan dan keabadian itulah Dharma. Pasal 2 dalam Jyushichi Jyo Kempo menempatkan ketiga ajaran mulia tersebut sebagai pimpinan tertinggi di dunia dan dijadikan sebagai tempat perlindungan akhir dari semua makhluk hidup. Menurut analisa penulis, Dharma disini bisa diartikan sebagai hukum yang menghimbau kepada masyarakat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Dharma tidak bisa dipisahkan dari Budha dan Sangha. Jika dilihat dari konsep Budha ketiga ajaran mulia ini termasuk dalam konsep perlindungan yang disebut Tisarana atau tiga perlindungan. Ketiga ajaran ini saling berkaitan. Jika seseorang berlindung pada Budha, maka seseorang itu berlindung dan percaya sepenuh hati kepada Sang Budha, manusia teragung di alam ini yang telah menunjukkan jalan kepada umat manusia untuk mengakhiri penderitaan. Apabila seseorang berlindung kepada Budha, maka orang itu akan mempelajari dengan sepenuh hati ajaran Sang Budha yaitu, Dharma.
29
Jika dihubungkan dengan isi dari pasal dua yang berbunyi, “々々者佛法僧也。則 四生之終歸、萬國之禁宗。何世何人、非貴是法。” yang artinya, “Manusia yang sangat jahat sekalipun dapat diajari untuk mengikuti ajaran Budha. Apabila mereka tidak berlindung pada ketiga ajaran mulia tersebut, bagaimana mereka bisa memperbaiki kejahatan mereka.” Kata “sangat jahat” disini bisa diistilahkan sebagai penderitaan, jika manusia tersebut berlindung dan percaya sepenuh hati kepada Sang Budha, maka ia dapat terlepas dari penderitaan itu. Ketiga adalah menghormati Sangha. Menurut Donath ( 2005 ), Sangha adalah persaudaraan suci para Arya siswa Sang Budha yang telah melaksanakan dan memelihara Dharma. Menurut analisa penulis, Sangha dalam pasal dua adalah komunitas kebiaraan, artinya masyarakat diwajibkan untuk menghormati para biksubiksu yang memelihara dan mengajarkan Dharma.
3.2.3 Analisis Konsep Budha Pada Pasal 5 五曰、絶饗棄欲、明辨訴訟。其百姓之訟、一百千事。一日尚爾、況乎累歳。 頃治訟者、得利爲常、見賄廳讞。便有財之訟、如右投水。乏者之訴、似水投 石。是以貧民、則不知所由。臣道亦於焉闕。( Jyushichi Jyo Kempo, 2007 ). Terjemahannya, Pasal 5, Jauhkanlah diri dari ketamakkan dan nafsu. Hakimilah hal-hal hukum secara jujur. Seandainya dalam sehari ada 1000 orang yang dihakimi secara tidak adil, berapa banyak lagi yang akan terjadi bertahun-tahun? Sekarang ini mereka yang menentukan hukum sudah terbiasa mendapat untung, menenangkan seseorang dengan menerima sogokan. Akibatnya, tuntutan-tuntutan hukum orang-orang yang kaya seperti melempar batu ke air. Mereka akan diterima dengan senang hati, sedangkan tuntutan hukum orang-orang miskin seperti menyiram air ke batu. Mereka tidak akan diterima dengan senang hati.Oleh karena itu, orang-orang miskin itu harus bagaimana? Disinilah tugas pejabat tidak sempurna.
30
Dalam pasal 5 sangatlah ditegaskan bahwa para pembesar negara tidak diperbolehkan untuk memelihara sifat tamak dan lebih mementingkan nafsu semata. Amatlah sangat tidak bijaksana jika seorang pemimpin yang seharusnya berlaku adil kepada rakyat menerima uang sogokan. Menurut Wulandari ( 2004 ) Masyarakat yang baik tidak lepas dari sosok para elit yang memimpin mereka. Tidak benar kalau masyarakat dituntut berperilaku seperti itu. Seorang elit harus dapat menjadi panutan bawahan atau orang yang dipimpin. Agar dapat menjadi panutan, seorang elit harus punya keutamaan moral berbuat baik dan menjauhkan diri dari tindakan buruk. Mereka memikirkan kesejahteraan rakyat, menghargai hak individu, menjamin tegaknya keadilan dan kepastian hukum, dan mampu menjaga dan mengendalikan diri dari perbuatan tidak terpuji. Seorang panutan harus memiliki watak yang baik, berlaku jujur dan memiliki integritas diri yang tinggi. Jika dilihat dalam konsep Budha, isi dari Jyushichi Jyo Kempo pasal 5 ini merujuk kepada konsep jalan tengah yang berisi sabda Sang Budha yang berbunyi : “Ada dua cara hidup yang ekstrim yang harus kita hindari, yaitu pemuasan nafsu jasmani yang bertentangan dengan kehidupan spiritual, tidak bermanfaat dan sia-sia, dan sebaliknya, hidup dengan menyiksa diri, menderita tanpa manfaat dan juga siasia. Di antara kedua hal ekstrim ini, terdapat jalan tengah nan sempurna, yang memberikan kedamaian, kemajuan spiritual, dan nirvana. Inilah kebenaran sejati yang membawa kemenangan untuk mengatasi penderitaan, yaitu jalan arya beruas delapan, yang menuju kepada pencapaian penerangan sempurna.” Dua cara hidup yang ekstrim yang harus dihindari disini adalah pemuasan nafsu jasmani dan ketamakkan ( menerima sogokan ). Menurut analisa penulis, jika dilihat dari sabda sang Budha yang berbunyi “Inilah kebenaran sejati yang membawa kemenangan untuk mengatasi penderitaan, yaitu jalan arya berus delapan, yang menuju kepada pencapaian kebenaran sempurna”, jalan arya beruas delapan yang dimaksudkan disini adalah jalan arya beruas delapan bagian empat, yaitu perbuatan benar, langkah yang 31
berkaitan dengan susila. Seorang pemimpin dituntut untuk melakukan hal yang benar dan berlaku adil, terutama kepada rakyat kecil. Dalam konsep Budha yang lain, yaitu dasa kusala karma, setiap manusia dilarang untuk bertindak serakah/ lobha. Bertindak serakah/ lobha sama dengan tiga karma dari pikiran. Seorang pemimpin yang baik selain berbuat benar haruslah diikiti dengan pikiran yang bersih, menahan diri dari keserakahan yang dapat membuat orang lain merasa dirugikan. Jika seorang pemimpin tidak berlaku adil, maka ia bukanlah orang yang bijaksana dan tidak dapat disebut sebagai pemimpin yang baik.
3.2.4 Analisis Konsep Budha Pada Pasal 6 六曰、懲惡勸善、古之良典。是以无匿人善、見-悪必匡。其諂詐者、則爲覆 二國家之利器、爲絶人民之鋒劔。亦佞媚者、對上則好説下過、逢下則誹謗上 失。其如此人、皆无忠於君、无仁於民。是大亂之本也。( Jyushichi Jyo Kempo, 2007 ). Terjemahannya, Pasal 6, Hukumlah yang jahat dan besarkan hati orang-orang yang baik. Ini adalah peraturan yang baik dan kuno. Karena itu janganlah menyembunyikan kebaikan orang, dan bila kamu melihat kejahatan, perbaikilah. Orang yang memuji dan menipu adalah pedang yang tajam yang menjatuhkan pemerintahan dan merusak orang. Penyanjung suka menerangkan kesalahan orang kecil kepada atasan, dan jika mereka bertemu dengan bawahan mereka menekankan kesalahan atasan. Orangorang semacam ini tidak setia kepada pemimpinnya maupun tidak ada kebajikannya kepada rakyat. Ini adalah sumber dari kekacauan yang besar. Salah satu kalimat dalam pasal 6 yang berbunyi seperti dibawah ini : “其諂詐者、則爲覆二國家之利器、爲絶人民之鋒劔。亦佞媚者、對上則好説 下過、逢下則誹謗上失。其如此人、皆无忠於君、无仁於民。是大亂之本 也。”
32
Terjemahannya, “Orang yang memuji dan menipu adalah pedang yang tajam yang menjatuhkan pemerintahan dan merusak orang. Penyanjung suka menerangkan kesalahan orang kecil kepada atasan, dan jika mereka bertemu dengan bawahan mereka menekankan kesalahan atasan. Orang-orang semacam ini tidak setia kepada pemimpinnya maupun tidak ada kebajikannya kepada rakyat. Ini adalah sumber dari kekacauan perdata yang besar.” Orang yang memuji dan menipu yang dimaksudkan diatas adalah orang yang suka mengatakan hal yang tidak sebenarnya kepada orang lain. Dalam konsep Budha yang disebut dasa kusala karma, setiap manusia tidak boleh berbohong, berkata buruk, berkata kasar dan memfitnah. Hal tersebut merupakan empat karma dari mulut dalam dasa kusala karma. Menurut analisa penulis, pasal 6 mengarah kepada para pembesar/ pejabat negara yang suka menekankan kesalahan rakyat kecil kepada atasan mereka, dan menekankan kesalahan atasan mereka kepada rakyat kecil. Sikap ini termasuk dalam berkata bohong dan memfitnah dalam dasa kusala karma. Jika seseorang berkata bohong dan memfitnah orang lain maka ia akan mendapatkan karma buruk, namun sebaliknya jika seseorang mematuhi dasa kusala karma maka ia akan mendapatkan karma baik. Hal ini dijelaskan oleh sang Budha, “kita tidak dihukum oleh kesalahan kita tetapi oleh kesalahan itu sendiri.” Kalimat “Ini adalah sumber dari kekacauan perdata yang besar”, dapat disebut sebagai takdir. Konsep takdir atau nasib yang dipahami oleh agama Budha sangat berbeda dengan konsep yang secara umum diterima bahwa takdir adalah suatu kekuatan di luar control manusia. Dalam agama Budha, takdir diciptakan sendiri dalam bentuk karma. Diajarkan bahwa nasib sesorang adalah hasil atau akibat dari apa yang telah dilakukan atau dipikirkannya di masa lalu ( Donath, 2005 : 93-94 ).
33
Menurut analisa penulis, para pembesar yang berkata bohong dan memfitnah termasuk kedalam dasa kusala karma yang sama dengan empat karma dari mulut. Mereka akan diikuti oleh karma buruk yang merupakan takdir dalam bentuk kekacauan perdata yang besar. Hukum negara menjadi kacau, hal ini disebabkan oleh perbuatan mereka di masa lalu, akibat dari apa yang telah dipikirkannya di masa lalu. Konsep takdir dalam agama Budha adalah, bahwa kita adalah penentu nasib kita sendiri, untuk kebaikan atau kejahatan, untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk.
3.2.5 Analisis Konsep Budha Pada Pasal 9 九曰、信是義本。毎事有信。其善悪成敗、要在于信。群臣共信、何事不成。 群臣无信、萬事悉敗。( Jyushichi Jyo Kempo, 2007 ). Terjemahannya, Pasal 9, Kesungguhan adalah dasar dari kebenaran. Segala hal memiliki kesungguhan. Intisari dari baik dan buruk dari sukses dan kegagalan terdapat pada kesungguhan. Apabila semua pegawai pemerintah bersungguh-sungguh, apa saja yang tidak bisa diselesaikan? Jika mereka tidak bersungguh-sungguh segala masalah akan berakhir dengan kegagalan. Dalam pasal 9 ditegaskan tentang kesungguhan terhadap pekerjaan. Pekerjaan adalah sebuah tanggung jawab yang harus kita kerjakan sepenuh hati dan penuh dengan tanggung jawab. Inti dari pasal 9 adalah, mewajibkan seluruh pejabat negara untuk melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh. Dalam konsep Budha hal ini disebut dengan adhittana, yaitu kebulatan tekad. Menurut analisa penulis, isi dari pasal 9 merujuk kepada konsep 10 paramita bagian delapan yang disebut adhittana. Kebulatan tekad dalam menyelesaikan setiap pekerjaan dan tetap bertahan pada kebenaran. Apapun konsekuensinya, Budha mengajarkan
34
umatnya untuk selalu bersemangat yang dalam 10 paramita disebut virya. Virya berarti berarti energi, tenaga,dan semangat. Dalam menyelesaikan setiap pekerjaan tidak cukup hanya dengan kebulatan tekad dan semangat tetapi harus diikuti dengan kesabaran. Kesabaran dalam 10 paramita biasa disebut dengan khanti. Menurut Krishna ( 2005 ), untuk bersabar kita membutuhkan kekuatan atau energi yang luar biasa. Oleh karena itu, virya dan khanti bagaikan kembar yang tak terpisahkan.
3.2.6 Analisis Konsep Budha Pada Pasal 10 十曰、絶忿棄瞋、不怒人違。人皆有心。々各有執。彼是則我非。我是則彼非。 我必非聖。彼必非愚。共是凡夫耳。是非之理、詎能可定。相共賢愚、如鐶无 端。是以、彼人雖瞋、還恐我失。、我獨雖得、從衆同擧。( Jyushichi Jyo Kempo, 2007 ). Terjemahannya, Pasal 10, Menahan diri dari kebencian dan kemarahan. Janganlah berang jika orang tidak sependapat dengan kamu. semua orang mempunyai hati, masing-masing dengan kasih sayang mendalam. Kalau kamu benar, maka saya salah, jika saya benar, maka kamu salah. Saya tidaklah perlu menjadi seorang bijak dan kamu tidak perlu menjadi bodoh. Kita hanyalah manusia biasa.Siapakah yang bisa menentukan dengan pasti apa yang benar dan apa yang salah? Secara bergantian kita kadangkadang bijaksana dan bodoh seperti lingkaran setan yang tanpa akhir. Untuk alasan ini, walaupun orang-orang lain menjadi berang, saya, sebaliknya takut akan kesalahan-kesalahan saya sendiri. Bahkan apabila saya sendiri mengerti sepenuhnya, saya akan mengikuti orang-orang yang lain itu dan berlaku seperti mereka. Dalam pasal sepuluh dijelaskan bahwa “十曰、絶忿棄瞋、不怒人違。人皆有 心。々各有執。” Artinya, “Menahan diri dari kebencian dan kemarahan. Janganlah berang jika orang tidak sependapat dengan kamu. Semua orang mempunyai hati, masing-masing dengan kasih sayang mendalam.” Dalam Budha kebencian berarti penderitaan yang disebut dukkha. Semua kehidupan diliputi dukkha, yaitu semua
35
penderitaan meliputi sakit, cemas, frustrasi, keluh-kesah, kehilangan, dan semua hal yang tidak menyenangkan yang ada dalam kehidupan ( Donath, 2005 : 36-43 ). Menurut analisa penulis, penderitaan atau dukkha dapat diakhiri dengan jalan arya beruas delapan bagian dua, yaitu pikiran benar. Jika kita merasakan kebencian, kita harus dapat berpikir jernih dan tetap menggunakan akal dan pikiran. Dalam pasal ini ada satu kalimat yang menyatakan, “Jika kamu benar, maka saya salah, jika saya benar, maka kamu salah.” Budha tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berkata, “Aku yang benar, engkau salah.” Kita tidak boleh memaksakan kehendak orang lain, kita harus menghormati semua pendapat orang lain. Jika kita menghormati pendapat orang lain, maka orang lain pun akan menghormati pendapat kita. Apabila seseorang tidak sependapat dengan kita, kita harus tetap berpikiran jernih dan bersabar karena tidak semua pendapat kita sudah pasti benar, dan pendapat orang lain itu salah.
3.2.7 Analisis Konsep Budha Pada Pasal 11 十一曰、明察功過、賞罰必當。日者賞不在功。罰不在罪。執事群卿、宜明賞 罰。( Jyushichi Jyo Kempo, 2007 ). Terjemahannya, Jelaslah kita melihat kebaikan dan kekurangan dan menerapkan ganjaran ( hadiah ) atau hukuman yang diperlukan. Baru-baru ini ganjaran belum diterapkan dan hukuman belum diterapkan terhadap perbuatan yang salah. Pejabat-pejabat pemerintah yang bertanggung jawab untuk hal-hal ini haruslah sebaiknya menerapkan ganjaran dan hukuman. Inti dari pasal 11 adalah agar memberikan ganjaran ( hadiah ) bagi perbuatan yang benar, dan memberikan hukuman bagi perbuatan yang salah. Dalam 10 paramita ada sebuah konsep yang disebut dana. Dana berarti beramal saleh tanpa mengharapkan imbalan ( Khrisna : 2005 ). Menurut analisa penulis, arti dari maksud memberikan
36
hadiah bagi perbuatan yang benar tidak berarti seseorang melakukannya dengan pamrih atau menuntut balas. Krishna ( 2005 ) mengatakan bahwa dana berarti mengingat setiap kebaikan yang dilakukan orang lain terhadap diri kita. Pemberian hadiah kepada seseorang yang telah berbuat benar adalah salah satu wujud dari dana, yaitu mengingat setiap kebaikan orang. Menurut Riwayat Para Budha dalam Naskah Dhamma ( 2003 ) Sang Budha mengajarkan kepada 1250 biksu arbat di kota Ragajasa, yang berbunyi, “Sarvapapasya akaranam, kusalasyu pasampada, sva citta parya vardapanam, E Tad Buddhasasanam.” Artinya, “Jangan berbuat jahat, perbanyaklah perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran, itu ajaran agama Budha.” Apabila seseorang berbuat jahat maka karma buruk akan mengikutinya. Hukuman itulah yang berupa karma buruk yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya di masa lampau.
3.2.8 Analisis Konsep Budha Pada Pasal 15 十五曰、背私向公、是臣之道矣。凡人有私必有恨。有憾必非同、非同則以私 妨公。憾起則違制害法。故初章云、上下和諧、其亦是情歟。( Jyushichi Jyo Kempo, 2007 ). Terjemahannya, Tugas dari pejabat pemerintah adalah menolak keuntungan pribadi dan menggantinya dengan kebaikan untuk umum. Kalau orang prihatin dengan keuntungan pribadi, mereka harus merasa dendam. Apabila ada kebencian, ketidaksetujuan perlu timbul. Apabila ada ketidaksetujuan, kebaikan umum terhalang demi keuntungan pribadi. Apabila kebencian timbul, ini bertentangan dengan sistem dari peraturan-peraturan dan merusak hukum. Karena itu, pasal pertama menyatakan bahwa atasan dan bawahan seharusnya selaras dan menyenangkan. Arti kedua pasal ini sama. Pada pasal 15 ditegaskan bahwa tugas dari pejabat pemerintahan adalah menolak keuntungan pribadi dan menggantinya dengan kebaikan untuk umum. Para pejabat
37
pemerintahan dihimbau agar tidak tergoda dengan keuntungan pribadi semata. Mereka juga harus memikirkan apakah keuntungan tersebut dapat dinikmati dan digunakan bersama-sama. Menurut analisa penulis, apabila dilihat dari konsep Budha, pasal 15 mengarah kepada konsep Budha 10 paramita yang ke-empat yaitu, pana atau pragyaan yang berarti wisdom, kebijaksanaan, kemampuan untuk menentukan tindakan mana yang tepat dan mana yang tidak tepat. Para pejabat pemerintahan haruslah bersikap bijaksana untuk menentukkan sikap. Apabila ditawari keuntungan, mereka haruslah berfikir terlebih dahulu apakah keuntungan yang didapatkan adalah keuntungan yang baik untuk semuanya. Jika mereka hanya mementingkan keuntungan pribadi, maka aka nada banyak orang yang membenci mereka dan apa yang telah dihimbau pada pasal pertama tidak akan tercapai. Keharmonisan tidak dapat dilakukan oleh atasan dan bawahan. Oleh karena itu, pana atau pragyaan yang berarti kebijaksanaan sangatlah penting untuk mencapai keharmonisan.
3.2.9 Analisis Konsep Budha Pada Pasal 17 十七曰、夫事不可濁斷。必與衆宜論。少事是輕。不可必衆。唯逮論大事、若 疑有失。故與衆相辮、辭則得理。( Jyushichi Jyo Kempo, 2007 ). Terjemahannya, Pasal 17, Masalah-masalah yang penting tidak boleh diselesaikan oleh satu orang saja. Masalah penting tersebut harus didiskusikan bersama-sama dengan orang-orang lainnya. Masalah yang kurang penting tidak perlu didiskusikan dengan orang banyak. Dalam diskusi mengenai masalah yang penting, pasti ada saja suatu kesalahan. Oleh karena itu, jika didiskusikan dengan banyak orang akan mengarah ke keputusan yang tepat.
38
Kalimat pertama pada Jyushichi Jyo Kempo pasal 17 berbunyi, “十七曰、夫事不可 濁 斷 。 必 與 衆 宜 論 。 少 事 是 輕 。 不 可 必 衆 。 ” Artinya, “Masalah-masalah yang penting tidak boleh diselesaikan oleh satu orang saja. Masalah penting harus didiskusikan bersama-sama dengan orang-orang yang lainnya. Masalah-masalah yang kurang penting tidak perlu didiskusikan dengan orang banyak.” Dalam konsep Budha terdapat konsep satya atau sacca yang termasuk ke dalam 10 paramita bagian tujuh. Satya atau sacca berarti kebenaran, mempersatukan pikiran, tindakan dan ucapan adalah langkah pertama dalam kebenaran. Langkah berikutnya adalah memperluas wawasan dan melihat kebenaran dari setiap sudut pandang, melihat kesatuan di balik perbedaan. Langkah terakhir adalah menemukan inti kebenaran atau kasunyatan. Itulah kebenaran tertinggi dan terakhir ( Krishna, 2005 : 109 ). Menurut analisa penulis, pasal 17 mengarah kepada pencarian kebenaran yang dicapai dalam bentuk penyatuan pikiran dan pendapat dari orang lain, kemudian setelah semua pikiran dan pendapat disatukan dan di setujui bersama, maka akan terciptalah suatu kebenaran yang abadi. Semua masalah akan selesai dengan lebih baik apabila diselesaikan dan dirundingkan bersama, maka akan terciptalah suatu kebenaran yang abadi. Semua masalah akan selesai dengan lebih baik apabila diselesaikan dan dirundingkan bersama secara kekeluargaan dan pikiran yang terbuka.
39
3.3 Tabel Dibawah ini adalah tabel 9 pasal dari Jyushichi Jyo Kempo dan konsep-konsep Budha yang ada di setiap pasal.
No
Pasal dalam Jyushichi Jyo Kempo
Konsep Budha
1
Pasal satu
10 Paramita ( Metta )
2
Pasal dua
Perlindungan
3
Pasal lima
Jalan Tengah, Jalan Arya Beruas Delapan ( Perbuatan Benar )
4
Pasal enam
Dasa Kusala Karma ( Empat karma dari mulut ), Takdir
5
Pasal sembilan
10 Paramita ( Adhittana, Virya, dan Khanti )
6
Pasal sepuluh
Jalan Arya Beruas Delapan ( Pikiran Benar )
7
Pasal sebelas
10 Paramita ( Dana ), Hukum Karma
8
Pasal lima belas
10 Paramita ( Pana atau Pragyaan )
9
Pasal tujuh belas
10 Paramita ( Satya atau Sacca )
40