Bab 3 Analisis Data
3.1 Analisis Konsep Shinto Dalam Tujuan Diadakannya Tagata Jinja Hounen Matsuri
Tagata Jinja Hounen matsuri merupakan sebuah festival yang diadakan di Tagata Jinja yang terletak di kota Komaki yang merupakan sebuah kota pertanian. Tujuan dari diadakannya matsuri ini adalah sebagai tanda terima kasih akan panen yang berhasil sekaligus permohonan akan panen yang melimpah pada tahun yang akan datang oleh masyarakat Komaki terhadap dewa pertanian yang bernama Mitoshi no kami atau sering juga disebut dengan Toshigami, dan juga permohonan para wanita kepada dewa kesuburan yang bernama Tamahime no Mikoto agar dikaruniai keturunan. Menurut analisis penulis, Tagata Jinja Hounen matsuri ini sesuai dengan penggolongan Shinto yang termasuk dalam kategori kuil Shinto karena Tagata Jinja Hounen matsuri diadakan di sebuah kuil Shinto yang bernama Tagata di mana usia kuil tersebut sudah lebih dari 1500 tahun, kuil tersebut ditujukan sebagai kuil tempat memohon kesuburan dan juga panen yang melimpah. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Ono (1992 : 12-15), bahwa terdapat tujuh macam penggolongan Shinto
32
di mana salah satunya yaitu kuil Shinto. Yang dimaksud dengan kuil Shinto di sini adalah kuil Shinto sebagai tempat untuk melaksanakan ritual dan prosesi matsuri tersebut. Kuil Shinto memiliki hubungan yang erat dengan tempat pemujaan kepada para dewa atau kami.
Gambar 3.1 Tagata Jinja
Sumber : http://gregsmits.net/photos/tagata.htm Gambar 3.2 Tagata Jinja Pada Saat Hounen Matsuri
Sumber : http://farstrider.net/Japan/Festivals/HounenMatsuri/Tagata.htm
Menurut analisis penulis, matsuri ini juga sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jepang terhadap konsep kami dalam Shinto, matsuri tersebut ditujukan kepada dewa pertanian yang bernama Toshigami dan juga dewa kesuburan yang bernama Tamahime no
33
Mikoto sebagai wujud rasa terima kasih dan juga permohonan akan panen yang melimpah dan juga kesuburan. Hal tersebut sesuai dengan yang tertulis dalam The Cambridge Encyclopedia of Japan (1998 : 152), bahwa dalam Shinto terdapat kepercayaan terhadap para dewa atau kami sejak zaman dahulu hingga sekarang. Selain itu, konsep mengenai dewa-dewa pertanian ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Picken (1994 : 94-121), bahwa terdapat penggolongan kami menjadi dua bagian besar, yaitu kami yang terdapat dalam mitologi Jepang dan juga kami yang tidak terdapat dalam mitologi Jepang. Konsep mengenai dewa pertanian ini sesuai dengan kami yang tidak terdapat dalam mitologi Jepang yaitu kami yang berhubungan dengan perdagangan, kemakmuran (ekonomi), serta yang memiliki kaitan dengan dewa-dewa pelindung pertanian. Dalam hal ini, Toshigami dan Tamahime no Mikoto termasuk dalam dewa pelindung pertanian. Selain itu, menurut analisis penulis, kepercayaan terhadap dewa-dewa pertanian dalam Tagata Jinja Hounen matsuri dalam masyarakat pertanian Komaki merupakan salah satu ajaran Shinto kuno, yaitu yang berhubungan dengan pertanian. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam The Kodansha Bilingual Encyclopedia of Japan (1998 : 527), sebagai berikut,
Asal-usul matsuri berhubungan dengan pengolahan padi dan juga religi 34
masyarakat setempat. Berasal dari ajaran suci Shinto kuno untuk perdamaian dengan para dewa dan roh orang mati, serta pemenuhan unsur agrikultural.
3.2 Analisis Konsep Shinto Dalam Ritual Tagata Jinja Hounen Matsuri Dalam Tagata Jinja Hounen matsuri, sebuah matsuri yang ditujukan kepada dewa kesuburan dan dewa panen ini, terdapat beberapa ritual Shinto yang dilaksanakan bertepatan dengan parade Tagata Jinja Hounen matsuri itu sendiri dan juga sebelum parade dilangsungkan. Di bawah ini penulis akan menganalisis konsep Shinto dalam ritual-ritual tersebut.
3.2.1 Analisis Konsep Shinto Dalam Yakubarai-sai Pada Tagata Jinja Hounen Matsuri
Berdasarkan yang tertulis dalam Tagata Jinja Hounen-sai pada Infoseek (2007). Sebelum prosesi parade Tagata Jinja Hounen matsuri dimulai, diadakan upacara yakubarai atau yang biasa disebut dengan yakubarai-sai. Yakubarai-sai adalah sebuah upacara penyucian yang bertujuan untuk menyucikan para peserta parade Tagata Jinja Hounen matsuri yang dianggap kotor atau sedang dalam kategori usia yakudoshi. Upacara tersebut diadakan di dalam kuil Tagata pada pukul sebelas pagi pada tanggal yang sama dengan hari pelaksanaan Tagata Jinja Hounen matsuri yaitu 15 Maret pada awal musim semi setiap tahunnya.
35
Menurut analisis penulis, yakubarai-sai yang diadakan dalam Tagata Jinja Hounen matsuri tersebut sesuai dengan kepercayaan terhadap Shinto sebagai upacara penyucian atau oharai bagi peserta yang akan berpartisipasi sebagai pembawa persembahan bagi kami yaitu laki-laki yang berusia 42 tahun dan perempuan yang berusia 36 tahun, yang pada usia tersebut termasuk dalam usia rawan atau sering disebut yakudoshi. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Ono (1992 : 51-57), oharai memiliki tujuan untuk menghilangkan polusi, ketidaksucian, ketidakbenaran, serta kejahatan, dan dilakukan oleh seorang pendeta Shinto dengan menggunakan haraigushi.
Menurut analisis penulis, dengan diadakannya yakubarai-sai ini, dapat dikatakan bahwa para peserta yang akan berpartisipasi sebagai pembawa persembahan tersebut kembali suci dan diharapkan terhindar dari berbagai ketidakberuntungan dalam menjalani usia tersebut di atas. Hal ini sesuai dengan Picken (1994 : 172-173) yang mengatakan bahwa untuk menghindari ketidakberuntungan biasanya orang-orang yang berusia seperti di atas mendatangi kuil atau jinja untuk didoakan dan meminta berkat. Selain itu, hal tersebut di atas juga sesuai dengan ”
” (yakudoshi) dalam Japanlink
(2003) sebagai berikut,
36
Yakudoshi adalah kategori umur yang harus diwaspadai karena pada usia tersebut, seseorang dikhawatirkan akan lebih rentan terkena penyakit dan hal-hal buruk.
3.2.2 Analisis Konsep Shinto Dalam Gozen-sai Pada Tagata Jinja Hounen Matsuri Sebelum prosesi parade Tagata Jinja Hounen matsuri dimulai, diadakan ritual Gozen-sai. Sesuai dengan yang tertera pada Tagata Jinja Hounen-sai dalam Infoseek (2007), pada pukul satu siang diadakan Gozen-sai. Gozen-sai merupakan sebuah upacara yang berlangsung secara khidmat, dan dilangsungkan di kuil Kumano-sha pada tahun ganjil, atau di kuil Shinmei-sha pada tahun genap. Kedua kuil ini merupakan kuil kecil sementara yang dianggap sebagai tempat peristirahatan sementara para kami selama matsuri dilangsungkan. Kuil sementara ini sering disebut dengan otabisho. Tujuan dari diadakannya upacara ini adalah untuk memohon agar jalannya prosesi Tagata Jinja Hounen matsuri berjalan dengan baik. Selain itu seperti yang diungkapkan oleh Ono (2007), upacara ini dipimpin oleh para pendeta Shinto yang memiliki tugas membacakan doa dan juga melakukan ritual penyucian menggunakan setangkai ranting sakaki sebagai pengganti haraigushi. Menurut analisis penulis, upacara gozen-sai ini memiliki kaitan yang erat dengan
37
ajaran Shinto. Tujuan upacara ini sendiri adalah meminta berkat kepada dewa atau kami agar matsuri berjalan dengan baik dan lancar, hal ini sesuai dengan The Cambridge Encyclopedia of Japan (1998 : 152) yang mengatakan bahwa ajaran Shinto memiliki kaitan erat dengan kepercayaan terhadap para dewa atau kami.
Gambar 3.3 Pembacaan Doa Dalam Gozen-sai
Sumber : http://photoguide.jp/pix/ Gambar 3.4 Ritual Penyucian Dalam Gozen-sai
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Di dalam upacara ini dibacakan doa-doa khusus, dan dalam ajaran Shinto pembacaan doa ini disebut dengan norito. Diungkapkan oleh Ono (1992 : 51-57), bahwa
38
dalam matsuri yang sesuai dengan Shinto terdiri dari beberapa unsur dan satu diantaranya adalah norito. Norito adalah doa-doa yang diucapkan oleh pendeta Shinto baik merupakan doa-doa permohonan ataupun ucapan terima kasih dan juga menjadi salah satu bentuk pemujaan terhadap para dewa atau kami.
Gambar 3.5 Kumano-sha
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Gambar 3.6 Ranting Sakaki
Sumber : http://www.designersilks.net/trees.html
Menurut analisis penulis, penggunaan ranting sakaki sebagai penganti haraigushi dalam gozen-sai tersebut, juga sesuai dengan ajaran Shinto di mana terdapat metode penyucian dengan menggunakan ranting sakaki dan juga haraigushi. Hal ini sesuai dengan Ono (1992 : 24-25) yang mengatakan bahwa ranting sakaki sebagai salah satu peralatan yang dipergunakan dalam upacara-upacara Shinto bersamaan dengan beberapa peralatan lainnya seperti pedang yang digunakan sebagai tanda kekuatan kami,
39
dan juga spanduk sebagai tanda kehadiran kami.
3.2.3 Analisis Konsep Shinto Dalam Penggunaan Sake Pada Tagata Jinja Hounen Matsuri
Selain yakubarai-sai dan juga gozen-sai yang dilakukan pada saat persiapan sebelum parade Tagata Jinja Hounen matsuri, diadakan juga upacara pembagian sake kepada seluruh peserta dan juga orang-orang yang hadir untuk menyaksikan Tagata Jinja Hounen matsuri. Sesuai dengan Hounen Matsuri : Tagata Jinja dalam Farstrider (2006), sake yang digunakan dalam matsuri ini merupakan pemberian sukarela dari beberapa perusahaan lokal. Sesuai dengan Ono (2007), sebelum dibagi-bagikan kepada seluruh peserta parade dan orang-orang yang hadir dalam Tagata Jinja Hounen matsuri ini secara gratis, terlebih dahulu diadakan pembukaan tutup sake ini secara bersama-sama oleh beberapa pendeta Shinto dengan menggunakan palu yang berwarna merah dan putih. Menurut analisis penulis, sake dalam matsuri ini digunakan sebagai salah satu alat untuk menyucikan para peserta maupun orang-orang yang datang untuk menyaksikan Tagata Jinja Hounen matsuri ini dengan cara dibagikan secara cuma-cuma atau gratis. Sake merupakan minuman beralkohol khas Jepang yang terbuat dari beras. Hal ini sesuai
40
dengan yang diungkapkan Schumacher (2007), bahwa api, air biasa, dan juga sake (arak beras khas Jepang) juga digunakan sebagai alat penyucian atau oharai.
Gambar 3.7 Sake
Sumber : http://farstrider.net/Japan/
Gambar 3.8 Pemecahan Tutup Sake
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Selain itu, menurut analisis penulis, acara minum sake bersama-sama antar seluruh peserta maupun orang-orang yang datang untuk menyaksikan Tagata Jinja Hounen matsuri ini memiliki makna khusus yaitu sebagai simbol kebersamaan dan keakraban. Acara ini menurut Ono (1992 : 51-57), dalam ajaran Shinto disebut dengan naorai yang merupakan salah satu dari empat unsur penting sebuah matsuri. Pengertian naorai itu sendiri adalah acara makan dan minum bersama-sama dengan para dewa atau kami. Warna merah dan putih pada palu yang dipergunakan untuk membuka tutup sake
41
tersebut menurut analisis penulis memiliki hubungan dengan kepercayaan terhadap warna dalam ajaran Shinto. Warna merah dipercaya memiliki unsur menyembuhkan dan mampu mengusir roh jahat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Schumacher (2007) bahwa warna merah tidak hanya simbol dari kejahatan dan penyakit saja melainkan juga sebagai simbol kesembuhan, kesuburan, dan juga kelahiran. Sedangkan warna putih menurut analisis penulis merupakan lambang kesucian, dan kebersihan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Hibi (2000 : 70) bahwa warna putih adalah warna suci yang melambangkan kebersihan, kesucian dan juga sebagai lambang keberadaan para dewa. Menurut analisis penulis, warna merah dan putih pada palu tersebut melambangkan kesucian dan kesuburan sesuai dengan tujuan diadakannya matsuri ini yaitu sebagai perwujudan permohonan akan panen yang melimpah dan juga kesuburan.
3.2.4 Analisis Konsep Shinto Dalam Tari-tarian Pembuka Tagata Jinja Hounen Matsuri
Sesuai dengan Hounen Matsuri : The Preparations(Cont.) dalam Farstrider (2006), sebelum parade Tagata Jinja Hounen matsuri dimulai, terdapat tari-tarian tradisional yang dipertunjukan. Menurut analisis penulis, tari-tarian ini sesuai dengan ajaran Shinto. Dalam ajaran
42
Shinto terdapat cerita bahwa pada waktu dewi Amaterasu Omikami marah dan dan bersembunyi di dalam gua, beliau berhasil dibujuk keluar oleh tari-tarian dan keramaian yang dilakukan oleh para dewa lainnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Picken (1994 : 183) bahwa dalam matsuri atau perayaan terdapat acara pengisi sebelum acara utama dimulai. Acara tersebut biasanya berupa tari-tarian dan nyanyian-nyanyian tradisional.
Gambar 3.9 Tari Tradisional
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Gambar 3.10 Musik Tradisional
Sumber : http://samuraidave.wordpress.com/2007/02/08/
Menurut analisis penulis, tari-tarian tradisional yang dilakukan pada awal parade Tagata Jinja Hounen matsuri ini bukan hanya sebagai acara pengisi saja, melainkan sebagai salah satu cara untuk mengundang dan menarik perhatian para dewa atau kami untuk ikut serta hadir dalam matsuri ini. Hal tersebut sesuai dengan yang tertulis dalam The Cambridge Encyclopedia of Japan (1998 : 152), bahwa dengan adanya musik dan
43
tari-tarian tradisional ini para dewa atau kami dapat meninggalkan dunia mereka sendiri untuk hadir ke dalam dunia manusia selama perayaan berlangsung
3.3 Analisis Konsep Shinto Dalam Iring-iringan Parade Tagata Jinja Hounen Matsuri
Setelah ritual yang diadakan sebelum parade Tagata Jinja Hounen matsuri selesai, selanjutnya pada pukul dua siang diadakan iring-iringan parade Tagata Jinja Hounen matsuri yang juga penuh dengan unsur-unsur Shinto. Di bawah ini, penulis akan menganalisis konsep Shinto dalam iring-iringan parade Tagata Jinja Hounen matsuri.
3.3.1 Analisis Konsep Shinto Dalam Penaburan Garam Pada Iring-iringan Parade Tagata Jinja Hounen Matsuri
Yang berada di bagian paling depan iring-iringan parade Tagata Jinja Hounen matsuri ini adalah seorang penabur garam. Penabur garam tersebut berada di bagian depan iring-iringan parade sebagai pemimpin parade sekaligus sebagai orang yang memiliki peranan penting dalam menyucikan jalan yang dilalui oleh iring-iringan parade. Sepanjang jalan yang dilalui dari kuil Kumano-sha hingga Tagata Jinja, penabur garam ini secara terus-menerus menaburkan garam yang diambil dari wadah yang diberi tali dan digantungkan di leher (Ono, 2007).
44
Gambar 3.11a Penabur Garam
Gambar 3.11b Penabur Garam
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Sumber : http://samuraidave.wordpress.com/2007/02/08/
Menurut analisis penulis, penabur garam berada di bagian paling depan sebagai pemimpin dalam iring-iringan parade Tagata Jinja Hounen matsuri ini dengan tujuan khusus yaitu sebagai petugas yang menyucikan jalan yang akan dilewati oleh parade yang dianggap kotor, hal ini termasuk dalam salah satu unsur matsuri yaitu oharai. Dalam hal ini, garam digunakan sebagai sarana penyucian tersebut. Hal ini sesuai dengan ajaran Shinto yang mengatakan bahwa garam merupakan salah satu peralatan yang dipergunakan untuk melakukan acara penyucian atau oharai (Picken, 1994 : 174).
3.3.2 Analisis Konsep Shinto Dalam Saruta Hito no Okami Pada Iring-iringan Parade Tagata Jinja Hounen Matsuri
Urutan kedua dalam iring-iringan parade Tagata Jinja Hounen matsuri ini adalah seorang pendeta Shinto yang menggunakan kostum Saruta Hito no Okami. Saruta Hito no
45
Okami adalah dewa yang memimpin keturunan dewi matahari atau Amaterasu no Omikami dari surga ke bumi (Ono, 2007). Menurut analisis penulis, Saruta Hito no Okami diikutsertakan dalam iring-iringan parade Tagata Jinja Hounen matsuri ini dikarenakan beliau adalah dewa bumi yang kedudukannya tepat berada di bawah dewi matahari atau Amaterasu no Omikami. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Picken (1994 : 94-121), bahwa terdapat penggolongan kami atau dewa dalam ajaran Shinto, yakni dewi Amaterasu no Omikami sebagai dewa Amatsu-no-kami (dewa surga atau langit), dan Saruta Hito no Okami sebagai Kunitsu-no-kami (dewa bumi). Selain itu, menurut analisis penulis, Saruta Hito no Okami yang juga disebut sebagai dewa bumi, hadir dalam matsuri ini sesuai dengan tujuan Tagata Jinja Hounen matsuri yakni sebuah festival yang digunakan untuk merayakan keberhasilan panen dan kesuburan yang tentunya tidak lepas dari bantuan dewa bumi itu sendiri. Pedang yang dibawa oleh Saruta Hito no Okami menurut analisis penulis juga sesuai dengan ajaran Shinto yaitu sebagai tanda kekuatan dari para dewa atau kami untuk menjaga dan memberikan perlindungan bagi manusia. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Ono (1992 : 24-25), bahwa terdapat beberapa peralatan dalam ajaran Shinto, diantaranya yaitu pedang yang memiliki fungsi sebagai kekuatan para dewa dan
46
juga sebagai simbol untuk menjaga keadilan dan kedamaian. Gambar 3.12a Saruta Hito no Okami
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Gambar 3.12b Saruta Hito no Okami
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Pakaian yang dikenakan oleh Saruta Hito no Okami tersebut didominasi oleh warna merah. Menurut analisis penulis, warna merah sesuai dengan konsep warna dalam ajaran Shinto yang menjadi simbol kesuburan dan kelahiran. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Schumacher (2007), bahwa warna merah merupakan simbol dari kesembuhan, kesuburan, dan juga kelahiran.
3.3.3 Analisis Konsep Shinto Dalam Kishi atau Spanduk Pada Iring-iringan Parade Tagata Jinja Hounen Matsuri
Urutan iring-iringan parade setelah Saruta Hito no Okami adalah pembawa spanduk atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan sebutan kishi. Spanduk yang terdapat
47
dalam Tagata Jinja Hounen matsuri ini adalah salah satu jenis lukisan yang beraliran Shunga dan bergambar alat kelamin pria dewasa (Ono, 2007). Menurut analisis penulis, spanduk yang digunakan dalam Tagata Jinja Hounen matsuri juga sesuai dengan ajaran Shinto yang merupakan perlambang kehadiran dewa atau kami. Hal ini sesuai dengan Ono (1992 : 24-25) yang mengatakan bahwa, terdapat berbagai peralatan yang digunakan dalam Shinto seperti spanduk, haraigushi, dan juga pedang. Spanduk digunakan sebagai simbol kehadiran kami atau dewa dalam suatu matsuri. Gambar 3.13 Spanduk Beraliran Shunga
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Selain itu, menurut analisis penulis, spanduk juga digunakan sebagai bentuk perwujudan nyata dari seorang kami atau dewa karena pada dasarnya dewa atau kami yang diundang datang dalam suatu matsuri tidak hadir dalam wujud aslinya atau dapat
48
dikatakan bahwa dewa atau kami tersebut tidak berwujud. Hal ini sesuai dengan tiga kriteria kami yang terdapat dalam The Cambridge Encyclopedia of Japan (1998 : 152), yang salah satu diantaranya mengatakan bahwa kami tidak memiliki wujud tersendiri, serta spanduk merupakan salah satu yang paling lazim dipergunakan sebagai simbol perwujudan kami dan biasanya disebut dengan yorishiro.
3.3.4 Analisis Konsep Shinto Dalam Shinsen atau Persembahan Pada Iring-iringan Parade Tagata Jinja Hounen Matsuri
Setelah pembawa spanduk, urutan berikutnya dalam iring-iringan parade Tagata Jinja Hounen matsuri adalah pembawa shinsen atau persembahan. Shinsen ini berupa ranting pohon sakaki yang diberi ikatan kertas berwarna putih, dan patung berbentuk alat kelamin pria dewasa berukuran kecil yang berbalut kain merah dan putih yang dibawa oleh perempuan berusia 36 tahun. Selain itu seperti yang tertulis dalam Hounen Matsuri, Tagata Jinja pada Yamasa Institute (2006), terdapat shinsen yang berupa buah-buahan dan juga nasi. Menurut analisis penulis, adanya shinsen atau persembahan ini merupakan salah satu dari empat unsur penting yang terdapat dalam konsep matsuri yang sesuai dengan konsep Shinto. Hal ini sesuai dengan pendapat Ono (1992 : 51-57), bahwa terdapat empat
49
unsur penting dalam matsuri yaitu Oharai atau penyucian, shinsen atau persembahan kepada para dewa, norito atau doa-doa, dan naorai atau jamuan makan dan minum bersama dewa.
Gambar 3.14 Shinsen Berupa Ranting Sakaki
Sumber : http://photoguide.jp/pix/ Gambar 3.15 Shinsen Berupa Patung Alat Kelamin Pria
Sumber : http://photoguide.jp/pix/ Ranting sakaki yang digunakan sebagai persembahan ini diberi ikatan kertas berwarna putih. Menurut analisis penulis, ranting sakaki yang digunakan dalam matsuri ini mengandung konsep Shinto. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Ono (1992 : 24-25), bahwa ranting sakaki dapat digunakan sebagai pengganti haraigushi untuk digunakan
50
sebagai alat penyucian dalam Shinto. Sedangkan, menurut analisis penulis, warna putih digunakan sebagai lambang kesucian. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Hibi (2000 : 70), bahwa warna putih merupakan warna yang melambangkan para dewa atau kami sekaligus sebagai perlambang kesucian. Patung berbentuk alat kelamin laki-laki berbalut kain warna merah dan putih yang dibawa oleh perempuan yang berusia 36 tahun tersebut, menurut analisis penulis juga sesuai dengan konsep Shinto, karena patung tersebut berupa kayu panjang yang dalam konsep Shinto dianggap sebagai perwujudan dewa. Sesuai dengan yang tertulis dalam The Cambridge Encyclopedia of Japan (1998 : 152), bahwa selain spanduk, kayu panjang juga merupakan salah satu perwujudan dari kami atau dewa yang tidak memiliki wujud tersendiri. Selain itu, menurut analisis penulis warna merah dan putih yang dipergunakan sebagai kain pembungkus juga dapat dikaitkan dengan konsep Shinto, yaitu warna merah sebagai perlambang kesuburan, dan kelahiran. Hal tersebut sesuai dengan Schumacher (2007) yang mengatakan bahwa warna merah dapat dianggap sebagai simbol kesembuhan, kesuburan, dan juga kelahiran. Sedangkan warna putih sebagai warna yang melambangkan kesucian dan dianggap sebagai warna dewa atau kami. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Hibi (2000 : 70), bahwa warna putih melambangkan kesucian
51
dan dianggap sebagai perlambang para dewa. Oleh karena itu, menurut analisis penulis kain pembungkus patung berbentuk alat kelamin laki-laki yang berwarna merah dan putih tersebut adalah sebagai wujud permohonan sekaligus ucapan terima kasih akan kesuburan, kelahiran serta sebagai simbol kesucian dari para dewa itu sendiri. Perempuan yang berusia 36 tahun sebagai pembawa patung berbentuk alat kelamin laki-laki tersebut menurut analisis penulis juga memiliki kaitan dengan ajaran Shinto yaitu yakudoshi. Yakudoshi adalah usia rawan bagi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Jepang. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Uji (2007), bahwa usia 36 tahun merupakan salah satu usia yang termasuk dalam kategori yakudoshi bagi perempuan.
3.3.5 Analisis Konsep Shinto Dalam Iring-iringan Peralatan Musik Pada Parade Tagata Jinja Hounen Matsuri
Sesuai dengan Hounen Matsuri : The Procession dalam Farstrider (2006), setelah iring-iringan shinsen atau persembahan, iring-iringan selanjutnya dalam parade Tagata Jinja Hounen matsuri adalah iring-iringan peralatan musik seperti uchi-mono atau gong dan fue. Alat musik ini terus menerus dimainkan selama parade Tagata Jinja Hounen matsuri.
52
Menurut analisis penulis, peralatan musik ini sesuai dengan konsep Shinto, di mana terdapat peralatan yang digunakan sebagai pelengkap sebuah matsuri yang berkaitan dengan ajaran Shinto. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Picken (1994 : 183), bahwa terdapat peralatan musik yang digunakan dalam sebuah matsuri, antara lain uchi-mono atau gong, fue atau suling yang memiliki enam buah lubang, sho yaitu alat musik yang menyerupai angklung dan terbuat dari bambu, dan juga hachikiri yaitu sejenis suling yang terdiri dari sembilan lubang, serta suzu atau rebana.
Gambar 3.16 Uchi-mono Atau Gong
Sumber:http://photoguide.jp/pix/
Gambar 3.17 Alat Musik Tiup
Sumber : http://farstrider.net/Japan/Festivals/
3.3.6 Analisis Konsep Shinto Dalam Takeinadane no Mikoto dan Tamahime no Mikoto Pada Iring-iringan Parade Tagata Jinja Hounen Matsuri
53
Sesuai dengan Ono (2007), setelah iring-iringan parade perlatan musik, iring-iringan selanjutnya adalah sebuah mikoshi berwarna merah dan dililit dengan kain berwarna putih yang didalamnya terdapat sebuah boneka yang berwujud seperti manusia yang merupakan simbol Takeinadane no Mikoto.
Gambar 3.18 Mikoshi Takeinadane no Mikoto
Sumber : http://photoguide.jp/pix/ Gambar 3.19 Takeinadane no Mikoto
Sumber : http://photoguide.jp/pix/ Sesuai dengan Hounen Matsuri, Tagata Jinja dalam Yamasa Institute (2006),
54
tertulis dalam sejarah kuil Tagata, Takeinadane no Mikoto adalah seorang laki-laki yang menikah dengan putri dari seorang pahlawan yang berhasil mengalahkan dan mengusir bangsa Ainu ke daerah timur yang bernama Tamahime no Mikoto. Namun sayang, Takeinadane no Mikoto meninggal dalam salah satu peperangan, kemudian istrinya, Tamahime no Mikoto-lah yang meneruskan sebagai pimpinan area tersebut. Kuil Tagata sendiri pada awalnya merupakan kediaman dari Tamahime no Mikoto. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Ono (2007), Tagata Jinja Hounen matsuri ini juga bertujuan untuk mengantarkan Takeinadane no Mikoto bertemu dengan istrinya yang bernama Tamahime yang berada di kuil Tagata. Menurut analisis penulis, Takeinadane no Mikoto dan istrinya Tamahime no Mikoto merupakan manusia biasa yang kemudian dianggap sebagai dewa atau kami. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Picken (1994 : 94-121) bahwa terdapat beberapa kelompok kami dalam ajaran Shinto, salah satu diantaranya adalah kami yang dikaitkan dengan sejarah personal. Pengertian kami yang dikaitkan dengan sejarah personal ini adalah manusia yang pada akhirnya dianggap sebagai dewa atau kami karena berjasa dalam sejarah.
3.3.7 Analisis Konsep Shinto Dalam Oowasegata Pada Iring-iringan Parade Tagata Jinja Hounen Matsuri 55
Iring-iringan parade Tagata Jinja Hounen matsuri selanjutnya adalah yang paling menarik bagi pengunjung dan para turis yang hadir menyaksikan Tagata Jinja Hounen matsuri, yaitu oowasegata. Oowasegata adalah sebuah persembahan atau shinsen dan bukan digunakan sebagai objek pemujaan. Wujudnya berupa patung berbentuk penis atau alat kelamin laki-laki berukuran raksasa. Beratnya sekitar 400 Kg, memiliki panjang 2,5 meter dan diangkat oleh 12 orang pria dewasa berusia 42 tahun secara bergantian dengan laki-laki lainnya sebanyak 60 orang. Di mana usia 42 tahun bagi laki-laki dianggap sebagai kategori yakudoshi (Ono, 2007).
Gambar 3.20 Oowasegata
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Oowasegata setiap tahunnya selalu diganti dengan yang baru. Oowasegata ini diukir oleh seorang ahli ukir khusus untuk kuil yang sebelumnya menjalani ritual penyucian terlebih dahulu. Oowasegata diukir dari kayu pohon hinoki yang sebelumnya
56
telah disucikan terlebih dahulu, hal ini sesuai dengan yang tertulis pada Tagata Jinja Hounen-sai dalam Infoseek (2007). Menurut analisis penulis, keberadaan oowasegata ini sesuai dengan konsep matsuri yang sesuai dengan ajaran Shinto. Oowasegata merupakan sebuah persembahan yang diberikan oleh masyarakat Komaki kepada para dewa atau kami sebagai perwujudan rasa terima kasih mereka atas keberhasilan panen. Wujudnya yang berupa penis dapat juga menjadi perlambang salah satu alat pemberi kehidupan kepada manusia. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Tagata Jinja Hounen-sai dalam Infoseek (2007), bahwa oowasegata merupakan simbol pemberi kehidupan kepada seluruh alam.
Gambar 3.21 Oowasegata Diangkat Oleh Laki-laki Berusia 42 Tahun
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Selain itu, menurut analisis penulis, ritual penyucian yang terlebih dahulu dilakukan untuk menyucikan kayu hinoki dan juga ahli ukir khusus tersebut sesuai dengan
57
ajaran Shinto yang disebut dengan oharai. Oharai itu sendiri menurut Picken (1994 : 171-172) merupakan satu-satunya cara untuk menyucikan ketidaksucian duniawi. Oowasegata yang terbuat dari kayu tersebut menurut analisis penulis, juga dapat digunakan sebagai simbol kedekatan manusia dengan alam yang berarti mendekatkan diri dengan para dewa. Hal ini sesuai dengan Shintoism, Shinto dalam Believe (2004), yang mengatakan bahwa terdapat empat keutamaan yang terdapat dalam Shinto, yang salah satu diantaranya adalah kecintaan terhadap alam. Kecintaan terhadap alam itu sendiri memiliki makna mendekatkan diri kepada dewa.
3.3.8 Analisis Konsep Shinto Dalam Toshigami Pada Iring-iringan Parade Tagata Jinja Hounen Matsuri
Iring-iringan terakhir dalam parade Tagata Jinja Hounen matsuri adalah patung Toshigami yang berada dalam sebuah Yatai. Yatai adalah sejenis mikoshi yang dapat ditarik. Patung boneka Toshigami ini adalah perwujudan seorang dewi panen (Ono, 2007). Menurut analisis penulis, keberadaan Toshigami sesuai dengan konsep kami yang terdapat dalam ajaran Shinto. Hal ini sesuai dengan penggolongan kami oleh Picken (1994 : 94-121), bahwa terdapat kami yang berhubungan dengan dewa-dewa pelindung
58
pertanian di mana salah satunya adalah Toshigami. Selain itu menurut analisis penulis, yatai merupakan salah satu peralatan yang dipergunakan dalam sebuah matsuri yang sesuai dengan ajaran Shinto. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Picken (1994 : 179), bahwa terdapat jenis mikoshi lain yang dapat ditarik yang disebut dengan yatai atau dashi sebagai salah satu peralatan matsuri di Jepang.
Gambar 3.22 Penarikan Yatai Toshigami
Sumber : http://photoguide.jp/pix/ Gambar 3.23 Toshigami
Sumber : http://samuraidave.wordpress.com/2007/02/08/ 3.4 Analisis Konsep Shinto Dalam Mochinage Pada Tagata Jinja Hounen Matsuri
59
Setelah parade Tagata Jinja Hounen matsuri selesai, pada pukul empat sore diadakan acara mochinage. Mochinage adalah acara pelemparan mochi atau kue beras yang berbentuk bulat dan berwarna merah dan putih oleh para donatur Tagata Jinja Hounen matsuri yang kemudian ditangkap oleh para pengunjung Tagata Jinja Hounen matsuri dari bawah (Ono, 2007). Selain itu, sesuai dengan yang tertulis pada Mochinage dalam Infoseek (2007), mochi merupakan simbol keberuntungan.
Gambar 3.24 Acara Mochinage
Gambar 3.25 Mochi Merah dan Putih
Sumber : http://photoguide.jp/pix/
Sumber : http://kikuko.web.infoseek.co.jp
Menurut analisis penulis, kue mochi digunakan sebagai salah satu bagian acara Tagata Jinja Hounen matsuri ini karena kue mochi terbuat dari beras. Sesuai dengan tujuan dari matsuri ini, yaitu sebagai tanda terima kasih masyarakat Komaki terhadap para dewa atau kami atas berkat berupa panen yang berlimpah, maka beras dalam wujud kue mochi digunakan sebagai tanda panen yang berhasil.
60
Selain itu, warna merah dan putih yang terdapat dalam kue mochi tersebut, menurut analisis penulis juga sesuai dengan konsep Shinto. Warna merah dikatakan sebagai warna simbol kesuburan, kelahiran, serta kesembuhan (Schumacher, 2007). Kemudian, warna putih di Jepang, merupakan merupakan warna suci yang melambangkan para dewa serta simbol dari kesucian (Hibi, 2000: 70). Menurut analisis penulis, para pengunjung Tagata Jinja Hounen matsuri yang berhasil menangkap kue mochi yang dilemparkan tersebut dipercaya akan mendapat keberuntungan.
61